wrap up 1 (finished)

44
TUGAS PBL Skenario 1 PILEK PAGI HARI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI Tahun 2010/2011 Ketua : Gilang Rama Putra (1102010112) Sekretaris : Desta Murdinia (1102010067) Anggota: Desri Wahyuni (1102009073) Hafiz Fadhli (1102009126) Adib Wahyudi (110201005) Airiza Aszelea Atthira (1102010011) 1

Upload: astiandramendolita

Post on 06-Aug-2015

236 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wrap Up 1 (Finished)

TUGAS PBL

Skenario 1

PILEK PAGI HARI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

Tahun 2010/2011

Ketua : Gilang Rama Putra (1102010112)

Sekretaris : Desta Murdinia (1102010067)

Anggota:

Desri Wahyuni (1102009073)

Hafiz Fadhli (1102009126)

Adib Wahyudi (110201005)

Airiza Aszelea Atthira (1102010011)

Astiandra Mendolita (1102010039)

Dini (1102010082)

Hilyatus Shalihat (1102010125)1

Page 2: Wrap Up 1 (Finished)

SKENARIO 1

Seorang pemuda sering menderita pilek dipagi hari yang tidak kunjung sembuh sejak masih di SMP. Ia setiap pagi selalu bersin2 dan keluar ingus encer, apalagi bila udara berdebu. Oleh kawannya seorang mahasiswa kedokteran disarankan untuk melakukan tes alergi dan hasilnya memang pemuda tsb menderita alergi. Tapi pemuda itu masih bertanya-tanya, apa benar ada hubungan alergi yang dideritanya dengan penyakitnya sekarang, dan mengapa bisa terjadi demikian..?

2

Page 3: Wrap Up 1 (Finished)

SASARAN BELAJAR:

LO.1. Memahami dan menjelaskan anatomi makroskopis dan mikroskopis saluran nafas atas.

1.1 Makroskopis

1.2 Mikroskopis

LO.2. Memahami dan menjelaskan fungsi dan mekanisme pertahanan tubuh pada saluran nafas.

LO.3. Memahami dan menjelaskan Rhinitis Allergi.

3.1 Definisi

3.2 Etiologi

3.3 Patofisiologi

3.4 Manifestasi klinik

3.5 Diagnosis

3.6 Penatalaksanaan

3.7 Pencegahan

3.8 Komplikasi

3.9 Prognosis

LO.4. Memahami dan menjelaskan farmakoterapi simptomatis pada infeksi saluran nafas atas.

LO.5. Memahami anatomi pernafasan menurut agama islam.

3

Page 4: Wrap Up 1 (Finished)

LO.1. Memahami dan menjelaskan anatomi makroskopis dan mikroskopis

1.1 Anatomi Makroskopis

Skema respiratoriusUdara masuk ke nares anterior vestibulum nasi cvavum nasi udara keluar dari cabum nasi ke nares posterior masuk nasopharinx melewati oropharinx epiglottis membuka aditus laryngis daerah larynx trachea masuk bronkus primer bronkus sekunder bronkus segmentalis bronkus terminalis bronkiolus respiratori organ paru duktus alveolaris alveolus alveoli terjadi difusi oksigen dan karbondioksida.

NaresTerbentuk oleh tulang rawan,tulang sejati,dan otot Bagiannya adalah : Nares anterior Vestibulum nasi Cavum nasiTerletak dari nares anterior sampai nares posterior, dengan alat-alat yang terdapat di dalamnya

yaitu :- Concha nasalis superior- Concha nasalis media- Concha nasalis inferior- Meatus nasi superior- Metaus nasi media- Meatus nasi inferior Septum nasi (os vomer,lamina perpendicularis os ethmoidalis,cartilage septi nasi)

Pada cavum nasi terdapat 3 buah konka nasalis yaitu :

4

Page 5: Wrap Up 1 (Finished)

Konka nasalis superior,media,dan inferior dan pada konka nasalis ini terdapat saluran yg disebut meatus nasalis. Pada nasopharinx terdapat saluran yg menghubungkan antara nasopharinx dengan cavum timpani yg disebut OPTA.

Terdapar pula SINUS paranasal yg terdiri dari : Sinus paranasal Sinus maxillaris Sinus ethmoidalis Sinus sphenoidalis

Persarafan hidung

Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung:Bagian depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang nervous

opthalmicus (V.1). Bagian lainnya termasuk mukosa hidung dipersarafi oleh ganglion sfenopalatinum.

Daerah nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensoris dari ganglion pterygopalatinum.

Nervous olfactorius keluar dari cavum cranii melalui lamina cribrosa ethmoidalis. Untuk sel-sel reseptor penciuman terletak pada 1/3 atas depan mucosa hidung septum dan concha nasalis.

Serabut-serabut nervous olfactorius bukan untuk mensarafi hidung, tapi hanya untuk fungsional penciuman.

Perdarahan hidunga.opthalmica = cabang a.ethmoidalis anterior dan posteriora.maxillaris interna= a. sfenopalatinum

vena2 ketiga aliran itu membentuk anyaman yg disebut plexus kisselbach yg bila pecah disebut sebagai epistaxis.

5

Page 6: Wrap Up 1 (Finished)

Epistaksis ada 2 macam, yaitu :a. Epistaksis anteriorb. Epistaksis posterior

a. Epistaksis anteriorDapat berasal dari flexus Kisselbach, yang merupakan sumber perdarahan paling sering

dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri atau spontan dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

b. Epistaksis posteriorBerasal dari arteri sphenopalatina, dan a.ethmoidalis posterior. Perdarahan cenderung lebih

berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemia, dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

LarynxTerbentuk oleh tulang dan tulang rawan Yaitu satu buah os hyoid, 1 tiroid, 1 epiglotis, 2

aritenoid. Berbentuk segi lima yg disebut cavum laringis bagian atas aditus laringis sementara bagian bawah disebut kartilago cricoid.

