galuh sabhrina n_21080110130065_bab ii

36
II-1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pencemaran Udara Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke alam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Sedangkan menurut Soedomo (2001 : 3) pencemaran udara juga didefinisikan sebagai masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan partikel kecil/aerosol) ke dalam udara. Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat secara alamiah, misalnya asap kebakaran hutan, akibat gunung berapi, debu meteorit, juga sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat aktivitas transportasi, industri, pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi ataupun kebakaran serta kegiatan rumah tangga. Selain terjadi secara alamiah dapat pula terjadi dari kegiatan antropogenik atau akibat dari kegiatan manusia, secara kualitatif seiring lebih besar. Untuk kategori ini sumber-sumber pencemaran dibagi dalam pencemaran akibat aktivitas transportasi, industri, dari persampahan, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran dan rumah tangga. Emisi adalah zat, energi dan atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Sedangkan udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

Upload: pedrobot

Post on 17-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

  • II-1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pengertian Pencemaran Udara

    Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999

    Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara didefinisikan

    sebagai masuknya atau dimasukannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke

    alam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun

    sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat

    memenuhi fungsinya. Sedangkan menurut Soedomo (2001 : 3) pencemaran udara

    juga didefinisikan sebagai masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan

    partikel kecil/aerosol) ke dalam udara. Masuknya zat pencemar ke dalam udara

    dapat secara alamiah, misalnya asap kebakaran hutan, akibat gunung berapi, debu

    meteorit, juga sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat

    aktivitas transportasi, industri, pembuangan sampah, baik akibat proses

    dekomposisi ataupun kebakaran serta kegiatan rumah tangga. Selain terjadi secara

    alamiah dapat pula terjadi dari kegiatan antropogenik atau akibat dari kegiatan

    manusia, secara kualitatif seiring lebih besar. Untuk kategori ini sumber-sumber

    pencemaran dibagi dalam pencemaran akibat aktivitas transportasi, industri, dari

    persampahan, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran dan rumah

    tangga.

    Emisi adalah zat, energi dan atau komponen lain yang dihasilkan dari

    suatu kegiatan yang masuk dan atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang

    mempunyai dan atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.

    Sedangkan udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan

    troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang

    dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur

    lingkungan hidup lainnya.

  • II-2

    Gambar 2.1

    Sistem Pencemaran Udara

    (Sumber: Benefita, 2012)

    Udara bersih mengandung gas-gas yang berasal dari sumber-sumber

    alamiah di Bumi. Komposisi udara rata-rata mengandung 78% nitrogen (N2) dan

    20,9% oksigen (O2). Sisanya adalah gas-gas lain seperti argon (Ar), metana

    (CH4), karbon dioksida (CO2) dan lain-lain sehingga mencapai 100%. Gas-gas

    yang menimbulkan pencemaran udara hanya mencakup kurang dari 0,1% dari

    total komposisi gas (BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011 : 2-1).

    Gambar 2.2

    Komposisi Udara Bersih Alamiah (dalam ppmv)

    (Sumber: BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011)

    2.2 Jenis Pencemaran Udara

    Pencemaran udara dibedakan menjadi beberapa golongan (Soedomo, 2001

    : 6), antara lain:

    20,94

    78,09

    0,93 0,04 0

    20

    40

    60

    80

    oksigen nitrogen argon lain-lain

  • II-3

    2.2.1 Berdasarkan Ciri Fisik

    Dilihat dari ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa :

    1. Partikel (debu, aerosol, timah hitam)

    Partikel dengan ukuran antara 0,01-5m merupakan sumber

    pencemar udara yang utama karena keadaannya tidak terlihat

    secara nyata dan terus berada di atmosfer untuk waktu yang cukup

    lama dan kemungkinan besar dengan proses kimia dapat berubah

    menjadi bahan pencemar sekunder. Dampak negatif dari bahan-

    bahan pencemar ini biasanya berupa gangguan pada bahan-bahan

    bangunan, tanaman dan hewan serta manusia.

    2. Gas (CO, NOx, SOx, H2S, Hidrokarbon)

    Gas di udara dengan reaksi fotokimia dapat membentuk bahan

    pencemar sekunder, misalnya, peroxyl radikal dengan oksigen akan

    membentuk ozon dan nitrogen dioksida berubah menjadi nitrogen

    monoksida dengan oksigen dan sebagainya. Pemaparan dari gas

    terhadap manusia pada umumnya melalui pernapasan dan cara

    penanggulangannya terutama dengan mengurangi pembebasan

    bahan pencemar secara langsung ke udara, misalnya dengan

    menggunakan gas scrubber, alat tambahan pada knalpot dan

    sebagainya.

    3. Energi (suhu dan kebisingan).

    2.2.2 Berdasarkan Kejadian

    Berdasarkan kejadian (Soedomo, 2001 : 109), terbentuknya pencemar

    udara terdiri dari :

    1. Pencemar Primer

    Pencemar primer adalah pencemar yang di emisikan langsung oleh

    sumber. Contoh pencemar primer adalah CO, partikulat dan timah

    hitam.

  • II-4

    2. Pencemar Sekunder

    Pencemar sekunder terbentuk karena reaksi di udara antara

    berbagai zat. Contoh pencemar sekunder adalah SOx, NOx, HC,

    ammonia, asam sulfida dan ozon yang akan segera berubah

    menjadi senyawa atmosferik lain setelah berdispersi di atmosfer

    2.2.3 Berdasarkan Sumber Pencemar Udara

    Dalam memperkirakan dan menilai dampak yang timbul terhadap

    lingkungan udara (Soedomo, 2001 : 110), sumber (rencana kegiatan)

    umumnya dikelompokkan dalam beberapa golongan:

    1. Sumber Titik

    Yang termasuk dalam golongan sumber titik adalah cerobong asap

    industry, misalnya emisi SOx dari cerobong PLTU.

    2. Sumber Garis

    Merupakan integrasi dari sumber sumber titik yang tak terhingga

    banyaknya, sehingga dapat dianggap menjadi sumber garis yang

    seluruhnya memancarkan pencemar udara, contohnya adalah jalan

    raya yang mengemisikan CO, HC, NOx, Partikulat, SOx.

    3. Sumber Area

    Merupakan integrasi dari banyak sumber titik dan sumber garis,

    contohnya adalah aglomerasi industry yang sejenis, daerah

    timbunan sampah, dan seterusnya.

    Disamping itu, sumber pencemar udara dapat digolongkan ke dalam

    sumber diam (stasionary) dan sumber bergerak (mobile).

  • II-5

    Sumber Area dan Titik

    Emisi dari Proses

    pada Industri

    Tempat Pembuangan

    Sampah padat

    Pembakaran Pada

    Sumber TetapSumber Lain

    Sumber

    Transportasi

    Kebarakan

    Hutan

    Kebakaran Biasa

    Pembakaran

    Batu Bara

    Pembakaran

    Perkebunan

    On Site

    Insenerasi

    Pembakaran

    Terbuka

    Industri :

    Kimia

    Makanan

    Metalurgi

    Mineral

    Perminyakan

    Rumah Tangga

    Komersial dan

    Institusi

    Industri

    Elektrik Steam

    Kendaraan

    Bermotor

    Pada Jalan

    Layang

    Pesawat

    Terbang

    Kereta Api

    Kapal Laut

    Gambar 2.3

    Klasifkasi Sumber Energi

    (Sumber : Huboyo, et al., 2008)

    2.3 Polutan Udara Utama

    2.3.1 Partikulat

    Partikulat merupakan pencemar udara yang paling prevalens.

    Partikulat berada di atmosfer dalam bentuk suspense, yang terdiri atas partikel

    partikel padat dan cair, yang berukuran kurang dari 100 mikron hingga

    kurang dari 0.01 mikron. Partikulat yang berukuran 10 mikron dan

    tergantung di udara ambient dapat memudarkan cahaya dan berperilaku

    seperti gas. Partikel partikel kecil ini juga disebut dengan aerosol (

    Soedomo, 2001 : 140).

