makalah blok 13

Upload: kresentia-kelly

Post on 02-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Inkontinensia Urin pada Pasien GeriatriKelly 102012078 A 3Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat [email protected]

PendahuluanInkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin, dan menganggap bahwa masalah tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dapat diselesaikan.Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir mengompol. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan jika diketahui dengan tepat jenis atau tipe inkontinensianya.

PembahasanA. AnamnesisAnamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam medik pasien yang dapat dilakukan pada pasiennya sendiri (auto) atau pada keluarga terdekat (allo). Rekam medik yang dilakukan meliputi:a. Identitas: nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien, keluarga,dan lain-lain) dan keandalan pemberi informasi.b. Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien tentang permasalahan yang sedang dihadapinya.c. Keluhan penyerta: keluhan lain yang menyertai keluhan utama.d. Riwayat penyakit sekarang (RPS): cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. e. Riwayat penyakit dahulu (RPD): bertanya apakah pasien pernah mengalami inkontinensia urin sebelumnya.f. Riwayat penyakit keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup/meninggal) dan masalah kesehatan pada anggota keluarga.g. Riwayat sosial: stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan).1

Dari kasus didapatkan anamnesis sebagai berikut:a) Identitas Nama: Ny. A Jenis kelamin: perempuan. Umur: 70 tahun. Status: menikah.b) Keluhan utama Pasien tidak dapat menahan kencing sehingga sering mengompol.c) Keluhan penyerta Pasien tidak bisa berjalan dengan cepat karena nyeri sendi lututnya.

B. PemeriksaanSetelah anamnesis selesai, dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1) Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik diawali dengan pemeriksaan obyektif tentang hal-hal yang terukur yaitu tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan abdomen meliputi nyeri tekan pada epigastrium. Pada kasus didapatkan hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut: compos mentis, sakit umum ringan, tinggi badan = 150 cm, berat badan = 60 kg, S = 37oC, RR = 20x/menit, nadi = 65x/menit, TD = 130/80 mmHg.2

2) Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang untuk pasien yang diduga menderita inkontinensia urin dapat dilakukan melalui:a. Kultur urinUntuk menyingkirkan infeksib. IVUUntuk menilai saluran bagian atas dan obstuksi atau fistulac. Urodinamik Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran Sistometri : menggambarkan kontraktur detrusor Sistometri video : menunjukkan kebocoran urin saat mengedan pada pasien dengan inkontinensia stres Flowmetri tekanan uretra : mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat istirahat dan selama berkemihd. SistoskopiJika dicurigai terdapat batu atau neoplasma kandung kemihe. Pemeriksaan spekulum vagina sistogram jika dicurigai terdapat fistula vesikovagina.3

Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penanganan pasien yang holistik. Pencatatan aktivitas berkemih (bladder record atau voiding diary), baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon terap. Pengambilan sampel urin untuk dianalisis dengan cara yang benar dapat memberikan informasi tentang adanya infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan residu urin pasca miksi baik dengan kateter maupun dengan ultrasonografi dapat membantu menentukan ada tidaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urin sekitar 50 ml menunjukkan gambaran inkontinensia tipe stres sedangkan volume residu urin lebih dari 200 cc menunjukkan kelemahan detrusor atau obstruksi.3

C.Working Diagnosis (WD)Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya atau dapat juga diartikan secara sempit sebagai keluarnya urin secara involunter.4Inkontinensia urin campuran merupakan kombinasi antara inkontinensia urgensi dan inkontinensia stres. Pada inkontinensia jenis ini terjadi disfungsi detrusor (motorik atau sensorik) dan berhubungan dengan aktivitas sfingter uretra. Hal ini berarti terjadi pengeluaran urin yang tidak disengaja yang berkaitan dengan urgensi dan juga dengan batuk dan bersin. Pasien akan mengeluhkan adanya pengeluaran urin saat terjadi peningkatan tekanan intrabdominal disertai dengan keinginan kuat untuk berkemih. Penyebab yang paling sering adalah kombinasi hipermobilitas uretra dan intabilitas detrusor.4