Os.Hyoid- Terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda.- Mempunyai 2 cornu: cornu majus dan cornu minus.- Dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu.- Berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid.

Cartilago Thyroid- Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan

“Prominen’s laryngis” atau Adam’s Aplle sehari-hari disebut “jakun” lebih jelas pada laki-laki.

- Melekat keatas dengan os.hyoid dan kebawah dengan cartilago cricoid, kebelakang dengan arytenoid.

- Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.- Mempunyai cornu superior dan cornu inferior- Pendarahan cornu superior dan cornu inferior.- Pendarahan dari a.thyroidea superior dan inferior.

Cartilago Arytenoid- Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan diatas dari cartilago cricoid.- Mempunyai bentuk seperti burung pinguin, ada cartilago cornuculata dan

cuneiforme- Kedua arytenoid dihubungkan oleh m.arytenoideus tranversus

Epiglotis- Tulang rawan berbentuk sendok- Melekat diantara kedua cartilago arytenoid- Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis- Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui m.aryepiglotica

6

Page 7: Wrap Up 1 (Finished)

- Pada waktu biasa epiglotis terbuka, tetapi pada waktu menelan epiglotis menutup aditus laryngis → supaya makanan jangan masuk ke larynx

Cartilago cricoid- Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)- Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid

medial lateral- Batas bawah adalah cincin pertama trachea- Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m.cricoarytenoideus posterior

dan lateralis

Otot ekstrinsik :m.cricoaryhtenoideusm.thyroepigloticusm.thyroarytenoideus

otot intrinsic :m.cricoarytenoideus posteriorm.cricoarytenoideus lateralism.arytenoideus obliq dan transversesm.vocalism.arypiglotica

pada otot ekstrinsik dipersarafi oleh nervus laringis superior. Sementara otot intrinsic dipersarafi oleh nervus laringis inferior atau yg sering desebut dengan nervus reccurens laringis. terdapat pula plica vocalis dan plica vestibularis, dalam plica vovalis ada rima glottis

7

Page 8: Wrap Up 1 (Finished)

dan plica vestibularis ada rima vestibularis.otot m.cricoarytenoideus posterior sering disebut juga safety muscle of larynx.karena berfungsi menajga agar rima glottis tetap membuka.

8

Page 9: Wrap Up 1 (Finished)

1.2 Anatomi Mikroskopis:

Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:

1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis

2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.

Hidung

Pada bagian luar hidung akan ditutupi oleh kulit dengan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk banyak terdapat kelenjar sebasea yang akan meluas hingga bagian depan dari vestibulum nasi.Pada bagian dalam hidung akan dilapisi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan akan menjadi epitel bertingkat silindris dengan sel goblet (epitel respirasi),terdapat juga sel basal yg dapat berkembang lagi.Epitel terletak diatas lamina basal dan dibawahnya terdapat laina propia yang mengandung kelenjar tubular alveolar.

Pada belahan lateral akan terlihat konka.Dimana pada konka nasalis superior tersusun dari sel epitel olfactoria.Epitel olfactoria sendiri tersusun dari sel penyokong,sel basal,dan sel olfacttorius(sel dendritik yang menonjol ke permukaan dan akson masuk ke lamina propria.

Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak),  sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

Sinus paranasalis

Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.

Faring

Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.

9

Page 10: Wrap Up 1 (Finished)

Laring

Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.

Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.

Trakea

Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan mencegah distensi berlebihan.

10

Page 11: Wrap Up 1 (Finished)

LO.2. Memahami dan menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh pada saluran pernafasan atas

Proses fisiologi pernapsan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke jaringan-jaringan,dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagai menjadi tiga stadium, yaitu ventilasi,transportasi, dan repirasi sel.

1. Ventilasi Merupakan gerak udara masuk paru yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara

atmosfer dan alveoli akibat gerakan paru dalam rongga dada yang diperkuat oleh otot-otot pernapasan. Tekanan intrapleura menjadi lebih negatif selama inspirasi dan kurang negatif selama ekspirasi. Udara bergerak ke dalam paru selama inspirasi bila tekanan alveolus lebih rendah daripada tekanan atmosfir, dan udara keluar dari paru selama ekspirasi bila tekanan atmosfir.

2. Transportasia. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah

sistemik dan sel-sel jaringan. Penggerak kekuatan difusi gas melewati membran alveolokapiler terdiri dari perbedaan tekanan parsial antara darah dan rongga alveolar. Perbedaan tekanan parsial untuk difusi O2 relatif besar : O2 alveolar kira-kira 100 mmHg dan sekitar 40 mmHg dalam darah kapilar paru venosa campuran. Difusi CO2 dari darah ke alveolus membutuhkan perbedaan tekanan parsial yang lebih kecil daripada O2 karena CO2 lebih dapat larut dalam lipid.

b. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus. Hal ini berkaitan dengan hubungan antara ventilasi(dalam paru)-perfusi(aliran darah dalam kapiler). Idealnya, efisiensi pertukaran gas yang optimal akan diberikan melalui distribusi dan perfusi sehingga ventilasi-perfusi hampir seimbang (pada orang normal). Keseluruhan V/Q normal adalah 0,8(4L/menit : 5L/menit). Karena gaya gravitasi aliran darah pulmonal, V/Q pada apex paru lebih tinggi dari 0,8 (V lebih tinggi dari Q), sedangkan V/Q pada basis paru lebih rendah dari 0,8(V lebih rendah dari Q). Ketidaksamaan V/Q yang menyebabakan hipoksemi terjadi pada kebanyakan penyakit pernapasan.

