makalah manajemen perpajakan ppn-finished
TRANSCRIPT
BAB I
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik
yang berasal dari dalam laut maupun dari daratan. Dengan melimpahnya sumber daya alam
tersebut, maka mendorong masyarakat melakukan kegiatan ekonomi yang selalu berkembang,
karena pemanfaatan sumber daya alam atau kebutuhan akan sumber daya alam juga terus
meningkat. Begitu juga dengan pajak yang dapat meningkatkan penerimaan negara, juga terus
meningkat. Dalam hal penyerahan barang dan atau jasa dalam negeri atau dalam daerah pabean
(menurut pajak) maka pemerintah wajib memungut pajak pertambahan nilai. Pengertian Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang
atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya adalah pajak tersebut disetor oleh
pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Pengenaan PPN sangat
dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang
merupakan objek dari PPN tersebut.
Adu cerdas antara wajib pajak/konsultan pajak dengan pihak fiskus. Sedikit saja pihak
fiskus membuat peraturan yang tidak jelas,kurang lengkap atau bahkan ada celah maka WP
sudah bersiap untuk memanfaatkan.
Pada dasarnya Tax Planning adalah semacam strategi yang digunakan WP untuk untuk
meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.Secara lebih rinci menurut Lumbantoruan Tax
Planning atau Perencanaan Pajak dapat didefenisikan sebagai upaya manajemen keuangan untuk
meminimalkan biaya pajak dengan merancang investasi, jenis usaha dan sistem pencatatan
pendapatan dan biaya mana yang menghasilkan beban pajak yang paling kecil. Tax Planning
sering pula disamakan dengan Tax Management atau manajemen pajak yang didefinisikan
sebagai sarana memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar
dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
Perencanaan dan Manajemen Pajak adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh setiap
perusahaan yang menginginkan adanya penghematan pajak. Karena tujuan dari manajemen
pajak yang bersifat ekonomis, efektif, dan efisien. Dengan menyusun perencanaan dan
manajemen pajak sejak dini perusahaan akan terhindar dari segala hal yang mengakibatkan
peningkatan beban pembayaran pajak. Salah satunya adalah dengan melakukan manajemen
pajak pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam melakukan manajemen pajak yang harus
diperhatikan ialah tidak melanggar peraturan yang berlaku, secara bisnis reasonable, dan
didukung dengan bukti-bukti yang kuat.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Pengertian Manajemen dan Perencanaan Perpajakan
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa
usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi
masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat
diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan
tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya.
Perencanaan pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak
itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi
jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan
likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan
(tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak
ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah
agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya,
penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi kewajiban
pajak.
Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar
tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba
dan likuiditas yang diharapkan (Sophar Lumbantoruan, 1996) Tujuan Manajemen pajak
dibagi atas 2(dua) bagian yaitu :
1) Menerapkan peraturan perpajakan secara benar
2) Usaha Efisiensi dalam pencapaian laba dan likuiditas
Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui tiga fungsi berikut :.
1) Perencanaan pajak
2) Pelaksanaan kewajiban perpajakan
3) Pengendalian pajak
2.1.1 Perencanaan Pajak
Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pajak, yaitu :
a) Tidak melanggar ketentuan perpajakan
b) Secara bisnis masuk akal
c) Bukti pendukung memadai
Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan hendak melakukan perencanaan pajak, maka
ketiga hal diatas harus terpenuhi. Contoh, perusahaan memiliki akun beban penyusutan dan
beban gaji, maka jumlah beban atas penyusutan haruslah sama dengan jumlah aktiva yang
dimiliki. Seandainya jumlah aktiva tidak sesuai dalam artian sengaja melanggar aturan
perpajakan dengan menimbulkan aktiva baru yang memang tidak dimiliki oleh perusahaan,
maka akan timbul konsekuensi atas beban pajak dimasa depan. Seandainya perusahaan
diperiksa oleh petugas pajak, maka pasti akan segera diketahui pelanggaran yang telah
dilakukan oleh perusahaan.
Contoh lain adalah Perusahaan bergerak dibidang perdagangan, namun memiliki jumlah
karyawan yang tidak masuk akal. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan perencanaan pajak
yang baik. Hal terakhir adalah bukti selalu ada. Biaya gaji, sesuai dengan pembayaran
terhadap jumlah karyawan yang dibuktikan dengan data absensi karyawan, slip pembayaran
gaji ke bank atau pembayaran langsung pada karyawan.
2.1.2 Pelaksanaan Kewajiban perpajakan
Setelah perencanaan yang baik, hal penting berikutnya adalah pelaksanaan kewajiban.
Untuk dapat mencapai tujuan manajemen pajak maka ada 2(dua) hal yang perlu dikuasai dan
dilaksanakan:
1. Memahami ketentuan perpajakan. Pemahaman yang baik atas aturan perpajakan
dapam dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak
2. pembukuan yang memenuhi syarat. Pembukuan itu merupakan hal yang sangat
penting tidak hanya bagi perusahaan namun juga bagi laporan perpajakan,
Pembukuan yang baik sangatlah berguna bagi pelaksanaan manajemen pajak
yang baik.
2.1.3 Pengendalian Pajak
Bagian ini yang sangat terpenting yaitu memastikan bahwa seluruh kewajiban pajak telah
dilaksanakan dengan baik. Dalam strategi manajemen pajak, harus diutamakan arus kas
perusahaan, dimana bila bisa menunda pembayaran tentunya menguntungkan perusahaan
sepanjang penundaan itu tidak melanggar aturan perpajakan.
Ketika perusahaan sudah membuat perencanaan pajak yang baik atas akun beban
penyusutan dan beban gaji, yang meliputi kepantasan beban dan bukti yang dimiliki.
Perusahaan juga telah melakukan pelaksanaan kewajiban pajak yang baik seperti
mengadakan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi dan peraturan pajak. Tibalah
saatnya perusahaan membayar pajak. Pembayaran ini haruslah disesuaikan dengan
kemampuan arus kas perusahaan dimana jangan sampai perusahaan membayar pajak yang
bukan haknya dan tidak membayar pajak yang adalah kewajibannya.
2.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa
Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau
produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau
membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar
hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994,
Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
2.2.1 Karakteristik PPN
Karakteristik pajak pertambahan nilai antara lain :
Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab
atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan
distribusi.
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
Menghindari pengenaan pajak berganda.
Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu
dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
2.2.2 Subjek PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah yang pajak dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang dan atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Atau pajak
atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap
jalur produksi dan distribusi.
Adapun subjek dari PPN ini ada 2 (dua), yaitu :
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Dan Pengusaha Kena Pajak
atau PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang.
2. Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP)
Bukan Pengusaha Kena Pajak atau bukan PKP adalah orang atau badan yang
mengimpor BKP, memanfaatkan jasa atau BKP tidak berwujud dari luar daerah
pabean, dan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
2.2.3 Objek PPN
Berdasarkan UU No.42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau selanjutnya disebut UU PPN 1984.
Adapun objek PPN adalah sebagai berikut : (pasal 4 ayat 1)
a) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
b) Impor Barang Kena Pajak;
c) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
e) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
h) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 16C :
PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dalam keputusan menteri
keuangan.
Pasal 16D :
PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak masukkannya tidak
dapat dikreditkan sebagimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan c.
Syarat Penyerahan Terutang PPN Pasal 16D
1. Yang melakukan penyerahan atau pemindahtanganan adalah Pengusaha Kena Pajak
2. Perolehan aktiva tersebut bukan untuk diperjualbelikan atau sebagai barang dagangan.
3. Perolehan aktiva tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dan bukan
jenis kendaraan sedan dan station wagon.
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan
usaha adalah pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
1. Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) :
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian
sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/ataupenyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari
Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
2. Bukan Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) :
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak
terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha
Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
3. Syarat Penyerahan Kena Pajak
a. Barang Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak.
b. Barang Tidak Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud.
c. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
e. Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
4. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Pengenaan PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud antara lain atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak (Berwujud dan tidak Berwujud) didalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; (Pasal 4 ayat (1) huruf a).
b. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean; (Pasal 4 ayat (1) huruf d).
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 4
ayat (1) huruf g).
5. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Pasal 1 angka 5 dan 6 UU PPN 1984.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk
dipakai, termasu jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa Kena Pajak adalah jasa
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Penyerahan Jasa Kena Pajak :
a) Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
b) Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat- syarat sebagai
berikut:
1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak.
2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
3) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4) Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
c) Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena
Pajak (JKP) yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan
secara cuma-cuma.
2.2.2 Bukan Objek PPN
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak,
sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan
PPN, yaitu:
1. Barang tidak kena PPN
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, meliputi:
1) minyak mentah (crude oil).
2) Gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat.
3) Panas bumi.
4) asbes, batu tulis, batu setengah permata,batu kapur, batu apung, batu
permata,bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite),
grafit,granit/andesit, gips,kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer,
nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat(phospat),
talk, tanah serap (fullers earth),tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
5) Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara dan.
6) bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta
bijih bauksit.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
meliputi:
1) beras
2) gabah
3) jagung
4) sagu
5) kedelai
6) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
7) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan,dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas,digarami,dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus
8) telur, yaitu telur yang tidak diolah,termasuk telur yang
dibersihkan,diasinkan, atau dikemas
9) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas
10) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas,dipotong, diiris, di-grading, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas
11) sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
makanan dan minuman yang disajikan di hotel,restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya,meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau katering.
Uang, emas batangan, dan surat berharga
2. Jasa tidak kena PPN
jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
1) Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
2) Jasa dokter hewan.
3) Jasa ahli kesehatan, seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi.
4) Jasa kebidanan dan dukun bayi.
5) Jasa paramedis dan perawat.
6) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan,
dan sanatorium.
7) Jasa psikolog dan psikiater.
8) Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
jasa pelayanan sosial, meliputi:
1) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
2) Jasa pemadam kebakaran.
3) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
4) Jasa lembaga rehabilitasi.
5) jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium.
6) jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan
menggunakan perangko tempel danmenggunakan cara lain pengganti perangko
tempel.
jasa keuangan, meliputi:
1) jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu.
2) jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada
pihak lain dengan menggunakan surat,sarana telekomunikasi maupun
dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.
3) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;.
1) jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai
syariah dan fidusia
2) jasa penjaminan
jasa asuransi
jasa keagamaan, meliputi:
1) Jasa pelayanan rumah ibadah.
2) Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3) jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan
4) Jasa lainnya di bidang keagamaan.
jasa pendidikan, meliputi:
1) Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan
kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesional.
2) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di
bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian
tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
jasa tenaga kerja, meliputi:
1) jasa tenaga kerja.
2) jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja
tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3) Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
jasa perhotelan, meliputi:
1) Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap.
2) Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel.
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum
jasa penyediaan tempat parkir
jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
jasa pengiriman uang dengan wesel pos
jasa boga atau katering
BAB III
PEMBAHASAN
Makin pentingnya variabel pajak sebagai komponen yang harus diperhitungkan,
membuat banyak perusahaan melakukan perencanaan pajak (Tax Planning). Meskipun
Dirjen Pajak pernah mengungkapkan bahwa Tax Planning bagi perusahaan dianggap benar
sepanjang tidak menyalahi peraturan perpajakan yang berlaku. Karena harus diakui tidak ada
satu pasalpun dalam Undang-undang Perpajakan yang melarang dilakukannya perencanaan
pajak.
Perencanaan Pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak
itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi
jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan
likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan
(tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak
ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah
agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya,
penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi kewajiban
pajak.
Jadi perencanaan pajak tidak berarti penyelundupan pajak. Pada dasarnya usaha
penghematan pajak berdasarkan the least and latest rule yaitu Wajib Pajak selalu berusaha
menekan pajak sekecil mungkin dan menunda pembayaran selambat mungkin sebatas masih
diperkenankan peraturan perpajakan. Perencanaan pajak adalah suatu langkah yang tepat
untuk perusahaan, dalam melakukan penghematan pajak atau tax saving sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pajak, yaitu : Tidak
melanggar ketentuan perpajakan, Secara bisnis masuk akal dan bukti pendukung memadai.
Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan hendak melakukan perencanaan pajak, maka
ketiga hal diatas harus terpenuhi. Contoh, perusahaan memiliki akun beban penyusutan dan
beban gaji, maka jumlah beban atas penyusutan haruslah sama dengan jumlah aktiva yang
dimiliki. Seandainya jumlah aktiva tidak sesuai dalam artian sengaja melanggar aturan
perpajakan dengan menimbulkan aktiva baru yang memang tidak dimiliki oleh perusahaan,
maka akan timbul konsekuensi atas beban pajak dimasa depan. Seandainya perusahaan
diperiksa oleh petugas pajak, maka pasti akan segera diketahui pelanggaran yang telah
dilakukan oleh perusahaan.