    Partikulat di hasilkan oleh dua fundamental proses, yang pertama

    material handling processes seperti pemecahan atau menggillingan bijih

    seperti batu atau proses pengeringan material dalam jumlah besar dapat

    menghasilkan debu yang halus. Proses yang selanjutnya adalah proses

    pembakaran dapat mengeluarkan partikel kecil dari abu yang tidak terbakar

    atau pembakaran arang yang tidak sempurna. Partikel di hasilkan dari

    pembakaran bahan bakar fosil dan industry pemprosesan mineral

    Dampak pertikulat seperti asap dan kabut dapat mengurangi jarak

    pandang, mengotori bangunan dan metrial lainnya, menyebabakan kerusakan

  • II-6

    akibat karat dan erosi serta merubah cuaca local dan juga dapat menyebabkan

    kerugian pada kesehatan manusia, hewan dan memperlambat pertumbuhan

    tumtuh tumbuhan. Partikel yang melayang diudara dapat berdampak buruk

    bagi kesehatan manusia melalui berbagai cara, pollutan ini mungkin beracun

    atau memicu kanker. Partikel mugkin mengadsorb sedikit senyawa kimia dan

    secara intensif berakibat jika tertahan di saluran pernafasan dalam waktu yang

    lama (Cooper dan Alley, 1994 : 45).

    Pencemaran partikulat dapat dikendalikan ( Soedomo, 2001 : 141),

    hanya dari sumber pengemisinya dengan menggunakan beberapa macam

    metode alternatif :

    1. Penurunan emisi pada sumbernya

    2. Penghindaran Reseptor dari daerah yang tercemar

    3. Alat kontrol partikulat seperti : baghouse, filters, cyclones, impactor,

    scrubbers, electrostatic precipitator

    2.3.2 Sulfur Oksida

    Sulfur oksida merupakan pencemar yang paling umum, terutama yang

    ditimbulkan akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang mengandung sulfur

    tinggi dalam bentuk sulfur organic dan inorganic. Pembakaran bahan bakar

    fosil akan menghasilkan kira kira 30 bagian sulfur dioksida untuk setiap

    bagian sulfur trioksida. Oksida oksida sulfur biasanya terdiri dari sulfur

    dioksida, sulfur trioksida, asam sulfat, asam sulfit. Sulfur dioksida merupakan

    bagian yang paling dominan sehingga oksida oksida sulfur biasanya diukur

    sebagai sulfur dioksida ( Soedomo, 2001 : 141).

    Gas belerang oksida atau sering ditulis dengan SOx terdiri atas gas

    SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau

    tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif.

    Gas SO3 mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk membentuk

    asam sulfat H2SO4. Asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi

    (memakan) benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses

    pengkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya.

  • II-7

    Konsentrasi gas SO2 di udara akan mulai terdeteksi oleh indera

    manusia (tercium baunya) manakala konsentrasinya berkisar antara 0,3 - 1

    ppm. Gas buangan hasil pembakaran pada umumnya mengandung gas SO2

    lebih banyak daripada gas SO3. Jadi dalam hal ini yang dominan adalah gas

    SO2. Namun demikian gas tersebut akan bertemu dengan oksigen yang ada di

    udara dan kemudian membentuk gas SO2 melalui reaksi berikut:

    2SO2 + O2 (udara) 2SO3

    Gambar 2.4

    Proses Terjadinya Hujan Asam

    (Sumber: Wardhana, 1995)

    Gas SO2 juga dapat membentuk garam sulfat apabila bertemu dengan

    oksida logam, yaitu melalui proses kimiawi berikut ini:

    4MgO + 4SO2 3MgSO4 + MgS

    Udara yang mengandung uap air akan bereaksi dengan gas SO2

    sehingga membentuk asam sulfit:

    SO2 + H2O H2SO3 (asam sulfit)

    Udara yang mengandung uap air akan bereaksi dengan gas SO3

    membentuk asam sulfat:

    SO3 + H2O H2SO4 (asam sulfat)

    Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pada beberapa kegiatan

    industri seperti yang terjadi dibeberapa negara Eropa Barat dan Amerika,

    menyebabkan kadar gas SOx dengan uap air yang terdapat di udara akan

    membentuk asam sulfit maupun asam sulfat. Apabila asam sulfit dan asam

  • II-8

    sulfat turun ke bumi bersama-sama dengan jatuhnya hujan, terjadilah apa

    yang dikenal dengan Acid Rain atau hujan asam. Hujan asam sangat

    merugikan karena dapat merusak tanaman maupun kesuburan tanah. Pada

    beberapa negara industri, hujan asam sudah menjadi persoalan yang sangat

    serius karena sifatnya yang merusak. Hutan yang gundul akibat jatuhnya

    hujan asam akan mengakibatkan lingkungan menjadi semakin parah. Gambar

    di atas menunjukkan bagaimana terjadinya hujan asam yang menyebabkan

    kerusakan lingkungan (Wardhana, 1995 : 49).

    Pencemaran SO2 di udara terutama berasal dari pemakaian batubara

    yang digunakan pada kegiatan industri, transportasi dan lain sebagainya.

    Bagaimana peranan batubara dalam menyumbang pencemaran SOx telah

    banyak diteliti di negara-negara industri seperti yang tampak pada tabel di

    bawah ini yang merupakan data hasil penelitian di Amerika tahun 1968:

    Tabel 2.1

    Sumber Pencemaran SOx

    Sumber pencemaran % Bagian % Total

    Transportasi

    - Mobil bensin - Mobil diesel - Pesawat terbang - Kereta api - Kapal laut - Sepeda motor, dll

    0,6

    0,3

    0

    0,3

    0,9

    0,3

    2,4

    Pembakaran stasioner

    - Batubara - Minyak (destilasi) - Minyak (residu) - Gas alam - kayu

    60,5

    1,2

    11,8

    0

    0

    73,5

    Proses Industri 22,0

    Pembuangan limbah padat 0,3

    Lain-lain:

    - kebakaran hutan - pembakaran batubara sisa

    0

    1,8

    1,8

    TOTAL 100,0 100,0

    (Sumber: Wardhana, 1995)

  • II-9

    Dampak yang ditimbulkan dapat dicegah dan dikendalikan dengan

    menggunakan beberapa metoda alternatif, ( Soedomo, 2001 : 143) yaitu:

    1. Penurunan tingkat emisi sulfur pada sumbernya

    2. Penghindaran reseptor dari daerah yang tercemar

    3. Peralatan penyisihan gas dengan adsorpal, adsorbs, atau konventer

    analitik

    2.3.3 Nitrogen Oksida

    Nitrogen oksida sering disebut dengan NOx karena oksida nitrogen

    mempunyai dua macam bentuk yang sifatnya berbeda, yaitu gas NO2 dan gas

    NO. Sifat gas NO2 adalah berwarna dan berbau, sedangkan gas NO tidak

    berwarna dan tidak berbau. Warna gas NO2 adalah merah kecoklatan dan

    berbau tajam menyengat hidung.

    Kadar NOx di udara daerah perkotaan yang berpenduduk padat akan

    lebih tinggi dari daerah pedesaan yang berpenduduk sedikit. Hal ini

    disebabkan karena berbagai macam kegiatan yang menunjang kehidupan

    manusia akan menambah kadar NOx di udara, seperti transportasi, generator

    pembangkit listrik, pembuangan sampah, dan lain-lain (Wardhana, 1995 :

    44).

    Menurut Soedomo (2001 : 147), Terdapat lima kategori mitigasi

    dampak Nitrogen Oksida terhadap lingkugan :

    1. Kontrol emisi kendaraan bermotor

    2. Kontrol pusat kombusi stationer

    3. Penghindaran reseptor dari arah tercemar

    4. Peralatan control gas, absorbs, adsorbsi, dan konventer katalitik

    5. Kontrol Lingkungan

    2.3.4 Karbon Monoksida

    Karbon monoksida atau CO adalah suatu gas yang tak berwarna, tidak

    berbau dan juga tidak berasa. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu di

    bawah -192oC. Gas CO sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar

    fosil dengan udara, berupa gas buangan. Kota besar yang padat lalu lintasnya

  • II-10

    akan banyak menghasilkan gas CO sehingga kadar CO dalam udara relatif

    tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Selain dari itu gas CO dapat

    pula terbentuk dari proses industri. Secara alamiah gas CO juga dapat

    terbentuk, walaupun jumlahnya relatif sedikit, seperti gas hasil kegiatan

    gunung berapi, proses biologi dan lain-lainnya (Wardhana, 1995:41). Secara

    umum terbentuknya gas CO adalah melalui proses berikut ini:

    1. pembakaran bahan bakar fosil dengan udara yang reaksinya tidak

    stoikiometris adalah pada harga ER > 1.

