makalah galuh hati - endang sulistyowati
DESCRIPTION
Makalah Bedah Buku Novel Galuh HatiTRANSCRIPT
-
1
ABUL, DIANGGAP TAK ADA KARENA IA BUKAN PENDULANG INTAN:
KAJIAN TOKOH DAN PENOKOHAN NOVEL GALUH HATI DENGAN
PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Naskah ini disebarluaskan oleh:
www.onoffsolutindo.com dengan seijin Hj. Endang Sulistyowati, M. Pd selaku penulis makalah.
-
2
ABUL, DIANGGAP TAK ADA
KARENA IA BUKAN PENDULANG INTAN:
KAJIAN TOKOH DAN PENOKOHAN
NOVEL GALUH HATI DENGAN
PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Oleh Dra. Hj. Endang Sulistyowati, M. Pd
Disampaikan dalam Seminar Sastra Bedah Buku
STKIP PGRI Banjarmasin
21 Mei 2014
PENDAHULUAN
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990, dalam Ratna, 2012:106),
psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu: (1) Studi
psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, studi ini merupakan bagian
dari psikologi seni, (2) Studi proses kreatif, studi ini merupakan bagian dari
psikologi seni, (3) mempelajari dampak-dampak sastra pada pembaca, studi ini
merupakan bagian dari sosiologi pembaca, dan (4) studi tipe-tipe psikologi dan
hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, studi ini berkaitan
dengan psikologi karya sastra.
Psikologi sastra dalam pengertian yang keempat di atas, tersirat bagaimana
psikologi yang dapat digunakan untuk menginterpretasi dan menilai karya sastra.
Oleh karena itu lebih tepat disebut pendekatan psikologi sastra. Dalam hal ini
Wellek dan Warren mencontohkan bagaimana tokoh-tokoh dalam karya sastra
(novel, cerpen, atau drama) dinilai apakah benar secara psikologis.
Seperti dikatakan Wellek dan Warren (1990) dalam penciptaan karya
sastra memang kadang-kadang ada teori psikologi tertentu yang dianut pengarang
secara sadar atau samar-samar, dan teori tersebut ternyata cocok untuk
menjelaskan tokoh-tokoh dan situasi cerita. Dalam novel Jalan Tak ada Ujung,
misalnya Mochtar Lubis tampak menganut teori psikoanalisis, seperti yang
kemudian diuraikan dalam pembahasan M.S. Hutagalung.
Analisis psikologi terhadap karya sastra, terutama fiksi dan drama
tampaknya memang tidak terlalu berlebihan karena baik sastra maupun psikologi
sama-sama membicarakan manusia. Bedanya sastra membicarakan manusia yang
diciptakan (manusia imajiner) oleh pengarang, sedangkan psikologi
membicarakan manusia yang diciptakan Tuhan yang secara riil hidup di alam
nyata (Ibid: 106-107).
Meskipun sifat-sifat manusia dalam karya karya sastra bersifat imajiner,
tetapi dalam menggambarkan karakter dan jiwanya pengarang menjadikan
manusia yang hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaannya. Lebih-
lebih salah satu tuntutan karakter tokoh adalah adanya dimensi psikologis tokoh,
disamping dimensi social dan fisik (Ibid: 107).
Dengan demikian, dalam menganalisis tokoh dalam karya sastra dan
perwatakannya seorang pengkaji sastra juga harus mendasarkan pada teori dan
hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia (Ibid:
107).
Latar belakang munculnya pendekatan psikologi sastra disebabkan oleh
meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang
mulai diterbitkan dalam bahasa Inggeris, terutama The Interpretation of Dreaming
(Tafsiran Mimpi) dan Three Contribution to a Theory of Sex (Tiga Sumbangan
Pikiran ke Arah Teori Sex (Hardjana, 1984) (dalam Wiyatmi, 2008:1078.
Yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendekatan psikologi sastra
menurut Wellek dan Warren adalah bahwa seandainya pun seorang pengarang
berhasil membuat tokoh-tokohnya berlaku sesuai dengan kebenaran psikologis
perlu dipertanyakan apakah kebenaran semacam itu bernilai artistic (Ibid: 108).
-
3
Sebab banyak karya besar yang menyimpang dari standar psikologi
sezaman atau sesudahnya. Karya sastra kadang menyajikan situasi-situasi yang
terkadang tidak masuk akal dan motif-motif yang fantastis, dan bahkan upaya
mendramatisasi cukup dominan kehadirannya (Ibid: 108).
Pada kasus-kasus tertentu memang pemikiran psikologi menambah
keartistikan karena menunjang koherensi dan kompleksitas karya, tetapi
pemikiran psikjologi dalam karya sastra tidak hanya dicapai melalui pengetahuan
psikologi saja. Kebenaran psikologi yang terdapat dalam karya sastra baru
mempunyai nilai artistic jika menambah koherensi dan kompleksitas karya.
Dalam arti merupakan bagian integral dari karya sastra itu sendirti (Ibid: 109).
ASPEK KEJIWAAN PARA TOKOH DALAM NOVEL GALUH HATI
Novel Galuh Hati (GH) karangan Randu yang baru saja diluncurkan dan
telah dibicarakan dalam banyak forum dan diskusi sastra sangat menarik untuk
dikaji dengan pendekatan psikologis. Hal ini mengingat para tokoh ciptaan Randu
yang bermain di dalamnya sarat dilekati dengan beban psikologis yang berbeda
satu sama lainnya.
Beban psikologis yang dilekatkan Randu kepada tokoh bernama Abul
adalah frustrasi eksistensial menurut teori Viktor Frankl (dalam Hambali dan
Jaenuddin, 2013:240). Abul ingin seperti teman-teman sebayanya, yakni putus
sekolah dan sejak dini mulai merintis karier sebagai pendulang intan. Namun
keinginan itu tak pernah terlaksana karena sikap tegas ayahnya yang lebih suka
melihat anaknya pergi ke sekolah ketimbang pergi lokasi pendulangan intan.
Di Cempaka, seseorang dianggap tak ada, tidak diperhitung
keberadaannya, alias nonsen belaka, jika ia bukan seorang pendulang intan. Jika
ingin diakui sebagai orang yang ada, orang yang dihitung keberadaannya di
Cempaka, maka tidak ada pilihan lain, yakni ikut menekuni profesi sebagai
pendulang intan. Perlakuan diskriminatif yang menohok harga dirinya itulah yang
diterima Abul, itulah beban psikologis yang membuatnya mengalami frustrasi
eksistensial.
Tokoh idola Abul adalah Antas orang yang namanya tetap dikenang
meskipun ia sendiri sudah lama tidak diketahui di mana berada dan bagaimana
nasibnya setelah ia menjadi korban pembokongan yang dilakukan oleh
sahabatnya sendiri: Kai Amak. Antas sebagai penemu Galuh Hati dimitoskan
sebagai seorang pendulang intan yang mampu memperoleh intan dengan
linggangan terbalik. Dia tak perlu menggali batu dulangan, tetapi cukup
memasukkan linggangannya ke dalam air dengan cara terbalik, dan sejenak
kemudian linggangan itu akan penuh dengan batu dulangan yang entah bagaimana
bisa masuk sendiri ke dalam linggangannya.
Sedangkan beban psikologis yang dilekatkan Randu pada tokoh bernama
Kai Amak adalah kehampaan eksistensial menurut teori Viktor Frankl (dalam
Hambali dan Jaenuddin, 2013:240). Kai Amak adalah individu yang dilanda
keraguan atas makna kehidupan yang dijalaninya. Ia kaya raya, namun ia tidak
bahagia karena ditinggal minggat oleh istri dan anaknya. Selain itu, seumur
hidupnya ia selalu dihantui oleh perasaan bersalah, karena dulu pernah melakukan
pengkhianatan terhadap sahabatnya sendiri: Antas. Seumur hidupnya ia merasa
hampa dan tak bermakna. Hidup baginya sekadar menjalani hukuman psikologis
atas dosa-dosa yang dilakukannya sebagai pembokong Antas dan pelaku
perdagangan intan illegal.
