makalah krisis energi
DESCRIPTION
pemaparan tentang krisis energi yang berlangsungTRANSCRIPT
KRISIS ENERGI DAN KRISIS PANGAN
KELAS MPKT
KELOMPOK 04
Abdul Azis, 0806455553
Agastya Sesarianda, 0806
Agung Marssada, 080633976
Aisha Iadha, 0806458725
Alex Justian, 0806458212
Andreas Riardi, 0806458725
Aziz Priambodo, 0806340006
Makalah Akhir bagi
Krisis Energi dan Pangan
untuk Mata Kuliah
Pendidikan Dasar Perguruan Tinggi
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2008
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Abstrak iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan masalah 2
1.3 Metode analisis 2
1.4 Sistematik Penulisan 2
BAB II ISI 3
2.1 Definisi 3
2.2 Sejarah Kondisi Energi Indonesia 3
2.2.1 Perkembangan Industri Pertambangan pada Masa Kolonial 3
2.2.2 Zaman Revolusi Fisik 6
2.2.3 Zaman Orde Lama 7
2.2.4 Zaman Orde Baru 9
2.2.5 Zaman Reformasi 10
2.3 Akar Masalah 12
2.3.1 Krisis Energi 12
2.3.1.1 Naiknya harga minyak dunia 13
2.3.1.2 Ulah para spekulan yang memanipulasi pasar 13
2.3.2 Krisis Pangan 14
2.3.2.1 Kebijakan Pemerintah 14
2.3.2.2 Tak seimbangnya Supply and Demand 16
2.4 Analisis Hubungan Krisis Energi dengan Energi Pangan 16
2.5 Solusi Krisis Energi dengan Energi Pangan 17
2.5.1 Solusi bagi Krisis Energi 17
2.5.2 Solusi bagi Krisis Pangan 21
BAB III Kesimpulan dan Usulan 23
3.1 Kesimpulan 23
3.2 Usulan 24
DAFTAR PUSTAKA 25
ABSTRAK
Krisis energi dan pangan yang terjadi akhir-akhir ini rupanya telah terjadi sejak
zaman penjajahan belanda dan jepang dimana para penjajah mengambil semua sumber-
sumber energi dan pangan yang ada untuk kebutuhan militernya sedangkan rakyat
menderita kekurangan pangan dan energi. Hingga akhirnya Indonesia merdeka, zaman
perang kemerdekaan, zaman orde lama, zaman orde baru, banyak terjadi kasus krisis
energi dan pangan yang harus ditangani pemerintah. Hal itu berlanjut sampai era
reformasi dimana kelangkaan BBM dan krisis gizi terjadi. Permasalahan ini akan
berlanjut dan berdampak bagi masa depan, bagi generasi penerus bangsa jika tidak
segera ditangani secara serius.
Kata kunci : krisis energi, krisis pangan,
BAB 1
PENDAHULUAN
Beberapa dasawarsa ini, kebutuhan manusia akan energi dan sumber pangan
semakin meningkat karena peningkatan jumlah populasi manusia di dunia ini. Energi
banyak digunakan manusia untuk berbagai keperluan seperti kebutuhan rumah tangga,
untuk proses produksi dalam pabrik, untuk keperluan penerangan dsb. Energi
merupakan kebutuhan manusia yang memegan peranan yang penting. Banyak cara-cara
yang telah dilakukan manusia untuk mencari sumbe-sumber energi yang baru untuk
menggantikan sumber energi yang lama. Dengan kemajuan teknologi manusia,
diciptakanlah sumber-sumber energi alternatif untuk menanggulangi masalah-masalah
kebutuhan energi.
Energi yang diperlukan manusia untuk menjalankan aktifitas sehari-hari seperti
mencuci pakaian, berjalan, berlari, beraktivitas produktif, dll, berasal dari makanan atau
sumber pangan. Jumlah manusia yang selalu meningkat menyebabkan meningkat pula
kebutuhan akan konsumsi pangan.
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan manusia yang tidak terbatas akan sumber daya energi dan pangan
menyebabkan manusia mengekplor sumber-sumber energi sebanyak-banyaknya untuk
kepentingan pribadinya. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya ketersediaan
sumber energi yang ada. Jika ini berlanjut maka kemungkinan ketersediaan energi
tersebut lama-kelamaan akan habis dan akan terjadi yang disebut krisis energi.
Manusia dengan penemuan-penemuan teknologinya berusaha memecahkan
persoalan krisis energi. Sebagai contoh, dengan kelangkaan minyak bumi sekarang
ini, manusia telah menemukan sumber energi baru yaitu dengan penggunaan batu
bara, penggunaan minyak bio atau minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Masalah krisis energi ini sering menimbulkan berbagai dampak di bidang lain
seperti, bidang pangan. Jumlah populasi manusia yang semakin meningkat mengikuti
deret ukur sedangkan jumlah pangan yang mengikuti deret hitung menyebabkan
sumber pangan menjadi sumber langka atau disebut krisis pangan. Krisis energi dan
pangan merupakan permasalahan manusia yang paling utama yang harus dipecahkan
bersama.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah yang akan diutarakan dalam penulisan ini yaitu,
1. keadaan sumber energi dan pangan pada zaman penjajahan zaman kolonial .