11

Page 12: Wrap Up 1 (Finished)

i. Unit untung rugi (V/Q > 0,8), ventilasi normal tanpa perfusi (pada embolisme paru)ii. Unit pirau (V/Q <0,8), tanpa ventilasi perfusi normal (pada edema paru, pneumonia)

iii. Unit diam , tanpa ventilasi dan perfusi

c. Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah.i. Transpor O2 dalam darah

Hampir semua O2 yang dibawa ke jaringan dalam darah terikat pada hemoglobin , dan hanya sedikit jumlah yang larut dalam plasma (karena O2 tidak larut dalam plasma). Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi , namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan.

ii. Transpor CO2 dalam darahTranspor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara- Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, - Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb dalam eritrosit.- Sekitar 70% CO2 diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma

3. Respirasi sel Merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi,

dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel.

Menjelaskan Mekanisme Batuk

Inspirasi dalam, diikuti ekspirasi kuat melawan glotis yang tertutup. Peningkatan tekanan intrapleura 100mmHg atau lebih. Glotis tiba-tiba terbuka mengakibatkan redakan aliran udara ke luar dengan kecepatan 965km atau (600mil)/jam.

Mekanisme batuk dibagi menjadi 3 fase:

Fase 1 (Inspirasi), paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara menutup, sehingga udara terjerat dalam paru2

Fase 2 (Kompresi), otot perut berkontraksi, so diafragma naik dan mnekan paru2, diikuti pula dengan kontraksi intercosta internus. yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada paru2 meningkat hingga 100mm/hg.

Fase 3 (Ekspirasi), Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari paru

Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh yang berguna untuk membersihkan saluran trakeobronkial. Batuk yang tidak efektif dapat menimbulkan berbagai efek yang tidak mengun-tungkan berupa penumpukan sekret yang berlebihan, atelektasis, gangguan pertukaran gas dan lain-lain. Batuk yang tidak efektif mungkin terjadi karena gangguan di saraf aferen, pusat batuk atau di saraf eferen yang ada. Batuk yang berlebihan akan terasa mengganggu. Penyebab batuk juga amat beragam, mulai dari kebiasaan merokok sampai pada berbagai penyakit baik di paru maupun di luar paru. Keluhan batuk juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi mulai dari yang ringan sampai yang berat

12

Page 13: Wrap Up 1 (Finished)

Menjelaskan Mekanisme Bersin

Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada saluran hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung, impuls saraf aferen berjalan dalam nervus ke lima menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara dengan cepat melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing.

Mekanisme Bernafas

Inspirasi dan ekspirasi terjadi karena adanya kontraksi dan relaksasi otot-otot pernafasan Selama inspirasi tenang, difragma dan m. interkonta ekterna berkontraksi dan volume thorax meningkat.

Selama ekspirasi tenang. Otot-otot tersebut relaksasi dan recoil elastis paru-paru dan thorak yang menyebabkan penurunan volume thoraxKekuatan inspirasi dan ekspirasi dibantu oleh kontraksi otot pernafasan asesoris.

Mekanisme Menelan

Tujuan refleks menelan adalah mencegah masuknya makanan atau cairan ke dalam trakea. Impuls motoris dari pusat menelan yang menuju ke faring dan bagian atas esophagus diantar oleh saraf kranial V, IX, X dan XII dan beberapa melalui saraf cervical. Menelan memiliki beberapa stadium, yaitu stadium volunter, faringeal dan oesofageal. Pada stadium volunter, benda ditekan atau didorong ke bagian belakang mulut oleh tekanan lidah ke atas dan belakang terhadap palatum, sehingga lidah memaksa benda ke pharing. Pada stadium faringeal, palatum mole didorong ke atas untuk menutup nares posterior, sehingga mencegah makanan balik ke rongga hidung.

Lipatan palatofaringeal saling mendorong ke arah tengah, kemudian pita suara laring berdekatan dan epiglottis mengayun ke belakang, sehingga mencegah makanan masuk ke trakea. Laring didorong ke atas dan depan oleh otot-otot yang melekat pada os hyoid. Gerak ini meregangkan/ melemaskan pintu oesofagus, maka masuklah makanan ke sphincter faringoesofageal, kemudian otot konstriktor pharing superior berkontraksi menimbulkan gelombang peristaltik oesophagus. Stadium faringeal terjadi terjadi kurang dari 1 atau 2 detik, sehingga menghentikan nafas selama waktu ini, karena pusat menelan menghambat pusat pernafasan dalam medulla oblongata. Pada stadium oesofageal, gelombang peristaltik berjalan dalam waktu 5–10 detik. Tetapi pada orang yang berada dalam posisi berdiri, waktunya akan lebih cepat, yaitu 4–8 detik, karena pengaruh gravitasi2.

Mekanisme pertahanan selalu terkait dengan adanya pertahanan tubuh dari benda asing. Proses pertahanan yang paling sering dilakukan tubuh adalah respon inflamasi yang mengikutsertakan sel imun adapatif tubuh untuk bekerja. Tidak hanya itu tubuh juga memiliki cara-cara lain untuk membentuk mekanisme pertahanan saluran nafas atas. 

13

Page 14: Wrap Up 1 (Finished)

Peran hidung dalam pertahanan saluran pernafasan

Hidung merupakan penjaga utama dari udara yang masuk pertama kali. Dalam sehari, kita menghirup sekitar 10.000-20.000 liter udara. Fungsi hidung selain sebagai jalan masuk udara, menghangatkan udara, dan melembabkan udara, juga sebagai penyaring udara. Mekanisme pertahanan utama dari saluran napas adalah epitel permukaannya yang cukup istimewa yaitu epitel respiratorius atau epitel bertingkat (berlapis semu) silindris bersilia dan bersel goblet.