ASPEK KEJIWAAAN TOKOH ABUL DAN AYAHNYA
Di Cempaka, seseorang dianggap tak ada, tidak dihitung keberadaannya,
alias nonsen belaka jika ia bukan seorang pendulang intan. Jika ingin diakui
sebagai orang yang ada, orang yang dihitung keberadaannya di Cempaka, maka
tidak ada pilihan lain, yakni ikut menekuni profesi sebagai pendulang intan.
Perlakuan diskriminatif yang menohok harga dirinya itulah yang diterima Abul,
tokoh wirawan dalam novel Randu yang terbaru: Galuh Hati (GH).
-
4
Abul (12 tahun) terpaksa memendam hasratnya yang begitu besar untuk
ikut merasakan bagaimana rasanya kehidupan yang bermartabat sebagai seorang
pendulang intan.
Dia merasa iri setengah mati melihat teman-teman sebayanya seperti:
Anang, Bulkini, Dondong, Ewel, Namba, Sandi, dan Utuh dapat dengan mudah
melakoni hasratnya itu.
Begitu usianya menginjak delapan tahun mereka langsung ditarik orang
tuanya dari bangku sekolah mereka masing-masing untuk kemudian dipekerjakan
sebagai pendulang intan cilik.
Abul tak pernah diizinkan ayahnya ikut bekerja sebagai pendulang intan.
Ayahnya lebih suka dia tetap sekolah karena khawatir anak semata wayangnya itu
tewas karena mengalami kecelakaan kerja ketika mendulang intan.
Rasa khawatir yang demikian itu bersumber dari pengalaman maut yang
hampir saja merenggut nyawanya lima tahun yang lalu. Untunglah, nyawanya
berhasil diselamatkan, namun akibat kecelakaan kerja itu kedua tangannya harus
diamputasi. Tanpa tangan, maka habislah kariernya sebagai seorang pendulang
intan, dan itu berarti ia telah kehilangan martabatnya sebagai seorang lelaki di
Cempaka.
Praktis sejak itu dia tak bisa lagi bekerja sebagai pendulang intan. Sejak
itu dia hidup sebagai lelaki invalid yang mengantungkan kehidupannya kepada
kebaikan istrinya. Maklumlah, sejak itu dia menjadi tanggungan isterinya. Setiap
hari kerjanya cuma mondar-mandir di dalam rumah.
Lebih daripada itu, ayah Abul khawatir anaknya akan menjalani
kehidupan yang rutin tanpa masa depan sama sekali, jika anaknya sejak dini
sudah ikut-ikutan bekerja sebagai pendulang intan. Ayah Abul memprediksi
bahwa masa depan yang baik dapat diraih Abul jika anaknya itu tetap sekolah.
Prediksi ini secara factual sangatlah imajinatif bahkan cenderung
spekulatif, karena sampai sejauh ini belum ada contoh kongkritnya di kampung
Cempaka. Belum ada orang yang sukses hidupnya karena ia berpendidikan
tinggi. Sebaliknya, contoh orang yang sukses karena profesinya sebagai
pendulang intan sangatlah banyak, salah seorang di antaranya adalah Kai Amak.
Kata para pendulang. Ayah tertimbun batu saat menambang galuh.
Sebuah batu besar menggelinding mengenai dirinya ketika tebing di pendulangan
runtuh. Ayah berusaha melindungi kepalanya dari tumbukan batu tersebut
dengan kedua tangannya. Dia menahannya sekian lama sebelum akhirnya
puluhan orang mengangkat batu itu.
Saat batu itu berhasil disingkirkan, orang-orang mengatakan padaku
mereka bisa melihat putih tulang Ayah dari persendian hingga ujung jari. Setelah
sadar dari koma panjangnya di rumah sakit Banjarbaru Ayah telah kehilangan
dua tangannya.
Andai saja itu hanya sekedar kehilangan beberapa kilo daging, tentu Ayah
tak harus menbengar ocehan orang-orang di desaku. Di Cempaka, kehilangan
tangan bagi seorang lelaki berarti kehilangan kehormatan dan penerimaan.
Ayah tidak bisa lagi mendulang intan, satu-satunya pekerjaan para lelaki
di kampung kami. Seumur hidup Ayah akan menghabiskan waktu dalam rumah.
Sesekali ia termangu di beranda atau berteriak antasias kepada para pendulang
yang melintas di depan rumah. Ia selalu berharap mereka mau singgah untuk
menikmati segelas kopi pahit bersamanya, meski ia tahu orang-orang itu akan
menolak ajakannya dengan halus.
Kecelakaan mengubah kehidupan Ayah, namun tak pernah mengubah
pandangan-pandangannya. Ayah semakin mudah gembira saat mendengar kabar
ada intan besar yang ditemukan. Dia juga mudah memicingkan mata jika
mendengar cerita tentang turis-turis yang datang ke pendulangan.
Ayah akan bangkit dari tempat duduknya saat senja kuning membias di
sepotong langit. Dengan tergesa-gesa ia akan menyiapkan telinganya untuk
mendengar berita dariku tentang seseorang yang terkubur di pendulangan intan
-
5
hari itu. Lalu, dia akan menghindariku selama berhari-hari untuk merenung
(halaman 7-9)
Tanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga diambil alih isterinya
yang membuka warung makan/minum di sebuah lokasi pendulangan intan
(halaman 26). Ia dibantu oleh Abul, anaknya yang semata wayang itu (halaman 6-
7).
Sejak peristiwa yang menimpa Ayah di pendulangan intan lima tahun
silam, Ibu menjadi orang paling sibuk di keluarga kami. Setiap pagi ia menguleni
adonan, menyalakan api, mengoleskan hinti (isi dalam kue, biasanya terbuat dari
adonan pisang) ke permukaan wadai (kue), menanak nasi, menyeduh air panas,
dan menyiapkan semua keperluan dagangannya di tanah pendulangan (halaman
26).
Abul berpendapat, pekerjaan sebagai seorang pendulang intan lebih
terhormat dibandingkan dengan pekerjaannya sebagai penunggu warung
makanan/minuman, yang tak lebih dari pekerjaan seorang pelayan. Lebih-lebih
karena pekerjaannya itu ia sering diejek oleh teman-teman sebayanya yang
bekerja sebagai pendulang intan.
Namun, orangtuanya, terutama sekali ayahnya, ingin agar Abul tetap
sekolah, dan melarangnya ikut bekerja sebagai pendulang intan seperti halnya
teman-teman sebayanya di Kampung Cempaka.
Tapi, meski kecintaan Ayah pada tanah pendulangan begitu besar, dia tak
pernah menyuruhku mendulang intan. Seperti seorang remaja yang tidak mau
cinta pertamanya direbut, Ayah mengalihkan perhatianku ke hal-hal lain. Alih-
alih menggantungkan seragamku, Ayah menyuruhku untuk tetap melanjutkan
sekolah. Dari semua atribut yang menjadikan Ayah sebagai orang Cempaka,
hanya hal ini yang membuatnya terlihat berbeda. Hampir semua orang di desaku
menarik anaknya dari sekolah begitu mereka menginjak usia belasan tahun.
Mereka akan dijadikan koloni yang saling menguatkan di pendulangan.
Hingga aku duduk di bangku kelas enam aku tak pernah memprotes apa
yang diputuskan Ayah untukku. Meski dengan terus bersekolah, Ayah seperti
menjerumuskanku dalam pusaran kehidupan penuh ejekan dan pengasingan.
Para lelaki di kampong kami memnyebut Ayah sebagai orang yang terbuang. Tak
hanya itu, berkat kehadiranku di sekolah mereka mulai mengatakan bahwa pada
dasarnya kami adalah keluarga pengecut. Namun, bukan pada Ayah semua
hinaan itu dilontarkan, melainkan kepadaku.
Ini menyakitkan
(halaman 7-9).
