makalah hukum acara

54
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai penganut paham negara kesejahteraan (welfare state) tentunya Pemerintahan Negara Indonesia tampil aktif untuk ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tugas administrasi negara dalam welfare state ini menurut Lemaire adalah bestuurszorg yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum. Menurut Budi Ispriyarso, untuk mencapai tujuan negara kesejahteraan tersebut diperlukan berbagai sarana pendukung. Dalam hal ini salah satunya adalah sarana hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara. Sarana hukum administrasi negara diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari segala perbuatan administrasi negara, dan disamping itu pada dasarnya juga memberikan perlindungan hukum bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya. Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara memberikan batasan-batasan keabsahan bagi perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dan menjamin keadilan bagi masyarakat yang haknya dirugikan oleh perbuatan administrasi negara tersebut. Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena di dalam kehidupan masyarakat sering ditemui permasalahan 1

Upload: yusupspeed

Post on 23-Oct-2015

175 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Hukum Acara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai penganut paham negara kesejahteraan (welfare state) tentunya

Pemerintahan Negara Indonesia tampil aktif untuk ikut campur dalam berbagai

aspek kehidupan masyarakat. Tugas administrasi negara dalam welfare state ini

menurut Lemaire adalah bestuurszorg yaitu menyelenggarakan kesejahteraan

umum. Menurut Budi Ispriyarso, untuk mencapai tujuan negara kesejahteraan

tersebut diperlukan berbagai sarana pendukung. Dalam hal ini salah satunya

adalah sarana hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.

Sarana hukum administrasi negara diperlukan untuk memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat dari segala perbuatan administrasi

negara, dan disamping itu pada dasarnya juga memberikan perlindungan hukum

bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya.

Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara memberikan batasan-batasan

keabsahan bagi perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dan menjamin

keadilan bagi masyarakat yang haknya dirugikan oleh perbuatan administrasi

negara tersebut.

Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena di dalam kehidupan

masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu, baik

perorangan maupun kelompok, dengan Pemerintah yang berkaitan dengan

kebijakan-kebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat

KTUN) yang dikeluarkan oleh Pejabat administrasi negara dalam

menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 (selanjutnya disingkat UU PTUN 2004) junto Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya

disingkat UU PTUN 1986) menyebut sengketa tersebut sebagai sengketa TUN.

Sengketa TUN muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa

dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui

bahwa, Pejabat TUN dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan dan

1

Page 2: Makalah Hukum Acara

kesejahteraan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan,

sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian.

Dalam UU PTUN 1986 dikenal ada dua jalur penyelesaian sengketa TUN

yaitu: (1) melalui upaya administratif; (2) melalui gugatan ke Pengadilan Tata

Usaha Negara. Menurut Indroharto, upaya administrasi merupakan prosedur yang

ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan

sengketa TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri (bukan oleh

peradilan yang bebas) yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding

administratif. Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku

tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa TUN tersebut melalui Upaya

Administratif, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat

mengajukan gugatan ke PTUN atau dengan kata lain Pengadilan baru berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN jika seluruh upaya

administratif yang bersangkutan telah digunakan. Subjek atau pihak-pihak yang

berperkara di PTUN menurut UU PTUN ada 2 pihak, yaitu: (1) Pihak penggugat,

yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan dengan dikeluarkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN baik di

pusat atau di daerah. (2) Pihak tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya

atau yang dilimpahkan kepadanya.

Adanya PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran,

ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman

kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat TUN

dengan masyarakat. Selain untuk memberikan pengayoman atau perlindungan

hukum bagi masyarakat, ditegaskan pula bahwa keberadaan PTUN adalah untuk

membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang TUN, agar

mampu menjadi alat yang efisien, efektit, bersih, serta berwibawa, dan yang

dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi

semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat.

Penyelesaian sengketa TUN, baik menurut UU PTUN 1986 maupun UU

PTUN 2004 adalah dalam kerangka Negara Hukum Indonesia. Negara hukum

2

Page 3: Makalah Hukum Acara

yang dimaksud adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,

sebagaimana hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam UU PTUN 2004 dengan

menyatakan bahwa PTUN merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah

Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.

Semua peraturan mengenai pelaksanaan kegiatan TUN termasuk badan-

badan dan aparaturnya sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun sengketa dalam

pelaksanaannya masih sering terjadi. Untuk itu, pemerintah membentuk dan

mensahkan UU tentang PTUN sebagai dasar pengaturan terhadap peradilan Tata

Usaha Negara.

Kebebasan bertindak yang dimiliki pemerintah terkadang harus memasuki

kehidupan privat masyarakat. Dalam beberapa hal sangat mungkin terjadi satu

persinggungan antara kepentingan Negara dengan masyarakat. Pada Negara

hukum yang baik, kepentingan masyarakat ataupun privat harus dilindungi dan

tidak biasa diabaikan hanya karena alesan kepentingan umum ataupun

pembangunan. Untuk menjamin adanya perlindungan dan penyeimbangan antara

hak privat masyarakat serta hak publik, dalam hal ini dilaksanakan oleh pejabat

atau badan TUN, maka dibutuhkan hukum yang mengaturnya. Hukum ini

membuat suatu lembaga yang dinamakan PTUN sebagai lembaga peradilan itu.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian kami, antara lain:

1. Bagaimana latar belakang terjadinya kasus Pelanggaran Kode Etik

Pegawai KPUD Kota Depok?

2. Bagaimana proses penyelesaian Kasus Pelanggaran Kode Etik Pegawai

KPUD Kota Depok?

3. Bagaimana analisis pasal-pasal yang berhubungan dengan Kasus

Pelanggaran Kode Etik Pegawai KPUD Kota Depok?

3

Page 4: Makalah Hukum Acara

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Mengetahui latar belakang terjadinya Kasus Pelanggaran Kode Etik

Pegawai KPUD Kota Depok.

2. Mengetahui proses penyelesaian Kasus Pelanggaran Kode Etik Pegawai

KPUD Kota Depok.

3. Mengetahui pasal-pasal yang berhubungan dengan Kasus Pelanggaran

Kode Etik Pegawai KPUD Kota Depok

D. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup permasalahan yang menyangkut

Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan Tata Usaha Negara disini adalah

contoh dari kasus yang kami ambil yaitu tentang Kasus Pelanggaran Kode Etik

Pegawai KPUD Kota Depok.

