galuh sabhrina n_21080110130065_bab ii
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
-
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pencemaran Udara
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara didefinisikan
sebagai masuknya atau dimasukannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke
alam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat
memenuhi fungsinya. Sedangkan menurut Soedomo (2001 : 3) pencemaran udara
juga didefinisikan sebagai masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan
partikel kecil/aerosol) ke dalam udara. Masuknya zat pencemar ke dalam udara
dapat secara alamiah, misalnya asap kebakaran hutan, akibat gunung berapi, debu
meteorit, juga sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat
aktivitas transportasi, industri, pembuangan sampah, baik akibat proses
dekomposisi ataupun kebakaran serta kegiatan rumah tangga. Selain terjadi secara
alamiah dapat pula terjadi dari kegiatan antropogenik atau akibat dari kegiatan
manusia, secara kualitatif seiring lebih besar. Untuk kategori ini sumber-sumber
pencemaran dibagi dalam pencemaran akibat aktivitas transportasi, industri, dari
persampahan, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran dan rumah
tangga.
Emisi adalah zat, energi dan atau komponen lain yang dihasilkan dari
suatu kegiatan yang masuk dan atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang
mempunyai dan atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
Sedangkan udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang
dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur
lingkungan hidup lainnya.
-
II-2
Gambar 2.1
Sistem Pencemaran Udara
(Sumber: Benefita, 2012)
Udara bersih mengandung gas-gas yang berasal dari sumber-sumber
alamiah di Bumi. Komposisi udara rata-rata mengandung 78% nitrogen (N2) dan
20,9% oksigen (O2). Sisanya adalah gas-gas lain seperti argon (Ar), metana
(CH4), karbon dioksida (CO2) dan lain-lain sehingga mencapai 100%. Gas-gas
yang menimbulkan pencemaran udara hanya mencakup kurang dari 0,1% dari
total komposisi gas (BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011 : 2-1).
Gambar 2.2
Komposisi Udara Bersih Alamiah (dalam ppmv)
(Sumber: BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011)
2.2 Jenis Pencemaran Udara
Pencemaran udara dibedakan menjadi beberapa golongan (Soedomo, 2001
: 6), antara lain:
20,94
78,09
0,93 0,04 0
20
40
60
80
oksigen nitrogen argon lain-lain
-
II-3
2.2.1 Berdasarkan Ciri Fisik
Dilihat dari ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa :
1. Partikel (debu, aerosol, timah hitam)
Partikel dengan ukuran antara 0,01-5m merupakan sumber
pencemar udara yang utama karena keadaannya tidak terlihat
secara nyata dan terus berada di atmosfer untuk waktu yang cukup
lama dan kemungkinan besar dengan proses kimia dapat berubah
menjadi bahan pencemar sekunder. Dampak negatif dari bahan-
bahan pencemar ini biasanya berupa gangguan pada bahan-bahan
bangunan, tanaman dan hewan serta manusia.
2. Gas (CO, NOx, SOx, H2S, Hidrokarbon)
Gas di udara dengan reaksi fotokimia dapat membentuk bahan
pencemar sekunder, misalnya, peroxyl radikal dengan oksigen akan
membentuk ozon dan nitrogen dioksida berubah menjadi nitrogen
monoksida dengan oksigen dan sebagainya. Pemaparan dari gas
terhadap manusia pada umumnya melalui pernapasan dan cara
penanggulangannya terutama dengan mengurangi pembebasan
bahan pencemar secara langsung ke udara, misalnya dengan
menggunakan gas scrubber, alat tambahan pada knalpot dan
sebagainya.
3. Energi (suhu dan kebisingan).
2.2.2 Berdasarkan Kejadian
Berdasarkan kejadian (Soedomo, 2001 : 109), terbentuknya pencemar
udara terdiri dari :
1. Pencemar Primer
Pencemar primer adalah pencemar yang di emisikan langsung oleh
sumber. Contoh pencemar primer adalah CO, partikulat dan timah
hitam.
-
II-4
2. Pencemar Sekunder
Pencemar sekunder terbentuk karena reaksi di udara antara
berbagai zat. Contoh pencemar sekunder adalah SOx, NOx, HC,
ammonia, asam sulfida dan ozon yang akan segera berubah
menjadi senyawa atmosferik lain setelah berdispersi di atmosfer
2.2.3 Berdasarkan Sumber Pencemar Udara
Dalam memperkirakan dan menilai dampak yang timbul terhadap
lingkungan udara (Soedomo, 2001 : 110), sumber (rencana kegiatan)
umumnya dikelompokkan dalam beberapa golongan:
1. Sumber Titik
Yang termasuk dalam golongan sumber titik adalah cerobong asap
industry, misalnya emisi SOx dari cerobong PLTU.
2. Sumber Garis
Merupakan integrasi dari sumber sumber titik yang tak terhingga
banyaknya, sehingga dapat dianggap menjadi sumber garis yang
seluruhnya memancarkan pencemar udara, contohnya adalah jalan
raya yang mengemisikan CO, HC, NOx, Partikulat, SOx.
3. Sumber Area
Merupakan integrasi dari banyak sumber titik dan sumber garis,
contohnya adalah aglomerasi industry yang sejenis, daerah
timbunan sampah, dan seterusnya.
Disamping itu, sumber pencemar udara dapat digolongkan ke dalam
sumber diam (stasionary) dan sumber bergerak (mobile).
-
II-5
Sumber Area dan Titik
Emisi dari Proses
pada Industri
Tempat Pembuangan
Sampah padat
Pembakaran Pada
Sumber TetapSumber Lain
Sumber
Transportasi
Kebarakan
Hutan
Kebakaran Biasa
Pembakaran
Batu Bara
Pembakaran
Perkebunan
On Site
Insenerasi
Pembakaran
Terbuka
Industri :
Kimia
Makanan
Metalurgi
Mineral
Perminyakan
Rumah Tangga
Komersial dan
Institusi
Industri
Elektrik Steam
Kendaraan
Bermotor
Pada Jalan
Layang
Pesawat
Terbang
Kereta Api
Kapal Laut
Gambar 2.3
Klasifkasi Sumber Energi
(Sumber : Huboyo, et al., 2008)
2.3 Polutan Udara Utama
2.3.1 Partikulat
Partikulat merupakan pencemar udara yang paling prevalens.
Partikulat berada di atmosfer dalam bentuk suspense, yang terdiri atas partikel
partikel padat dan cair, yang berukuran kurang dari 100 mikron hingga
kurang dari 0.01 mikron. Partikulat yang berukuran 10 mikron dan
tergantung di udara ambient dapat memudarkan cahaya dan berperilaku
seperti gas. Partikel partikel kecil ini juga disebut dengan aerosol (
Soedomo, 2001 : 140).
Partikulat di hasilkan oleh dua fundamental proses, yang pertama
material handling processes seperti pemecahan atau menggillingan bijih
seperti batu atau proses pengeringan material dalam jumlah besar dapat
menghasilkan debu yang halus. Proses yang selanjutnya adalah proses
pembakaran dapat mengeluarkan partikel kecil dari abu yang tidak terbakar
atau pembakaran arang yang tidak sempurna. Partikel di hasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil dan industry pemprosesan mineral
Dampak pertikulat seperti asap dan kabut dapat mengurangi jarak
pandang, mengotori bangunan dan metrial lainnya, menyebabakan kerusakan
-
II-6
akibat karat dan erosi serta merubah cuaca local dan juga dapat menyebabkan
kerugian pada kesehatan manusia, hewan dan memperlambat pertumbuhan
tumtuh tumbuhan. Partikel yang melayang diudara dapat berdampak buruk
bagi kesehatan manusia melalui berbagai cara, pollutan ini mungkin beracun
atau memicu kanker. Partikel mugkin mengadsorb sedikit senyawa kimia dan
secara intensif berakibat jika tertahan di saluran pernafasan dalam waktu yang
lama (Cooper dan Alley, 1994 : 45).