Epitel ini terdiri dari lima macam jenis sel yaitu: 1. Sel silindris bersilia: sel terbanyak (1 sel mengandung 300 silia). Silia ini terus bergerak utuk menangkap dna mengeluarkan partikel asing. 2. Sel goblet mukosa: bagian apikal mengandung droplet mukus yang terdiri dari glikoprotein.3. Sel sikat (brush cells): sel yang memiliki ujung saraf aferen pada permukaan basal (reseptor sensorik penciuman).4. Sel basal (pendek) 5. Sel granul kecil: mirip sel basal tetapi mempunyai banyak granul dengan bagian pusat yang padat.

Lamina propria dibawah dari epitel ini banyak mengandung pembuluh darah yang berguna untuk menghangatkan udara masuk serta dibantu dengan silia yang membersihkan udara dari partikel asing dan kelenjar serosa dan mukosa yang melembabkan udara masuk. Kombinasi hal ini memungkinkan tubuh untuk mendapatkan udara lembab, hangat serta bersih. 

Selain itu, epitel respiratorius dilapisi oleh 5-10 μm lapisan mukus gelatinosa (fase gel) yang mengambang pada suatu lapisan cair yang sedikit lebih tipis (fase sol). Lapisan gel/mukus dan cair/sol mengandung mekanisme pertahanan imunitas humoral dan seluler.

Lapisan gel terdiri atas albumin, glikoprotein, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Lapisan cair terdiri atas sekresi serosa, laktoferin, lisozim, inhibitor sekresi leukoprotease,

dan sekretorik IgA.Silia pada sel-sel epitel berdenyut secara sinkron, sehingga ujungnya dijumpai pada fase gel dan menyebabkannya bergerak ke arah mulut, membawa partikel dan debris seluler bersamanya (transpor mukosilier atau bersihan). Banyak faktor dapat mengganggu mekanisme tersebut, termasuk peningkatan viskositas atau ketebalan mukus, membuatnya lebih sulit untuk bergerak (misalnya peradangan, asma), perubahan pada fase sol yang menghambat gerakan silia atau mencegah perlekatan pada fase gel dan gangguan aktivitas silia (diskinesia silia). Transpor mukosilier ini menurun performanya akibat merokok, polutan, anestetik, dan infeksi serta pada fibrosis kistik dan sindrom silia imotil kongenital yang jarang terjadi. Transpor mukosilier yang berkurang menyebabkan infeksi respirasi rekuren yang secara progresif merusak paru, misalnya bronkiektasis. Pada keadaan tersebut dinding bronkus menebal, melebar, dan meradang, secara permanen.

14

Page 15: Wrap Up 1 (Finished)

Mukus (sekret kelenjar) dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar submukosa. Unsur utamanya adalah glikoprotein kaya karbohidrat yang disebut musin yang memberikan sifat seperti gel pada mukus. Fluiditas dan komposisi ionik fase sol dikontrol oleh sel-sel epitel. Mukus mengandung beberapa faktor yang dihasilkan oleh sel-sel epitel dan sel lain atau yang berasal dari sel plasma: antiprotease seperti α1-antitripsin yang menghambat aksi protease yang dilepaskan dari bakteri dan neutrofil yang mendegradasi protein, defisiensi α1-antitripsin merupakan predisposisi terjadinya gangguan elastin dan perkembangan emfisema. Protein surfaktan A, terlepas dari aksinya pada tegangan permukaan, memperkuat fagositosis dengan menyelubungi atau mengopsonisasi bakteri dan partikel-partikel lain. Lisozim disekresi dalam jumlah besar pada jalan napas dan memiliki sifat antijamur dan bakterisidal; bersama dengan protein antimikroba, laktoferin, peroksidase, dan defensin yang berasal dari neutrofil, enzim tersebut memberikan imunitas non spesifik pada saluran napas. 

Imunoglobulin sekretori (IgA) adalah imunoglobulin utama dalam sekresi jalan napas dan dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi partikel antigenik; IgA juga menahan perlekatan mikroba ke mukosa. IgA sekretori terdiri dari suatu dimer dua molekul IgA yang dihasilkan oleh sel-sel plasma (limfosit B teraktivasi) dan suatu komponen sekretori glikoprotein. Komponen tersebut dihasilkan pada permukaan basolateral sel-sel epitel, tempatnya mengikat dimer IgA. Kompleks IgA sekretori kemudian dipindahkan ke permukaan luminal sel epitel dan dilepaskan ke dalam cairan bronkial. Kompleks tersebut merupakan 10% protein total dalam cairan lavase bronkoalveolar.

Jaringan LimfoidStruktur jaringan limfoid membentuk sistem limfoid yang terdiri dari limfosit, sel epitelial, dan sel stromal. Terdapat dua organ limfoid yaitu primer dan sekunder. Organ limfoid primer merupakan tempat utama pembentukan limfosit (limfopoesis) yaitu timus dan sumsum tulang. Limfosit dewasa yang diproduksi organ limfoid primer akan bermigrasi menuju organ limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder merupakan tempat terjadinya interaksi antara limfosit dengan limfosit dan antara limfosit dengan antigen, dan diseminasi respons imun. Organ limfoid sekunder yaitu limpa dan jaringan limfoid pada mukosa seperti tonsil, BALT (bronchus-associated lymphoid tissue), GALT (gut-associated lymphoid tissue)/Peyer’s patch. Sirkulasi limfe akan berlanjut menuju duktus torasikus yang akan berhubungan dengan sistem pembuluh darah sehingga dapat mengirimkan berbagai unsur sistem limfoid.Di dalam jaringan limfoid mukosa (MALT) terdapat sel dendrit yang berasal dari sumsum tulang. Sel dendrit berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) dan mengirim sinyal aktivasi kepada limfosit T naive atau virgin untuk memulai respon imun, karena itu sel dendrit disebut juga imunostimulatory cells. Sel dendrit dapat mengekspresikan MHC-kelas II sendiri pada level yang tinggi serta MHC-kelas I dan reseptor komplemen tipe 3. Sinyal dari Th (CD4+) akan menginduksi limfosit untuk menghasilkan sitokin. Aktivasi limfosit B dibantu oleh sel Th2 (IL-2, IL-4, IL-5) serta membentuk diferensiasi sel B menjadi klon yang memproduksi antibodi berupa sekretorik IgA. MALT tidak ada di saluran napas bawah.