Lalu, suatu hari Ibu mengatakan usul yang membuat duniaku berputar
cepat. Aku diminta ibu untuk berjualan di tanah pendulangan. Secara ekonomi,
halite memang menguntungkan, tapi disisi lain ini membuatku seperti seorang
tentara yang terjun paying sendirian ke daerah musuh. Para pendulang sialan itu
akan menelanku mentah-mentah. Tidak ada seorang lelaki, setidaknya di
kampungku, yang mau menyeduh teh dan mencuci piring di warung. Lelaki di sini
memiliki tangan berbentuk kerucut besar yang menyimpan daki di semua lubang
pori-pori. Tapi, perkara berjulan di pendulangan itu menjadi sebuah keputusan
setelah Ayah menyetujuinya. Lalu, dengan kondisi keluarga kami yang serba
kekurangan, keputusan itu menjelma menjadi kewajiban yang harus aku jalani.
Aku menjalani hari pertamaku sebagai penjaga warung minum dengan
perasaan buruk. Aku mengenal Ijam, Odew, Saad, Anang, Acid, Rijal, Rijal,
Maptuh, Tukacil, Tuhalus, Ulai, Acah, Isam, dan banyak orang di pendulangan
dalam bau tengik yang sama. Mereka disiksa seperti roh-roh yang terjebak di
antara anasir alam: tanah, pasir, air, dan matahari. Dengan tubuh berbalut
lumpur mereka berjalan menuju warungku. Napas mereka memburu. Lumpour
yang mereka bawa dari pendulangan tercap kuar di kursi kayu cokelat yang
hamper roboh. Dalam beberapa hari aku segera menyadari bahwa mendulang
intan adalah siksaan yang harus dijalani orang-orang di desa kami sepanjang
hidup mereka.
-
6
Aku sudah menduga bahwa aku akan merasa bosan berada di
pendulangan. Namun, aku tak menyangka rasa bosan ini muncul di hari
pertamaku bekerja. Lubang-lubang besar dan kecil, tiang-tiang bamboo
bersilang-silang yang diikat dengan sabut, dan mesin genset penyedot air yang
menyemburkan gumpalan asap hitam membuatku muak berada di lingkungan ini
(halaman 9-11).
Di hari pertama berdagang aku membantu Ibu menyiapkan semuanya.
Namun, pada hari berikutnya ibu melarangku mengerjakan semua itu. Ibu bilang
hanya ingin melihatku bersekolah dengan baik (halaman 26).
Demam yang menyerang ibu selama tiga hari ini membuatnya tak bisa
menemaniku menjaga warung. Ini siksaan bagiku karena siapa pun yang ada di
pendulangan bebas megejekku tanpa perlu mempertimbangkan apakah aku
terluka atau tidak (halaman 27).
Rumah telah kosong saat aku tiba siang itu. Aku meletakkan tas sekolah
dan berbaring di tikar tanpa membuka sepatu. Setelah selesai makan, aku
bergegas ke pendulangan. Di sana dengan mata menyipit menghindari terik
matahari ibu menyambutku. Ibu menanyakan alasan keterlambatanku.
Baiklah, hari ini ada banyak orang di warung kita. Aku sedikit kewalahan karena sendirian. Mereka datang karena ingin melihat Kai Amak yang
khabarnya akan mendulang hari ini. Aku berdiri mengelap gelas dan meja. Mataku tak lepas dari kerumunan
pria yang berdiri berbincang-bincang di dekat beberapa timbunan. Latar
belakang langit yang menyilaukan hanya ditutupi sedikit asap yang membumbung
di sana-sini. Aku penasaran, tetapi aku tahu bahwa aku tak bisa mendekati
mereka tanpa berisiko mendapat ejekan (halaman 31-32).
Orang-orang di sini, mereka semua selalu mengejek aku. Gil menatapku dan sedikit terkesiap.
Aku tidak mendulang semenjak kecelakaan yang menimpa ayahku. Dia melarangku pergi mendulang. Dia ingin aku melakukan untuknya apa yang selalu
diimpikannya sejak kecil, menjadi seorang yang terpelajar (halaman 128).
Dari dulu aku merasa sebagai pecundang. Aib bagi desa ini dan menjadi
olok-olokan mereka. Sejak peristiwa yang membuat Ayahku tak mampu lagi
mendulang, aku telah menjadi pesakitan karena sesuatu yang di luar
keputusanku. Meski tak adil, aku menjalani nasib sebagai sasaran kebencian dan
karena itu semua aku mudah menghakimi setiap percakapan, setiap bisik-bisik,
bahkan sekedar pandangan yang terlalu lama (halaman 247).
Rasa khawatir ayah Abul dari hari ke hari semakin bertambah besar saja,
dan puncaknya terjadi ketika Utuh, teman sebaya Abul mengalami kecelakaan
kerja di pendulangan intan. Tubuhnya yang kecil mungil, kurus kering tanpa
daging itu tanpa ampun tertimbun tanah longsor hingga remuk redam tak karuan.
Namun, di mata Abul kematian seperti itu adalah kematian yang dahsyat dan
sangat membanggakan. Utuh di mata Abul adalah sosok yang mati syahid ketika
tengah mencari nafkah.
Namun, waktu terlalu rakus di tanah ini. Seperti yang selalu terjadi, tidak
ada tubuh yang cukup tangguh untuk bertahan dalam reruntuhan. Aku menyibak
kerumunan dan menemukan jasad seseorang telah diletakkan dalam tandu
karung. Aku mencoba untuk tidak menangis saat melihat tubuh membujur dibalut
lumpur dengan bibir yang telah meucat. Aku mengenali laki-laki itu. Dia adalah
Utuh, temanku yang baru saja berhenti bersekolah. Sesaat aku merasa mata itu
menatap kepadaku.
Kebisuan dipecahkan oleh bisikan dan gumaman yang merambat seperti
doa. Seseorang menarik tanganku meminta ruang di samping kepala jasad. Itu
ayah Utuh. Dia menarik kedua tangan anaknya yang kaku tertekuk dan
melipatnya di depan dadanya. Lalu, perlahan ia mengusap wajah mayat dengan
dua jari menekan kelopak mata.
Sampai jasad Utuh dikebumikan, lelaki itu tak menangis (Halaman 12-13).
-
7
Meskipun secara social sempat mengalami perlakuan buruk, dan secara
psikologis pernah mengalami perasaan sebagai figure tak bernilai secara social,
Abul melalui ketekunannya bersekolah akhirnya berhasil meraih masa depan yang
gemilang. Dia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan diterima bekerja
sebagai guru di sekolah yang ada di kampungnya, tempat di mana dia bersekolah
puluhan tahun yang lalu.
Novel GH diakhiri dengan cerita yang menegaskan bahwa prediksi ayah
Abul tempo hari terbukti kebenarannya. Ketika teman-teman Abul yang lainnya
tewas secara mengenaskan ketika bekerja sebagai pendulang intan (yang antara
lain dialami oleh Utuh), Abul tetap hidup dan bahkan berhasil menyelesaikan
pendidikannya, dan berhasil meraih impiannya masa kanak-kanaknya yakni
bekerja sebagai seorang guru yang sangat dihormati di kampong Cempaka.
Aku tak bisa berlama-lama menyesali kejadian itu karena segera setelah
itu ujian sekolah tiba. Sepanjang minggu mataku berkunang-kunang oleh buku-
buku dan lembar-lembar jawaban. Ibu membebaskanku dari menjaga warung
atas perintah ayah. Sebagai gantinya aku harus belajar siang dan malang agar
lulus dengan nilai terbaik. Ayah tahu apa yang biasanya berlaku di sekolah kami
setiap tahun. Anak-anak dengan nilai terbaik akan diberi beasiswa dan
disekolahkan di SMP Negeri Banjarbaru (halaman 106).
Aku melakukan apa yang diinginkan ayah. Aku belajar hingga mataku
berkunang-kunang. Sebagian karena aku memang ingin bisa lulus, sebagian lagi
karena aku tiba-tiba mengetahui bagaimana menjadi anak yang tak pernah diberi
kesempatan untuk bersekolah. Saat ini yang ingin kulakukan adalah
meninggalkan kampungku dan tinggal di sebuah tempat tanpa asap mesin, terik
matahari garang, dan lumpur. Nilai tertinggi adalah tiket bagiku untuk keluar
dari dari tempat ini (halaman 106-107).