Pencemaran partikulat dapat dikendalikan ( Soedomo, 2001 : 141),
hanya dari sumber pengemisinya dengan menggunakan beberapa macam
metode alternatif :
1. Penurunan emisi pada sumbernya
2. Penghindaran Reseptor dari daerah yang tercemar
3. Alat kontrol partikulat seperti : baghouse, filters, cyclones, impactor,
scrubbers, electrostatic precipitator
2.3.2 Sulfur Oksida
Sulfur oksida merupakan pencemar yang paling umum, terutama yang
ditimbulkan akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang mengandung sulfur
tinggi dalam bentuk sulfur organic dan inorganic. Pembakaran bahan bakar
fosil akan menghasilkan kira kira 30 bagian sulfur dioksida untuk setiap
bagian sulfur trioksida. Oksida oksida sulfur biasanya terdiri dari sulfur
dioksida, sulfur trioksida, asam sulfat, asam sulfit. Sulfur dioksida merupakan
bagian yang paling dominan sehingga oksida oksida sulfur biasanya diukur
sebagai sulfur dioksida ( Soedomo, 2001 : 141).
Gas belerang oksida atau sering ditulis dengan SOx terdiri atas gas
SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau
tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif.
Gas SO3 mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk membentuk
asam sulfat H2SO4. Asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi
(memakan) benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses
pengkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya.
-
II-7
Konsentrasi gas SO2 di udara akan mulai terdeteksi oleh indera
manusia (tercium baunya) manakala konsentrasinya berkisar antara 0,3 - 1
ppm. Gas buangan hasil pembakaran pada umumnya mengandung gas SO2
lebih banyak daripada gas SO3. Jadi dalam hal ini yang dominan adalah gas
SO2. Namun demikian gas tersebut akan bertemu dengan oksigen yang ada di
udara dan kemudian membentuk gas SO2 melalui reaksi berikut:
2SO2 + O2 (udara) 2SO3
Gambar 2.4
Proses Terjadinya Hujan Asam
(Sumber: Wardhana, 1995)
Gas SO2 juga dapat membentuk garam sulfat apabila bertemu dengan
oksida logam, yaitu melalui proses kimiawi berikut ini:
4MgO + 4SO2 3MgSO4 + MgS
Udara yang mengandung uap air akan bereaksi dengan gas SO2
sehingga membentuk asam sulfit:
SO2 + H2O H2SO3 (asam sulfit)
Udara yang mengandung uap air akan bereaksi dengan gas SO3
membentuk asam sulfat:
SO3 + H2O H2SO4 (asam sulfat)
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pada beberapa kegiatan
industri seperti yang terjadi dibeberapa negara Eropa Barat dan Amerika,
menyebabkan kadar gas SOx dengan uap air yang terdapat di udara akan
membentuk asam sulfit maupun asam sulfat. Apabila asam sulfit dan asam
-
II-8
sulfat turun ke bumi bersama-sama dengan jatuhnya hujan, terjadilah apa
yang dikenal dengan Acid Rain atau hujan asam. Hujan asam sangat
merugikan karena dapat merusak tanaman maupun kesuburan tanah. Pada
beberapa negara industri, hujan asam sudah menjadi persoalan yang sangat
serius karena sifatnya yang merusak. Hutan yang gundul akibat jatuhnya
hujan asam akan mengakibatkan lingkungan menjadi semakin parah. Gambar
di atas menunjukkan bagaimana terjadinya hujan asam yang menyebabkan
kerusakan lingkungan (Wardhana, 1995 : 49).
Pencemaran SO2 di udara terutama berasal dari pemakaian batubara
yang digunakan pada kegiatan industri, transportasi dan lain sebagainya.
Bagaimana peranan batubara dalam menyumbang pencemaran SOx telah
banyak diteliti di negara-negara industri seperti yang tampak pada tabel di
bawah ini yang merupakan data hasil penelitian di Amerika tahun 1968:
Tabel 2.1
Sumber Pencemaran SOx
Sumber pencemaran % Bagian % Total
Transportasi
- Mobil bensin - Mobil diesel - Pesawat terbang - Kereta api - Kapal laut - Sepeda motor, dll
0,6
0,3
0
0,3
0,9
0,3
2,4
Pembakaran stasioner
- Batubara - Minyak (destilasi) - Minyak (residu) - Gas alam - kayu
60,5
1,2
11,8
0
0
73,5
Proses Industri 22,0
Pembuangan limbah padat 0,3
Lain-lain:
- kebakaran hutan - pembakaran batubara sisa
0
1,8
1,8
TOTAL 100,0 100,0
(Sumber: Wardhana, 1995)
-
II-9
Dampak yang ditimbulkan dapat dicegah dan dikendalikan dengan
menggunakan beberapa metoda alternatif, ( Soedomo, 2001 : 143) yaitu:
1. Penurunan tingkat emisi sulfur pada sumbernya
2. Penghindaran reseptor dari daerah yang tercemar
3. Peralatan penyisihan gas dengan adsorpal, adsorbs, atau konventer
analitik
2.3.3 Nitrogen Oksida
Nitrogen oksida sering disebut dengan NOx karena oksida nitrogen
mempunyai dua macam bentuk yang sifatnya berbeda, yaitu gas NO2 dan gas
NO. Sifat gas NO2 adalah berwarna dan berbau, sedangkan gas NO tidak
berwarna dan tidak berbau. Warna gas NO2 adalah merah kecoklatan dan
berbau tajam menyengat hidung.
Kadar NOx di udara daerah perkotaan yang berpenduduk padat akan
lebih tinggi dari daerah pedesaan yang berpenduduk sedikit. Hal ini
disebabkan karena berbagai macam kegiatan yang menunjang kehidupan
manusia akan menambah kadar NOx di udara, seperti transportasi, generator
pembangkit listrik, pembuangan sampah, dan lain-lain (Wardhana, 1995 :
44).
Menurut Soedomo (2001 : 147), Terdapat lima kategori mitigasi
dampak Nitrogen Oksida terhadap lingkugan :
1. Kontrol emisi kendaraan bermotor
2. Kontrol pusat kombusi stationer
3. Penghindaran reseptor dari arah tercemar
4. Peralatan control gas, absorbs, adsorbsi, dan konventer katalitik
5. Kontrol Lingkungan
2.3.4 Karbon Monoksida
Karbon monoksida atau CO adalah suatu gas yang tak berwarna, tidak
berbau dan juga tidak berasa. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu di
bawah -192oC. Gas CO sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar
fosil dengan udara, berupa gas buangan. Kota besar yang padat lalu lintasnya
-
II-10
akan banyak menghasilkan gas CO sehingga kadar CO dalam udara relatif
tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Selain dari itu gas CO dapat
pula terbentuk dari proses industri. Secara alamiah gas CO juga dapat
terbentuk, walaupun jumlahnya relatif sedikit, seperti gas hasil kegiatan
gunung berapi, proses biologi dan lain-lainnya (Wardhana, 1995:41). Secara
umum terbentuknya gas CO adalah melalui proses berikut ini:
1. pembakaran bahan bakar fosil dengan udara yang reaksinya tidak
stoikiometris adalah pada harga ER > 1.
2. Pada suhu tinggi terjadi reaksi antara karbon dioksida (CO2) dengan
karbon C yang menghasilkan gas CO.
