makalah kwn

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada 1997 mendorong keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana telah di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 sebagai sebuatan bagi pemerintah Provinsi/kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah. Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat. Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui diberlakukannya UU No 22 1

Upload: alfino

Post on 18-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

makalah kwn

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada 1997 mendorong keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana telah di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 sebagai sebuatan bagi pemerintah Provinsi/kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah.

Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.

Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 serta regulasi pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No 104 sampai dengan Peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000 yang berlaku efektif 1 Januari 2001.

Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka telah terjadi perubahan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan tata pemerintahan yang telah dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan dari prinsip sentralisasi ke prinsip desentralisasi yang mana pada waktu segala kebijakan adalah keputusan dari pusat, dengan adanya otonomi daerah maka daerah otonom mempunyai kewenangan dan dapat mengambil keputusan terkait kepentingan daerah serta mengembangkan segala potensi yang ada untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.

Salah satu contoh pengembangan potensi daerah yang bisa meningkatkan kemakmuran rakyat adalah pengembangan di bidang pariwisata. Pengembangan pariwisata di berbagai daerah yang telah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri (di era otonomi daerah) tentunya akan mengalami perbedaan dengan pengembangan pariwisata daerah ketika daerah-daerah tersebut masih di atur oleh pemerintah pusat (di era sebelum otonomi daerah). Dengan menganalisis dan memahami perbandingan antara pengembangan pariwisata di era otonomi daerah dengan pengembangan pariwisata sebelum otonomi daerah, akan dapat diketahui bagaimana dampak dan pengaruh adanya otonomi daerah terhadap sistem pemerintahan dan pengembangan potensi daerah.

1.2 PermasalahanMasalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Apa pengertian otonomi daerah ?1.2.2 Bagaimana sistem otonomi daerah diberlakukan dalam pengembangan pariwisata ?1.2.3 Bagaimana perkembangan pariwisata di era otonomi daerah ?

1.2.4 Bagaimana perkembangan pariwisata bali sebelum dan sesudah era otonomi

daerah?1.2.5 Apakah keuntungan dan kelemahan adanya otonomi daerah terhadap perkembangan pariwisata?1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :1. Untuk mengetahui pengertian tentang otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui bagaimana sistem otonomi daerah diberlakukan dalam pengembangan pariwisata.

3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pariwisata di era otonomi

daerah.4. Untuk mengetahui perkembangan pariwisata bali sebelum dan sesudah era otonomi daerah.5. Untuk mengetahui bagaimana dampak dan pengaruh sistem otonomi daerah terhadap perkembangan pariwisata.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Otonomi Daerah2.1.1Pengertian Otonomi Daerah

Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah yaitu : Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu Tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.2.1.2

Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan Otonomi Daerah Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.2.1.3

Prinsip Otonomi DaerahPrinsip Otonomi Daerah Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah :

1. penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

3. pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas.

4. Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.

7. Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.

2.2 Pariwisata

2.2.1Manfaat Pariwisata

Pariwisata sangat berperan dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai penghasil devisa, meratakan dan meningkatkan kesempatan kerja serta pendapatan masyarakat. Pajak pembangunan yang diperoleh dari sektor kepariwisataan telah terbukti menjadi tumpuan utama dalam pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini mendorong untuk membuka kawasan pariwisata agar dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Dengan demikian jelas bahwa pariwisata mempunyai keterkaitan dengan pembangunan sektor lain. Mengingat pembangunan pada hakekatnya adalah pemanfaatan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan, maka pembangunan pariwisata merupakan salah satu usaha untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Membangun sektor pariwisata perlu dilakukan melalui pentahapan menurut suatu kerangka waktu tertentu. Pembangunan objek wisata dan sarana objek wisata baru bagi daerah kabupaten/kota sangat penting, lebih-lebih bagi daerah yang masih miskin akan objek wisata maupun sarana objek wisata. Memang pengembangan objek wisata dan sarana baru memerlukan dana yang cukup besar dan merupakan investasi jangka panjang yang tidak dapat memasukan pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar dalam waktu yang singkat. Namum perlu diingat bahwa fungsi objek wisata dan sarana pariwisata sangat besar dan kompleks bagi suatu daerah kabupaten/kota, antara lain :

Memberi pelayanan ruang publik untuk bereaksi, hiburan maupun olahraga santai. Memberi peluang lapangan kerja dan kesempatan berusaha disektor pariwisata bagi masyarakat di sekitar objek diberbagai sektor antara lain dagang, angkutan , hiburan, jasa,telekomunikasi dan sebagainya. Sebagai tempat pengembangan pendidikan dan pengetahuan atau penelitian, out bound dan sebagainya. Memupuk keteladanan rasa cinta tanah air dan kebanggaan daerah. Sebagai tempat pembinaan dan pengembangan seni budaya daerah lewat lomba atau pentas seni. Sebagai usaha menambah aset daerah yang sangat berharga untuk investasi jangka panjang sebagai sumber PAD dalam rangka otonomi daerah. Sebagai sumber PAD yang semakin tahun semakin meningkat. Sebagai sumber pendapatan pajak sektor pariwisata yang menjanjikan antara lain pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan sebagianya.