Enam hari. Aku hanya meninggalkan pendulangan intan selama itu. Tentu
saja tidak banyak yang berubah. Selama tiga tahun ini gambaran tentang
pendulangan seakan sudah menjadi gambar beku di mataku (halaman 133).
Tahun 2024 merupakan tahun imajiner, yakni tahun ketika Abul (24
tahun) dibayangkan sudah menyelesaikan pendidikan tingginya, dan sudah
berstatus sebagai guru di sekolah dasar tempatnya dulu menuntut ilmu (2007-
2013).
Di sebuah ruang kelas Abul sedang duduk di kursi guru menunggu
seorang muridnya yang masih berkutat mengerjakan tugasnya menjawab soal-
soal ujian.
Murid-muridnya yang lain sudah ke luar kelas semua, murid yang satu ini
rupanya mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugasnya menjawab soal-soal
ujian dimaksud. Hal itulah yang membuatnya tetap berada di ruang kelas hingga
sekarang ini.
Menilik dari kulit tubuhnya yang hitam legam karena selalu terkena sinar
matahari langsung, Abul dapat menebak dengan tepat bahwa selepas sekolah
muridnya yang satu ini ikut bekerja sebagai seorang pendulang intan di salah satu
lokasi pendulangan intan di Kecamatan Cempaka.
Setelah menerima penyerahan kertas jawaban ujian dari muridnya itu,
Abul memintanya untuk bertahan sebentar. Abul kemudian memperlihatkan
selembar foto dirinya bersama dengan seorang teman sebayanya: Gilarda Florens.
Abul selalu membawa foto ini ke mana pergi.
Foto itu diselipkannya di dalam dompet. Muridnya berkomentar bahwa
orang yang berfoto di samping Pak Guru Abul adalah seorang gadis idiot, dan
lokasi pengambilan foto bersama itu adalah di salah satu lokasi pendulangan intan
yang ada di Kecamatan Cempaka, dan foto bersama itu diambil ketika hari sedang
dilanda senja kuning (halaman V-VI).
Kupikir waktunya telah habis. Di luar sudah lengang dan di depanku
tersisas satu anak yang masih berkutat dengan kertas ujiannya. Ketika aku
berniat memperingatkannya, dia telah mendorong mejanya dan mengeluarkan
-
8
lenguh dramatis. Lalu dia melangkah meninggalkan bangkunya dengan ayunan
kaki seperti orang kehilangan harapan. Mukanya menyeringai konyol.
Saya tak akan berhasil, Pak. Soal-soal ini terlalu sulit. Aku berkernyit. Kutanayakan padanya apakah dia salah satu dari anak
pendulang di Cempaka, meski sebenarnya aku telah mengetahui dari warna
kulitnya yang terbakar. Dia tersipu dan mengangguk.
Kau punya waktu? tanyaku. Ada yang hendak kusampaikan. Dia berhenti, memandangiku.
Tentang saya? tanyanya ragu. Tentang tempat dudukmu, tentang seseorang yang pernah berada di
tempat dudukmu. (halaman V) Dia menoleh ke arah bangku yang barusan ditinggalkannya dan kemudian
kembali memandangiku.
Aku mengangguk tersenyum.
Ini tidak akan lama, bujukku sambil menggandeng dirinya kembali ke bangku. Di sana aku mengeluarkan dua lembar foto dari dalam dompetku.
Kuambil yang paling atas, menatapnya sesaat lalu menunjukkan foto itu
kepadanya.
Namanya Gil, ucapku. Gilardian Florens, Anakj itu mengamatinya beberapa lama.
Dia idiot> Jika saja aku tak pernah mengalami kesan yang sama saat pertama kali
melihat Gil, aku akan menegurnya dengan keras. Namun, aku tak bisa
menyalahkannya karena sebutan itulah yang nyaris selalu ada di kepala setiap
orang tentang tunagrahita.
Dia terus mengamati foto itu, dua anak tersenyum canggung pada kertas
yang mulai using. Dan tiba-tiba dia menunjuk sesuatu di latar foto tersebut.
Saya tahu ini ini di pendulangan. Saat Senja Kuning? (halaman VI).
Abul kemudian bercerita kepada muridnya itu tentang Gilardia Florens
yang menjadi sahabat karibnya di masa lalu. Tidak lama kemudian penjaga
sekolah menutup pagar. Pak Guru Abul menyuruh muridnya pulang karena pintu
pagar sekolah sudah ditutup.
Anak itu masih berada di sana dengan bertelekan tangan ke pipi. Dia
masih saja memandangku dan berharap aku akan mengatakan satu kata lagi,
tetapi itu semua sudah kuceritakan. Di luar aku nyaris bisa mendengar keriut dan
dentingan saat seseorang menutup pagar sekolah.
Pulanglah, sekolah akan ditutup, ucapku. Anda belum mengatakan tentang Antas? bantahnya. tidak pernah lagi ditemukan polisi, mungkin sudah terkubur dalam-
dalam di hutan pendulangan.
Tapi Aku mengusap pelan kepalanya, Pulanglah, bukan itu intinya. Maksudku kau harus belajar lebih keras lagi dan jangan pernah menyerah.
Seperti Gil? Seperti Gil. (Halaman 290)
Anak itu menghela napasnya lagi dan dengan enggan menarik ransel dari
sandaran kursinya. Dia berjalan gontai ke arah pintu. Bapak, katanya tiba-tiba berbalik. Aku menatapnya (Halaman 290-291)..
Saya akan belajar. Saya pasti bisa lulus di ujian terakhir ini. Aku tersenyum dan menepiskan tangannya (halaman 291).
Sepeninggal muridnya, Abul mengambil foto Sarah dan Antas yang baru
diterimanya dari Gilardia. Foto itu sendiri berasal dari Sarah yang dikirimkan oleh
Abdul anaknya. Ketika itu tanpa sengaja Abul menyapukan pandangan matanya
ke luar kelas. Ia melihat nun di sana ada seorang lelaki tua tengah berdiri dan
tersenyum ke arahnya. Abul tahu, lelaki itu adalah Antas. Ia masih hidup tetapi
-
9
tak mau memunculkan dirinya ia rela mengorban dirinya demi kebahagiaan
sahabatnya Kai Amak.
Sungguh pun Kai Amak telah mengkhianatinya begitu rupa. Cinta tidak
mesti memiliki. Lelaki tua itu memilih hidup menyendiri dan merahasiakan
segalanya. Sementara itu, Abul juga tak punya interes untuk membongkarnya.
Biarlah senja kuning di langit Cempaka menyimpan rahasia ini (halaman 291-
292).
Saat anak itu akhirnya pergi, aku membuka sebuah foto lain yang dari
tadi kubalik. Aku mengusapkan jariku ke arah wajah seorang pemuda dan
perempuan muda. Itu adalah foto yang dikirimkan Nyonya Sarah kepada kami.
Fotonya bersama Antas di depan sebuah wahana malam di pasar Cempaka
puluhan tahun lalu. Saat menerima foto itu, Gil hanya melihatnya sesaat dan
memberikannya padaku. Aku membalik sisi luar foto itu dan membaca kalimat
yang tertera tanpa makna: burung camar terbang ke selatan. Aku bangkit dan memandangi foto itu di pintu kelas. Saat melemparkan
pandangan ke luar kelas mataku terpana pada lelaki berkemeja putih pendek
yang tersenyum dan menautkan tangannya di depan dada. Antas. Aku tersenyum
padanya.
Aku telah melihatnya, dia memang Antas. Lelaki dengan hati yang besar
yang sanggup mengorbankan perasaannya sendiri demi sahabat yang telah
menyakitinya. Bahkan jika aku hidup lama, aku tak akan pernah menemui cinta
seperti itu dimiliki lagi oleh manusia (halaman 291).