    2. Pada suhu tinggi terjadi reaksi antara karbon dioksida (CO2) dengan

    karbon C yang menghasilkan gas CO.

    3. Pada suhu tinggi, CO2 dapat terurai kembali menjadi CO dan oksigen.

    2.3.5 Ozon dan Oksidan fotokimia

    Produk reaksi atmosfer antara aksida oksida nitrogen dengan

    hidrokarbon dengan bantuan sinar matahari disebut oksidan fotokimia. Ozon

    merupakan senyawa paling dominan dari oksidan foto kimia, jenis oksidan

    lainnya meliputi proxyacetyl nitrate (PAN) NxOy.

    Oksida fotokimia dapat ditemui disetiap tempat dimana terdapat

    oksida nitrogen dan nitrogen bereaksi dibawah radiasi sinar matahari, Oksida

    perusak tanaman baik secara akut mauoun khronik, ini merupakan

    manifestasi pertama yang timbul. Cacat pada daun yang sensitive dapat

    terjadi setelah waktu paparan 4 jam terhadap ozon total pada konsentrasi 100

    mikrogram per meter kubik. Gangguan pernafasan merupakan pengaruh

    kesehatan yang timbul terhadap manusia. Untuk pencegahan dampak semua

    strategi dan pengendalian yang dilakukan untuk unsur NOx merupakan

    metode motogasi untuk fotooksidan (Soedomo, 2001 : 149).

  • II-11

    Tabel 2.2

    Jenis Pencemar, Karakteristik, Sifat, dan Dampak Terhadap Kesehatan

    Jenis

    Pencemar

    Karakteristik Sifat Dampak Kesehatan

    CO -Tidak berwarna

    -Tidak berbau

    -Tidak berasa

    -Tidak menimbulkan iritasi

    Mudah berikatan

    dengan Hb (240 kali

    lipat O2)

    -200 ppm : pusing

    -400 ppm : pusing lalu

    pingsan setelah 45 menit

    >2000 ppm: kematian

    NMHC Berupa gas dan aerosol Karsinogenik dan

    toksik

    Efek jangka panjang

    tergantung dari toksisitas dan

    sifat karsinogeniknya

    Partikulat Padat dengan ukuran

  • II-12

    2.4 Energi Sebagai Sumber Pencemar Udara

    Proses dalam menghasilkan energi memberikan proporsi yang cukup besar

    pada pencemaran udara. Besarnya emisi dan jenis emisi yang dihasilkan sangat

    tergantung dari jenis sumber energi yang digunakan, besarnya energi yang

    digunakan, teknologi yang diterapkan serta sistem pengendalian pencemaran

    udara yang diterapkan dalam sistem penghasil energi tersebut.

    Selama lebih dari tiga dekade, kebutuhan energi di Indonesia didominasi oleh

    minyak bumi. Seiring dengan berkurangnya sumber minyak dan terus

    meningkatnya harga minyak bumi maka penggunaan sumber energi kemudian

    beralih ke gas dan batubara. Saat ini penggunaan batubara semakin meningkat

    karena lebih mudah didapat dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan

    minyak (BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011 : 2-19).

    Gambar 2.5

    Grafik Perbandingan Realisasi dan Proyeksi Energi Primer antara Batubara

    dengan Bahan Bakar Lainnya.

    (Sumber: ESDM, 2006)

    Berikut adalah perbandingan jumlah emisi dari tiap jenis energi fosil yang

    digunakan pada pembangkit listrik dilihat pada tabel 2.3:

  • II-13

    Tabel 2.3

    Perbandingan Jumlah Emisi dari Berbagai Jenis Sumber Energi

    Type of Emission Emission (pounds/10

    9 BTU of energy)

    Coal Crude Oil Gas

    CO2 208 164 117

    SOx 2591 1122 1

    PM10 2744 84 7

    NOx 457 448 92

    CO 208 33 40

    (Sumber: Bappenas, 2006, dalam BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011)

    2.5 Batubara

    Batubara adalah istilah umum yang mencakup banyaknya mineral organik

    padat dengan komposisi dan sifat yang sangat berbeda, meskipun semua pada

    dasarnya kaya amorphons (tanpa struktur biasa) karbon dasar. Ini ditemukan di

    endapan-endapan berlapis di tempat berbeda dan sering berada di kedalaman yang

    hebat. Meskipun terkadang dekat dengan permukaan. Di perkirakan di Amerika

    Serikat terdapat 270.000 miliar ton cadangan yang dapat diperoleh kembali (itu

    semua dapat ditambang secara ekonomis pada masa yang akan datang) di 36 dari

    50 negara. Amerika Serikat menyumbang simpanan batubara sekitar 30 persen

    dari total dunia (El-Wakil, 1984 : 123).

    .

    2.5.1 Klasifikasi Batubara

    Berdasarkan standar American Society for Testing Materials (ASTM)

    dengan pengujian D-388-77 diperoleh klasifikasi batubara yang diperoleh

    dari nilai kalor batubara lembab dan bebas bahan mineral (moist, mineral,

    matter free) dan dasar kandungan karbon tetap serta zat terbang yang kering

    dan bebas bahan mineral (dmff, dry and mineral matter free). Sedang

    batubara peringkat rendah tidak di klasifikasikan menurut karbon tetap dan

    zat terbangnya, tetapi berdasarkan nilai kalorinya. klasifikasi ini dijelaskan

    secara singkat sebagai berikut:

  • II-14

    a. Antrasit

    Jenis batubara ini merupakan tingkatan paling tinggi di antara

    jenis batubara lainnya. Antrasit mengandung kandungan yang

    tinggi, 86-98 persen massa, dari karbon tetap (kandungan karbon

    dalam kondisi dasarnya) yang kering, dasar materi mineral yang

    bebas dan kandungan volatil yang rendah, kurang dari 12 sampai

    14 persen (terutama metana, CH4). Antrasit berwarna hitam

    berkilau, padat, merupakan batubara rapuh yang berbatasan

    dengan grafit di ujung atas karbon tetap. Batubara ini mengalami

    proses pembakaran lambat dan memiliki nilai kalor tetap lebih

    tinggi dari batubara bituminius. penggunaannya dalam generator

    uap sebagian besar terbatas pada pembakaran di stoker, dan

    jarang dalam bentuk bubuk. di Amerika Serikat itu kebanyakan

    ditemukan di pennsylvania.

    peringkat anthrachite batubara dibagi menjadi tiga kelompok.

    dalam urutan ke bawah dari persen karbon tetap, mereka adalah

    meta-antrasit, lebih besar dari 98 persen, antrasit, 92-98 persen,

    dan semiantrasit, 86-92 persen

    b. Bituminus

    Jenis batubara ini memilki kelompok terbesar, batubara

    bituminus adalah kelas batubara terluas yang mengandung 46-86

    persen massa dari karbon tetap dan 20-40 persen material volatil,

    dari banyaknya kandungan kompleks daripada batubara antrasit.

    Ini berasal dari bitumen, oleh residu aspal yang diperoleh dari

    destilasi beberapa bahan bakar. Batubara bituinus memiliki

    kisaran nilai kalor dari 11.000 sampai dengan lebih dari 14.000

    btu/lbm (25.600-32.600 kJ/kg). Batubara bituminus biasanya

    mudah terbakar, terutama dalam bentuk bubuk.