Contoh lain adalah Perusahaan bergerak dibidang perdagangan, namun memiliki jumlah
karyawan yang tidak masuk akal. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan perencanaan pajak
yang baik. Hal terakhir adalah bukti selalu ada. Biaya gaji, sesuai dengan pembayaran
terhadap jumlah karyawan yang dibuktikan dengan data absensi karyawan, slip pembayaran
gaji ke bank atau pembayaran langsung pada karyawan.
3.1 Manajemen Perpajakan yang Ekonomis, Efisien, dan Efektif
Untuk dapat meminimalisasi kewajiban pajak, dapat dilakukan berbagai cara, baik yang
masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan
perpajakan (unlawful), seperti tax avoidance dan tax evasion.
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi
atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut mempunyai
dampak pajak, apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi
jumlah pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak tersebut dapat ditunda.
Pada dasarnya, perencanaan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut: (1) tidak
melanggar ketentuan perpajakan, (2) secara bisnis dapat diterima, dan (3) bukti-bukti
pendukungnya memadai.
3.2 Manfaat perencanaan pajak dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Penghematan kas keluar. Perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan
biaya bagi perusahaan.
2. Mengatur aliran kas (cash flow). Perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan
kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat
menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
3.3 Aspek-aspek dalam Tax Planning
A. Aspek Formal dan Administratif
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok WajibPajak
(NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP);
Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan;
Memotong dan/atau memungut pajak;
Membayar pajak;
MenyampaikanSurat Pemberitahuan.
B. Aspek Material
Basis penghitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka
optimalisasialokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan
pembayaran pajakyang tidak lebih dan tidak kurang. Untuk itu, objek
pajak harus dilaporkansecara benar dan lengkap.
3.4 Tahapan Tax Planning
a. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base)
b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak (designing
one or more possible tax plans)
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan)
d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the
tax plans)
e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
3.5 Strategi Umum Perencanaan Pajak
a) .Tax saving
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melaluipemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarifyang lebih rendah.Misalnya,
perusahaanyang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 100 juta
dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawanmenjadi
tunjangan dalam bentuk uang.
b) Tax avoidance
Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak denganmenghindari
pengenaan pajak melalui transaksiyang bukan merupakan objekpajak.
Misalnya, perusahaanyang masih mengalami kerugian,perlu mengubah
tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura karena
natura bukan merupakan objek pajak PPh Pasal21.
c) Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan
Dengan menguasai peraturan pajakyang berlaku, perusahaan
dapatmenghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa:
Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan;
Sanksi pidana: pidana atau kurungan.
d) Menunda pembayaran kewajiban pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturanyang berlaku
dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini
dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas
waktuyang diperkenankan, khususnya untuk penjualankredit. Dalam hal
ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhirbulan berikutnya
setelah bulan penyerahan barang.
e) Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan
Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran
pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajakdibayar dimuka.
Misalnya, PPh Pasal22 atas pembeliansolar dan/atau impor dan Fiskal
Luar Negeri atas perjalanan dinas pegawai.
Dalam kredit pajak PPN (Pajak Masukan), Pengusaha Kena Pajak dapat
menggunakan dokumenlain yang fungsinya sama dengan faktur
pajakstandar, seperti SPPB atauSurat Perintah Pengiriman
Barang(delivery order) yang dikeluarkan oleh Bulog untuk penyaluran
tepung terigu, PNBP(Faktur NotaBon Penyerahan)yang dikeluarkan oleh
Pertamina untukpenyerahan BBM dan/atau bukan BBM, dan tanda
pembayaran ataukuitansi telepon.
3.6 Perencanaan Pajak Untuk Mengefisienkan Beban Pajak
Beberapa strategi yang digunakan dalan mengefisienkan beban pajak adalah :
b) Pemilihan Bentuk Badan Usaha antara pemilihan bentuk PT atau CV.
c) Memilih lokasi perusahaan atau melakukan penanaman modal di bidang usaha
tertentu dan atau di bidang tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala
nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan.
d) Mengambil keuntungan yg sebesar-besarnya dari pengecualian atau pengurangan atas
Penghasilan Kena Pajak. Seperti apabila diketahui bahwa Penghasilan Kena Pajak
perusahaan besar dan akan mengakibatkan pajak terhutang besar, sebaiknya
perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk penelitian dan
pengembangan, biaya pendidikan, biaya training yang boleh dikurangi dari
penghasilan kena pajak.
e) Penempatan modal perusahan kepada perseroan terbatas lebih menguntungkan kalau
besarnya modal yang disetor paling rendah 25 %. Apabila modal yang ditempatkan
kurang dari 25 % maka dividen yang dibagi dari perusahan akan dikenakan pajak.
f) Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura / kenikmatan
dapat dipilih sebagai alternatif untuk mengefisienkan pajak.
g) Pemilihan metode penilaian persediaan dengan metode Average daripada FIFO.
Karena pada kondisi perekonomian yg cenderung mengalami inflasi, penetapan
metode Average akan menghasilkan HPP lebih tinggi dari pada FIFO. Dengan HPP
lebih tinggi, akan mengakibatkan laba kena pajak akan semakin rendah.
h) Untuk pendanaan aktiva tetap lebih menguntungkan secara leasing dengan hak opsi
dibandingkan pembelian langsung.
i) Pemilihan metode penyusutan jika prediksi laba cukup besar sebaiknya menggunakan
metode saldo menurun. Tapi jika pada awal investasi tidak dapat memberikan
keuntungan, maka metode garis lurus lebih menguntungkan.
j) Menghindari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan transaksi pada yang bukan
objek pajak.
k) Mengoptimalkan kredit pajak. Jangan sampai kredit pajak tersebut menjadi biaya
pajak karena akan merugikan.Apabila pajak yang telah dibayar dimuka, dikreditkan,
maka kredit pajak akan dapat kembali 100 %. Tetapi apabila pajak yang telah dibayar
dimuka dibiayakan, maka pajak yang sudah dibayar hanya kembali 75 %.
l) Penundaan pembayaran kewajiban pajak sampai akhir batas jatuh tempo.
m)Menghindari lebih bayar untuk menghindari kerugian finansil dan menghindari
pemeriksaan pajak
3.7 Upaya-upaya efisiensi pada PPN
1. Memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau non-PKP pada
pengusaha kecil.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan
Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, yang dimaksud sebagai Pengusaha kecil
adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dengan kata lain,
sebagai pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP atau tidak.