ASPEK KEJIWAAAN TOKOH ANANG
Tokoh lain yang pandangan pribadinya relative berbeda dengan
pandangan orang kebanyakan di Kampung Cempaka adalah Anang. Meskipun ia
pernah memperoleh sebutir intan, namun ia sama sekali tak suka ikut
dipekerjakan orang tuanya di pendulangan intan. Ia lebih suka seperti Abul setiap
hari pergi menuntut ilmu ke sekolah. Namun, kemampuan ekonomi orangtuanya
tidak mendukung untuk itu.
Di akhir cerita Anang sebagaimana halnya dengan Abul juga digambarkan
sebagai tokoh lain yang juga berhasil memperbaiki masa depannya melalui jalur
sekolah. Melalui beasiswa yang diberikan oleh Sarah ia berhasil melanjutkan
sekolahnya dan meninggalkan masa lalunya yang pahit di pendulangan intan.
Beasiswa dimaksud diberikan Sarah untuk memenuhi permintaan Abul dan
Gilardia Florence.
Menurut ceritanya, Sarah berbaik hati memberikan kesempatan bagi Abul;
dan Gilardia untuk datang ke Leiden. Dimana semua biaya transportasi dan
akomodasi untuk keduanya ditanggung oleh Sarah. Namun, demi masa depan
Anang yang ingin melanjutkan sekolahnya, Abul dan Gilardia memutuskan tidak
jadi berkunjung ke Leiden. Mereka berdua meminta agar uang untuk membeli
tiket pesawat terbang Banjarmasin-Jakarta-Leiden pergi-pulang bagi mereka
berdua dikirimkan kepada mereka untuk kemudian diberikan kepada Anang
dalam bentuk beasiswa. Sarah menyetujui saran itu.
Anang adalah teman dekatku. Meski usianya sama denganku, dua belas
tahun, orang-orang di kampung ini selalu menyebut Anang lebih kuyu dari usia
aslinya. Saat berusia lima tahun, dia telah mengikuti ayah dan ibunya
menambang intan di Sungai Tiung. Dari waktu ke waktu aku melihatnya berjalan
meniti lumpur dengan kaki dibungkus sepatu bot karet besar milik seorang turis
yang tidak mampu mencabutnya dari dalam kubangan lumpur danau (halaman 2-
3).
Linggangan, alat untuk menambang intan yang serupa caping, digantung
di punggungnya. Minggu lalu, Anang mendapat intan 1 karat. Sebagai hadiah
atas keberhasilannya, ayahnya membelikan topi berwarna merah bertuliskan
warrior di pasar Cempaka. Sekarang, bordiran berbentuk pedang bersilang di topi itu sudah terlihat menguning dengan bintik-bintik minyak dan jelaga. (halaman 3).
-
10
Aku ingin pergi katanya Aku tercengang.
Bukankah semua orang begitu> Kami bertemu setiap hari, tetapi aku takjub dengan kenyataan sahabat
sejiwaku berada sangat dekat denganku dan baru sekjarang aku menemukannya.
Ke mana? Ke tempat yang jauh, (Halaman 100)
Anang mengangkat kepalanya. Dalam hati aku tahu jika saja ada suatu
kota di luar sana yang ia ketahui, Anang bisa menyebutkannya dengan baik saat
ini. Tapi, dia tidak memiliki pengetahuan itu.
Apa yang akan kau lakukan di sana? Anang tersenyum
Sekolah. Sesuatu di hatiku, entah apa, bergeta. Aku memasukkan sebuah ranting
kayu kecil ke dalam perapian. Api kembali membesar.
Sekolah? Sekolah. Kau tidak mau mendulang lagi? Anang menatapku lurus-lurus. Mungkin dia menemukan hal yang sama
menyesakkannya dengan pikirannya sendiri. Kami bertukar pengertian itu
dengan jelas. Anang meniupkan asap rokoknya.
Apakah kau masih punya buku itu? katanya samar-samar. Buku apa? Buku itu. Aku mengingat-ingat.
Merdeka atau Mati> Itu judulnya> Ya, aku memperbaiki posisi sandal yang kududuki. Hei, kamu kan
belum bisa membaca? (halaman 101). Memang, tapi aku bisa melihat gambarnya. Melihat gambarnya? Mungkin juga belajar membaca. Aku merasa terenyuh hingga untuk sesaat aku tidak bisa mengatakan apa-
apa. Aku bangkit dan menyapu pantat celanaku.
Jadi, Nyonya Sarah, jika Anda tidak keberatan, kami telah bersepakat
agar Anda mengganti tiket perjalanan kami yang mahal ke Belanda dengan
kesanggupan untuk menyekolahkan satu orang anak pendulkang dari Cempaka.
Abul mengenal seorang teman yang sepantaran dengannya, yang memiliki
mimpiu untuk duduk di bangku sekolah. Kami akan memastikan orangtuanya
akan senang karena selama ini factor ekonomilah yang membuat mereka tak
kuasa untuk menyekolahkan anaknya. Kami percaya teman kami ini akan menjadi
satu dari sekian anak-anak yang akan mengubah wajah Cempaka di masa depan
(halaman 287).
Sarah meminta Abdul anaknya untuk mengirimkan uang itu kepada
Gilardia atau Abul di Cempaka. Selain itu ia juga meminta agar Abdul
mengirimkan fotonya bersama Antas via pos ke alamat yang sama di Cempaka
(halaman 289)
Nini kemudian menggerakkan tangannya perlahan ke samping member
isyarat bagi anaknya, ayah Santa, untuk medekat.
Dengan risiko ini, aku minta maaf padamu atas apa yang telah kulakukan. Tapi, maukah kau melakukan apa yang dipinta anak di dalam surat
itu? Santa melihat ayahnya yang pendiam mengangguk penuh pengertian. Dia
masih menempelkan telinganya dekat ke arah wajah Nini.
Dan satu lagi, kata Nini. Dia melirik Santa, lalu sebuah bisikan samar ditangkap oleh santa lembut seperti desisan antara helaan napas.
-
11
Kirimkanlah foto saat mudaku kepada mereka. Kau tahu di mana aku menyimpannya. (halaman 289)
ASPEK KEJIWAAAN TOKOH ANTAS
Pendulang intan yang dianggap bermartabat di Cempaka adalah Antas dan
Kai Amak. Dalam novel ini Antas digambarkan sebagai pendulang intan yang
sangat istimewa. Saking istimewanya, Antas digambarkan sebagai tokoh yang
legendaris dan bahkan mitologis.
Satu-satunya riwayat tua yang bertahan diperbincangkan di rumah para
pendulang justru sebuah intan yang tak pernah mereka lihat. Intan tersebut lebih
kuat, lebih indah, dan lebih besar dari intan-intan yang pernah ditemukan di
Cempaka sebelumnya.
Namanya Galuh Hati, ujar Paman. Kata Paman, setiap orang di dunia ini yang pernah menyentuhnya, Galuh Hati
ditemukan oleh seorang pendulang yang arwahnya menggantung dan melayang-
layang di atas tanah pendulangan. Dialah Antas. Konon, tak seperti intan lainnya, Galuh Hati tak perlu dipotong. Secara
ajaib, permukaannya telah bercahaya saat Galuh Hati masih terpendam di dasar
bumi. Setiap ruas telah diiris dan bentuknya menyerupai jantung manusia.
Aku tak pernah mendengar intan yang seperti itu. Tidak ada yang pernah. Aku termenung lama
(halaman 23).