    Peringkat bituminus dibagi menjadi 5 kelompok: low-

    volatile, medium-volatile, dan high-volatile A, B, C. Semakin

  • II-15

    rendah volatilnya, maka semakin tinggi nilai kalornya. Kelompok

    low-volatile berwarna hitam keabu-abuan dan memiliki struktur

    berbentuk butiran, ketika kelompok high-volatile mengalami

    homogen atau laminer.

    c. Subbituminus

    Merupakan kelas batubara yang umumnya memiliki nilai

    kalor rendah daripada batubara bituminus, antara 8300-11.500

    Btu/lbm (19.300-26750 Kj/Kg). Ini relatif tinggi dalam dalam

    kadar air yang melekat, sebanyak 15-30 persen, tetapi kandungan

    sulfur sering rendah. Batubara ini berwarna hitam kecoklat-

    coklatan atau berwarna hitam, atau sebagian besar mengalami

    struktur homogen. Batubara subbituminus biasanya terbakar

    dalam bentuk bubuk. Peringkat batubara subbituminus dibagi

    menjadi tiga kelompok: A, B, dan C.

    d. Lignit

    Lignit merupakan tingkatan batubara yang terendah, nama

    lignit bersumber dari bahasa latin lignum, yang artinya kayu.

    Lignit berwarna coklat dan memiliki struktur laminer, dan sisa-

    sisa serat kayu sering terlihat didalamnya. Lignit berasal dari

    sebagian besar tanaman yang kaya akan resin atau sejenis damar

    dan oleh karena itu menyebabkan tingginya uap embun yang

    melekat, setinggi 30 persen, dan material volatil. Jangkauan nilai

    kalor antara di bawah dari 6300-8300 btu/lbm (14.650-19.300

    kJ/kg). Di karenakan tingginya kandungan uap embun dan nilai

    kalor yang rendah, lignit tidak ekonomis untuk transportasi jarak

    jauh dan biasanya dibakar oleh keperluan di pertambangan.

    Peringkat batubara lignit di bagi menjadi dua kelompok: A dan B.

  • II-16

    e. Gambut

    Gambut bukan merupakan peringkat batubara dalam standar

    ASTM. Namun, dianggap sebagai langkah pertama dalam

    pembentukan geologi batubara. Gambut merupakan material

    heterogen yang terdiri dari materi tumbuhan terdekomposisi dan

    mineral anorganik. Ini mengandung lebih dari 90 persen uap

    embun. Meskipun tidak menarik untuk digunakan sebagai bahan

    bakar, tetapi keberadaan gambut berlimpah di setiap bagian

    negara. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat mempunyai

    simpanan yang besar. Oleh karena itu, ini sering di gunakan di

    beberapa negara (irlandia, finlandia, USSR) untuk beberapa

    pembangkit tenaga listrik dan area pemanas.

    2.5.2 Kelas Sumberdaya Batubara

    Sumberdaya batubara (coal resources) adalah bagian dari endapan

    batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumberdaya batubara ini

    dibagi dalam kelas-kelas sumberdaya berdasarkan tingkat keyakinan geologi

    yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi / tingkat kompleksitas

    dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat

    meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan

    dinyatakan layak. Kelas Sumberdaya Batubara dibagi menjadi 4 (Sari, 2009),

    yaitu:

    1. Sumberdaya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)

    Sumberdaya batubara hipotetik adalah batubara di daerah

    penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung

    berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk

    tahap penyelidikan survei tinjau.

    Sejumlah kelas sumberdaya yang belum ditemukan yang sama

    dengan cadangan batubara yang diharapkan mungkin ada di daerah atau

    wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari

    sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada pada

  • II-17

    daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk

    ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops,

    pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi

    menyatakan bahwa kebenaran dari hipotetis sumberdaya dan

    mengungkapkan informasi yang cukup tentang kualitasnya, jumlah serta

    rank, maka mereka akan diklasifikasikan kembali sebagai sumberdaya

    teridentifikasi (identified resources)

    2. Sumberdaya Batubara Tereka (Inferred Coal Resource)

    Sumberdaya batubara tereka adalah jumlah batubara di daerah

    penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung

    berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk

    tahap penyelidikan prospeksi.

    Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga

    penilaian dari sumberdaya tidak dapat diandalkan. Daerah sumberdaya

    ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan

    kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti

    geologi dalam daerah antara 1,2 km 4,8 km, termasuk antrasit dan

    bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan

    ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.

    3. Sumberdaya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)

    Sumberdaya batubara tertunjuk adalah jumlah batubara di daerah

    penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung

    berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk

    tahap eksplorasi pendahuluan.

    Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan

    penafsiran secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah

    insitu batubara dan dengan alasan sumberdaya yang ditafsir tidak akan

    mempunyai variasi yang cukup besar jika ekplorasi yang lebih detail

    dilakukan. Daerah sumberdaya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan

    tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling

  • II-18

    berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 0,4 km 1,2 km,

    termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub

    bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan

    150 cm.

    4. Sumberdaya Batubara Terukur (Measured Coal Resource)

    Sumberdaya batubara terukur adalah jumlah batubara didaerah

    penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung

    berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk

    tahap eksplorasi rinci.

    Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan

    untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman,

    dan jumlah batubara insitu. Daerah sumberdaya ini ditentukan dari

    proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik

    pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4

    km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau

    lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan

    ketebalan 150 cm.

    2.5.3 Perhitungan Pembakaran Batubara

    a. Nilai Kalor Bahan Bakar

    Nilai kalor bahan bakar adalah banyaknya panas yang dihasilkan

    dari pembakaran bahan bakar (kKal tiap kg bahan bakar). Nilai

    kalor bahan bakar didapatkan lewat pengujian dengan peralatan

    Bomb Kalorimeter.

    b. Kebutuhan Udara Pembakaran

    Kebutuhan udara bakar untuk membakar tiap 1 kg bahan bakar

    yang mengandung C kg karbon, H kg hidrogen, O kg oksigen dan

    S kg belerang secara teoritis dapat dihitung sebagai berikut

    (Sudjito, 1992 : 33 dalam Sutrisno, 1994 : 16):

    1. Untuk membakar karbon (C):

  • II-19

    C + O2 CO2 (2-1)

    12 kg C + 32 kg O2 44 kg CO2

    Kebutuhan O2 untuk membakar 1 kg C = 32

    12 kg O2

    O2 untuk membakar C dalam bahan bakar = 32

    12 kg O2

    Tiap kg udara mengandung 0,231 kg O2, maka kebutuhan udara

    bakar untuk membakar C kg karbon adalah:

    32

    (12 0,231) kg udara

    2. Untuk membakar hidrogen (H):

    2H2 + O2 2H2O (2-2)

    4 kg H2 + 32 kg O2 36 kg H2O

    Dengan cara yang sama untuk membakar H kg hidrogen

    diperlukan:

    32

    (4 0,231) kg udara

    3. Untuk membakar belerang (S):

    S + O2 SO2 (2-3)

    32 kg S + 32 kg O2 64 kg SO2

    Dengan cara yang sama untuk membakar S kg belerang

    dibutuhkan:

    32

    (32 0,231) kg udara.

    Jadi, jumlah berat udara yang dibutuhkan (Gu

    t) untuk membakar 1

    kg bahan bakar secara teoritis (Sudjito, 1992 : 33):

    Gu

    t = 32

    (12 0,231)+

    32

    (4 0,231)+

    32

    (32 0,231)=

    0,231 kg (kg bb)

    -1

    (2-4)

    Atau :

    Gu

    t = 11,53 C + 34,56 [H -

    8] + 4,32 S kg (kg bb)

    -1 (2-5)

    Dalam keadaan standar, 1 atm dan 0C, berat jenis udara = 1,239

    kg m-3

    , maka volume udara teoritis (Vu

    t) yang dibutuhkan:

    Vu

    t = Gut

    1,239 m

    3 (kg bb)

    -1 (2-6)

  • II-20

    c. Kebutuhan Udara Lebih (excess air)

    Untuk membakar batubara secara sempurna diperlukan udara lebih.

    Perhitungan kebutuhan udara lebih (excess air) pada pembakaran

    batubara umumnya berkisar antara 10% sampai 30% dari udara

    teoritis. Menurut UNEP (2006), untuk pembakaran yang optimum,

    jumlah udara pembakaran yang sesungguhya harus lebih besar

    daripada yang dibutuhkan secara teoritis. Bagian dari gas buang

    mengandung udara murni, yaitu udara berlebih yang ikut

    dipanaskan hingga mencapai suhu gas buang dan meninggalkan

    boiler melalui cerobong. Walau demikian, terlalu banyak udara

    berlebih akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi.