Pemilihan sebagai PKP atau tidak, dapat dilihat melalui transaksi yang ia lakukan.
Contoh:
a. Apabila sebagai PKP, dalam membeli bahan baku merupakan objek PM dan pada
saat menjual Barang Kena Pajak (BKP) merupakan objek PK. Sedangkan apabila
sebagai Non PKP membeli bahan baku, bukan merupakan objek PM. Begitupula
dalam menjual BKP bukan merupakan objek PK.
Transaksi Sebagai PKP Sebagai Non PKP
Membeli bahan Baku PM Non PM
Menjual BKP PK Non PK
b. Apabila suatu perusahaan non PKP membeli BKP dari PKP, hal tersebut
merupakan objek PM yang dapat dikreditkan pada SPT PPh Badannya. Sedangkan
pada saat menjual BKP tersebut kepada pengusaha yang juga non PKP bukan
merupakan objek PK.
c. Apabila dalam kondisi laba perusahaan besar sebaiknya non PKP. Karena Pmnya
dapat dikreditkan yang mengakibatkan PPh Badannya kecil.
d. Apabila dalam kondisi laba perusahaan kecil sebaiknya menjadi PKP.
e. Perusahaan yang non PKP mempertahankan peredaran brutonya di bawah Rp.
600.000.000,-.
2. Mendahulukan penerbitan performa invoice sebelum menerbitkan invoice.
Porforma invoice merupakan faktur ringkasan atau perkiraan yang dikirim oleh
penjual kepada pembeli (biasanya perusahaan jasa) sebelum pengiriman atau pengiriman
barang. Mengenai catatan jenis dan jumlah barang, nilai, dan informasi penting lainnya
seperti beban berat dan transportasi. Faktur proforma biasanya digunakan sebagai faktur
awal dengan kutipan, atau untuk keperluan pabean dalam importasi. Mereka berbeda dari
faktur normal tidak digunakan untuk permintaan atau permintaan untuk membayar.
Dalam hal efisiensi PPN dalam penerbitan performa invoice diperhatikan terlebih dahulu
kapan terhutang PPN. Dalam UU No.42 tahun 2009 dikatakan bahwa terhutangnya PPN
saat pemanfaatan jasa kena pajak. Namun dalam hal pembayaran diterima sebelum
penyerahan maka saat terutang pajakialah saat pembayaran. Penerbitan performa invoice
penting dilakukan karena sering terjadi invoice sudah keluar namun belum dilakukan
pembayaran.
3. Melakukan pengelolaan faktur pajak dengan baik
Agar pengelolaan faktur pajak dilakukan dengan baik maka diperlukan koordinasi
bagian pajak dengan bagian-bagian lain yang terkait dengan penerbitan dan penerimaan
faktur pajak. Pengelolaan faktur pajak dapat dilakukan dengan cara memastikan atau
menjaga Faktur Pajak tidak cacat. Jika melakukan pembelian barang atau pemakaian jasa
maka terdapat Pajak Masukan, sehingga menerima Faktur Pajak. Faktur Pajak yang
diterima tersebut harus diteliti, apabila cacat maka faktur pajak masukan tersebut tidak
dapat dikreditkan. Untuk mengatasi hal ini, dapat dilakukan dengan cara apabila
menerima faktur pajak yang cacat, sesegera mungkin untuk dikembalikan agar dapat
diganti dengan faktur pajak yang tidak cacat.
Dalam hal melakukan penjualan barang atau pemberian jasa maka terdapat Pajak
Keluaran, sehingga menerbitkan Faktur Paja. Faktur Pajak yang diterbitkan harus
dihindari dari kecacatan karena apabila cacat maka dikenakan sanksi sebesar 2% dari
DPP. Untuk mengatasi hal apabila menerbitkan faktur pajak yang cacat, sesegera
mungkin untuk menerbitkan faktur pajak pengganti. Karenanya untuk menghindari hal
tesebut harus dilakukan koordinasi dengan divisidivisi yang terkait dalam perusahaan,
diantaranya adalah dengan divisi pembelian dan penjualan. Bentuk koordinasinya ialah
dengan menginformasikan apa saja yang harus dimuat dalam faktur pajak, antara lain:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Dalam hal pembeli BKP atau pengguna JKP diketahui FP yang telah diterima dari
pihak lain ternyata cacat segera dikembalikan kepada pihak pemberi FP. Sedangkan
dalam hal penjual BKP atau pemberi JKP ternyata telah menerbitkan FP cacat apabila
belum dilaporkan segera melakukan penggantian FP.
4. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN dalam hal perusahaan memiliki banyak cabang.
KP
Cabang
Cabang Cabang
CabangCabang
Hal yang dapat dilakukan apabila sebuah perusahaan memiliki banyak cabang ialah :
a. Mengajukan sentralisasi PPN
b. Apabila sentralisasi PPN telah dilakukan, maka pastikan di cabang-cabang tidak
melakukan transaksi penjualan yang menerbitkan invoice. Sehingga seolah-olah
hanya sebagai gudang (conventional).
5. Penanganan pengajuan restitusi PPN dengan baik.
Dalam pengajuan restitusi PPN, beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Penyerahan dokumen selambat lambatnya 1 bulan setelah pengajuan restitusi
Yakinkan semua dokumen terkait lengkap,selebihnya tidak diperhitungkan dan
tidak dapat diajukan restitusi lagi
2. Pengecekan Faktur Pajak
Pastikan kembali Faktur Pajak Masukan atau Faktur Pajak Keluaran tidak cacat
(lakukan tax review)
3. Yakinkan bahwa lawan transaksi telah membayarkan PPN yang dipungut.
Dalam hal ini diperlukan konfirmasi kepada pihak lawan transaksi dengan cara
meminta fotocopy SSP dan SPM terkait transaksi yang diajukan restitusi. Hal
tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi tanggung renteng.
4. Sebelum mengajukan restitusi PPN, lakukan tax review dan tax review idealnya
dilakukan setiap bulan masa pajak yang bersangkutan.