3. Pada suhu tinggi, CO2 dapat terurai kembali menjadi CO dan oksigen.
2.3.5 Ozon dan Oksidan fotokimia
Produk reaksi atmosfer antara aksida oksida nitrogen dengan
hidrokarbon dengan bantuan sinar matahari disebut oksidan fotokimia. Ozon
merupakan senyawa paling dominan dari oksidan foto kimia, jenis oksidan
lainnya meliputi proxyacetyl nitrate (PAN) NxOy.
Oksida fotokimia dapat ditemui disetiap tempat dimana terdapat
oksida nitrogen dan nitrogen bereaksi dibawah radiasi sinar matahari, Oksida
perusak tanaman baik secara akut mauoun khronik, ini merupakan
manifestasi pertama yang timbul. Cacat pada daun yang sensitive dapat
terjadi setelah waktu paparan 4 jam terhadap ozon total pada konsentrasi 100
mikrogram per meter kubik. Gangguan pernafasan merupakan pengaruh
kesehatan yang timbul terhadap manusia. Untuk pencegahan dampak semua
strategi dan pengendalian yang dilakukan untuk unsur NOx merupakan
metode motogasi untuk fotooksidan (Soedomo, 2001 : 149).
-
II-11
Tabel 2.2
Jenis Pencemar, Karakteristik, Sifat, dan Dampak Terhadap Kesehatan
Jenis
Pencemar
Karakteristik Sifat Dampak Kesehatan
CO -Tidak berwarna
-Tidak berbau
-Tidak berasa
-Tidak menimbulkan iritasi
Mudah berikatan
dengan Hb (240 kali
lipat O2)
-200 ppm : pusing
-400 ppm : pusing lalu
pingsan setelah 45 menit
>2000 ppm: kematian
NMHC Berupa gas dan aerosol Karsinogenik dan
toksik
Efek jangka panjang
tergantung dari toksisitas dan
sifat karsinogeniknya
Partikulat Padat dengan ukuran
-
II-12
2.4 Energi Sebagai Sumber Pencemar Udara
Proses dalam menghasilkan energi memberikan proporsi yang cukup besar
pada pencemaran udara. Besarnya emisi dan jenis emisi yang dihasilkan sangat
tergantung dari jenis sumber energi yang digunakan, besarnya energi yang
digunakan, teknologi yang diterapkan serta sistem pengendalian pencemaran
udara yang diterapkan dalam sistem penghasil energi tersebut.
Selama lebih dari tiga dekade, kebutuhan energi di Indonesia didominasi oleh
minyak bumi. Seiring dengan berkurangnya sumber minyak dan terus
meningkatnya harga minyak bumi maka penggunaan sumber energi kemudian
beralih ke gas dan batubara. Saat ini penggunaan batubara semakin meningkat
karena lebih mudah didapat dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan
minyak (BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011 : 2-19).
Gambar 2.5
Grafik Perbandingan Realisasi dan Proyeksi Energi Primer antara Batubara
dengan Bahan Bakar Lainnya.
(Sumber: ESDM, 2006)
Berikut adalah perbandingan jumlah emisi dari tiap jenis energi fosil yang
digunakan pada pembangkit listrik dilihat pada tabel 2.3:
-
II-13
Tabel 2.3
Perbandingan Jumlah Emisi dari Berbagai Jenis Sumber Energi
Type of Emission Emission (pounds/10
9 BTU of energy)
Coal Crude Oil Gas
CO2 208 164 117
SOx 2591 1122 1
PM10 2744 84 7
NOx 457 448 92
CO 208 33 40
(Sumber: Bappenas, 2006, dalam BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011)
2.5 Batubara
Batubara adalah istilah umum yang mencakup banyaknya mineral organik
padat dengan komposisi dan sifat yang sangat berbeda, meskipun semua pada
dasarnya kaya amorphons (tanpa struktur biasa) karbon dasar. Ini ditemukan di
endapan-endapan berlapis di tempat berbeda dan sering berada di kedalaman yang
hebat. Meskipun terkadang dekat dengan permukaan. Di perkirakan di Amerika
Serikat terdapat 270.000 miliar ton cadangan yang dapat diperoleh kembali (itu
semua dapat ditambang secara ekonomis pada masa yang akan datang) di 36 dari
50 negara. Amerika Serikat menyumbang simpanan batubara sekitar 30 persen
dari total dunia (El-Wakil, 1984 : 123).
.
2.5.1 Klasifikasi Batubara
Berdasarkan standar American Society for Testing Materials (ASTM)
dengan pengujian D-388-77 diperoleh klasifikasi batubara yang diperoleh
dari nilai kalor batubara lembab dan bebas bahan mineral (moist, mineral,
matter free) dan dasar kandungan karbon tetap serta zat terbang yang kering
dan bebas bahan mineral (dmff, dry and mineral matter free). Sedang
batubara peringkat rendah tidak di klasifikasikan menurut karbon tetap dan
zat terbangnya, tetapi berdasarkan nilai kalorinya. klasifikasi ini dijelaskan
secara singkat sebagai berikut:
-
II-14
a. Antrasit
Jenis batubara ini merupakan tingkatan paling tinggi di antara
jenis batubara lainnya. Antrasit mengandung kandungan yang
tinggi, 86-98 persen massa, dari karbon tetap (kandungan karbon
dalam kondisi dasarnya) yang kering, dasar materi mineral yang
bebas dan kandungan volatil yang rendah, kurang dari 12 sampai
14 persen (terutama metana, CH4). Antrasit berwarna hitam
berkilau, padat, merupakan batubara rapuh yang berbatasan
dengan grafit di ujung atas karbon tetap. Batubara ini mengalami
proses pembakaran lambat dan memiliki nilai kalor tetap lebih
tinggi dari batubara bituminius. penggunaannya dalam generator
uap sebagian besar terbatas pada pembakaran di stoker, dan
jarang dalam bentuk bubuk. di Amerika Serikat itu kebanyakan
ditemukan di pennsylvania.
peringkat anthrachite batubara dibagi menjadi tiga kelompok.
dalam urutan ke bawah dari persen karbon tetap, mereka adalah
meta-antrasit, lebih besar dari 98 persen, antrasit, 92-98 persen,
dan semiantrasit, 86-92 persen
b. Bituminus
Jenis batubara ini memilki kelompok terbesar, batubara
bituminus adalah kelas batubara terluas yang mengandung 46-86
persen massa dari karbon tetap dan 20-40 persen material volatil,
dari banyaknya kandungan kompleks daripada batubara antrasit.
Ini berasal dari bitumen, oleh residu aspal yang diperoleh dari
destilasi beberapa bahan bakar. Batubara bituinus memiliki
kisaran nilai kalor dari 11.000 sampai dengan lebih dari 14.000
btu/lbm (25.600-32.600 kJ/kg). Batubara bituminus biasanya
mudah terbakar, terutama dalam bentuk bubuk.
Peringkat bituminus dibagi menjadi 5 kelompok: low-
volatile, medium-volatile, dan high-volatile A, B, C. Semakin
-
II-15
rendah volatilnya, maka semakin tinggi nilai kalornya. Kelompok
low-volatile berwarna hitam keabu-abuan dan memiliki struktur
berbentuk butiran, ketika kelompok high-volatile mengalami
homogen atau laminer.
c. Subbituminus
Merupakan kelas batubara yang umumnya memiliki nilai
kalor rendah daripada batubara bituminus, antara 8300-11.500
Btu/lbm (19.300-26750 Kj/Kg). Ini relatif tinggi dalam dalam
kadar air yang melekat, sebanyak 15-30 persen, tetapi kandungan
sulfur sering rendah. Batubara ini berwarna hitam kecoklat-
coklatan atau berwarna hitam, atau sebagian besar mengalami
struktur homogen. Batubara subbituminus biasanya terbakar
dalam bentuk bubuk. Peringkat batubara subbituminus dibagi
menjadi tiga kelompok: A, B, dan C.
d. Lignit
Lignit merupakan tingkatan batubara yang terendah, nama
lignit bersumber dari bahasa latin lignum, yang artinya kayu.