15

Page 16: Wrap Up 1 (Finished)

Sistem Khusus Traktus Respiratorius Atas

1. Refleks nasofaringo-bronkialRefleks ini mengurangi puncak aliran ekspirasi akibat alergen yang memasuki hidung. Baru-baru ini dilaporkan, sekitar 6 jam setelah refleks ini menyebabkan penurunan FEV1 dan forced vital capacity yang signifikan. Refleks ini biasa dikenal dengan refleks bersin. Mekanisme refleks bersin sama halnya dengan refleks batuk. Hanya saja, refleks ini terjadi pada kavitas nasal bukan pada saluran napas bawah. Mekanisme refleks sebagai berikut: bronkus dan trakea sedemikian sensitifnya terhadap sentuhan halus, sehingga benda asing dalam jumlah berapa pun atau penyebab iritasi lainnya akan menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina (tempat di mana trakea bercabang menjadi bronkus) adalah yang paling sensitif, dan bronkiolus terminalis dan bahkan alveoli bersifat sensitif terhadap rangsangan bahan kimia yang korosif seperti sulfur dioksida dan klorin. Impuls aferen yang berasal dari saluran napas terutama berjalan melalui nervus vagus ke medula. Di sana, suatu rangkaian peristiwa otomatis digerakkan oleh lintasan neuronal medula, menyebabkan efek sebagai berikut: pertama, kira-kira 2,5 liter udara diinspirasi. Kedua, epiglotis menutup; dan pita suara menutup erat-erat dan menjerat udara dalam paru. Ketiga, otot-otot perut berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma, sedangkan otot-otot ekspirasi lainnya, seperti interkostalis internus, juga berkontraksi dengan kuat. Keempat, pita suara dengan epiglotis terbuka lebar, sehingga udara bertekanan tinggi dalam paru meledak keluar. Kemudian, penekanan kuat pada paru yang menyebabkan bronkus dan trakea menjadi kolaps sehingga bagian yang tidak berkartilago ini berinvaginasi ke dalam, akibatnya udara yang meledak tersebut benar-benar mengalir melalui celah-celah bronkus dan trakea bersama partikel asing. Peristiwa ini terjadi sama persis dengan refleks batuk, namun ketika refleks bersin terjadi penekanan uvula, sehingga sejumlah besar udara dengan cepat melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing. 

2. Fungsi protektif hidung: menghangatkan dan melembabkan udara, menyaring partikel atau iritan, dan produksi nitrit oksida (NO). Hal ini ditujukan agar udara yang diinhalasi bisa mencapai saluran napas bawah dalam keadaan yang tidak membahayakan homeostasis. Panas dihasilkan dari banyak kapiler yang berada di subepitelial yang berpenestrasi menuju permukaan lumen serta membantu tranportasi air menuju interstisium. Melembabkan udara dimediasi oleh aktivasi sekitar 45.000 kelenjar seromukosa pada kavitas nasal dan sel goblet yang menghasilkan sejumlah air yang signifikan. Adanya “kolam” yang terisi oleh sejumlah besar volume darah yang berasal dari sinusoid vena yang terletak di subepitelial bisa membuat jaringan submukosa untuk menyerap udara dan menambah perluasan kontak dengan aliran udara. Mukus hidung dan mukosiliar merupakan komponen penting dalam pembersihan. Partikel dengan diameter aerodinamik 5-10 μm ditangkap dalam mukosa nasal. Gas yang larut dalam air akan dihilangkan total dari udara yang diinhalasi di saluran masuk hidung. Gas yang bersifat iritan dapat menstimulasi saraf sensorik hidung dan menginduksi sekresi yang membuat deposit yang lebih besar. NO dihasilkan dari saluran napas atas (terutama sinus paranasal) yang berperan protektif untuk cabang respiratorius. NO memiliki aktivitas antiviral dan bakteriostatik yang kuat, meningkatkan oksigenasi, menghasilkan efek bronkodilator, dan menjaga masuknya udara melalu saluran napas bawah.

16

Page 17: Wrap Up 1 (Finished)

3. Peran inflamasi pada nasal: sejumlah eosinofil di mukosa saluran napas bawah akan meningkat yang mengekspresikan molekul adesi setelah diinduksi oleh alergen hidung. 

4. Drainase material inflamatori. Saluran napas atas terdiri dari hidung, telinga, dan tenggorok. Salah satu struktur penunjang yang terletak di sistem ini adalah tuba eustachius yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah. Struktur ini berfungsi dalam menjaga tekanan atmosfer tetap seimbang. Kompleks osteomeatal (OMC) adalah daerah kavum nasalis antara meatus media dan inferior, tempat pertemuan drainase dari sinus frontal, etmoidalis (etmoidalis anterior), dan maksilaris. Terjadinya penurunan tekanan oksigen dalam kompleks ini juga bisa memicu rasa pusing. Seperti halnya saluran napas atas, OMC juga memiliki transpor silia.

Mekanisme pertahanan tubuh:1.SensitisasiRinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses sensitisasi

terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut.

2.Reaksi Alergi Fase CepatReaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan allergen

sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediatortersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.

3.Reaksi Alergi Fase LambatReaksi alergi fase lambat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan

oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) dimana molekul ini menyebabkan Sel leukosit seperti eosinofil menempel pada sel hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.

KlasifikasiBerdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifatberlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi: Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

17

Page 18: Wrap Up 1 (Finished)

Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas

LO.4. Memahami dan menjelaskan Rhinitis AlergikaA. EtiologiRinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik

memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %.Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari,dan lain-lain.