D. Differential Diagnosis (DD)a) Inkontinensia UrgensiPengeluaran urin involunter yang disebabkan oleh dorongan dan keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan kontraksi detrusor secara involunter. Penyebabnya adalah gangguan neurologik (misalnya stroke, sklerosis multipel) serta infeksi saluran kemih. Gejalanya adalah berkemih sering disertai oleh tingginya frekuensi berkemih (lebih sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah kecil (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).4

b) Inkontinensia StresPengeluaran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa, atau peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Paling lazim terjadi pada wanita setelah usia setengah baya (dengan kehamilan dan kelahiran per vaginam berulang). Inkontinensia stres sering disebabkan oleh kelemahan dasar panggul dan kurangnya dukungan sfingter vesikouretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan sfingter uretra intrinsik seperti akibat epispadia, trauma, radiasi atau lesi medula spinalis bagian sakral. Gejalanya adalah keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen meningkat dan seringnya berkemih.4c) Inkontinensia OverflowPengeluaran urin involunter akibat distensi kandung kemih yang berlebihan. Pada inkontinensia ini, bisa terdapat penetesan urin yang sering atau berupa inkontinensia dorongan atau tekanan. Selain itu, dapat disertai dengan kandung kemih yang kurang aktif, obstruksi jalan keluar kandung kemih (seperti tumor, hipertrofi prostat), obat-obatan (seperti diuretik), impaksi feses, atau defisiensi vitamin B12.4d) Inkontinensia FungsionalImobilitas, defisit kognitif, atau daya kembang kandung kemih yang buruk. Gejalanya adalah mendesaknya keinginan untuk berkemih menyebabkan urin keluar sebelum mencapai tempat yang sesuai.4e) OsteoartritisOsteoartritis adalah kondisi dimana sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi. Berbagai perubahan khas yang mencakup baik kerusakan kartilago maupun remodeling tulang terjadi pada sejumlah sendi diartroid namun masing-masing mempunyai etiologi yang berbeda. Beberapa faktor turut terlibat dalam keadaan ini. Penambahan usia semata tidak menyebabkan osteoartritis, sekalipun perubahan selular atau matriks pada kartilago yang terjadi bersamaan dengan penuaan kemungkinan menjadi penyebab bagi lanjut usia untuk mengalami osteoartritis. Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab adalah obesitas, trauma, kelainan endokrin (misalnya diabetes melitus) dan kelainan primer persendian (misanya artritis inflamatorik).5Osteoartritis diklasifikasikan menurut kriteria klinik sebagai bentuk primer dan sekunder. Gejala klinis osteoartritis primer adalah rasa nyeri, kaku, dan gangguan fungsional. Serangan nyeri tersebut menetap dan dapat disertai dengan keterbatasan gerakan serta deformitas sendi. Nyeri terasa mereda dengan istirahat dan kambuh kembali ketika sendi yang sakit digerakkan. Rasa nyeri tidak disertai dengan gejala inflamasi. Osteoartritis sekunder terjadi akibat keadaan yang jelas merupakan penyebabnya (misalnya trauma, penyakit metabolik atau artritis inflamasi).5

E. EtiologiInkontinensia urin pada wanita dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain kehamilan, proses melahirkan yang terlalu sering, hysterectomy, kenaikan berat badan, usia, dan menopause.6a. KehamilanKehamilan membuat seluruh organ di dalam perut terdesak dan tertekan, tidak terkecuali kantung kencing. Ini akan membuat suatu kondisi inkontinensia urin. Tapi kondisi ini merupakan hal yang normal dan akan hilang setelah melahirkan.6b. Proses melahirkan yang terlalu seringProses ini dapat membuat otot panggul menjadi melebar sehingga tidak dapat mendukung kantung kencing dengan baik. Kantung kencing menjadi turun menekan vagina. Akan sulit untuk mengencangkan otot sfingter sehingga urin sering keluar tanpa disadari. Urin dapat keluar sendiri ketika bersin, batuk, tertawa, berlari, olahraga, dan lain-lain. Ini termasuk tipe inkontinensia stres.6c. Hysterectomy (pengangkatan rahim)Operasi ini merupakan operasi besar membuang organ. Bila terjadi kesulitan saat proses operasi, dapat terjadi kerusakan pada saraf yang mengontrol untuk kencing, maka dapat terjadi inkontinensia urin.6

d. Kenaikan berat badanSeiring dengan naiknya berat badan, otot panggul melemah, kantung kencing menjadi turun menekan vagina, dan terjadi inkontinensia urin.6e. MenopauseKeadaan hipoestrogen pasca menopause berhubungan dengan perubahan anatomi dan fisiologi seperti penipisan mukosa uretra, kehilangan tekanan untuk menutup uretra dan perubahan sudut uretrovesikal, faktor-faktor ini berhubungan dengan inkontinensia urin. Adanya devitalisasi atau melemahnya kekuatan vagina dan mukosa uretra maka pada wanita usia lanjut lebih sering mengalami infeksi. Sedangkan perubahan anatomi seperti dinding vagina dan efektivitas ligamentum uretra berkurang sebagai hasil proses penuaan, maka sfingter uretra akan lebih terbuka sehingga terjadi inkontinensia urin dan sering terjadi infeksi pada traktus urinarus wanita tersebut.6

