majalh diffa edisi 07 - juli 2011

72
EDISI 07-JULI 2011 dia dia Cerita Sampul Kepedulian dari Kedai Kopi Konsultasi Pendidikan Pendidikan Dasar Anak Disabilitas Ganda Persepsi Pekerja Sosial Dalam Pendidikan Luar Biasa Sosok Aktivitas Disabilitas Tanpa Batas Majalah Keluarga Humanis No. 07 Juli 2011 Rp. 21.500,- INCLUDING AUDIO VERSION S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N Pengabdian Panjang di Dunia Sunyi

Upload: rudy-gunawan

Post on 12-Mar-2016

249 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Laporan Utama: Pengabdian Panjang di Dunia Sunyi

TRANSCRIPT

Page 1: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

1EDISI 07-JULI 2011diffa

diffa Cerita SampulKepedulian dari Kedai Kopi

Konsultasi PendidikanPendidikan Dasar Anak Disabilitas Ganda

PersepsiPekerja Sosial Dalam Pendidikan Luar Biasa

SosokAktivitas DisabilitasTanpa Batas

Majalah Keluarga HumanisNo. 07 Juli 2011 Rp. 21.500,-

INCLUDING

AUDIO

VERSION

S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N

Pengabdian Panjang di Dunia Sunyi

Page 2: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 2 diffa

Page 3: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

3

MATA HATI M

Pemimpin Perusahaan/Pemimpin RedaksiFX Rudy Gunawan

General ManagerJonna Damanik

Redaktur EksekutifNestor Rico Tambunan

KonsultanYunanto Ali, HandoyoSinta Nuriah WahidMohamad Sobary, Jefri Fernando

RedakturIrwan Dwi KustantoAria IndrawatiMila K. KamilPurnama Ningsih

KontributorAndhika Puspita Dewi (Semarang)Jerry Omona (Papua)Muhlis Suhaeri (Pontianak)Yovinus Guntur (Surabaya)

Redaktur BahasaArwani

Redaktur KreatifEmilia Susiati

Fotografer Adrian Mulja

IlustratorDidi Purnomo

PemasaranSigit D. Pratama

AdministrasiEka Rosdiana

Distribusi dan SirkulasiJonna DamanikBerliaman HalohoPT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610Telepon 62 21 4204402, 4262318Fax 62 21 4269263

Diterbitkan Oleh:PT Diffa Swara MediaYayasan Mitra Netra

PercetakanPT Penebar Swadaya

Alamat RedaksiJl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430

Telepon 62 21 44278887Faxs 62 21 3928562e-mail [email protected]

S a b a r

3

Cove

r: Ry

an, R

ossi

dan

Sya

lsa

Foto

: Sig

it D

Pra

dana

EDISI 06-JUNI 2011diffa

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

PADA Minggu pagi di penghujung Mei 2011 itu seorang lelaki tunadaksa menarik perhatian masyarakat Jakarta di

kawasan Car Free Day sepanjang Jalan Sudirman – MH Thamrin. Lelaki berkaki satu itu pemanjat tebing. Pagi itu ia akan memanjat Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia. Memanjat tebing jenis olah raga keras yang untuk orang berkaki-tangan lengkap pun tak mudah. Perlu kekuatan penuh kaki dan tangan, terutama kekuatan jari kaki dan tangan untuk melak panjat tebing. Perlu otot-otot yang tangguh dan terlatih untuk menjadi pemanjat tebing.

Selain otot dan fisik yang kuat tapi lentur, seorang pemanjat harus memiliki tekad, nyali, kekuatan, kegigihan, dan last but not least, kesabaran yang besar. Kebetulan lelaki berkaki satu itu bernama Sabar. Meski tidak serta merta orang bernama Sabar pasti memiliki kesabaran besar, Sabar yang ini bisa dipastikan memiliki kesabaran luar biasa. Sebab, tanpa kesabaran tak mungkin ia menjadi pemanjat tebing dengan reputasi internasional. Tanpa kesabaran, memanjat sebuah tebing terjal bisa berakhir di rumah sakit atau bahkan kuburan. Perlu juga kecerdasan ekstra agar bisa mengandalkan satu kaki saja ketika memanjat.

Saat memanjat, harus mencermati kekuatan setiap pilihan titik pijak yang akan diambil. Harus memastikan setiap ceruk, cekungan, rongga atau

tonjolan tebing benar-benar kuat menahan beban tubuh kita. Harus mempelajari dengan saksama tingkat kesulitan sampai puncak tebing untuk menentukan strategi setiap langkah yang diambil. Semua itu jelas membutuhkan kesabaran serta kegigihan ekstra. Memanjat tebing dalam hal ini tak berbeda jauh dari perjuangan

untuk mewujudkan mimpi-mimpi dalam kehidupan kita. Atau perjuangan kelompok penyandang disabilitas untuk memperoleh hak-hak sebagai bagian dari masyarakat.

Sama seperti Sabar, tingkat kesabaran, kegigihan, kekuatan,

dan tekad bagi perjuangan kelompok penyandang disabilitas mungkin dua - tiga kali lebih besar dibandingkan perjuangan kelompok non-penyandang disabilitas. Namun, lelaki tunadaksa ini membuktikan kepada masyarakat bahwa ia mampu mencapai puncak-puncak tebing. Dan pagi itu ia berhasil mencapai puncak Tugu Selamat Datang. Keberhasilan ini bukti nyata yang membungkam semua dalih agar kita tak hanya bicara. Bukankah setiap perjuangan memang harus merupakan perbuatan nyata tiada henti dengan penuh kesabaran, kegigihan, keberanian, dan keyakinan? Sebab, hanya dengan cara itulah sebuah perjuangan berhasil. - FX Rudy Gunawan

Page 4: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 4 diffa

SAMBUNG RASAC

Beberapa Komentar di beranda diffa di Facebook

Diffa berjuang dalam keterbatasan. Mulialah perjuangan diffa. Semoga mereka yang banyak dianggap kurang mampu jadi lebih mandiri sejajar dengan orang-orang yang merasa normal. Diffa bukan majalah pop tapi perlu dibaca para penghuni rumah besar untuk membuka mata bahwa di sekitar kita ada penyandang difabilitas yang butuh penyetaraan. Satmoko Daim, Sumpiuh, Jawa Tengah

Bapak saya suka mendengarkan diffa versi audio. Bapak bukan tunanetra, tapi karena sudah sepuh, matanya tidak awas lagi untuk membaca.Mila Kartina, penulis skrip di Jakarta

Majalah diffa cahaya bagi para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.Primaningrum, Jakarta, orang tua Balqis cover diffa edisi Februari 2011

Saya suka membaca cerpen, puisi, dan cermor di diffa. Rubrik tersebut memuat tulisan-tulisan para penyandang disabilitas, sehingga kami berkesempatan membuktikan kepada masyarakat bahwa kami pun bisa berkarya.Rahmadani Ray, low vision, penulis, Depok

Saya penyandang disabilitas yang sedang menuntut ilmu di Honolulu, Hawaii. Walau belum pernah membaca majalah diffa, saya senang berkenalan dan mendukung terbitnya diffa sebagai majalah umum satu-satunya di Indonesia dengan isi tentang disabilitas. Majalah ini mewakili kami, penyandang disabilitas, menyuarakan keberadaan kami dalam memperjuangkan kesetaraan dalam satu peradaban. Majulah diffa. Salam hangat.Slamet Thohari, penyandang disabilitas, mahasiswa S3 Honolulu, Hawaii,

Amerika Serikat

Page 5: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

5EDISI 07-JULI 2011diffa

16 Mimpi Layanan Penerbangan

Ramah

3 Roda Kemanusiaan Mbak Sar

6 Makan Siang Bareng Bu Kembar & Syalsa

14

22

DAFTAR ISI D

7 United Celebral Palsy Menggulirkan Roda

untuk Kemanusiaan

Sistem Jaminan Sosial untuk Siapa?

30 Kolom Kang Sejo

34 Mengajar Komunikasi Anak Tunarungu

38 Tes Psikologi untuk Anak Tunanetra

42 Kisah Monang Bisnis Rumah

Boneka Barbie

46 Motor Modifikasi untuk Tunadaksa

50 Makanan Anak Autis Penunjang Terapi

52 Puisi, Cermor, CerpenPerintis Kampus Inklusif di Yogyakarta

Misi UCP menyediakan mobilitas, pendidikan, pekerjaan, pemberdayaan dan advokasi bagi penyandang disabilitas.

20 Risnawati Utami

Dan baca tulisan menarik lainnya...

Berdiri Tegak di Atas Kursi Roda

27 Pesona Pantai Seribu Reco

Tulungagung memiliki berbagai warna kehidupan yang khas dan lokasi wisata yang unik dan mempesona.

LUDWIG VAN BEETHOVENBerkarya hingga Ajal

54 Biografi

Page 6: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 6 diffa

CERITA SAMPULC

Membangun Kepedulian dari Kedai Kopi

foto

: SA

dria

nnM

ulya

KETIKA dihubungi melalui telepon untuk diminta menjadi model cover diffa bersama seorang anak

tunagrahita, Alex Komang langsung mengecek jadwal untuk mencari waktu kosong. “Tunggu, sepertinya aku tidak jadi ke Australia. Ya, berarti antara Rabu sampai Jumat depan aku bisa alokasikan waktu untuk pemotretan,” ujarnya bersemangat. Aktor teater dan film yang kini sudah tergolong kawakan ini, tak banyak berubah dalam hal kesederhanaan dan keramahan. Ia menyambut hangat permintaan diffa untuk memotretnya tanpa berbelit-belit, apalagi mempersulit. Tak ada birokrasi manajerial yang biasanya lekat dengan sosok selebritas.

Sesaat setelah mendapat kepastian waktu dari Alex Komang, Jona Damanik, General Manager diffa, pun sibuk menghubungi orang tua Shoulah Shorimah atau biasa disapa Ola, anak tunagrahita berusia 11 tahun dengan kemampuan berpikir usia 8 bulan yang akan difoto bersama Alex. Kepada Alex dijelaskan secara terperinci kondisi Ola dan bagaimana biasanya proses pemotretan berlangsung. “Oke, berarti yang penting aku harus bisa mengondisikan suasana agar Ola merasa nyaman dengan kehadiranku. Begitu?” Ya, begitulah teori sederhananya. Soal tingkat kesulitannya bisa sangat berbeda-beda pada setiap pemotretan, tergantung situasi dan kekhususan

anak yang menjadi model cover. Namun, yang penting adalah adanya kepedulian yang tulus kepada anak penyandang disabilitas. Dan, Alex Komang memilikinya.

Terbukti, pada hari pemotretan, Alex sudah membuktikan kesungguhan dan keseriusannya sejak dalam perjalanan. Sedikitnya tiga kali dia menelepon diffa untuk menjelaskan posisinya. “Aku terjebak macet. Mungkin akan terlambat 30 menit. Maaf sekali ya,” katanya saat pertama menelepon. Tak sampai 15 menit kemudian, kembali ia menelepon. “Aduh, udah datang Ola dan orang tuanya? Aku baru lolos dari macet. Sampaikan maafku kepada mereka ya,” pintanya. Di lokasi pemotretan, Agus dan Wuri, orang tua Ola memaklumi dan memaafkan Alex dengan tulus, karena toh tak seorang pun bisa melawan kemacetan di Jakarta, kecuali para penguasa tinggi negeri ini tentunya. “Aku udah

dekat. Tadi sejak dari kedai kopiku jalanan sudah macet. Ini sudah masuk ke Jalan Melati,” ujarnya saat menelepon untuk ketiga kali.

Pemotretan berjalan lancar dan menyenangkan. Alex dalam waktu singkat berhasil mengondisikan suasana yang bisa membuat Ola merasa nyaman bersamanya. Fotografer diffa, Adrian dan Sigit, pun berkomentar, “Luar biasa Mas Alex, cepat sekali dia berhasil membangun suasana.” Alex hanya tersenyum kecil. “Aku akan bantu menyebarkan dan membangun kepeduliaan lewat kedai kopiku. Taruh aja diffa di kedaiku. Nanti orang-orang pasti akan membacanya, mendiskusikannya, dan semoga akhirnya akan bertambah banyak orang peduli terhadap penyandang disabilitas,” tegasnya. Amin. (frg)

Page 7: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

7EDISI 07-JULI 2011diffa

Pendidikan Tunarungu dengan Bahasa Ibu

7diffa

foto-foto: Nestor Rico Tambunan

EDISI 06-JUNI 2011

SANTI RAMA

RETINA

Page 8: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 8 diffa8 EDISI 06-JUNI 2011 diffa

Page 9: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

9EDISI 07-JULI 2011diffa

RETINA

EDISI 06-JUNI 2011diffa

foto

-fot

o: F

X Ru

di G

unaw

an

SANTI Rama dinilai sebagai lembaga terbaik sekaligus terdepan dalam penanganan dan rehabilitasi penyandang tunarungu di Indonesia. Juga pionir dalam pelayanan deteksi dan intervensi dini disabilitas tunarungu.

Pagi itu kompleks Santi Rama di Jalan RS Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan, terkesan sepi. Dari salah satu ruangan terdengar suara musik. Sekelompok remaja putri sedang latihan menyanyi sambil menari di atas sebuah panggung. Mereka siswa SDLB Santi Rama yang sedang latihan untuk acara perpisahan.

Eskpresi anak-anak itu tampak hidup, meski suara mereka terdengar susah-payah dan aneh. Harap maklum, karena sesungguhnya anak-anak itu tunarungu. Selain susah berbicara, mereka tidak mendengar suara musik itu. Anak-anak remaja itu berada dalam dunia yang sunyi. Mereka berusaha menirukan lagu dengan menangkap irama getaran musik di lantai panggung. Betapa.

Di aula lain, tak jauh dari tempat itu, berlangsung acara pengumuman lulusan SMPLB Santi Rama. Sepuluh siswa SMP yang mengikuti ujian nasional duduk mengitari aula bersama guru-guru dan para orang tua. Siti Rahayu, Kepala Sekolah SMPLB/SMALB, memanggil siswa satu per satu ke depan. Dia bertanya bagaimana belajarnya sebelum ujian nasional, bagaimana menjawab soal ujian, keinginan lulus, niat melanjutkan ke mana, dan sebagainya.

Kadang dialog itu melibatkan orang tua. Putri, misalnya, ditanya, apakah di rumah suka nakal. Putri menjawab, “Tidak. Saya tidak nakal.” Tapi ketika ditanya ke ibunya, “Dia suka ngeyel,” kata sang ibu sambil tersenyum. Putri disoraki teman-temannya. Lalu, Putri bergegas memeluk sang ibu sambil meminta maaf. Ketika akhirnya Putri dinyatakan lulus, lewat tulisan di layar proyektor, Putri bersujud sambil menangis.

Mengenal Bahasa dan IramaKedua kejadian di atas gambaran dan bagian dari metode pendidikan

yang diterapkan di Santi Rama, lembaga yang dikenal sebagai trend setter dalam pendidikan anak penyandang tunarungu di Jakarta ataupun Indonesia.

Belajar menari dan menyanyi adalah salah cara untuk mengedukasi anak penyandang tunarungu. Menurut Lani Bunawan, psikolog yang sudah 40 tahun berkecimpung dalam pengembangan pendidikan di Santi Rama, lewat latihan yang diberi nama “bina persepsi bunyi dan irama” ini, anak-anak penyandang tunarungu belajar mengidentifikasi suara, membedakan suara gong atau organ, misalnya.

Psikolog lulusan Universitas Indonesia ini menjelaskan, karena tidak bisa mendengar, dunia anak-anak penyandang tunarungu seperti dipersempit. Mereka tidak mendengar suara latar sekeliling. “Suara latar itu penting

Page 10: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 10 diffa

RETINA

sekali. Karena kita mengenal ragam irama, kita tahu berada di mana, atau berada dalam situasi yang seperti apa. Dengan latihan ini, meskipun tidak mendengar, bisa mendengar irama. Persepsi bunyi tidak hanya suara, tapi juga irama. Sampai dia bisa dengar irama, bisa mengidentifikasi bel pintu, mengenali suara telepon, mendeteksi ucapan orang, dan sebagainya,” ujarnya.

Tanya-jawab dialog selama setengah jam dalam pengumuman hasil ujian nsional tersebut adalah bagian dari cara guru-guru Santi Rama mengajar siswanya berbahasa. “Ya, begitulah. Sampai detik-detik terakhir kami memanfaatkan semua kesempatan dan cara untuk mengajar mereka berbahasa dan berkomunikasi. Untuk memberi mereka pemahaman,” ujar Siti Rahayu.

Meniru Bahasa IbuBanyak berbicara, seperti

yang dilakukan dan dijelaskan Siti Rahayu, menurut Maria C. Susila Yuati, Koordinator Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Santi Rama, merupakan inti dari Metode Maternal Reflektif (MMR) yang menjadi filosofi utama pelayanan pendididikan di Santi Rama.

MMR adalah metode pendidikan yang meniru cara ibu mendidik anak berbicara. “Anak lahir tidak punya bahasa, tapi umur 2 tahun hingga 3 tahun penguasaan bahasanya sudah komplet, karena mendengar, mendengar, dan mendengar, lalu meniru, meniru, dan meniru dari ibunya,” kata Maria.

Menurut pendidik yang sudah 37 tahun mengabdi dalam pengembangan pendidikan di Santi Rama ini, karena tidak pernah

mendengar, anak tunarungu menjadi tunabahasa. Karena itu, guru-guru di Santi Rama harus kreatif berbahasa. Terus berbicara dan berbicara, dibantu dengan gambar, dengan tulisan, dengan isyarat, dengan ekspresi wajah. “Dari hari ke hari kian nambah, nambah, sehingga kosakata mereka kaya. Sudah bisa ditanya dan bertanya dengan bahasa lisan. Komunikasi sudah berjalan. Mereka bisa bicara, bisa baca buku, baca majalah, bisa mengikuti lomba, bisa kuliah sampai perguruan tinggi. Kuncinya di situ,” ujar Maria bangga.

Metode itu terus dikembangkan Santi Rama, sehingga dinilai sebagai yang terbaik dan menjadi menjadi percontohan dalam rehabilitasi dan pelayanan pendidikan bagi anak penyandang tunarungu.

Irama Kearifan

Santi Rama berdiri tahun 1970. Ketika itu pelayanan pendidikan tunarungu di Indonesia dinilai ketinggalan 20 tahun dibanding negara maju. Karena itu, Ketua Badan Pembina dan Koordinasi Kegiatan Sosial (BPKKS) JS Nasution (Bu Nas), beserta pengurus lain dan beberapa tokoh, antara lain dr. Hendarto Hendarmin, dokter THT yang baru pulang dari luar negeri, Ibu De Vreede Varekamp, ahli psiko-linguistik yang sedang berada di Indonesia untuk program pembinaan para pendidik di SLB-C, berusaha membentuk sebuah badan untuk menangani proyek pelayanan intervensi dini dan rehabilitasi anak tunarungu.

Bersamaan dengan itu, sedang berlangsung pula rencana penyatuan dua SLB tunarungu di Bandengan Utara dan Dukuh Atas. Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu, kemudian menyerahkan

sebuah bangunan di Cipete. Maka, berdirilah Santi Rama. Santi berarti kearifan dan Rama berarti irama. Santi Rama berarti penuh kearifan membina tunarungu agar berada dalam dan memiliki irama.

Bu Lani bergabung atas ajakan Bu De Vreede. “Saya ngetes anak, bisa masuk kelas berapa, apa punya hambatan atau handicap lain, dan sebagainya. Saya juga ngetes guru. Saya kemudian menjadi counter part, mendampingi Bu De Vreede ke mana-mana, memberi pelatihan, macam-macam. Dan keterusan sampai sekarang,” ujar Bu Lani sambil tertawa.

Menurut Bu Lani, Taman Latihan yang didirikan Santi Rama menjadi pionir dalam upaya intervensi dini penyandang tunanetra di Indonesia dan menjadi cikal-bakal TKLB Santi Rama. Sedangkan SDLB Santi Rama menjadi cikal-bakal layanan pendidikan Santi Rama yang dikenal sekarang.

Tahun 1976 Badan Pembina Santi Rama berubah menjadi Yayasan Santi Rama. Sejak itu mutu manajemen layanan pendidikan, tenaga pendidik, serta SDM lain terus disempurnakan dan dikembangkan agar visi dan misi terwujudnya pemberdayaan tunarungu sehingga berkembang menjadi manusia seutuhnya, mandiri, berguna bagi diri sendiri dan masyarakat, dapat tercapai optimal.

Tahun 1989 didirikan pendidikan tingkat SMPLB untuk menampung lulusan SDLB. Tahun 1998 didirikan SMALB. Lengkap sudah layanan pendidikan Santi Rama, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (Taman Latihan dan TKLB), SDLB, hingga SMPLB/SMALB.

Page 11: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

11EDISI 07-JULI 2011diffa

Page 12: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 12 diffa

RETINA

Siswa SDLB Santi Rama terakhir 170 orang, 55 orang di antaranya baru lulus ujian nasional. Siswa SMPLB 38 orang, 10 orang di antaranya baru lulus. Siswa SMALB 50 orang, 21 orang di antaranya baru lulus.

Menurut Siti Rahayu, pendidikan di SMPLB/SMALB Santi Rama lebih dominan porsi keterampilan layaknya sekolah menengah kejuruan. Siswa diberi keterampilan menjahit, tata boga, cetak sablon, otomotif, dan menghias kain. Pelajaran lain, matematika misalnya, disesuaikan dengan keterampilan itu. “Menjahit menjadi primadona kami. Banyak yang usaha sendiri, banyak yang di garmen-garmen,” kata Siti Rahayu.