2. keadaan sumber energi dan pangan pada zaman kemerdekaan pada era orde
lama dan orde baru.
3. keadaan sumber energi dan pangan pada zaman reformasi hingga masa yang
akan datang.
1.3 Metode Analisis
Adapun penulisan makalah ini menggunakan metode atau teknik bertanya, yaitu
dengan mengumpulkan pertanyaan sebanyak-banyaknya untuk memperoleh informasi
tentang krisis energi dan pangan.
1.4 Sistematik Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan langkah-langkah
1. membuat pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan topik masalah
2. mencari data dan mengolah data
3. menganalisis masalah melalui data-data yang diperoleh
4. membuat kesimpulan
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Krisis energi adalah kekurangan (atau peningkatan harga) dalam persediaan sumber
daya energi ke ekonomi. Krisis ini biasanya menunjuk ke kekurangan minyak bumi, listrik, atau
sumber daya alam lainnya. Krisis ini memiliki akibat pada ekonomi, dengan banyak resesi
disebabkan oleh krisis energi dalam beberapa bentuk. Terutama, kenaikan biaya produksi listrik,
yang menyebabkan naiknya biaya produksi. Bagi para konsumen, harga BBM untuk mobil dan
kendaraan lainnya meningkat, menyebabkan pengurangan keyakinan dan pengeluaran
konsumen.
Sedangkan krisis pangan adalah langkanya barang pangan yang ada di masyarakat
dikarenakan harga pangan yang naik ataupun terganggunya distribusi bahan pangan tersebut.
Barang pangan tersebut berupa bahan makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum dan
kedelai. Krisis pangan ini sangat menyusahkan rakyat, terutama warga miskin. Barang pangan
yang mahal juga tambah dipersulit dengan harganya yang sangat mahal.
2.2 Sejarah Kondisi Energi Indonesia
2.2.1 Perkembangan Industri Pertambangan pada Masa Kolonial
Kedudukan minyak bumi, dalam kesetimbangan energi dunia serta ketidakmerataan
distribusi sumber-sumbernya, sebagai suatu jenis komoditi yang strategis secara ekonomi dan
politik (mengalahkan batubara) dimulai pada penghujung abad 19. Melihat sejarahnya,
Indonesia (Hindia Belanda) adalah salah satu pusat produksi minyak yang tertua di dunia.
Pengeboran minyak secara komersial pertama kali di Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan
dengan konteks kemenangan sayap liberal di parlemen Belanda. Pencarian minyak secara
komersial di Hindia Belanda dilakukan pertama kali oleh Jan Reerink pada tahun 1871 di
Cibodas Jawa Barat- yang langsung ditinggalkan setelah diketahui tidak berprospek karena
sedikitnya yield. Baru pada tahun 1883 Aelko Zijlker menemukan ladang minyak di Langkat
Sumatera Utara yang setelah diteliti : sangat memungkinkan untuk dikomersilkan. Melalui
struktur kepenguasaan feodal yang disuburkan oleh kaum kolonial, Sultan Langkat, penguasa
daerah tersebut dipaksa secara halus untuk menyerahkan konsesi pengelolaan lahan tersebut
kepada Royal Dutch selaku perwakilan awal kapitalis minyak Belanda. Melihat bayangan pundi
emasâ, maka berbondong-bondonglah perusahaan-perusahaan minyak asing datang ke Hindia
Belanda.
Kedatangan mereka tentu sajalah bersamaan dengan ahli-ahli geologi dan perminyakan.
Akibatnya : tak lama kemudian ditemukan pula lapangan-lapangan minyak lain di Sumatera
Utara, Balikpapan, Perlak, dan Plaju. Pengelolaannya pun dibagi seadil-adilnya kepada
perusahaan-perusahaan Belanda : Koninklijke, Shell -patungan antara Inggris dan Belanda,
Royal Dutch (yang ketiganya akhirnya membentuk BPM pada tahun 1907). BPM pun
meluaskan aktivitasnya sampai ke Cepu dan sekitarnya pada tahun 1911. Menguatnya posisi
politik dan ekonomi Amerika Serikat di Eropa dan Dunia pada beberapa dasawarsa awal abad
20 mau tak mau memaksa Pemerintahan Kolonial mempersilahkan masuknya pula modal dari
negeri Paman Sam ke negeri jajahannya. Dibentuklah NKPM pada tahun 1916, sebuah
subsidiary dari "Standard oil Company of New Jersey", (pada tahun 1948 menjadi STANVAC),
dan pada 1931 Standard Oil Company of California membentuk subsidiary yang setelah PD II
bernama CALTEX. Pencarian minyak mulai diintensifkan oleh perusahaan-perusahaan
imperialis ini. Sampai penghujung PD II, perputaran minyak secara internasional dikuasai oleh
tujuh perusahaan raksasa The Seven Sisters yang tiga di antaranya yaitu Shell, Stanvac, dan
Caltex (saat itu dijuluki Tiga Besar) telah kita ketahui beroperasi di Hindia Belanda.
