lapsus obgyn bangli

48
Laporan Kasus PARTUS PREMATURUS IMMINENS Oleh: Rozan Fikri (1002005133) Andrew Valentinus P. (1002005151) Pembimbing: dr. I. G. N. M Wedagama Sp. OG(K)

Upload: rozanfikri

Post on 06-Nov-2015

269 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

Lapsus Obgyn Bangli

TRANSCRIPT

Laporan Kasus

PARTUS PREMATURUS IMMINENS Oleh:

Rozan Fikri

(1002005133)

Andrew Valentinus P.(1002005151)

Pembimbing:

dr. I. G. N. M Wedagama Sp. OG(K)DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/ SMF OBGYN RSUD BANGLIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2015KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Partus Prematurus Imminens ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. W. S. Anggra, Sp. OG selaku kepala Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi,2. dr. I. G. N. M Wedagama Sp. OG(K) selaku pembimbing penulisan laporan kasus ini,3. Serta pihak lainnya yang telah ikut membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima segala kritik dan saran demi penyempurnaan tugas berikutnya.

Denpasar, Juni 2015Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

i

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iii

BAB 1PENDAHULUAN

1

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2

2.1. Definisi

3

2.2.Epidemiologi.........................................................................................3

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko......

3

2.4. Patofisiologi

6

2.5. Diagnosis

12

2.6. Penatalaksanaan

14BAB 3LAPORAN KASUS

173.1.Identitas Pasien

173.2.Anamnesis

173.3.Pemeriksaan Fisik

183.4. Pemeriksaan Laboratorium

193.5.Diagnosis

193.6.Penatalaksanaan

193.7.Perjalanan Penyakit

19BAB 4PEMBAHASAN

23BAB 5SIMPULAN

25DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUANBerdasarkan definisi menurut WHO, kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil atau sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, karena tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi. Gambaran penurunan AKI menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dari tahun 1994, 1997, sampai 2000 adalah 390/ 100.000 kelahiran hidup, 334/ 100.000 kelahiran hidup, dan 307/ 100.000 kelahiran hidup.1Tingkat kematian secara umum berhubungan erat dengan tingkat kesehatan walaupun penyebab kematian dapat dibedakan sebagai penyebab secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung tingginya AKI adalah perdarahan, terutama perdarahan post partum (28%), keracunan kehamilan/eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi masa puerperieum (8%), persalinan macet (5%), abortus (5%) dan lain-lain (11%). Sedangkan penyebab tidak langsung tingginya AKI adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial-ekonomi, dan budaya serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap. 1,2Persalinan prematur memiliki potensi menyebabkan terjadinya peningkatan kematian perinatal sekitar 65-67%, mayoritas berkaitan dengan berat badan lahir rendah. Indonesia memiliki angka kejadian partus prematurus sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal. Partus prematurus dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu. 3Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini.4Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi.4Angka kematian ibu dan bayi merupakan tolak ukur dalam menilai derajat kesehatan suatu bangsa, oleh karena itu pemerintah sangat menekankan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi melalui program-program kesehatan. Dalam pelaksanaan program kesehatan sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang kompeten, sehingga apa yang menjadi tujuan dapat tercapai. 1BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Partus prematurus imminens merupakan suatu kontraksi uterus prematur yang terjadi secara persisten pada usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu dan disertai gejala seperti rasa tertekan pada panggul, nyeri punggung, meningkatnya cairan pada vagina, kram seperti saat menstruasi, perdarahan dan memendeknya serviks. 52.2 EpidemiologiPemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini. 4Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi. 42.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah: 61. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),

2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),

3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),

4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),

5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),

6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria atau infeksi sistemik),

7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan

8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).Hal-hal yang menyebabkan partus prematurus imminens dapat dibagi sebagai berikut : 61. Aborsi imminen

Perdarahan vagina pada awal kehamilan berkaitan dengan kemungkinan prognosis yang lebih buruk ke depannya. Perdarahan ringan maupun berat dikaitkan dengan kelahiran prematur, solusio plasenta, dan keguguran sebelum usia kehamilan 24 minggu.