Sedini Mungkin Menurut Lani Bunawan,

kunci sukses layanan pendidikan yang dilaksanakan Santi Rama, rehabilitasi penyandang tunarungu pada umumnya, adalah intervensi sedini mungkin. “Perlu segera diintervensi sedini mungkin. Harus segera diintervensi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Itu dasar dari semua. Nggak bisa, ilmu lain tidak akan masuk. Sikap, emosi, sosial akan terganggu. Orang tua juga harus tahu,” ujar psikolog usia 71 tahun ini.

Hal itu dibenarkan Maria. Pendidik yang pernah dikirim untuk menimba ilmu Metode Maternal Reflektif di Belanda ini mengatakan, jika ingin tahu bagaimana anak tunarungu bisa berbicara ada di Taman Latihan dan SDLB Santi Rama di Kramat VII Nomor 13, Jakarta Pusat. “Di sana mereka diajak dan dilatih berbahasa. Dalam beberapa tahun, usia tujuh tahun, anak mampu bahasa komunikasi. Di sanalah kemampuan bahasa dan

bicara dibangun. Pendidikan di Cipete tinggal menggunakan dan mengembangkan,” ujar Maria.

Gambaran cerita Maria terlihat ketika diffa mengunjungi Kramat VII. Sekelompok anak sedang berlatih bermain angklung di salah satu ruangan di lantai 2. Mereka memainkan lagu dengan dengan aba-aba tulisan yang ditunjukkan guru. Ini bagian dari latihan bina persepsi bunyi dan irama.

Di salah satu ruang kelas di lantai 1 tampak dua guru sedang menghadapi empat anak. Mereka sedang belajar menggambar dengan pensil warna. “Memang begitu, satu guru, satu ahli bahasa,” kata Taufik Hidayati, Kepala Sekolah TKLB Santi Rama. Ketika diffa mengeluarkan kamera, seorang siswa perempuan bertanya, “Siapa?” Salah seorang guru menuliskan “wartawan” di papan tulis. Dan mereka mengeja.

Unit Pendidikan Anak Usia Dini Santi Rama terdiri atas Taman Latihan dan TKLB. Taman Latihan, yang merupakan embrio lahirnya Santi Rama, memberikan layanan individual Program Intervensi Dini Anak dan Orangtua (Prodini) untuk anak usia 0 - 6 tahun. Pelayanan ini kini dianggap sebagai pionir dan unggulan di bidang ini.

Sedangkan TKLB memberikan dua jenis layanan, yaitu pendidikan untuk anak usia 3 - 7 tahun yang sudah selesai Taman Latihan, untuk persiapan masuk SDLB. Satu lagi, pelayanan khusus untuk persiapan masuk SDLB, tapi yang tidak melalui Taman Latihan. Menurut Bu Taufik, layanan pendidikan PAUD Santi Rama ini kini melayani 70-an anak.

Karena Mereka AdaPendidikan untuk anak

tunarungu di Indonesia dimulai

tahun 1933, ketika seorang ibu asal Belanda, Nyonya Roelfsema mendirikan lembaga pendidikan untuk anak tunarungu di Cicendo, Bandung. Langkah ini disusul Yayasan Dina Upara di Wonosobo, Jawa Tengah, pada tahun 1938, yang dinilai sebagai pendidikan terbaik saat itu, karena guru-gurunya dari Belanda.

Pendidikan dan rehabilitasi anak penyandang disabilitas tunarungu memang bukan hal mudah. Seperti kata tokoh tunanetrarungu Hellen Keller, ketunarunguan merupakan musibah yang lebih buruk dari ketunanetraan, karena kehilangan rangsangan yang paling vital, yaitu suara manusia yang membawa bahasa, yang dapat menggugah dan menempatkan seseorang dalam jajaran manusia intelektual.

Karena itu, segala kiprah selama 40 tahun jadi teramat penting dan berguna. Santi Rama tumbuh menjadi yayasan besar, dengan 400 guru dan 130 karyawan. Di antaranya ada yang mengabdi tak putus, seperti psikolog Lani Bunawan dan Prof. dr. Hendarto Hendarmin. Atau seperti Maria Susila Yuati, yang berkecimpung dalam pengembangan pendidikan Santi Rama selama 37 tahun.

Dan yang lebih penting dari itu adalah kualitas pelayanan yang mereka berikan. Banyak didikan Santi Rama berhasil hidup mandiri dan menyelesaikan gelar sarjana. Manusia dapat menyandang disabilitas karena berbagai hal yang tak dapat dihindari, di antaranya menjadi tunarungu. Namun, kita bangga, karena ada yang bersungguh-sungguh menolong mereka, dengan cara dan metode yang berkualitas, seperti Santi Rama. * Nestor

Page 13: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

13EDISI 07-JULI 2011diffa

EMPATIE

Maria C. Susila Yuwati

HAMPIR 50 tahun sudah Maria Cecilia Susila Yuwati mengabdikan diri dalam pendidikan

anak tunarungu dan 34 tahun di antaranya di Santi Rama. Apa yang membuat ia begitu mencintai “dunia sunyi” ini? Seperti apa sebenarnya gambaran persoalan anak-anak penyandang tunarungu? Berikut petikan dua kali perbincangan dengan Bu Maria, begitu ia biasa dipanggil, di kantor Yayasan Santi Rama, Jalan RS Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan.

Seperti apa sebenarnya peliknya disabilitas tuna­rungu itu?

Aduh, begitu pelik. Kalau tunanetra sudah jelas, tidak melihat. Kalau tunadaksa jelas sekali, pakai kursi roda, pakai kruk. Kalau tak ada pendengaran, segalanya terhambat. Mereka tidak dimengerti orang dan tidak mengerti orang. Karena tidak pernah mendengar, dia tidak pernah tahu bahwa orang itu bicara. Bahwa semua barang itu ada nama. Bahwa dirinya itu punya nama. Bagian-bagian tubuhnya itu ada namanya. Bahwa kalau orang mulutnya bergerak-gerak itu mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam otak dan hatinya.

Pengabdian Panjang di Dunia Sunyi

Page 14: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 14 diffa

Jadi, bantuan pertama agar mereka mengerti dan di­mengerti?

Ya. Tunarungu kalau tidak diberi bahasa, juga tunabahasa. Nomor satu, kita harus memberikan terapi keterbatasan tidak mendengar dan tak mampu komunikasi itu.

Caranya?Anak tunarungu harus diterapi

sedini mungkin. Itu yang kami lakukan di Taman Latihan dan TKLB di Kramat VII. Karena tidak mendengar, maka dimanfaatkan kemampuan lain, yaitu ekspresi,dan alat-alat bantu. Caranya, wajah kita bicara, mulut kita ngomong. Bentuk tulisan diperkenalkan secepat mungkin. Bukan untuk bisa menulis, melainkan sebagai ganti bahasa. Karena tidak mendengar, digambarkan mainan itu, lalu dituliskan namanya. Ini bola, ini baju, dan seterusnya. Dari hari ke hari nambah, sehingga kosakata mereka dalam tiga tahun sudah bisa ditanya dengan kata tanya apa, siapa, di mana, dan seterusnya. Kalau sudah bisa ditanya dan bisa bertanya, berarti komunikasi sudah jalan. Kuncinya di situ.

Ilmu ini dari mana?Ada ahli dari negeri Belanda

yang menciptakan Metode Pengajaran dengan Bahasa Ibu. Bagaimana anak-anak tunarungu belajar seperti layaknya bayi, yang lahir tidak punya bahasa, tapi pada usia 2 - 3 tahun penguasaan bahasanya sudah komplet, hanya karena mendengar, mendengar, dan mendengar, lalu meniru, meniru, dan meniru ibunya berbicara. Tahun 1982 saya dikirim Santi Rama dan pemerintah untuk mengikuti short course mengenai metode pengajaran itu, di pusatnya di Belanda.

Pesertanya dari 24 negara di seluruh dunia. Setiap negara hanya diwakili satu orang. Dari Indonesia saya. Kami menyaksikan dan belajar bagaimana metode itu dilakukan di sana.

Metode itu kemudian diter­apkan di Santi Rama?

Tidak langsung diterapkan. Sebelum diimplementasikan, kursus dulu, bikin pelatihan. Ada lokakarya, seminar, terus menyusun program. Diolah, bagaimana bisa dikembangkan di sini, berdua dengan Bu Lani. Saya dari ilmu pendidikannya, Bu Lani dari segi manusianya. Itu juga sempat ditolak. “Capek, Bu, metode ini susah.” Bahkan ada juga yang berontak, tidak terima, lalu keluar. Tiap hari ada masalah. Setiap hari mendengar keluhan guru. Ini susah, itu tidak bisa. Kami terobos dengan cara apa saja. Saya masuk kelas-kelas, memberikan model mengajar. Itu terus-menerus, hingga 2 - 3 tahun. Akhirnya kami atasi dengan cara melakukan simulasi mengajar. Satu guru mengajar, dilihat banyak orang, kemudian didiskusikan. Ini sudah pernah diberikan. Dia tidak berhasil karena apa? Ayo, coba dibantu, didiskusikan.

Nomor satu memang pembinaan guru. Pembinaan guru nggak ada habisnya. Sampai sekarang itu masih saya kerjakan. Bimbingan guru untuk menerapkan metode mengajar yang kami sebut Metode Maternal Reflektif. Metode ini bukan hanya bagaimana kita bisa bercakap dengan anak, tapi bagaimana anak bisa membaca. Bagaimana anak bisa membaca buku-buku paket, membaca majalah, dan yang lain.

Dan sekarang berhasil?Ya, sekarang kami sudah

Ahli dari Belan­da menciptakan

Metode Pengajar­an dengan Bahasa Ibu. Mengajarkan anak­anak tuna­

rungu belajar sep­erti bayi, yang lahir tidak punya bahasa tapi pada usia 2 ­ 3 tahun penguasaan bahasanya sudah

komplet, hanya karena mendengar,

mendengar, dan mendengar, lalu meniru, meniru,

dan meniru ibunya berbicara.

Page 15: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

15EDISI 07-JULI 2011diffa

memetik hasilnya. Semua sudah tahu dan mengerti, nggak bisa kalau tidak menggunakan metode ini. Karena sudah tahu hasilnya. Lalu, sekarang menjadi percontohan bagi berbagai sekolah. Yang ingin anaknya maju, silakan lihat di Santi Rama. Anak bisa bicara, bagaimana caranya? Bagaimana bisa memenangi lomba, bisa sampai ke perguruan tinggi, dan sebagainya.

Maria Cecilia Susila Yuwati lahir di Solo, 22 Juni 1944. Ibunya seorang guru SD. Dua saudara perempuannya (dari 8 bersaudara) juga menjadi pendidik. Sejak masih belajar di sekolah guru atas (SGA), Maria sudah tertarik menjadi guru tunarungu karena mendengar ada sekolah khusus untuk “bisu tuli” di Wonosobo. Begitu lulus SGA, tahun 1962, Maria melamar ke sekolah khusus tersebut dan diterima. Selama empat tahun ia dididik sambil praktik. Tahun 1967 ia mulai resmi menjadi guru, dan tahun 1969 diangkat menjadi pegawai negeri. Sepuluh tahun mengajar, ia diangkat menjadi kepala sekolah. Baru setahun menjadi kepala sekolah, tahun 1977 Maria dikirim ke Santi Rama sebagai tenaga bantuan pendidikan. Sejak itu ia tiada henti berkutat di bidang pembinaan pendidikan, berdua dengan psikolog Lani Bunawan. Tujuh tahun lalu ia pensiun sebagai pegawai negeri, namun tetap berkiprah di Santi Rama. Terakhir, ia menjabat Kepala Bidang Pendidikan.

Mengapa metode di Santi Rama tidak ditiru sekolah lain?

Kebanyakan orang tidak sadar metode itulah yang paling cocok dan efektif untuk anak tunarungu. Kebanyakan mengikuti metode yang dipakai untuk anak-anak yang

mendengar. Mayoritas sekolah luar biasa di Indonesia menggunakan metode seperti sekolah umum. Sampai kapan pun anak tidak bisa komunikasi, karena anak tidak tahu cara berkomunikasi. Itu yang terjadi di seluruh Indonesia. Anak tunarungu umur enam tahun masuk sekolah SD umum, ikut pelajaran seperti anak SD pada umumnya. Cuma disuruh nyontek apa yang ada di papan tulis. Naik kelas, setelah kelas VI ikut ujian nasional, lulus. Untuk apa itu?

Pemerintah tidak menjadi­kan metode dan sukses Santi Rama sebagai model pendi­dikan anak tunarungu untuk nasional?

Sudah. Ilmu ini sebenarnya sudah diadopsi pemerintah untuk disebarkan ke seluruh Indonesia. Saya dan beberapa teman dari sini, seperti Siti Rahayu, sudah jadi penatar tingkat nasional. Kami berkeliling ke seluruh Indonesia untuk menyebarkan ilmu ini. Ke mana saja kami sudah dikirim pemerintah, tidak ada habisnya. Karena pemerintah sudah mengakui keunggulan metode ini. Tapi, kalau kami sudah selesai menatar, peserta kembali ke tempat masing-masing, kembali dengan caranya yang lama, kembali seperti semula. Bodoh amat! Lalu mubazirlah usaha pemerintah yang menghabiskan dana, mungkin miliaran rupiah itu.

Selama 49 tahun mengabdi untuk anak­anak tunarungu, apa yang paling membaha­giakan?

Kebahagiaan saya kalau bisa membuat tunarunggu bisa berbahasa dan berkomunikasi, layaknya orang yang mendengar. Di sini, anak kecil kita tanya, “eh, tadi kamu naik apa?” Dijawab, “naik

bus”. “Berapa kali naik busnya?” “Dua kali.” Aduh, rasanya senangnya luar biasa. Dari sekian lama, sudah begitu banyak yang bisa bicara, bisa bekerja, bisa sampai sarjana, diterima di masyarakat, rasanya bahagia banget.

Pengabdian ini sampai ka­pan?

Oh… sampai saya tidak bisa lagi. Seperti kata Bu Nas, berkecimpung di dunia sosial itu tidak ada pensiunnya. Bu Nas, sampai usia 87 tahun, masih aktif di sini. Saya akan jalani sampai saya tidak bisa lagi. * Nestor

Metode pengajaran ini diakui dan di­adopsi pemerintah untuk disebarkan ke seluruh Indone­sia. Saya dan beberapa teman memberikan penataran berkeli­ling Indonesia me­nyebarkan ilmu ini. Tapi, selesai mengi­kuti penataran, peserta kembali ke metode lama, kem­bali seperti semula.

Page 16: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

TAPAKT

EDISI 06-JUNI 2011 16 diffa

Menanti Kereta Api Berbenah

KERETA api adalah salah satu jenis sarana transportasi

umum yang paling diminati masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Selain karena harga tiketnya relatif terjangkau, kereta api merupakan jenis transportasi tercepat di darat. Daya angkut penumpangnya pun banyak.

Sayangnya fasilitas transportasi kereta api di Indonesia, seperti umumnya alat transportasi lain, belum ramah dan akses terhadap para penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas yang membutuhkan fasilitas lebih khusus dibandingkan masyarakat umum, sering kali kesulitan menggunakan jasa kereta api karena tidak adanya fasilitas,

Page 17: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

17EDISI 07-JULI 2011diffa

bantuan, atau informasi yang menunjang keterbatasan mereka.

Perjalanan Tanpa Informasi

Irwan Dwi Koestanto, redaktur diffa yang juga Wakil Direktur Eksekutif Mitra Netra, dalam empat tahun terakhir sering bepergian dengan kereta api dari Jakarta ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam rangka tugas ataupun keperluan keluarga. Penyandang tunanetra yang akrab dipanggil Mas Irwan ini biasanya berangkat dari Stasiun Gambir, naik kereta eksekutif Gayabaru, Dwipangga, Argo Lawu, atau Mutiara.

Menurut Irwan, berdasarkan pengalaman

selama ini, salah satu kekurangan kereta api yang paling ia rasakan sebagai tunanetra adalah tidak ada informasi mengenai perjalanan. “Tidak ada informasi, misalnya kereta sudah sampai mana atau sedang berhenti di stasiun mana. Kita jadinya nebak-nebak atau tanya kiri-kanan. Nggak mandiri jadinya.”

Sepanjang pengalaman Irwan selama empat tahu, hanya sekali memperoleh informasi perjalanan yang baik, ketika menuju Yogyakarta naik kereta Dwipangga jurusan Jakarta - Solo. “Masinisnya selalu menginformasikan perjalanan, bahkan memberi tahu namanya. Sesudah itu nggak pernah

lagi,” ujar Irwan sambil tertawa.

Menurut Irwan, selain tunanetra seperti dirinya, banyak penumpang lanjut usia yang tidak awas dan tidak bisa membaca. Begitu pula yang kurang pendengaran dan tunarunggu. Mestinya informasi perjalanan kereta api disampaikan dalam bentuk audio dan visual, misalnya dalam bentuk tulisan. “Bentuknya misalnya cuma lampu yang tinggal dinyalakan. Kan ada alatnya, ada co-masinis,” ujar ayah tiga anak ini.

Kesulitan karena minimnya fasilitas dan bantuan itu juga dialami penyandang tunadaksa atau pengguna kursi roda. Sepengetahuan Irwan,

hanya di Stasiun Gambir Jakarta dan Stasiun Tugu Yogyakarta pengguna kursi roda bisa akses dari peron ke dalam kereta. “Setahu saya, gerbong kereta itu dirancang akses untuk kursi roda. Dulu kursi paling depan di kelas eksekutif dikosongkan untuk ditempati pengguna kursi roda. Nggak tahu sekarang ruangan itu kayaknya diisi bangku,” ujar aktivis tunanetra yang juga dikenal sebagai penyair ini.

Mengakui Kekura­ngan

Kepala Humas PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional (DAOP) II Jawa Barat, Bambang S. Prayitno, mengakui memang

Page 18: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 18 diffa18

belum ada fasilitas khusus yang disediakan perusahaan transportasi milik negara ini untuk melayani keseluruhan penyandang disabilitas. Fasilitas jalur khusus dan peninggian peron untuk memudahkan penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda, bahkan baru tersedia di Stasiun Bandung.

Bambang mengakui belum tersedianya fasilitas yang cukup mengakibatkan sebagian besar penyandang disabilitas kesulitan atau enggan bepergian sendiri menggunakan sarana transportasi kereta api. “Penyandang disabilitas di Indonesia bukan pengguna kursi roda saja. Masih banyak penyandang disabilitas

lain yang membutuhkan fasilitas khusus untuk kenyamanan mereka. Dan kami mengakui belum memiliki fasilitas yang dapat menunjang kekurangan seluruh penyandang disabilitas,” kata Bambang dalam percakapan dengan Bambang P. dari diffa.

Meski demikian, Bambang mengatakan PT KAI berkomitmen penuh untuk membantu penyandang disabilitas pengguna kereta api. “Untuk penyandang seperti tunanetra dan tunarungu bisa dibantu petugas kami yang ada di lapangan, misalnya satpam, petugas portir, ataupun pegawai-pegawai yang memakai seragam. Sudah menjadi kewajiban kami untuk melayani. Asalkan mereka melapor dulu sebelum memasuki peron.”

Begitu pula jika sudah berada di dalam kereta bisa mendatangi kondektur dan petugas dalam kereta untuk membantu, seperti menanyakan di stasiun mana saja kereta akan berhenti atau berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tujuan.

Ketersediaan fasilitas umum, menurut Bambang, selalu berawal dari kebutuhan masyarakat. PT KAI akan sangat terbuka dan senang menerima masukan dari

masyarakat, khususnya pengguna jasa kereta, termasuk dari penyandang disabilitas. Bambang mengimbau para penyandang disabilitas memberikan masukan mengenai fasilitas yang mereka butuhkan.

“Susah juga kalau tidak mendapat masukan. Karena kita tidak tahu fasilitas apa yang harus ditambahkan. Yang kami tahu sebatas kursi roda. Sedangkan penyandang disabilitas bukan hanya itu,” ujar Bambang. Menurut dia, ada baiknya jika himpunan atau komunitas penyandang disabilitas mengajukan usulan kepada PT KAI mengenai fasilitas yang dibutuhkan.

Perbandingan di LuarJawaban Bambang

menunjukkan kekurangpahaman terhadap filosofi hak dan kewajiban dalam pelayanan umum. Fasilitas dalam transportasi umum, termasuk angkutan kereta api, mestinya dipandang sebagai kewajiban perusahaan dan hak penumpang. Perusahaan angkutan seperti PT KAI perlu menyediakan akses terhadap semua penumpang, termasuk yang menyandang disabilitas, karena memang itu hak penumpang, sebagaimana filosofi pelayanan transportasi yang berlaku

di negara-negara lain. Contohnya di negara

tetangga Singapura. Di “Negara Pulau” ini pembangunan sarana dan prasarana semua transportasi kota, termasuk kereta api (MRT), dan fasilitas penunjangnya dibangun bersahabat bagi penyandang disabilitas. Semua stasiun kereta, mulai dari jalanan umum hingga masuk ke dalam kereta harus dapat mengakomodasi pemakai kursi roda dan penyandang disabilitas yang lain. Dari jalan hingga depan pintu kereta dipasang tactile tiles untuk memandu tunanetra masuk stasiun atau kereta secara mandiri.

Peron dan pintu kereta dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengguna kursi roda dapat masuk dan keluar dari kereta secara mandiri dengan bantuan seminim mungkin. Pada peron stasiun antara ruang tunggu dan kereta dipasang tactile tiles dan ubin berwarna kuning sebagai pertanda bahaya, untuk mencegah tunanetra terjatuh ke rel kereta.