Tahun 1942, angin politik berhembus keras di Asia Tenggara. Jepang sebagai kekuatan
baru di Asia membuat gentar seluruh modal Eropa dan Amerika di dalam kapling-kaplingnya
di Asia Tenggara. Sasaran Macan Asia ini jelas : Asia Tenggara sebagai penyangga sistem
politik dan ekonomi perang mereka. Penyerbuan Jepang ke Hindia Belanda difokuskan ke
beberapa wilayah tempat beroperasinya perusahaan pertambangan asing. Tampak bahwa
sasaran mereka adalah instalasi minyak, karena peran minyak sangat strategis sebagai sumber
energi utama dan ter-efisien untuk melanjutkan perang asia pasifik. Sebelum kedatangan bala
tentara Dai Nippon, pemilik modal dan pekerja-pekerja asing telah terlebih dahulu
meninggalkan pabrik-pabriknya tak ada satupun mental perlawanan yang tersisa dari kaum
penjajah dari Eropa ini. Yang tersisa hanyalah para pekerja pribumi, yang umumnya merupakan
pekerja kasar belaka, yang tentu saja dengan sukarela menyerahkan kepemilikan pabrik tak
bertuan ini kepada sang sahabat tua. Sedikit sekali kemajuan dalam aspek pertambangan yang
didapat di masa pendudukan Jepang. Catatan dari ahli geologi Jepang, Toru Okikami
melanjutkan pemboran dari Desember 1943- Desember 1944 sehingga menemukan endapan
minyak di lokasi sumur Minas-1. Bukanlah perluasan eksplorasi yang mereka lakukan,
melainkan hanya melanjutkan sisa eksploitasi perusahaan-perusahaan pertambangan terdahulu.
2.2.2 Zaman Revolusi Fisik
Gegap gempita Revolusi Fisik 1945 tak hanya merupakan gambaran perjuangan rakyat
untuk meraih kemerdekaan politik, tapi juga diwarnai oleh penguasaan ekonomi seperti
pengambil alihan instalasi-instalasi kilang minyak milik asing (Belanda, kemudian Jepang) oleh
rakyat pekerja terorganisir ke tangan Indonesia yang baru merdeka.
Usaha sekutu melalui AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) untuk menekan
Jepang supaya mempertahankan kekuasaan atas lapangan minyak dan fasilitas lainnya
(perkebunan, perbankan, dll), sampai Belanda, sebagai pemilik semula mengambil alih
kekuasaan kembali tidak digubris rakyat. Bekas pekerja lapangan dan pengilangan di zaman
kolonial mulai mengorganisir dan mempersenjatai diri, menyebut dirinya sebagai laskar
minyak.
Demikianlah laskar-laskar minyak dengan dukungan pemerintahan Revolusioner
kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI) di
Sumatera Utara, di Sumatera Selatan dan Jambi berdiri Perusahaan Minyak Republik Indonesia
(Permiri), dan Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) di Cepu.
Tentara Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan membonceng kedatangan
tentara Sekutu ke Indonesia (tak lupa dengan membonceng perusahaan minyak asing Stanvax,
Caltex, dan Shell), mengincar ladang-ladang minyak milik mereka dahulu. Tentu saja terjadi
penolakan-penolakan oleh Laskar Rakyat saat itu. Tapi atas prakarsa Sekutu sejak tanggal 15
Juli 1946 diadakan perundingan tentang status industri minyak. Di Sumatera Selatan misalnya
Sekutu berhasil mempertemukan beberapa pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah otoritas
Republik Indonesia di Palembang dan Persatuan Pegawai Minyak (PPM) di satu pihak, serta
beberapa perusahaan inyak asing seperti Shell/BPM yang menguasai Plaju sebelumnya dan
NKPM yang menguasai Sungai Gerong di lain pihak. Pertemuan ini menelorkan beberapa
kesepakatan mengenai sistem penjatahan (quota) produksi minyak antara pemilik modal (pihak
perusahaan) dan Republik (PPM) sebagai pelaksana. Laskar minyak dan batalyon TRI saat itu
hanya mampu menguasai pangkalan minyak yang letaknya agak di pedalaman, sayangnya itu
pun tidak bertahan lama.
BPM berhasil meneruskan produksinya di Tarakan dan beberapa lokasi lain di
Kalimantan. Pada bulan Oktober 1946 kilang Plaju dikembalikan ke BPM. Pertengahan tahun
1947, baik kilang Stanvac di Sungai Gerong maupun kilang Shell di Plaju telah siap untuk
beroperasi. Di tahun 1948 Caltex pun menyusul masuk kembali. Masuknya mereka kembali pun
telah berhasil mendesak Pemerintahan RI, dengan alasan rekonstruksi, untuk menyepakati
beberapa kehendak mereka seperti : kemudahan/kelonggaran, insentif-insentif , dan let alone
agreement.