2.2.2Sistem Otonomi Daerah Diberlakukan dalam Pengembangan Pariwisata

Otonomi daerah sudah diberlakukan tanggal 1 Januari 2001. Bagi jajaran pariwisata, perencanaan otonomi daerah mempunyai arti bahwa pemerintah pusat (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata) hanya akan bertindak sebagai fasilitator saja, tugas Departemen hanya sebatas menjual image, sedangkan yang menjual produk industri pariwisata adalah Daerah Tingkat II.

Dengan diberlakukannya kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana sistem Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota adalah merupakan Daerah Otonom berdasarkan azas desentralisasi. Dalam ketentuan umum Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, maka Daerah Tingkat II memilki kewenangan, bukan saja dalam perencanaan pengembangan pariwisata, tetapi juga dalam perencanaan pemasaran dan promosi yang selama ini dilakukan pemerintah pusat. BAB III

PEMBAHASAN3.1 Pengembangan Pariwisata Di Era Otonomi Daerah3.1.1Analisis Pengembangan Pariwisata Indonesia Di Era Otonomi Daerah

Pembangunan ekonomi lebih diorientasikan pada kawasan Indonesia bagian barat. Hal ini terlihat lebih berkembangnya pembangunan sarana dan prasarana di kawasan barat Indonesia, dibandingkan di kawasan timur Indonesia. Juga terlihat dari pembangunan di sektor pariwisata, dimana kawasan Jawa-Bali menjadi kawasan konsentrasi utama pembangunan kepariwisataan. Sementara dilihat dari kecenderungan perubahan pasar global, yang lebih mengutamakan sumber daya alami sebagai destinasi wisata, maka potensi sumber daya alam di kawasan timur Indonesia lebih besar di bandingkan kawasan barat. Kualitas sumber daya alam yang dapat dijadikan daya tarik wisata unggulan di kawasan timur Indonesia, jauh lebih baik dan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Namun tidak secara otomatis kawasan timur Indonesia dapat dikembangkan menjadi kawasan unggulan, karena adanya beberapa masalah mendasar, seperti kelemahan infrastruktur, sumber daya manusia, dan sebagainya.

Beberapa dampak yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan pembangunan di sektor pariwisata adalah:

Pembangunan pariwisata yang tidak merata Indonesia hanya bertumpu pada satu pintu gerbang utama, yaitu Bali

Lemahnya perencanaan pariwisata di kawasan timur Indonesia Kurang termanfaatkannya potensi pariwisata di kawasan timur secara optimal

Rendahnya fasilitas penunjang pariwisata yang terbangun

Terbatasnya sarana transportasi, termasuk hubungan jalur transportasi

Dampak yang ditimbulkan akibat ketidakseimbangan pembangunan tersebut, sangat terasa pada saat Indonesia mengalami tragedi kemanusian di Bali dan Jawa tahun 2002 - 2005. Tragedi ini memberikan pelajaran yang sangat mahal bagi Indonesia, dimana pendekatan pembangunan pariwisata yang berorientasi pada pasar mancanegara saja, tidak mampu menopang kepariwisataan Indonesia. Kedua, pembangunan pariwisata yang bertumpu dan berfokus hanya pada satu pintu gerbang utama membuktikan banyak kelemahan. Ketidakseimbangan pembangunan juga berdampak langsung pada ketidakseimbangan investasi yang ada. Investasi pariwisata di kawasan timur Indonesia, terlihat menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan kawasan barat, karena sarana penunjang bisnis pariwisata skala nasional dan internasional telah tersedia, seperti pelabuhan laut, pelabuhan udara dan lain sebagainya. Selain pembangunan fasilitas yang tidak seimbang, lemahnya investasi pariwisata di daerah, juga akibat dari lemahnya kebijakan pemerintah daerah di bidang pariwisata. Tidak dapat dipungkiri pula rentannya keamanan di daerah-daerah timur Indonesia, seperti Kabupaten Poso, di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, juga memberikan dampak pada rendahnya investasi pariwisata di kawasan Timur. Ketidakseimbangan pembangunan yang berdampak pada tidak meratanya pembangunan sektor pariwisata di Indonesia, harus dibenahi melalui penciptaan program-program pemerintah yang mendorong dan memfasilitasi terciptanya produk dan usaha pariwisata lebih besar dikawasan Indonesia timur. Sebaiknya pula pemerintah pusat dan daerah harus mampu mendorong dan mendukung program jangka panjang berupa pengembangan pintu gerbang utama lainnya bagi pariwisata Indonesia.