Dalam gerbong kereta api disediakan tempat-tempat duduk khusus bagi penyandang disabilitas. Dalam gerbong juga ada areal yang sengaja tidak

Peron kereta Singapura. Dirancang akses untuk

tunanetra dan pengguna kursi roda (Foto: Norwin Hayadi)

Page 19: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

19EDISI 07-JULI 2011diffa

tidak dipasang kursi untuk tempat parkir khusus pengguna kursi roda (lihat: diffa No. 1, Januari 2011).

Bukan karena Dim­inta

Dibandingkan dengan Singapura, negara-negara Eropa, serta beberapa negara lain di Asia, sepeti Jepang, Korea, atau Thailand, Indonesia memang jauh tertinggal dalam penyediaan fasilitas dan akses terhadap penyandang disabilitas.

Imbauan Bambang agar penyandang disabilitas pengguna jasa transportasi kereta api memberikan masukan mengenai fasilitas yang dibutuhkan serta saran agar menghubungi

petugas stasiun atau dalam kereta untuk minta tolong, menunjukkan ketidakpahaman dan ketidaksadaran atas kewajiban perusahaan dan hak penumpang.

Setiap orang membeli tiket dengan harga sama. Jadi, setiap orang mestinya berhak mendapatkan keamanan dan kenyamanan yang sama sampai tujuan, seperti apa pun keadaan fisik mereka, penyandang disabilitas atau bukan. Karena pemberian fasilitas dan akses kepada penyandang disabilitas bukanlah amal (charity) atau belas kasihan, melainkan hak (right based). PT KAI berkewajiban melayani semua penumpang dengan segala perbedaannya.

Namun, kita harus jujur, memang masih amat banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan bangsa kita. Pemerintah Indonesia masih harus bekerja keras dan serius untuk menyediakan fasilitas transportasi yang nyaman bersahabat, termasuk bagi penyandang disabilitas. Dalam hal transportasi kereta api, ini menjadi tugas PT KAI, karena milik negara, milik rakyat, dengan tugas pelayanan sosial. Melayani rakyat. Kita menanti PT KAI berbenah. * Bambang Prasethyo

Tempat parkir kursi roda dalam kereta di Singapura (Foto: Norwin Hayadi)

Page 20: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 20 diffa

SOSOKS

Aktifitas Disabilitas Tanpa BatasCucu Saidah

Nama Cucu Saidah mulai dikenal banyak kalan-gan ketika merintis dan memimpin Bandung In-dependent Living Center

(BILiC), aktivitas penguatan dan dorongan hidup mandiri bagi penyandang disabilitas di kawasan Bandung.

Berbagai kesempatan belajar di luar negeri mengantar Cucu berkiprah di berbagai arena dunia disabilitas. Selain di BILiC, penyandang tunadaksa ini pernah bekerja untuk Bank Dunia, Hellen Keller International, dan terakhir Handicap International. Pengabdi sosial disabilitas tanpa batas.

Perjuangan Sejak LahirCucu Saidah lahir di Garut, Jawa

Barat, 14 Januari 1975, sebagai anak bungsu dari tujuh anak pasangan

Cucu Saidah pantas disebut sebagai potret aktivis perjuangan disabilitas tanpa batas arena. Ia menimba ilmu dan pengalaman di berbagai negara dan mengabdikan diri

untuk kepentingan penyandang disabilitas di berbagai medan.

Page 21: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

21EDISI 07-JULI 2011diffa

foto

: FX

Rudy

Gun

awan

Aktifitas Disabilitas Tanpa Bataskeluarga pedagang, Didik Winata dan Nana. Sejak bayi Cucu mengalami disabilitas. Dia mengalami kelainan pada kedua kaki, sebelah kanan lebih panjang dibandingkan yang kiri. Dia pun harus bergerak menggunakan tongkat atau kursi roda.

Kondisi itu membuat Cucu tumbuh dalam aneka keterbatasan. Namun, semangat hidupnya besar. Lulus dari sekolah dasar di SLB-D YPAC Bandung, dia memilih masuk sekolah umum, di SMPN 29. Dari sana ia melanjut ke SMA 15, kemudian ke Fakultas Pendidikan Luar Biasa di Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP) Bandung.

Keterbatasan fisik membuat Cucu mau tidak mau menerima aneka diskriminasi. Contohnya, saat pelajaran olah raga, ketika siswa lain bermain di lapangan, ia hanya di kelas menunggu tas teman-temannya. “Dulu sih nrimo-nrimo saja dan tidak mempermasalahkan,” kenangnya. Semakin dewasa, ia menyadari pengalamannya itu salah satu bentuk diskriminasi.

Cucu mengalami perubahan pemikiran yang drastis setelah mengikuti pelatihan leadership dan mendapatkan ilmu independent living di Jepang. Ceritanya, setelah lulus dari UPI, Cucu bekerja sebagai instruktur di YPAC Bandung. Pekerjaan itu membuka peluang untuk pengikuti pendidikan leadership di Jepang. Cucu sempat melamar dua kali, sebelum diterima

pada tahun 2001.Selama satu tahun, bersama

sembilan orang rekan dari Asia Pasifik, Cucu mempelajari ilmu mengenai independent living dan kesetaraan disabilitas. Setelah kembali ke Bandung, dia bertekad mengaplikasikan ilmu yang didapat di Jepang. “Di negara tersebut saya merasakan adanya kesetaraan dan sisi aksesbilitas pun terpenuhi,” ujarnya.

Cucu pun mulai merintis Bandung Independent Living Center (BILiC) bersama beberapa teman aktivis

penyandang disalibilitas, antara lain Faisal Rusdi, penyandang celebral palsy yang berprofesi sebagai pelukis, temannya ketika sekolah di YPAC.

Membangun BILiCBILiC adalah lembaga swadaya

yang bergerak di bidang penguatan kaum

disabilitas dengan filosofi independent

living. Dalam filosofi ini penyandang disabilitas diajak untuk menyadari kondisi dan mengetahui kebutuhannya. Dengan demikian mereka

Page 22: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 22 diffa

menjadi percaya diri dan mandiri sesuai kondisi masing-masing.

Upaya penguatan dengan mengubah cara pandang ini dilakukan dengan peer conselling atau peer support ke rumah-rumah. Konseling ini dilakukan aktivis dan relawan BILiC yang juga penyandang disabilitas. Para supporter sebelumnya mengikuti upaya membangun kemandirian menjadi lebih efektif, karena kesamaan kondisi membuat peer penyandang disabilitas dan keluarga lebih terbuka.

Cucu memilih melakukan perjuangan dari sisi penguatan personal penyandang disabilitas, karena melihat kebijakan tidak akan berguna banyak jika para penyandang disabilitas masih tetap dianggap hanya sebagai orang yang merepotkan atau tidak bisa mandiri.

Konsep independent living pada mulanya menerima

banyak tentangan, karena dinilai memberikan harapan dan kepercayaan diri yang berlebihan kepada penyandang disabilitas. “Banyak dulu yang kontra terhadap konsep ini, tetapi kami tetap jalan. Bahkan kami dengan teman-teman saat merintisnya juga bersifat

relawan, tanpa digaji,” kata Cucu. Usaha yang dirintis Cucu

dan teman-temannya akhirnya membuahkan hasil. BILiC dinilai sebagai motor dan sumber kekuatan bagi ratusan kaum disabilitas yang pernah diadvokasi. BILiC

juga menjadi mitra dan rujukan pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang lain dalam penguatan disabilitas di sekitar Bandung.

Berkiprah di Aneka ArenaGerakan yang dirintis BILiC

ternyata tidak hanya berdampak positif bagi penyandang disabilitas, tapi juga bagi karier Cucu. Berbekal kecerdasan serta kemampuan berorganisasi, langkah Cucu meningkat ke tingkat internasional. Tahun 2004 ia mendapat kesempatan bekerja di Washington. “Saya bekerja sebagai konsultan junior Japan Program untuk IADB,” tuturnya.

Setelah pulang ke Indonesia, pada tahun 2006 Cucu bekerja untuk Bank Dunia sebagai konsultan untuk study bassed line anak berkebutuhan khusus. Tahun 2007 ia mendapat beasiswa selama tiga bulan di Norwegia. Kembali ke tanah air, tahun 2007-

Page 23: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

23EDISI 07-JULI 2011diffa

2009, Cucu pindah kerja di Solo, karena dipercaya Hellen Keller International sebagai manajer program anak-anak untuk Provinsi Jawa Tengah.

Selesai tugas dari Hellen Keller, tahun 2009-2010, Cucu pindah ke Handicap International. Handicap adalah NGO internasional yang berpusat di Prancis dan khusus menangangi para disabilitas. Handicap mulai masuk ke Indonesia sejak tsunami Aceh tahun 2004. Kemudian berlanjut ketika gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006. Selain melakukan rehabilitasi para disabilitas untuk para korban gempa, Handicap juga melakukan pendampingan. Cucu dipercaya sebagai manajer proyek pembuatan kursi roda adaptif.

Kepercayaan dan tugas-tugas dari lembaga-lembaga internasional ini memaksa Cucu Saidah meninggalkan BILiC. Sejak pindah ke Solo, kepemimpinan struktural BILiC diserahkan kepada rekan-rekan senior di Bandung. “Tetapi saya masih support BILiC, meski di luar struktural,” ujarnya.

Cucu Saidah mengaku semua perjuangan dan pengalaman yang diperolehnya membuat ia bahagia. “Apa yang saya dapatkan ini seperti air yang mengalir. Bergelut dengan perjuangan disabilitas membuat saya menemukan dunia yang lain, yang membuat saya bisa enjoy,” katanya.

Sahabat Jadi SuamiCucu Saidah menikah dengan

Faisal Rusdi, rekannya ketika sama-sama berjuang merintis BILiC. Kisah cinta pasangan ini tergolong unik dan penuh liku. Faisal Rusdi, penyandang celebral palsy yang berprofesi sebagai pelukis, mengaku tertarik Cucu Saidah sejak masih sama-sama sekolah di SLB YPAC

Bandung, tapi baru mengungkapkan perasaannya pada tahun 2007.

Cucu mengaku kaget menerima ungkapan cinta Faisal. Lebih kaget lagi karena Faisal ternyata sudah memendam cinta itu hampir 20 tahun. “Akhirnya saya terima cinta Mas Faisal,” kenang Cucu Saidah sambil tersenyum. Setelah berpacaran sekitar 1,6 tahun, mereka menikah pada tahun 2008.

Saat mau menikah, Cucu mengaku mengalami pergulatan batin, mengingat keterbatasan dirinya dan calon suaminya. “Dulu saya sempat bertanya, nanti kalau saya sakit gimana, kalau hamil gimana, siapa yang menolong saya?” ujarnya. Setelah merasa yakin, Cucu pun harus berjuang untuk memberikan pemahaman dan keyakinan kepada keluarganya bahwa pilihannya tidak salah.

Setelah hidup bersama, kekhawatiran itu seolah mendapat jawaban. “Setelah dijalani, ternyata nyaman-nyaman juga,” ujar Cucu. Ketika ditemui diffa di rumah mereka di Desa Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, pasangan ini tampak romantis dan banyak guyon.

Bagi Faisal, Cucu menjadi sosok yang sangat berarti. Cuculah yang saban hari menemani, menyiapkan makanan, bahkan mengantarnya ke kamar mandi. “Kalau saya pergi keluar, makanan sudah saya siapkan. Kemudian saya juga minta bantuan tetangga untuk membantu mengambilkan makanan untuk Mas Faisal,” tutur Cucu.

Bagi Cucu, Faisal adalah suami yang baik, pekerja keras, menghargai perempuan, penyabar, dan bisa membantunya mengelola emosi. “Saya melihat Mas Faisal orangnya lurus,” ujarnya. Lebih dari itu, pasangan ini melihat, bagi

mereka tidak ada pilihan lain dalam menjalani hidup selain selalu ikhlas dan mengikuti ke mana arah aliran air kehidupan.

Menambah IlmuPerjuangan hidup dan berbagai

aktivitas di bidang perjuangan disabilitas menunjukkan sosok Cucu Saidah pribadi yang cerdas dan mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi dan tugas.

Tugas dan tanggung jawab Cucu di Handicap termasuk proyek percontohan, dengan kegiatan workshop pembuatan kursi roda adaptif. Proyek ini merupakan kerja sama Handicap International dengan RC Soeharso, Solo. Di sini Cucu bertindak sebagai manajer proyek, menangani anggaran, program kerja, dan sebagainya. Proyek ini telah berhasil membuat dan mendistribusikan 230 kursi roda adaptif di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Meski kariernya bisa disebut cemerlang, Cucu mengaku berobsesi untuk terus belajar. Cucu masih ingin melanjutkan kuliah lagi. Ia ingin memperdalam ilmu dalam studi pendidikan inklusif. “Pengennya nanti kuliah di Eropa atau Amerika,” ujarnya. Menurut dia, di luar negeri dirinya merasa bebas. “Kalau di Eropa, Amerika, saya bisa bebas jalan ke mana saja dengan kursi roda. Karena memang di sana fasilitasnya ramah untuk kita. Tidak seperti di sini, membuat kita kalau mau ke mana-mana sangat terbatas.”

Namun, semua itu tak lepas dari kesempatan yang ada. Aktivis berbagai medan perjuangan disabilitas yang cerdas ini menyatakan tetap berpegang pada prinsip selalu ikhlas mengikuti ke mana arah aliran air kehidupan. * Fajar Sodiq

Page 24: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 24 diffa

JEJAKJ

Menatap Kemiskinan Kampung Asmat di Timika

Page 25: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

25EDISI 07-JULI 2011diffa

Menatap Kemiskinan Kampung Asmat di Timika

JIKA seseorang mengucapkan kata tambang emas, maka yang muncul di benak kita antara lain pastilah kota Timika di Papua. Sebuah kota yang sejak

di bangku sekolah dasar sudah kita hafalkan sebagai wilayah tambang emas terbesar di negara kita. Bahwa yang mengeruk keuntungan dan menjadi kaya raya dari emas Timika bukanlah bangsa kita sendiri, itu pekerjaan rumah para pejabat, politikus, dan pengusaha kita untuk mengubahnya. Bahwa tujuh suku besar di Timika yang memiliki hak ulayat atas wilayah tambang emas

itu hanya kecipratan sebagian kecil saja uang emas, itu juga tugas dan tanggung jawab pemerintah agar mereka mendapatkan bagian yang lebih layak dan adil.

Kenyataannya, kemiskinan masih sangat erat melekat di wilayah Timika. Sekitar lima tahun lalu, saat pertama kali melakukan perjalanan ke Timika, saya datang ke sebuah perkampungan di luar kota Timika. Kampung itu dikenal dengan nama Kampung Asmat karena yang tinggal di kampung itu orang-orang suku Asmat. Mereka pendatang, bukan suku asli di kawasan Timika. Jarak dari kota Timika ke kampung Asmat sekitar tiga jam perjalanan menggunakan mobil sewaan (bukan angkutan umum) dengan kondisi jalanan sebagian besar belum beraspal. Jalan yang sudah diaspal pun kondisinya rusak parah berhiaskan lubang-lubang berbagai ukuran dan kedalaman. Saya beruntung melakukan perjalanan dalam kondisi cuaca cerah, sehingga mobil tak harus terjebak dan terperosok ke lubang-lubang itu.

Dari catatan-catatan perjalanan saya yang tercecer, begini kira-kira rekonstruksi saya tentang kampung Asmat.

“Tak sedikit pun saya mengira kemiskinan begitu parah di kampung

Asmat yang berjarak hanya beberapa puluh kilometer dari salah satu kota penghasil tambang emas terbesar di dunia. Mata saya terpaku pada sorot mata polos bocah-bocah berkulit jelaga dengan rambut keriting merah, berperut buncit dengan dada tipis yang membuat mereka terlihat seperti anak-anak penderita busung lapar di Ethiopia. Tulang-tulang iga mereka bergerak-gerak seiring nafas. Kaki mereka yang teramat kurus dihiasi koreng yang mulai kering dan koreng-koreng baru yang masih basah. Bocah-bocah itu ada yang mengenakan celana pendek yang sudah bolong-bolong di bagian pantat atau selangkangan. Bahkan, sebagian besar mereka sama sekali tak berpakaian. Telanjang bulat saja!

Mereka berkumpul di depan gubuk papan yang sangat tak layak huni karena dinding-dinding papannya sudah tak utuh lagi. Beberapa gubuk bahkan tak berpintu dan hanya ditutup lembaran papan setinggi lutut orang dewasa. Tak ada perabot di dalamnya, kecuali tungku kayu bakar untuk memasak saat mereka mendapat rezeki dan bisa membeli beras atau bahan makanan lain. Jika tidak ada rezeki, tungku tak akan menyala.

Kampung itu berdiri di atas rawa-rawa. Gubuk-gubuk warganya

Page 26: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 26 diffa

Foto

: FX

Rudy

Gun

awan

harus dibangun dengan konstruksi rumah papan dan jalanan yang menghubungkan seisi kampung hanya berupa jembatan rangkaian papan atau bambu asal-asalan saja. Untuk menitinya diperlukan keberanian dan keterampilan tersendiri, selain tentu harus ekstra hati-hati. Warga kampung Asmat tak lebih dari 30 keluarga. Sebagian besar kaum lelakinya tak punya pekerjaan tetap. Akibatnya, kaum perempuanlah yang harus banting tulang, pergi ke hutan mencari sesuatu yang bisa dijual selain mengurus anak-anak. Sementara para suami pergi entah ke mana dan tak jarang pulang dalam keadaan mabuk. Kekerasan dalam rumah tangga bukan cerita aneh dalam kehidupan di kampung itu.

Saya menatap kemiskinan yang paling gamblang dan lugas di kampung Asmat. Tak perlu bicara teori kemiskinan atau kemanusiaan yang ada di buku-buku atau di kampus-kampus untuk memahami kemiskinan di kampung itu. Tak perlu. Cukup hanya dengan menatap

mata bocah-bocah kurus kering itu, semua jadi jelas. Cukup hanya dengan melihat wajah para mama di kampung itu, perihnya luka kemiskinan terasa. Langsung menikam ulu hati kita. Sementara tak jauh dari kampung itu, sejumlah orang hidup bergelimang kemewahan tanpa rasa terganggu sedikit pun.

Lantas masih adakah harapan untuk masa depan bocah-bocah

Page 27: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

27EDISI 07-JULI 2011diffa

berkulit jelaga itu? Seperti yang diyakini oleh semua orang yang punya keyakinan, harapan selalu ada bagi semua orang. Di kampung Asmat, meski tak ada satu pun sekolah, ada kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan para mahasiswa calon guru yang ditugaskan kampus mereka untuk melakukan tugas akhir mengajar di situ. Anak-anak pun setidaknya bisa belajar membaca, menulis, dan

berhitung serta pelajaran lainnya. Tak ada bangunan sekolah memang. Kegiatan sekolah hanya dilakukan di sebuah bangunan dengan dua papan tulis dan beberapa meja reyot tanpa kursi. Namun, bukan tak mungkin sebuah benih perubahan akan lahir dari ruangan itu….”

Itu saja catatan perjalanan yang berhasil terkumpul dari pojok dan relung-relung hati saya. Namun, meski hanya itu, semuanya tetap terekam dalam ingatan saya

hingga saat ini. Momen menatap kemiskinan di kampung Asmat itu terpatri di hati saya begitu kuat dan dalam. (FX Rudy Gunawan)

Page 28: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 28 diffa

PERSEPSIP

Sigit Widodo*

Peran Pekerja Sosial Dalam

Pendidikan Luar Biasa

Kehadiran pekerja sosial di Yayasan Rawinala di mulai pada tahun 1990-an. Ber-mula dari ide dan gagasan Ms. Nicola J Crews, tena-

ga ahli dari Christofel Blinden Mission (CBM) yang di perbantukan di Rawi-nala. Saat itu idenya masih sederhana, yaitu menjangkau dan menjaring murid murid tunanetra ganda di Jakarta. Hal itu dilakukan karena waktu itu jumlah murid di Rawinala masih sedikit, se-hingga perlu penyebarluasan pelayanan ini kepada masyarakat. Dengan konsep itu, kami membuat program-program penjaringan murid melalui penyulu-han di beberapa posyandu, kunjungan ke klinik atau poli mata di beberapa rumah sakit, pendekatan kepada be-berapa lembaga pendidikan terkait, dan sebagainya. Seiring dengan kehadiran pekerja sosial di Rawinala sampai seka-rang, tampaknya peran pekerja sosial tidak hanya dalam hal penjaringan mu-rid, tetapi punya peran strategis dalam pendidikan luar biasa.

Pekerja sosial merupakan salah satu profesi tersendiri yang membutuhkan keahlian khusus dalam mengatasi persoalan-persoalan sosial. Tugas utamanya adalah menjadi agen perubahan bagi komunitas yang dibina. Karena itu, pekerja sosial yang baik harus mempunyai berbagai keterampilan seperti konseling, psikologi sosial, teknik pendekatan sosial, dan berbagai disiplin ilmu lain supaya kehadirannya bisa “diterima” suatu

komunitas. Ia juga harus mempunyai integritas yang tinggi supaya mampu menggerakkan perubahan.