    Tabel 2.4

    Jumlah Udara Berlebih untuk Berbagai Bahan Bakar dan Alat

    Fuel Excess of Air (%)

    Anthracite 40

    Coke oven gas 5-10

    Natural Gas 5-10

    Coal, pulverized 15-20

    Coal, stoker 20-30

    Oil (No. 2 and No. 6) 10 to 20

    Semi anthracite, hand firing 70 to 100

    Semi anthracite, with stoker 40 to 70

    Semi anthracite, with traveling grate 30 to 60

    (Sumber: Anonim, tanpa tahun (engineeringtoolbox.com))

    2.6 Batu Kapur

    Kapur adalah batuan sedimen terutama terdiri dari kalsium karbonat

    (CaCO3) dalam bentuk kalsit mineral. Batuan ini paling sering terbentuk di

    perairan laut yang dangkal. Ini biasanya merupakan batuan sedimen organik yang

    terbentuk dari akumulasi cangkang hewan, karang, alga dan puing-puing.

    Batu kapur mengandung 98,9% kalsium karbonat (CaCO3) dan 0,95% magnesium

    karbonat (MgCO3) (Russell, 2007). Batu kapur di alam jarang ada yang murni,

  • II-21

    karena umumnya mineral ini selalu terdapat partikel kecil kuarsa, felspar, mineral

    lempung, pirit, siderit dan mineral lainnya. Dalam mineral batu kapur terdapat

    juga pengotor, terutama ion besi.

    Batu kapur berwarna putih keabu-abuan dengan kekerasan 3,00 Mohs,

    bersifat pejal dengan density bulk 2655 kg/m3, berbutir halus hingga kasar dan

    mempunyai sifat mudah menyerap air serta mudah dihancurkan. Batu kapur juga

    mudah larut dalam asam. Batu kapur yang larut dalam zat asam akan

    menghasilkan gas karbon dioksida. Batu kapur akan menjadi semakin tidak larut

    dalam air dengan naiknya temperatur. Klasifikasi batu kapur dalam perdagangan

    mineral industri didasarkan atas kandungan unsur kalsium (Ca) dan unsur

    magnesium (Mg). Misalnya, batu kapur yang mengandung 90 % CaCO3 disebut

    batu kapur kalsit, sedangkan bila mengandung 19% MgCO3 disebut dolomit.

    Adapun batu kapur lebih banyak digunakan dalam industri karena banyak terdapat

    di alam dan banyak manfaatnya, misalnya dalam pembuatan kalsium klorida

    (Amethyst, 2010).

    Batu kapur (limestone) merupakan nama umum untuk berbagai macam

    batuan kalsit. Batu kapur dengan jumlah yang besar digunakan sebagai fluks

    dalam leleh besi, untuk pembuatan kapur, dan sebagai bahan bangunan. Dalam

    arti luas, batu kapur meliputi dolomit, marmer, kapur, atau mineral yang sebagian

    besar terdiri dari CaCO3. Ketika proporsi mencapai 45% dan batu kapur berada di

    dalam karbonat ganda, CaCO3. MgCO3 disebut dengan dolomit. Pada proses

    kalsinasi, batu kapur dapat menghasilkan kapur (lime), yaitu CaO. Batu portland

    dari Inggris, terdiri dari fosil yang disemen bersama-sama dengan kapur, dan batu

    coquina yang berasal dari florida, Amerika Serikat yang terdiri dari kerang secara

    menyeluruh, sebagian besar membentuk tempurung coquina kecil bernama donax

    variabilis.

    Kapur (lime) dengan batukapur (limestone) memiliki arti yang berbeda.

    kapur adalah kalsium oksida yaitu CaO, dalam istilah kimia dikenal sebagai

    calcia, memiliki jumlah yang melimpah ruah di alam, terutama dalam kombinasi

    dengan karbon dioksida sebagai kalsium karbonat dan kapur marmer, kapur,

    karang, dan kerang. Kapur biasa digunakan dalam mortir dan semen, sebagai fluks

  • II-22

    dalam peleburan besi, di dalam banyak terjadinya proses kimia, sebagai penyerap,

    dalam pengolahan air, dalam pengendalian pencemaran udara, dalam pembuatan

    kaca, dan pengapuran tanah masam. Yang diperoleh dengan memanaskan batu

    kapur di tungku atau kiln sekitar 1000F (538oC) untuk membakar gas asam

    karbonat. residu disebut kapur atau kapur kaustik. kapur murni putih dan amorf

    atau kristal. gravitasi spesifik adalah 3,2 dan titik leleh 4660 F (2578oC). (Brady,

    et al., 2002).

    2.6.1 Kalsinasi Batu Kapur

    Secara skematik shaft funace atau tungku tegak yang umum

    digunakan untuk proses kalsinasi. Bahan baku terdiri dari batu kapur dan

    kokas dimasukkan dari bagian atas furnace. Sedangkan udara dihembuskan

    dari bagian bawah. Kapur bakar hasil kalsinasi di tarik keluar dari bagian

    bawah. Tungku kalsinasi dapat dibagi dalam tiga zona, yaitu zona preheating,

    zona reaksi, dan zona cooling.

    a. Preheating Zone

    Pada daerah ini muatan padat batu kapur dan kokas akan

    mengalami pemanasan sampai temperatur sekitar 800oC oleh gas

    panas yang bergerak berlawanan dari bawah ke bagian atas

    tungku. Pada daerah ini, belum terjadi reaksi kalsinasi maupun

    reaksi pembakaran dari kokas.

    b. Reaction Zone

    Pada daerah ini terjadi reaksi pembakaran kokas dan dekomposisi

    dari batu kapur. Kapur mengalami pemanasan berlebih dan

    diperkirakan mencapai teperatur 1000oC. Gas yang meninggalkan

    daerah reaksi bertemperatur sekitar 900oC. Temperatur gas yang

    keluar 100oC lebih tinggi dari pada temperatur material yang

    masuk pada daerah ini.

    c. Cooling Zone

    Pada daerah ini kapur bakar didinginkan dengan udara yang

    bergerak berlawanan dari bagian bawah tungku. Pada daerah ini

  • II-23

    kapur bakar didinginkan sampai temperatur sekitar 100 o

    C. Agar

    terjadi pembakaran yang sempurna dari kokas, maka udara yang

    dihembuskan mencapai 25 persen berlebih dari yang diperlukan.

    Selama proses kalsinasi, batu kapur (CaCO3) akan terurai menjadi

    kapur bakar dengan rumus kimia CaO (kalsium oksida) dan gas karbon

    dioksida, CO2 sesuai dengan reaksi berikut:

    CaCO3 CaO + CO2 (g), H298 = 177,8 kJ

    Proses kalsinasi meliputi pelepasan air, karbon dioksida atau gas-gas lain

    yang terikat secara kimiawi. Proses kalsinasi lebih endotermik daripada

    proses drying. Sehingga panas harus dipasok dari sumber dengan temperatur

    relatif tinggi (Rosenqvist T., 2004).

    Menurut Prof. Shakhashiri dalam www.scifun.org, pengendalian polusi

    dapat memperluas konsumen kapur dengan pesat. Kapur digunakan di

    cerobong pada scrubber untuk mengurangi emisi SO2 dari pembangkit listrik.

    Sulfur dioksida bereaksi dengan kapur membentuk kalsium sulfit padat.

    SO2(g) + CaO(s) CaSO3(s)

    Jika kapur digunakan dalam proses LIFAC (Limestone Injection into the

    Furnace and Activation of Calcium Oxide) didalam tungku bagian sulfur

    dioksida dan sulfur trioksida dalam gas buang akan bereaksi dengan kalsium

    oksida, membentuk kalsium sulfat (Cahyadi, 2006)

    CaO(s) + SO2(g) + 1/2O2 (g) CaSO4 (s)

    CaO (s) + SO3(g) CaSO4 (s)

    Kapur dapat juga ditambahkan ke air limbah untuk menghilangkan fosfat

    3CaO(s) + 3H2O(l) + 2PO43-

    (aq) Ca3(PO4)2(s) + 6OH-(aq)

    2.6.2 Teknologi Flue Gas Desulfurization

    Proses scrubbing SO2 biasa terjadi pada alat yang disebut dengan

    FGD (Flue Gas Desulfurization) sebagai teknologi penangkapan emisi SO2

    dengan batu kapur. Berdasarkan fase reaksi, proses pada dasarnya dibagi

    menjadi 2, yaitu FGD metode basah dan kering (atau metode semi-kering).