4

Page 5: Makalah Hukum Acara

BAB II

KAJIAN TEORI

`

A. Peradilan Tata Usaha Negara Secara Umum

1. Sejarah Dibentuknya PTUN

Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah

untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan

pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial

control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi

(mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of

power).

Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986

Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun

2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan

lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol

yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan

dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan,

Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum

berhasil menjalankan fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering

tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak

ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi

sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum

karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag

gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri

urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak

membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan

5

Page 6: Makalah Hukum Acara

Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut

diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun

2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik

karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa

dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU

No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia

melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar

sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratife, lemah dari prinsip-prinsip

hukum administrasi negara.

Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya

banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim

menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN

berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya

dilaporkan kepada Presiden. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di

IndonesiaPada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara

atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134

ayat (1) I.S yang berisi:

1. Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;

2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang

lembaga administrasi itu sendiri.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950,

dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:

1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;

2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;

3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang

penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan

Khusus.

Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10

undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh

Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara.

6

Page 7: Makalah Hukum Acara

Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara

semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan

menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan

Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.

2. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat

dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan

perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan

hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan

(inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat

bentuk yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan

sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan

pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya

perlindungan hukum yangyang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum

Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara

(Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum

preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil

keputusan.

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari

hak- hak individu.

2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan

pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat

tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking)

dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya

administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum

yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum.

7

Page 8: Makalah Hukum Acara

Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan

fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:

a) Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk

masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;

b) Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;

c) Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan

keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

d) Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi

negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam

kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

e) Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara

maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk

mendapatkan keadilan.

3. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat

administrasi negara (beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi

negara mempunyai kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan

kewenangan yang dimilikinya. Freis ermessen tersebut akan berbentuk

beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final bagi orang atau

badan hukum yang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol

hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk

melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah. Dimaksud dalam

hal ini karena pejabat administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup

kemungkinan ia akan melakukan sesuatu.

Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum

perdata, yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut

dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal

48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004).

Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan

upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004)

8

Page 9: Makalah Hukum Acara

sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administratif, penyelesaian

melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (Pasal 51 ayat (3)

UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini dapat dilakukan

kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004).

Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan Seperti telah dikemukakan

diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak

rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan memberikan perlindungan

terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari

individu yang hidup dalam masyarakat tersebut, seringkali terhambat dengan

proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu tidak sebentar.

Hal ini terlihat jelas pada tahun 2001 dalam kasus gugatan administrasi

empat orang mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SK Rektor Universitas

Indonesia yang menetapkan sanksi berupa skorsing selama dua semester bagi

keempat mahasiswa tersebut. Dalam putusannya PTUN mengabulkan gugatan

keempat mahasiswa UI dan memerintahkan pembatalan SK Rektor UI tersebut.

Tetapi Rektor UI mengajukan banding, dimana pada tingkat banding PT TUN

mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN sebelumnya. Namun

Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut dengan mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali memenangkan keempat

mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk membatalkan SK-

nya. Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi itu

memakan waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada

akhirnya, putusan MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan.

Dengan demikian, putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi

keempat mahasiswa itu.

Kasus diatas menunjukkan bahwa pengadilan administrasi negara tidak

mampu menyelesaikan sengketa administrasi dengan cepat sehingga tujuan untuk

melindungi hak-hak individu masyarakat menjadi tidak tercapai. Ironisnya,

hambatan dalam mencapai tujuan pembentukan PTUN ini berasal dari upaya

pembuat undang-undang untuk menyediakan kesempatan bagi berbagai pihak

9

Page 10: Makalah Hukum Acara

untuk mencari penyelesaian yang paling adil dari suatu sengketa melalui upaya

hukum.

HAN yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi)

ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian

dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang

professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun,

perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah

satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara

bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering

tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak

ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi

sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum

karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag

gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri

urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak

membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan

Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut

diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun

2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik

karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa

dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU

No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia

melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar

sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif, lemah dari prinsip-prinsip

hukum administrasi negara.

10

Page 11: Makalah Hukum Acara

B. Proses Pengajuan Gugatan ke PTUN

1) Pengajuan Surat Gugatan

Berdasarkan pasal 53 ayat 1 jo pasal 1 butir 4 UU 5/1986, maka dapat

disimpulkan bahwa gugatan pada Peradilan TUN (Peratun) adalah suatu tuntutan

hukum yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau

pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN, yang merugikan kepentingan

orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peratun

menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN tersebut atau tanpa disertai

tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.

Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh penggugat atau kuasanya,

kemudian didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang sesuai dengan

ketentuan pasal 54 UU 5/1986. Setelah itu oleh panitera mengadakan penelitian

administratif baik administrasi yang diharuskan penggugat dalam mengajukan

gugatan (misal: membayar persekot biaya dll), serta teradap surat gugatannya

sudah memenuhi pasal 56 atau belum. Menurut pasal 56 UU 5/86, pada pokoknya

gugatan harus memenuhi sebagai berikut:

1. Syarat formil, yang berisi identitas penggugat, tergugat maupun

kuasanya

2. Syarat materil:

a. Dasar gugatan / posita gugatan

b. Tuntutan (petitumi)

Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu kehendak penggugat

karena dalam pasal 55 jo 3 UU 5/1986 telah membatasi secara limitatif. Apabila

yang digugat berupa keputusan TUN (keputusan positif kongkit) maka gugatan

hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak

diumumkan atau diterimanya surat keputusan TUN.

Hal tersebut akan menimbul masalah apabila surat keputusan tersebut

merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalah ini, untuk memenuhi

kebutuhan praktek di peratun, MARI telah mengeluarkan SEMA no 2 tahun 1991,

yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung

secara kausitis, yaitu 90 hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya.

11

Page 12: Makalah Hukum Acara

Apabila obyek sengketa berupa keputusan TUN yang bersifat fiktif

permohonan sebagaimana perhitungan tenggang waktu berdasarkan pasal 3 ayat 2

dan 3 UU 5/1986 dengan cara sebagai berikut :

a. Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses

permohonan sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan dasarnya.

b. Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 (empat) bulan

sejak tanggal diterimanya permohonan.

2) Prosedur Dismissal

Prosedur dismissal adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang

masuk di PTUN yang dilakukan oleh Ketua pengadilan.