2.2.3 Zaman Orde Lama
Ditanda tanganinya perjanjian KMB oleh Sukarno-Hatta (dengan pengorbanan puluhan
ribu massa FDR) yang disesalkan oleh golongan nasionalis, dan bahkan ditolak oleh golongan
yang lebih radikal, menjadikan penguasaan modal asing atas industri (terutama pertambangan)
semakin kokoh.
Pemerintahan Indonesia pasca KMB, yang berwatak komprador, di bawah PM Dr.
Sukiman Wirjosandjojo mengemukakan pendapatnya bahwa belum datang saatnya untuk
menasionalisasi TMSU itu dan sebaliknya segera dikembalikan perusahaan tersebut kepada
pemiliknya. Dalam kabinet berikutnya, yang tak jauh beda wataknya, di bawah PM Mr. Wilopo
malahan keluar anjuran tegas supaya menyerahkan kembali TMSU kepada BPM. Sampai
akhirnya kabinet Ali sastroamidjoyo I sikap pemerintahan sedikit berubah. Kesimpulan mereka
terhadap penyebab kesulitan ekonomi Indonesia pada waktu itu adalah pada dominannya
pengendalian ekonomi Indonesia oleh pihak asing. Munculnya politik jalan lain yang dijalankan
oleh Presiden Soekarno (sebagai konsistensi program Benteng) telah menunjukkan ketegasan
politik ekonomi Indonesia . Poltik jalan lain adalah usaha-usaha untuk menasionalisasikan
perusahaan-perusahaan negara maupun swasta asing khususnya Belanda dengan jalan paksa
pada tahun 1957.
Pada Tahun 1957, dengan dibenuknya Badan Nasionalisasi (BANAS) oleh Sukarno
untuk melaksanakan ambil alih, atau Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda,
dengan Ketua Harian BANAS Bapak D. Suprayogi (Mayjen), dan Bapak Suhardiman (Kapten-
TNI-AD) sebagai Sekretaris BANAS. TMSU (Tambang Minyak Sumatera Utara) diserahkan
kepada KASAD. Di zaman PM Ir. H. Juanda, 22 Juli 1957 -- setelah rapat umum yang dihadiri
15 ribu orang di Pangkalan Berandan 16 Juni 1957 -- Menteri Perindustrian dan Perdagangan
IR. Inkiriwang menyerahkan kekuasaan mengenai TMSU kepada KASAD Jenderal AH.
Nasution. Sebagai pemegang saham atas nama Pemerintah Republik Indonesia bertindak Ibnu
Sutowo dan asistennya Mayor Harijono. Tapi tidak lama setelah berdiri, PT TMSU harus
diubah namanya. Jenderal AH Nasution memerintahkan supaya nama PT TMSU diubah.
Maksud Pak Nas, lapangan minyak bumi itu aset nasional dan bukan milik dan urusan provinsi
saja. Kesan nasional itu yang harus muncul. Maka pada 10 Desember 1957 nama PT TMSU
diubah menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT Permina). Itulah cikal bakal Pertamina.
2.2.4 Zaman Orde Baru
Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Oil shocks pertama terjadi pada tahun
1973 akibat perang Arab-Israel. Protes yang dilakukan oleh negara-negara Arab anggota
Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) atas dukungan (keberpihakan:
red) Amerika Serikat dan Belanda terhadap Israel, membuahkan aksi embargo kepada
kedua negara tersebut. Dipengaruhi oleh kepanikan para pembeli yang menaikkan
cadangan persediaan minyaknya akibat sentimen negatif embargo, harga minyak
mentah kembali naik menjadi sekitar 12 dollar/barrel, empat kali lipat dari harga
sebelum perang.
Pengaruh negatif terhadap kondisi makroekonomi juga jelas. Adanya kontraksi
ekonomi yang ditandai dengan menurunnya tingkat konsumsi dan investasi -sejalan
dengan tingginya tingkat inflasi- mengakibatkan ekonomi dunia memasuki masa resesi.
Ketika neraca transaksi berjalan, para negara pengimpor minyak jungkir balik dan
mengalami defisit besar-besaran, sementara negara-negara pengekspor menikmati
keuntungan besar karena tingginya harga minyak (oil bonanza).
Namun ini bukan akhir cerita oil bonanza. Pada periode tahun 1979-1981, oil
shocks kedua kembali terjadi. Krisis politik di Iran ditandai dengan jatuhnya Shah pada
tahun 1979, disusul perang Irak-Iran pada tahun 1980-1981 telah mengakibatkan
gangguan suplai minyak dari kedua negara tersebut. Harga minyak mentah kembali
meroket dari sekitar 13 dollar/barrel pada tahun 1978 menjadi sekitar 32 dollar/barrel
pada tahun 1980 dan kemudian menjadi sekitar 35 dollar/barrel pada tahun 1981. Dalam
kurun waktu sekitar 8 tahun sejak 1973, harga minyak mentah dunia telah menjadi lebih
dari sepuluh kali lipat.
