makalah akad

18
KONSEP AKAD DALAM FIQH MUAMALAH A. Pendahuluan Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. Begitupun dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah akad (perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 1 menyebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. Dalam ayat ini ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. B. Pengertian Akad Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu اً دْ قَ عُ د ِ قْ عَ يَ دَ قَ عyang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan

Upload: ajibrahma

Post on 15-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

free

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH AKAD

KONSEP AKAD DALAM FIQH MUAMALAH

A. Pendahuluan

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam

kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga

terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan

orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan,

harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan.

Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim

disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah

yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia

mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal

memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap

masa.

Begitupun dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah akad

(perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yang

banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan

harus ditegakkan isinya. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 1 menyebutkan:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.

Dalam ayat ini ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup: janji

prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan

sesamanya.

B. Pengertian Akad

Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu َع�ْق�ًد�ا �ْع�ْقًد� َي yang berarti perjanjian atau َع�ْق�ًد�

persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara

orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( �ُط� ْب ( الّر�

dan kesepakatan ( َف�اْق� ِت Menurut para ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan .( اِال

antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang ditetapkan adanya pengaruh (akibat)

hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus

merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan

dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan Pertama, dalam ijab dan kabul.

Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan.

Akad (ikatan,keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat dartikan sebagai

kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.

Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk

melaksanakan bik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang

muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.

Page 2: MAKALAH AKAD

Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan

kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan

dan berpengaruh kepada sesuatu.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan

dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan

hukum tertentu.

C. Rukun Akad

Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad.

Rukun akad tersebut adalah:

1. Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)

Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan

diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh

memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain :

a) Ahliyah

Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan

memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila

sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya

mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan

antara merugikan dan menguntungkan.

b) Wilayah

Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i

untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan

pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas

untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari

tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.

2. Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)

Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

• Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.

• Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk

ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.

• Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian

hari.

• Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.

• Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.

3. Shighat, yaitu Ijab dan Qobul

Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang

melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan

perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang

menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang

Page 3: MAKALAH AKAD

mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut

ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda,

baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang

yang menerima.

Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan

ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang

dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.

Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya

sebagai berikut :

• adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.

• Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul

• Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).

• Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan

penolakan dan pembatalan dari keduannya.

Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :

• penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.

• Adanya penolakan ijab dari si pembeli.

• Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah

dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.

• Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan

• Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.

D. Syarat Akad

Disamping rukun, syarat juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapun syarat-syarat itu adalah:

1. Syarat terjadinya akad

Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara

syara'. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat

umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-

syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:

• Pelaku akad cakap bertindak (ahli).

• Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

• Akad itu diperbolehkan syara'dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun

bukan aqid yang memiliki barang.

• Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.

• Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal

bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.

• Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya

qabul, maka akad menjadi batal.

Page 4: MAKALAH AKAD

Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam

sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus ada disamping

syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.

2. Syarat Pelaksanaan akad

Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah

sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang

dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam

ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.

3. Syarat Kepastian Akad (luzum)

Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar

aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan.

E. Macam-Macam Akad

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam

berbagai variasai jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun pengelompokan macam-macam

akad, anatara lain:

1. Akad menurut tujuannya:

1.1. Akad Tabarru, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata

karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT. Atau dalam redaksi lain akad Tabarru

(gratuitous countract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction

(transaksi nirlaba). Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra’,

Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad.

1.2. Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan

dimana rukun dan syarat telah telah dipenuhi semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari

(conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit

transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan

Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah dan Musyaraqah.

2. Akad menurut keabsahannya:

2.1. Akad Sahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat

hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan

harga (uang) dari pembeli kepada penjual.

2.2 Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada

syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan

perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi

syarat tersebut. Dengan kata lain akibat hukumnya adalah Mauquf (terhenti dan tertahan untuk

sementara).

2.3. Akad Bathal (Void Contract) yaitu akad dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan

otomatis syaratnya juga tidak dapat terpenuhi. Akad sepeti ini tidak menimbulkan akibat hukum

perpindahan harta (harta/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.

3. Akad menurut namanya:

Page 5: MAKALAH AKAD

3.1. Akad bernama (al-u’qud al-musamma)

Yang dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat

hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak

berlaku terhadap akad yang lain. Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah akad bernama.