Setelah dilakukan penelitian administratif oleh panitera maka tahap

selanjutnya adalah prosedur dismissal yang eksistensinya serta alasan-alasannya

diatur dalam pasal 62 UU no 5 /1986/ dalam pasal 62 tersebut tidak mengatur

secara terperinci tentang tata cara dalam prosedur dismissal, maka Mahkamah

Agung didalam SEMA no 2 tahun 1991, pada pokoknya menyatakan :

1. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat menunjuk Hakim

sebagai reportir.

2. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau

dilaksanakan secara singkat.

3. Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan

para pihak sebelum menentukan penetapan dismissal aapbila diangap

perlu.

4. Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak dapt diterima atau

tidak berdasar dan tanda tangani oleh ketua dan panitera.

5. Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum

hari pesidangan ditentukan dengan memanggil kedua pihak untuk

mendengarkannya.

12

Page 13: Makalah Hukum Acara

Terhadap penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan

upaya hukum perlawanan yang diatur dalam pasal 63 ayat 3, yang pada pokoknya

sebagai berikut :

1. Tenggang waktu perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan dismissal

diucapkan

2. Perlawanan diajukan sesuai pasal 56, diperiksa dan diputus oleh

Pengadilan dengan acara singkat

3. Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi

hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan

menurut acara biasa

4. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya

hukum

3) Penundaan

Menurut pasal 67 ayat 1 UU 5/1986 yang pada pokoknya bahwa gugatan

tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan TUN serta tindakan

badan atau pejabat TUN yang digugat. Apabila ketentuan tersebut dilaksanakan

maka gugatan Penggugat (misalnya: perintah bongkar) yang tetap dilaksanakan

sehingga untuk menggugat tidak ada artinya lagi. Oleh karena itu sebagai

kompensasinya perlu adanya lembaga penundaan (vide pasal 67 UU 5/1986).

Permohonan penundaan terhadap pelaksanaan obyek sengketa oleh pihak

penggugat dapat dilakukan dengan cara :

1. Diajukan bersama-sama dalam surat gugatan

2. Dibuat tersendiri tetapi pengajuannya bersama-sama dengan pengajuan

surat gugatan,

3. Diajukan pada saat proses gugatan berjalan, baik secara tertulis maupun

lisan

Yang berwenang menerbitkan penetapan atas permohonan penundaan

adalah :

1. Apabila permohonan tersebut masih dalam tahap penelitian administratif

dan proses dismissal maka yang berwenang adalah Ketua Pengadilan

13

Page 14: Makalah Hukum Acara

2. Apabila gugatan tersebut telah dilimpahkan kepada Majelis Hakim/Hakim

maka yang berwenang adalah Majelis Hakim/Hakim

Upaya hukum atas penetapan penundaan, maka pihak tergugat

menyampaikan sanggahan kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim/Hakim,

yang pada pokoknya bahwa tindakan tergugat mengeluarkan keputusan TUN

tidak bertentangan dengan pasal 67 ayat 4 UU 5/1986.

Dalam praktek yang sering menimbulkan permasalahan adalah apabila

pihak tergugat tidak mau melaksanakan penetapan penundaan. Apabila hal

tersebut terjadi, maka tembusannya kepada Ketua MARI, menteri Kehakiman

(Kumdang), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI (Surat MENPAN no. B

471.4.1991 tanggal 28 Mei 1991 tentang pelaksanaan putusan Pengadilan TUN),

sesuai yang tercantum dalam SEMARI no 2 tahun 1991.

4) Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara

Dalam UU no 5/1986 Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa

TUN dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu :

1. Pemeriksaan acara singkat

2. Pemeriksaan acara cepat

3. Pemeriksaan acara biasa

a.d.1. Pemeriksaan Acara Singkat

pemeriksaan acara singkat yang diperiksa bukan mengenai pokok

sengketa, melainkan baru mengenai perlawanan sesuai yang diatur dalam pasal 62

dan 118 UU 5/1986, yang dapat disimpulkan bahwa pemeriksan dengan acara

singkat dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :

a. Gugatan perlawanan atas penetapan Ketua PTUN (pasal 62 ayat 3, 4, 5 dan 6

UU no 5/1986)

b. Gugatan perlawanan oleh pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 118 UU 5/1986)

Acara pemeriksan singkat terhadap gugatan perlawanan baik dari pihak

penggugat asal maupun pihak ketiga tidak diatur secara terperinci seperti yang

diatur dalam pemeriksaan cepat dan bisa, sehingga dalam praktek ada beberapa

pendapat, ada yang mengatakan harus melalui proses persidangan seperti dalam

14

Page 15: Makalah Hukum Acara

acara biasa. Dan sebagian besar mengatakan cukup dalam ruang permusyawaratan

dalam sidang yang tertutup dan para pihak diberi kesempatan untuk

menanggapinya, sedang putusannya diucapkan dalam persidangan yang terbuka

untuk umum.

a.       Pemeriksaan Persiapan

Pemeriksan persiapan diatur dalam pasal 63 UU 5/1986, yang pada

pokoknya bahwa sebelum pemeriksan pokok sengketa, Hakim wajib mengadakan

pemeriksan persiapan guna melengkapi surat gugatan yang belum jelas. Hakim

wajib memberi saran dan nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki

gugatannya dengan melegnkapi data-datanya dalam jangka waktu 30 hari, dan

dimungkinkan meminta penjelasan dari pihak tergugat. Apabila dalam tenggang

waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan dan menyerahkan perbaikan

gugatan, maka dapat dinyatakn dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat

diterima. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukumnya, tetapi dapat

diajukan gugatan baru.

UU No 5/1986 tidak mengatur tata cara pemeriksaan, oleh akrena itu

untuk memenuhi kebutuhan praktek MARI telah mengeluarkan beberapa Surat

Edaran dan Juklak, yaitu :

a) SEMARI no 2 tahun 1991 tanggal 9 juli 1991

b) Surat MARI no 052/Td TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992

c) Surat MARI no 224/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993

d) Surat MARI no 222/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993

Dari surat MARI tersebut dapat disimpulkan bahwa :

a) Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruang musyawarah dalam sidang

tertutup bisa diruang Hakim dengan tanpa memakai toga

b) Pemeriksan dapat dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh

Ketua Majelis

c) Dapat dilakukan mendengar keterangan Penggugat, tergugat serta

Pejabat TUN lainnya atau pihak ketiga yang dianggap perlu.

b.      Persidangan Terbuka Untuk Umum

15

Page 16: Makalah Hukum Acara

Dalam persidangan yang terbuka untuk umum dipimpin oleh Ketua

Sidang, dan dalam proses pemeriksaan ini pada pokoknya ada beberapa tahap:

a) Tahap Jawab Jinawab, pada tahap ini terdiri pembacaan gugatan,

jawaban tergugat, replik dan duplik

b) Tahap Pembuktian

Sesuai salah satu ciri khusus hukum acara Peratun, dimana peranan Hakim

aktif karena dibebani untuk mencari kebenaran material (pasal 63, 80, 85, 95 dan

103 UU 5/1986), maka sistem pembuktian kepada pembuktian bebas yang

terbatas.