Masa oil bonanza ternyata hanya berlangsung sampai tahun 1985. Di tahun
1986, harga minyak kembali turun drastis ke level 13 dollar/barrel, sejalan dengan
semakin kompetitifnya pasar minyak dunia dan menyisakan pertanyaan tentang
efektivitas solidaritas para anggota OPEC dalam memainkan 'cooperative game' di
pasar oligopoli 'emas hitam' ini.
2.2.5 Zaman Reformasi
Dalam periode 1986-2003, fluktuasi rata-rata harga minyak mentah dunia
berkisar di level 13-28 dollar/barrel. Harga sempat melucur tajam menjadi sekitar 12
dollar/barrel di akhir tahun 1998, meloncat ke 30 dollar/barrel (2000), kemudian
meningkat menjadi 36 dollar (2004) dan sekitar 50 dollar/barrel (2005). Tapi fluktuasi
harga minyak mentah bulanan di tahun terakhir ini cukup tinggi, mulai dari level sekitar
40 dollar sampai sekitar 62 dollar/barrel. Penyebabnya, selain memanasnya kondisi
geopolitik dunia yang ditandai dengan invasi Amerika Serikat ke Irak sebagai salah satu
produsen utama minyak dunia, juga akibat badai Katrina dan Rita di teluk Meksiko
yang menggangu penawaran minyak pada periode Agustus-September di Amerika
Serikat (OPEC Annual Report 2005). Dari sisi aktivitas produksi, pesatnya
pembangunan di beberapa negara berkembang terutama China dan India diyakini juga
berpengaruh terhadap naiknya harga minyak.
Studi tentang keterkaitan antara harga minyak dan kondisi makroekonomi telah
memberikan pelajaran berharga bahwa krisis geopolitik dunia yang berada di luar
kontrol kebijakan-kebijakan ekonomi dan kondisi luar biasa lainnya seperti bencana
alam merupakan penyebab utama fluktuasi tajam harga minyak dunia (Hamilton, 1984).
Bagi perekonomian terbuka skala kecil seperti Indonesia, fluktuasi harga minyak
dunia telah berakibat langsung bagi efektivitas kebijakan makroekonomi, khususnya
kebijakan fiskal yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Kenaikan harga minyak dunia memberikan tekanan khususnya pada anggaran
subsidi BBM. Porsi subsidi ini yang masih sekitar 0,3% terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) di tahun 1996, meningkat gradual menjadi 1,6% (1997), 2,9% (1998),
3,2% (1999) dan naik tajam menjadi 5,4% di tahun 2000.
Di tahun 2001, setelah pemerintah menaikkan harga BBM, menyesuaikan
dengan tingkat harga internasional, maka anggaran subsidi berkurang menjadi 4,6%
terhadap PDB dan selanjutnya menjadi 1,9% terhadap PDB pada tahun 2002
(International Financial Statistics, 2002). Pada bulan Januari 2002, pemerintah kembali
menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 30 persen. Kebijakan ini merupakan bagian
dari strategi besar (grand strategy) untuk menghapus subsidi BBM pada tahun 2004,
seperti diamanatkan dalam UU. No.25/2000 Tentang Propenas 2000-2004.
Pada tahun 2003, pemerintah menghapus subsidi BBM, terkecuali untuk minyak
tanah bagi rumah tangga, sekaligus meluncurkan kebijakan jaring pengaman sosial bagi
masyarakat miskin. Di tahun 2005, pemerintah kembali menaikkan harga BBM pada
bulan Maret dan Oktober lalu, yang banyak menimbulkan penolakan masyarakat.
Sebagai kompensasinya, pemerintah meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) bagi masyarakat miskin.
Cadangan minyak terbukti (proven oil reserves) paling besar yang pernah
dimiliki oleh Indonesia adalah 15,000 metrik barrel (MB) pada tahun 1974. Jumlah itu
terus menyusut menjadi sekitar 4,301 metrik barrel (MB) di tahun 2005 (OPEC Annual
Statistic Bulletin 2005). Jumlah cadangan minyak terbukti ini sekitar 0,47% dari
cadangan seluruh anggota OPEC atau sama dengan 0,37% dari cadangan seluruh dunia.
Sedang jumlah produksi terbesar adalah pada tahun 1977 (1,69 juta barrel/hari) dan
menjadi rata-rata 1 juta barrel/hari pada tahun 2005.
2.3 Akar Masalah
2.3.1 Krisis Energi
Energi merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat karena hampir
semua aktivitas manusia selalu membutuhkan energi. Misalnya untuk penerangan,
proses industri atau untuk menggerakkan peralatan rumah tangga diperlukan energi
listrik; untuk menggerakkan kendaraan baik roda dua maupun empat diperlukan bensin,
serta masih banyak peralatan di sekitar kehidupan manusia yang memerlukan energi.
