makalah hukum penitensier
DESCRIPTION
PENGERTIAN PIDANA TUTUPAN Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. Pidana tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang pembentukannnya berdasaTRANSCRIPT
TUGAS
HUKUM PENITENSIER
“ PIDANA TUTUPAN & PIDANA BERSYARAT”
DISUSUN OLEH
WAHYU FERYANSAH
H1A1 10 092
KELAS A
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah swt, karena atas limpahan rahmadnyalah sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “PIDANA
TUTUPAN DAN PIDANA BERSYARAT”, meskipun didalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan yang sangat mendasar, akan tetapi semoga kajian dari isi makalah ini dapat
diterima dengan baik oleh pembacanya. Dengan selesainya makalah ini semoga dapat
memberi kita banyak manfaat dan juga pengetahuan luas mengenai materi yang dibahas
didalam makalah ini yang terkait dengan masalah PIDANA TUTUPAN DAN PIDANA
BERSYARAT.
Semoga makalah ini dapat diterima dengan baik oleh pembacanya untuk dapat
menambah pengetahuan khususnya dalam pengetahuan hukum panitensier. Dan tak lupa
penulis mengucapkan banyak terimakasih atas kerjasamanya.
KENDARI, JUNI 2013
PENYUSUN
WAHYU FERYANSAH
STB: H1A1 10 092
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG 4
B.RUMUSAN MASALAH 5
C.TUJUAN PENULISAN 5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.PENGERTIAN PIDANA TUTUPAN 6
2.2.DASAR HUKUM PIDANA TUTUPAN 7
2.3.PENGERTIAN PIDANA BERSYARAT 8
2.4.DASAR HUKUM PIDANA BERSYARAT 10
2.5.SYARAT PIDANA BERSYARAT 15
BAB 3
PENUTUP
A.KESIMPULAN 16
B.SARAN 16
KAJIAN PUSTAKA 17
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Dalam tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Juli, telah diintrodusir suatu terminologi baru
dalam hukum pidana di Indonesia, yang dinamakan pidana tutupan, yaitu satu jenis pidana bagi
mereka yang patut dihormati. Penerapan terminologi baru ini berkaitan dengan dilakukan
penangkapan dan pemenjaraan terhadap tokoh-tokoh politik pada waktu itu, antara lain
Muhammad Yamin dan Mayjen Sudarsono, yang meminta agar Kabinet Sjahrir di copot oleh
Presiden Soekarno. Namun permintaan ini ditolak oleh Presiden Soekarno dan kepada mereka
dikenakan pemidaan penjara/tutupan. Akan tetapi bagaimana wujud serta substansi pidana
tutupan ini. Bahkan terhadap siapa yang dimaksud sebagai narapidana yang wajib dihormati,
masih belum jelas. Maka dari itu saya$ disini akan mencoba untuk menerangkan terkait dengan
pidana tutupan. Pidana bersyarat sering disebut dengan putusan percobaan (voorwaardelijke
veroordeling) dan bukan merupakan salah satu dari jenis pemidanaan karena tidak disebutkan
dalam Pasal 10 KUHP, tetapi ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terkait pada
Pasal 10 KUHP, khususnya pada pidana penjara dan kurungan yang keberlakuannya hanya
pada batas satu tahun penjara atau kurungan.Pidana dengan bersyarat, yang dalam praktik
hukum sering juga disebut dengan pidana percobaan, adalah suatu sistem/model penjatuhan
pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya,
pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama
syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-
syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.
Pidana bersyarat tidak termasuk jenis pidana pokok maupun pidana tambahan, tetapi
pidana bersyarat merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan
pelaksanaannya dilakukan di luar penjara. Menjatuhkan pidana bersyarat bukan berarti
4
membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti tidak diasingkan
dalam masyarakat dalam suatu penjara atau lembaga pemasyarakatan, akan tetapi secara
formal statusnya tetap terpidana karena ia telah dijatuhi pidana hanya saja dengan
pertimbangan tertentu pidana itu tidak perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata
terpidana telah melanggar.
B.RUMUSAN MASALAH
Menjelaskan pengertian dari pidana tutupan dan pidana bersyarat serta juga perbedaan dari
kedua jenis pidana tersebut apakah memiliki banyak perbedaan atau banyak persamaan..?