6. Mengupayakan agar PM dan PK terjadi pada masa yang sama.
Contoh:
2 maret
Beli bahan baku
PM = 10% x 200 juta
20 juta
28 maret
Jual BKP
PK = 10% x 200 juta
20 juta
Produksi
Biasanya perusahaan industri, sehingga dapat langsung offset dan uang tidak keluar
7. Memanfaatkan fasilitas-fasilitas PPN.
Pemanfaatan fasilitas PPN dikawasan berikat dan di luar kawasan berikat :
Kawasan Berikat Luar Kawasan Berikat
Beli Bahan Baku Impor Produksi
Ekspor Barang Jadi
Dalam pembelian bahan baku,
mendapatkan fasilitas PPN tidak
dipungut.
PM = tidak dipungut
PK = 0
Maka tidak ada cash flow dalam transaksi
Beli Bahan Baku Impor Produksi
Ekspor Barang Jadi
Dalam pembelian bahan baku terdapat
Pajak Masukan.
Misal pembelian bahan baku sebesar 100,
maka terdapat PM 10.
PM = 10
PK = 0
Sehingga PM > PK
Lebih bayar 10
Atas lebih bayar tersebut dapat dilakukan
restitusi.
Dari segi non-pajak yang harus diperhitungkan:
a. Akses: Akses jalan yang mudah ditempuh untuk sampai ke Batam/Cengkareng
b. Buruh/Pekerja: Upah buruh yang lebih rendah Batam atau Cengkareng
c. Perizinan Usaha: Perizinan yang akan dilakukan lebih mudah di Batam atau
Cengkareng.
Syarat melakukan manajemen PPN adalah :
a. Tidak melanggar Peraturan yang berlaku baik Peraturan Pajak maupun Peraturan lain
b. Secara bisnis reasonable, dapat diperhitungkan keuntungan dan kerugiannya
c. Didukung oleh bukti – bukti yang kuat dan diakui oleh pihak lain
Selain itu dalam melakukan manajemen PPN maka harus mengetahui :
a. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
b. Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan saat pembuataan faktur pajak, dan tata
cara pembuatan faktur pajak
c. Hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan objek dan subjek PPN dan atau
PPnBM
d. Berbagai sanksi/denda terkait dengan PPn dan/ atau PPn Bm
e. Pemanfaatan berbagai fasilitas di bidang PPN dan/atau PPnBM Penjelasan
A. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak :
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau
yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. Jika telah dikukuhkan sebgai
pengusaha kena pajak maka harus melaporkan usahanya tersebut. maka dari itu harus pula
diketahui tentang:
* Kapan harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP?
Yaitu WP yang sudah memenuhi ketentuan sebagai PKP, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan BKP/JKP.
* Kemana harus melapor?
Ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha, dan
tempat kegiatan usaha di lakukan.
* Apa resikonya jika tidak melakukan kewajiban tersebut?
Direktorat Jendral Pajak (DJP) dapat mengukuhkan PKP secara jabatan apabila
PKP tidak melaksanankan kewajiban pelaporan tersebut.
B. Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan saat pembuatan faktur pajak, dan
tata cara pembuatan faktur pajak.
Saat pembuatan faktur pajak :
1. Pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan BKP/JKP, kecuali pembayaran terjadi
sebelum akhir bulan berikutnya--- dibuat pada saat penerimaan pembayaran; atau
2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan BBKP/JKP; atau
3. Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap
pembayaran; atau
4. Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada pemungut PPN
Syarat Faktur Pajak (FP) standar, karena merupakan sarana untuk mengkreditkan pajak
masukan. Paling sedikit FP memuat:
Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP/JKP
Nama, alamat, NPWP yang menerima BKP/JKP
Jenis barang/jasa, harga jual/ penggantian, dan potongan harga
PPN yang dipungut
PPnBM yang dipungut
Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan FP
Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangai FP
Tax planning atas FP:
1. Perhatikan syarat sah-nya FP standar agar dapat dikreditkan
2. Terbitkan FP selama mungkin (dalam kurun waktu yang diperbolehkan)
3. Perketat term of payment untuk mencegah wp nalangin PPN pembeli
C. Hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan objek PPN dan atau PPnBM
1. Identifikasi item mana yang :
* Terutang PPN
* Terutang tapi tidak dipungut PPN
* Tidak dikenakan PPN
* Dibebaskan dari PPN
2. Rekonsiliasi omzet PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPH Badan
3. Laporkan Faktur Pajak sesuai masanya
D. Mengetahui dengan jelas apa saja sanksi/ denda terkait dengan PPN dan atau PPnBM,
sebagai berikut:
1. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat FP, Atau
2. Pengusaha yang telah dikukuhakan sebagai PKP, membuat FP, tetapi tidak tepat waktu.
3. Pengusaha kena pajak melaporkan FP tidak sesuai dengan penerbitan FP
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi FP secara lengkap,
selain:
Identitas pembeli atau identitas pembeli serta nama dan tandatangan dalam hal
penyerahan dilakukan oleh PKP pedagang eceran.
Terhadap hal-hal tersebut diatas akan dikenakan sanksi 2% x DPP
5. Pengusaha kena pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan (PM)
Sanksi : 2% per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal
peneribatan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP), bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
E. Memanfaatkan berbagai fasilitas di bidang PPN dan/atau PPnBM
Fasilitas ppn terhutang tidak dipungut
Kawasan berikat
KAPET
EPTE
Fasilitas PPN dibebaskan;
Impor dan atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis (PP no. 7 tahun 2007)
PERENCANAAN PAJAK UNTUK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Memaksimalkan PPN masukan yang dapat dikreditkan; perusahaan sebaiknya memperoleh
Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), supaya
pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan
sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan lagi.
2. Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diterima, pembuatan faktur
pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang Kena
Pajak/Jasa Kena Pajak.
PPN dikenakan atas :
1) Penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh PKP.
2) Impor BKP.
3) Pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
4) Ekspor BKP oleh PKP.
Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang berhubungan langsung
dengan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya
adalah faktur pajak standar atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar. Pajak
masukan yang tidak dapat dikreditkan apabila :
1. Perusahaan sebelum dikukuhkan menjadi PKP.
2. Faktur pajak sederhana.
3. Faktur pajak cacat.
4. Tidak diisi lengkap dan terdapat coretan atau hapusan.
5. Pajak masukan atas pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan combi.
6. Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP.
7. Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha atas
BKP.
8. Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN, yang ditemukan pada saat
pemeriksaan/yang ditagih melalui SKP.
Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama,
dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah
berakhirnya tahun buku yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan. Membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha membangun
sendiri untuk tempat tinggal/tempat usaha oleh Orang Pribadi/Badan dikenakan PPN, apabila :
- Luas bangunan 400 meter persegi atau lebih.