Lignit berwarna coklat dan memiliki struktur laminer, dan sisa-
sisa serat kayu sering terlihat didalamnya. Lignit berasal dari
sebagian besar tanaman yang kaya akan resin atau sejenis damar
dan oleh karena itu menyebabkan tingginya uap embun yang
melekat, setinggi 30 persen, dan material volatil. Jangkauan nilai
kalor antara di bawah dari 6300-8300 btu/lbm (14.650-19.300
kJ/kg). Di karenakan tingginya kandungan uap embun dan nilai
kalor yang rendah, lignit tidak ekonomis untuk transportasi jarak
jauh dan biasanya dibakar oleh keperluan di pertambangan.
Peringkat batubara lignit di bagi menjadi dua kelompok: A dan B.
-
II-16
e. Gambut
Gambut bukan merupakan peringkat batubara dalam standar
ASTM. Namun, dianggap sebagai langkah pertama dalam
pembentukan geologi batubara. Gambut merupakan material
heterogen yang terdiri dari materi tumbuhan terdekomposisi dan
mineral anorganik. Ini mengandung lebih dari 90 persen uap
embun. Meskipun tidak menarik untuk digunakan sebagai bahan
bakar, tetapi keberadaan gambut berlimpah di setiap bagian
negara. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat mempunyai
simpanan yang besar. Oleh karena itu, ini sering di gunakan di
beberapa negara (irlandia, finlandia, USSR) untuk beberapa
pembangkit tenaga listrik dan area pemanas.
2.5.2 Kelas Sumberdaya Batubara
Sumberdaya batubara (coal resources) adalah bagian dari endapan
batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumberdaya batubara ini
dibagi dalam kelas-kelas sumberdaya berdasarkan tingkat keyakinan geologi
yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi / tingkat kompleksitas
dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat
meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan
dinyatakan layak. Kelas Sumberdaya Batubara dibagi menjadi 4 (Sari, 2009),
yaitu:
1. Sumberdaya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)
Sumberdaya batubara hipotetik adalah batubara di daerah
penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap penyelidikan survei tinjau.
Sejumlah kelas sumberdaya yang belum ditemukan yang sama
dengan cadangan batubara yang diharapkan mungkin ada di daerah atau
wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari
sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada pada
-
II-17
daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk
ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops,
pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi
menyatakan bahwa kebenaran dari hipotetis sumberdaya dan
mengungkapkan informasi yang cukup tentang kualitasnya, jumlah serta
rank, maka mereka akan diklasifikasikan kembali sebagai sumberdaya
teridentifikasi (identified resources)
2. Sumberdaya Batubara Tereka (Inferred Coal Resource)
Sumberdaya batubara tereka adalah jumlah batubara di daerah
penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap penyelidikan prospeksi.
Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga
penilaian dari sumberdaya tidak dapat diandalkan. Daerah sumberdaya
ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan
kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti
geologi dalam daerah antara 1,2 km 4,8 km, termasuk antrasit dan
bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan
ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.
3. Sumberdaya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumberdaya batubara tertunjuk adalah jumlah batubara di daerah
penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap eksplorasi pendahuluan.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan
penafsiran secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah
insitu batubara dan dengan alasan sumberdaya yang ditafsir tidak akan
mempunyai variasi yang cukup besar jika ekplorasi yang lebih detail
dilakukan. Daerah sumberdaya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan
tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling
-
II-18
berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 0,4 km 1,2 km,
termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub
bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan
150 cm.
4. Sumberdaya Batubara Terukur (Measured Coal Resource)
Sumberdaya batubara terukur adalah jumlah batubara didaerah
penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap eksplorasi rinci.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan
untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman,
dan jumlah batubara insitu. Daerah sumberdaya ini ditentukan dari
proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik
pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4
km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau
lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan
ketebalan 150 cm.
2.5.3 Perhitungan Pembakaran Batubara
a. Nilai Kalor Bahan Bakar
Nilai kalor bahan bakar adalah banyaknya panas yang dihasilkan
dari pembakaran bahan bakar (kKal tiap kg bahan bakar). Nilai
kalor bahan bakar didapatkan lewat pengujian dengan peralatan
Bomb Kalorimeter.
b. Kebutuhan Udara Pembakaran
Kebutuhan udara bakar untuk membakar tiap 1 kg bahan bakar
yang mengandung C kg karbon, H kg hidrogen, O kg oksigen dan
S kg belerang secara teoritis dapat dihitung sebagai berikut
(Sudjito, 1992 : 33 dalam Sutrisno, 1994 : 16):
1. Untuk membakar karbon (C):
-
II-19
C + O2 CO2 (2-1)
12 kg C + 32 kg O2 44 kg CO2
Kebutuhan O2 untuk membakar 1 kg C = 32
12 kg O2
O2 untuk membakar C dalam bahan bakar = 32
12 kg O2
Tiap kg udara mengandung 0,231 kg O2, maka kebutuhan udara
bakar untuk membakar C kg karbon adalah:
32
(12 0,231) kg udara
2. Untuk membakar hidrogen (H):
2H2 + O2 2H2O (2-2)
4 kg H2 + 32 kg O2 36 kg H2O
Dengan cara yang sama untuk membakar H kg hidrogen
diperlukan:
32
(4 0,231) kg udara
3. Untuk membakar belerang (S):
S + O2 SO2 (2-3)
32 kg S + 32 kg O2 64 kg SO2
Dengan cara yang sama untuk membakar S kg belerang
dibutuhkan:
32
(32 0,231) kg udara.
Jadi, jumlah berat udara yang dibutuhkan (Gu
t) untuk membakar 1
kg bahan bakar secara teoritis (Sudjito, 1992 : 33):
Gu
t = 32
(12 0,231)+
32
(4 0,231)+
32
(32 0,231)=
0,231 kg (kg bb)
-1
(2-4)
Atau :
Gu
t = 11,53 C + 34,56 [H -
8] + 4,32 S kg (kg bb)
-1 (2-5)
Dalam keadaan standar, 1 atm dan 0C, berat jenis udara = 1,239
kg m-3
, maka volume udara teoritis (Vu
t) yang dibutuhkan:
Vu
t = Gut
1,239 m
3 (kg bb)
-1 (2-6)
-
II-20
c. Kebutuhan Udara Lebih (excess air)
Untuk membakar batubara secara sempurna diperlukan udara lebih.
Perhitungan kebutuhan udara lebih (excess air) pada pembakaran
batubara umumnya berkisar antara 10% sampai 30% dari udara
teoritis. Menurut UNEP (2006), untuk pembakaran yang optimum,
jumlah udara pembakaran yang sesungguhya harus lebih besar
daripada yang dibutuhkan secara teoritis. Bagian dari gas buang
mengandung udara murni, yaitu udara berlebih yang ikut
dipanaskan hingga mencapai suhu gas buang dan meninggalkan
boiler melalui cerobong. Walau demikian, terlalu banyak udara
berlebih akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi.
Tabel 2.4
Jumlah Udara Berlebih untuk Berbagai Bahan Bakar dan Alat
Fuel Excess of Air (%)
Anthracite 40
Coke oven gas 5-10
Natural Gas 5-10
Coal, pulverized 15-20
Coal, stoker 20-30
Oil (No. 2 and No. 6) 10 to 20
Semi anthracite, hand firing 70 to 100
Semi anthracite, with stoker 40 to 70
Semi anthracite, with traveling grate 30 to 60
(Sumber: Anonim, tanpa tahun (engineeringtoolbox.com))
2.6 Batu Kapur
Kapur adalah batuan sedimen terutama terdiri dari kalsium karbonat
(CaCO3) dalam bentuk kalsit mineral. Batuan ini paling sering terbentuk di
perairan laut yang dangkal. Ini biasanya merupakan batuan sedimen organik yang
terbentuk dari akumulasi cangkang hewan, karang, alga dan puing-puing.