Sekolah luar biasa (SLB), tempat penyelenggaraan pendidikan penyandang berkebutuhan khusus, merupakan komunitas khusus yang berbeda dari lembaga pendidikan pada umumnya. Menangani pendidikan luar biasa seharusnya berbeda dari menangani lembaga pendidikan biasa. Sebagai lembaga pendidikan formal, SLB memang harus mencapai tujuan pendidikan, yaitu peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik. Namun, menurut saya, kekhususan SLB adalah terjadinya perubahan pada murid sangat

bergantung pada perubahan paradigma orang tua atau keluarga. Jadi, keberhasilan murid SLB dapat terjadi karena orang tua terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Di sekolah biasa, orang tua tidak terlalu banyak berperan dalam proses pendidikan, karena anak punya banyak akses untuk meningkatkan proses belajarnya. Sedangkan anak berkebutuhan khusus sangat sedikit akses untuk bisa belajar sendiri.

Satu hal yang juga perlu disadari, tidak ada satu pun keluarga di dunia ini yang siap menerima kehadiran anggota keluarga penyandang berkebutuhan khusus. Kehadiran penyandang berkebutuhan khusus hampir dipastikan menimbulkan

Page 29: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

29EDISI 07-JULI 2011diffa

reaksi psikologis bagi keluarga. Dampak reaksi psikologis ini sangat mempengaruhi paradigma orang tua tentang pentingnya proses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Sebuah keluarga membutuhkan waktu yang sangat bervariatif untuk bisa menerima kehadiran anak berkebutuhan khusus apa adanya.

Kemampuan keluarga untuk

mengatasi persoalan psikikologisnya juga sangat bervariasi. Ada yang bisa segera bangkit dari persoalan itu, ada juga yang sulit sekali menerima kenyataan atau hanya pasrah seiring dengan bergulirnya waktu. Karena itulah kehadiran pekerja sosial di sebuah lembaga pendidikan luar biasa adalah untuk memfasilitasi percepatan “penerimaan” orang tua dan sekaligus meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pelayanan pendidikan bagi anaknya. Keluhan yang sering terjadi pada orang tua yang menyekolahkan anaknya di SLB adalah di sekolah si anak dapat berproses dengan baik, tetapi di luar sekolah tidak dapat melakukan apa-apa. Jadi, kehadiran

pekerja sosial juga berperan sebagai pendidik keluarga. Ketika seorang anak masuk SLB, orang tua pun harus ikut belajar. Peranan inilah yang sering kali menjadi persoalan di keluarga. Siapa yang akan membantu orang tua untuk belajar? Kehadiran pekerja sosial sangat diperlukan dalam hal ini.

Praktik pekerjaan sosial yang dilakukan pekerja sosial Rawinala,

selain pendekatan dan motivasi individual, adalah melakukan konseling kelompok agar para orang tua saling melengkapi dan memotivasi. Rawinala saat ini memiliki parent suport group yang bertemu secara rutin. Pekerja sosial memantau dan memfasilitasi kegiatan ini sehingga dampak keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan cenderung meningkat. Pekerja sosial bersama orang tua bekerjasama dalam menentukan topik diskusi untuk setiap pertemuan. Satu hal yang menggembirakan, saat ini orang tua juga bersedia diajak membantu keluarga-keluarga lain dan menyuarakan hak-hak penyandang

berkebutuhan khusus. Pekerja sosial tidak hanya bekerja

untuk keluarga, tetapi juga terhadap pendidik. Pekerja sosial menjadi penghubung antara sekolah dan keluarga. Guru lebih berkonsentrasi pada proses belajar di kelas, sedangkan pekerja sosial mendorong orang tua untuk terlibat dalam proses belajar anak, melalui bahan bahan yang diberikan oleh guru. Untuk

menjembatani komunikasi antara orang tua dan sekolah, secara berkala pekerja sosial mengadakan pertemuan bersama untuk membahas perkembangan anak.

Memang tidak banyak lembaga pendidikan luar biasa yang menggunakan

pekerja sosial karena faktor biaya. Untuk mengatasi hal itu, perlu dilakukan pembekalan dan pelatihan bagi para pendidik tentang peran pekerja sosial. Selain itu, jika memungkinkan dapat mengakses program Kementerian Sosial mengenai pekerja sosial. Rawinala dalam dua tahun terakhir mendapat satu orang tenaga bantuan pekerja sosial, dan ini sangat membantu pekerja sosial yang ada.

Semoga informasi ini memberikan inspirasi dan berguna bagi penyelenggara lembaga pendidikan luar biasa.

*Sigid Widodo, Direktur Yayasan Rawinala

Page 30: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 30 diffa

KOLOM KANG SEJOK

Bocah-bocah yang CeriaMohamad Sobary

30 EDISI 06-JUNI 2011 diffa

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

BERITA media mengenai bocah-bocah di sekitar kita, sering menggambarkan kemuraman. Mereka yang hidup bersama orang tua yang miskin, yang membuat mereka tak bisa melanjutkan sekolah, apa

boleh buat, mengenaskan. Mereka dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.

Mereka wajib belajar bertanggung jawab, seperti orang tua, di saat dunia mereka masih dikuasai alam bermain, bertualang, dan segenap keceriaan lain, yang khas milik bocah-bocah. Hak mereka menjadi bocah direnggut dengan kejam, tak peduli bagaimana jerit kepedihan yang mereka teriakkan.

Tiap hari kita melihat bocah-bocah berkeliaran di berbagai sudut kota, tanpa pernah tahu siapa orang tua mereka, dari mana mereka datang. Di bawah jembatan layang, di lampu merah, di tikungan jalan, dan bahkan juga dalam kegelapan, kita temukan bocah-bocah jalanan yang kelihatannya masa bodoh bahwa hari depan mereka sudah dirampas.

Mereka tak paham bahwa kota-kota dibangun bukan untuk mereka, karena miskin dan bergelandangan dipandang tindakan kriminal. Kota-kota yang gemerlap, dan para penguasa kota yang dungu dan kejam, tak mau berbagi dengan bocah-bocah itu.

Kita tahu bocah adalah bocah. Pada dasarnya mereka tak mengenal kekejaman struktur sosial yang membuat hidup terkotak-kotak ke dalam kaya-miskin, kota-desa, kampung kumuh-gedongan elite. Kotak-kotak itu bikinan orang-orang tua, dan para penguasa, yang dijejalkan untuk menjadi “hukuman” bagi mereka.

Bocah-bocah menjadi korban tak berdosa. Ada anak yang gantung diri karena tak mampu membayar uang sekolah: sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Itu urusan orang tua, guru, wali kelas, dewan sekolah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah. Tapi mereka yang menjadi korban. Sementara itu media masih melaporkan hal serupa, terus-menerus.

Berita-berita itu membuat kita merasa dunia begitu murung. Dan bocah-bocah itu seperti meneriakkan gugatan: mana pemerintah? Mana janji perlindungan pada fakir-miskin dan segenap bocah telantar yang tak lagi bisa menikmati hak istimewa mereka untuk menjadi bocah? Mana menteri

pendidikan? Mengapa bos besar, berbadan besar, yang seharusnya bernyali besar itu tak pernah menyapa bocah-bocah? Apa dia kira dunia ini hanya berisi orang-orang tua seperti dia?

Di sini kita seperti tak punya bocah dengan tipe Tom Sawyer, bocah rekaan Mark Twain, yang ceria, nakal, gesit, tapi cerdas dan mengundang ketawa, karena keluguannya sebagai bocah. Kita di sini seperti tak punya Huck Liberry Finn, sahabat Tom, yang “dimuliakan”, dan ditarik darikehidupan jalanan ke dalam kehidupan serba pantas: berbaju bersih, bersepatu, bersekolah, dan tidur di atas kasur. Huck Finn merasa hidupnya sudah cukup. Tidur di dalam tong sampah itu sudah “sewajarnya”. Mengenakan baju kumuh yang kedodoran, tanpa sepatu, dan tak bersekolah itu cermin kemerdekaan. Maka apa yang kurang dalam hidupnya?

Inilah prinsip hidup bocah yang memandang dirinya sebagai bocah. Dan berhak menjadi bocah tanpa diancam aturan, keharusan, dan orientasi nilai yang dijejalkan oleh masyarakatnya.

Saya dulu juga menjadi bocah. Dulu, orang tua dan masyarakat, tak meracuni jiwa bocah-bocah. Orientasi nilai dalam masyarakat tak merusak kemurnian para bocah. Alhamdulillah, dulu tak ada orang tua dungu yang memaksakan anaknya agar sudah bisa berbahasa Inggris sejak di usia taman kanak-kanak.

Tak ada orang tua yang bangga melihat anaknya yang masih di bawah usia enam tahun sudah bisa menghitung perkalian hingga di angka tertinggi seratus. Usia taman kanak-kanak itu masa bermain. Dengan dan melalui

Page 31: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

31EDISI 07-JULI 2011diffa 31EDISI 06-JUNI 2011diffa

permainan, bocah-bocah merasa memperoleh hak istimewa untuk menjadi diri mereka sendiri.

Orang tua berkembang melalui proses belajar, bocah-bocah bermain untuk memahami arti penting dunia bagi dirinya. Juga sebaliknya, bermain membuat bocah-bocah mengerti apa yang harus dilakukan buat kebaikan dunia di sekitarnya. Bocah-bocah berkembang melalui proses alamiah yang tak dimanipulasi oleh nilai pegangan orang tua dan orientasi masyarakat di sekitarnya.

Bocah yang sudah harus bisa berbahasa Inggris di usia tersebut, pada dasarnya sedang dipaksa minum racun buatan ibunya, untuk menjalani impian sang ibu

sendiri. Barangkali juga ayahnya. Banyak ibu memaksakan anaknya untuk memandang

dunia dan menilai segenap segi kehidupan dengan kaca mata si ibu. Di sini kita melihat seorang ibu -- bisa juga bapak -- yang sedang menjerumuskan anaknya. Di

dalam contoh ini anak “tak boleh” berkembang secara alamiah, dan normal, menjadi dirinya sendiri.

Bocah, yang tak membedakan bocah lainnya dari sudut status kaya-miskin, Islam-non-Islam, kini mulai dicekoki racun peradaban, bahwa dia bukan golongan kita. Dia bukan seagama dengan kita. Maka, jauhilah agar kau tak tercemar “iman” sesat yang dipegangnya.

Pemisahan kelompok-kelompok juga ditandai pakaian seragam, pakaian keagamaan, dan simbol kesalehan, yang kering dari rasa kemanusiaan, dan kering dari -- dalam orientasi nilai Islam -- rasa humor yang diajarkan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad yang ramah, sayang bocah-bocah, dan lembut kata, lembut

hati, dan sikapnya.

Mengapa teladan Kanjeng Nabi kita tinggalkan? Mengapa diam-diam kita “mengangkat” nabi yang lain untuk menjadi panutan? Siapa menyuruhmu? Apa kitab anutanmu? Dan mengapa bocah-bocah yang masih suci bagaikan salju, yang tak mengenal rasa dengki dan permusuhan, kita jejali racun kedengkian di dalam diri mereka sehingga mereka belajar menolak

bocah-bocah lain, yang tak seagama dengan kita?Kita menganiaya bocah-bocah. Kapan anak-anak

alam yang ceria itu kita kembalikan ke dalam posisinya sebagai bocah-bocah yang ceria? *

Page 32: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 32 diffa

KONSULTASI PENDIDIKANK

Pendidikan Dasar Anak Disabilitas Ganda

EDISI 06-JUNI 2011 32 diffa

IBU Puspita yang saya hormati,Pertama-tama saya

sampaikan salut dan penghargaan atas kesabaran Ibu menerima dan melayani

Riko dengan baik. Penerimaan dan pelayanan orang tua yang positif akan menentukan perkembangan kepribadian dan prestasi akademik anak di kemudian hari.

Ada dua kondisi yang saat ini dihadapi Riko, yaitu gangguan penglihatan dan perilaku autistik. Kedua kondisi ini masing-masing memiliki dampak yang berbeda dan memunculkan kebutuhan layanan yang berbeda pula.

Gangguan penglihatan dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam mengenali lingkungan dan berbagai objek di sekitarnya. Akibatnya, dia akan mengalami kesulitan untuk mengetahui posisi dirinya dalam suatu lingkungan serta hubungannya dengan berbagai objek yang ada di dalamnya. Gangguan penglihatan juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk bergerak atau berpindah tempat.

Dua kondisi ini menyebabkan anak-anak dengan gangguan penglihatan membutuhkan latihan orientasi dan mobilitas. Latihan orientasi adalah latihan untuk dapat mengenali lingkungan dan berbagai objek dengan memanfaatkan alat indera yang masih dimiliki si anak, misalnya pendengaran, perabaan, penciuman, atau pencecapan. Sedangkan latihan mobilitas adalah latihan yang diberikan kepada anak agar mampu bergerak atau

Pak Asep yang terhormat, Saya Puspita, memiliki anak dengan autistik yang juga mengalami gangguan penglihatan. Namanya Riko, saat ini berusia 4 tahun. Secara rutin saya membawa Riko ke klinik terapi untuk anak autis. Setelah menjalani terapi, sedikit demi sedikit Riko mengalami kemajuan. Ia mulai bisa berkata-kata, dan beberapa kemajuan lainnya. Karena usia Riko sudah mendekati usia sekolah, saya tentu harus mulai memikirkan pendidikan untuknya. Pertanyaan saya, ke arah mana pendidi-kan untuk anak seperti Riko (anak dengan autistik sekaligus mengalami gangguan penglihatan) harus dilakukan? Mohon tanggapan Pak Asep. Terima kasih.

Page 33: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

33EDISI 07-JULI 2011diffa

Dr. Asep Supena, M.PsiDosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta

Pendidikan Dasar Anak Disabilitas Ganda

33EDISI 06-JUNI 2011diffa

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

berpindah tempat dalam suatu lingkungan dengan menggunakan berbagai media atau cara.

Ketika memasuki dunia sekolah, maka kesulitan yang segera akan dihadapi anak dengan gangguan penglihatan adalah ketidakmampuan membaca dan menulis secara visual sebagaimana anak-anak lain. Kecuali jika dia masih memiliki sisa penglihatan yang memungkinkan

untuk membaca dengan penglihatan. Karena itu, dia membutuhkan layanan dan latihan membaca dan menulis Braille.

Anak-anak dengan gangguan penglihatan juga akan sedikit mengalami kesulitan dalam memahami berbagai objek dan peristiwa, karena telah kehilangan salah satu alat penting untuk menangkap berbagai informasi yang

Page 34: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 34 diffa

ada di lingkungan, yaitu penglihatan. Karena itu, dia membutuhkan layanan pembelajaran yang khusus supaya pemahamannya tentang berbagai hal tidak terlalu tertinggal dibanding anak lain yang melihat. Berbagai peristiwa atau objek harus ditampilkan dalam suatu bentuk yang bisa didengar, diraba, atau dicium supaya anak dengan gangguan penglihatan dapat menerima dan memahaminya.

Inilah antara lain tantangan dan kebutuhan-kebutuhan khusus yang dirasakan anak yang mengalami hambatan penglihatan. Biasanya kebutuhan-kebutuhan khusus ini akan dicoba dipenuhi lembaga pendidikan atau sekolah yang menangani anak-anak dengan gangguan penglihatan.

Di sisi lain, anak dengan hambatan autistik bisanya memiliki karakter perilaku yang beragam. Salah satu yang paling umum adalah ketidakmampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Dalam beberapa kasus, gangguan autistik juga ditandai dengan adanya perilaku yang diulang-ulang, kurang tanggap dan kurang responsif terhadap lingkungan, keterikatan terhadap satu objek, mengulang ucapan yang disebutkan orang lain, kepekaan yang lebih terhadap bunyi, tantrum (mengekspresikan perasaan marah dengan meledak-ledak), dan lain-lain.

Hambatan-hambatan ini menyebabkan anak dengan gangguan autistik membutuhkan layanan pembelajaran khusus, misalnya terapi bicara dan bahasa (speech therapy), latihan pengendalian emosi dan perilaku melalui berbagai cara, misalnya

occupational therapy (terapi melalui kegiatan dan permainan) dan sensori integrasi.

Kedua permasalahan yang dihadapi Riko perlu ditangani secara bersamaan. Dia perlu memperoleh layanan khusus untuk mengatasi dampak dari gangguan penglihatan, tetapi dalam waktu bersamaan juga perlu memperoleh layanan untuk mengurangi dampak perilaku autistiknya. Karena itu, sekolah yang ideal untuk anak seperti Riko adalah sekolah yang memahami dan melayani pembelajaran untuk anak dengan hambatan penglihatan sekaligus juga memahami dan memberikan layanan untuk anak autis. Sayangnya, sekolah khusus seperti ini sangat jarang, bahkan boleh dikatakan belum ada.

Karena itu, paling tidak ada tiga kemungkinan yang dapat Ibu pilih dan pertimbangkan:

Pertama, memasukkan Riko ke sekolah khusus untuk anak yang mengalami hambatan penglihatan, yang sering disebut sekolah luar biasa tunanetra (SLB/A), tetapi pada saat yang bersamaan Ibu memberikan layanan/terapi tambahan di luar sekolah untuk mengurangi perilaku autistiknya. Di Jakarta, SLB/A yang dapat dipilih antara lain SLB/A di Lebak Bulus atau SLB/A Tanmiyat di Bulak Kapal, Bekasi. Atau, bisa juga memasukkan Riko ke SLB yang secara khusus menangani anak-aak dengan disabilitas ganda. Di Jakarta, contoh sekolah semacam ini adalah SLB Tunaganda Rawinala di kawasan Condet.

Kedua, memasukkan Riko ke lembaga khusus (sekolah atau klinik) yang menangani anak autis,

tetapi pada waktu bersamaan Riko mendapat layanan pembelajaran khusus terkait dengan hambatan penglihatan, misalnya belajar orientasi mobilitas dan latihan baca tulis Braille.

Ketiga, memasukkan Riko ke sekolah dasar (SD) inklusif yang sudah terbiasa menerima dan melayani anak dengan hambatan penglihatan dan jenis-jenis hambatan lain. Sangat dianjurkan SD inklusif yang telah memiliki guru pembimbing khusus (GPK), yaitu guru yang memiliki latar pendidikan dan keahlian di bidang pendidikan khusus.

Usia Riko akan memasuki sekolah dasar. Artinya, dia perlu latihan dasar untuk mengembangkan kemampuan membaca, menulis, berhitung, dan mengenal berbagai konsep sederhana. Untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut dia membutuhkan layanan pembelajaran khusus yang tidak mengandalkan pada penglihatan. Dengan kata lain, dia akan memperoleh layanan pembelajaran sebagai anak yang mengalami hambatan penglihatan. Lembaga yang memiliki pengalaman dan kemampuan untuk memberikan layanan seperti ini adalah SLB/A. Karena itu, dari tiga kemungkinan pilihan di atas, tampaknya pilihan pertama merupakan yang paling mungkin atau cocok untuk Riko saat ini. Jika segala sesuatunya berkembang dengan baik, maka kelak sangat dimungkinkan Riko bisa masuk ke sekolah Inklusif.

Selamat berjuang untuk Ibu Puspita dan ibu-ibu lain yang selalu setia mendampingi anaknya. *

Page 35: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

35EDISI 07-JULI 2011diffa

BERANDA B

Surat Handicap InternationalKepada Yth,Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatandi tempat

Dengan Hormat,Bersama ini kami mengirimkan majalah diffa kepada Bapak / Ibu sekalian. Kami melihat isi majalah ini sangat baik dalam memberikan informasi mengenai isu-isu disabilitas dan ikut menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas kepada masyarakat umum.

Besar harapan kami Bapak / Ibu dapat mengambil bagian dalam upaya menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas melalui majalah ini dengan cara memberikan kontribusi berupa tulisan artikel yang berkaitan dengan isu-isu disabilitas ataupun memberikan informasi tentang kegiatan yang dilakukan organisasi Bapak / Ibu yang berkaitan dengan isu-isu disabilitas. Untuk itu silakan Bapak / Ibu mengirimkan tulisan / informasi tersebut ke alamat redaksi: [email protected].

Semoga kontribusi tulisan Bapak / Ibu dapat mendorong tercapainya masyarakat yang inklusif di Indonesia.

Terima kasih atas perhatiannya.

Salam Hangat,

Belly LesmanaDisability Rights Project Manager

Handicap International

Page 36: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 36 diffa

RUANG HATIR

Melatih Anak Mengendalikan Diri

IBU Norma yang penuh kasih sayang,Dalam usia empat tahun seperti Bagas,

memang pada umumnya anak-anak mulai ingin menunjukkan keinginan dirinya sendiri. Biasanya dimulai pada usia dua setengah tahun sampai awal

usia prasekolah seperti Bagas. Pada periode usia ini, anak mulai memiliki teman.

Ketika ia mulai ingin menyatakan keinginan, kemauan, atau diperhatikan kebutuhannya, ia belum memiliki keterampilan cara menyampaikan agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Ia juga belum memiliki kemampuan memilih kebutuhan apa yang akan mudah terpenuhi dan memilih cara apa yang akan mempermudah kebutuhannya terpenuhi. Sering kali anak juga tidak memahami perasaan hatinya dan alasan apa yang sebenarnya membuat dirinya kesal, marah, kecewa, bahkan apakah ia memang benar-benar menginginkan atau membutuhkan apa yang dimintanya.

Bagaimana Bagas bisa mempelajari kebiasaannya agar tidak menjadi kebiasaan buruk atau tidak sesuai dengan kebiasaan anak-anak lainnya? Tentu saja orang-orang dewasa yang ada di sekelilingnya, yang mempunyai otoritas, kewenangan, kesabaran, perlu membantu menerjemahkan apa yang terjadi di dalam dirinya, dan membantu secara bertahap agar memiliki kemampuan mengendalikan diri serta emosinya.