- Bangunan permanen.
- Tarif 10% x 40% x biaya bangunan (tanpa harga tanah).
- Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan dimulai.
Penyerahan aset yang menurut tujuan semula tidak untuk dijual. Penyerahan aset yang tujuan
semula tidak diperjualbelikan dikenakan PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan.
- Pajak keluaran disetor dengan menggunakan SSP tersendiri, disetor paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya.
- Dapat dibuatkan faktur pajak tetapi tidak perlu dimasukkan ke Formulir 1195.
- Dalam hal aset tersebut juga mendapatkan fasilitas penundaan, atas penyerahan aset
dimaksud juga dikenakan PPN.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) :
- Harga Jual
- Nilai Penggantian
- Nilai Impor
- Nilai Ekspor
- Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
1. Pemakaian sendiri dan cuma-cuma BKP/JKP: 10% x harga jual dikurangi laba kotor.
2. Penyerahan media rekaman suara/gambar/film cerita: 10% x harga jual rata-rata.
3. Persediaan BKP pada saat pembubaran perusahaan: Harga pasar yang wajar.
4. Aset yang menurut tujuan semula tidak untuk dijual: Harga pasar yang wajar.
5. Penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan jasa pengiriman paket: 10% x 10%
jumlah tagihan.
6. Penyerahan jasa anjak piutang: 10% x 5% jumlah imbalan (dapat berupa provisi,
ongkos jasa, diskon).
7. Pedagang eceran: 10% x 20% Jumlah penyerahan barang dan PPN masukan tidak
dapat dikreditkan.
8. Jasa persewaan ruangan: Sewa ruangan: 10% dari sewa yang ditagih Ongkos jasa:
10% x 40% ongkos jasa yang ditagih.
Tarif PPN :
- Tarif umum adalah 10%
- Tarif ekspor 0%
Satu hal yang perlu diingat adalah perencanaan pajak yang telah dibuat dan dilaksanakan jangan
sampai melanggar peraturan perpajakan, hal ini penting untuk menghindari sanksi perpajakan.
Setelah perencanaan pajak selesai disusun dan diimplementasikan, masih ada satu tahap lagi
yang harus dilakukan, yaitu pengendalian pajak. Pengendalian pajak perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah semua perencanaan pajak telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Pengendalian pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak.
Contoh Perhitungan PPN Atas Pemberian Cuma-Cuma
a. PT. Aditya Makmur Sejahtera adalah perusahaan yang memproduksi kompor gas, dalam
rangka promosi produk barunya PT. Aditya Makmur Sejahtera memberikan secara gratis
kepada CV. Mawar Merah (usaha dibidang perdagangan kompor gas) 1 buah kompor gas
dengan harga pokok penjualan sebesar Rp 500.000,-.
Maka PT. Aditya Makmur Sejahtera harus menerbitkan faktur pajak sebagai pajak keluaran
dengan perincian :
Dasar Pengenaan Pajak : 500.000
PPN : 50.000 (500.000 x 10 %)
Bagi CV. Mawar Merah faktur pajak yang diterima dari PT. Aditya Makmur Sejahtera atas
pemberian kompor gas tersebut merupakan pajak masukan yang dapat dikreditkan sepanjang
memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang No.42 Tahun 2009 tentang
PPN dan PPnBM.
b. PT. Gunung Makmur Sentosa produsen mie kering dalam rangka membantu korban bencana
alam di daerah Purwokerto memberikan mie kering dengan harga pokok penjualan sebesar
Rp 2.000.000,-.
Maka PT. Gunung Makmur Sentosa harus menerbitkan faktur pajak sebagai pajak keluaran
dengan perincian :
Dasar Pengenaan Pajak : 2.000.000
PPN : 200.000 (2.000.000 x 10 %)
Dasar hukum :
1. Undang-undang No.42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.
2. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No.KEP-87/PJ./2002 tentang Pengenaan PPN dan
PPnBM atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma.
3. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No.SE-04/PJ.51/2002 tentang Pengenaan PPN dan
PPnBM atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma.
4. Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU no.42 tahun 2009 tentang
PPN dan PPnBM.
Contoh Perhitungan PPN atas Penyerahan Jasa Konstruksi Kepada Pemungut PPN
(Bendahara Pemerintah) Oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
PT. ABC (Pengusaha Kena Pajak di bidang Jasa Konstruksi) dalam bulan Januari 2012
mempunyai transaksi sebagai berikut :
a. PT. ABC terdaftar di KPP Pratama Purwokerto (bukan data sebenarnya) dengan identitas
sebagai berikut :
a) Nama PKP : PT. ABC
b) NPWP : 01.345.565.5-521.000
c) Alamat : Jl. Nanas No. 1 Purwokerto
d) Direktur : Aditya
b. Tanggal 05 Januari 2012 membeli besi dengan faktur pajak :
a) No.Faktur Pajak : 010.000.12.00000008
b) Tanggal Faktur Pajak : 05 Januari 2012
c) PKP Penjual : PT. ADDA
d) NPWP Penjual : 01.253.565.5-521.000
e) Alamat : Jl. Markisa No. 5 Purwokerto
f) DPP PPN Masukan : 500.000.000
g) PPN Masukan : 50.000.000
h) Jenis Barang : Besi
c. Tanggal 29 Januari 2012 menyerahkan Jasa Konstruksi (pembuatan gedung kantor) kepada
bendahara pemerintah dengan data sebagai berikut :
a) Nama Penerima Jasa Konstruksi : Bendahara X
b) NPWP : 00.125.564.5-521.000
c) Alamat : Jl. Mawar No. 5 Purwokerto
d) No.Faktur Pajak : 020.000.12.00000001
e) Tanggal Faktur Pajak : 29 Januari 2012
f) Nilai Kontrak : 880.000.000
g) DPP PPN Keluaran : 800.000.000
h) PPN Keluaran : 80.000.000
i) SSP disetor oleh pemungut : 30 Januari 2012
j) Jenis barang/Jasa : Bangunan Gedung Kantor
Perhitungan PPN :
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : 800.000.000
Pajak Keluaran (10 % x 800.000.000) : 80.000.000
Dikurangi :
Pajak Masukan : 50.000.000
Dikurangi yang dipungut Pemungut : 80.000.000 –
PPN Kurang / Lebih Bayar : (50.000.000)
Jadi untuk SPT Masa PPN Masa Januari 2012 lebih bayar sebesar 50.000.000. Atas lebih bayar
tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya/masa lainnya atau diminta kembali
atau restitusi.