2. Gaya Hidup

Merokok, peningkatan berat badan ibu yang tidak adekuat, dan penggunaan obat-obatan terlarang merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan lahirnya neonatus dengan berat lahir rendah. Peningkatan berat badan ibu yang dibawah normal menyebabkan terbatasnya pertumbuhan dari janin. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan kelahiran prematur ialah ibu muda atau lanjut usia, kemiskinan, perawakan pendek, kekurangan vitamin C, aktivitas seperti berjalan lama atau berdiri, kerja berat, dan jam kerja mingguan yang panjang.

Faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, dan stres kronis berkaitan hubungannya dengan kelahiran prematur.

3. Ras dan Etnis

Di Amerika Serikat dan di Inggris, wanita yang tergolong kulit hitam, ras Afrika-Amerika, dan Afro-Karibia memiliki risiko yang lebih tinggi terjadinya kelahiran prematur. Wanita kulit hitam juga memiliki peningkatan risiko terjadinya kelahiran prematur berulang.

4. Genetik

Beberapa penelitian juga menyebutkan peran gen immunoregulatory yang berpotensi menyebabkan korioamnionitis dalam kasus kelahiran prematur akibat infeksi

5. Jarak antar kehamilan

Jarak waktu pendek antara kehamilan berhubungan dengan outcome perinatal yang kurang baik. Dalam suatu penelitian disebutkan interval yang lebih pendek dari 18 bulan dan lebih lama dari 59 bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya kelahiran prematur dan bayi kecil berdasar usia kehamilan.

6. Riwayat kelahiran prematur

Faktor risiko utama terjadinya persalinan prematur adalah riwayat persalinan prematur sebelumnya. Risiko kelahiran prematur berulang pada wanita yang melahirkan prematur pada kehamilan pertama meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita yang melahirkan cukup bulan pada kehamilan pertama. Selain itu senggama selama awal kehamilan tidak berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya kelahiran prematur berulang.

7. Infeksi Infeksi memicu persalinan prematur melalui aktivasi sistem imun. Dalam hipotesis ini, mikroorganisme mengaktifkan sitokin inflamasi seperti interleukin dan tumor necrosis factor (TNF), yang pada akhirnya merangsang produksi prostaglandin dan enzim yang mendegradasi matrks sel. Prostaglandin merangsang kontraksi rahim, sedangkan degradasi matriks ekstraselular dalam membran janin menyebabkan pecah ketuban prematur. Dua mikroorganisme, Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis, telah menjadi patogen penting saat perinatal. Goldenberg dalam penelitiannya melaporkan bahwa 23 persen neonatus yang lahir antara 23 dan 32 minggu memiliki hasil kultur darah tali pusat positif terhadap mycoplasmas genital. Sebuah tes sonografi yang menunjukkan serviks pendek dikaitkan dengan invasi mikroba dari saluran kelamin bawah dan pada beberapa penelitian antimikroba diberikan untuk mencegah persalinan prematur karena invasi mikroba.

8. Bacterial vaginosis

Dalam kondisi ini, flora vagina diganti dengan bakteri anaerob yang mencakup Gardnerella vaginalis, spesies Mobiluncus, dan Mycoplasma hominis. Vaginosis bakteri telah dikaitkan dengan aborsi spontan, persalinan prematur, pecah membran prematur, korioamnionitis, dan infeksi cairan amnion.

2.4 PatofisiologiPenyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:

2.4.1Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibuStres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk PPI. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait stres. Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai responnya terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin, oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan hubungan yang signifikan antara stres psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Beberapa penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama kehamilan dan menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang melahirkan preterm memiliki kadar CRH yang meningkat secara signifikan, dengan mempercepat peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa tingkat stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara pertengahan kehamilan dan setelahnya. 4Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta. Pada persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis HPA janin dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada PPI, aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya penyebab PPI lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan peningkatan efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang mengaktifkan ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi janin untuk mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) (melalui aktivasi aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan prostaglandin, sehingga mempercepat PPI.4Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di antara orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili hasil akhir yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting dalam PPI, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran preterm.42.4.2Infeksi dan inflamasi

Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan benar. Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam PPI. Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan PPI pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2 akan memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Selain itu, endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam cairan amnion akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumour necrosis factor (TNF) adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan PPI. Sementara itu, platelet activating factor (PAF) yang ditemukan dalam cairan amnion terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya memainkan suatu peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran preterm yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang terinfeksi.4

Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading enzymes. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan serviks saat dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular pada membran amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan PPI.4

Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui pemecahan asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase). Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin. Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG) terhadap prostaglandin metabolite (PGM), yang akan meningkatkan aktivitas uterus, pematangan serviks, dan rupturnya membran amnion.4Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik, dan periodontitis ibu. Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai berikut:1. Secara ascending dari vagina dan serviks

2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta

3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif

4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks. Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0. 4\

2.4.3Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI. Lesi vaskular dari plasenta biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama. 4Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta PPI yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.4 Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini. Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan desidua.42.4.4Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)

Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai PPI yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari PPI di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan memfasilitasi pematangan serviks. Namun, penelitian eksperimental pada hewan mengenai uterine overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.4

2.4.5Insufisiensi serviks

Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk PPI. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.4,7Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik dengan risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.4,7

Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam pemendekan dan dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar secara ascending.4,7

Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI. 4,7

Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase). 4,7

Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi sitokin.42.5Diagnosis

Diagnosis dari partus prematurus imminens dapat dibuat berdasarkan temuan klinis yang jelas. Umumnya pasien mengeluhkan tanda-tanda akan terjadinya persalinan pada usia kehamilan antara 20 sampai 37 minggu, seperti nyeri abdomen, nyeri punggung, nyeri pada daerah pelvis, kram seperti saat menstruasi, perdarahan pervaginam, keluar lendir dari vagina, rasa tertekan pada pelvis, dan adanya urinary frekuensi. Adapun tanda utama dari partus prematurus imminens adalah adanya aktivitas uterus tanpa adanya bukti perubahan servik.7Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu:81) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,

2) Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,

3) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),

4) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,

5) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,

6) Selaput amnion seringkali telah pecah,

7) Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Literatur lain menyebutkan kriteria Ingemarsson dalam mendiagnosis ancaman persalinan meliputi usia kehamilan 28 sampai 36 minggu, kontraksi uterus yang nyeri dan teratur, membrane intak, dan terjadi penipisan dan dilatasi servik antara 2 sampai 4 cm. Kriteria Creasy memodifikasi kriteria Ingemarsson menjadi usia kehamilan 20 sampai 37 minggu, kontraksi uterus yang terdokumentasi sebanyak 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit, penipisan servik sebanyak 80% atau dilatasi servik 2 cm atau lebih, dan membrane intak.7Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm, antara lain amniocentesis, C-Reactive Protein (CRP), dan darah lengkap. Pada amniocentesis ditemukan leukosit dalam air ketuban lebih dari sama dengan 20/ml. Pada pemeriksaan CRP didapatkan hasil lebih dari 0,7 mg/ml. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis lebih dari sama dengan 13.000/ml.

2.6Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari persalinan premature meliputi identifikasi dari persalinan prematur, pencegahan terjadinya kelahiran prematur, dan penanganan. Identifikasi dari persalinan prematur bisa didapatkan dengan mengetahui faktor resiko yang terdapat pada pasien. Pada suatu studi disebutkan bahwa pemeriksaan fibronektin pada fetus, pengukuran panjang uterus, dan ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk mengidentifikasi perempuan dengan resiko tinggi.10Pencegahan terjadinya kelahiran prematur dapat dilakukan dengan identifikasi dan penanganan vaginosis bakteri, pemberian progesteron, dan sirklase servik. Beberapa studi menyebutkan bahwa vaginosis bakteri meningkatkan resiko terjadinya ancaman persalinan prematur, oleh karena itu dapat diberikan metronidazole sistemik. Pemberian progesterone dapat mendukung kehamilan dan menjaga kekuatan rahim. Sirklase rahim diindikasikan kepada wanita yang mengalami kelemahan atau inkompetensi dari rahim.10Adapun penanganan dari partus prematurus imminens itu sendiri meliputi pemberian tokolitik, pematangan paru, dan pencegahan infeksi, meliputi:

1) Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu :

a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.

b. Obat -mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 g/menit, subkutan: 250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.

c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).

d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti:

a) Oligohidramnion

b) Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini

c) Preeklamsia berat

d) Hasil nonstrees test tidak reaktif

e) Hasil contraction stress test positif

f) Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan kesejahteraan janin baik

g) Kematian janin atau anomali janin yang mematikan

h) Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.2) Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,

Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu.

Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah:

a) Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.

b) Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.3) Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.

Pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.10 Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.10

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas PasienNama

: Ni Wayan YastiniJenis Kelamin: Perempuan

Umur

: 25 tahun

Status Nikah: Menikah

Agama

: Hindu

Suku/Bangsa: Bali/Indonesia

Pekerjaan

: Ibu rumah tanggaAlamat

: Banjar Gancan, BangliTanggal MRS: 21 Mei 20153.2 AnamnesisKeluhan utama

:

Keluar darah dari vaginaPerjalanan penyakit:

Pasien datang diantar oleh keluarga pasien dengan keluhan utama keluar darah dari vagina sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, saat umur kehamilan 28 minggu. Keluar darah tersebut dikatakan berupa flek. Darah yang keluar dikatakan banyak. Awalnya pasien mengalami pendarahan saat umur kehamilan 14 minggu, kemudian pasien pergi ke rumah sakit dan pendarahan berhenti. Saat umur kehamilan 15 minggu, pasien mengatakan mengalami pendarahan kembali dan pergi Sp.OG dan dikatakan terdapat bukaan 1 sehingga segera dilakukan pengikatan rahim. Seminggu kemudian terjadi pendarahan kembali dan dirawat inap di RSUD Bangli selama 9 hari. Kemudian terjadi pendarahan kembali saat umur kehamilan 28 minggu. Saat ini, pendarahan dikatakan membaik. Pasien juga mengatakan perut terasa tegang seperti tertekan. Pasien juga mengatakan lebih sering kencing daripada sebelumnya. Riwayat keluar jaringan, lendir disangkal, riwayat nyeri perut tidak ada, gerak janin baik.Hari pertama haid terakhir: 6 November 2014

Taksiran Partus

: 13 Agustus 2015Menarche

: usia 13 tahun

Siklus

: 28 hari

Lamanya haid

: 5-6 hari

ANC

: Di rumah sakit, 3 kali, tes kencing (+)USG (+) UK 23 minggu

Riwayat kehamilan/persalinan:

1. Abortus UK 8 minggu

2. Abortus UK 20 minggu3. Ini

Riwayat kontrasepsi: -Riwayat pernikahan : 1 kali sejak 2 tahun yang laluRiwayat penyakit: -3.3 Pemeriksaan FisikStatus present

Keadaan Umum

: baik

Kesadaran

: compos mentis

Tekanan darah

: 110/70 mmHgNadi

: 82 x/menit

Respirasi

: 18 x/menit

Suhu

: 36,5 C

Berat badan

: 48 kg

Tinggi badan

: 160 cm

Status general

Mata

: anemis (-)/(-), ikterus (-)/(-)

Thorax

Cor

: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

: vesikuler (+)/(+), rhonki (-)/(-), wheezing (-)/(-)

Abdomen: ~ st. obstetrik

Ekstremitas: edema (-)

Status obstetrik

Abdomen: Tinggi fundus uteri 1/3 pusat processus xyphoideusHis (-), DJJ 149 x/menit, distensi (-), BU (+) normalVagina (VT): Pendarahan aktif (-)

3.4 Pemeriksaan Laboratorium

21-5-2015Nilai Normal

WBC12,404,0-9,0

HGB12,112,0-18,0

HCT33,834,0-48,0

PLT243120-380

BT2 051 - 4

CT80010 15

3.5 DiagnosisG3P0020, 27-28 minggu, tunggal hidup + PPI.

3.6 PenatalaksanaanPdx: USG

Tx

: - Konsevatif

- Bed rest

- Infus RL 20 tpm

- Amoxicillin 3 x 500mg

- Histolan 3 x 1/2 tabMX: keluhan, vital sign, djj, tanda syok.KIE: pasien dan keluarga

3.7 Perjalanan PenyakitTanggal 28 Mei 2015S: Gerak janin (+), perdarahan (-)O: Status presen

Tekanan darah: 110/60 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Respirasi

: 18 x/menitSuhu

: 36,5oC

Status generalMata:anemis -/- ikterus -/-

THT:kesan tenangThorax:Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo : ves +/+ rhonki -/- wheezing -/-Abdomen:~ Status obstetri

Ekstremitas:hangat + + edema - -

+ +

- -

Status obstetri

Abdomen:tinggi fundus uteri 1/3 pusat processus xyphoideus

Distensi (-), bising usus (+) normalVag:normalA : G3P0020, 27-28 minggu, tunggal hidup + PPI.