C.TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah:
1. .untuk bisa memahami pengertian dari pidana tutupan dan pidana bersyarat
2. .agar kita dapat membedakan manakah yang tergolong pidana tutupan dan pidana
bersyarat
3. .untuk dapat mengetahui berbagai macam pendapat ahli dalam menguraikan pengertian
pidana tutupan dan pidana bersyarat
5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.PENGERTIAN PIDANA TUTUPAN
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh
ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan
tersebut diterapkan. Pidana tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang
pembentukannnya berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan
sehingga ditambahkan jenis – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10
KUHP dengan satu pidana baru. Adapun maksud ditetapkannya Undang-undang No. 20 tahun
1946 K. Wantjik Saleh menyatakan bahwa dari ketentuan Pasal 1 dan 2 Undang Undang No.
20 tahun 1946 dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pidana tutupan dimaksud dapat
menggantikan hukuman penjara dalam hal orang yang melakukan kejahatan diancam dengan
hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tetapi hal itu tergantung
pada hakim. Kalau menurut pendapat hakim perbuatan yang merupakan kejahatan atau acara
melakukan perbuatan itu atau akibat perbuatan itu hukuman penjara lebih pada tempatnya,
maka hakim menjatuhkan hukuman penjara.” Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan
untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan
kejahatan politik itu akan dibedakan dengan kejahatan biasa. Hubungannya diadakan undang-
undang No. 20 tahun 1946 dengan politik kiranya dapat dilihat konsiderannya yang
menyebutkan maklumat Wakil Presiden No. X yakni tentang anjuran pendirian partai politik.
Selanjutnya ditentukan bahwa: “Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara juga
berlaku terhadap hukuman tutupan jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat
atau pereturan khusus tentang hukuman tutupan. Tentang tempat, cara, dan segala sesuatu
yang perlu untuk melaksanakan undang-undang ini masih akan diatur dengan suatu peraturan-
pemerintahan sedangkan peraturan mengenai tatausaha atau tata tertib bagi rumah untuk
6
menjalankam hukuman tutupan diatur oleh Menteri kehakiman dengan persetujuan Menteri
Pertahanan” . dalam pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana bagian terakhir
dibawah pidana denda.
2.2.DASAR HUKUM PIDANA TUTUPAN
Dasar pidana tutupan itu antara lain :
1. UU No 20 Tahun 1946, Berita RI No II, yang berbunyi :
Mengingat: Pasal 20 ayat (1) berhubung dengan Pasal IV Aturan Peralihan dari Undang-
undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden tertanggal 18-10-1945 No.X.
Pasal 1. Selain daripada hukuman pokok tersebut dalam Pasal 10 huruf a Kitab Undang-
undang Hukum Pidana dan Pasal 6 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara
adalah hukuman pokok baru, yaitu hukuman tutupan, yang menggantikan hukuman penjara
dalam hal tersebut dalam Pasal 2.
Pasal 2 (1). Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan
hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan. (2). Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang
merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu akibat dari perbuatan tadi adalah
demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada empatnya.
Pasal 3. (1) Barangsiapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang
diperintahkan kepadanya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5.
(2). Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditunjuknya berhak atas permintaan
terhukum membebaskannya dari kewajiban yang dimaksudkan dalam ayat (1).
7
Pasal 4. Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman
tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus
tentang hukuman tutupan.
Pasal 5 (1). Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan
segala yang perlu untuk menjalankan undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah.
(2). Peraturan tata usaha atau tata tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan diatur
oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.
pasal 6.undang-undang ini mulai berlaku pada pengumumannya ditetapkan di Jogjakarta pada
tanggal 31 Oktober 1946, dan diumumkan pada tanggal 1 Nopember 1946.
. 2. Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10
dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda.
Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan
2.3.PENGERTIAN PIDANA BERSYARAT MENURUT PARA AHLI
Pidana bersyarat sering disebut dengan putusan percobaan (voorwaardelijke
veroordeling) dan bukan merupakan salah satu dari jenis pemidanaan karena tidak disebutkan
dalam Pasal 10 KUHP, tetapi ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terkait pada
Pasal 10 KUHP, khususnya pada pidana penjara dan kurungan yang keberlakuannya hanya
pada batas satu tahun penjara atau kurungan.
Menurut E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2002 : 473) kata-kata pidana bersyarat atau
pemidanaan bersyarat adalah :
Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang
bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu.
8
Pidana dengan bersyarat, yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan pidana
percobaan, adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya
digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya, pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu
ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak
dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak
ditaatinya atau dilanggarnya.
Andi Hamzah dan Siti Rahayu (Tolib Setiady, 2010 : 112) berpendapat mengenai pidana
bersyarat dengan menyatakan bahwa :
Pemidanaan bersyarat dapat disebut pula pemidanaan dengan perjanjian atau pemidanaan
secara janggelan, dan artinya adalah menjatuhkan pidana kepada seseorang, akan tetapi
pidana ini tak usah dijalani kecuali di kemudian hari ternyata bahwa terpidana sebelum habis
tempo percobaan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diberikan
kepadanya oleh hakim, jadi keputusan pidana tetap ada akan tetapi hanya pelaksanaan pidana
itu tidak dilakukan.