Menurut pasal 107 Hakim menentukan apa yang dibuktikan beban

pembukatian besrta penilaian pembukatian, tetapi dibatasi pasal 100 yang

menentukan secara liminatif alat-alat bukti yang dapat digunakan, yaitu : surat

atau tulisan, keterangan saksi ahli, saksi biasa, pengakuan para pihak dan

pengetahuan Hakim

Disamping itu dalam pasal 85 memungkinkan Hakim dapat secara aktif

mencari bukti-bukti yang ada ditangan pejabat TUN.

Setelah tahap pembuktian selanjutnya adalah kesimpulan yang dibaut oleh

masing-masing pihak, kemudian sebagai tahap terahkir adalah putusan yang cara

pengambilan putusan diatur dalam pasal 97 dan bentuk serta isi putusan diatur

dalam dan 109 ayat 1 UU 5/1986.

5) Intervensi

Dalam rangka melindungi kepentingan pihak ketiga, maka dalam pasal 83

memberi kesempatan masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang

berjalan. Pihak ketiga (intervent) yang mempunyai kepentingan dapat masuk

dalam proses perkara bertindak sebagai :

1. Pihak ketiga yang membela haknya atas perkara sendiri, dibedakan :

a. Pihak ketiga yang tidak berpihak pada salah satu pihak. Apabila pihak

ketiga atas kemauannya sendiri akan ikut berproses dalam perkara,

sedang kepentingannya tidak paralel dengans alah satu pihak

melainkan hanya memperjuangkan haknya (Tuussemkomt).

16

Page 17: Makalah Hukum Acara

b. Pihak ketiga yang dengan kemauannya sendiri akan masuk dalam

perkara dan kepentingannya paralel dengan salah satu pihak maka

akan bergabung dnegan salah satu pihak (Voeging)

2. Masuknya pihak ketiga atas perkarsa salah satu pihak

Apabila dalam suatu perkara yang sedang berjalan para pihak merasa

berkepentingan untuk menarik pihak ketiga agar menjamin/mendukung

kepentingannya (Vrywaring). Disini kepentingan dari salah satu pihak paralel

denagan kepentingan pihak ketiga.

3. Masuknya pihak ketiga atas perkarsa Hakim

Apabila dalam proses pemeriksaan baik dari tahap dismissal, persiapan

maupun persidangan penyelesaian inisiatif para pihak maka Hakim dalam rangka

untuk mencapai penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta

untuk memperoleh kebenaran material dan melindungi kepentingan pihak ketiga

agar ditarik masuk sebagai pihak ketiga untuk bergabung denagn salah satu pihak

atau berdiri sendiri.

Peraturan mengenai intervensi sangat minim dan bersifat umum sehingga

dalam praktek timbul permasalahan dalam penerapan dan penafsiran pasal 83

khususnya bergabungnya pihak ketiga yang terdiri dari orang atau badan hukum

perdata yang kepentingannya paralel dengan tergugat dan berkedudukan sebagai

tergugat intervensi.

Dalam praktek kebanyakan Hakim lebih cenderung memberi kesempatan

pihak ketiga berkedudukan sebagai tergugat intervensi dengan pertimbangan

dalam rangka penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta

mencari kebenaran material serta memberi perlindungan kepada pihak ketiga akan

tetapi kasuitis. Dan batas waktu mengajukan permohonan intervensi telah

dipertegas dalam Juklak MARI no 52/Td. TUN/III/1992, yaitu pihak ketiga dapat

masuk dalam suatu perkara sampai pada acara duplik.

6) Putusan

Dalam suatu pemeriksaan sengketa di PTUN sudah selesai maka tahap

akhir dari penyelesaian sengketa adalah putusan. Putusan merupakan hasil

musyawarah majelis Hakim dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk

17

Page 18: Makalah Hukum Acara

umum yang tata caranya diatr dalam pasal 97, dan putusan harus memenuhi syarat

formil yang dituangkan dalam pasal 109 UU5/1986.

Putusan pengadilan TUN dapat berupa :

1. Gugatan gugur (pasal 71)

2. Gugatan tidak dapat diterima (pasal 77)

3. Gugatan ditolak

4. Gugatan dikabulkan

a. Seluruhnya

b. Sebagian

Apabila gugatan dikabulkan dapat dibebani kewajiban bagi tergugat

berupaya :

1. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau

2. Pencabutan keputusan TUN dan menerbutiak keputusan TUN yang baru

atau

3. Penerbitan keputusan TUN dalam hal didasarkan pasal 3

4. Pembebanan ganti rugi

5. rehabilitasi

Perihal putusan yang sering menimbulkan maslah dalam praktek adalah

menyangkut pelaksanaan (eksekusi). Putusan yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan, dan pelaksanaan putusan Peraturan

tidak dikenal pelaksanaan putusan riel, akan tetapi pelaksanaannya hanya secara

administratif, dan Ketua PTUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan (pasal

119).

Pelaksanaan putusan oleh penulis dibedakan menjadi 3 (tiga) :

a. Eksekusi Sukarela, apabila pihak tergugat setelah menerim pemberitahuan

putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kemauannya

sendiri melaksanakan diktum putusan

b. Eksekusi otomatis, apabila setelah 4 (empat) bulan putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikirim kepada tergugat dan

tergugat tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan keputusan TUN,

18

Page 19: Makalah Hukum Acara

maka keputusan TUN tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai

kekuatan hukum lagi

c. Eksekusi Hirachis, apabila dalam putusan pihak tergugat dibebani

kewajiban selain pencabutan keputusan TUN dan pihak tergugat tidak mau

melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat, Ketua PTUN

dengan surat resmi memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan.

Jika tergugat tidak melaksanakannya, maka Ketua PTUN memerintahkan

eksekusi melalui instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai pada

batas akhirnya ke Presiden (pasal 116 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 5/1986).