P: Tx:- Bed rest

- Infus RL 20 tpm

- Amoxicillin 3 x 500mg

- Histolan 3 x 1/2 tab

Mx : keluhan, vital sign

Tanggal 29 Mei 2015S: Gerak janin (+), perdarahan (+) sedikit berupa flekO: Status presen

Tekanan darah: 110/70 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Respirasi

: 20 x/menitSuhu

: 36,0oC

Status generalMata:anemis -/- ikterus -/-

THT:kesan tenangThorax:Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo : ves +/+ rhonki -/- wheezing -/-Abdomen:~ Status obstetri

Ekstremitas:hangat + + edema - -

+ +

- -

Status obstetri

Abdomen:tinggi fundus uteri 1/3 pusat processus xyphoideus

Distensi (-), bising usus (+) normalVag:normalA : G3P0020, 27-28 minggu, tunggal hidup + PPI.

P: Tx:- Bed rest

- Infus RL 20 tpm

- Amoxicillin 3 x 500mg

- Histolan 3 x 1/2 tab

- Dexametason injeksi 1 x 12,5 mg IM

Mx : keluhan, vital signTanggal 30 Mei 2015S: Gerak janin (+), perdarahan (+) sedikit berupa flekO: Status presen

Tekanan darah: 110/60 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Respirasi

: 18 x/menitSuhu

: 36,5oC

Status generalMata:anemis -/- ikterus -/-

THT:kesan tenangThorax:Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo : ves +/+ rhonki -/- wheezing -/-Abdomen:~ Status obstetri

Ekstremitas:hangat + + edema - -

+ +

- -

Status obstetri

Abdomen:tinggi fundus uteri 1/3 pusat processus xyphoideus

Distensi (-), bising usus (+) normalVag:normalA : G3P0020, 27-28 minggu, tunggal hidup + PPI.

P: Tx:- Bed rest

- Infus RL 20 tpm

- Amoxicillin 3 x 500mg

- Histolan 3 x 1/2 tab

- Dexametason injeksi 1 x 12,5 mg IM

Mx : keluhan, vital sign

BAB IV

PEMBAHASAN

Partus prematurus imminens merupakan ancaman terjadinya persalinan pada usia kehamilan antara 20 sampai 37 minggu dan disertai gejala-gejala persalinan. Partus prematurus imminens ini sering kali disertai dengan keluhan seperti nyeri abdomen, nyeri punggung, nyeri pada daerah pelvis, kram seperti saat menstruasi, perdarahan pervaginam, keluar lendir dari vagina, rasa tertekan pada pelvis, dan adanya urinari frekuensi.

Pada pasien ini, didapatkan usia kehamilan 27 28 minggu di mana pasien mengeluhkan perdarahan pervaginam sejak usia kehamilan 14 minggu dan berulang. Selain itu pasien juga mengeluhkan perutnya terasa tertekan dan lebih sering kencing daripada sebelumnya. Pada saat usia kehamilan 15 minggu juga didapatkan dilatasi servik sebesar 1 cm. Hal ini sesuai dengan teori yang telah disebutkan, di mana didapatkan tanda-tanda persalinan yang belum pada waktunya, yakni pada usia 27 28 minggu. Berdasarkan hal tersebut kasus ini mengarah pada terjadinya partus prematurus imminens.

Pada kriteria diagnosis ancaman persalinan preterm disebutkan bahwa usia kehamilan antara 20 37 minggu, dan pada kasus ini didapatkan umur kehamilan pasien 27 28 minggu. Selain itu pada kriteria disebutkan adanya kontraksi uterus yang teratur dan terdapat rasa kaku perut seperti saat menstruasi, sedangkan pada kasus ini didapatkan kontraksi uterus namun tidak teratur dan rasa tertekan pada perut. Pada pasien ini juga didapatkan pembukaan servik sebesar 1 cm saat usia kehamilan 15 cm, namun pada kriteria disebutkan bahwa pembukaan servik minimal 2 cm. Kriteria lain seperti keluar lendir, penipisan servik, pecah selaput amnion, dan presentasi janin rendah tidak didapatkan pada pasien ini.