2.3.1.1 Naiknya harga minyak dunia
Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial di dunia.
Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk
dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia. Selain itu, peningkatan harga minyak
dunia hingga mencapai 150 U$ per barel juga menjadi alasan yang serius yang menimpa
banyak negara di dunia terutama Indonesia. Lonjakan harga minyak dunia akan
memberikan dampak yang besar bagi pembangunan bangsa Indonesia. Konsumsi BBM
yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya sekitar
1 juta/barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data
ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila
terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan
minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang.
2.3.1.2 Ulah para spekulan yang memanipulasi pasar
Banyak hal yang memicu terjadinya krisis energi. Dunia global berperan sangat
besar dalam memicu naiknya harga minyak dunia. Kondisi ini ditengarai pula akibat
manipulasi komoditi yang dilakukan oleh para spekulan. Badan Pengawas Bursa
Berjangka AS (Commodities Futures Trading Commission/CFTC) melaporkan berulang
kali di hadapan Kongres AS telah menemukan bukti bahwa kenaikan harga minyak
secara sistematis didorong oleh ulah spekulan.
CFTC menyatakan, investigasi itu meliputi pembelian, transportasi,
penyimpanan, perdagangan minyak mentah, serta hal-hal lain yang terkait dengan
transaksi kontrak berjangka minyak. Dalam penyelidikan itu ditemukan ada tindakan
yang meminta tanker minyak dipendam di laut atau diminta berangkat ke sebuah tujuan
agar memberi kesan pasokan minyak ketat.
2.3.2 Krisis Pangan
2.3.2.1 Kebijakan Pemerintah
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris
yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi dimana
kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak
terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia
bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan, pengangguran).
Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi,
dan deregulasi—sebagai inti dari Konsensus Washington.
Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan
harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu,
ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam
mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan,
kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan
raksasa.
Privatisasi sektor pangan—yang seharusnya merupakan kebutuhan pokok rakyat
—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa
“Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi
(ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand.
Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti
menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga
berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel)
—seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang
menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta
mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995,
Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek
perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang
harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka
lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998).
Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk,
bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara
overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—
malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan
harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang
mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No.
4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang
Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan
kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan
semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius
pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di
sektor pangan.
2.3.2.2 Tak seimbangnya Supply and Demand
Seorang pakar, ekonom Universitas Harvard Jeffrey Sachs, mengajukan
proposisi, krisis pangan timbul karena sudah sangat tak seimbangnya kekuatan
permintaan dan suplai. Empat elemen yang membuat suplai melemah, yaitu
produktivitas lahan yang sangat rendah terutama di Afrika sub-Sahara, meningkatnya
upaya konversi produk pertanian menjadi bioenergi di AS dan Eropa, pola cuaca yang
membingungkan, dan menyusutnya irigasi serta lahan-lahan subur untuk pertanian.
Proposisi ini menggambarkan kondisi umum yang terjadi di Indonesia di mana
lahan-lahan hijau digusur industri, dari manufaktur sampai properti. Di negara maju,
lahan produktif dipaksa untuk menghasilkan etanol, bukan lagi terigu dan produk
pangan yang dibutuhkan manusia kebanyakan. Sejumlah kalangan pun mulai menyesal
telah antusias mendukung proyek konversi produk pertanian menjadi bahan bakar yang
ternyata membuat lebih dari 100 juta orang kelaparan.
2.4 Analisis Hubungan Krisis Energi dengan Energi Pangan
Analisis eskalasi harga pangan pokok dan produk pertanian di tingkat dunia sepanjang
tahun 2007 karena perubahan karakter suplai dan perdagangan dunia. kenaikan harga minyak
mentah dunia, dan fenomena kelatahan bahan bakar biologis (biofuels). Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia (FAO) bahkan harus merevisi Laporan OECD-FAO Agricultural Outlook
2007-2016 edisi Juli 2007 yang cukup menghebohkan itu. Pada laporan tersebut, suplai dan
stok komoditas pangan dan pertanian dunia diperkirakan mengalami penurunan. Selain
diakibatkan perubahan iklim global, penurunan stok dipicu oleh tingginya permintaan pasar
terhadap sejumlah komoditas pertanian untuk bahan baku energi.
Kemudian, pada Laporan Food Outlook edisi November 2007, FAO menegaskan
bahwa kenaikan harga beras dunia sampai pada harga di atas US$ 330 per ton adalah rekor
tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Secara rata-rata, kenaikan harga tahun 2007 adalah 16 persen
lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga beras pada tahun 2006. Kenaikan harga
pangan pokok bangsa Asia ini lebih diperparah dengan kenaikan harga pangan lain seperti
gandum, susu, daging dan lain-lain. Lebih merumitkan lagi, keterkaitan harga beras sangat
terkait dengan laju inflasi dan elemen ekonomi makro yang sangat terkait dengan pola kebijakan
ekonomi secara umum.