    Metode basah meliputi elusi Sulfur Dioksida dengan larutan air dari yang

  • II-24

    paling sering dengan proses alkali yang bereaksi terhadap suatu zat,

    sedangkan metode kering melalui proses penyerapan dan katalis yang terjadi

    pada sorben padat atau katalis saat temperatur dibawah 100oC. metode kering

    FGD dengan kapur atau dolomit mengandung reaksi fase padat-gas

    heterogen, yang terjadi saat temperatur tinggi (Levenspiel, 1998, Dalam

    Hlincik, et. al., 2013). Proses ini dapat diterapkan untuk bubuk-atau cairan-

    boiler FGD. Proses tersebut meliputi reaksi sebagai berikut: kalsinasi kapur,

    terjadi pada temperature di bawah 850oC.

    CaCO3 CaO + CO2

    Kejadian dua fase dari SO2 terjadi pada temperature di bawah 600 o

    C.

    pertama saat munculnya CaO:

    CaO + SO2 CaSO3

    Diikuti oleh oksidasi kalsium sulfit menjadi kalsium sulfat (Garea, et. al.,

    1997, dalam Hlincik, et. al., 2013). Juga CaS teroksidasi menjadi CaSO4:

    CaS + 2O2 CaSO4

    Ketika lime dipakai dalam fluid boiler, memungkinkan untuk

    mencapai waktu tinggal yang lama di dalam lapisan cair dan karenanya juga

    reaksi kalsin lebih baik daripada di dalam kasus pulvurized coal boiler.

    Ketika waktu kontak demikian meningkat dan sulfasi meningkat pada

    temperatur antara 800-850oC, sulfur dioksida juga berdifusi melalui lapisan

    kalsium sulfat di dalam pori-pori kalsin (Hlincik, et. al., 2011). Sayangnya,

    ini disertai dengan reaksi tidak diinginkan, yaitu produksi CaCO3 dari

    kalsium oksida dan karbonat dan sejumlah produksi kristal dari CaO yang

    membungkus secara bebas (Buryan, et. al., 2008).

    Untuk meningkatkan penangkapan komponen asam yang terkandung

    dalam gas buang dari boiler cair dengan tujuan mencapai batas emisi baru

    yang diperkenalkan oleh Uni Eropa sebesar 200 mg/mg3 gas buang SO2

    sebagai perlawanan standar yang telah ada sebesar 400 mg/mg3 gas buang

    SO2, ketika ini tidak mungkin lagi untuk meningkatkan berat dosis batu kapur

    di zona pembakaran fluid boiler, memungkinkan untuk menerapkan metode

    desulfurisasi, ketika komponen asam ditangkap melalui penyerapan kimiawi,

  • II-25

    yaitu kontak antara polutan gas dan adsorben, ke dalam gas buang yang

    keluar dari boiler. Sorben kalsium oksida atau kalsium hidroksida (metode

    kering) atau kalsium hidroksida dalam bentuk suspensi air (metode semi

    kering), selanjutnya ditangkap dengan filter kain dalam efisiensi tinggi, yang

    pada saat yang sama waktu digunakan sebagai ruang reaksi. Metode, tempat,

    dan properti sorbent harus menghargai kondisi termodinamika bagian tertentu

    dari perangkat listrik dan material konstruksi, terutama mengingat

    kemungkinan berikutnya mengubah titik kondensasi gas buang dan endapan

    yang mungkin.

    Peningkatan kapasitas penyerapan kimiawi memproduksi kalsium

    oksida dari limestone antara 1050-1200oC yang sesuai dengan adsorbsi fisik

    bergabung dengan reaksi kimia SO2 dicapai melalui aktivasi pada suhu yang

    meningkat dengan menggunakan uap air, atau gas buang, yang bagaimanapun

    selain mengandung uap air juga mengandung karbon dioksida. Akibatnya,

    resultan (yang diaktifkan) selain sorben mengandung dari oksida dan

    hidroksida juga mengandung karbonat.

    Selain untuk penguapan air secara adiabatis dari pendinginan gas

    buang, juga reaksi berikut berlangsung selama proses penyerapan kimiawi

    ditambah dengan reaksi berikut (Guitierrez, 2002, dalam Hlincik, et. al.,

    2013):

    Ca(OH)2 + SO2 CaSO3 +H2O

    Selain kalsium sulfit, oksidasi menghasilkan sejumlah kalsium sulfat pula:

    2CaSO3 + O2 2CaSO4

    Aktivasi kalsium oksida melalui uap air berubah menjadi hidroksida

    dengan peningkatan subtansial dari permukaan reaksi absorbent, lebih lanjut

    terhubung dengan peningkatan signifikan dari volume dan permukaan

    partikel individu dari sorben teraktivasi termasuk beragam pori-pori.

    Perhatian yang sama begitu juga aktivasi melalui gas buang yang

    mengandung uap air dan juga karbon dioksida. Bagian yang penting dari

    reaksi yang terjadi yaitu hidrasi lanjut melalui kalsinasi yang menghasilkan

    silikat, alginat, ferit, clinker, dll, menciptakan struktur berpori, yang pada

  • II-26

    lapisan tengah mengandung ion Ca2+

    dan H2O. Sejumlah reaksi juga

    memproduksi internal dan eksternal hidrat, mengandung kalsium hidroksida.

    Hal ini memungkinan untuk meningkatkan laju rekasi desulfurisasi

    fase padat-gas heterogen. Namun, aktivasi perlu untuk dilakukan sehingga

    sorben yang teraktivasi akan selalu menjaga bentuknya yang longgar,

    mengaktifkan dosis dalam aliran gas buang dan penangkapan sorben yang

    bersifat reaktan atau tidak reaktan oleh filter.

    2.7 Karakterisasi Bahan

    Untuk menganalisis batubara, terdapat tiga metode yaitu analisis ultimat,

    proksimat dan analisa kalor. Sedangkan untuk analisa tambahan sebagai

    pelengkap pada batubara dan batu kapur dengan menggunakan analisa termal

    dengan uji TGA untuk mengetahui karakter batubara dan batu kapur melalui

    proses perubahan massa.

    2.7.1 Analisa Ultimat dan Proksimat

    Menurut UNEP (2006), Analisis ultimat digunakan untuk

    menganalisis seluruh elemen komponen batubara, padat atau gas dan analisis

    proximat digunakan untuk menganalisis hanya fixed carbon, bahan yang

    mudah menguap, kadar air dan persen abu. Analisis ultimat harus dilakukan

    oleh laboratorium dengan peralatan yang lengkap oleh ahli kimia yang

    terampil, sedangkan analisis proksimat dapat dilakukan dengan peralatan

    yang sederhana. (Catatan: proximate tidak ada hubungannya dengan kata

    approximate).

    Analisis proksimat menunjukan persen berat dari fixed carbon, bahan

    mudah menguap, abu, dan kadar air dalam batubara. Jumlah fixed carbon dan

    bahan yang mudah menguap secara langsung turut andil terhadap nilai panas

    batubara. Fixed carbon bertindak sebagai pembangkit utama panas selama

    pembakaran. Kandungan bahan yang mudah menguap yang tinggi

    menunjukan mudahnya penyalaan bahan bakar. Kadar abu merupakan hal

    penting dalam perancangan grate tungku, volum pembakaran, peralatan

  • II-27

    kendali polusi dan sistim handling abu pada tungku. Sedangkan Analsis

    ultimat menentukan berbagai macam kandungan kimia unsur- unsur seperti

    karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dll. Analisis ini berguna dalam penentuan

    jumlah udara yang diperlukan untuk pemakaran dan volum serta komposisi

    gas pembakaran. Informasi ini diperlukan untuk perhitungan suhu nyala dan

    perancangan saluran gas buang dan lain-lain. Lebih lanjut penjelasan

    mengenai parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut:

    a. Fixed carbon

    Fixed carbon merupakan bahan bakar padat yang tertinggal dalam

    tungku setelah bahan yang mudah menguap didistilasi. Kandungan

    utamanya adalah karbon tetapi juga mengandung hidrogen, oksigen, sulfur

    dan nitrogen yang tidak terbawa gas. Fixed carbon memberikan perkiraan

    kasar terhadap nilai panas batubara.