Ketika Bagas memperoleh keinginannya dengan cara berteriak, menangis, membuang barang-barangnya, ia akan belajar untuk mengulangi perbuatan itu setiap kali menyatakan kehendaknya. Lingkungan di sekitar Bagas perlu membantunya untuk menyadari bahwa ada tingkah laku, cara-cara, atau waktu yang lebih baik dan tepat untuk menyatakan keinginan dan perasaan yang sedang terjadi di dalam dirinya, pada saat-saat tertentu.

Pahami apa situasi yang terjadi sebelum Bagas “mengamuk”. Mungkin bukan karena keinginannya yang ingin dipenuhi, melainkan ada perasaan tidak nyaman, kelelahan, atau emosi yang perlu dipahami oleh lingkungannya. Tanyakan dan bantu Bagas untuk

Ibu Frieda yang terhormat,

Saya Norma, memiliki anak laki-laki berumur empat tahun, Bagas namanya. Saat ini dia sudah be-lajar di sebuah kelompok bermain.

Masalah yang saya hadapi, jika Bagas marah ataukesal karena keinginannya tidak terpenuhi, ia cenderung meluapkan kemarahan dengan meledak-ledak, menangis sambil berteriak-teriak. Kadang bahkan melempar semua mainan-nya. Jika sudah begitu, kami, orang tuanya, cenderung mengabulkan permintaannya. Namun, perilaku ini kemudian menjadi kebiasaan.

Apakah kebiasaan Bagas terma-suk kategori kelainan perilaku? Bagaimana cara mengajari anak mengendalikan emosi, sehingga jika ia marah atau kesal, cukup mengekspresikannya dengan cara yang wajar?

Mohon tanggapan Ibu Frieda. Terima kasih.

Page 37: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

37EDISI 07-JULI 2011diffa

Melatih Anak Mengendalikan Diri

Ilust

rato

r: di

dot p

urno

mo

Frieda Mangunsong Guru Besar (Profesor) Fa kul tas Psikologi Universitas Indonesia yang se jak tahun 1980 mengajar dan sejak tahun 1984 mendalami bidang Psikologi Pendidikan.

memahami apa yang sedang terjadi padanya. Jauhkan Bagas dari barang-barang yang bisa menyulut emosinya dan bantu memahami bahwa lingkungan tidak akan memberikan perhatian bila tingkah lakunya buruk dan negatif.

Dengan mengabaikan perilaku buruk, dan justru memperhatikan perilaku-perilaku yang lebih diinginkan, maka secara bertahap Bagas akan memiliki keterampilan untuk menampilkan perilaku yang bisa diterima. Misalnya, bermanis-manis dulu, bertanya-tanya dulu apakah diperbolehkan atau tidak, baru permintaannya dipertimbangkan atau bisa dikabulkan.

Latihlah Bagas untuk memahami emosi apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Misalnya, dengan mencoba menanyakan, “Bagas capek, ya?”, “Bagas kesal, ya?”,

“Bagas lagi sedih?”, atau “Bagas sedang marah?” Tunjukkan ekspresi bahwa kita ingin turut memahami perasaannya, tetapi tidak selalu ingin langsung memenuhi permintaannya. Misalnya dengan mengatakan, “Oh, mau ini, ya?”, “Yang mana, dong?” atau “Ya udah, asal kamu berhenti menangis….”

Tanpa disadari, kita, para orang tua, sering kali menunjukkan ketidaksabaran yang justru sering menambah kekesalan atau meningginya emosi anak. Atau, kita melakukan sesuatu yang hanya akan menenangkan anak untuk sementara waktu saja.

Ibu juga perlu menjelaskan kepada Bagas, kapan dan mengapa sesuatu itu boleh diminta atau diberikan. Bagas juga perlu dilatih dengan sabar dan konsisten, sehingga dapat belajar menyesuaikan keinginan dan

mampu mengendalikan emosinya.Jadi, Ibu Norma tidak perlu cepat-cepat menganggap

Bagas memiliki kelainan perilaku, apalagi bila lingkungan Bagas memang belum memberikan kepadanya keterampilan untuk mengendalikan emosi dan perilaku. Perlu waktu, latihan, dan disiplin untuk dapat membentuk kebiasaan dan perilaku anak yang mampu mengendalikan diri dan emosinya di berbagai situasi. Selamat mencoba dengan penuh kesabaran dan kasih sayang ya, Bu. *

Page 38: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 38 diffa

APRESIASIA

Adakah batas kekuatan otak manusia? Tentu ada. Bahkan sebena-rnya, pertama-tama setiap manusia sudah

dibatasi oleh kemampuannya sendiri untuk memakai dan memaksimal-kan potensi otaknya. Jadi, meskipun volume otak manusia satu sama lain mungkin tak banyak berbeda ukuran-nya, atau katakanlah sama persis, tetap saja kemampuan berpikirnya berbeda-beda. Sejumlah orang bahkan terlahir dalam kondisi keterbelakangan men-tal atau tunagrahita. Hanya sebagian kecil orang yang terpilih lahir dengan kemampuan otak jenius. Lalu seba-gian besar orang di muka bumi ini la-hir dengan kemampuan otak rata-rata saja.

Film Limitless berkisah tentang manusia yang mencoba memaksimalkan kemampuan otaknya hingga 100 persen. Padahal, pada umumnya otak semua manusia hanya terpakai 20 persen dari seluruh kehebatan kemampuannya. Dikisahkan seorang pecundang, Eddie Mora, di mana-mana selalu mengaku mempunyai kontrak dengan sebuah penerbitan yang akan menerbitkan bukunya. Namun,

Film : LimitlessSutradara : Neil BurgerPemain : Bradley Cooper, Robert de Niro, Abbie Cornish

Tanpa Batas = Kelewat Batas

sebenarnya ia belum berhasil menulis satu lembar pun naskah novel. Ia selalu gagal menulis alinea pertama hingga berbulan-bulan. Dalam keterpurukannya, tak sengaja ia bertemu dengan mantan kakak iparnya yang kemudian memberinya sebuah pil untuk mendongkrak kemampuan otaknya hingga 100 persen.

Merasa tak ada ruginya untuk mencoba, Eddie pun menelan pil berwarna bening seukuran kancing baju itu. Dahsyat. Ternyata pil itu benar-benar mampu meningkatkan kemampuan otaknya sampai 100 persen. Eddie lantas merasa bisa melakukan semua hal dengan energi kejeniusan meluap memenuhi seluruh dirinya. Ia menyelesaikan novelnya dalam dua hari, membuat bos penerbit takjub tak habis pikir. Ia bisa menguasai bahasa Prancis, Mandarin, dan bahasa apa saja hanya dalam waktu tak lebih dari satu minggu, membuat mantan pacarnya bengong dan jatuh cinta lagi kepadanya. Ia bisa menganalisis bursa saham untuk mengeduk uang jutaan dolar hanya dalam waktu sangat singkat. Semua itu bisa

dilakukan dengan dongkrakan pil bening itu.

Namun, ketika manusia merasa bisa melewati semua batas, maka yang biasanya terjadi adalah “menjadi kelewat batas” dan akhirnya hanya menghasilkan tragedi kehidupan. Pil bening yang merupakan hasil eksperimen belum tuntas itu tercium keajaibannya oleh preman kota nan kejam, konglomerat Amerika yang berkuasa, dan juga oleh pacar Eddie. Keserakahanlah yang kemudian menjadi drama klise sepanjang sejarah peradaban manusia. Pil itu ternyata menimbulkan efek kecanduan yang sangat destruktif. Korban pertama adalah mantan istri Eddie dan kakak iparnya yang dibunuh oleh mafia karena menginginkan pil tersebut.

Eddie Mora sendiri survive dan

Page 39: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

39EDISI 07-JULI 2011diffa 39EDISI 06-JUNI 2011diffa

sukses mencalonkan diri sebagai anggota senat tanpa seorang pun tahu bahwa ia pecandu obat ajaib itu. Dan, demi obat itu, ia bisa menjadi pembunuh yang tak kalah kejam dibandingkan preman-preman kota. Film berakhir dengan Eddie Mora, sang calon senator, makan siang bersama pacarnya di sebuah restoran China dan berbicara bahasa China dengan pelayan restoran. Sebuah penegasan bahwa di dunia politik, banyak penguasa yang sebenarnya juga pembunuh kejam berdarah dingin. FX Rudy Gunawan

Page 40: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 40 diffa

BINGKAI BISNISB

Bisnis Konveksi Tunanetra yang SigapBermodal keyaki-

nan dan keuletan, Suhendar, memban-gun usaha konveksi rumahan. Penyan-

dang tunanetra sejak lahir ini kini mempe-

kerjakan belasan pekerja.

DI tengah berbagai diskriminasi dan ketidakberpihakan terhadap penyandang disabilitas, sulit

bagi penyandang tunanetra seperti Suhendar untuk mendapat pekerjaan dan membuka usaha di negeri ini. Namun, Suhendar tak menyerah. Lelaki usia 35 tahun ini ngotot membuka usaha, meski pernah gagal. Dan akhirnya ia berhasil.

Dari Bengkel ke KonveksiMeski berasal dari keluarga biasa-

biasa, Hendar, begitu Suhendar biasa dipanggil, termasuk hebat, karena bisa meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Namun, ijazah sarjana hukum dari universitas terkemuka itu seperti tidak punya arti, karena lamaran kerjanya selalu ditolak perusahaan dan instansi.

Kapok selalu ditolak setiap melamar pekerjaan, Hendar memutuskan membuka usaha sendiri. Berbekal modal dari bapak angkatnya, dia membuka bengkel motor di kampung asalnya, Desa Banda Sari, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Namun usaha bengkel itu hanya mampu bertahan seumur jagung.

Perkiraan Hendar, usaha bengkel sangat cocok dan punya prospek karena di kampungnya banyak tukang ojek dan pemilik motor. Mestinya mereka memerlukan bengkel. Namun, perkiraan itu meleset. Kelihatannya masyarakat sulit percaya kepada bengkel yang dikelola tunanetra seperti Hendar, meski ia dibantu saudaranya yang tidak tunanetra. Akhirnya, bengkel yang belum sempat diberi nama itu gulung tikar.

Hendar menjual semua peralatan

Page 41: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

41EDISI 07-JULI 2011diffa

bengkelnya. “Hasil penjualan peralatan bengkel saya pakai untuk membeli dua mesin jahit,” cerita Hendar. Dia membeli mesin jahit karena berpikir, bisnis baju lebih punya prospek. Padahal, waktu itu sebenarnya industri konveksi banyak yang gulung tikar. Bahkan dua temannya yang kerja di pabrik konveksi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, Hendar yakin peluang bisnis konveksi masih ada.

Bermodal dua mesin jahit itu, Hendar mengajak dua teman yang baru terkena PHK bekerja sama membuka bisnis konveksi baru. Usaha konveksi itu diberi nama S19AP, yang maksudnya “sigap”. Mereka merancang sistem kerja yang luwes. “Saya tidak memposisikan diri sebagai bos, tapi rekan. Jika ada order, mereka bekerja. Jika tidak ada, teman bisa kerja yang lain, misalnya ngojek,” cerita Hendar.

Cara produksi S19AP, Hendar mencari order pembuatan kaos ke berbagai relasi dan teman. Karena cuma punya dua mesin jahit, mereka hanya bisa mengerjakan pesanan kaos. Jika mendapat order, baru mereka bekerja. Jadi, tidak langsung produksi dan dilempar ke pasar. Teknik ini ternyata cukup jitu, meski order yang didapat hanya satu hingga dua kodi kaos. “Paling banter seratus kaos,” ujar Hendar. Tapi Hendar optimistis, meski omzet hanya Rp 500 ribu per bulan.Setia dan Yakin

Di tengah kesibukan membangun usaha konveksinya, tahun 2006 Hendar mendapat panggilan bekerja sebagai pegawai di almamaternya, Panti Sosial Bina Netra Wiyata Guna, Bandung. Hendar menerima panggilan itu, tapi memutuskan tidak meninggalkan usaha konveksinya.

Page 42: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 42 diffa

Hendar juga mengembangkan sayap pemasaran ke berbagai instansi pemerintah, sekolah umum hingga perguruan tinggi, panitia event olahraga, bahkan hingga ke partai politik pada musim kampanye. Hendar menggunakan cara “jemput bola”, langsung mendatangi sasaran untuk menawarkan order.

Untuk menyiasati persaingan, Hendar setidaknya menggunakan tiga kiat. Pertama, mematok harga relatif murah. Dia tidak mengambil keuntungan terlalu besar, hanya rata-rata Rp 5.000 per potong. Trik kedua, membuat CD dan pamplet untuk menggambarkan jenis dan kualitas produk S19AP. Ketiga, dan yang paling penting, berusaha menjaga kualitas produk dan kepuasan pemesan.

Hendar mengakui, kesulitan terbesar saat awal merintis usaha konveksi adalah meyakinkan calon pemesan, karena ia tunanetra. “Awalnya sulit meyakinkan pelanggan bahwa saya bisa mengelola usaha konveksi. Padahal usaha saya dikerjakan oleh orang normal dan ahli,” tutur ayah satu anak ini. Selanjutnya baranglah yang berbicara. Jika membuat barang sesuai harapan pemesan, akan menjadi pintu awal yang baik bagi perkembangan bisnis berikutnya. Pelanggan yang terpuaskan tanpa diminta akan turut mempromosikan produk yang dipakainya. Inilah yang dirasakan Hendar sebagai promosi paling ampuh. “Promosi efektif bukan dari kita, tetapi dari mulut pelanggan yang puas,” ujarnya.

Dengan cara itu, kini Hendar sudah memiliki 12 mesin yang dijalankan belasan tenaga kerja yang diserap dari lingkungan sekitar rumah konveksi S19AP. Sebelas orang bekerja merangkap, dari

Perlahan bisnis konveksi itu tumbuh, hingga tahun 2007 dia membeli satu mesin baru. Semua relasi, termasuk di tempatnya bekerja, dimanfaatkan untuk mendapat order. Produk yang dihasilkan tidak lagi hanya kaos, tetapi mulai merambah seragam sekolah dan karyawan, celana training, rompi, bahkan topi dan tas. “Bisnis ini akan terus jalan, karena tiap tahun anak sekolah pasti memerlukan seragam baru,” ujar Hendar menggambarkan optimismenya.

Page 43: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

43EDISI 07-JULI 2011diffa

menjahit, mengobras, membordir, hingga menyablon. Hanya tukang potong kain yang memiliki kerja sendiri. Pekerja ini mendapat upah berkisar Rp 5.000 hingga Rp 25.000 per potong, tergantung kerumitan pekerjaan. Hendar mengaku mengambil keuntungan yang tidak terlalu besar, sekitar Rp 5.000 per potong.

Hendar tidak selalu langsung mengambil keuntungan itu. Keuntungan selama dua tahun pertama usahanya sengaja ditabung untuk membeli mesin-mesin baru. Cara ini terus ia lakukan hingga kini S19AP memiliki 12 mesin, termasuk mesin obras. Dari omzet Rp 500.000 per bulan, kini S19AP bisa memberikan pemasukan Rp 90 juta per tahun. Hendar merasa senang, karena selain mempunyai penghasilan untuk menghidupi keluarga, bisa memberdayakan tetangga di kampungnya.

Setelah diangkat sebagai PNS, dengan tugas sebagai humas di Wiyata Guna, bisnis Hendar tetap jalan. Suami Lia Nurliati ini sadar, kerja sebagai PNS tidak akan membuatnya kaya, karena itu harus punya usaha. Usai kerja di Wiyata Guna, dia manfaatkan melakukan kontrol ke rumah konveksi atau melakukan lobi-lobi dengan berbagai perusahaan atau instansi. Dalam seminggu, Hendar bisa dua sampai tiga kali pulang pergi Bandung - Banjaran yang memerlukan 1,5 jam perjalanan. Itu bisa ia lakukan karena kini memiliki kendaraan, sebuah jip buatan tahun 1995. “Tanpa usaha konveksi, saya tidak mungkin bisa beli mobil,” ujarnya.Resep dan Saran

Produk S19AP kini menyebar ke berbagai tempat, event,

dan kalangan, bahkan hingga Kalimantan. Ketika Pekan Olah Raga Daerah Bandung 2010, Wali Kota Bandung memilih memesan seragam panitia kepada perusahaan Hendar. Bahkan, Hendar pernah diberi tahu, mantan Presiden Megawati, ketika keliling mengunjungi korban gempa di Jawa Barat, menggunakan baju buatan S19AP. “Saya bangga,” ujar Hendar.

Salah satu keunikan Hendar, sejak memulai bisnis konveksinya, ia tidak pernah mengajukan pinjaman, apalagi meminta modal kepada pemerintah. Dia bahkan cenderung menghindari lembaga pemerintah karena malas berurusan dengan birokrasi yang kompleks.

Dinas Sosial Kabupaten Bandung pernah menyarankan Hendar mengajukan bantuan modal agar usaha konveksinya menjadi lebih besar. Namun Hendar menolak dan bersikukuh mengembangkan usaha dengan modal sendiri. Jika pemerintah mau membantu, dia menyarankan lebih baik memesan produk usahanya. Hendar tidak berharap belas kasihan orang karena ia tunanetra. “S19AP bekerja secara professional. Memiliki tenaga kerja yang ahli di bidangnya, punya mesin sendiri, dan punya cara sendiri untuk menjalankan bisnis. Dan akan selamanya begitu,” ujar Hendar.

Hendar menyarankan penyandang disabilitas yang akan membuka usaha agar pintar atau mampu membaca potensi lokal di kampung atau lingkungan tempat tinggal. Modal memang sangat perlu, tetapi jangan hanya terpaku pada modal. “Modal terpenting justru kemauan keras dan kepintaran memanfaatkan jaringan,” ujarnya.

Hendar mengakui, tanpa jaringan akan sulit menjalankan

bisnis konveksinya. Jaringan yang digunakan tidak jauh-jauh, yaitu organisasi penyandang disabilitas. Dia bisa memasukkan orderan ke berbagai instansi di antaranya karena informasi dari organisasi olahraga penyandang disabilitas atau dari Wiyata Guna, tempatnya bekerja.

Hendar tidak merekrut penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja di S19AP, karena sadar belum tentu baik dan menguntungkan. Ia pernah merekrut seorang tunanetra untuk bagian setrika. Ternyata sang teman merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu dan merasa lebih nyaman mengandalkan penghasilan sebagai tukang pijat.

“Saya hanya memakai teman penyandang di bidang promosi, untuk mencari order,” jelas Hendar. Secara informal membentuk jaringan promosi yang terdiri atas teman-temannya penyandang disabilitas. Teman yang bisa mendapat atau mendatangkan order akan mendapat komisi .

Menurut Hendar, modal utama yang harus dimiliki penyandang disabilitas yang ingin membuka usaha adalah tidak mudah menyerah. Semua usaha pasti punya kesulitan. Namun bagi penyandang disabilitas kesulitan itu akan berkali-lipat karena keterbatasannya. Keterbatasan itu justru sering dijadikan alasan bagi orang lain untuk menolak.

Hendar sudah mampu mengatasi dan menjawab keterbatasan itu. Bahkan kini ia bisa membuka peluang kerja bagi orang lain yang tidak menyandang disabilitas. “Saya yakin, penyandang disabilitas lain juga bisa,” ujarnya. * Bambang Prasethyo

Page 44: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 44 diffa

Mainan untuk Anak Autistik

PIRANTIP

Perkembangan anak-anak autistik sering

kali terhambat. Hal itu dikarenakan kegagalan

salah satu fungsi otak yang memproses

rangsangan syaraf. Akibatnya, anak

tersebut mengalami keterbelakangan mental.

Buddy The Sensory Dog

PERKEMBANGAN teknologi yang pesat dapat menolong anak-anak autistik. Buddy the sensory dog salah

satunya. Mainan lucu dan menarik ini mampu mengurangi kadar keterbelakangan dan membantu perkembangan anak-anak autis dengan terapi rangsangan motorik.

Boneka Buddy the sensory dog atau mainan yang merangsang refleksi indera ini salah satu jenis mainan untuk anak autistik yang dipasarkan melalui online website

toysforautism.com. Buddy dijual seharga US$ 39.88 dengan berbagai warna yang eye-catching agar lebih mendapatkan perhatian anak autistik.

Mainan canggih ini dikembangkan Sensory University,

kelompok yang mengkreasikan barang-barang untuk penyandang disabilitas sebagai alat bantu terapi, khususnya untuk penyandang autistik. Boneka anjing Buddy dapat membantu anak mempelajari lingkungannya lewat indera. Melalui indera visual, peraba, dan saraf auditori, anak autistik belajar menyimpan dan menerjemahkan

informasi yang didapat. Tombol-tombol di telinga,

cakar, dan rompi Buddy menghasilkan bunyi yang mampu meningkatkan fungsi pergerakan jari-jemari dan membantu anak mempelajari arti “sebab-akibat”. Konsep sebab-akibat yang sederhana juga didapat dari Buddy apabila anak menarik ekornya. Gerakan itu membuat getaran yang menyebabkan sensory anak terbangun.

Fitur getaran atau vibrasi ini salah satu motivator utama pada mainan ini. Vibrasi membantu anak memahami bahwa sebuah aksi secara otomatis akan menghasilkan reaksi. Kebiasaan dalam memainkan Buddy, salah satunya dengan menarik ekornya dan menghasilkan vibrasi, lambat laun akan meningkatkan pemahaman anak mengenai parameter prediksi, konsistensi, dan bahkan membantu untuk lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan.