Salah satu contoh menurut al-Kasani (w 587/1190) akad bernama meliputi sebagai berikut:

• Sewa menyewah (al-ijarah)

• Pemesanan (al-istisnha)

• Jual beli (al-bai’)

• Penanggugan (al-kafalah)

• Pemindaan utang (al-hiwalah)

• Pemberian kuasa (al-wakalah)

• Perdamaian (ash-shulh)

• Persekutuan (asy-syirkah)

• Bagi hasil (al-mudharabah)

• Hibah (al-hibah)

• Gadai (ar-rahn)

• Pengarapan tanah (al-muzaraah)

• Pemeliharaan tanaman (al-mu’amalah/al-musaqah)

• Penitipan (al-wadi’ah)

• Pinjam pakai (al-‘ariyah)

• Pembagian (al-qismah)

• Wasiat-wasiat (al-washaya)

• Perutangan (al-qardh)

3.2. Akad tidak bernama (al-‘uqud gair al-musamma)

Akad tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah

satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh

pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya.

Contoh akad tidak bernama adalah perjanjian, penerbitan, periklanan, dan sebagainya.

4. Akad menurut kedudukannya:

4.1. Akad Pokok (al-‘aqd al-ashli) adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak

tergantung kepada suatu hal lain. Seperti: akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai,

dan seterusnya.

4.2. Akad asesoir (a-‘aqd at-tabi’) adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi

tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya

akad tersebut. Seperti: penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn).

5. Akad dari segi unsur tempo di dalam akad:

5.1. Akad bertempo (al-‘aqd az-zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan

unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Seperti: akad sewa-

menyewa, akad penitipan, akad simpan pakai, dan sebagainya.

Page 6: MAKALAH AKAD

5.2. akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan

bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur

tempo sebagai bagian dari akad tersebut.

6. Akad dari segi formalitasnya:

6.1. Akad konsensual (al-‘aqd ar-radha’i)

Akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada

kesepkatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Yang termasuk akad

konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, dan utang piutang.

6.2. Akad formalitas (al-‘aqd asy-syakli)

Akad formalitas adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh

pembuat akad, apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah. Misalnya adalah akad di

luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah dimana diantara formalitas yang

disyariatkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.

6.3. Akad riil (al-‘aqd al-‘aini)

Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad,

dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum

dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori akad jenis ini, yaitu hibah,

pinkam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah

hukum Islam yang menyatakan ”Tabaru’ (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (la

yatimmu at-tabarru’ illa bi qabdh)

7. Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’:

7.1. Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak dilarang

untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa menyewa,

mudharabah, dan sebagainya.

7.2. Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual beli

janin atau akad yang bertentangan dengan ahlak Islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti

sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.

8. Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya:

8.1. Akad mengikat (al-‘aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila semua rukun dan syaratnya

telah terlaksana maka akad tersebut akan mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak

dapat membatalkannya tanpa perssetujuan pihak lain. Akan ini dibedakan lagi menjadi dua

macam yaitu: Pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa

dan sebagainya. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak

dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat

membatalkan tanpa persetujuan pihak pertama seperti akad kafalah (penanggungan) dan akad

gadai (ar-rahn).

8.2. Akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian

tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) akad yang memang sifat

aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-faskh), seperti akad Wakalah(pemberi kuasa), syirkah

Page 7: MAKALAH AKAD

(persekutuan) dan sebagainya. (2) akad yang tidak mengikat karena didalamnya terdapat khiyar

bagi para pihak.

9. Akad menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan:

9.1. akad Nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya

akad tersebut tersebut.

9.2. akad Mauquf adalah kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat secara langsung

dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, tetapi masih tergantung

(mauquf) kepada adanya retifikasi (ijasah) dari pihak berkepentingan.

10. Akad menurut tanggungan:

10.1. ‘aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan barang

kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut, sehingga

kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya

sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.

10.2. ‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut

merupakan amanah dari tangan penerima barang tersebut, sehingga dia tidak berkewajiban

menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesegajaan dan melawan

hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi

kuasa).