    b. Bahan yang mudah menguap (volatile matter)

    Bahan yang mudah menguap dalam batubara adalah metan,

    hidrokarbon, hydrogen, karbon monoksida, dan gas-gas yang tidak mudah

    terbakar, seperti karbon dioksida dan nitrogen. Bahan yang mudah

    menguap merupakan indeks dari kandunagnbahan bakar bentuk gas

    didalam batubara. Kandunag bahan yang mudah menguap berkisar antara

    20 hingga 35%. Bahan yang mudah menguap:

    - Berbanding lurus dengan peningkatan panjang nyala api, dan

    membantu dalam

    - memudahkan penyalaan batubara

    - Mengatur batas minimum pada tinggi dan volum tungku

    - Mempengaruhi kebutuhan udara sekunder dan aspek-aspek distribusi

    - Mempengaruhi kebutuhan minyak bakar sekunder

  • II-28

    c. Kadar abu

    Abu merupakan kotoran yang tidak akan terbakar. Kandungannya

    berkisar antara 5% hingga 40%. Abu:

    - Mengurangi kapasitas handling dan pembakaran

    - Meningkatkan biaya handling

    - Mempengaruhi efisiensi pembakaran dan efisiensi boiler

    - Menyebabkan penggumpalan dan penyumbatan

    d. Kadar Air

    Kandungan air dalam batubara harus diangkut, di-handling dan

    disimpan bersama-sama batubara. Kadar air akan menurunkan kandungan

    panas per kg batubara, dan kandungannya berkisar antara 0,5 hingga 10%.

    Kadar air:

    - Meningkatkan kehilangan panas, karena penguapan dan pemanasan

    berlebih dari uap

    - Membantu pengikatan partikel halus pada tingkatan tertentu

    - Membantu radiasi transfer panas

    e. Kadar Sulfur

    Pada umumnya berkisar pada 0,5 hingga 0,8%. Sulfur:

    - Mempengaruhi kecenderungan teradinya penggumpalan dan

    penyumbatan

    - Mengakibatkan korosi pada cerobong dan peralatan lain seperti

    pemanas udara dan

    - economizers

    - Membatasi suhu gas buang yang keluar

    2.7.2 Analisa Kalor

    Nilai kalor merupakan ukuran panas atau energi yang dihasilkan., dan

    diukur sebagai nilai kalor kotor/ gross calorific value atau nilai kalor netto/

    nett calorific value. Perbedaannya ditentukan oleh panas laten kondensasi

    dari uap air yang dihasilkan selama proses pembakaran. Nilai kalor kotor/.

  • II-29

    gross calorific value (GCV) mengasumsikan seluruh uap yang dihasilkan

    selama proses pembakaran sepenuhnya terembunkan/terkondensasikan. Nilai

    kalor netto (NCV) mengasumsikan air yang keluar dengan produk

    pengembunan tidak seluruhnya terembunkan. Bahan bakar harus

    dibandingkan berdasarkan nilai kalor netto. Nilai kalor batubara bervariasi

    tergantung pada kadar abu, kadar air dan jenis batu baranya. Alat yang

    digunakan untuk menganalisa nilai kalor adalah Bomb Calorimeter.

    2.7.3 Analisa Termal

    Analisa termal dapat dilakukan dengan thermogravimetric (TGA) dan

    differential thermal analysis (DTA). TGA adalah suatu metode dinamik untuk

    merekam berat sampel dalam kondisi pemanasan atau pendinginan dengan

    laju yang terkontrol sebagai fungsi waktu atau temperatur. Kurva TGA

    memberikan informasi mengenai besarnya massa yang hilang selama

    pemanasan. Dengan teknik ini dapat dilakukan analisis kuantitatif tentang

    perubahan berat yang terjadi pada molekul polimer selama proses transisi.

    Dalam bidang polimer, teknik ini digunakan untuk mengevaluasi kestabilan

    termal suatu polimer, studi kinetika reaksi dekomposisi polimer serta

    identifikasi polimer.

    DTA adalah metoda yang membandingkan perbedaan temperatur

    antara sampel dengan pembanding (reference). Metoda ini berguna saat

    pemanasan sampel tidak menyebabkan perubahan berat. Komposisi dalam

    campuran polimer dapat diketahui dengn metoda DTA yakni penentuan luas

    puncak. Kurva DTA dapat memberikan informasi mengenai Tg, Tm, dan Td

    (Stevens, 2000 dalam Nurhidayati, 2007 : II-15)

    2.8 Pengenalan Boiler

    Boiler merupakan suatu peralatan yang digunakan untuk menghasilkan

    steam (uap) dalam berbagai keperluan. Air di dalam boiler dipanaskan oleh panas

    dari hasil pembakaran bahan bakar (sumber panas lainnya) sehingga terjadi

    perpindahan panas dari sumber panas tersebut ke air yang mengakibatkan air

  • II-30

    tersebut menjadi panas atau berubah wujud menjadi uap. Air yang lebih panas

    memiliki berat jenis yang lebih rendah dibanding dengan air yang lebih dingin,

    sehingga terjadi perubahan berat jenis air di dalam boiler. Air yang memiliki berat

    jenis yang lebih kecil akan naik, dan sebaliknya air yang memiliki berat jenis yang

    lebih tinggi akan turun ke dasar.

    (Djokosetyardjo,M.J.1990)

    Sistem boiler terdiri dari: sistem air umpan, sistem steam dan sistem bahan

    bakar. Sistem air umpan menyediakan air untuk boiler secara otomatis sesuai

    dengan kebutuhan steam. Berbagai kran disediakan untuk keperluan perawatan

    dan perbaikan. Sistem steam mengumpulkan dan mengontrol produksi steam

    dalam boiler. Steam dialirkan melalui sistem pemipaan ke titik pengguna. Pada

    keseluruhan sistem, tekanan steam diatur menggunakan kran dan dipantau dengan

    alat pemantau tekanan. Sistem bahan bakar adalah semua peralatan yang

    digunakan untuk menyediakan bahan bakar untuk menghasilkan panas yang

    dibutuhkan. Peralatan yang diperlukan pada sistem bahan bakar tergantung pada

    jenis bahan bakar yang digunakan pada sistem.

    2.9 Peralatan Pembakaran pada Boiler Batubara

    Untuk membakar batubara diperlukan suatu tungku pembakar (burner)

    yang fungsinya adalah sebagai berikut:

    - Memberikan cukup ruangan atau volume untuk nyala api yang terjadi

    pada proses pelepasan energi,

    - Untuk penyalaan bahan bakar, yaitu mempertahankan kontinuitas

    proses pembakaran,

    - Mencampur bahan bakar dengan udara,

    - Mengatur proporsi bahan bakar dengan udara,

    - Menjamin keamanan proses pembakaran.

    Pada dasarnya ada tiga sistem pembakaran batubara yaitu, Mechanical

    Stoker, Pulverized-Coal Firing, dan Fluidized Bed Combution. Peralatan tersebut

    dapat juga dipakai untuk pembakaran bio-massa dengan sedikit modifikasi

    (BPLHD Prov Jabar & JETRO, 2011 : 3-52).

  • II-31

    1. Mechanical Stokers atau Grate Burning

    Awal sejarah dari steam boiler adalah Mechanical Stokers atau Grate

    Burning, yang masih digunakan hingga saat ini untuk boiler ukuran

    kecil hingga medium. Grate Burning dapat diklasifikasikan sebagai (1)

    Mass Burning (MB) dan (2) Spreader Burning (SB).

    (a) MB dengan feeding gravitasi.

    - Chain atau travelling grates (CG/TG)

    - Reciprocating atau Pulsating Grates (RG/PG)

    (b) SB dengan feeding yang disemburkan.