Anak-anak dengan problem fisik atau disabilitas, salah satunya autistik, umumnya memerlukan rangsangan tambahan untuk memicu refleksnya. Buddy adalah salah satu mainan yang menyediakan sarana untuk itu. Semua vibrasi yang menambah rangsangan sensory ada di badan Buddy the sensory dog.*Asrini Mahdia

Page 45: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

45EDISI 07-JULI 2011diffa

ALAT bantu mendengar atau hearing aid atau adalah alat elektronik yang membuat

suara terdengar lebih keras. Orang yang mengalami gangguan pendengaran dapat mendengar dan berkomunikasi lebih aktif berkat bantuan alat ini.

Alat bantu mendengar terdiri atas tiga komponen utama, yaitu mikrofon, amplifier, dan speaker. Alat ini menerima suara melalui mikrofon yang mengubah sinyal suara menjadi sinyal listrik kemudian mengirimkannya ke amplifier. Amplifier meningkatkan kekuatan sinyal listrik dan mengirimkannya ketelinga pemakai melalui speaker.

Alat bantu mendengar berguna untuk memperbaiki pendengaran dan pemahaman bicara orang yang mengalami gangguan pendengaran pada bagian luar, tengah, dan dalam telinga. Kerusakan pada telinga bisa disebabkan penyakit, penuaan, kecelakaan atau bekerja lama di tempat dengan kebisingan tinggi.

Cara KerjaSuara yang dikeraskan alat bantu

mendengar masuk melalui telinga luar, tengah, dan dalam. Proses selanjutnya suara menyebabkan vibrasi pada telinga tengah dan dalam. Rambut saraf pendengaran yang masih baik akan mendeteksi vibrasi yang paling besar dan

mengubahnya menjadi sinyal saraf yang kemudian diteruskan ke otak. Semakin rusak rambut saraf pendengaran, semakin parah kondisi pendengaran dan alat bantu mendengar dengan penguatan yang besar dibutuhkan untuk membangunkan rambut saraf pendengaran. Namun, ada batasan kekuatan pengerasan yang dikeluarkan alat ini. Jika rambut saraf pendengaran terlalu parah kerusakannya dan alat bantu mendengar pun sudah tidak bisa memberikan penguatan yang memadai, mungkin alat ini tidak bisa membantu lagi.

Model Alat Bantu Mendengar

Model alat bantu mendengar didasarkan pada cara peletakan dan penguatan yang dibutuhkan. Umumnya alat ini diletakkan di belakang telinga dan dalam lubang telinga.

1. Behind the ear. Model ini terdiri atas plastik atau

tempat menyimpan komponen alat bantu mendengar yang dirancang mengikuti struktur telinga belakang kemudian disambungkan dengan cetakan telinga yang dipasangkan pada telinga bagian luar. Suara yang ditangkap diteruskan ketelinga melalui cetakan telinga. Alat jenis ini biasanya digunakan untuk semua umur, dari penurunan pendengaran ringan hingga penurunan

pendengaran berat.

2. In the ear. Model ini dipasangkan dalam

telinga bagian luar dan digunakan untuk penurunan pendengaran ringan hingga berat. Model ini dilengkapi fitur seperti telecoil, yaitu lilitan magnet yang berfungsi menangkap suara, bukan melalui mikrofon. Fitur ini memberikan kemudahan pemakai untuk berbicara melalui telepon. Telecoil juga berfungsi menangkap suara yang dikeluarkan induction loop system. Model ini umumnya tidak digunakan anak-anak dan orang tua.

3. Canal. Alat bantu mendengar jenis

ini terdiri atas dua model, yaitu in the canal yang dipakai dalam lubang telinga dan completely in canal yang hampir tidak terlihat dalam lubang telinga. Kedua model ini umumnya digunakan untuk penurunan pendengaran ringan hingga menengah. Karena kedua model ini kecil, mungkin agak sulit bagi sebagian orang untuk memakai dan melepaskannya. Model ini tidak mempunyai banyak tempat untuk baterai dan fitur lainnya, seperti telecoil. Model ini tidak direkomendasikan untuk anak-anak atau gangguan sangat berat, karena terbatasnya kemampuan penguatan yang dikeluarkan. *

Alat Bantu Mendengar

BERANDA B

Page 46: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 46 diffa

BUGARB

Tunanetra Juga Main Tenis Meja

OLAHRAGA tenis meja bukan hanya milik mereka yang bisa melihat. Tunanetra pun

bermain tenis meja. Jenis olahraga ini juga dipertandingkan di turnamen-turnamen olahraga untuk para penyandang disabilitas.

Meja dan Bola KhususOlahraga tenis meja biasanya

diajarkan di sekolah-sekolah luar biasa serta pusat-pusat rehabilitasi untuk tunanetra. Seperti halnya permainan tenis meja pada umumnya, tenis meja tunanetra juga dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan, baik single maupun double. Namun, peralatan yang digunakan tunanetra sedikit berbeda dari tenis meja yang dimainkan

orang yang tidak tunanetra. Ukuran bola tenis meja untuk

tunanetra sama dengan bola tenis meja pada umumnya. Perbedaannya, bola tenis meja tunanetra dilengkapi dengan gotri, yaitu biji-bijian sebesar kacang hijau dari logam, yang dimasukkan ke dalam bola. Fungsi biji-biji logam ini adalah sebagai sumber bunyi.

Saat bola dipukul atau menggelinding, biji-biji logam akan saling beradu dan menimbulkan bunyi. Bunyi ini membuat tunanetra yang bermain tenis meja mengetahui arah bola bergerak. Biji-biji logam itu membuat bola tenis meja tunanetra menjadi lebih berat dibandingkan bola tenis meja biasa.

Meja tenis untuk tunanetra juga berbeda. Sepanjang sisi meja dilengkapi jalur seperti parit kecil

Page 47: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

47EDISI 07-JULI 2011diffa

Tunanetra Juga Main Tenis Meja berpermukaan landai selebar kurang lebih 5 cm dengan kedalaman setengah besar bola. Parit kecil ini berfungsi sebagai tempat jatuh bola.

Dengan demikian, ukuran meja untuk tunanetra lebih lebar dibanding tenis meja biasa. Namun, ukuran areal meja sebagai bidang bermain pada dasarnya sama.

Di dalam parit tadi, baik sisi kanan maupun kiri, terdapat garis batas bola masuk yang berarti menambah poin angka atau bola keluar atau bola mati yang berarti tidak menambah poin. Pada parit yang berada di hadapan pemain terdapat “garis ganda”, yaitu garis yang memisahkan posisi pemain ganda. Kedua garis tersebut dibuat dalam bentuk timbul, sehingga dapat diraba tunanetra yang sedang bermain.

Peletakan net pada tenis meja tunanetra juga sedikit berbeda. Net

dipasang dengan posisi lebih tinggi, kurang lebih berjarak 4 cm di atas meja. Fungsi ruang yang lebih tinggi ini sebagai jalan bergulirnya bola dari satu sisi meja ke sisi lainnya. Dalam pertandingan, ketinggian net selalu dicek agar tidak mengganggu permainan atau merugikan pemain.

Bola Dipukul MendatarPerbedaan lain permainan

tenis meja tunanetra adalah cara memukul bola. Dalam permainan tenis meja tunanetra bola tidak dipukul memantul, tetapi dipukul mendatar ke arah lawan. Bola akan menggelinding, bergerak di atas meja ke arah lawan, melewati bawah net.

Tunanetra harus mengandalkan pendengaran, mendengar suara bola, mengikuti ke mana arah bola bergerak, lalu memukul balik bola ke arah lawan. Jika bola yang dipukul masuk ke dalam parit di sisi kanan

Page 48: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 48 diffa

atau kiri meja sebelum garis batas bola, berarti out atau bola keluar. Jika bola masuk ke parit setelah garis batas atau masuk ke parit yang terletak di hadapan lawan, berarti in atau bola masuk.

Sering terjadi, jika pemain memukul bola terlalu keras, saat melakukan smash misalnya, bola keluar melewati parit hingga jatuh ke lantai.

Gangguan suara menjadi tantangan tersendiri dalam pertandingan tenis meja tunanetra. Tak jarang, sorak-sorai penonton menenggelamkan suara bola, sehingga tunanetra tidak dapat mengikuti dengan baik arah bola menggelinding. Karena itu, sebelum pertandingan tenis meja tunanetra dimulai, wasit mengingatkan agar penonton menjaga ketenangan atau

tidak bersorak terlalu gaduh, agar tidak mengganggu pendengaran atlet yang sedang bertanding.

Sorak-sorai ini sering digunakan pendukung atau suporter sebagai strategi untuk mengganggu atau mengintimidasi lawan pemain yang mereka dukung. Dalam kondisi seperti ini, wasit berhak memperingatkan atau menegur para suporter.

Strategi Mengecoh LawanPerbedaan-perbedaan tersebut

membuat strategi atau taktik-taktik untuk mengecoh lawan atau memenangi permainan dalam tenis meja tunanetra juga berbeda. Antara lain, saat giliran memukul bola, memelintir bola sedemikian rupa, dengan cara memukul datar sambil menggeserkan tangan ke kanan atau

ke kiri. Dengan pelintiran seperti ini, bola yang berisi butir-butir logam menjadi tidak bersuara terlalu nyaring atau bahkan tidak bersuara sama sekali, sehingga lawan tidak dapat mendengar dengan baik dan terkecoh.

Tentu saja strategi ini hanya dapat dilakukan oleh pemain yang sudah piawai dan berpengalaman. Jika tidak, salah-salah malah bola keluar arena atau terpelanting, dan mati.

Pilihan jenis olahraga bagi tunanetra memang tidak banyak. Di antara pilihan yang sedikit itu, tenis meja adalah salah satu olahraga yang cukup digemari tunanetra. Selain menyehatkan, bermain tenis meja juga menyenangkan. Tidak harus pergi jauh dan tidak tergantung cuaca. * Aria Indrawati

Page 49: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

49EDISI 07-JULI 2011diffa

JENDELA J

Dalam sebuah surat yang ditulis komunitas tu-narungu di Yogyakarta, satu poin penting yang terkait dengan berb-

agai persoalan komunikasi antara pe-nyandang tunarungu dan orang non-tunarungu adalah kenyataan bahwa mereka dipaksa untuk memahami bahasa gerak bibir, sedangkan orang yang bukan tunarungu tak mau belajar bahasa isyarat. Ini memang sangat ti-dak adil, karena seharusnya ada upaya kedua belah pihak untuk saling belajar.

Persoalan bahasa isyarat menjadi makin rumit antara lain karena soal standar pun belum selesai. Belum lagi jika bicara soal kekhasan bahasa seperti unsur bahasa daerah di Indonesia yang sangat beragam, yang mengakibatkan kekhususan juga dalam bahasa isyarat daerah. Lalu bagaimana para tunarungu di negara maju seperti Amerika Serikat? Persoalannya tentu berbeda. Namun, sebagai perbandingan, kita bisa menyimak tulisan Kelly Nuxol di website Voice of Amerika berikut ini.

Sebuah penelitian di Amerika mengenai pengguna bahasa isyarat menunjukkan kemampuan baca rata-rata tunarungu dewasa sama seperti kemampuan baca anak usia 9 tahun. Di Amerika tunarungu tidak

Kemampuan Baca Tunarungu AS Rendah

bermasalah dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun, penelitian mengenai pengguna bahasa isyarat menunjukkan kemampuan baca rata-rata tunarungu dewasa sama seperti kemampuan baca anak usia 9 tahun.

Penjelasan mengenai hal itu biasanya, karena tunarungu tak pernah belajar menghubungkan abjad dengan bunyinya. Sebuah penelitian menunjukkan, pembaca tunarungu sama saja dengan orang yang belajar bahasa asing. Jill Morford, guru besar linguistik Universitas New Meksiko yang juga bekerja di pusat penelitian Universitas Gallaudet di Washington yang kebanyakan mahasiswanya tunarungu, memimpin penelitian itu. Ia menyatakan pengguna bahasa isyarat sama dengan orang yang bahasa pertamanya punya abjad berbeda, belajar bahasa Inggris.

“Setiap orang yang bahasa pertamanya punya sistem penulisan yang berbeda dari bahasa Inggris, seperti bahasa Arab, Mandarin, atau Rusia, tahu bahwa belajar mengenali dan memahami kata-kata dalam bahasa Inggris jauh lebih sulit daripada jika sudah terbiasa menggunakan bahasa dengan ortografi yang sama,“ kata Jill.

Ortografi adalah cara penulisan dan pengucapan suatu bahasa. Dalam hal pengguna bahasa isyarat, tentu saja, bahasa pertama mereka tidak punya sistem penulisan sama sekali, hanya isyarat tangan.

Guru besar pada Universitas Gallaudet, Tim Allen, menjelaskan pengaruh kemampuan berbahasa

isyarat pada kemampuan baca. “Kita tidak membahas bagian-bagian di otak yang berkaitan dengan pendengaran. Kita tahu, orang normal ketika membaca mereka juga mendengar. Namun, ketika seorang tunarungu membaca sebuah kata, ia melihat kata itu dan dari situ mengenal ortografi kata itu. Sebagian penelitian yang dilakukan di lembaga ini menunjukkan, ketika seorang tunarungu membaca sebuah kata bahasa Inggris, kata itu mengaktifkan bahasa isyarat untuk kata-kata itu,” ujarnya.

Pengguna bahasa isyarat bisa menghadapi masalah yang sama seperti orang yang bisa bicara dua bahasa. Otak mereka harus memilih dua bahasa sepanjang waktu. Contohnya kata “paper” dan “movie”. “Ejaannya dan artinya sama sekali berbeda, tetapi bahasa isyaratnya sama,” kata Profesor Allen.

Dari tulisan Kelly Nuxol, kita bisa mendapat gambaran bahwa persoalan bahasa isyarat di Amerika pun masih pelik. Terutama dalam kaitan dengan persoalan pendidikan yang sarana utama dan wajibnya adalah membaca. Situasi di negara kita jauh lebih kompleks dan pelik karena tidak ada upaya-upaya penelitian serius pihak yang memiliki kapasitas seperti universitas atau Pusat Bahasa yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Upaya penelitian seharusnya dilakukan agar persoalan-persoalan mendasar yang masih dihadapi tunarungu di Indonesia bisa mendapatkan solusi satu demi satu. (FX Rudy Gunawan)

Page 50: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 50 diffa

PUISIP

Catatan Redaksi:Khusus untuk karya puisi, cerpen dan cerita humor (cermor), Redaksi diffa mengutamakan karya penyandang disabilitas. Karena itu setiap pengiriman karya harap disertai identitas diri dan keterangan disabilitas.

EDISI 06-JUNI 2011 50 diffa

FIRMANMU HADIRKAN RINDU

Di kala petang membangunkankuAngin pun berbisik, gelap berceritaWaktu menorehkan warna untukkuDalam rahim malam kutemui bayangmu

Semu tapi ayuBerulang kali kupejamkan mataBayangmu tak runtuh juaKau masih setia memelukku dalam kesendirian

Bunda...Kini kumerindukanmuKuhaus akan kasih sayangmuBunda…Kuingin pulang saat ini jugaMelihat mekarnya senyummu di musim ini

Tapi aku tak berdaya untuk menghapus firmanNyaHuruf-huruf itu telah tertanam dalam lembaran putihDan aku hanya bisa berdoaBerharap rinduku tercair di musim ini

TONGKAT PUTIH

Ketika pena Tuhan menuliskanAku kehilangan penglihatanHanya tangis kesedihanYang mampu menyambut takdir Tuhan Namun itu adalah suatu kenyataanKenyataan terpahit yang harus aku telan

Gerimis pecahkan cakrawalaBersama harapanku sebagai tunanetraTongkat putih kuibaratkan sebuah mataBersamanya kuraih segala asa

Ketika Tuhan berencanaManusia tak lagi berdayaMenghentikan detik demi detik yang silih bergantiHidupku perjuangankuBersama tongkat putih kuarungi sang waktu

Tongkat putih sahabatkuPenuntunku penolongkuTanpa sebuah mata ku bisa mengukir bahagiaDi atas dira dan batu di tengah kehidupanku.

* Nita Eka Noviyanti, penyandang tunanetra kelas IX SLB A Aisyiyah, Ponorogo, Jawa Timur

Nita Eka Noviyanti

Page 51: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

51EDISI 07-JULI 2011diffa

CERMOR C

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

Untung Bareng Saya

Saya seorang tunadaksa. Suatu ketika pulang dari Jakarta bersama Pak Direktur. Beliau

dokter yang tidak menyandang disabilitas seperti saya. Sesudah check-in, kami menuju ruang tunggu, yang ternyata ada di lantai dua. Waktu itu fasilitas Bandara Soekarno-Hatta belum seperti sekarang. Hanya ada tangga naik dan sebuah lift yang bertanda symbol of access.

Ketika menuju ruang tunggu, Pak Direktur ternyata tidak lewat tangga seperti penumpang yang lain. Beliau baik hati menemani saya lewat lift yang khusus disediakan bagi penyandang disabilitas. Ketika di dalam lift beliau berkata, “Nah, untung to, kamu bareng saya. Bisa lewat lift.”

Lho, mestinya yang berkata begitu kan saya, batinku. Justru dia yang yang ikut-ikutan menggunakan

fasilitas untuk penyandang disabilitas. Tetapi saya segera sadar, perkataan pemimpin mewakili aspirasi anak buah. *

Kaki Aksesoris

Raharjo seorang penyandang disabilitas. Kedua kakinya sangat

kecil karena menderita polio ketika masih balita. Meskipun demikian, ia berstatus sebagai mahasiswa ISI Yogyakarta.

Siang itu ia sedang berada di terminal bus kota untuk berangkat kuliah. Orang-orang di terminal itu, terutama kondektur dan sopir bus, sudah biasa melihat Raharjo dan selalu siap menolong mengangkat kursi rodanya naik ke atas bus.

Siang itu ada penumpang baru yang akan naik bus bersama Raharjo dan sepertinya baru pertama kali melihatnya. Anak muda yang gagah itu terlihat heran melihat ada orang seperti Raharjo kok mau naik bus. Bagaimana naiknya? Bagaimana nanti dengan kursi rodanya? Mungkin begitu yang berkecamuk di benak anak muda itu, hingga tanpa sadar mengamati kaki Raharjo berlama-lama.

Raharjo sadar dirinya sedang diamati. Karena ia mahasiswa yang percaya diri, maka ia pun mendekati anak muda itu dan menegur. “Mas, jangan dilihati terus kaki saya,” ujarnya. “Biarpun kecil-kecil begini, ini sudah dipesan konglomerat, lho.”

“Untuk apa?” tanya anak muda itu geragapan, kaget bercampur heran.

“Buat aksesoris,” jawab Raharjo santai sambil cengengesan.

Kedua orang itu jadinya terlihat seperti orang yang sama-sama aneh dan tidak waras. ** Joko Slamet, sarjana ekonomi, staf PPRBM Prof. Dr. Soeharso, Solo. Pria berkursi roda ini aktif menulis dan siaran radio.

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

Page 52: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 52 diffa

CERPENC

Hati yang Mencari

EDISI 06-JUNI 2011 52 diffa

Oleh Galuh Ayu

Sebuah Jiwa sedang merenda asa dalam rajutan mimpi. Dengan cekatan ia membuat simpul-sim-pul itu menyatu menjadi selembar kain yang in-dah. Belum juga selesai Jiwa merajutnya, ada yang menghampirinya.

“Hai, Jiwa, kamu sedang apa?””Hai, Hati, aku sedang menyelesaikan rajutan ini,”

jawab Jiwa.”Kamu masih mengerjakannya, ya?” tanya Hati.”Iya.””Bukankah rajutan ini sudah sejak lama kamu

kerjakan, kan?” Hati penasaran.”Iya,” jawab Jiwa singkat, sambil terus merajut.”Apakah kamu tidak merasa lelah? Terus-menerus

merenda asa seperti ini?””Hmm..” Jiwa tersenyum menyambut pertanyaan

Hati. Kemudian dengan perlahan dia mulai menjelaskan. ”Kamu tahu Hati, kata lelah itu sudah aku buang jauh-jauh dari pikiranku.”

”Hah...?” Tampak Hati kebingungan.”Ya. Adakalanya aku merasa lelah dan berhenti

merenda. Namun, justru kehampaan yang aku rasakan ketika meninggalkannya,” ujar Jiwa sambil menatap Hati.

”Benarkah?”Jiwa mengangguk pelan, lalu melanjutkan kata-

katanya. ”Hanya dengan merenda asa-lah aku merasa hidup. Meskipun aku tidak pernah tahu kapankah asa-asa itu mampu kukenakan sebagai jubah kelegaanku.”

Hati hanya bisa memainkan bola matanya. Pertanda ia masih belum mengerti. ”Aku tidak mengerti.”

”Hati, kamu mungkin pernah mempunyai asa, kan?” tanya Jiwa.

”Pernah.””Sudahkah asamu itu menjadi kenyataan?””Belum.””Dan apa yang kamu lakukan jika asamu itu belum

terwujud?” ”Aku? Emmm... tidak melakukan apa-apa,” jawab

Hati jujur.”Teruslah merenda asamu.” Jiwa menggenggam

pundak Hati dengan tegas.”Sampai kapan? Aku lelah.” Hati mulai merajuk.”Sampai Jawaban dari asamu itu tiba.” ***Setelah mendengar kata-kata Jiwa, Hati tergerak

untuk mencari di mana Jawaban itu berada. Ia menyusuri jalan setapak, hutan, hingga pegunungan terjal. Namun Hati tak menemukan juga. Hingga akhirnya ia kelelahan dan sampai di suatu tempat.