F. EpidemiologiInkontinensia urin lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Terdapat banyakpenelitian epidemiologis mengenai inkontinensia pada wanita, tetapi berbeda dalam hal definisi, pengukuran inkontinensia, metodologi survei, dan pemilihan kohort membuatnya sulit untuk melakukan perbandingan. Terdapat penelitian epidemiologis di Amerika mengidentifikasi angka prevalensi sebesar 10-40% wanita lanjut usia yang mengalami inkontinensia. Hunskaar dan rekannya (2005) meringkas data epidemiologis yang tersedia dan menyimpulkan bahwa prevalensi inkontinensia urin pada wanita yang lanjut usia mengalamipeningkatan yang stabil (30% hingga 50%). Pada wanita lanjut usia, inkontinensia yang sering terjadi adalah inkontinensia tipe campuran. Seperti yang telah disinggung di atas, resiko inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia. Telah lama dicurigaibahwa terdapat hubungan antara inkontinensia dengan menopause. Puncak prevalensi inkontinensia adalah pada wanita yang telah menopause.6

G. PatofisiologiProses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan kebutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.7Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang dimodulasi oleh korteks otak.7Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi maka terjadi pengosongan kandung kemih atau proses kandung kemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sfingter uretra internal menyebabkan uretra tertutup sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.7Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin.7Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui medula spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.7Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium channel dependent. Oleh karena itu, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontaksi kandung kemih.7Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti dasar inervasi adrenergik dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung kemih.7Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking (terazosin) dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena itu, zat beta-adrenergic blocking (propranolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontaktil adrenergik-alfa.7Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen.7Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian (penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta penghambatan aktivitas saraf parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas saraf simpatis dan somatik menurun, sedangkan saraf parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri, dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat sedangkan batang otak dan supra spinal memfasilitasi.7

Gambar 1. Patofisiologi Inkontensia Urin.7

H. Gejala KlinisGejala klinis inkontinensia campuran adalah gabungan dari gejala inkontinensia urgensi dan inkontinensia stres.7a. Inkontinensia urgensiKontraksi otot detrusor yang tidak terkontrol menyebabkan kebocoran urin, kandung kemih yang hiperaktif, atau ketidakstabilan detrusor.71) Disfungsi neurologis2) Sistitis3) Obstruksi pintu keluar kandung kemih

b. Inkontinensia stresUrin keluar tanpa kontraksi detrusor1) Tonus otot panggul yang buruk2) Defisiensi sfingter uretra, kongenital atau didapat3) Kelebihan berat badan.7