Adapun tata laksana pada pasien ini tirah amoksisilin, hystolan, dan dexamethasone. Hal ini sesuai dengan teori tata laksana pada partus prematurus imminens. Amoksisilin sebagai antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi seperti karioamnionitis. Hystolan mengandung isoxsuprine yang berfungsi sebagai tokolitik. Dexametasone diberikan untuk mempercepat pematangan paru-paru janin.

Selain pemberian obat-obatan, juga disarankan untuk mencegah terjadinya kelahiran prematur. Salah satu cara yang digunakan adalah sirklase servik, yang mana diterapkan pada kasus ini. Pada kasus ini pasien telah menjalani sirklase servik karena inkompetensi servik. Pasien memiliki riwayat kegagalan dalam kehamilan yang berulang. Kegagalan kehamilan tersebut mengarahkan kasus ini dikarenakan oleh adanya inkompetensi dari servik tersebut. Ada pun inkompetensi servik tersebut dapat disebabkan oleh kelainan bawaan, in-utero diethylstilbestrol exposure, hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi, kerusakan yang bersifat traumatis, atau infeksi.

Penggunaan sirklase servik itu sendiri dikatakan belum selalu tepat, karena kebanyakan kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur. Dari literatur dikatakan bahwa sebelum penggunaan sirklase servik lebih baik diprediksi dahulu dengan panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal tersebut berbanding terbalik dengan risiko terjadinya PPI.

BAB V

KESIMPULAN

Partus prematurus imminens merupakan suatu kontraksi uterus prematur yang terjadi secara persisten pada usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu dan disertai gejala seperti rasa tertekan pada panggul, nyeri punggung, meningkatnya cairan pada vagina, kram seperti saat menstruasi, perdarahan dan memendeknya serviks. Penyebab PPI multifaktorial diantaranya perdarahan desidua, distensi berlebih uterus, inkompetensi serviks, distorsi uterus, radang leher rahim, demam/inflamasi maternal, perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal, baik pada ibu maupun janin, dan insufisiensi uteroplasenta. Adapun diagnosis dari PPI ini dapat ditegakan berdasarkan temuan klinis yang jelas. Umumnya pasien akan mengeluhkan tanda-tanda persalinan sebelum waktunya.

Penatalaksanaan pada pasien dengan persalinan prematur meliputi identifikasi dari persalinan prematur, pencegahan terjadinya kelahiran prematur, dan penanganan berupa pemberian tokolitik, pematangan paru, dan antibiotik. Pematangan paru dapat diberikan betamethasone atau dexamethasone. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi.DAFTAR PUSTAKA

1. Alvonso D. Paulus P. 2009. Gambaran karakteristik ibu yang melahirkan bayi prematur di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2007. USU. www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25255/.../cover.pdf. 23 November 2012.

2. Beck S., Wojdyla D., Say L., et al. 2010. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of maternal mortality and morbidity http://www.who.int/bulletin/volumes/88/1/08-062554.pdf. 29 Desember 2011.

3. Manuaba I.B.G., Manuaba Chandranita, Manuaba Fajar. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC; 2007 4. Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.5. Heng Y J, Pennell C E, Chua H N, Perkins J E, Lye S J. Whole Blood Gene Expression Profile Associated with Spontaneous Preterm Birth in Women with Threatened Preterm Labor. 2014 May ; 9(5) : 1-136. Cunningham GE, Gant NF, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ. Preterm Birth. In: Cunningham GE, Gant NF, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, editors. Williams Obstetrics 23rd ed. New York, NY: McGraw Hill; 2010.

7. Koucky M, Germanova A, Hajek Z, Parizek A, Kalousova M, Kopecky P. Pathophysiology of Preterm Labour. 2009 ; 110 (1) : 13-248. Amon E, Myles T. Preterm Labor dalam Clinical Obstetrics the Fetus & Mother oleh Reece EA dan Hobbins JC. USA : Blackwell Publishing. 2007 : 1085 1129.9. Wiknjosastro, H. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono Prawirohardjo. 2010.10. Chatterjee J, Gullam J, Vatish M, Thornton S. The Management of Preterm Labour. UK : British Medical Journal. 2007 : 88 93.iii