Kata Paman Ipul, Kai Amak bersama kelompoknya pernah mendapatkan Galuh terbesar. Galuh Trisakti? Bukan. Galuh Hati. Ibu mengatakan pelan seperti tak ingin mencolok. Kenapa kau ingin mengetahuinya> Aku meletakkan serbet ke atas toples. Hanya ingin tahu saja. Ya, ibu menghela napas dengan sabar., kata orang, sahabatnya yang mendapatkannya. Namanya Antas. Tapi, itu hanya mitos. Tidak ada intan yang
lebih besar dari Trisakti. Kau tahu sendiri sampai sekarang orang kampung
Cempaka masih menganggap Antas adalah sebuah mitos. Tapi, dia pernah ada? Kalau dia ada pasti ada yang tahu kabarnya. Kenyataannya, satu orang
pun tak ada yang tahu kabarnya. Kata Kai Amak, dia pergi ke Tanah Suci. Tapi,
dibilang begitu juga tidak pernah ada orang yang bertemu dia di sana. Kai Antas pasti hebat. Kata Paman dia bisa mendapatkan intan dengan linggangan terbalik. Bagaimana bisa? Jangan mulai lagi, itu cuma cerita. Sekarang ikam (kau, bahasa Banjar) jaga warung dulu, Ibu mau menguleni adonan di rumah.
Aku menganguk jengkel.
Tapi, bagaimana kalau Kai Antas benar-benar Ibu mengacungkan tangan menunjukkan ekspresi tegas, lalu berbalik.
Aku membuang pandanganku ke arah orang-orang yang berkerumun.
Dalam hati aku tak peduli dengan keganjilan seorang tua yang ingin mendulang
galuh (intan) lagi. Toh, manusia memang perlu uang (halaman 32-33)
Antas berkulit legam dan dari lutut hingga mata kaki kulit itu dipenuhi
goresan luka. Tubuhnya ditonjoli otot dan lengannya yang memegangiku kukuh
berurat. Sejak usia lima tahun, dia sudah menjadi pendulang. Itulah mengapa
bantaran danau tempatnya mendulang telah memiliki lubang yang cukup dalam.
Ia mengajariku melenggangkan linggangan dan menampih pasir. Ia juga
memberitahuku cara membedakan emas, batu besi, intan, dan kecubung. Antas
kata orang, bisa mencium Galuh yang tersembunyi di dasar air (halaman 46-
47).
-
12
Dari tahun ke tahun tanah kita ini selalu memperdayai orang-orang untuk bersifat serakah. Setiap satu detakan jam orang-orang ingin mencatat
dirinya sendiri dan saling mendahului untuk mendulang galuh. Mereka ingin
mendapatkan kekayaan. Tapi, tidak ada yang lebih kaya dari dia yang
menyepelekan semua itu. Tidak ada yang lebih beruntung dari Antas. Umurku
baru 13 tahun kala itu dan aku beruntung bisa berteman dengan orang yang tidak
pernah menyimpan dunia ini di hatinya (halaman 49-50). :Jadi kau ingin tahu tentang Antas> Benar? Aku senang masih ada yang
mencarinya, orang malang itu. Aku tidak pernah mendengarnya lagi. Dulu dia
tinggal sendiri di sekitar wilayah Bangkal ini. Dia seorang pendulang intan yang
hebat. Aku tidak pernah mendengar ada orang yang mampu mendulang intan
seperti cara Antas melakukannya. Benarkah? Kata mereka itu hanya mitos? (halaman 112) Oh, ya, itu benar. Legenda hampir menyerupai sebuah kebohongan di
sini. Dia tertawa. Yang benar adalah aku telah melihat para pendulang di sini, di Cempaka, hamper sepanjang umurku. Aku tidak pernah melihat siapa pun
mendulang dengan cara yang dilakukan Antas. Tahu apa yang dilakukannya?
Dia menenggelamkan linggangan tidak pernah sampai ke dasar danau.
Aku berkedip.
Tidak menciduk pasir? Tidak. Senyum itu lagi. Aku tak mengerti.
Lalu lalu bagaimana Dia mengangkat bebatuan mulia di atas permukaan linggangan tanpa
menyentuhnya seakan-akan bebatuan itu terangkat dari dasar dan tertarik ke
dalam linggangan. Orang-orang mengejar linggangan milik Antas. Tapi, mereka
tak pernah mendapatkan apa-apa. Itu hanyalah linggangan biasa. Kau ingin
dengar pendapatku? Ya? Aku tak yakin. Ingatan ini sudah melemah. Tapi, rasa-
rasanya aku pernah mendengar Antas mengatakan bahwa linghgangan itu seperti
tangan yang tertadah. Tangan yang tertadah ulangku tak sadar. Kai Musa mengambil pergelanganku pelan. Permukaannuya terasa
seperti busa kasar di kulitku. Dia mengangkat dua tanganku sekaligus
mengemabngkannya dengan telapak menghadap ke dalam.
Sebuah doa, permintaan langsung.:
(Halaman 112-113)
ASPEK KEJIWAAN KAI AMAK
Sementara itu, Kai Amak digambarkan sebagai seorang pendulang intan
yang dalam usia relative muda (40 tahun) sudah berhasil tampil sebagai orang
yang paling kaya di Cempaka. Dia memiliki puluhan buah mesin dompeng, anak
buahnya berjumlah ratusan orang, mereka semua bekerja mengambil upah sebagai
pendulang intan atau makan gaji kepada Kai Amak sebagai bos besar mereka
semua. Tahun ini pula Kai Amak naik haji dan pulang dari sana sudah megenakan
gulungan besar (bahasa Banjar, bolang) di kepalanya. Sejak itu orang-orang
menghormati sebagai tetua kampung dengan sebutan Pak Haji Amak (halaman
254).
Seiring dengan itu, kami kemudian mendapatkan seorang anak lelaki dua
tahun berikutnya. Segera setelah kelahiran Abdul kami merasakan kehidupan
membaik. Seorang Tuan Guru kampung mengatakan itu adalah rezeki anak.
Amak pulang dari pendulangan setiap hari dan di butahnya berdenting-denting
intan (halaman 239).
Dia bekerja keras di hari-hari biasa dan turun ke danau hamper siang
dan malam. Saat itu, Kai Amak telah membeli mesin-mesin dompeng dan mulai
merekrut sebanyak mungkin pekerja untuk bekerja menambang intan. Mereka
bekerja siang dan malam menumpuk batu-batu intan mentah (halaman 254).
-
13
Di usianya yang keempat puluh Kai Amak telah menjadi orang paling
kaya di desa Pumpung dan akhirnya di seluruh Cempaka. Dia memiliki ratusan
anak buah yang semuanya para pendulang. Di tahun itu dia naik haji dan pulang
dengan gulungan besar di kepalanya. Orang-orang mulai menghormatinya dan
menjadikannya Tetuha Kampung. (halaman 254).
Selanjutnya, ketika usianya mencapai 45 tahun, Kai Amak semakin
bertambah kaya saja. Kai Amak naik haji dan mendirikan rumah di dataran tinggi
dekat jembatan sisa peninggalan Jepang. Rumah yang dibangun Kai Amak
digambarkan sebagai rumah yang paling megah yang pernah ada di desanya.
Tidak ada penjelasan apakah Kai Amak naik haji dua kali. Di halaman 3
disebutkan bahwa ketika usianya 40 tahun ia naik haji (1966).
Kai Amak, seorang paling kaya di desa itu, telah menambang sejak
berusia 7 tahun. Saat usianya 45 tahun, Kai Amak berhenti menambang , ia pergi
haji dan mendirikan sebuah rumah di dataran tinggi dekat jembatan sisa
peninggalan Jepang. Itu adalah rumah paling megah yang pernah dilihat siapa
pun di desa (halaman 3).
Sayang sekali kesuksesan secara material ini tidak dibarengi dengan
kesuksesan dalam kehidupan rumah tangganya. Justru pada saat Kai Amak
berada di puncak kesuksesannya secara material itu, ia ditinggal pergi oleh Sarah
istrinya. Kemalangannya menjadi semakin bertambah-tambah, karena Sarah
tidak pergi sendiri, tetapi pergi dengan membawa Abdul anak semata
wayangnya. Sarah dan Abdul tidak pergi sekedar pergi, tetapi pergi jauh ke
Negara Belanda. Menurut ceritanya, Sarah kawin lagi dengan Pat. Orang
Belanda inilah yang membawanya pergi ke Belanda.