Apabila ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, yaitu

bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak bisa

dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak tergugat dapat

dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya (pasal 117 dan 121

UU 5/1986). Mengenai besarnya uang kompensasi dan ganti rugi ditentukan

dalam Peraturan Pemerintah no 43 tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya

yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1129/KMK.01/1991.

Sumber :

http://nurindahutami.wordpress.com/2013/02/15/proses-pengajuan-gugatan-ke-

ptun/

C. Alasan Suatu Perkara diajukan ke PTUN

Pasal 53 ayat 2 UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu

KTUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara

1. KTUN yang diajukan gugatan bertentangan dengan perundang-undangan

yang berlaku

a. KTUN tersebut bertentangan dengan ketentuaan dalan perundangan yang

bersifat formil/ procedural.

b. KTUN tersebut bertentangan dengan ketentuaan dalan perundangan yang

bersifat Materiil / Subtansial

c. KTUN tersebut dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Usaha Negara yang

tidak berwenang

19

Page 20: Makalah Hukum Acara

2. Badan atau pejabat tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenangnya

untuk tujuan lain dari maksud yang diberikannya wewenang tersebut ( KTUN

yang dikeluarkan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang

baik.

3. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 setelah mempertimbangkan semua

kepentingan yang tersangkut dalam keputusan itu seharusnya tidak sampai

pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.

Dan yang tidak termasuk sebagai suatu KTUN yang dapat digugat

menurut Pasal 2 menurut Undang-Undang No 9 tahun 2004 adalah :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat

umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat

hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil

pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional

Indonesia;

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah

mengenai hasil pemilihan umum

D. Syarat  gugatan

1) Syarat Formal

     Pasal 56 (1) UU no 5 tahun 1986 Jo UU no 9 tahun 2004 menentukan

bahwa suatu gugatan harus memuat     

20

Page 21: Makalah Hukum Acara

a. Identitas Penggugat

1). Nama lengkap Penggugat

2). Kewarganegaraan Penggugat

3). Tempat Tinggal penggugat

4). Pekerjaaan penggugat

b. Identitas Tergugat

1). Nama., Jabatan, Misalnya : Kepal Dinas…, Bupati…., Gubenur….

Menteri…, Camat…, Lurah….dan sebgainya

2). Tempat kedudukan tergugat

c. Tenggang waktu mengajukan gugatan

      Gugatan terhadap suatu Keputusan/Penetapan tertulis atau yang disamakan

dengan itu, hanya dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak

keputusan itu:

a. Setelah diterima atau dikeluarkan SK.

b. Setelah 4 bulan dilakukan permintaan dikeluarkan SK.

c. Setelah banding administratif.

      Sehubungan dengan masalah tenggang waktu mengajukan gugatan ini,

juga agar diperhatikan ketentuan dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No.

9 Tahun 2004, yakni dalam hal Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara tidak

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi kewajibannya, maka

setelah lewat jangka waktu yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud

dapat diajukan gugatan Tata Usaha Negara. Peghitungan tenggang waktu

daluwarsa mengajukan gugatan dalam hal demikian, adalah sejak lewat waktu

yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud dapat diajukan gugatan Tata

Usaha Negara. Perhitungan tenggang waktu daluwarsa mengajukan gugatan

dalam hal demikian, adalah sejak lewat waktu yang diatur dalam perundang-

undangan tersebut. Atau kalau tidak ada ketentuan tenggang waktu, maka setelah

lewat waktu tiga bulan.

d. Diberi Tanggal

Suatu gugatan biasanya diberi tanggal, hal ini berkaitan dengan tenggang

waktu untuk mengajukan gugatan. Dari tanggal surat gugatan akan diketahui

21

Page 22: Makalah Hukum Acara

apakah gugatan sudah daluwarsa, maka hendaknya ada uraian dalam gugatan

tentang kapan keputusan yang digugat itu disampaikan atau diketahui oleh

Penggugat ini untuk menghilangkan daluwarsa, akan tetapi hal itu harus

dibuktikan kemudian dalam acara pembuktian Demikian juga gugatan yang

premature (belum saatnya diajukan gugatan) akan diketahui dari tanggal gugatan

itu.

e. Ditandatangani

      Suatu surat gugatan haruslah ditanda tangani oleh Penggugat atau oleh

kuasanya yang sah untuk itu. Surat gugatan tidak perlu diberi materai, karena

biaya materai tersebut telah dihitung dalam biaya perkara (SEMA No. 2 Tahun

1991).

Syarat Material/Substansial:

Syarat material (substansial) suatu gugatan Tata Usaha Negara, meliputi :

1) Obyek Gugàtan

Dasar gugatannya: Keputusan TUN berupa

i. Penetapan tertulis Pejabat TUN (menyangkut formalnya dalam

pembuktian sèhingga memo/nota dapat memenuhi syarat tertulis, asalkan

jelas Pejabat yang mengeluarkan, isinya kepada siapa ditujukan.

ii. Berisikan tindakan hukum TUN (Mengeluarkan keputusan/Beschikking

yang bersifat Konkret (nyata tidak abstrak,misalnya keputusan

pengosongan rumah, ijin usaha atau pemecatan pegawai). Individual

(yang dituju perorangan, kalaupun umum maka nama-nama disebutkan).

Final (sudah definitive sehingga menimbulkan akibat hukum, kalau

masih memerlukan persetujuan atasan atau instansi lain belum

menunjukkan hak dan kuwajiban).

iii. Objek gugatan harus disebutkan secara jelas di dalam surat gugatan.

Misalnya dalam Perkara Tata Usaha Negara No. 01/G/l 994/PTUN-

MDN, tanggal 14 November 1994, objek gugatanya adalah Sertifikat

Tanali Hak Guna Bangunan (HGB) No. 22 tertanggal 7 Januari 1982 atas

nama M.KADIRAN.

22

Page 23: Makalah Hukum Acara

2) Posita Gugatan

Posita atau dasar-dasar gugatan, berisikan dalil Penggugat untuk

mengajukan gugatan. yang diuraikan secara ringkas dan sederhana. Posita

ini, meliputi   :

a. Fakta Hukum Fakta Hukum berisi fakta-fakta secara kronologis tentang

adanya hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat maupun

dengan objek.gugatan. Dalam fakta hukum ini juga harus diuraikan kapan

keputusan yang menjadi obyek gugatan dikeluarkan, atau diberitahukan

kepada penggugat atau kapan mulai merasa kepentingan terganggu karena

adanya keputusan tersebut

b. Kualifikasi Perbuatan Tergugat, Dalam gugatan harus diuraikan secara

ringkas dan tegas serta jelas tentang kualifikasi kesalahan dari tergugat.