B. Etiologi

Karena adanya paparan dari alergen tertentu. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dan bulu binatang serta jamur.

2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.

3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan/tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit/jaringan mukosa, misalnya bahan komestik, perhiasan.

Berdasarkan sifat berlangsung1. Intermiten

o ≤ 4 hari/minggu, atauo ≤ 4 minggu

2. Persisteno > 4 hari/minggu, dano > 4 minggu

Derajat penyakit Ringan

o Tidur normalo Aktivitas sehari-hari saat olahraga dan santai normalo Bekerjan dan sekolah normalo Tidak ada keluhan yang mengganggu

18

Page 19: Wrap Up 1 (Finished)

Sedang-Berato Satu/lebih gejalao Tidak tergangguo Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai tergangguo Masalah dalam sekolah dan bekerjao Ada keluhan yang mengganggu

Berdasarkan waktu paparan alergena) Rinitis Seasonal (hay fever)

Alergen yang terdapat secara musiman, seperti serbuk sari Alergen bersifat eksternal atau berasal dari luar rumah

b) Rinitis Perrenial Misalnya alergi debu, kutu rumah, bulu binatang, jamur Umumnya menyebabkan gejala kronis yang lebih ringan Alergen umumnya diperoleh dari dalam rumah Tanpa tergantung musim

c) Rinitis Occupational Akibat paparan alergen di tempat kerja Paparan terhadap alergen dengan bobot molekul tingi, agen berbobot

molekul rendah/ zat-zat iritan, melalui mekanisme imunologi/ patogenik non imunologi yang tidak begitu diketahui.

C. PatofisiologiRinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah dip roses antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleuin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13.

IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang

19

Page 20: Wrap Up 1 (Finished)

sudah terbentuk (performed mediators) teutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai Sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6. GM-CSF(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan mendapatkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif/hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Derived Protein (EDP), Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

D.Manifestasi Klinik

Dr Jennifer Shu dari Children’s Medical Group mengungkapkan perbedaan ingus biasa dan ingus yang terinfeksi seperti dikutip dari CNN, Kamis (30/12/2010):

1. Jika ingus yang muncul akibat alergi, trauma (benturan), iritasi atau terpapar polusi udara, penggunaan obat semprot atau masalah anatomi hidung, maka tidak mengandung infeksi bakteri, virus atau mikroorganisme lainnya.

2. Ingus yang muncul tidak berwarna atau bening adalah bukan jenis ingus infeksi.

3. Jika lendir di hidung berwarna kuning, hijau atau cokelat, hal ini bisa menjadi tanda adanya infeksi di saluran pernapasan bagian atas.

4. Debit atau volume ingus yang keluar bisa menjadi tanda infeksi sinus yang disebabkan oleh bakteri. Kalau jumlahnya banyak dan sering itu pertanada ada infeksi.

5. Ingus yang mengandung bakteri biasanya disertai dengan sakit kepala, nyeri di bagian wajah terutama ketika sedang membungkuk, demam, bau mulut, tidak bisa mencium bau-bauan, gangguan telinga atau batuk yang terus menerus.

20

Page 21: Wrap Up 1 (Finished)

Gejala klinik rinitis alergi, yaitu : Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin. Rinore. Ingus yang keluar. Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan

gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak. Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi). Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah mata akibat

stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung. Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal. Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat

kebiasaan menggosok hidung.

D. Diagnosis dan DD Anamnesis

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis

Secara khas dimulai pada usia yg sangat muda dengan gejala kongesti hidung,bersin,air mata,gatal, keluhan yg sama seperti polip hidung ialah hidung tersumbat dan rinorea.bila terjadi pula sinusitis berupa gejala nyeri pada kepala,daerah tulang pipi.

Seringkali serangan rinitis alergi tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Rinoskopi anterior. Terlihat mukosa hidung edema, basah & berwarna pucat (livid), dan banyak sekret encer. Nasoendoskopi. Sitologi hidung. Kita dapat menemukan banyak eosinofil (menunjukkan alergi inhalan), basofil 5 sel/lap

(menunjukkan alergi ingestan), dan sel PMN (menunjukkan infeksi bakteri). Hitung eosinophil: Menggunakan darah tepi. Hasilnya bisa normal & meningkat.

Jenis tes diantaranya prist-paper radio immunosorbent test untuk memeriksa IgE total; radio immunosorbent test (RAST) & enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) test keduanya untuk memeriksa IgE spesifik.

Uji kulit: Untuk mencari alergen penyebab secara invivoJenisnya skin end-point tetration/SET (uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk alergi makanan (ingestan alergen) dan provocative neutralization test atau intracuteneus provocative food test (IPFT) untuk alergi makanan (ingestan alergen).

21

Page 22: Wrap Up 1 (Finished)

DDRinitis alergika harus dibedakan dengan :1. Rhinitis vasomotorik2. Rhinitis medikamentosa3. Rhinitis virus4. Rhinitis iritan ( Irritant Contact Rhinitis)

1. Rhinitis vasomotorik

Pasien-pasien dengan rhintis vasomotorik datang dengan gejala sumbatan hidung dan sekret nasal yang jernih.gejala-gejalanya sering berhubungan dengan temperatur ,makan,paparan terhadap bau dan zat-zat kimia atau konsumsi alkohol. Beberapa klinisi mengusulkan bahwa regulasi otonom yang abnormal dari fungsi hidung adalah penyebabnya.

pada rhinitis vasomotor tidak ditemukan adanya skin tes yang(+) dan tes alergen yang (+), sedangkan pada yang alergika murni mempunyai skin tes yang (+) dan laergen yang jelas.

Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia < 20 tahun,sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada usia > 20 tahun danpaling sering diderita oleh perempuan.  