Kenaikan harga minyak berarti kenaikan biaya transportasi, sehingga berpengaruh
kepada harga bahan pangan. Naiknya harga BBM akan menyebabkan distributor menaikkan
biaya transoprtasi barang-barang, termasuk barang pangan pokok. Akhirnya, bahan pangan
tersebut akan sampai kepada konsumen dengan harga yang jauh leibh tinggi dari harga
biasanya.
2.5 Solusi Krisis Energi dengan Energi Pangan
2.5.1 Solusi bagi Krisis Energi
Krisis energi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena efek buruknya bagi
masyarakat dunia sangatlah besar. Krisis energi menimbulkan efek ke berbagai bidang
yang menyangkut hidup manusia, seperti krisis pangan dan kelaparan. Solusi yang dapat
dilakukan untuk menyiasati krisis energi di Indonesia, ialah dengan mencari sumber
energi alternatif. Berikut contoh energi alternatif yang dapat dijadikan solusi bagi krisis
energi di Indonesia:
1) Etanol Selulosa
Ilmuwan berlomba mencari solusi mengembangkan etanol tanpa jagung. Tim
ilmuwan dari Dupont misalnya, tengah bergulat dengan DNA serangga yang mampu
memproduksi etanol dari limbah jagung. Idenya sederhana saja, merekayasa genetik
serangga mikrokopis seperti bakteri dan jamur untuk memicu enzim yang mampu
menghasilkan etanol. Selolusa adalah materi kayu pada bagian batang dan stem
yang membuat tanaman mengeras.
2) Energi Panas Bumi
Energi panas bumi adalah energi yang dihasilkan oleh tekanan panas bumi.
Energi ini dapat digunakan untuk menghasilkan listrik, sebagai salah satu bentuk
dari energi terbaharui, tetapi karena panas di suatu lokasi dapat habis, jadi secara
teknis dia tidak diperbarui secara mutlak.
3) Energi Hidroelektrisitas
Hidroelektrisitas adalah satu bentuk tenaga hidro digunakan untuk memproduksi
listrik. Kebanyakan tenaga hidroelektrik berasal dari energi potensial dari air yang
dibendung dan menggerakkan turbin air dan generator. Bentuk yang kurang umum
adalah memanfaatkan energi kinetik seperti tenaga ombak. Hidroelektrisitas adalah
sumber energi terbaharui.
Di banyak bagian Kanada (provinsi British Columbia, Manitoba, Ontario,
Quebec, dan Newfoundland and Labrador) hidroelektrisitas digunakan secara luas.
Pusat tenaga yang dijalani oleh provinsi-provinsi ini disebut BC Hydro, [[[Manitoba
Hydro]], Hydro One (dulunya "Ontario Hydro"), Hydro-Québec, dan Newfoundland
and Labrador Hydro. Hydro-Québec merupakan perusahaan penghasil listrik hydro
terbesar dunia, dengan total listrik terpasang sebesar 31.512 MW (2005).
4) Energi Tenaga Angin
Tenaga angin menunjuk kepada pengumpulan energi yang berguna dari angin.
Kebanyakan tenaga angin modern dihasilkan dalam bentuk listrik dengan mengubah
rotasi dari pisau turbin menjadi arus listrik dengan menggunakan generator listrik.
Pada kincir angin energi angin digunakan untuk memutar peralatan mekanik untuk
melakukan kerja fisik, seperti menggiling "grain" atau memompa air.
Tenaga angin digunakan dalam ladang angin skala besar untuk penghasilan
listrik nasional dan juga dalam turbin individu kecil untuk menyediakan listrik di
lokasi yang terisolir. Tenaga angin banyak jumlahnya, tidak habis-habis, tersebar
luas, bersih, dan merendahkan efek rumah kaca.
5) Biogas
Energi terbarukan lain yang dapat dihasilkan dengan teknologi tepat guna yang
relatif lebih sederhana dan sesuai untuk daerah pedesaan adalah energi biogas
dengan memproses limbah bio atau bio massa di dalam alat kedap udara yang
disebut digester. Biomassa berupa limbah dapat berupa kotoran ternak bahkan tinja
manusia, sisa-sisa panenan seperti jerami, sekam dan daun-daunan sortiran sayur
dan sebagainya. Namun, sebagian besar terdiri atas kotoran ternak.
Gas methan terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa udara)
oleh bakteri methan atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas yang
mengurangi sampah-sampah yang banyak mengandung bahan organik (biomassa)
sehingga terbentuk gas methan (CH4) yang apabila dibakar dapat menghasilkan
energi panas. Sebetulnya di tempat-tempat tertentu proses ini terjadi secara alamiah
sebagaimana peristiwa ledakan gas yang terbentuk di bawah tumpukan sampah di
Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah, Kabupaten Bandung, Jawa
Barat, (Kompas, 17 Maret 2005). Gas methan sama dengan gas elpiji (liquidified
petroleum gas/LPG), perbedaannya adalah gas methan mempunyai satu atom C,
sedangkan elpiji lebih banyak.