3.1.2Penyebab Tidak Meratanya Pengembangan Pariwisata Di Indonesia

Ada empat isu strategis baik dilihat dari segi ekonomi, sosial dan politik serta keamanan pengunjung yang menyebabkan tidak meratanya pengembanagn pariwisata Indonesia di era otonomi daerah, yaitu:

a) Isu strategis pertama dalam masa penerapan otonomi daerah di sektor pariwisataa dalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: lemahnya pemahaman tentang pariwisata

lemahnya kebijakan pariwisata daerah tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsiAkibatnya pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten/kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. b) Isu kedua terkait dengan kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada daerah tujuan wisata utama tertentu saja, walaupun daerah-daerah lain diyakini memiliki keragaman potensi kepariwisataan. Selain itu kekhasan dan keunikan atraksi dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi suatu daya tarik bagi kedatangan wisatawan mancanegara, karena produk yang ditawarkan tidak dikemas dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh negara-negara pesaing.c) Isu ketiga berhubungan dengan situasi dan kondisi daerah yang berbeda baik dari potensi wisata alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, kependudukan dan lain sebagainya yang menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi cara atau metode, prioritas, maupun penyiapannya. d) Isu keempat dapat dilihat dari banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial di Indonesia apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang dimilikinya. Namun sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan daerah- daerah tujuan wisata baik di kawasan regional maupun internasional. Hal tersebut semata-mata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, interpretasi imagebudaya atau alam yang belum memadai, atau karena belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik untuk datang mengunjungi dan lain sebagainya.

Kekuatan, kelemahan dan peluang pembangunan kepariwisataan Indonesia seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :KekuatanKelemahanPeluang

*kekayaan budaya

*kekayaan daya tarik

wisata alam

*keragaman aktivitas

wisata

*kehidupan masyarakat

yang khas*pengemasan daya tarik wisata

*lemahnya pengolahan

pariwisata

*kualitas pelayanan wisata

*interpretasi,promosi dan

komunikasi pemasaran

*kualitas SDM

*kondisi keamanan*keramahtamahan

penduduk

*kemajemukan

masyarakat

*jumlah penduduk yang

dapat berperan dalam

pariwisata

3.2 Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengembangan Pariwisata

3.2.1Dampak PositifDampak positif yang langsung diperoleh pemerintah daerah atas pengembangan pariwisata tersebut yakni berupa pajak daerah maupun retribusi daerah. Sektor pariwisata memberikan kontribusi kepada daerah melalui pajak daerah, retribusi daerah, serta pendapatan lain-lain yang sah berupa pemberian hak atas tanah pemerintah. Dari pajak daerah sendiri, sektor pariwisata memberikan kontribusi berupa pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan serta pajak reklame. Sedangkan dari retribusi daerah, sektor pariwisata telah memberikan kontribusi berupa pajak tempat rekreasi.Selain itu pelaksanaan otonomi juga diyakini akan mendorong daerah untuk lebih bersikap mandiri karena memiliki kewenangan penuh untuk mengurus dan mengontrol daerahnya sendiri. Kemandirian tersebut, bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi lebih balk, termasuk pengelolaan pariwisata daerah yang lebih profesional dan mengena. Beberapa hal yang mendukung bagi pembangunan di daerah secara umum antara lain:

1. Terciptanya pemerintahan yang baik (Good Governance) yang bebas dari KKN, sebab UU ini membuat sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kepala daerah. Bagi dunia pariwisata, adanya good governance ini akan dapat menggairahkan pelaku bisnis pariwisata untuk makin profesional dan berkembang.

2. Kemandirian daerah. UU ini memberikan kewenangan yang luas di satu sisi dan rnemaju kinerja aparat pemerintah daerah untuk memberdayakan daerahnya. Dengan adanya otonomi, maka otomatis daerah akan lebih kreatif dalam menggali penerimaan daerahnya. Dampaknya terhadap pariwisata adalah adanya kesungguhan dalam menggaii dan melestarikan objek-objek wisata, karena objek itu menjadi sumber pendapatanim penting bagi daerah. Kemandirian ini juga diharapkan akan memacu kemandirian dalam bidang promosi wisata.3. Persaingan yang sehat antar pelaku bisnis. UU ini mendorong setiap pelaku bisnis untuk tumbuh dan bersaing secara sehat, sebabnya adalah adanya upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan profesional. Persaingan yang sehat ini akan melahirkan daya cipta bisnis pariwisata yang potensial, baik sebagai upaya memperbesar lapangan kerja maupun menambah pemasukan daerah melalui pajak dan lainnya.