Kegagalan rumah tangga ini Kai Amak ada kaitannya dengan perilakunya
di masa lalu. Sarah pada mulanya menjalin cinta dengan Antas, sahabat baik Kai
Amak sendiri. Namun, Kai Amak ternyata juga jatuh hati kepada Sarah.
Didorong keinginannya untuk dapat menikahi Sarah, Kai Amak kemudian
mengatur rencana, yakni membunuh Antas.
Kai Amak kemudian berhasil menikahi Sarah dan dari pernikahan itu telah
lahir seorang anak lelaki bernama Abdul. Namun, karena sejumlah bukti yang
ditemukannya, Sarah kemudian mencurigai Kai Amak telah melalukan
perbuatan aniaya terhadap Antas. Tidak puas dengan keterangan Kai Amak,
Sarah kemudian membawa pergi anaknya ke pulau Jawa, kemudian ke Jakarta,
dan akhirnya ke Negeri Belanda.
Sepeninggal Sarah dan anaknya Abdul, kehidupan Kai Amak menjadi
amburadul. Dia tenggelam dalam depresi berkepanjangan. Selama periode ini dia
tidak melakukan kegiatan apapun juga kecuali mengurung diri di kamar
pribadinya (halaman 253).
Melalui Sari, Kapten Nizam mendapatkan fakta sejak Sarah dan anaknya
meninggalkannya, Kai Amak mendapatkan periode tersuram dalam hidupnya.
Dia tenggelam dalam depresi dan selama itu tidak melakukan apapun kecuali
mengurung diri di dalam kamarnya. Cahaya matahari melintas di jendela dan
sesaat lagi kegelapan datang mencabik-cabik hatinya, menenggelamkannya
dalam penyesalan (halaman 253).
Semakin hari Kai Amak semakin depresi dan pada puncak depresinya Kai
Amak mendapat ilham untuk merekayasa kematian dirinya. Langkah pertama
yang dilakukannya adalah membeli sebuah peti mati untuk dirinya sendiri, dan
mulai mengatur kabar tentang kematian dirinya sendiri melalui Sari (halaman
252).
Tujuan utamanya adalah untuk memancing kedatangan Sarah dan Abdul
kembali ke Cempaka. Kai Amas berkeyakinan bahwa Sarah dan Abdul tidak akan
berani pulang kembali ke Cempaka selama Kai Amak masih hidup (halaman
253).
Mereka bersekongkol dengan sangat baik. Saling menguatkan. Mudah-mudahan itu bukan cinta lagi. Beberapa cinta terdengar begitu mematikan.
Kalian ingin tahu, kenapa Kai Amak memalsukan kematiannya? (halaman 252)
-
14
Yah, Kai Amak memalsukan kematiannya untuk suatu sebab yang telah direncanakannya jauh-jauh hari. Dia membeli sebuah peti mati dan mengatur
kabar tentang dirinya sendiri melalui Sari. (halaman 252). Agar dia bisa membuat anak dan istrinya kembali kepadanya. Itu sangat
mungkin, ucap Kapten Nizam (halaman 255). Kai Amak menitipkan surat wasiat palsu kepada Sari yang diberinya
mandat untuk tinggal dan menjaga rumahnya sambil menunggu kedatangan Sarah
dan Abdul sebagai ahli waris kekayaannya.
Suatu siang dia mendapat pemahaman bahwa ada jalan untuk membuat
istri dan anaknya kembali kepadanya. Dia merencanakan untuk memalsukan
kematiannya, mungkin dengan itu Sarah dan anaknya akan kembali lagi ke rumah
itu ke Cempaka. Dia meninggalkan wasiat palsu dan menyuruh Sari menjaga
rumahnya sementara menunggu kedatangan Sarah (halaman 256).
Kai Amak berharap berita kematian palsunya akan segera sampai ke
telinga Sarah dan Abdul melalui informasi yang disampaikan oleh sopir
pribadinya bernama Nizam Sutarman. Kai Amak mencurigai supir pribadinya ini
adalah mata-mata yang disusupkan ke rumahnya oleh Sarah (halaman 256).
Apa yang membuatnya yakin tentang itu? Bukankah selama ini dia bahkan tidak tahu apakah Sarah mengetahui kabarnya? tanyaku menyela lagi.
Kai Amak percaya Sarah mengetahuinya, dia mencurigaiku yang saat itu menyamar menjadi sopirnya adalah mata-mata yang disuruh Sarah untuk
memantau keadaan Kai Amak (halaman 256).
Kai Amak (82 tahun) sungguh-sungguh dengan scenario kematian
palsunya (kematian rekayasa) dirinya yang dalam beberapa hari terakhir telah
digagasnya dengan matang bersama Sari dan anak buahnya yang paling
dipercaya. Pagi-pagi sekali, dibawah koordinasi Sari, anak buah Kai Amak yang
paling dipercaya beraksi menyebar-luaskan berita kematian Kai Amak ke seantero
kampung Cempaka. Dalam hal ini diberitakan bahwa Kai Amak telah meninggal
dunia di tempat tidurnya subuh tadi (halaman 67).
Setengah berlari aku ke luar dari kamar mandi. Saat memasuki kamar,
suara ibu kembali terdengar memerintahkan sesuatu.
Kau bisa membawa ini duluan ke pendulangan? Ibu harus melayat dulu.
Aku mengatakan akan melakukannya.
Memangnya siapa yang meninggal? Ibu masih repot melilitkan selendang di kepalanya.
Kai Amak ditemukan meninggal pagi ini di tempat tidurnya. (halaman 67).
Banyak orang datang melayat ke rumah Kai Amak, termasuk Abul yang
tak habis pikir dengan peristiwa kematian Kai Amak yang terkesan mendadak itu.
Bukankah tadi malam ia terlibat percakapan panjang lebar dengan Kai Amak di
warungnya (halaman 70).
Orang-orang berkerumun di depan rumah besar itu. Sebuah tenda yang
dibentang dengan tali rapia menaungi orang-orang berbaju putih dan berkopiah.
Sebagian dari mereka merokok dalam keheningan, sebagian lagi saling berbisik.
Di sisi lain tenda itu orang-orang bergerak cepat dan saling menanyakan
persiapan pemakaman. Tidak ada kotak kardus seperti yang selalu kulihat dalam
upacara kematian di Cempaka. Hanya bendera hijau tua diselipkan di sisi pagar
dengan ujung melambai ke jalan.
Aku selalu menjauhi upcara kematian. Tapi, kali ini aku mengatakan
kepada ibu inginm melayat dan melakukan penghormatan kepada Kai Amak
untuk beberapa saat. Ibu menatapku seperti mendeteksi sesuatu yang tak biasa.
Aku hanya ingin memberikan penghormatan padanya, ucapku berusaha menghilangkan kecurigaan ibu (halaman 70).
Menurut kesaksian Abul, perlakuan terhadap jenazah Kai Amak berbeda dengan perlakuan terhadap jenazah orang di Kecamatan Cempaka pada
umumnya, yakni dimakamkan tanpa peti mati. Jenazah Kai Amak dimasukan
-
15
ke dalam peti mati dan dimakamkan dalam keadaan masih di dalam peti mati
(halaman 71).
Aku menunggu rombongan pelayat masuk ke dalam pintu utama yang
terpentang. Ambang pintu itu disesaki para wanita dan anak-anak yang ingin
melihat peti berukir yang tampak berat dan mahal. Aku mendengar dari orang-
orang Kai Amak akan dikuburkan dengan peti itu. Jika hal itu benar maka ini
adalah upacara kematian yang sangat aneh di kampuing kami (halaman 71).
Ketika berada di tengah-tengah para pelayat yang berkerumun di rumah duka itu Abul sempat mendengar bisik-bisik beberapa pelayat mengenai salah satu kamar di rumah Kai Amak yang selalu terkunci, tanpa penerangan sama
sekali, hanya Kai Amak yang boleh masuk ke kamar itu, dan di kamar itu Kai
Amak sering menangis terisak-isak (halaman 71-74).
Aku mendengar lagi.
