makalah aksiologi (1)

Upload: ekha-fn-sainyakit

Post on 06-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fix

TRANSCRIPT

TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

AKSIOLOGI

Disusun Oleh :David Widyanto21100113120034Gana Adikara Yusron21100113130110Yudi Syahputra21100113120022Muhammad Afkarul Haq21100113130102Laras Cahyani Putri21100113120050Eka Fitria Novita Sainyakit21100113120052Farchan Nauval21100113130108Indriastuti Adyarini21100112120012Lintong Mandala P. S.21100112130044

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGIFAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANGOKTOBER 2015BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangAksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri (2010) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Francia Bacon dalam Jujun bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunaannya. Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari Bahasa Yunani, yaitu axios yang artinya nilai dan logos yang artinya teori atau ilmu. Pada pembahasan Aksiologi ini, maka manusia akan berfikir apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak? atau muncul pertanyaan apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai?.

B. Rumusan masalah1. Apa pengertian Aksiologi?2. Bagaimanakah konsepnya tentang nilai?

C. Tujuan Penulisan1. Mengetahui pengertian Aksiologi2. Mengerti konsep tentang nilai yang dibahas dalam Aksiologi

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian AksiologiKata aksiologi barasal dari bahasa Inggris axiology; dari kata Yunani axios yang artinya layak; pantas; nilai, dan logos artinya ilmu; studi mengenai. Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa pengertian secara istilah seperti yang disebutkan di bawah ini:1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.3. Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara: a. Orang dapat mengatakan bahwa a) nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomen kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya.b. Dapat pula orang mengatakan b) nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.c. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa c) nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.Nilai merupakan tema baru dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :1. Moral Conduct yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.2. Estetic expression yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan3. Socio-politcal life yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat sosial politik.

B. Konsep Tentang NilaiKonsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun, sikap apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud manapun, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi merupakan kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi, Aksiologi yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and objective). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsiaten untuk perilaku etis.Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hariDiskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering diucapakan: selera tidak dapat diperdebatkan (de gustibus non disputandum). Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. 2. Nilai itu Obyektif atau Subyektif?Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah nilai itu obyektif atau subyektif?Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu obyektif jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subyektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.a) Obyektivisme atau Realisme AksiologiNilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.Juga pandangan bahwa nilai-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.b) Subyektivisme AksiologisTeori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. \ Hume (skeptisime), A memiliki nilai berarti orang menyukai A. Sarte (eksistensialisme), nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat dijelaskan menyatu dengan kebahagiaan perasaan dari pada berpikir bagaimana kita ingin merasakannya. D. H. Parker (humanisme)Nilai merupakan pengalaman, tidak berwujud objek. Perry (naturalisme)Semua objek dari kepentingan suatu hubungan yang saling terkait antara kepentingan dan objek.Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.3. Relasionisme AksiologisNilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk, yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.5. Nilai dan KebaikanSebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori idealisme nilai. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).6. Nilai dan PersepsiCiri khusus dari persepsi-nilai kita tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai :a. Kaum IdealisMereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).b. Kaum RealisMereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.c. Kaum PragmatisMenurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.Macam-macam nilai: Nilai Instrumental, mempunyai beberapa pengertian:Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil yang diinginkan. Suatu nilai yang dikenakan pada sesuatu yang digunakan sebagai alat memperoleh sesuatu yang diinginkan atau dapat diinginkan. Nilai Utilitarian, beberapa pengertian: Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan sebuah tujuan. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar dari jumlah besar.

BAB IIIKESIMPULAN

Filsafat nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai. Di samping itu aksiologi berhubungan dengan etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif (subjektivisme aksiologi) maupun obyektif (realisme aksiologi). Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang dan lain sebagainya. Sehingga dengan mengetahui nilai maka tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia dan tujuan ilmu pengetahuan.Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia ketika bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Pembahasan dalam aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai, artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai kebudayaan dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan malah menimbulkan bencana.Kegunaan Aksiologi terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan yaitu: Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran, Filsafat sebagai pandangan hidup, Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.