Batu kapur mengandung 98,9% kalsium karbonat (CaCO3) dan 0,95% magnesium
karbonat (MgCO3) (Russell, 2007). Batu kapur di alam jarang ada yang murni,
-
II-21
karena umumnya mineral ini selalu terdapat partikel kecil kuarsa, felspar, mineral
lempung, pirit, siderit dan mineral lainnya. Dalam mineral batu kapur terdapat
juga pengotor, terutama ion besi.
Batu kapur berwarna putih keabu-abuan dengan kekerasan 3,00 Mohs,
bersifat pejal dengan density bulk 2655 kg/m3, berbutir halus hingga kasar dan
mempunyai sifat mudah menyerap air serta mudah dihancurkan. Batu kapur juga
mudah larut dalam asam. Batu kapur yang larut dalam zat asam akan
menghasilkan gas karbon dioksida. Batu kapur akan menjadi semakin tidak larut
dalam air dengan naiknya temperatur. Klasifikasi batu kapur dalam perdagangan
mineral industri didasarkan atas kandungan unsur kalsium (Ca) dan unsur
magnesium (Mg). Misalnya, batu kapur yang mengandung 90 % CaCO3 disebut
batu kapur kalsit, sedangkan bila mengandung 19% MgCO3 disebut dolomit.
Adapun batu kapur lebih banyak digunakan dalam industri karena banyak terdapat
di alam dan banyak manfaatnya, misalnya dalam pembuatan kalsium klorida
(Amethyst, 2010).
Batu kapur (limestone) merupakan nama umum untuk berbagai macam
batuan kalsit. Batu kapur dengan jumlah yang besar digunakan sebagai fluks
dalam leleh besi, untuk pembuatan kapur, dan sebagai bahan bangunan. Dalam
arti luas, batu kapur meliputi dolomit, marmer, kapur, atau mineral yang sebagian
besar terdiri dari CaCO3. Ketika proporsi mencapai 45% dan batu kapur berada di
dalam karbonat ganda, CaCO3. MgCO3 disebut dengan dolomit. Pada proses
kalsinasi, batu kapur dapat menghasilkan kapur (lime), yaitu CaO. Batu portland
dari Inggris, terdiri dari fosil yang disemen bersama-sama dengan kapur, dan batu
coquina yang berasal dari florida, Amerika Serikat yang terdiri dari kerang secara
menyeluruh, sebagian besar membentuk tempurung coquina kecil bernama donax
variabilis.
Kapur (lime) dengan batukapur (limestone) memiliki arti yang berbeda.
kapur adalah kalsium oksida yaitu CaO, dalam istilah kimia dikenal sebagai
calcia, memiliki jumlah yang melimpah ruah di alam, terutama dalam kombinasi
dengan karbon dioksida sebagai kalsium karbonat dan kapur marmer, kapur,
karang, dan kerang. Kapur biasa digunakan dalam mortir dan semen, sebagai fluks
-
II-22
dalam peleburan besi, di dalam banyak terjadinya proses kimia, sebagai penyerap,
dalam pengolahan air, dalam pengendalian pencemaran udara, dalam pembuatan
kaca, dan pengapuran tanah masam. Yang diperoleh dengan memanaskan batu
kapur di tungku atau kiln sekitar 1000F (538oC) untuk membakar gas asam
karbonat. residu disebut kapur atau kapur kaustik. kapur murni putih dan amorf
atau kristal. gravitasi spesifik adalah 3,2 dan titik leleh 4660 F (2578oC). (Brady,
et al., 2002).
2.6.1 Kalsinasi Batu Kapur
Secara skematik shaft funace atau tungku tegak yang umum
digunakan untuk proses kalsinasi. Bahan baku terdiri dari batu kapur dan
kokas dimasukkan dari bagian atas furnace. Sedangkan udara dihembuskan
dari bagian bawah. Kapur bakar hasil kalsinasi di tarik keluar dari bagian
bawah. Tungku kalsinasi dapat dibagi dalam tiga zona, yaitu zona preheating,
zona reaksi, dan zona cooling.
a. Preheating Zone
Pada daerah ini muatan padat batu kapur dan kokas akan
mengalami pemanasan sampai temperatur sekitar 800oC oleh gas
panas yang bergerak berlawanan dari bawah ke bagian atas
tungku. Pada daerah ini, belum terjadi reaksi kalsinasi maupun
reaksi pembakaran dari kokas.
b. Reaction Zone
Pada daerah ini terjadi reaksi pembakaran kokas dan dekomposisi
dari batu kapur. Kapur mengalami pemanasan berlebih dan
diperkirakan mencapai teperatur 1000oC. Gas yang meninggalkan
daerah reaksi bertemperatur sekitar 900oC. Temperatur gas yang
keluar 100oC lebih tinggi dari pada temperatur material yang
masuk pada daerah ini.
c. Cooling Zone
Pada daerah ini kapur bakar didinginkan dengan udara yang
bergerak berlawanan dari bagian bawah tungku. Pada daerah ini
-
II-23
kapur bakar didinginkan sampai temperatur sekitar 100 o
C. Agar
terjadi pembakaran yang sempurna dari kokas, maka udara yang
dihembuskan mencapai 25 persen berlebih dari yang diperlukan.
Selama proses kalsinasi, batu kapur (CaCO3) akan terurai menjadi
kapur bakar dengan rumus kimia CaO (kalsium oksida) dan gas karbon
dioksida, CO2 sesuai dengan reaksi berikut:
CaCO3 CaO + CO2 (g), H298 = 177,8 kJ
Proses kalsinasi meliputi pelepasan air, karbon dioksida atau gas-gas lain
yang terikat secara kimiawi. Proses kalsinasi lebih endotermik daripada
proses drying. Sehingga panas harus dipasok dari sumber dengan temperatur
relatif tinggi (Rosenqvist T., 2004).
Menurut Prof. Shakhashiri dalam www.scifun.org, pengendalian polusi
dapat memperluas konsumen kapur dengan pesat. Kapur digunakan di
cerobong pada scrubber untuk mengurangi emisi SO2 dari pembangkit listrik.
Sulfur dioksida bereaksi dengan kapur membentuk kalsium sulfit padat.
SO2(g) + CaO(s) CaSO3(s)
Jika kapur digunakan dalam proses LIFAC (Limestone Injection into the
Furnace and Activation of Calcium Oxide) didalam tungku bagian sulfur
dioksida dan sulfur trioksida dalam gas buang akan bereaksi dengan kalsium
oksida, membentuk kalsium sulfat (Cahyadi, 2006)
CaO(s) + SO2(g) + 1/2O2 (g) CaSO4 (s)
CaO (s) + SO3(g) CaSO4 (s)
Kapur dapat juga ditambahkan ke air limbah untuk menghilangkan fosfat
3CaO(s) + 3H2O(l) + 2PO43-
(aq) Ca3(PO4)2(s) + 6OH-(aq)
2.6.2 Teknologi Flue Gas Desulfurization
Proses scrubbing SO2 biasa terjadi pada alat yang disebut dengan
FGD (Flue Gas Desulfurization) sebagai teknologi penangkapan emisi SO2
dengan batu kapur. Berdasarkan fase reaksi, proses pada dasarnya dibagi
menjadi 2, yaitu FGD metode basah dan kering (atau metode semi-kering).