. Mungkin saja di malamnya atau subuh, siapa yang tahu. Ya, karena saat ditemukan almarhum memang sudah dingin. Siapa yang pertama kali menemukannya? Seorang keluarganya yang dating ke rumah itu, seorang nenek. Katanya,
Kai Amak mungkin telah beberapa jam meninggal. Tubuhnya sangat dingin dan
seperti berbau lumpur. Dia kelelahan karena mendulang kemarin. Mungkin dia sudah sampai janjinya. Terdengar suara tawa tertahan dan suara teguran.
Di mana sopirnya? Aku tidak ingat siapa namanya. Nizam. Sopir atau tukang kebunnya? Yang pasti dia bantu-bantu di sini. Hebat, ya. Soalnya keponakan sepupu saya pernah jadi pelayan di sini,
tapi hanya sekitar dua minggu. Berhenti? Yah, seperti itu. Katanya, di rumah besar ini sering ada suara-suara. Lelaki itu memajukan kepalanya dan dengan refleks kedua orang
temannya menyambutnya. Namun, meski berusaha berbisik, suara mereka tetap
saja terdengar olehku.
Ada sebuah kamar yang terus terkunci. Kamar itu gelap karena tak dipasangi lampu. Kata keponakan saya, di sana sering terdengar kai Amak
menangis. Mereka terdiam selama beberapa menit.
Menangis? Menangis katanya Apa isi kamar itu kata keponakanmu? Yah, dia mengisap rokoknya dan mengeluarkan asap dari hidung.
Tidak ada yang tahu. Bahkan pembantu sebelumnya yang bekerja selama bertahun-tahun di sana juga tidak tahu. Kamar itu tidak boleh dimasuki siapa
pun, kecuali Kai Amak. Kesunyian kurasakan menggelembung dan menimbulkan persepsi-
persepsi di kepala.
Pesugihan? Dua orang lainnya tak menjawab. Yang paling dekat denganku
mencibirkan bibir dan mengangguk halus. Aku kembali menengar suara istighfar.
Apa yang dicari lagi? lelaki itu memutar kepalanya memandangi seluruh bagian rumah.
Kalau mati tidak ada yang diobawa, lantas siapa yang mewarisi semua ini?
Keluarga kai Amak yang dari hulu sungai sana mengkin akan mengambil alih. Itu yang tangannya bergerak menunjuk ke dalam ruangan. Yang lain refleks mengikuti arah tangannya dan melihat yang dimaksudkan.
Ia adalah seorang perempuan tua kurus dengan wajah yang berubah-
ubah. Mulutnya tak henti mengucapkan satu kosa kata yang sama dan terenyum.
-
16
Selendang putihnya berkali-kali disibakkan ke punggung setiap kali dia selesai
bersalaman.
Yah, aku mendengar dari beberapa orang pintar di Bati-bati sana bahwa orang yang meninggal di pagi hari biasanya mengalami malam yang sangat
panajng di malam hari. Maksudmu? Aku menajamkan telinga dengan dada berdegup dan darah seakan
berhenti mengalir.
Maksudku mudah saja, siapa yang bersama Kai Amak tadi malam? Dia akan tahu.
Tidak semua anak buah Kai Amak mengatakan lelaki itu sendiri malam itu.
Para lelaki masuk ke dalam ruangan dan berdiri berjajar mengambil
posisi untuk sembahyang jenazah. Aku memandangi punggung mereka dan
tangan yang terangkat saat bertakbir.
Aku mematung sekian lamanya
(Halaman 71-74).
SIMPULAN
Kajian psikologi tokoh cerita yang dilakukan terhadap novel GH karangan
Randu dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Situasi dan kondisi sosial yang telah dimapankan dan berlaku di Kecamatan Cempaka selama ini membuat tokoh Abul mengalami sindrom frustrasi
eksistensial sebagaimana dipaparkan oleh Viktor Frankl, yakni merasa tak
puas dengan eksistensinya sebagai anak yang bersekolah. Ia ingin dirinya
dilekati dengan identitas sebagai anak yang mendulang intan. Menjadi
pendulang intan dalam pandangan psikologis orang-orang di Kampung
Cempaka pada umumnya adalah identitas yang maskulin (identitas yang
membanggakan). Bukanlah hal yang kebetulan jika tokoh idola yang
dikaguminya adalah Antas, seorang pendulang intan legendaries yang berhasil
menemukan Galuh Hati yang dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh
yang bernasib buruk karena dikhiantai oleh sahabatnya sendiri: Kai Amak.
Beban psikologis tokoh Abul menjadi semakin berat karena sebelum ia
berhasil menyelesaikan sekolahnya, ia dipaksa oleh situasi social ekonomi
keluarganya yang lemah untuk menjalani profesi sebagai pembantu ibunya
melayani para pendulang intan yang makan/minum di warung. Pekerjaan yang
sama sekali tidak membanggakannya karena dianggap sebagai pekerjaan bagi
kaum feminim (wanita).
2. Tokoh Anang adalah tokoh yang sama sekali tidak senang dengan statusnya sebagai pendulang intan. Dia ingin bersekolah seperti Abul. Aspirasi
psikologis tokoh Anang bertolak belakang dengan aspirasi psikologi tokoh
Abul. Namun di akhir cerita dia berhasil meraih nasib baik dan keluar dari
lingkaran setan pendulangan intan melalui jalur sekolah sebagaimana halnya
yang dialami oleh Abul. Sekolah merupakan jalan keluar yang dipilihkan oleh
Randu sebagai pengarang novel bagi Abul dan Anang. Jalan keluar dari nasib
buruk dan kepahitan hidup di pendulangan intan adalah pergi jauh
meninggalkan Kecamatan Cempaka. Jalan keluar ini dipilihkan Randu untuk
tokohnya yang bernama Sarah.
3. Tokoh Kai Amak selama hidupnya mengalami sindrom psikologis yang oleh Viktor Frakl disebut kehampaan eksistensial menurut teori Viktor Frankl. Kai
Amak adalah individu yang dilanda keraguan atas makna kehidupan yang
dijalaninya. Ia kaya raya, namun ia tidak bahagia karena ditinggal minggat
oleh istri dan anaknya. Selain itu, seumur hidupnya ia selalu dihantui oleh
perasaan bersalah, karena dulu pernah melakukan pengkhianatan terhadap
sahabatnya sendiri: Antas. Seumur hidupnya ia merasa hampa dan tak
bermakna. Hidup baginya sekadar menjalani hukuman psikologis atas dosa-
dosa yang dilakukannya sebagai pembokong Antas dan pelaku perdagangan
-
17
intan illegal. Kai Amak pada akhirnya tak sanggup menanggung bebas
psikologis dimaksud, mula-mula dia ingin memperbaiki situasi psikologisnya
dengan cara merekayasa kematian palsunya, dan hal itu ternyata malah
membuatnya semakin terpuruk, dan pada puncak frustrasinya dia memilih
bunuh diri dengan cara gantung diri.
Beban psikologis yang dilekatkan Randu pada sejumlah tokoh ceritanya
membuat novel GH menjadi semakin artistic saja, dan membuat para pembacanya
menjadi penasaran sehingga perhatiannya menjadi terikat begitu rupa. Tipe-tipe
psikologis dan hukum-hukum psikologis yang dilekatkannya pada sejumlah
tokoh cerita telah berfungsi dengan baik, tidak saja sebagai penambah keartistikan
novel GH, tetapi juga menunjang koherensi dan kompleksitas novel GH.
BAHAN RUJUKAN
Aminuddin, 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo. Cetakan IX, November 2011.
Hambali, H. Adang, dan Ujam Jaenuddin. 2013. Psikologi Kepribadian Studi atas
Teori dan Tokoh Psikologi Kepribadian (Lanjutan). Jakarta: CV. Pustaka
Setia.
Ratna, Nyoman Kutha, 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan XI.
Randu, 2014. novel Galuh Hati. Jakarta: Penerbit Moka Media.
Wiyatmi, 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit PUSAKA.
Cetakan II, Agustus 2008.
Aminuddin, 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo. Cetakan IX, November 2011.