Sebagaiman dimaksud dalam pasal 53 (2) UU no 5 tahun 1986 Jo II No 9

tahun 2004 misalkan dalam perkara tata usaha Negara no 01/G/1994/

PTUN –MDN merumuskan kualifikasi perbuatan / kesalahan tergugat,

sebagai berikut:

Bahwa Perbuatan tergugatr menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan

(SHGB) No 22 tahun 1982 atas nama rektor universitas Grahandika

sedangkan tanah tersebut selama ini dikuassi oleh penggugat.tanpa adanya

ganguan dari pihak manapun adalah jelas sesuatu yang bertentangan

dengan hukum atau perbuatan yang sewenang-wenang yang sangat

merugikan penggugat

c. Uraikan Kerugian Penggugat

Seandainya akibat perbuatan tergugat menerbitkan keputusan yang

disengketakan itu telah menimbulkan kerugian bagi penggugat, maka hal

itu dapat digugat dalam Gugatan Tata Usaha Negara sesuai dengan

Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1991 ganti rugi itu maksimum sebesar

Rp. 15.000.000,-. (Lima Belas Juta Rupiah), oleh karenanya diuraikan

secara rinci tentang kerugian yang timbul tersebut.

23

Page 24: Makalah Hukum Acara

d. Petitum

Adalah kesimpulan gugatan yang berisikan hal-hal yang dituntut oleh

penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Petitum itu umumnya meliputi

hal-hal sebagai berikut :

Mengabulkan/ menerima gugatan Penggugat seluruhnya

Menyatakan perbuatan Tergugat adalah perbuatan yang sewenwg-

wenang atau pernbutan yang bertentangan dengan Undang- Undang

Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan No…. Tanggal ……

yang dikeluarkan oleh tergugat:

Menghukun tergugat untuk membayar ganti kerugian sebesar

Rp……………. Kepada Penggugat (Jika ada)

Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul

dalam perkara ini untuk semua tingkatan

Petitum (apa yang menjadi tuntutan/ yang diminta)

Ada 3 (tiga) alternatif:

Pembatalan atau menyatakan tidak sah SK yang dikeluarkan Tergugat.

Ganti rugi

Rehabilitasi

Bisa mengajukan penangguhan pelaksanaan SK

e. Dalam hal ada gugatan privisi maka hal tersebut harus diuraikan  terlebih

dahulu setelah identitas para pihak dan objek gugatan diuraikan. Gugaatn

provisi itu dapat menyangkut tindakan tertentu yaitu: menunda

pelaksanaan keputusan Usaha Negara yang disengketakan sampai ada

putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atau untuk

megizinkan penggugat berperkara secara prodeo atau Cuma-Cuma.atau

mungkin juga untuk meminta suatu perkara diperiksa dengan acara cepat,

Untuk itu harus dikemukakan alasan-alasanya dalam gugatan provisi

tersebut.

Sumber :

http://po-box2000.blogspot.com/2011/05/syarat-gugatan-ptun.html

24

Page 25: Makalah Hukum Acara

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA (PTUN)

Penyelesaian Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun

1986)

Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam

menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan

hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara,

dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.

Bentuk upaya administrasi:

i. Keberatan, yaitu Prosedur( upaya administrasi) yang dapat ditempuh oleh

seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang

penyelesaiaan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut

dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan Keputusan

itu.

ii. Banding Administratif, yaitu Prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang

atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang

penyelesaiaan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut

dilakukan oleh atasan dari Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan

Keputusan itu. atau instansi lain dari Badan atau Pejabat TUN yang

mengeluarkan Keputusan yang tersebut.

Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)

Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada

kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui

Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pihak yang bersengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara

PENGGUGAT

25

Page 26: Makalah Hukum Acara

Dalam ketentuan pasal 53 ayat (1) UU no 5 tahun 1986

dirumuskan bahwa Penggugat adaalh orang atau Badan  hukum perdata

yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha

Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang

berwenang yang berisiu tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang

disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa

disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi

Dari ketentuan tersebut dapat diketqahui bahwa dalam sengketa Tata Usaha

Negara, yang dapat bertindak sebagai penggugat adalah:

i. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan taata

Usaha Negara

ii. Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh

Keputusan Tata Usaha Negara

iii. Berdasarkan yurisprudensi putusan hakim Pengadilan Tata Usaha

Negara  tanggal 9 desember 1994 Nomor 088/G/1994 Piutang/PTUN

Surabaya  bahwa organisasi lingkungan  dapat bertindak sebagai penggugat

dengan mengatasnamakan kepentingan umum jika organisasi tersebut

memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Tujuan dari organisasi ini tersebut memangn melindungi lingkungan

hidup atau menjaga kelestarian alam, tujaun ini harus tercantum dan

dapat dilihat dalam anggaran dasaqr organisasi yang bersangkutan

b. Organisasi tersebut harus berbentuk badan hukum atau yayasan.

c. Organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan

adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang

secara nyata dimasyarakat.

d. Organisasi tersebut harus cukup representatif.

TERGUGAT

Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang

dilimpahkan kepadanya.

26

Page 27: Makalah Hukum Acara

i. Jika wewenang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah

atribusi atau delegasi, maka yang menjadi Tergugat adalah badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang tersebut  untuk

mengeluarkan KTUN yang disengketakan

ii. Jika wewenang yang diberikan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara itu adalah mandat, maka yang menjadi tergugat adalah Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang memberikan wewenang kepada Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan.

Sumber :

http://po-box2000.blogspot.com/2011/05/penyelesaian-sengketa-tata-usaha-

negara.html

27

Page 28: Makalah Hukum Acara

BAB III

ANALISIS KASUS

A. Latar Belakang kasus

Muhammad Hasan, S.Sos adalah ketua KPU Depok periode 2008 sampai

dengan 2013. Dalam melaksanakan proses pilkada di Kota Depok, KPU Kota

Depok telah menolak dukungan partai Hanura Kota Depok terhadap salah satu

pasangan calon yang diajukan oleh Partai Hanura, namun meloloskan pasangan

calon lainnya yang didukung oleh partai yang sama dengan pimpinan yang sama

pula. Dengan perkataan lain, Partai Hanura Kota Depok dalam pilkada Kota

Depok Tahun 2010 telah mendukung dua pasangan calon yang menurut peraturan

perundang-undangan tidak diperkenankan, dengan kondisi ini KPU Kota Depok

harus memutuskan untuk menetapkan salah satu pasangan calon yang memenuhi

syarat administratif, yang secara objektif kondisi ini pada dasarnya merupakan

konflik internal partai.