***Di sebuah danau yang tenang, Hati terduduk diam

sambil menata nafasnya yang terengah-engah. “Duh, di mana, ya? “ Hati berkata perlahan.

“Apa yang kamu cari Hati? Sampai nafasmu terengah-engah seperti itu?” Bulan ternyata memperhatikan Hati dari atas langit, hingga membuat ia terusik untuk bertanya.

Tapi belum sempat Hati menjawab, Bintang ikut menimpali. “Iya, sedari tadi kamu mencari apa sih, Hati? Sampai terlihat kelelahan seperti itu?”

Hati, yang memandangi Bulan dan Bintang di pinggir danau itu hanya tersenyum, kemudian berkata, ”Hmm… aku sedang mencari Jawaban.”

“Jawaban...?” Serempak Bulan dan Bintang keheranan.

“Memangnya, ke mana perginya Jawaban?“ tanya Bintang.

“Aku sendiri juga tidak tahu,” jawab Hati sedih. “Aku bisa membantumu, Hati. Mungkin aku bisa

menemukan Jawaban yang kamu cari di belahan bumi yang lain, karena aku bisa melihat semua belahan bumi ini. Kamu jangan bersedih lagi, Hati!” Bulan mencoba menyemangati Hati.

“Terima kasih, Bulan. Kamu tidak perlu bersusah-payah membantuku, karena aku juga tidak tahu Jawaban itu ada di mana. Lagi pula kalian, Bulan dan Bintang, sudah banyak membantuku, dengan selalu menemani di setiap malam sepiku. Itu sudah cukup bagiku,” kata Hati kepada Bulan dan Bintang.

Page 53: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

53EDISI 07-JULI 2011diffa

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

Kemudian Angin malam berhembus melewati danau itu menerbangkan dedaunan hingga menerpa wajah Hati. Saat melihat dan menyadarinya, Angin pun berhenti lalu menyapa mereka bertiga.

“Hai Hati, Bulan, dan Bintang. Maaf, aku datang dengan terlalu kencang sehingga menerbangkan daun-daun ini dan mengenai wajahmu, Hati.”

“Ah, tidak apa-apa,” Hati menjawab sambil membersihkan daun-daun di wajahnya.

“Hei, Angin! Jangan seenaknya menerbangkan dedaunan itu hingga mengotori wajah Hati yang sedang sedih, tahu!” Emosi Bintang agak terpancing melihat perbuatan Angin kepada Hati.

“Apa? Hati sedang bersedih? Maafkan aku, Hati. Aku tidak sengaja melakukannya. Maafkan aku.” Angin memasang muka menyesal di depan Hati.

Hati hanya menggeleng sambil memperlihatkan senyumnya.

“Hei, Angin, apa kau tahu Hati bersedih karena ia sedang mencari sebuah Jawaban,” teriak Bulan kepada Angin.

“Jawaban?” Angin mengerutkan dahinya, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Ketika dahi Angin masih mengerut, tiba-tiba sebuah cahaya melesat secepat kilat melewati danau itu, hingga membuat keempat sahabat itu (Hati, Bulan, Bintang, dan Angin) tercengang sesaat.

“Apa itu?“ tanya Hati, setelah sadar dari keheranannya.

“Itu sang Waktu,” Angin menjawab.

“Siapa dia?” tanya Bulan ingin tahu.

“Dialah pembawa Jawaban yang kamu cari, Hati.” Angin berucap.

“Apa maksudmu?” Bintang juga ikut bertanya.

“Maksudku, Jawaban yang sedang dicari Hati sekarang ada pada sang Waktu,” jelas Angin.

Hati semakin tidak mengerti, dan kembali bertanya. ”Kalau memang benar begitu, mengapa Jawaban itu tidak diberikan padaku? Mengapa dia hanya

melewatiku saja?”Angin pun menjelaskan. ”Tentu saja ia hanya

melewatimu, karena sang Waktu tidak mau menghampirimu sekarang untuk memberikan Jawabanmu itu. Hanya sang Waktu-lah yang mengetahui kapan Jawaban itu akan kamu miliki. Jika saatnya telah tiba, maka sang Waktu pasti akan mau menghampirimu dan memberikan Jawaban itu padamu.”

”Lalu, bagaimana caranya agar sang Waktu mau datang menghampiriku?” Hati kembali bertanya.

“Kamu hanya perlu memiliki dua buah kunci agar sang Waktu mau datang menghampirimu,” sahut Angin.

“Kunci? Apa kunci itu?” tanya Hati, ingin tahu segera.

“Dua kunci itu adalah… sabar dan percaya.” ***

* Galuh Ayu, 26 tahun, berkursi roda, sarjana psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Kini bermukim di Semarang.

Page 54: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 54 diffa

KREASIK

KaryaIVAN S SITORUS

Siswa Sekolah Madania

Page 55: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

55EDISI 07-JULI 2011diffa

S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A Ndiffa

FORMULIR BERLANGGANAN

MAJALAH

NOTE:Setelah formulir ini diisi, harap di fax, email atau kirim langsung ke redaksi beserta bukti pembayarannya. Harga diatas adalah untuk biaya pengiriman dan hanya berlaku untuk wilayah Jakarta, silahkan hubungi kami untuk pengi riman di luar Jakarta.Alamat Redaksi Diffa: Jl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430Telepon 62 21 44278887 Faxs 62 21 3928562

!

www.majalahdiffa.com

PT Diffa Swara MediaJl. Salemba Tengah 39 BB Lt. 2Jakarta Pusat 12430 Telp. 62 21 44278887 Fax. 62 21 3928562email: [email protected]

DATA PELANGGAN Nama Lengkap : No. KTP : Laki-laki Perempuan Tanggal Lahir : Alamat sesuai KTP : Kota : Kode Pos : Telp Ktr/Rmh: Hp: E-mail : Ingin berlangganan majalah :

6 bulan 12 bulan

ALAMAT PELANGGAN Alamat : Kota : Kode Pos : Telepon :

qq 4Beri tanda pada pilihan

q q

* berlangganan 6 bulan, cukup bayar 5 bulan tidak termasuk ongkos kirim ** berlangganan 1 tahun, cukup bayar 10 bulan tidak termasuk ongkos kirim

PT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610Telepon 62 21 4204402, 4262318Fax 62 21 4269263

Sirkulasi dan Distribusi

Redaksi

Pembayaran dapat ditransfer ke Bank BNI cabang Cibinong Nomor Rekening: 0209611833 atas nama FX. Rudy Gunawan

Page 56: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

BIOGRAFIB

56 EDISI 06-JUNI 2011 diffa

ANDREA BOCELLI

Pada Minggu 15 Mei 2011 Andrea

Bocelli mengadakan konser di Jakarta.

Ini sebuah kehormatan besar, mengingat

penyanyi tunanetra berkebangsaan Italia ini

merupakan salah satu penyanyi tenor yang

digandrungi di seluruh dunia.

Page 57: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

57EDISI 07-JULI 2011diffa

(foto : daylife, okezone)

Pada Minggu 15 Mei 2011 Andrea Bocelli mengadakan konser di Jakarta. Ini sebuah kehormatan yang besar, mengingat penyanyi tunanetra berkebangsaan Italia ini merupakan salah satu penyanyi tenor yang digandrungi di seluruh dunia.

Harga tiket konsernya sungguh fantastis, Rp 2,5 juta hingga Rp 25 juta. Dan konser super mahal yang diselenggarakan di Hotel Ritz-Carlton tersebut memang menghasilkan pertunjukan yang menakjubkan. Tentu saja harga tiket sesuai dengan kapasitas Andrea Bocelli sebagai salah satu penyanyi tenor kebanggaan dunia. Disabilitas yang disandang sama sekali tidak menjadi penghalang Andrea Bocelli dalam meraih kesuksesan.

Seperti dilansir beberapa media, konser Andrea Bocelli di Jakarta itu sukses besar. Konser diiringi Magenta Orchestra dan dihadiri 3.000 penonton. Pada salah satu segmen, penyanyi Dira Sugandi asal Indonesia mendapatkan kesempatan berduet dengan Bocelli. Dira menuturkan, saat pertama kali bertemu dan menjelang manggung dia menangis saking menggandrungi penyanyi tenor ini. Namun Bocelli terus berusaha menenangkannya. Dira dan Bocelli berduet menyanyikan lagu The Prayer. Dalam konser ini Bocelli juga berduet dengan penyanyi Elena Rossi dan Hayley Westenra yang diboyong dari Italia. Bocelli juga membawakan Time To Say Goodbye, salah satu lagu terpopuler yang pernah dibawakan bersama Sarah Brightman.

Sejarah HidupAndrea Bocelli lahir di

Lajatico,Toscana, 22 September 1958. Bocelli mempunyai suara khas Italia yang keras nan

lembut dan disukai banyak orang dari segala penjuru dunia. Dia sering tampil di panggung-panggung opera. Penyanyi yang mendapatkan Guiness World Record atas prestasinya sebagai pemusik klasik pertama di dunia ini saat merintis karier pernah menjadi pianis bar untuk membiayai kuliahnya.

Lajatico, kota kelahiran Bocelli, dekat dengan kota Pisa. Bocelli kecil tinggal di perkebunan zaitun dan anggur milik orang tuanya yang merupakan keluarga penganut Katolik yang taat. Sejak anak-anak Bocelli menjadi pemain organ di gereja. Bocelli sejak lahir menderita congenital glaucoma, penyakit yang ditemukan saat kelahiran atau segera setelah kelahiran. Penyakit ini biasanya disebabkan sistem saluran pembuangan cairan di dalam mata yang tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya tekanan bola mata meningkat terus

dan menyebabkan pembesaran mata sehingga bagian depan mata berair dan berkabut dan peka terhadap cahaya.

Pada umur 12 tahun Bocelli mengalami kebutaan total akibat penyakit tersebut, yang juga didukung kecelakaan saat bermain sepak bola. Namun kebutaan tidak menghalangi Bocelli meraih gelar doktor ilmu hukum yang sempat berpraktik sebagai pengacara. Berkat dorongan motivasi dari ibunya, Bocelli meraih gelar doktor ilmu hukum di Universitas Pisa dengan mempelajari dokumen berhuruf Braille.

Awal KarierPada usia enam tahun,

Bocelli mulai belajar piano, flute, saksofon, terompet, trombon, harpa, gitar, dan drum. Awal kariernya sebagai sebagai penyanyi adalah ketika memenangi lomba menyanyi

Page 58: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 58 diffa

Margherita d’Oro di Viareggio dengan lagu O Sole Mio. Saat itu ia masih berusia 14 tahun dan telah dua tahun mengalami kebutaan.

Bocelli sangat mencintai lagu-lagu klasik sehingga mendekati Franco Corelli, penyanyi klasik papan atas idolanya, untuk menjadi gurunya dalam olah suara dan membantu meniti karier di dunia musik klasik. Ia juga bekerja sama dengan berbagai penyanyi klasik Lucianno Pavarotti, Jose Carreras, serta diva pop dunia Celine Dion.

Bocelli memulai karier bermain piano di bar-bar lokal untuk membiayai pelajaran menyanyi dan kuliah di jurusan hukum Universitas Pisa. Setelah mengikuti kelas master menyanyi yang diselenggarakan Franco Corelli di Turin, Bocelli memulai debutnya di panggung opera Verdi’s Macbeth yang disutradarai Claudio Desderi dan Wisata Pisa garapan Mantova Lucca dan Livorno. Tahun 1993 Bocelli menandatangani kontrak rekaman pertama. Lagunya yang paling terkenal adalah Con Te Partirò (Time to Say Goodbye), yang dibawakan duet dengan Brightman. Bocelli juga pernah menyanyikan lagu di depan Paus.

Sukses Bocelli tidak lepas dari peran Luciano Pavarotti. Ceritanya, pada tahun 1992 musisi rock Zucchero membuat demo tape lagu Miserere dengan suara Bocelli dan mengirimkannya kepada Pavarotti. Ternyata Pavarotti justru menyarankan Zucchero berkolaborasi dengan Bocelli.

Di dunia musik internasional nama Bocelli dikenal ketika berduet dengan penyanyi sopran Sarah Brightman menyanyikan Time to Say Goodbye. Di tahun 1998 Bocelli bersama Celine Dion berkolaborasi dalam lagu The Prayer. Lagu ini memenangi penghargaan Kusala Golden Globe sebagai lagu latar terbaik dalam film Quest for Camelot. Bocelli juga berkolaborasi dengan Bono, vokalis grup band U2, dalam versi Inggris lagu L’Incontro.

PernikahanPada tahun 1992 Bocelli

menikah dengan Enrica Cenzatti dan dikaruniai dua anak, Amos dan Matteo. Pasangan ini berpisah pada tahun 2002. Walaupun sudah berpisah dari Enrica, dia tidak segera menikahi Veronica Berti. Bocelli dan tunangannya itu tinggal di sebuah vila yang juga digunakan sebagai hotel, lengkap dengan studio musik. Mantan istri dan dua anaknya tinggal di kawasan yang sama namun di vila berbeda.

Meski telah menjadi penyanyi terkenal, Bocelli tidak luput dari kritik. Kritikus Bernard Holland menilai nada suara Bocelli serak dan terlalu tipis. Gerakannya juga kurang nyaman dan berlebihan saat menyanyikan nada-nada tinggi. Kritikus Andrew Clement mengatakan intonasi suara Andrea kurang jelas saat bernyanyi dan kurang ekspresi saat bernyanyi. Kritikus Steve Smith mengatakan suara Bocelli menyenangkan dan pitch control-nya aman, namun suaranya kecil. Suaranya terkesan memberontak, namun ekspresif.

Selama berkarier di bidang musik, Bocelli menghasilkan banyak karya dan mendapat penghargaan. Dia dianugerahi

Order of Merit of the Italian Republic (2006) dan Order of Merit of Duarte, Sanchez, and Mella dari Republik Dominika. Pada 2 Maret 2010 nama Andrea Bocelli dipahatkan di Walk of Fame Hollywood. Bocelli menyanyikan banyak lagu untuk soundtrack film. Antara lain Wanted (2008), Ronin (1998), Blades of Glory (2007), Quest for Camelot (1998), The Lazarus Child (2005), The 71st Annual Academy Awards (1999), The Sopranos: Commendatori (2000), Vajont - La diga del disonore (2001), Chocolate com Pimenta (2003), Sarah Brightman in Concert (1998), Cuando me enamoro (2010), The Clone: Episode 1.1 (2001).

Bocelli juga meraih beberapa penghargaan. Di antaranya Emmy Awards pada tahun 2000 untuk nominasi Emmy Outstanding Classical Music-Dance Program, kerja sama dengan David Horn, Jac Venza, Costa Pilavachi, Clive Bennett, John Walker, Myung-Whun Chungdalam episode Andrea Bocelli: Sacred Arias. Golden Lion Awards tahun 1997 memberikan penghargaan khusus Bocelli untuk komposisi lirik dan penampilan lagu It’s Time to Say Goodbye. Bocelli juga masuk daftar Guinness World Records karena meraih posisi 1, 2, dan 3 secara berturut-turut di daftar album klasik Amerika Serikat. *(Asrini Mahdia)*Sumber:Wikipedia.com, okezone.com, detik.comJC, Chen Luph. 2010. Andrea Bocelli. http://chen2mira-cle.blogspot.com/2011/01/andrea-bocelli.html. Accessed April.03.2011 at 09.23 a.m.

�Magwire, T.J. 2010. Biography for Andrea Bocelli. http://www.imdb.com/name/nm0004765/bio. Accessed April.03.2011 at 09.30 a.m.

Page 59: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

59EDISI 07-JULI 2011diffa

BISIKAN ANGINB

MUHAIMIN ISKANDAR

MENTERI Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin

Iskandar, adalah menteri pertama yang tak segan mengakui ia tak menduga ternyata penyandang disabilitas di Indonesia sangat banyak. “Wah, kalau menurut perhitungan statistik WHO jumlahnya bisa mencapai 10 persen jumlah penduduk. Ini sungguh angka yang besar. Sangat besar untuk jumlah penduduk negara kita,” kata Muhaimin di kantor Kementerian Kerja dan Transmigrasi. Dalam obrolan dengan diffa, Muhaimin tidak berhenti pada terkejut saja mengetahui estimasi jumlah angka penyandang disabilitas

di Indonesia. Segera ia meminta sejumlah staf agar mengambil langkah-langkah yang mendukung pemberdayaan penyandang disabilitas dalam hal pemenuhan hak-hak mereka.

Salah satu staf Menteri yang mengurusi balai latihan kerja pun memberikan laporan bahwa sudah ada program untuk membuat modul-modul pelatihan bagi penyandang disabilitas. “Saat ini modul masih dalam proses pematangan, Pak,” kata staf itu. Mendengar laporan itu, Muhaimin yang juga salah satu menteri termuda di kabinet saat ini, terlihat sedikit lega. Masalahnya, fakta bahwa para penyandang disabilitas sangat terpinggirkan hak-hak ekonominya, terutama hak untuk mendapat pekerjaan, memang masih menjadi masalah besar di

Indonesia. Tentu kondisi ini akan menjadi tugas dan tantangan bagi siapa pun yang menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi negara ini. “Tapi Kemenakertrans sudah memulai langkah awal dengan memberikan penghargaan pada perusahaan-perusahaan yang menerima tenaga kerja penyandang disabilitas,” tutur Muhaimin kepada diffa.

Syukurlah. Itu sungguh merupakan langkah awal yang baik dan penting. Yang kerap dilupakan banyak orang adalah bahwa sebenarnya para penyandang disabilitas juga memiliki kemampuan yang sama untuk bekerja dan bahkan bisa memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang bukan penyandang disabilitas. (frg)

Page 60: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 60 diffa

RAGAMR

Diffa di Radio Netherland

Kehadiran diffa mulai mendapat perhatian dari media luar negeri. Pada 25

Mei 2011 Junito Drias, video jurnalis dari Radio Netherland Seksi Bahasa Indonesia, melakukan liputan mendalam tentang diffa di kantor redaksi Jalan Salemba Tengah, Jakarta Pusat.

Drias khusus datang dari Negeri Belanda untuk meliput diffa. Menurut jurnalis asal Manado ini, penghormatan dan perhatian masyarakat Belanda terhadap

persoalan disabilitas memang luar biasa. Perhatian itu juga tergambar dalam siaran-siaran dan liputan Radio Netherland.

Drias mengaku prihatin karena perhatian media di Indonesia terhadap masalah disabilitas sangat kecil. Hal itu ia simpulkan dari memeriksa berita-berita di internet dan wawancara dengan beberapa media. “Masa media di Indonesia ada yang belum tahu ada majalah diffa. Ini memprihatinkan. Media Indonesia terlalu banyak berkutat dengan isu politik dan ekonomi,” ujarnya.

Dalam liputannya, Drias merekam kegiatan rapat redaksi

dan melakukan wawancara khusus dengan Irwan Dwi Koestanto, redaktur diffa yang menyandang tunanetra. Juga dengan Nuning Purnamaningsih dan Mila Kartika, relawan yang membacakan konten majalah diffa untuk versi audio.

Drias mengaku kagum atas kehadiran diffa, yang sudah terbit tujuh edisi, tanpa penyandang dana besar, demi membela dan menyuarakan persoalan kaum disabilitas. “Ini persoalan urgen yang sudah lama diabaikan. Ini kerja luar biasa,” katanya. * Nestor

Page 61: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

61EDISI 07-JULI 2011diffa

Kunjungan Sekolah Madania

Awal Juni 2011 rombongan guru dan murid dari Sekolah Madania, sekolah berstandar

internasional yang berlokasi di kompleks Telaga Kahuripan, Parung, Bogor, berkunjung ke kantor redaksi diffa. Rombongan terdiri atas lima guru dan enam murid berkebutuhan khusus, plus beberapa pendamping di bawah pimpinan Ade Tuti Turistiati, Head of Educational Support Madania. Mereka ingin menambah ilmu tentang seluk-beluk mengelola media. Selain ingin tahu lebih banyak tentang majalah diffa,

Madania adalah sekolah

berfasilitas modern yang sejak berdiri, tahun 1996, mengusung konsep inklusi. Dari total 700-an siswa (dari SD hingga SMA), sekitar 50-an di antaranya siswa berkebutuhan khusus. Mereka dilayani dengan program belajar-mengajar dan fasilitas yang juga dirancang secara khusus.

Dalam kunjungan ini, Jonna Damanik menjelaskan latar belakang dan seluk-beluk manajemen penerbitan diffa sebagai media perjuangan kesetaraan disabilitas di Indonesia. Nestor Rico menjelaskan proses liputan isi dan produksi. Adrian menuturkan proses pemotretan sampul dan isi. Nuning menceritakan proses pembacaan isi majalah diffa untuk versi audio.

Pada guru dan siswa Madania antusias dan banyak bertanya. Para

siswa juga menunjukkan karya mereka berupa cerpen, puisi, dan lukisan untuk dimuat diffa.

Di akhir kunjungan Bang Nestor menunjukkan contoh praktik kerja produksi diffa. Ia menulis langsung berita tentang kunjungan rombongan Madania. Tulisan tersebut bersama foto pertemuan kemudian dibawa ke komputer desain. Didoth, ilustrator, kemudian mengolah tulisan dan foto di komputer. Tak lama selesai sudah satu halaman rubrik Ragam seperti halaman ini.

Para guru dan siswa Madania pulang dengan rasa senang. Tak kalah menyenangkan, Madania menawarkan akan menyalurkan 50 hingga 75 eksemplar majalah diffa tiap terbit untuk siswa dan orang tua di Madania. Wah, terima kasih. * Nestor

Page 62: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 62 diffa

INKLUSIFI

Rintisan Kelas Inklusi dari Surabaya

PAGI menjelang siang itu suasana di Sekolah Dasar Negeri Klampis Ngasem 2, Surabaya, ramai. Ratusan siswa

asyik bermain di lapangan basket dan di ruang kelas. Saat itu memang sedang jam istirahat.