I. PenatalaksanaanTelah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakologis , maupun pembedahan.7Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin, sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi oleh beberapa modalitas terapi bersama-sama. Spektrum modalitas terapi meliputi : terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; operasi dan pemakaian kateter. Keberhasilan penanganan pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis menentukan tipe inkontinensia, faktor-faktor kontribusi reversibel dan problem medik akut.7Intervensi perlaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis memiliki resiko yang rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerja sama yang baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien. Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted voiding, dan latihan otot dasar panggul. Teknik-teknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromodulasi.7Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi non farmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres, namun itu diperlukan motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu saja.7Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan ini dilakukan 3-5 kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 55-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak 10 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.7Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih, diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status inkontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.7Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengntrol/menahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena penderita perlu mengetahui intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama.7Stimulasi elektrik merupakan terapi yang mengunakan dasar kejutan otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai oleh pasien karena pasien harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi ini terlihat lamban.7Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron adregenik beta dengan menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi merupakan salah satu penatalakssanaan kandung kemih hiperaktif yang berhasil.7Penggunaan kateter yang menetap sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai sepsis, pembentukkan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini dajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun demikian, teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih.7Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek baik terhadap inkontinensia urin tipe urgensi dan tipe stres. Obat-obat yang digunakan dapat digolongkan menjadi antikolinergik-antispasmodik, agonis adregenik alfa, estrogen topikal, dan antagonis adrenergik alfa. Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia urin, efek sampng harus diperhatikan bila dipergunakan pada pasien geriatri seperti mulut kering, mata kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstipasi, dan delirium. Sementara obat lain dapat menimbulkan hipotensi postural, bradikardia, sakit kepala dan lain-lain.7Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkontinensia urin tipe stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko stroke. Pseudoefedrin dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan sfingter uretra sehingga menghambat pengeluaran urin. Obat ini memiliki efek samping seperti insomnia, sakit kepala, dan gugup/gelisah. Penggunaannya harus amat hati hati pada pasien dengan hipertensi, aritmia jantung dan angina. Dengan demikian penggunaannya jarang pada usia lanjut.7Antikolinergik dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia urgensi. Oksibutinin memiliki efek antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kompetitif bloker reseptor M3. Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin menyebabkan penurunan frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis sehari sekali berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut kering. Beberapa efek samping antikolinergik adalah xerostomia, xerosflatmia, konstipasi, takikardia, ortostasis, kebingungan dan delirium. Tolterodin lebih selektif untuk reseptor muskarinik di kandung kemih daripada kelenjar parotis, sehingga diharapkan dapat memberikan efek samping kolinergik yang lebih sedikit, seperti xerostomis. Penggunaan agen trisiklik seperti imipramin dibatasi pada usia lanjut karena efek samping yang ditimbulkannya. Uji klinik juga tidak menunjukkan adanya efektivitas penggunaan imipramin.7Tindakan operasi dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan evaluasi urodinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Beberapa cara untuk melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur detrusor seperti transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sistolis telah banyak digunakan. Teknik pembedahan yang paling sering digunakan adalah ileosistoplasti dan miektomi detrusor. Teknik pembedahan untuk inkontinensia urin tipe stres adalah injectable intrauretral bulking agents, suspensi leher kandung kemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincters. Teknik pembedahan untuk inkontinensia urin tipe urgensi adalah augmentation cystoplasty dan stimulasi elektrik.7Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat perhatian bagi tenaga kesehatan adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik, kateterisasi sering merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk penderita inkontinensia urin akut. Terdapat 3 cara pemakaiaan kateter yaitu kateter eksternal (kateter kondom), kateterisasi intermiten, dan kateterisasi kronik atau menetap. Kateter eksternal hanya dipakai pada inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang secara fisik dependen. Bahaya pemakaian kateter tersebut adalah resiko infeksi dan iritasi kulit.7Kateterisasi intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia urin tipe overflow akibat kandung kemih yang akontaktil atau detrusor hyperactivity with impaired contractility (DHIC). Prosedur ini dapat dilakukan 2-4 kali per hari oleh pasien atau tenaga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin akut. Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur ini, oleh karenanya harus dicegah dengan mengguankan teknik aseptik. Sedangkan kateterisasi menetap harus dilakukan secara selektif oleh karena risiko bakteriuria periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia tipe overflow persisten, tak layak operasi, tidak efektif dilakukan kateterisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus, dan perawatan terminal dengan demensia berat.7

J. KomplikasiBerbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi. Selain itu, dapat meningkatkan efek samping dari penggunaan obat-obatan dan meningkatkan peluang infeksi karena pajanan urin terus menerus serta terjadi komplikasi bedah seperti perdarahan, kerusakan sekitar pembuluh darah dan saraf.8

K. PreventifSetiap penyakit memiliki upaya pencegahan yang hampir mirip satu dengan lainnya. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari inkontinensia urin diantaranya adalah:1. Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkannya.2. Berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain.3. Makan tinggi serat agar terhindari dari sembelit.4. Berhenti mengkonsumsi alkohol.5. Mengurangi konsumsi kafein dan minuman bersoda.6. Menjadi pribadi yang aktif secara fisik dan rutin berolahraga.7. Mengontrol berat badan agar tidak menjadi obesitas.8. Jangan menahan keinginan untuk buang air kecil.9. Untuk wanita: jangan terlalu sering hamil dan melahirkan.8

L. PrognosisInkontinensia urin mempunyai kemungkinan yang besaruntuk disembuhkan, terutama pada penderita denganmobilitas dan status mental yang cukup baik. Bahkanbila tidak dapat diobati sempurna, inkontinensiaurin selalu dapat diupayakan lebih baik, sehingga kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan dan meringankanbeban yang ditanggung oleh orang yang merawatpenderita.8

KesimpulanBerdasarkan pembahasan di atas, maka hipotesis diterima yaitu pasien menderita inkontinensia urin campuran. Inkontinensia campuran adalah gabungan dari gejala inkontinensia urgensi dan inkontinensia stres. Penyakit ini merupakan penyakit yang banyak terjadi pada orang yang lanjut usia terutama wanita. Dari kasus yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa penyebab pasien menderita penyakit ini yaitu faktor usia, menopause dan banyaknya proses melahirkan.

Daftar Pustaka1. Swartz. Intisari buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.2-8.2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.62-5.3. Grace PA, Norley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.181.4. Graber MA, Toth PP, Herting RL. Buku saku dokter keluarga. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.549-50.5. Abrams WB, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; 2003.h.75-6.6. Darmojo B. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009.h.42-3.7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2773-98.8. Morgan G, Hamilton C. Obstetri dan ginekologi. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.292-3.

6