Selanjutnya pihak yang telah ditolak tersebut, mengajukan pengaduan ke

Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu pada tanggal 27 Agustus 2012, yang

pada pokoknya mengadukan KPUD Kota Depok tidak mau melaksanakan

eksekusi keputusan mahkamah agung, yakni membatalkan surat KPUD nomor

18/R/KPU-Kota/011.329181/2010 tanggal 24 Agustus 2010 tentang Penetapan

Pasangan Calon dan Nomor Urut Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota

Kota Depok dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun

2010.

Pengaduan tersebut telah dilaksanakan dan dilakukan pencabutab

keputusan KPUD Kota Depok Nomor 18/R/KPU-Kota/011.329181/2010.

Selanjutnya pengaduan tersebut akhirnya oleh DKPP pada tanggal 17 Oktober

2012 telah diputus dengan amar putusan, yakni:

1. Menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Muhammad

Hasan dari keanggotaan KPU;

2. Memerintahkan kepada KPU Provinsi Jawa Barat untuk

menindaklanjuti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara

28

Page 29: Makalah Hukum Acara

Pemilihan Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

3. Memerintahkan kepada KPU dan Banwaslu untuk mengawasi

pelaksanaan putusan yang telah dikeluarkan.

Berkenaan dengan permasalahan yang diajukan oleh pengadu kehadapan

DKPP, sebelumnya telah diperiksa dan diputus oleh Dewan Kehormatan KPU

Jawa Barat pada tanggal 31 Mei 2011, sehingga berlaku asas hukum bahwa

‘terhadap satu persoalan tidak boleh diperiksa dan diputus untuk kedua kalinya’

(asas ne bis in idem). Sehingga apabila diperiksa atau diputus oleh DKPP maka

bertentangan dengan pasal 112 ayat (8) UU No 22 Tahun 2007 tentang

penyelenggara Pemilu.

Selain itu, keputusan pemberhentian Muhammad Hasan, S.Sos.

bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Algemene

Beginselen Van Behoorlijk Bestuur) dan telah melanggar prinsip serta tidak

mengedepankan sikap kehati-hatian.

B. Proses Penyelesaian Kasus Sengketa

C. Analisis kasus

Berawal dari pemecatan terhadap Ketua KPU Kota Depok Sdr.

Muhammad Hasan akibat dari adanya sengketa pemilukada di Kota Depok pada

tahun2010 mengenai penetapan Pasangan calon Walikota dan wakilnya yang

diusung oleh Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) bahwa KPU Kota Depok telah

menolak dukungan Partai Hanura Kota Depok terhadap salah satu pasangan

calon yang diajukan oleh Partai Hanura, namun meloloskan pasangan calon

lainnya yang didukung oleh Partai yangsama dengan pimpinan yang sama

pula.

Dengan perkataan lain Partai Hanura Kota Depok dalam Pemilihan

Kepala Daerah Kota Depok tahun 2010 telah mendukung dua pasangan

calon yang menurut peraturan perundang-undangan tidak diperkenankan,

dengan kondisi ini KPU Kota Depok harus memutuskan untuk menetapkan

salah satu pasangan calon yang memenuhi syarat administrative, yang secara

29

Page 30: Makalah Hukum Acara

obyektif kondisi hal ini terjadi pada dasarnya merupakan konflik internal

Partai.

Dari pasangan calon Walikota dan wakil Walikota yang tidak terpilih oleh

KPU Kota Depok tersebut mengadukan kepada Dewan Kehormatan

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP) dengan adanya pengaduan dengan

Nomor 012/KE-DKPP/VIII/2012, dari pengaduan tersebut keluarlah keputusan

DKPP yang memutus :

1. Menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Tetap kepada Teradu

atas nama Sdr. Muhammad Hasan dari keanggotaan Komisi Pemilihan

Umum Kota Depok Provinsi Jawa Barat, terhitung sejak

dibacakannya Putusan ini;

2. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa

Barat untuk menindaklanjuti Putusan Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilihan Umum ini sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

3. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum dan Badan

Pengawas Pemilu untuk mengawasi pelaksanaan Putusan ini;

Selain itu perkara ini sebelumnya telah diperiksa dan diputus oleh

Dewan Kehormatan KPU Provinsi Jawa Barat Nomor 01/Rek-DK/KPU-Prov-

011/V/2011 tanggal 31 Mei 2011, sehingga karenanya sebagaimana berlaku

asas hukum bahwa terhadap satu persoalan tidak boleh diperiksa dan diputus

untuk kedua kalinya (asas ne bis in idem).

Dari kronologis singkat tersebut diatas serta atas dasar menegnai duduk

persoalannya tersebut maka Muhamad Hasan, S.Sos sebagai orang yang telah di

pecat akibat perkara tersebut diatas merasa dirugikan atas keluarnya putusan

DKPP Nomor 012/KE-DKPP/VIII/2012 dan keputusan Dewan Kehormatan KPU

Provinsi Jawa Barat Nomor 01/Rek-DK/KPU-Prov-011/V/2011.

Oleh karena itu Muhamad Hasan, S.Sos menggugat KPU Provinsi Jawa

Barat ke PTUN dengan gugatan mengajukan tuntutan pembatalan atau

dinyatakan tidak sah Keputusan Tergugat, yaitu Keputusan Komisi Pemilihan

Umum Provinsi Jawa Barat Nomor: 62/Kpts/KPU-Prov-011/XI/2012 tanggal 5

30

Page 31: Makalah Hukum Acara

November 2012 tentang Pemberhentian Muhammad Hasan S.Sos sebagai

Anggota dan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Periode 2008-

2013.

