makalah pembuktian hukum acara perdata.doc

24
Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata Diposkan oleh Juliana Niswah Qonita on Sabtu, 05 Mei 2012 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hokum. Dalam pembuktian itu, maka para pihak member dasar-dasar yang cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam hukum acara perdata. 2. Rumusan Masalah 1. Apa dan bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ? 2. Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?

Upload: ventus-adventus-yo

Post on 29-Nov-2015

846 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata

Diposkan oleh Juliana Niswah Qonita on Sabtu, 05 Mei 2012

BAB I

PENDAHULUAN

1.      Latar BelakangPembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu

sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hokum.

Dalam pembuktian itu, maka para pihak member dasar-dasar yang cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.

Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam hukum acara perdata.

2.      Rumusan Masalah1.      Apa dan bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ?2.      Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?

Page 2: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

BAB II PEMBAHASAN

1.      PembuktianMasuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana

dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak.

Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, diantaranya :

a.       Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.

b.      Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.

c.       Pengetahuan tentang pengalaman. [1]Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa

pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”[2]

Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang telah dikecualikan diatas, Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai arti yuridis. Seperti yang diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, membuktikan berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Lebih lanjut Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan pembuktian ilmiah adalah semata-mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak meragukan serta mempunyai keputusan hukum. Putusan pengadilan harus objektif sehingga tidak ada pihak yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.  

Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam HIR dan Rbg adalah hokum pembuktian yang materiil maupun formil.[3]

Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan maka yang harus dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah menemukan peristiwanya

Page 3: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum terhadap peristiwa yang tersebut, kaitan antara peristiwa dan hukum yang ada tersebut.

Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah kebenarannya dimana kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim tidak boleh melampaui batas yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada pemeriksaan oleh hakim. 

Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut.[4]

Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.[5]

Sesuai pasal 283 HIR “Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163)”[6]

Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. [7] Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.

1.      Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)[8]Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari

atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).

2.      Teori Hukum SubjektifTeori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan

hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.

Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

3.      Teori Hukum ObjektifTeori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada

hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.

4.      Teori Hukum Publik[9]Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan

kepentingan publik.5.      Teori Hukum Acara

Page 4: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai macam alat bukti akan dibahas di poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan saksi ahli. [10]

2.      Macam-macam Alat BuktiPada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan perkembangannya.

2.1  Pengertian Alat Bukti dan Perkembangannya.Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang

memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat bukti tertentu.[11] Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.

Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.

Namun di beberapa Negara seperti Belanda[12], telah terjadi perpindahan pola pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi.

Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu  saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.

Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar  yang disebutkan Undang-Undang.[13]

2.2  Macam-macam Alat BuktiMenurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti

yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).

a.       Alat bukti tertulis

Page 5: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.

Pertama  adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.[14] Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.

Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).

Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[15]

Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.[16]

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :

a.      Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,b.     Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

c.     Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[17] Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :

a.       Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;b.      Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis

tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun

membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[18]

Page 6: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

c.       Alat bukti kesaksianAlat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW.

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[19]

Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

d.      Alat bukti persangkaan“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik

dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.

Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.[20]

e.       Alat bukti pengakuanPengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH

Perdata pasal 1923-1928.Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan

persetujuan dari pihak lawan.Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam

tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.[21]

f.       Alat bukti sumpahSumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan

atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

g.      Pemeriksaan setempatSalah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan

setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya memiliki maksud sebagai berikut :

a.       Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan ke tempat objek yang diperkarakan.

b.      Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat barang itu terletak.

c.       Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang  anggota Majelis yang bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.[22]

h.      Saksi ahli/Pendapat ahli

Page 7: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of  knowledge”. [23]Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia :

a.       Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasib.      Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalamanc.       Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta melebihi

kemampuan umum orang biasa (ordinary people).[24]Dari pengertian diaatas tidak  semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika

dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.

Page 8: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

BAB III PENUTUP

Kesimpulan-          Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya

diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

-          Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.

-          Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

-          Macam-macam Alat Buktia.       Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

b.      Alat bukti kesaksianAlat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW.

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.

c.       Alat bukti persangkaan“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik

dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.

d.      Alat bukti pengakuanPengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH

Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.

e.       Alat bukti sumpahSumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan

atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka

Page 9: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

f.       Pemeriksaan setempatSalah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan

setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR

g.      Saksi ahli/Pendapat ahliAgar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu

dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of  knowledge”.  Dari pengertian diaatas tidak  semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.