2. Rinitis medikamentosa ( Drug induced rhinitis)

karena penggunaan tetes hidung dalam jangkalama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin, klorpromasin, dan fenotiasin yang lain.

3. RhinitisV irus

Rhinitis virus sangat umum terjadi dan sering berhubungan denganmanifestasi lain dari penyakit virus seperti sakit kepala, malaise, tubuh pegal, danbatuk. Sekret nasal yang dihasilkan pada rhinitis viral seringnya jernih atauberwarna putih dan bisa disertai dengan kongesti hidung dan bersin-bersin.

4. Rhinitis iritan (irritant contact rhinitis)

karena merokok, iritasi gas, bahan kimia, debu pabrik, bahan kimia pada makanan. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat,pemeriksaan alergi yang negatif.

Faktor yg berhubungan dengan diagnosis rinusitis

Mayor : Muka nyeri ,Rasa tersumbat, Secret purulen, Hiposmia, Demam

Minor :Sakit kepala, Demam, Lesu, Batuk, Sakit gigi, Telinga sakit, ,penuh, atau tertekan.

22

Page 23: Wrap Up 1 (Finished)

E. Pemeriksaan fisikRinusitis : Lakrimasi berlebihan,sclera, dan konjungtiva yg memerah,pembengkakankonka nasalis, skret encer keriput lateral pada Krista hidung. Polip hidung : sering terlihat di

bagian atas dinding hidung lateral, mengelilingi konka media, khasnya licin lunak dan mengkilap bewarna kebiruan. Pada sinusitis : terdapat nyeri tekan pada daerah sinus yg terkena.

Mukosa hidung yg alergi biasanya basah,pucat, dan bewarna pink serta konka tampak membengkak,bila terjadi infeksi sekret bias purulen atau bahkan kering sama sekali.

Pemeriksaan biasanya dimulai dengan inspeksi hidung luar. Inspeksi dan palpasi merupakan teknik penting yang paling sering dipakai pada pemeriksaan fisik. ada cara lain antara lain mendengarkan pernapasan dan bicara pasien yang dapat menunjuk kelainan di hidung.

- Inspeksi dan palpasi hidung luar- Pemeriksaan dengan pantulan cahaya- Pemeriksaan dengan sonde hidung- Inspeksi dengan kaca nasofaring tidak langsung- Inspeksi dengan nasofaringoskop- Pemeriksaan rongga postnasal dengan jari- Pemeriksaan biopsi

Pemeriksaan penunjangPemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).

Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).

F. Penatalaksanaan

a. Penghindaran alergen.Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah kontak

antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejala pun dapat dihindari. Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah

23

Page 24: Wrap Up 1 (Finished)

kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.

b. Pengobatan medikamentosaCara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi kinerja

molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparatfarmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitisalergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektifuntuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapitidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.

Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

c. Imunoterapi spesifikImunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih

menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20µ g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantauselama 20 menit setelah pemberian subkutan. Indikasi imunoterapi spesifik subkutan:

Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan

farmakoterapi Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi: Imunoterapi spesifik oral dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali

lebih besar daripada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan. Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi subkutan Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subkutan

24

Page 25: Wrap Up 1 (Finished)

Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.

d. Imunoterapi non-spesifikImunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti pengobatan

imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama- sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.

e. EdukasiPemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam

menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terjadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme imunopsikoneurologis.

f. OperatifTindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang sangat

selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

Bisa dilakukan pada polip hidung dan terutama sinusitis berkaitan dengan gagalnya terapi obat dan injeksi allergen, tindakan ini memungkinkan drainase dan ventilasi hidung dan sinus yg memadai.

G. PrognosisAda kesan klinis bahwa gejala rhinitis alergika dapat berkurang dengan bertambahnya usia.

Sementara penderita polip hidung akan tetap mengalami kekambuhan meskipun telah mendapat terapi bedah maupun obat.

H. Komplikasi

Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.

Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. Sinusitis paranasal. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya pada

anak-anak. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma

bronkial.

LO.5. Memahami dan menjelaskan Farmakoterapi simptomatis pada infeksi salauran nafas atas

25

Page 26: Wrap Up 1 (Finished)

a. Antihistamin (AH-1)

Farmakodinamik

AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas/keadaan yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan

Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat hisatmin, dapat di hambat dengan efektif oleh AH1.

AH1 dapat menhambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin

Farmakokinetik

Setelah pemberian oral atau parental, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya maksimal timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2jam.

Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah.

Tempat utama Biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal.

AH1 diekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

Indikasi

AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.

Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi alergen-antibodi terjadi. AH1 dapat juga menghilangkan bersin,rinore, dan gatal pada mata,hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever.

Mabuk perjalan dan keadaan lain. AH1 efektif untuk dua pertiga kasus vertigo,mual dan muntah. AH1 efektif sebagai antimuntah, pascabedah, mual dan muntah waktu hamil dan setelah radiasi. AH1 juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit Meniere dan gangguan Vestibular lain.

Efek samping

Efek yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan pasien yang di rawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur.

Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomia, dan tremor.

Efek samping yang paling sering juga di temukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi, atau diare; efek ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.

Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan

26

Page 27: Wrap Up 1 (Finished)

b. Nasal dekongestan

α agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada pasien rinitis alergika atau rinitis vasomotor dan pada pasien ispa dengan rinitis akut. Obat ini menyebabkan venokontriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor α1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.

Pengobatan dengan dekongestan nasal dapat menyebabkan hilangnya efektivitas rebound hiperimia dan memburuknya gejala pda pemberian kronik atau bila obat dhentikan.

Dalam praktek, dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni efedrin, fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam betuk tetes hidung maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin. Dekongestan topikal terutama berguna untuk rinitis akut karena tempat kerjanya yang lebih selektif. Penggunaan dekongestan jenis ini hanya sedikit atau sama sekali tidak diabsorbsi secara sistemik. Penggunaan secara topikal lebih cepat dalam mengatasi penyumbatan hidung dibandingkan dengan penggunaan sistemik.