Sepintas suasana itu sama dengan suasana di sekolah dasar pada umumnya. Tapi sesungguhnya ada yang berbeda di sekolah ini. Di sudut sekolah tersebut ada ssebuah ruangan khusus berlabel “Kelas Inklusi”.

Page 63: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

63EDISI 07-JULI 2011diffa

Rintisan Kelas Inklusi dari SurabayaRuang kelas berpintu hijau

ini disediakan khusus untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang belajar di SD negeri itu. Di kelas ini tercatat 23 siswa inklusi dari kelas I hingga VI. Mereka terdiri atas penyandang tunagrahita (7 siswa), autistik (2), disleksia (4), tunalaras (1), redartasi mental (2), dan disabilitas lain (8 siswa).

Para siswa ABK ini tidak selamanya berkutat di ruang kelas khusus inklusi. Jika emosi mereka baik, para guru memperkenankan mengikuti pelajaran di kelas reguler. Namun, jika para emosi siswa inklusi sedang tidak stabil, mereka akan belajar di ruangan khusus itu. “Kami akan melihat dulu perkembangan siswa. Jika memang tidak stabil, kami akan menempatkannya di kelas inklusi,” kata Sri Widayati, Kepala SDN Klampis Ngasem 2.

Imbas Tugas InklusiKelas inklusi di SDN Klampis

Ngasem 2 resmi dibuka pada tahun ajaran 2004 - 2005. Menurut Sri Widayati, kehadiran kelas inklusi di sekolah yang berdiri sejak tahun 1979 ini merupakan imbas dari status sekolah inklusi percontohan di SDN Klampis Ngasem 1. Kelas inklusi di SDN Klampis Ngasem 1 dinilai tidak cukup menampung siswa inklusi dari di wilayah Kecamatan Sukolilo, sehingga sebagian dilimpahkan ke SDN Klampis Ngasem 2.

Kelas inklusi di SDN Klampis Ngasem 2 dikategorikan sebagai

Page 64: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 64 diffa

kelas inklusi mandiri. Artinya, sekolah diperbolehkan meminta tambahan dana kepada wali murid, apabila ada keperluan mendesak. Kurikulum kelas inklusi ini memakai sistem modifikasi, penggabungan antara kurikulum reguler dan inklusi.

Ruangan kelas inklusi ini di lantai dasar, berdekatan dengan kelas-kelas reguler. Hal itu disengaja agar siswa inklusi mudah bersosialisasi dengan siswa lain. Namun fasilitas dan suasana kelas inklusi dibuat berbeda dari kelas regular.

Di kelas-kelas reguler, fasilitas yang ada hanya bangku guru dan siswa serta papan tulis. Di kelas inklusi ruangan dibagi menjadi beberapa bagian. Di antaranya tiga ruangan untuk fisioterapi. Sebuah ruangan kelas bersama yang dilengkapi peralatan bermain, rak buku, serta televisi lengkap dengan pemutar VCD. Satu lagi ruangan untuk pelajaran keterampilan. Hasil keterampilan siswa ABK seperti kertas tempel dan gambar berwarna dipajang di dinding.

Fasilitas TerbatasTiga guru mengajar dan

mendampingi 23 siswa kelas inklusi tersebut. Mereka adalah Vini Rianti Ningsih, Ike Septaria, dan Sumarmi. Dari ketiga guru ini hanya Vini Rianti yang berijazah kualifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sedangkan Ike berijazah Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PGTK) dan Sumarmi lulusan SMA.

Menurut Vini Rianti, komposisi guru dan siswa di kelas inklusi itu belum ideal, bahkan tergolong sangat minim. Idealnya, pada kelas inklusi, satu guru mendampingi satu siswa, terutama jika siswa yang

mengalami kesulitan konsentrasi belajar (ADHD) tinggi. “Tiga guru mengajar 23 siswa inklusi itu sangat kurang.”

Apa boleh buat, di sekolah yang termasuk proyek rintisan percontohan kelas inklusi di Surabaya ini jumlah siswa berkebutuhan khusus terus

meningkat. Pada tahun 2009 hanya ada 2 siswa inklusi dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 4 siswa. Pada tahun ajaran 2011 – 2012 diperkirakan akan bertambah.

Menurut Sri Widayati dan Vini Rianti, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru dan sekolah yang mendapat tugas mengemban misi

Page 65: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

65EDISI 07-JULI 2011diffa

dekat itu adalah pengaturan suasana belajar di kelas. Guru dan siswa kelas inklusi SDN Klampis Ngasem 2 tidak harus duduk di kursi secara formal. Kadang mereka duduk melingkar agar lebih dekat dan akrab. Tak kalah penting, guru harus memperhatikan media belajar dan menyusun rencana harian untuk setiap siswa.

Pada awal masuk, rata-rata siswa inklusi kesulitan menerima pelajaran dan bersosialisasi dengan lingkungan sekolah. “Tapi pelan dan pasti mereka menjadi pribadi yang lebih mandiri dan mampu bersosialisasi dengan baik,” kata Vini Rianti.

Sri Widayati menyatakan itulah salah satu parameter sekolah inklusi. Bisa meningkatkan kemampuan siswa, baik dari segi akademik maupun kemampuan sosialisasi dengan lingkungan. Dan yang tak kalah penting, penerimaan siswa reguler terhadap siswa inklusi. “Kami selalu memberikan pemahaman kepada siswa reguler agar menerima siswa berkebutuhan khusus, tidak memandang remeh, atau melakukan diskriminasi,” ujarnya.

Jalan Masih JauhMenurut Sri Widayati, masih

banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kelas inklusi. Antara lain, pemerintah perlu meningkatkan jumlah dan kualitas guru untuk kelas inklusi. “Apalagi guru yang mengambil jurusan pendidikan luar biasa di Surabaya sangat minim. Guru yang mengambil studi untuk pendidikan normal sering kali menyamaratakan siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus.”

Hal lain, pemerintah perlu

lebih memperhatikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi siswa inklusi. Juga soal pengaturan ujian nasional bagi siswa berkebutuhan khusus yang belum baku sehingga membingungkan. Ujian nasional menjadi salah satu kendala bagi siswa berkebutuhan khusus dan sekolah. “Diharapkan segera ada kejelasan soal ujian, baik di tingkat lokal maupun nasional,” ujar Sri Widayati.

Persoalan lain yang perlu menjadi perhatian serius adalah sarana dan prasarana, termasuk menyesuaikan kondisi fisik gedung dan lingkungan sekolah agar akses bagi siswa berkebutuhan khusus. Jika ada siswa tunanetra, perlu buku-buku dengan huruf Braille atau digital. Belum lagi kebutuhan beberapa jenis terapi, sesuasi jenis disabilitas siswa. Penting juga membangun iklim sosial dan psikologis yang kondusif antara guru, siswa reguler, dan siswa berkebutuhan khusus.

Sesungguhnya pengadaan kelas inklusi saja belum cukup. Meskipun demikian, pengadaan kelas inklusi seperti di SDN Klampis Ngasem 2 membesarkan hati. Ini merupakan potret kecil adanya usaha pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

Idealnya, kelas inklusi seharusnya ada di semua sekolah, mulai dari SD, SMP, hingga SMA, bahkan perguruan tinggi. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku dunia pendidikan wajib memikirkan dan mewujudkannya. Sebab, seperti diamanatkan konstitusi kita, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Termasuk anak berkebutuhan khusus. * Yovinus GW

inklusi. Pertama, guru dituntut kreatif dan selalu memiliki gagasan untuk mendukung kebutuhan dan minat anak yang berbeda dan unik. Guru juga harus bisa menjalin hubungan yang jauh lebih ramah dengan siswa inklusi.

Salah satu contoh dari sikap kreatif dan hubungan yang lebih

Rintisan Kelas inklusi dari Surabaya

Page 66: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 66 diffa

PINDAIP

Layanan Low Vision Pertuni

MENYANDANG low vision atau kondisi nyaris buta, lepas dari persoalan medis,

mengandung problem kehidupan sosial yang tak kalah sulit, yaitu bagaimana memanfaatkan sisa penglihatan secara fungsional untuk menjalani aktivitas kehidupan.

Dua Unit Layanan Low Vision Persatuan Tunanetra Indonesia (ULLVP), di Jakarta dan Yogyakarta, mengemban misi dan memberikan layanan dalam penanganan masalah fungsional sosial ini. Mereka melakukan langkah-langkah sistematis dalam mendeteksi serta penanggulangan pasca menderita low vision.

Menurut Agus Teguh Riyanto, 53 tahun, Koordinator ULLVP

Page 67: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

67EDISI 07-JULI 2011diffa

merangkap Manager Unit Jakarta, kegiatan yang mereka lakukan mestinya menjadi model program yang lebih besar dan berjangkauan luas, karena jumlah penyandang low vision di Indonesia cukup besar.

“Jumlah anak-anak penyandang low vison sangat besar. Tiga kali angka kebutaan. Kalau angka kebutaan 1,5 persen dari jumlah penduduk, berarti 3 juta. Maka jumlah low vision sekitar 9 juta,” ujar Agus ketika ditemui di kantor ULLVP Jakarta di Jalan Poltangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Layanan HibahProgram Unit Layanan Low

Vision Pertuni bermula dari layanan yang dirintis mendiang Daniel Inverso, pengusaha asal Amerika, pada tahun 1998. Daniel yang beristrikan orang Indonesia mendirikan layanan low vision di bawah Yayasan Pelayanan Anak Cacat Penglihatan (YPACP). Yayasan

ini membuka unit dan memberikan layanan low vision di empat kota, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya.

YPACP aktif memberikan layanan selama enam tahun, hingga berhenti pada Oktober 2004. Karena yayasan tidak boleh dijual, lembaga ini kemudian dihibahkan kepada Pertuni. Namun, yang dihibahkan hanya dua unit cabang, yaitu Jakarta dan Yogyakarta. Sejak 1 November 2004 kegiatan lembaga ini resmi di bawah Pertuni dan diberi nama Unit Layanan Low Vision Pertuni (ULLVP).

Menurut Agus, yang dipercaya menjadi koordinator dua unit ULLVP sekaligus Manajer Unit Jakarta sejak di bawah Pertuni, kegiatan pelayanan yang diberikan lembaga yang dipimpinnya lebih banyak bersifat sosial daripada medis. Antara lain memberikan pelatihan kepada para guru, dokter dan paramedis, pekerja sosial, serta

masyarakat untuk melakukan deteksi dini dan membantu para penyandang low vision.

Jika ada yang terdeteksi dan kemudian dirujuk ke ULLVP, lembaga ini akan membantu penyandang low vision mengoptimalkan fungsi penglihatan yang tersisa. Misalnya, menentukan memakai alat bantu apa dan melatih memanfaatkan alat tersebut agar tetap bisa menjalani kehidupan, belajar, atau bekerja. “Jadi, inti pelayanan kami sebenarnya sebelum dan sesudah penanganan medis,” jelas Agus.

Berbagai Area TangkapanDalam menjalankan misi

dan tugas pelayanannya, ULLVP melakukan berbagai langkah yang sistematis dan berlangsung sejak masih di bawah YPACP. Langkah pertama adalah mencari atau menemukan penderita low vision di sekolah, rumah sakit, atau di masyarakat. Misalnya di sekolah, ada pemeriksaan mata. Jika ada ada yang terjaring, dirujuk terlebih dulu ke dokter mata untuk menentukan apakah perlu tindakan medis atau tidak. “Kalau setelah tindakan medis penglihatannya tidak menjadi normal, baru kami yang tangani,” kata Agus.

Begitu pula di masyarakat. ULLVP memakai alur rujukan kesehatan yang sudah berlaku, dari posyandu dirusuk ke puskesmas, lalu ke rumah sakit daerah. “Kalau misalnya sudah dioperasi, sudah tidak bisa ditangani dokter, kemudian dirujuk ke sini. Jadi, sudah tersistemasi, sudah ada alurnya,” ujar Agus.

Menurut pekerja sosial lulusan Sekolah Tinggi Pekerja Sosial Widuri Jakarta ini, sistem tersebut bisa berjalan karena ULLVP sudah belasan tahun berupaya memasyarakatkannya. Selain bekerja sama dengan beberapa rumah sakit, ULLVP membentuk beberapa area tangkapan pelayanan. ULLVP Jakarta, misalnya, memiliki area tangkapan pelayanan di Depok, Sukabumi, Bogor, Bekasi, Cikampek, Serang, dan Tangerang. Di area-area ini ULLVP memberikan kampanye penyadaran kepada dokter, guru, pekerja sosial, dan sebagainya. “Kami sudah berjuang memasyarakatkan,” kata Agus.

Persoalannya, menurut Agus, tidak semua orang memiliki

Page 68: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 68 diffa

kesadaran untuk menolong penderita low vision. Bahkan, menurut ayah dua anak yang sudah berpengalaman di berbagai jenis pekerjaan sosial, banyak dokter mata yang tidak tahu harus menyalurkan penyandang low vision ke mana. Problem utamanya, ada perbedaan pandangan kebutaan antara klinis dan fungsional. Misalnya, pada dokter mata, jika tidak bisa melihat dalam jarak 3 meter, sudah tidak bisa dioperasi, dianggap buta. “Padahal, kalau di sini, itu masih kami kategorikan low vision. Walaupun hanya bisa melihat cahaya, kami masih bisa dan usahakan menolong.”

Langkah PelayananDengan sistemasi yang sudah

diterapkan sejak lama, ULLVP berusaha melaksanakan pelayanan low vision dengan cara seefisien dan seefektif mungkin. Jika ada penyandang low vision yang datang atau dikirim, pertama kali dilakukan pemeriksaan klinik untuk menentukan penglihatan terbaik dengan kaca mata atau alat bantu optik yang lain. Pelayanan ini diberikan refraksionis atau ahli optik.

Langkah berikutnya adalah pelayanan fungsional untuk menentukan dan melatih penglihatan klien. Jika anak-anak, akan dinilai kemampuan atau kesadaran melihat, kemampuan memfokuskan pandangan, kemampuan mengikuti benda yang bergerak, atau mengalihkan suatu fokus ke fokus lain, dan berbagai kemampuan visual yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan instruktur atau pekerja sosial yang sudah terlatih.

Berikutnya adalah bimbingan

personal untuk kebutuhan proses belajar-mengajar. Misalnya untuk membaca dan menulis. Pengertian membaca dan menulis ini termasuk pemahaman. “Ini sering kali dilupakan. Orang bisa membaca, tapi tidak memahami,” kata Agus. Termasuk di sini memberikan saran kepada guru di sekolah. Misalnya, perlu modifikasi ruangan atau kelas sesuai kebutuhan si anak. Konseling ini diberikan trainer guru atau pekerja sosial yang sudah terlatih.

Jadi, tidak ada dokter dokter mata? “Wah, tidak. Kami malah melatih dokter untuk masalah low vision, melatih refraktionis. Karena kami melatih, dia membayar,” ujar Agus sambil tertawa.

Banyak Target Minim TenagaULLVP melakukan langkah-

langkah layanan tersebut dengan tenaga personal seefisien mungkin. ULLVP Jakarta, misalnya, hanya memiliki tujuh staf, sudah termasuk tenaga administrasi, sopir, dan pelayan kantor. Agus merangkap trainer sosial. Hanya tenaga refraksionis yang dua orang.

Dengan tenaga seminum itu, ULLVP diberi target pelayanan 250 anak per tahun. “Target kami, 75 persen memang anak-anak. Tapi kami juga tidak melupakan orang dewasa. Biasanya yang kami follow-up sekitar 350 orang. Jakarta sama Yogya sekitar 700-an orang. Ya, target itu rata-rata tercapai,” kata Agus.

Menurut Agus, target layanan ULLVP memang terbatas, mengingat kemampuan dana. Untuk operasional ULLVP, Pertuni mendapat bantuan dana dari Christofel Blinden Mission (CBM), lembaga sosial yang berpusat di Jerman. Selebihnya dari kontribusi orang yang mereka layani. “Keluarga yang mampu, ya harus

membayar. Yang tidak mampu kami bantu. Subsidi silang. Karena dari pemerintah kami belum dapat sesen pun.”

Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, yang juga aktif dalam kegiatan sosial gereja ini menilai kondisi dan realitas dunia disabilitas di Indonesia masih memprihatinkan, termasuk dalam jenis low vision. Terlebih, seperti dikemukakan di atas, jumlah penyandang low vision di Indonesia tergolong sangat besar. “Dari sekitar 9 juta penyandang low vision, yang membutuhkan layanan low vision kurang lebih 50 persen atau sekitar 5 juta orang,” kata Agus

Angka disabilitas memang besar dan memprihatinkan. Apa mau dikata... Unit Layanan Low Vision Pertuni hanya bisa meraih sejauh yang mampu dijangkau. * Nestor

Page 69: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

69EDISI 07-JULI 2011diffa

Page 70: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 70 diffa

PELANGIP

Ilust

rasi

: Did

i Pur

nom

o

Mimpi Anak Masa Depan Bangsa

DI sebuah kota kecil di Pulau Timah, seorang bayi menyapa dunia dengan tangisan pertama. Bayi ini

didiagnosis dokter ada kelainan pada bola matanya, sehingga mesti diterbangkan ke Jakarta untuk mendapatkan pelayanan medis yang lebih baik. Dokter memutuskan segera dilakukan operasi. Ternyata tekanan kedua bola mata di atas rata-rata, biasa disebut penyakit glukoma. Penyakit ini jarang didapati pada bayi, biasanya pengidapnya usia di atas 40 tahun.

Setelah menjalani operasi, si bayi bertumbuh menjadi bocah yang menjalani hari-hari seperti layaknya anak-anak lain. Dia bermain, bernyanyi, namun sering bertanya mengapa tidak bisa melihat secara jelas. Pertanyaan ini sering membuat sang ibu menangis diam-diam.

Memasuki usia sekolah, si bocah kesulitan mendapatkan sekolah yang mau menerima. Dia berkeras hati. Setiap saat menanyakan kapan mulai sekolah. Seluruh keluarga pun berjuang mendapatkan sekolah. Apalagi si bocah selalu mengatakan dengan mantap akan menjadi profesor. Akhirnya sebuah sekolah swasta mau menerima dengan berbagai catatan. Keluarga bersyukur. “Biarlah anak ini dapat bermain dan bersosialisasi di TK. Soal pelajaran yang didapatkan, kita lihat saja nanti,” kata sang ayah.

Berkat ketekunan dan kerja keras, si anak melewati TK, SD, hingga SMP. Orang-orang terheran melihat aktivitas si bocah dengan keterbatasan penglihatannya. Prestasi sekolahnya tak pernah terlempar dari kelompok 5 besar.

Selepas SMP, dimulai kembali perjuangan keras melanjutkan pendidikan. SMA negeri di kota kelahiran tidak mudah menerima walau si anak memenuhi persyaratan akademik. Hambatan demi hambatan dialami si anak selama di SMA. Hambatan yang cenderung diciptakan agar si anak tidak bisa menjalani pendidikan. Entah apa alasan mereka. Meski prestasi dan nilai akademiknya bagus, kebijakan dengan alasan tak

jelas membuat studi si anak terhenti. Selama dua tahun tidak

bersekolah, si anak menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan musik dan agama. Akhirnya keluarga memutuskan si anak melanjutkan studi di Jakarta, melihat kekerasan hati si anak untuk meraih mimpi dan cita-citanya. Di Jakarta pun tidak mudah mendapatkan lembaga pendidikan yang mau menerima siswa penyandang disabilitas.

Si anak tak patah semangat. Akhirnya dia berhasil menyelesaikan studi S2 di Amerika Serikat dan

meraih gelar profesor. Ternyata dia kecanduan menuntut ilmu. “Aku mau melanjutkan studi S3 dan seterusnya!” ujarnya mantap.

Mimpi dan cita-cita anak memang harus terus dipupuk, disirami, dan dirawat terus-menerus. Karena mimpi anak akan mementukan masa depannya. ßKita berharap seluruh anak Indonesia mempunyai kesempatan meraih mimpi dan cita-cita tanpa diskriminasi, meski mimpi anak penyandang disabilitas. Menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa untuk memfasilitasi, menyusun kebijakan, serta menyediakan sarana dan prasarana untuk mewujudkan mimpi seluruh anak Indonesia.

Anak dengan penyandang disabilitas berhak meraih mimpi dan cita-cita seperti anak-anak lainnya. Masa depan dan peluang mereka merupakan satu bagian masa depan bangsa ini.

Hambatan-hambatan dan sempitnya peluang bagi anak penyandang disabilitas meraih mimpi harus dikikis habis. Hambatan tersebut dapat ditiadakan dengan komitmen seluruh manajemen negara dengan membuat kebijakan dan menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan kesetaraan kesempatan. Jangan buyarkan mimpi dan cita-cita anak-anak penyandang disabilitas. Mereka seperti anak-anak lain yang lahir di bumi Indonesia, tentu mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk meraih mimpi pribadi dan mimpi bersama akan Indonesia yang lebih baik. *Jonna Damanik

Page 71: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

71EDISI 07-JULI 2011diffa

Page 72: Majalh Diffa Edisi 07 - Juli 2011

EDISI 07-JULI 2011 72 diffa

Nantikan...LOMBA CIPTA LAGU DISABEL NASIONAL

SIMFONI UNTUK INDONESIA

O R G A N I Z E D B Y diffaS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N