Sementara itu Muladi (2008 : 195) menyatakan bahwa :
Pidana bersyarat adalah suatu pidana di mana si terpidana tidak usah menjalani pidana
tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat
umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan (pidana bersyarat ini merupakan
penundaan pelaksanaan pidana).
Pidana bersyarat tidak termasuk jenis pidana pokok maupun pidana tambahan, tetapi
pidana bersyarat merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan
pelaksanaannya dilakukan di luar penjara. Menjatuhkan pidana bersyarat bukan berarti
membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti tidak diasingkan
dalam masyarakat dalam suatu penjara atau lembaga pemasyarakatan, akan tetapi secara
9
formal statusnya tetap terpidana karena ia telah dijatuhi pidana hanya saja dengan
pertimbangan tertentu pidana itu tidak perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata
terpidana telah melanggar.
2.4.DASAR HUKUM PIDANA BERSYARAT
Di Indonesia sendiri untuk pertama kalinya diterapkan adanya pidana bersyarat pada
tahun 1926 yang dituangkan dalam STB. 1926 NO. 251 JO 486, akan tetapi baru sejak 1
Januari 1927 dimasukkan ke dalam KUHP berupa ketentuan Pasal 14a sampai 14f.
Dalam Pasal 14a KUHP menentukan :
1) Jika dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamanya satu tahun dan dijatuhkan hukuman
kurungan diantaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda, maka hakim boleh
memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak dijalankan, kecuali kalau di kemudian hari ada
perintah lain dalam keputusan hakim. Oleh karena terhukum sebelum jatuh tempo percobaan
yang akan ditentukan dalam perintah pertama membuat perbuatan yang boleh dihukum atau
dalam tempo percobaan itu tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang akan
sekiranya diadakan dalam perintah itu.
2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai
penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata
kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan
sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu
hanya dianggap sebagai perkara mengenai pengahasilan negara, jika terhadap kejahatan dan
pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan
Pasal 30 ayat (2).
3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai
pidana tambahan.
10
4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan
bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, dan syarat-
syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
5) Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi
alasan perintah itu.
Pasal 14b KUHP menentukan :
1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan
536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan
kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
Pasal 14c KUHP menentukan :
1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat
menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat
khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa
percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana tadi.
2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas
salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh
diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi
selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau
kemerdekaan berpolitik terpidana.
Pasal 14d KUHP menentukan :
11
1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang
menyuruh menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk menjalankan putusan.
2) Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan
hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah penampungan
yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau
bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan
lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu, diatur
dengan undang-undang.
Pasal 14e KUHP menentukan :
Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus
perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat
khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang
yang diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh
memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang
paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.
Pasal 14f KUHP menentukan :
1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka ats usul pejabat tersebut dalam pasal 14d
ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya
pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada
terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya
ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun
jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena
melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan,
hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberika peringatan itu.
12
2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi,
kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana
di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang
memnjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap,
hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak
pidana tadi.
Jadi yang dimaksud dalam Pasal 14a (1) KUHP di atas adalah bahwa dalam pokoknya
ialah orang (si terdakwa) dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali
jika ternyata bahwa terhukum sebelum habis masa percobaan berbuat tindak pidana atau
melanggar perjanjian yang diadakan oelh hakim dengan si terdakwa. Jadi keputusan
penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman itu tidak dilakukan.
J.E. Jonkers (Andi Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, 2006 : 313) berpendapat
bahwa :
Sebaiknya penerapan pidana bersyarat dilakukan dengan hati-hati sehingga ditentukan di
dalam Pasal 14a (4) KUHP, bahwa pidana bersyarat hanya dijatuhkan jika hakim berdasarkan
penyelidikan yang teliti, yakni bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhi
syarat umum, yaitu bahwa terpidana tidak akan melakukan delik, dan syarat khusus jika
sekiranya syarat-syarat itu ada.
Manfaat penjatuhan pidana dengan bersyarat ini adalah memberikan kesempatan atau
memperbaiki penjahat tanpa harus menjatuhkannya ke dalam penjara, artinya tanpa membuat
derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan di dalam penjara terbukti sering
membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana, terutama bagi orang-orang yang melakukan
tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang iya tidak mempunyai kemampuan untuk
menguasai dirinya, dalam arti bukan penjahat yang sesungguhnya.