    - CG/TG

    - Dumping Grates (DG)

    Beberapa tipe untuk pembakaran kayu dan ampas tebu adalah:

    - Pinhole grates (PHGs) untuk bahan bakar dengan kadar

    kelembaban tinggi (hingga kadar air 55%)

    - Inclined water-cooled grates (IWCGs) untuk bahan bakar

    dengan kadar air yang lebih tinggi (hingga kadar air 70%)

    Boiler sistem stoker didesain untuk mensuplai batubara secara

    kontinyu ke dalam ruang bakar dengan menggunakan grate yang

    bergerak dan sekaligus menyingkirkan debu dari furnace. Hampir

    semua tipe batubara dapat dibakar di stoker. Pembakaran pada stoker

    adalah yang paling rendah efisiensinya dibandingkan semua tipe

    pembakaran. Karena efisiensinya yang rendah pembakaran dengan

    menggunakan sistem stoker dibatasi kapasitasnya yaitu dibawah 3000

    kgsteam/jam.

    2. Pulverized-coal firing (PC Firing) diperkenalkan pada tahun 1920an

    dan memperlihatkan kemajuan yang besar dalam kapasitas

    pembakaran melebihi mechanical stokers. Sistem ini sudah

    dipergunakan secara luas sampai saat ini. Untuk mempersiapkan

    batubara sebelum digunakan di dalam pulverized firing, batubara

    dihancurkan dn dihaluskan menjadi bubuk berukuran kurang dari 200

  • II-32

    mesh. Sistem ini cocok untuk variasi batubara yang beragam,

    khususnya untuk yang berkualitas tinggi. Keunggulan dari pulverized-

    coal firing adalah baik dalam menghadapi perubahan beban,

    membutuhkan udara lebih yang rendah untuk pembakaran, konsumsi

    listrik untuk fan rendah, kehilangan karbon rendah, temperatur

    pembakaran tinggi yang meningkatkan efisiensi thermal, kapasitas

    menghasilkan uap tinggi yang meningkatkan efisiensi thermal,

    kapasitas menghasilkan uap tinggi mulai 50 sampai 3000 ton

    steam/jam, dan memungkinkan untuk menggunakan multiple-fuel

    combustion (minyak, gas, dan batubara).

    3. Fluidized-bed combustion, pembakaran bahan bakar terjadi diatas

    lapisan (bed) partikel padat (pasir) yang timbul akibat injeksi udara

    dari bawah bed. Bed dapat terdiri dari pasir, abu batubara, atau sorben

    seperti limestone dan dolomite. Limestone atau Dolomite di dalam bed

    bereaksi dengan sulfur dioksida yang terbentuk selama pembakaran

    batubara dan membentuk padatan sulfat yang dapat dibuang sebagai

    padatan kering. Varian dalam teknologi ini terdiri dari atmospheric-

    pressure fluidized-bed combustion, dan pressurized circulating

    fluidized-bed combustion.

    2.10 Penelitian Terdahulu

    Sebelum penelitian ini dilaksanakan, ada beberapa penelitian serupa yang

    telah terlebih dahulu dilakukan. Penelitian-penelitian terdahulu ditampilkan dalam

    tabel 2.5 berikut:

  • II-33

    Tabel 2.5

    Penelitian-Penelitian Terdahulu

    No. Nama ( Tahun) Judul Metodologi Hasil

    1. Cahyadi (2003)

    Tipe Jurnal:

    Penelitian BPPT

    Balai Besar

    Teknologi

    Energi (B2TE)

    Penelitian

    Metode Injeksi

    Batu Kapur

    untuk Penurunan

    Emisi SO2 dan

    Aplikasinya pada

    Pembangkit

    Listrik

    Metode injeksi batu

    kapur di stoker

    simulator

    - Temperatur antara

    750-1250oC

    - Limestone CaCO3

    sebagai sorben di

    temperatur sampai

    dengan 750oC

    - dilakukan dengan

    variasi

    perbandingan Ca/S

    mulai dari 0,5

    hingga 3,5 dengan

    variasi ukuran 50,

    150, dan 200 mesh

    - Sorben akan

    bereaksi dengan

    SO2 dan O2

    membentuk CaSO4

    (gypsum)

    - Tingkat penurunan

    emisi SO2 adalah

    bervariasi 17%

    hingga 70% pada

    rasio molar Ca/S 1

    hingga 3 dan ukuran

    batu kapur 50 hingga

    200 mesh

    - Kebutuhan efisiensi

    penangkapan SO2

    sekitar 55%-70%

    - Biaya investasi

    rendah, injeksi batu

    kapur menjadi alat

    yang efektif dan

    efisien dalam

    pengendalian emisi

    SO2

    2. Cahyadi (2006)

    Tipe Jurnal:

    Penelitian BPPT

    Balai Besar

    Teknologi

    Energi (B2TE)

    Strategi

    Penurunan Emisi

    SO2 pada PLTU

    Batubara yang

    Tidak Memiliki

    Desulfurisasi

    Metode percampuran

    batubara high rank

    dengan batubara low

    rank

    - Dengan

    menggunakan teknik

    pengaturan tumpukan

    seperti: pelapisan

    chevron, pelapisan

    windrow, dan

    gabungan keduanya.

    - Teknik pengaturan

    laju batubara pada

    conveyer.

    Metode injeksi batu

    - Pencampuran

    batubara berpotensi

    dapat menurunkan

    emisi gas SO2

    hingga 70%.

    - Berdasarkan

    penelitian skala

    laboratorium pada

    uji pembakaran

    batubara dengan

    injeksi batu kapur

    menunjukkan

    penurunan emisi SO2

    adalah 17% hingga

    70%, dengan

  • II-34

    kapur

    - Uji pembakaran

    dilakukan dengan

    variasi perbandingan

    Ca/S mulai dari 0,5

    hingga 3,5 dan variasi

    ukuran 50, 150, 200

    mesh dengan

    temperatur 750-

    1250oC.

    efisiensi

    penangkapan SO2

    sekitar 55%-70%

    3. Iswan (2010)

    Tipe Jurnal:

    jurnal ilmiah

    Program Studi

    Teknik Elektro

    Universitas

    Khairun,

    Ternate

    Penanggulangan

    Limbah PLTU

    Batubara

    Data primer berupa

    sampling kualitas

    udara, data sekunder

    berupa data kecepatan

    dan arah angin, serta

    temperatur dan

    kelembapan udara.

    - Untuk mencegah

    emisi yang

    dihasilkan oleh

    pembangkit listrik

    bakar batubara,

    diperlukan teknologi

    Flue Gas

    Desulfurization.

    2.11 Kerangka Pikir Penelitian

    Setiap penelitian memerlukan dasar pemikiran yang jelas untuk

    menerangkan hubungan antarkonsep yang nantinya akan dijabarkan menjadi

    variabel penelitian (Anggoro dkk, 2007 : 2.67). Penelitian ini memiliki kerangka

    pikir sebagai berikut :

  • II-35

    Gambar 2.6

    Kerangka Pikir Penelitian

  • II-36

    2.12 Hipotesis Penelitian

    Dari arti katanya, hipotesis memang berasal dari 2 penggalan kata hypo

    yang artinya di bawah dan thesa yang artinya kebenaran. Jadi hipotesis

    yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia

    menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis (Arikunto, 2010 : 110).

    Hal yang sangat perlu diperhatikan oleh peneliti adalah bahwa ia tidak

    boleh mempunyai keinginan kuat agar hipotesisnya terbukti dengan cara

    megumpulkan data yang bisa membantu memenuhi keinginannya, atau

    memanipulasi data sedemikian rupa sehingga mengarah keterbuktian hipotesis.

    Penelitian harus bersikap objektif terhadap data yang terkumpul. (Arikunto, 2010 :

    111).

    Hipotesis penelitian Upaya Penurunan Emisi SO2 dari Bahan Bakar

    Kualitas Rendah (tipe: Subbituminous) dengan Campuran Batu Kapur

    (Limestone) pada Proses Pembakaran adalah berdasarkan batasan masalah

    penelitian mengenai pengaruh batu kapur (limestone) melalui variasi jumlah (rasio

    Ca/S) dan ukuran partikel tertentu yang akan dicampurkan dengan bahan bakar

    batubara kualitas rendah (tipe: Subbituminous) dengan ukuran partikel yang sudah

    ditentukan terhadap penurunan emisi SO2. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah

    variasi batu kapur yang akan dicampurkan dengan batubara tipe Subbituminous

    saat proses pembakaran dengan tungku Stoker Simulator memberi pengaruh

    terhadap penurunan emisi SO2.