Page 10: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang Udang Hukum PerdataMertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII)Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van het Nedherlands Burgerlijk Recht, Vijfde Deel : Van

Bewijs, N.V. Uigevers Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. 1953.Reglement Biusten Govesten (RBg)Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 132- 133

[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (RhedBook Publisher), 422

[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 137

[4] Reglement Biusten Govesten (RBg), 18

[5] Opcit, 139

[6] Opcit,  47

[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 142

[8] Asser – Anema – Verdam, 64

[9] Ibid, 72

[10] Kitab Undang Udang Hukum Perdata (RhedBook Publisher), 422

[11] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 554

[12] Opcit, 555

[13] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 556

[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 149

[15] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 566

[16] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 158

[17] Opcit, 607

[18] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),  616-622

[19] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),  166

[20] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),  684

[21] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),  181

[22] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 781

[23] Ibid, 789

[24] Ibid, 790

Page 11: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara PerdataHome » Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

A. Teori Pembuktian

1. Pendahuluan

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam

mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata.

Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesiaberpendapat bahwa

sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak

pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk

hukum materil.

Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan

hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum

acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitabundang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat

ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal

pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.

Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan

Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.

2. Pengertian Pembuktian/membuktikan

“Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung

beberapa pengertian:

a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan

adanya bukti lawan.

Page 12: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

b) Membuktikan dalam arti konvensionil

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:

- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)

- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis

Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi

setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.

Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya

berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian

dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka

hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi

secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti

mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang

memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah

melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang

kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan

hakim.

Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan

mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum

acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

3. Prinsip-Prinsip Pembuktian

Page 13: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang

menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.

Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu

perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka

gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal,

apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.

Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang

secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.

Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta

lebih mahal dari di desa.

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa

perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan

bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri

yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban

pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan

yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:

" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan

peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain,

diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"

4. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian

Page 14: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus

dinilai.

Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajibmempercayai

satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat

oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps.

165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau

para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :

a) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian

seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan

kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

b) Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan

sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306

Rbg, 1905 BW)

c) Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi

dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

5. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian

Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh

para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat

buktinya.

Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim,

antara lain:

Page 15: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)

Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang

menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.

b) Teori hukum subyektif

Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan

mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus

membuktikannya.

c) Teori hukum obyektif

Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim

menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus

membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk

diterapkan pada peristiwa itu.

d) Teori hukum publik

Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh

karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada

kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus

disertai sanksi pidana.

e) Teori hukum acara

Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim

merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan

menang antara para pihak adalah sama.

B. Alat-Alat Bukti

Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu

1. Surat-surat

Page 16: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

2. Kesaksian

3. persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;

1. Surat-Surat

Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu

tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu

ditandatangani.

Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).

Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang

menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah

notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.

Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig

bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa

yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan

penambahan pembuktian lagi.

Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang

pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani

sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu

mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa

yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian

yang sama dengan suatu akte resmi.

Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk

membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang

berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan

Page 17: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut

telah melakukan pemalsuan surat.

Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu

pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk

mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.

2. Kesaksian

Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting

dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.

Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh

seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.

Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa

yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk

menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang

saksi.

Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak

lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.

Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh

mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu

selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.

3. Persangkaan

Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa

yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.

Page 18: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri

(watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).

Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu

pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya,

adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan,

bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.

Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana

tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu

perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar

memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-

saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut

hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu

persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu

lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.

4. Pengakuan

Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak

lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah

membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.

Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang

kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu

peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa

peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.

Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat,

tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia

mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia

terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga

merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan

yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare

Page 19: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan

terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.

Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu

proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan

pemisahan kekayaan.

5. Sumpa

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan”

(supletoir eed).

Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang

berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika

pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan

pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah

itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan”

perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah

yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya

bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan

berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan,

maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia

mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim

harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim

memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan

yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh

pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan

itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa

sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara.

Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang

beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan

pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan

Page 20: Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata.doc

putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah

tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.

Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak

sumpah itu. Tetapi ia tak dapat “mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap

sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan

sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang

beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi

atas kehendak hakim itu sendiri.

Daftar Pustaka

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita,

2005, Cet. XXV

Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: C.V . Mandar

Maju, 2005, Cet. X

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, Yogyakarta: Liberty, 2006, Cet. I