27

Page 28: Wrap Up 1 (Finished)

Indikasinya per oral atau secara topikal. Eferdin oral sering menimbulkan efek sntral. Pseudoeferdrin

Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasa terbakar, bersin, dan kering pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan obat ini memerlukan konseling bagi pasien.

Fenilpropanolamin obat ini harus digunakan secara hati2 pada pasien hipertensi dan pria dengan hipertrofi prostat .

Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang, terutama karena memepunyai efek samping stimulan SSP sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan kepada penderita hipertensi, penyakit jantung, koroner, hipertiroid, dan hipertropi prostat. Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antihistamin atau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang dijual sebagai obat bebas.

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala buntu hidung yang berat.

Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling sering mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung dari respon pengobatan.

Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat antiinflamasi yang tinggi, namun juga mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistematik. Berbagai produk kortikosteroid intranasal dipasarkan dengan menggunakan berbagai karakteristik.

Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal digunakan obat yang mempunyai efek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah. Kepraktisan dalam pemakaian serta rasa bau obat akan mempengaruhi kepatuhan penderita dalam menggunakan obat jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai daripada dua kali sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan.

Beberapa kortikosteroid intranasal yang banyak digunakan adalah beklometason, flutikason, mometason, dan triamisolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan keamanan yang tidak berbeda. Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium kromolin, dan ipatropium bromida.

Mekanisme kerja

Bekerja mempengaruhi kecepatan sintesis protein, molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif, mensintesis protein yg sifatnya menghambat atau toksik

28

Page 29: Wrap Up 1 (Finished)

terhadap sel limfoid.mempengaruhi metabolisme karbohidrat,protein,dan lemak,dan sebagai antiinflamasi kuat.

Pemberian glucocorticoid (eg, prednisone, dexamethasone) mengurangi ukuran dan isi lymphoid dari limfonodi dan limpa, tdk memiliki efek toksik pada mieloid yg sdg berproliferasi atau stem sel erythroid dalam sumsum tulang.

Glucocorticoid menghambat produksi mediator inflamasi, termasuk PAF, leukotrien, prostaglandin, histamin, dan bradikinin

Toksisitas berat dpt tjd pd penggunaan glukokortikoid dosis tinggi, jangka panjang

d. Antagonis Leukotrien

29

Page 30: Wrap Up 1 (Finished)

Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang disebut eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi berbagi tipe sel oleh lipooksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakhidonat sendiri merupakan substrat dari siklooksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostglandin dan tromboksan. Dengan kata lain, leukotrien juga merupakan mediator yang penting dalam terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi.

Dewasa ini telah berkembang obat antileukotrien yang dinilai cukup besar manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien yakni inhibitor sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat satu inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1 dan CYsLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA.

Pada dasarnya antileukotrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesis leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah dilaporkan penggunaannya yakni dua nataginis reseptor (zafirlukast dan montelukast), serta satu inhibitor lipooksigenase (zileuton). Laporan hasil penggunaan obat tersebut pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak diketahui.

Penanganan Rhinitis alergi yang terakhir adalah dengan imunoterapi. Terapi ini disebut juga sebagai terapi desensitisasi. Imunoterapi merupakan proses yang panjang dan bertahap dengan cara menginjeksikan antigen dengan dosis yang ditingkatkan. Imunoterapi memiliki biaya yang mahal serta risiko yang besar, serta memerlukan komitmen yang besar dari pasien.

LO.6. Memahami anatomi pernafasan menurut Agama islam

Dalam buku Al-I’jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah dijelaskan, ilmu kontemporer menetapkan setelah melalui eksperimen panjang, ternyata orang yang selalu berwudhu mayoritas hidung mereka lebih bersih, tidak terdapat berbagai mikroba.

istinsyâq (memasukkan dan mengeluarkan air ke/dari hidung)

Dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa Rasulullah senantiasa melakukan istinsyâq sebanyak tiga kali setiap berwudhu, dan beliau juga menekankan untuk melakukan istinsyâq pada setiap wudhu. "Hendaknya menghirup air ke hidung kemudian mengeluarkannya kembali." (HR. al-Bukhari dan Muslim) . Bahwa istinsyâq adalah cara yang terbaik untuk membersihkan bagian dalam hidung. Karena setelah beberapa jam dari waktu kita membersihkan hidung, kotoran dan kuman akan kembali lagi mengisi rongga hidung kita sehingga kita harus terus menerus mengulangi permbersihan hidung. Dan ternyata waktu yang tepat untuk membersihkan hidung kita kembali tersebut sangat cocok dengan pengaturan waktu pelaksanaan shalat lima waktu.

30

Page 31: Wrap Up 1 (Finished)

Daftar Pustaka:

1. Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid !. Jakarta: EGC

2. Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, Sp.And. , dr. Hendra Utama, Sp.FK. 2003. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru

3. Junqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas edisi 10. Jakarta: EGC

4. Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood, ed.2, EGC, 2001

5. Anatomi dan Fisiologi Manusia, Setiadi, Graha Ilmu, ed.1, 2007

6. Davey, Patrick (2003). “At a glance medicine” . Jakarta : Erlangga : 177

7. Boies, Lawrence R and Adams, George L and Higler, Peter A. (1997) “Buku ajar penyakit THT BOIES”. Edisi 6. Jakarta : EGC : 358-360

8. Diambil dari http://www.medicinenet.com/upper_respiratory_infection/article.htm oleh Siamak Nabili, MD, MPH dan William C. Shiel, Jr., MD, FACP, FACR

9. Iskandar, Nurbaiti, dll. 1990. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Ed.5. Jakarta: FKUI

31