Menurut asal 25 ayat (1) dan (5) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 4 serta Pasal 47 Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana

diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir diubah

dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai

“Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara”) yang menyatakan bahwa

Peradilan Tata Usaha Negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang bertugas

dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan Sengketa

Tata Usaha Negara, di mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-

undang Nomor 51 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha

Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara

orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam laporan atau gugatan yang akan diajukan ke PTUN ada beberapa

syarat yang harus dipenuhi oleh penggugat agar dapat memperkarakan gugatannya

ke PTUN, syarat tersebut adalah sebgai berikut :

1. Subyek hukum/pihak berperkara dalam sengketa tersebut harus

orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan selaku

Penggugat yang kepentingannya dirugikan oleh terbitnya suatu

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang berkedudukan sebagai pihak

Tergugat;

2. Sengketa tersebut timbul sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan

Tata Usaha Negara, sehingga yang menjadi obyek gugatan adalah

Keputusan Tata Usaha Negara yang harus mencakup unsur-unsur

sebagai berikut:

31

Page 32: Makalah Hukum Acara

a. Unsur penetapan tertulis

b. Unsur atau Badan Pejabat Tata Usaha Negara

c. Unsur tindakan hukum Tata Usaha Negara

d. Unsur bersifat kongkret, individual dan final

e. Uunsur timbulnya akibat hukum

f. Tidak termasuk pengecualian sebagaimana dimaksud dalam

pasal 2 Undang-undang Tata Usaha Negara

3. Pokok Gugatan termasuk dalam kewenangan mengadili (absolut

maupun relatif) Peradilan Tata Usaha Negara.

Gugatan yang dilayangkan Muhamad Hasan, S.Sos. ini sudah memenuhi

syarat Sengketa Tata Usaha Negara yang dapat diperiksa dan diadili di

Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahwa penggugat yaitu Muhamad Hasan, S.Sos

telah merasa dirugikan degan dikeluarkannya surat keputusan KPU Provinsi Jawa

Barat.

KPU berdasarkan Pasal 1 angka 5 dan angka 7 Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum merupakan

lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu

di Provinsi sehingga merupakan Badan Tata Usaha Negara dan karena itu

subyek hukum dalam sengketa ini memenuhi kategori sebagai subyek hukum

yang dapat menjadi pihak dalam Sengketa Tata Usaha Negara.

Oleh sebab itu gugatan ini dapat dadili dan diselesaikan di PTUN. Maka

dapat ditarik garis besarnya bahwa bahwa yang menjadi subyek/ pihak berperkara

dalam hal ini adalah Penggugat selaku orang perorangan yaitu Muhamad

Hasan, S.Sos dan sebagai pihak Tergugat adalah KPU Provinsi Jawa Barat.

Selain itu dalam gugatan yang dimasukan oleh penggugat ke PTUN

terdapat pula sengketa kepegawaian yang dapat diselesaika di PTUN,sengketa

kepegawaian itu yaitu KPU Provinsi Jawa Barat yang berwenang menangani dan

mengawasi KPU Kota Depok telah memecat anggota sekaligus ketua KPU Kota

Depok Muhamad Hasan, S.Sos.

Maka sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51

Tahun 2009, yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah

32

Page 33: Makalah Hukum Acara

sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau

badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik

di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya majelis hakim yang menentukan dan memutuskan mengenai

gugatan ini memutuskan yang menjadi objek sengketa yaitu surat Keputusan

Tergugat Nomor: 62/Kpts/KPU-Prov-011/XI/2012 tanggal 5 November 2012

tentang Pemberhentian Penggugat sebagai Anggota dan Ketua Komisi

Pemilihan Umum Kota Depok Periode 2008-2013.

Sehingga untuk menentukan apakah obyek sengketa tersebut merupakan

Keputusan Tata Usaha Negara yang menurut Undang-undang Peradilan Tata

Usaha Negara dapat menjadi obyek gugatan dalam Sengketa Tata Usaha

Negara di Peradilan Tata Usaha Negara, maka Majelis berpedoman pada

pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

1 angka 9 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara.

Keputusan Tata Usaha Negara terdapat pengecualian/pembatasan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 undang-undang tersebut yang pada

pokoknya menentukan beberapa Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak

termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-

undang Peradilan Tata Usaha Negara, salah satunya adalah Keputusan Komisi

Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan

umum (vide Pasal 2 huruf [g] Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara).

Sehingga dalam perkara ini oleh karena obyek sengketa adalah berupa

Keputusan Tergugat tentang Pemberhentian Penggugat sebagai Anggota dan

Ketua KPU Kota Depok, maka Majelis berpendapat bahwa persoalan

pemberhentian anggota KPU Kabupaten/Kota dan/atau pemberhentian

pegawai/stafnya-nya bukan merupakan bagian atau tidak berkaitan dengan

hasil pemilihan umum, tetapi merupakan urusan administrasi internal.

Pengadilan Tata Usaha Negara dalam perspektif penggunaan wewenang,

prosedur dan substansinya, oleh karena itu Keputusan Tergugat dalam perkara

33

Page 34: Makalah Hukum Acara

ini berupa pemberhentian Penggugat sebagai Anggota dan Ketua KPU Kota

Depok memenuhi kategori sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang

dapat digugat dan menjadi obyek dalam Sengketa Tata Usaha Negara.

mengenai kewenangan PTUN berkenaan dengan daerah kewenangan

pengadilan yaitu yang berwenang mengadili dalam perkara ini adalah Pengadilan

Tata Usaha Negara Bandung berwenang mengadili sebagai Pengadilan tingkat

pertama baik secara absolut maupun secara relatif atas sengketa a quo.

Dalam putusannya Majelis Hakim Menimbang, bahwa berdasarkan

keseluruhan pertimbangan selama persidangan, maka tindakan Tergugat dalam

menerbitkan Keputusan yang menjadi obyek sengketa dilakukan sesuai

dengan wewenangnya dan memenuhi ketentuan prosedur/tata cara maupun

substansi/materi sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Perihal alat- alat bukti surat lainnya yang diajukan Penggugat maupun

Tergugat karena tidak relevan maka patut untuk dikesampingkan, begitu pula

dengan alat bukti keterangan 2 (dua) orang saksi yang diajukan oleh Penggugat

yang tidak mendukung dalil gugatan juga patut dikesampingkan, karena itu

seluruh petitum gugatan harus ditolak.

Oleh karena gugatan Penggugat ditolak seluruhnya sehingga Penggugat

berada di pihak yang kalah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 110 Undang-

undang Peradilan Tata Usaha Negara, biaya perkara yang timbul dalam perkara

ini dibebankan kepada Penggugat.

BAB IV

KESIMPULAN

34

Page 35: Makalah Hukum Acara

A. Kesimpulan

B. Saran

35