4. Bagi masyarakat, UU ini selain menjamin penyederhanaan birokrasi, membuka lapangan kerja yang lebih luas, juga menumbuhkan kreatifitas dalam berusaha maupun bekerja sesuai dengan jenis pekerjaaan mereka.

5. Perizinan. Adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah tennasuk masalah perizinan akan memacu inndustri pariwisata berkembang dengann dinamis karena selama ini izin selain harus ke Jakarta, juga menghadapi berbagai kesulitan dalam perolehannya.

6. Untuk mendorong pemberdayaan daerah, pemerintah memberikan intensif fiskal dan nonfiskal tertentu yang ketentuannya diatur dalam PP. Hal ini tentu sangat membantu bagi dunia pariwisata.

Adanya kewenangan daerah kabupaten dan Daerah Kota sebagaimaan dimaksud pasal 11 berlaku juga di kawasan otoritas yang terletak di daerah otonom yang meliputi badan otorita, kawasan pelabuhann, kawasan bandar udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan jalan bebas hambatan, dan kawasan lain yang sejenis, akan memberikan kemudahan komunikasi, perizinan dan pelayanan kepada pihak industri, masyarakat, maupun para wisatawan.

3.2.2Dampak NegatifSejak awal hadirnya UU ini telah banyak mendapat sorotan, yakni terutama terhadap munculnya arogansi daerah. Arogansi ini diakibatkan herhagai keunggulan yang dilniliki suatu daerah jika dibandingkan daerah lain. Ada yang meyebut UU ini akan membuat makin melebarnya jurang kesenjangan antar daerah yang selama ini menjadi masalah penting bagi Indonesia. Artinya daerah yang kaya akan semakin kaya sedang daerah yang miskin akan bertambah miskin.Narnun begitu, ancaman yang paling serius adalah munculnya paradigma sektoral yang menggilas peran lintas sektoral pariwisata. Tema Indonesia akan makin mengendur ditelah tema-tema kedaerahan, yang selanjutnya berpengaruh besar terhadap pembangunan faktor pendukung pariwisata seperti aksesibilitas, amenitas, atraksi maupun promosi. Padahal, kita semua menyadari bahwa lintas sektoral dan tema keindonesiaan merupakan 'inti' dari pariwisata Indonesia masa kini dan masa datang. Narnun begitu, ada satu siasat untuk mengantisipasi ini yaitu kita harus berpikir Indonesia dan bertindak lokal (daerah). Jadi keetika UU ini diterapkan, setiap pernda maupun industri pariwisata harus memiliki konsep ini. Berpikir Indonesia berarti tidak menutup diri bagi kebijakan pariwisata secara nasional untuk kepentingan kemajuan daerah.

Selain itu, muncul pula kekuatiran lain, bahwa otonomi daerah justru akan menyebabkan sentimen kedaerahan akan makin kuat. Boleh jadi akan tercipta kelompok-kelompok monokultur berdasarkan SARA di berbagai daerah. Misalnya di Aceh yang kebetulan adalah mayoritas Muslim, maka dari Gubemur hingga kepala desa, dari pengusaha hingga karyawan biasa, pasti akan Muslim. Demikian juga di daerah Timur Indonesia misalnya, karena mayoritas Kristen akan terjadi pemblokan kekuatan yang hanya didasarkan kepada agama Kristen semata.

Akibatnya adalah cita-cita kehidupan pluralisme sebagai bangsa Indonesia justru akan terganggu. Bahkan lebih jauh dapat membuka peluang bagi berulangnya friksi yang berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan.

Dalam kaitannya dengan dunia pariwisata, kemungkinan seperti ini, tentu saja akan menyulitkan dunia pariwisata kita yang terkenal sangat mengandalkan heterogenitas dalam pelaksanaannya. Bahkan dari segi pertumbuhan usaha, keadilan berusaha dalam bidang wisata ancaman demikian ini memang meragukan, sebab pada dasarnya setiap pernda justru akan membuka din bagi industri apapun, agar daerah dapat berkembang. Hal itu akan dipacu dengan pemberian insentif seperti keringanan pajak dan lainnya. Kalau ada pernda yang nekad rnelakukan 'pemaksaann' pengenaan pajak yang dinilai kelewatan pasti para investor maupun pengusaha akan berpikir panjang untuk menanarnkan investasianya.BAB IVPENUTUP

3.1 KESIMPULAN3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA

UU RI. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah.Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik. Yogyakarta: ANDI.

1