F. Cacat Akad

Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan.

Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena

disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak

sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah

sebagai berikut :

1) Paksaan / Intimidasi (Ikrah)

Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman

sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.

Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti,

yaitu :

• Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.

• Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.

• Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.

• Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi dirinya.

Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main,

sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap kontrak yang dilakukan. Menurut Ahmad

Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan

menjadi tidak sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa

diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.

Page 8: MAKALAH AKAD

2) Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)

Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa

terjadi pada dua hal :

• Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari

tembaga.

• Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-

abu.

Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum.

Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan

berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.

3) Penyamaran Harga Barang (Ghubn)

Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya

keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah

dari harga sesungguhnya.

Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :

• Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.

• Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan tapi

bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil.

4) Penipuan (al-Khilabah)

Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang

sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.

5) Penyesatan (al-Taqrir)

Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang

disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak

mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.

G. Kedudukan Akad

Dalam fiqh muamalah akad memiliki kedudukan sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum

dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya :

Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan

melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat

yang berpengaruh pada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak

syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh

apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh

pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang

melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).

Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran)

yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara

sah menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.”

Page 9: MAKALAH AKAD

Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan

hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah

merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu.

Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia

terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan

kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang

tidak bersifat akad.

Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan

diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat

akad terbagi dua macam yakni :

a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak,

membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak

memerlukan qabul.

b). Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu

hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan,

pengakuan di depan sidang.

Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa suatu

tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai

tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak

dapat disebut sebagai akad.

Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum

(tasharruf) adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa

perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat hukum.

Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni :

a) Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal,

menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang,

menerima barang yang dijual dan lain-lain.

b) Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

• Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli.

• Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti

gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf,

talak dan pembebasan kewajiban.

Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab

tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak

mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa

perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya.

Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya.

Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah,

perbuatan dan ta’athi (beri memberi).

Page 10: MAKALAH AKAD

Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum.

Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai

akad.

H. Berakhirnya Akad

Berakhirnya akad bisa juga disebabkan karena fasakh, kematian ataukarena tidak adanya izin

pihak lain dalam akad yang mauquf:

a) Berakhirnya akad karena fasakh

Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni :

• Fasakh karena fasadnya akad

Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harusdifasakhkan baik oleh pihak yang

berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena

adanyahal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak.

• Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak

memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan

keputusan pengadilan.

• Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua

belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa

menyesal.

• Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak

dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd

(pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak

menyerahkan barangdalam batas waktu tertentu.

• Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang

ditetapkan dalam akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan

sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.

b) Berakhirnya Akad Karena Kematian

Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut;

• Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah.

Menurut jumhur fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.

• Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka

barang gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang,

makakematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan

pelunasan hutangnya.

• Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazimatas dua pihak. Oleh karena

itu, kematian seorang dari sejumlahorang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah.

Demikian juga berlaku pada wakalah.

c) Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain.

Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenangtidak mengijinkannya dan atau

meninggal.

Page 11: MAKALAH AKAD

I. Penutup

Akad (al-‘Aqd), yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan

konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah

fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia.

Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam

sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam

akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.

Akad memiliki berbagai macam, tergantung dari ahli fiqh muamalah itu memandang dari sudut

pandangnya. Selai itu, akan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam fiqh muamalah

dalam kehidupan sehari-hari umat manusia.

Page 12: MAKALAH AKAD

Daftar Pustaka

Ash.Shidiqy , T.M Hasbi. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang. 1984

Djamil , Fathurrahman, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh

Mariam Darus Badrul Zaman. Bandung: PT Cipta Adiya Bhakti. 2001

Imanike, Nur. Akad dalam Muamalah. dikutip pada situs: http://sukaapaajadeh.blogspot.com.

diakses pada tanggal 24 Oktober 2013

Khoyin, Ahmad. Makalah Akad Fiqh Muamalah. dikutip pada situs:

http://fsqcairo.blogspot.com. diakses pada tanggal 24 Oktober 2013

Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah, Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana. 2012

Safwatul, Dofri. Makalah Muamalah (Pengertian Akad). dikutip pada situs:

http://makalahkomplit.blogspot.com. diakses pada tanggal 24 Oktober 2013