13
Selanjutnya dalam Pasal 14b KUHP mengatur tentang lamanya waktu untuk masa
percobaan, di mana terpidana harus menahan diri jangan sampai melanggar syarat-syarat yang
diberikan oleh hakim. Tentang latar belakang ketentuan mengenai batas paling lama satu tahun
bagi penjatuhan pidana yang dapat ditetapkan dengan bersyarat adalah bahwa untuk perkara-
perkara yang lebih berat yang untuk penyelesaiannya dengan pertimbangan hakim harus
menjatuhkan pidana yang lebih berat dari satu tahun, dilihat dari sudut penjatuhan pidana
sebagai pembalasan, tidak ada tempat bagi pidana bersyarat. Artinya pidana bersyarat itu
hanya ditetapkan untuk pemidanaan bagi perkara-perkara yang lebih ringan, yang
dipertimbangkan oleh hakim sebagai sudah cukup adil (dari sudut pembalasan) jika dijatuhi
pidana yang lebih ringan dengan pidana penjara paling tinggi satu tahun, dan tidak untuk
pidana yang lebih dari satu tahun. Ketentuan batas maksimum satu tahun ini berlatar belakang
bahwa dalam pidana bersyarat sudah tidak terdapat lagi rasa pembalasan, tetapi lebih
menonjolkan maksud perbaikan.
2.5. SYARAT PIDANA BERSYARAT
Penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim terhadap terdakawa telah diketahui ada dua
jenis syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat umum dan syarat khusus.
a. Persyaratan umum
Syarat umum dalam putusan percobaan taua pidana bersyarat bersifat imperative,
artinya bila hakim menjatuhkan pidana dengan bersyarat, dalam putusannya itu harus
ditetapkan syarat umum. Dalam syarat umum harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam
tenggang waktu tertentu atau masa percobaan terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana,
ketentuan ini diatur dalam Pasal 14c ayat (1) KUHP :
“Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat
menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat
khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa
14
percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana tadi”.
Syarat umum ialah terpidana tidak akan melakukan perbuatan delik. Dalam syarat
umum ini tampak jelas sifat mendidik dalam putusan pidana dengan bersyarat, dan tidak
tampak lagi rasa pembalasan sebagaimana dianut oleh teori pembalsan.
b. Persyaratan khusus
Dalam persyaratan khusus akan ditentukan oleh hakim jika sekiranya syarat-syarat itu
ada. Hakim boleh menentukan hal-hal berikut :
1) Pengganti kerugian akibat yang ditimbulkan oleh dilakukannya tindak pidana baik seluruhnya
maupun sebagian, yang harus dibayarnya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim
yang lebih pendek dari masa percobaan (Pasal 14 ayat 1 KUHAP).
2) Dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas
pelanggaran ketentuan Pasal 492 KUHP (mabuk di tempat umum), Pasal 504 KUHP
(pengemisan), Pasal 505 KUHP (pergelandangan), Pasal 506 KUHP (mucikari), Pasal 536
KUHP (mabuk di jalan umum), hakim dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang
berhubungan dengan kelakuan terpidana (Pasal 14a ayat (2) KUHP). Syarat-syarat khusus
tersebut tidak diperkenankan sepanjang melanggar atau mengurangi hak-hak terpidana dalam
hal berpolitik (kenegaraan) dan menjalankan agamanya (Pasal 14a ayat (5) KUHP)
15
BAB 3
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Hukuman tutupan merupakan perkembangan jenis pidana baru yang pembentukannnya
berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan sehingga
ditambahkan jenis – jenis pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 10 KUHP dengan
satu pidana baru. Diadakannya hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan
yang bersifat politik sehingga orang-orang yang melakukan kejahatan politik itu akan dibedakan
dengan kejahatan biasa. Pemidanaan bersyarat dapat disebut pula pemidanaan dengan
perjanjian atau pemidanaan secara janggelan, dan artinya adalah menjatuhkan pidana kepada
seseorang, akan tetapi pidana ini tak usah dijalani kecuali di kemudian hari ternyata bahwa
terpidana sebelum habis tempo percobaan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar
perjanjian yang diberikan kepadanya oleh hakim, jadi keputusan pidana tetap ada akan tetapi
hanya pelaksanaan pidana itu tidak dilakukan.
B.SARAN
Sebaiknya sistem pemidanaan Negara kita diperhatikan dengan serius agar Negara ini bisa
dihuni oleh orang-orang baik dan jalan satu-satunya ialah mempertegas hokum yang ada di
negeri kita dan juga agar para elite politik atau orang berduit tidak mudah mengotak atik hukum
kita dengan menggunakan rayuan rupiah kepada aparat penegak hukum di Negara kita ini.
16
KAJIAN PUSTAKA
P.A.F. Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, sinar grafika, jakarta, hal. 136.
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung.
Hal. 112
Ibid. Hal 113
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. Hal. 135
Muladi, 2002, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. Hal. 195-197
Ibid, hal. 197.
Op cit, Marlina.hal. 120
Gunadi ismu, effendi jonaedi, 2011, cepat dan mudah memahami hokum pidana (jili 1),
Jakarta: Prestasi Pustaka
Saleh roeslan, prof, 1981, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru
Moeljatno, prof, 2011, Kitab Undang-undang hUkum pidana, Jakarta : Bumi Aksara
17