3.7 Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia
Realisasi Penerimaan Negara (milyar rupiah), 2007-2012
Sumber Penerimaan 2007 1) 2008 1) 2009 1) 2010 1) 2011 2) 2012 3)
Penerimaan Perpajakan 490,988 658,701 619,922 723,307 878,685 1,019,333
Pajak Dalam Negeri 470,052 622,359 601,252 694,392 831,745 976,900
Pajak Penghasilan 238,431 327,498 317,615 357,045 431,977 512,835
Pajak Pertambahan Nilai 154,527 209,647 193,067 230,605 298,441 350,343
Pajak Bumi dan Bangunan 23,724 25,354 24,270 28,581 29,058 35,647
Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan5,953 5,573 6,465 8,026 - -
Cukai 44,679 51,252 56,719 66,166 68,075 72,443
Pajak Lainnya 2,738 3,035 3,116 3,969 4,194 5,632
Pajak Perdagangan Internasional 20,936 36,342 18,670 28,915 46,940 42,433
Bea Masuk 16,699 22,764 18,105 20,017 21,501 23,534
Pajak Ekspor 4,237 13,578 565 8,898 25,439 18,899
Penerimaan Bukan Pajak 215,120 320,604 227,174 268,942 286,568 272,720
Penerimaan Sumber Daya Alam 132,893 224,463 138,959 168,825 191,976 172,871
Bagian laba BUMN 23,223 29,088 26,050 30,097 28,836 25,590
Penerimaan Bukan Pajak
Lainnya56,873 63,319 53,796 59,429 50,340 54,398
Pendapatan Badan Layanan
Umum2,131 3,734 8,369 10,591 15,416 17,861
Jumlah 706,108 979,305 847,096 992,249 1,165,253 1,292,053
Catatan : Perbedaan satu digit dibelakang terhadap angka penjumlahan karena pembulatan
1) LKPP
2) APBN-P
3) RAPBN
Sumber : Departemen Keuangan
Penerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat
ekonominya setara. Rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya
berkisar 12%. Padahal rata-rata penerimaan pajak negara-negara yang termasuk dalam kelompok
menengah bawah (lower middle income) seperti Indonesia mencapai 19%. Rasio pajak
Indonesia bahkan di bawah rata-rata negara miskin (low income) yang sudah mencapai 14,3%.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, penerimaan pajak Indonesia
diproyeksikan mencapai Rp 1.033 triliun. Berdasarkan kategori negara berpendapatan
menengah, dengan jumlah tersebut negara ini sebenarnya kehilangan potensi pajak sekitar Rp
512 triliun atau hampir 50%. Perkiraan konservatif International Monetary Fund (IMF), potensi
pajak yang hilang juga lebih dari 40%.
Ketidakmampuan mengoptimalkan penerimaan pajak menyebabkan utang terus “berkelanjutan”.
Jumlah utang baru, hampir selalu lebih besar cicilan utang. Akumulasi utang akan mencapai Rp
1.937 triliun tahun ini, artinya setiap penduduk Indonesia menanggung utang Rp 8 juta. Rasio
utang terhadap PDB di bawah 30% bukan berarti aman apabila rasio pajak terus rendah.
Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan membawa Indonesia terjebak dalam perangkap
utang (debt trap).
Rasio Pajak Rendah
Pajak adalah sumber penerimaan terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Pada tahun 2012 proyeksi penerimaan pajak berkontribusi sebesar Rp 1.033 triliun atau
hampir empatperlima penerimaan negara. Meski terlihat besar, penerimaan tersebut sebenarnya
masih rendah ditinjau dari nilai rasio pajak terhadap PDB. Rasio pajak adalah ukuran untuk
menilai kemampuan pemerintah memungut pajak. Pada umumnya, negara yang lebih maju
memiliki rasio pajak lebih tinggi.
Rasio pajak Indonesia masih berkisar 12% terhadap PDB. Rasio ini termasuk dalam kategori
rendah, apabila dibandingkan dengan negara-negara setara. Indonesia kini termasuk dalam
kategori negara pendapatan menengah bawah (lower middle income) dan rata-rata rasio pajak
pada negara dalam kategori ini adalah sebesar 19%.1 Kapasitas penggalian pajak di Indonesia
bahkan masih lebih buruk dibandingkan rata-rata rasio pajak negara miskin (low income) yang
mencapai 14,3% (lihat grafik 1).
Rasio penerimaan pajak Indonesia yang lebih rendah dari rata-rata negara miskin ini
mengindikasikan adanya persoalan mendasar dalam kapasitas pemungutan pajak. Akan tetapi
ditinjau dari sudut pandang positif, bila persoalan tersebut dibenahi maka potensi penerimaan
pajak di Indonesia sangatlah tinggi.
Berdasarkan kalkulasi IMF, kapasitas
penerimaan pajak Indonesia kini hanya
mendekati 60%.2 Artinya, potensi
penerimaan pajak yang hilang
mencapai 40% atau sekitar Rp 413
triliun pada tahun 2012. Padahal IMF
dikenal sebagai lembaga yang
konservatif. Artinya kalkulasi dari
potensi ini pun masih tergolong
minimal.
Merujuk rata-rata rasio pajak negara
pendapatan menengah-bawah seperti
Indonesia, maka potensi pajak yang masih bisa digali sebenarnya bisa mencapai Rp 512 triliun.
Naiknya tingkat pendapatan Indonesia sebagai negara dengan kategori “negara pendapatan
menengah”, seharusnya diikuti secara proporsional dengan tingkat kemampuan penerimaan
pajak. Apabila “selisih pajak” (tax gap) yaitu perbandingan antara potensi dan penerimaan pajak
sangat besar, maka pembenahan sistem, institusi dan kebocoran adalah kebutuhan mendesak.3
Utang Menumpuk dan Rasio Pajak
Konsekuensi penerimaan pajak yang rendah adalah kian bertambahnya utang untuk membiayai
pembangunan. Dari tahun ke tahun, utang Indonesia nyaris selalu lebih besar dari pembayaran
utang sehingga jumlahnya makin menumpuk. Pada tahun 2012 jumlah utang Indonesia akan
mencapai Rp 1.937 triliun (lihat grafik 2). Ini berarti, tiap warga negara Indonesia akan memikul
beban utang sekitar Rp 8 juta.