Metode basah meliputi elusi Sulfur Dioksida dengan larutan air dari yang
-
II-24
paling sering dengan proses alkali yang bereaksi terhadap suatu zat,
sedangkan metode kering melalui proses penyerapan dan katalis yang terjadi
pada sorben padat atau katalis saat temperatur dibawah 100oC. metode kering
FGD dengan kapur atau dolomit mengandung reaksi fase padat-gas
heterogen, yang terjadi saat temperatur tinggi (Levenspiel, 1998, Dalam
Hlincik, et. al., 2013). Proses ini dapat diterapkan untuk bubuk-atau cairan-
boiler FGD. Proses tersebut meliputi reaksi sebagai berikut: kalsinasi kapur,
terjadi pada temperature di bawah 850oC.
CaCO3 CaO + CO2
Kejadian dua fase dari SO2 terjadi pada temperature di bawah 600 o
C.
pertama saat munculnya CaO:
CaO + SO2 CaSO3
Diikuti oleh oksidasi kalsium sulfit menjadi kalsium sulfat (Garea, et. al.,
1997, dalam Hlincik, et. al., 2013). Juga CaS teroksidasi menjadi CaSO4:
CaS + 2O2 CaSO4
Ketika lime dipakai dalam fluid boiler, memungkinkan untuk
mencapai waktu tinggal yang lama di dalam lapisan cair dan karenanya juga
reaksi kalsin lebih baik daripada di dalam kasus pulvurized coal boiler.
Ketika waktu kontak demikian meningkat dan sulfasi meningkat pada
temperatur antara 800-850oC, sulfur dioksida juga berdifusi melalui lapisan
kalsium sulfat di dalam pori-pori kalsin (Hlincik, et. al., 2011). Sayangnya,
ini disertai dengan reaksi tidak diinginkan, yaitu produksi CaCO3 dari
kalsium oksida dan karbonat dan sejumlah produksi kristal dari CaO yang
membungkus secara bebas (Buryan, et. al., 2008).
Untuk meningkatkan penangkapan komponen asam yang terkandung
dalam gas buang dari boiler cair dengan tujuan mencapai batas emisi baru
yang diperkenalkan oleh Uni Eropa sebesar 200 mg/mg3 gas buang SO2
sebagai perlawanan standar yang telah ada sebesar 400 mg/mg3 gas buang
SO2, ketika ini tidak mungkin lagi untuk meningkatkan berat dosis batu kapur
di zona pembakaran fluid boiler, memungkinkan untuk menerapkan metode
desulfurisasi, ketika komponen asam ditangkap melalui penyerapan kimiawi,
-
II-25
yaitu kontak antara polutan gas dan adsorben, ke dalam gas buang yang
keluar dari boiler. Sorben kalsium oksida atau kalsium hidroksida (metode
kering) atau kalsium hidroksida dalam bentuk suspensi air (metode semi
kering), selanjutnya ditangkap dengan filter kain dalam efisiensi tinggi, yang
pada saat yang sama waktu digunakan sebagai ruang reaksi. Metode, tempat,
dan properti sorbent harus menghargai kondisi termodinamika bagian tertentu
dari perangkat listrik dan material konstruksi, terutama mengingat
kemungkinan berikutnya mengubah titik kondensasi gas buang dan endapan
yang mungkin.
Peningkatan kapasitas penyerapan kimiawi memproduksi kalsium
oksida dari limestone antara 1050-1200oC yang sesuai dengan adsorbsi fisik
bergabung dengan reaksi kimia SO2 dicapai melalui aktivasi pada suhu yang
meningkat dengan menggunakan uap air, atau gas buang, yang bagaimanapun
selain mengandung uap air juga mengandung karbon dioksida. Akibatnya,
resultan (yang diaktifkan) selain sorben mengandung dari oksida dan
hidroksida juga mengandung karbonat.
Selain untuk penguapan air secara adiabatis dari pendinginan gas
buang, juga reaksi berikut berlangsung selama proses penyerapan kimiawi
ditambah dengan reaksi berikut (Guitierrez, 2002, dalam Hlincik, et. al.,
2013):
Ca(OH)2 + SO2 CaSO3 +H2O
Selain kalsium sulfit, oksidasi menghasilkan sejumlah kalsium sulfat pula:
2CaSO3 + O2 2CaSO4
Aktivasi kalsium oksida melalui uap air berubah menjadi hidroksida
dengan peningkatan subtansial dari permukaan reaksi absorbent, lebih lanjut
terhubung dengan peningkatan signifikan dari volume dan permukaan
partikel individu dari sorben teraktivasi termasuk beragam pori-pori.
Perhatian yang sama begitu juga aktivasi melalui gas buang yang
mengandung uap air dan juga karbon dioksida. Bagian yang penting dari
reaksi yang terjadi yaitu hidrasi lanjut melalui kalsinasi yang menghasilkan
silikat, alginat, ferit, clinker, dll, menciptakan struktur berpori, yang pada
-
II-26
lapisan tengah mengandung ion Ca2+
dan H2O. Sejumlah reaksi juga
memproduksi internal dan eksternal hidrat, mengandung kalsium hidroksida.
Hal ini memungkinan untuk meningkatkan laju rekasi desulfurisasi
fase padat-gas heterogen. Namun, aktivasi perlu untuk dilakukan sehingga
sorben yang teraktivasi akan selalu menjaga bentuknya yang longgar,
mengaktifkan dosis dalam aliran gas buang dan penangkapan sorben yang
bersifat reaktan atau tidak reaktan oleh filter.
2.7 Karakterisasi Bahan
Untuk menganalisis batubara, terdapat tiga metode yaitu analisis ultimat,
proksimat dan analisa kalor. Sedangkan untuk analisa tambahan sebagai
pelengkap pada batubara dan batu kapur dengan menggunakan analisa termal
dengan uji TGA untuk mengetahui karakter batubara dan batu kapur melalui
proses perubahan massa.
2.7.1 Analisa Ultimat dan Proksimat
Menurut UNEP (2006), Analisis ultimat digunakan untuk
menganalisis seluruh elemen komponen batubara, padat atau gas dan analisis
proximat digunakan untuk menganalisis hanya fixed carbon, bahan yang
mudah menguap, kadar air dan persen abu. Analisis ultimat harus dilakukan
oleh laboratorium dengan peralatan yang lengkap oleh ahli kimia yang
terampil, sedangkan analisis proksimat dapat dilakukan dengan peralatan
yang sederhana. (Catatan: proximate tidak ada hubungannya dengan kata
approximate).
Analisis proksimat menunjukan persen berat dari fixed carbon, bahan
mudah menguap, abu, dan kadar air dalam batubara. Jumlah fixed carbon dan
bahan yang mudah menguap secara langsung turut andil terhadap nilai panas
batubara. Fixed carbon bertindak sebagai pembangkit utama panas selama
pembakaran. Kandungan bahan yang mudah menguap yang tinggi
menunjukan mudahnya penyalaan bahan bakar. Kadar abu merupakan hal
penting dalam perancangan grate tungku, volum pembakaran, peralatan
-
II-27
kendali polusi dan sistim handling abu pada tungku. Sedangkan Analsis
ultimat menentukan berbagai macam kandungan kimia unsur- unsur seperti
karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dll. Analisis ini berguna dalam penentuan
jumlah udara yang diperlukan untuk pemakaran dan volum serta komposisi
gas pembakaran. Informasi ini diperlukan untuk perhitungan suhu nyala dan
perancangan saluran gas buang dan lain-lain. Lebih lanjut penjelasan
mengenai parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut:
a. Fixed carbon
Fixed carbon merupakan bahan bakar padat yang tertinggal dalam
tungku setelah bahan yang mudah menguap didistilasi. Kandungan
utamanya adalah karbon tetapi juga mengandung hidrogen, oksigen, sulfur
dan nitrogen yang tidak terbawa gas. Fixed carbon memberikan perkiraan
kasar terhadap nilai panas batubara.