6) Biomassa
Potensi biomassa yang besar di Indonesia, hingga mencapai 49.81 GW tidak
sebanding dengan kapasitas terpasang sebesar 302.4 MW. Bila kita maksimalkan
potensi yang ada dengan menambah jumlah kapasitas terpasang, maka akan
membantu bahan bakar fosil yang selama ini menjadi tumpuan dari penggunaan
energi. Hal ini akan membantu perekonomian yang selama ini menjadi boros akibat
dari anggaran subsidi bahan bakar minyak yang jumlahnya melebihi anggaran sektor
lainnya.
2.5.2 Solusi bagi Krisis Pangan
Dengan kata lain, jika Indonesia masih terus berkutat dengan persoalan konversi
lahan sawah, kelangkaan pupuk, ketersediaan air, buruknya jaringan irigasi, dan lain-
lain, berarti kita tidak beranjak dari persoalan pada era 1980-an. Pembangunan
subsektor pangan dan sektor pertanian ke depan wajib bervisi peningkatan produktivitas
lahan dan produktivitas tenaga kerja.
Pencetakan sawah baru penting, tetapi berbagai upaya yang mengarah kepada
peningkatan produktivitas pangan per satuan luas lahan jauh lebih penting dan
bermakna bagi kesejahteraan rakyat.
Apabila laju peningkatan produktivitas ini lebih besar dari laju penurunan rasio
lahan terhadap tenaga kerja-karena lahan nyaris tetap, sedangkan tenaga kerja terus
bertambah-krisis pangan akan dapat dihindari. Maknanya, perubahan tekonologi di
bidang pangan dan pertanian menjadi sangat mutlak dan tidak dapat diabaikan dalam
penyusunan strategi dan kebijakan ekonomi pangan ke depan.
Krisis pangan juga akan dapat dihindari apabila berbagai program peningkatan
produksi pangan tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi target politik semata.
Langkah kebijakan pemerintah wajib bervisi peningkatan kesejahteraan petani sebagai
pelaku sentral dalam pembangunan pertanian.
Untuk jangka panjang, petani menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria
dalam rangka basis kebijakan agraria dan pertanian.
Dalam jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait
dengan 3 hal—yakni (1) produksi pangan; (2) luasan lahan; dan (3) tata niaga pangan.
Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut, maka solusi jangka pendek yang dapat
pemerintah lakukan:
1. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan pe tani dan konsumen.
Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi
langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos
produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen
2. Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras,
kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini
sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
3. Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini,
tapi harus dengan intervensi yang kuat dari Departemen Pertanian, Departemen
Perdagangan dan Departemen Keuangan.
4. Menambah produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan
segera meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk
pertanian pangan.
5. Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk,
teknologi dan kepastian beli.
6. Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni
kelompok tani, koperasi, dan ormas tani.
BAB III
KESIMPULAN DAN USULAN
3.1 Kesimpulan
Krisis energi dan pangan yang sedang melanda dunia mengakibatkan ratusan juta orang
mengalami kesusahan pangan dan bahan bakar. Negara-negara berkembang mengalami krisis
ekonomi yang disebabkan oleh mahal dan langkanya harga pangan serta tidak bisa mencukupi
pasokan energi dalam negeri. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia, ikut
mengalami krisis tersebut karena kebutuhan yang besar akan energi dan pangan.
Berdasarkan uraian kami sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan besar dari faktor
terjadinya krisis energi energi, diantaranya:
1. Naiknya harga minyak dunia
2. Ulah para spekulan yang memanipulasi pasar
3. Menipisnya cadangan minyak dunia
Sedangkan untuk krisis pangan, faktor utama yang dapat kita simpulkan ialah:
1. Kebijakan Pemerintah
Privatisasi
Liberalisasi
Deregulasi
2. Tak seimbangnya Supply and Demand
Produktivitas lahan yang rendah
Konversi bahan pangan menjadi biofuel
Perubahan iklim yang ekstrim
Menyusutnya irigasi serta lahan-lahan subur
3.2 Usulan
Untuk mengantisipasi krisis energi dan pangan ini tidak bertambah parah dan
semakin menyengsarakan masyarakat dunia, maka Indonesia, khususnya pemerintah
harus menciptakan sebuah kebijakan energi dan pangan yang membawa perubahan bagi
rakyat Indonesia. Memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan energi
alternatif dapat dijadikan sebagai langkah untuk menyiasati krisis energi nasional.
Selain itu, untuk mengatasi krisis pangan, pemerintah harus fokus mengembangkan
pertanian naisonal. Pemerintah harus mengutamakan suplai pangan nasional. Rakyat
Indonesia juga harus berani untuk melakukan gerakan hemat energi.
DAFTAR PUSTAKA
www.sinarharapan.co.id
www.cetak.kompas.com
www.spi.or.id
www.antara.co.id
www.sinarharapan.co.id
http://barifin.multiply.com
http://poultryindonesia.com
www.id.wikipedia.org