Rasio utang Indonesia seringkali
dikatakan aman karena masih di
bawah 30% dari PDB. Pernyataan
ini mesti disampaikan lebih hati-
hati, karena besarnya utang
seharusnya perlu dikaitkan pula
dengan kemampuan perolehan
pendapatan. Logika sederhananya,
meski utang relatif tidak besar
namun apabila tingkat pendapatan
atau kemampuan membayar
rendah tentu saja tetap
mengkhawatirkan.
Inilah yang menjelaskan mengapa negara-negara maju mempunyai peringkat utang lebih baik
dari Indonesia, meskipun terkadang rasio utang mereka bahkan melampauiTak perlu jauh-jauh
ke Eropa, negara tetangga seperti Malaysiadan Thailandmempunyai peringkat yang lebih baik
dari Indonesia yaitu A- dan BBB+. Padahal, utang Malaysia mencapai 54% dan Thailand 44%
terhadap PDB.6 Lebih jauh ditelisik, rasio penerimaan pajak kedua negara tersebut berada di
kisaran 19%, jauh lebih besar dari Indonesia.7 Inilah salah satu penyebab peringkat Indonesia
masih kalah dibanding kedua negara tetangga tersebut.
Meski tingkat rasio pajak bukan satu-satunya ukuran menentukan peringkat peminjam, ukuran
tersebut sangat vital mengindikasikan kemampuan pembayaran pinjaman. Tentu saja, uraian di
atas tidak dimaksudkan agar Indonesia harus meningkatkan rasio pajak untuk mengejar utang
yang lebih besar. Ini hanya untuk menunjukkan satu hal yang sering luput dari analisis sekaligus
membuktikan bahwa rasio utang terhadap PDB yang relatif kecil belum tentu aman apabila rasio
pajak tetap rendah. Tentu saja yang ideal adalah rasio utang terhadap PDB rendah dan rasio
pajak tinggi.
Dalam rangka mengamankan penerimaan PPN dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak, khususnya penyelesaian restitusi PPN berdasarkan urat Edaran Nomor SE-01/PJ.52/2006
10 Februari 2006 tentang Perekaman SPT Masa PPN Dan Konfirmasi Faktur Pajak maka perlu
diperhatikan hal-hal sbb.:
1) Konfirmasi Faktur Pajak merupakan salah satu prosedur administrasi yang
dilakukan untuk mengawasi pemenuhan kewajiban PPN. Oleh karena itu Konfirmasi
Faktur Pajak tidak hanya dilakukan dalam rangka tindakan pemeriksaan.
2) Dalam setiap pelaksanaan pemeriksaan pajak, konfirmasi Faktur Pajak
merupakan prosedur yang wajib dilakukan khususnya yang menyangkut pembelian dan
penjualan dan harus dilakukan bersamaan dengan prosedur-prosedur dan/atau
pengujian pemeriksaan lainnya.
3) Salah satu aplikasi yang terdapat dalam program SIP adalah konfirmasi
PM-PK Pajak Pertambahan Nilai. Dengan aplikasi dimaksud dapat dihasilkan
informasi untuk konfirmasi PM-PK antara PKP Penjual dengan PKP Pembeli, baik PKP
tsb terdaftar pada satu KPP, pada KPP dalam satu Kantor Wilayah, ataupun pada
KPP yang berbeda Kantor Wilayah Sehubungan dengan sesuatu hal, maka sistem
aplikasi konfirmasi Faktur Pajak pada intranet Direktorat Jenderal Pajak sedang
dilakukan penyempurnaan sehingga tidak dapat diakses sampai dengan pemberitahuan
lebih lanjut.
4) Oleh karena sistem aplikasi konfirmasi Faktur Pajak pada intranet
Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat diakses, maka dengan ini diwajibkan untuk
melakukan konfirmasi secara manual terhadap seluruh faktur pajak yang dapat
diperhitungkan.
5) Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Faktur Pajak yang dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Faktur Pajak
yang memenuhi syarat sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi
Perpajakan. Dengan demikian walaupun berdasarkan hasil konfirmasi dan atau
klarifikasi Pajak Keluaran sudah dipertanggungjawabkan oleh PKP Penjual apabila
berdasarkan ketentuan Faktur Pajak tsb tidak memenuhi syarat sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan maka Faktur Pajak tsb tetap tidak dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
6) Meskipun demikian, kewajiban untuk melakukan perekaman SPT Masa PPN di
masing-masing KPP sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
pajak No. SE-06/PJ.9/1997 tanggal 23 Juli 1997 tentang Perekaman SPT Masa PPN
tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yaitu untuk perekaman SPT Masa PPN
induk berserta lampiran-lampirannya untuk suatu Masa Pajak harus sudah dapat
diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan
dilaporkannya SPT Masa PPN yang bersangkutan.
7) Dengan berlakunya Surat Edaran Dirjen Pajak ini, maka Surat Edaran Dirjen
Pajak No. SE-07/PJ.54/1994 tentang Konfirmasi Faktur Pajak yang berjumlah Rp 2
juta kebawah dinyatakan tidak berlaku.
BAB IV
KESIMPULAN
Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan termasuk jenis pajak tidak langsung,
maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau
dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia
tanggung. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola
konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN tersebut. Jadi pengawasan terhadap
pemungutan PPN harus terus diawasi.
Sementara itu perencanaan pajak adalah proses pengelolaan kewajiban perpajakan
sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam
posisi yang minimal, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan atau dilakukan secara legal yang dapat diterima oleh aparat perpajakan.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan dalam enghindaran PPN adalah
1. Memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau non-PKP
pada pengusaha kecil.
2. Mendahulukan penerbitan performa invoice sebelum menerbitkan invoice.
3. Melakukan pengelolaan faktur pajak dengan baik
4. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN dalam hal perusahaan memiliki
banyak cabang.
5. Penanganan pengajuan restitusi PPN dengan baik.
6. Mengupayakan agar PM dan PK terjadi pada masa yang sama.
7. Memanfaatkan fasilitas-fasilitas PPN.
DAFTAR PUSTAKA
http://aviantara.wordpress.com/2008/07/21/tax-planning/
http://binajasakonsultanpajak.blogspot.com/2012/11/pengertian-dan-manfaat-perencanaan-
pajak.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai
http://dir.groups.yahoo.com/group/forum-pajak/message/18181
Setyo Budiantoro. MARET 2012.Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk. PRAKARSA POLICY REVIEW