b. Bahan yang mudah menguap (volatile matter)
Bahan yang mudah menguap dalam batubara adalah metan,
hidrokarbon, hydrogen, karbon monoksida, dan gas-gas yang tidak mudah
terbakar, seperti karbon dioksida dan nitrogen. Bahan yang mudah
menguap merupakan indeks dari kandunagnbahan bakar bentuk gas
didalam batubara. Kandunag bahan yang mudah menguap berkisar antara
20 hingga 35%. Bahan yang mudah menguap:
- Berbanding lurus dengan peningkatan panjang nyala api, dan
membantu dalam
- memudahkan penyalaan batubara
- Mengatur batas minimum pada tinggi dan volum tungku
- Mempengaruhi kebutuhan udara sekunder dan aspek-aspek distribusi
- Mempengaruhi kebutuhan minyak bakar sekunder
-
II-28
c. Kadar abu
Abu merupakan kotoran yang tidak akan terbakar. Kandungannya
berkisar antara 5% hingga 40%. Abu:
- Mengurangi kapasitas handling dan pembakaran
- Meningkatkan biaya handling
- Mempengaruhi efisiensi pembakaran dan efisiensi boiler
- Menyebabkan penggumpalan dan penyumbatan
d. Kadar Air
Kandungan air dalam batubara harus diangkut, di-handling dan
disimpan bersama-sama batubara. Kadar air akan menurunkan kandungan
panas per kg batubara, dan kandungannya berkisar antara 0,5 hingga 10%.
Kadar air:
- Meningkatkan kehilangan panas, karena penguapan dan pemanasan
berlebih dari uap
- Membantu pengikatan partikel halus pada tingkatan tertentu
- Membantu radiasi transfer panas
e. Kadar Sulfur
Pada umumnya berkisar pada 0,5 hingga 0,8%. Sulfur:
- Mempengaruhi kecenderungan teradinya penggumpalan dan
penyumbatan
- Mengakibatkan korosi pada cerobong dan peralatan lain seperti
pemanas udara dan
- economizers
- Membatasi suhu gas buang yang keluar
2.7.2 Analisa Kalor
Nilai kalor merupakan ukuran panas atau energi yang dihasilkan., dan
diukur sebagai nilai kalor kotor/ gross calorific value atau nilai kalor netto/
nett calorific value. Perbedaannya ditentukan oleh panas laten kondensasi
dari uap air yang dihasilkan selama proses pembakaran. Nilai kalor kotor/.
-
II-29
gross calorific value (GCV) mengasumsikan seluruh uap yang dihasilkan
selama proses pembakaran sepenuhnya terembunkan/terkondensasikan. Nilai
kalor netto (NCV) mengasumsikan air yang keluar dengan produk
pengembunan tidak seluruhnya terembunkan. Bahan bakar harus
dibandingkan berdasarkan nilai kalor netto. Nilai kalor batubara bervariasi
tergantung pada kadar abu, kadar air dan jenis batu baranya. Alat yang
digunakan untuk menganalisa nilai kalor adalah Bomb Calorimeter.
2.7.3 Analisa Termal
Analisa termal dapat dilakukan dengan thermogravimetric (TGA) dan
differential thermal analysis (DTA). TGA adalah suatu metode dinamik untuk
merekam berat sampel dalam kondisi pemanasan atau pendinginan dengan
laju yang terkontrol sebagai fungsi waktu atau temperatur. Kurva TGA
memberikan informasi mengenai besarnya massa yang hilang selama
pemanasan. Dengan teknik ini dapat dilakukan analisis kuantitatif tentang
perubahan berat yang terjadi pada molekul polimer selama proses transisi.
Dalam bidang polimer, teknik ini digunakan untuk mengevaluasi kestabilan
termal suatu polimer, studi kinetika reaksi dekomposisi polimer serta
identifikasi polimer.
DTA adalah metoda yang membandingkan perbedaan temperatur
antara sampel dengan pembanding (reference). Metoda ini berguna saat
pemanasan sampel tidak menyebabkan perubahan berat. Komposisi dalam
campuran polimer dapat diketahui dengn metoda DTA yakni penentuan luas
puncak. Kurva DTA dapat memberikan informasi mengenai Tg, Tm, dan Td
(Stevens, 2000 dalam Nurhidayati, 2007 : II-15)
2.8 Pengenalan Boiler
Boiler merupakan suatu peralatan yang digunakan untuk menghasilkan
steam (uap) dalam berbagai keperluan. Air di dalam boiler dipanaskan oleh panas
dari hasil pembakaran bahan bakar (sumber panas lainnya) sehingga terjadi
perpindahan panas dari sumber panas tersebut ke air yang mengakibatkan air
-
II-30
tersebut menjadi panas atau berubah wujud menjadi uap. Air yang lebih panas
memiliki berat jenis yang lebih rendah dibanding dengan air yang lebih dingin,
sehingga terjadi perubahan berat jenis air di dalam boiler. Air yang memiliki berat
jenis yang lebih kecil akan naik, dan sebaliknya air yang memiliki berat jenis yang
lebih tinggi akan turun ke dasar.
(Djokosetyardjo,M.J.1990)
Sistem boiler terdiri dari: sistem air umpan, sistem steam dan sistem bahan
bakar. Sistem air umpan menyediakan air untuk boiler secara otomatis sesuai
dengan kebutuhan steam. Berbagai kran disediakan untuk keperluan perawatan
dan perbaikan. Sistem steam mengumpulkan dan mengontrol produksi steam
dalam boiler. Steam dialirkan melalui sistem pemipaan ke titik pengguna. Pada
keseluruhan sistem, tekanan steam diatur menggunakan kran dan dipantau dengan
alat pemantau tekanan. Sistem bahan bakar adalah semua peralatan yang
digunakan untuk menyediakan bahan bakar untuk menghasilkan panas yang
dibutuhkan. Peralatan yang diperlukan pada sistem bahan bakar tergantung pada
jenis bahan bakar yang digunakan pada sistem.
2.9 Peralatan Pembakaran pada Boiler Batubara
Untuk membakar batubara diperlukan suatu tungku pembakar (burner)
yang fungsinya adalah sebagai berikut:
- Memberikan cukup ruangan atau volume untuk nyala api yang terjadi
pada proses pelepasan energi,
- Untuk penyalaan bahan bakar, yaitu mempertahankan kontinuitas
proses pembakaran,
- Mencampur bahan bakar dengan udara,
- Mengatur proporsi bahan bakar dengan udara,
- Menjamin keamanan proses pembakaran.
Pada dasarnya ada tiga sistem pembakaran batubara yaitu, Mechanical
Stoker, Pulverized-Coal Firing, dan Fluidized Bed Combution. Peralatan tersebut
dapat juga dipakai untuk pembakaran bio-massa dengan sedikit modifikasi
(BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011 : 3-52).
-
II-31
1. Mechanical Stokers atau Grate Burning
Awal sejarah dari steam boiler adalah Mechanical Stokers atau Grate
Burning, yang masih digunakan hingga saat ini untuk boiler ukuran
kecil hingga medium. Grate Burning dapat diklasifikasikan sebagai (1)
Mass Burning (MB) dan (2) Spreader Burning (SB).
(a) MB dengan feeding gravitasi.
- Chain atau travelling grates (CG/TG)
- Reciprocating atau Pulsating Grates (RG/PG)
(b) SB dengan feeding yang disemburkan.
- CG/TG
- Dumping Grates (DG)
Beberapa tipe untuk pembakaran kayu dan ampas tebu adalah:
- Pinhole grates (PHGs) untuk bahan bakar dengan kadar
kelembaban tinggi (hingga kadar air 55%)
- Inclined water-cooled grates (IWCGs) untuk bahan bakar
dengan kadar air yang lebih tinggi (hingga kadar air 70%)
Boiler sistem stoker didesain untuk mensuplai batubara secara
kontinyu ke dalam ruang bakar dengan menggunakan grate yang
bergerak dan sekaligus menyingkirkan debu dari furnace. Hampir
semua tipe batubara dapat dibakar di stoker. Pembakaran pada stoker
adalah yang paling rendah efisiensinya dibandingkan semua tipe
pembakaran. Karena efisiensinya yang rendah pembakaran dengan
menggunakan sistem stoker dibatasi kapasitasnya yaitu dibawah 3000
kgsteam/jam.
2. Pulverized-coal firing (PC Firing) diperkenalkan pada tahun 1920an
dan memperlihatkan kemajuan yang besar dalam kapasitas
pembakaran melebihi mechanical stokers. Sistem ini sudah
dipergunakan secara luas sampai saat ini. Untuk mempersiapkan
batubara sebelum digunakan di dalam pulverized firing, batubara
dihancurkan dn dihaluskan menjadi bubuk berukuran kurang dari 200
-
II-32
mesh. Sistem ini cocok untuk variasi batubara yang beragam,
khususnya untuk yang berkualitas tinggi. Keunggulan dari pulverized-
coal firing adalah baik dalam menghadapi perubahan beban,
membutuhkan udara lebih yang rendah untuk pembakaran, konsumsi
listrik untuk fan rendah, kehilangan karbon rendah, temperatur
pembakaran tinggi yang meningkatkan efisiensi thermal, kapasitas
menghasilkan uap tinggi yang meningkatkan efisiensi thermal,
kapasitas menghasilkan uap tinggi mulai 50 sampai 3000 ton
steam/jam, dan memungkinkan untuk menggunakan multiple-fuel
combustion (minyak, gas, dan batubara).
3. Fluidized-bed combustion, pembakaran bahan bakar terjadi diatas
lapisan (bed) partikel padat (pasir) yang timbul akibat injeksi udara
dari bawah bed. Bed dapat terdiri dari pasir, abu batubara, atau sorben
seperti limestone dan dolomite. Limestone atau Dolomite di dalam bed
bereaksi dengan sulfur dioksida yang terbentuk selama pembakaran
batubara dan membentuk padatan sulfat yang dapat dibuang sebagai
padatan kering. Varian dalam teknologi ini terdiri dari atmospheric-
pressure fluidized-bed combustion, dan pressurized circulating
fluidized-bed combustion.
2.10 Penelitian Terdahulu
Sebelum penelitian ini dilaksanakan, ada beberapa penelitian serupa yang
telah terlebih dahulu dilakukan. Penelitian-penelitian terdahulu ditampilkan dalam
tabel 2.5 berikut:
-
II-33
Tabel 2.5
Penelitian-Penelitian Terdahulu
No. Nama ( Tahun) Judul Metodologi Hasil
1. Cahyadi (2003)
Tipe Jurnal:
Penelitian BPPT
Balai Besar
Teknologi
Energi (B2TE)
Penelitian
Metode Injeksi
Batu Kapur
untuk Penurunan
Emisi SO2 dan
Aplikasinya pada
Pembangkit
Listrik
Metode injeksi batu
kapur di stoker
simulator
- Temperatur antara
750-1250oC
- Limestone CaCO3
sebagai sorben di
temperatur sampai
dengan 750oC
- dilakukan dengan
variasi
perbandingan Ca/S
mulai dari 0,5
hingga 3,5 dengan
variasi ukuran 50,
150, dan 200 mesh
- Sorben akan
bereaksi dengan
SO2 dan O2
membentuk CaSO4
(gypsum)
- Tingkat penurunan
emisi SO2 adalah
bervariasi 17%
hingga 70% pada
rasio molar Ca/S 1
hingga 3 dan ukuran
batu kapur 50 hingga
200 mesh
- Kebutuhan efisiensi
penangkapan SO2
sekitar 55%-70%
- Biaya investasi
rendah, injeksi batu
kapur menjadi alat
yang efektif dan
efisien dalam
pengendalian emisi
SO2
2. Cahyadi (2006)
Tipe Jurnal:
Penelitian BPPT
Balai Besar
Teknologi
Energi (B2TE)
Strategi
Penurunan Emisi
SO2 pada PLTU
Batubara yang
Tidak Memiliki
Desulfurisasi
Metode percampuran
batubara high rank
dengan batubara low
rank
- Dengan
menggunakan teknik
pengaturan tumpukan
seperti: pelapisan
chevron, pelapisan
windrow, dan
gabungan keduanya.
- Teknik pengaturan
laju batubara pada
conveyer.
Metode injeksi batu
- Pencampuran
batubara berpotensi
dapat menurunkan
emisi gas SO2
hingga 70%.
- Berdasarkan
penelitian skala
laboratorium pada
uji pembakaran
batubara dengan
injeksi batu kapur
menunjukkan
penurunan emisi SO2
adalah 17% hingga
70%, dengan
-
II-34
kapur
- Uji pembakaran
dilakukan dengan
variasi perbandingan
Ca/S mulai dari 0,5
hingga 3,5 dan variasi
ukuran 50, 150, 200
mesh dengan
temperatur 750-
1250oC.
efisiensi
penangkapan SO2
sekitar 55%-70%
3. Iswan (2010)
Tipe Jurnal:
jurnal ilmiah
Program Studi
Teknik Elektro
Universitas
Khairun,
Ternate
Penanggulangan
Limbah PLTU
Batubara
Data primer berupa
sampling kualitas
udara, data sekunder
berupa data kecepatan
dan arah angin, serta
temperatur dan
kelembapan udara.
- Untuk mencegah
emisi yang
dihasilkan oleh
pembangkit listrik
bakar batubara,
diperlukan teknologi
Flue Gas
Desulfurization.
2.11 Kerangka Pikir Penelitian
Setiap penelitian memerlukan dasar pemikiran yang jelas untuk
menerangkan hubungan antarkonsep yang nantinya akan dijabarkan menjadi
variabel penelitian (Anggoro dkk, 2007 : 2.67). Penelitian ini memiliki kerangka
pikir sebagai berikut :
-
II-35
Gambar 2.6
Kerangka Pikir Penelitian
-
II-36
2.12 Hipotesis Penelitian
Dari arti katanya, hipotesis memang berasal dari 2 penggalan kata hypo
yang artinya di bawah dan thesa yang artinya kebenaran. Jadi hipotesis
yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia
menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis (Arikunto, 2010 : 110).
Hal yang sangat perlu diperhatikan oleh peneliti adalah bahwa ia tidak
boleh mempunyai keinginan kuat agar hipotesisnya terbukti dengan cara
megumpulkan data yang bisa membantu memenuhi keinginannya, atau
memanipulasi data sedemikian rupa sehingga mengarah keterbuktian hipotesis.
Penelitian harus bersikap objektif terhadap data yang terkumpul. (Arikunto, 2010 :
111).
Hipotesis penelitian Upaya Penurunan Emisi SO2 dari Bahan Bakar
Kualitas Rendah (tipe: Subbituminous) dengan Campuran Batu Kapur
(Limestone) pada Proses Pembakaran adalah berdasarkan batasan masalah
penelitian mengenai pengaruh batu kapur (limestone) melalui variasi jumlah (rasio
Ca/S) dan ukuran partikel tertentu yang akan dicampurkan dengan bahan bakar
batubara kualitas rendah (tipe: Subbituminous) dengan ukuran partikel yang sudah
ditentukan terhadap penurunan emisi SO2. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah
variasi batu kapur yang akan dicampurkan dengan batubara tipe Subbituminous
saat proses pembakaran dengan tungku Stoker Simulator memberi pengaruh
terhadap penurunan emisi SO2.