edisi juli 2011
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
1/78
100
Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko Lainnya Dengan Kejadian OsteoporosisPada Kelompok Dewasa Awal Di Wilayah Ciputat-Tangerang Selatan
The Correlation between Calcium Intake and The Others Risk Factors withOsteoporosis in The Erly Adulthood Group in Ciputat-Tangerang Selatan
Oleh : Tria Astik a Endah Permatasari
Abstrak
Puncak pembentukan massa tulang (peak bone mass) terjadi pada usia antara 20-30
tahun. Periode yang menentukan kesehatan tulang pada kehidupan berikutnya ini terjadi
bervariasi untuk setiap individu. Penurunan Densitas Massa Tulang (DMT) akan terus terjadi
jika pembentukan massa tulang sudah tercapai dan akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Setiap orang berisiko mengalamai osteopenia atau terjadinya penipisan
massa tulang bahkan menderita osteoporis atau keropos tulang pada usia dewasa awal.
Kondisi ini terjadi karena adanya transisi gaya hidup dari masa remaja ke masa dewasa awal
terutama pola makan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara asupan kalisum dan
faktor risiko lainnya dengan kejadian osteoporis pada kelompok dewasa awal di wilayah
Ciputat Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan disain studi potong lintang (cross
sectional). Waktu penelitian pada bulan Januari-Juni tahun 2011 dengan jumlah responden
sebanyak 170 orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta berusia 20-25 tahun .Hasil analisis univariat menunjukkan hasil sebanyak 6,3% (11 orang) responden pada usia
dewasa awal sudah menderita osteoporosis dan sebanyak 51,1% osteopenia. Sebanyak
59,2% responden asupan kalisumnya
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
2/78
101
Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko
Penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan upaya pencegahan dini
terjadinya osteoporosis pada usia dewasa awal secara nyata dengan meningkatkan
penganekaragaman makanan sumber ]kalsium sehingga asupan kalsium sesuai Angka
Kecukupan Gizi (AKG) terutama konsumsi susu, mempertahankan berat badan ideal serta
meningkatkan olahraga dengan pembebanan seperti jalan kaki. Kata Kunci: Osteoporosis, Osteopenia, Denistas Massa Tulang (DMT), Asupan Kalsium.
Abstract
Peak bone mass was held at the age of 20-35 years. This periode is very important for
bone health status in life cycle that different for each individual. Bone Mass Density (BMD) will
be decreased continously when peak bone mass was passed and correlation with the age
increase. Everyone have risk to get osteopenia which decrease in bone mass or osteoporosis
that is state of the bones become thin and brittle in early adulthood. Changes of lifestyle in
early adulthood as a period of transition from adolescence especially for food consumption
pattern.
The purpose of this study to analyze correlation between calcium intake and the others
risk factors with osteoporosis in the early adulthood group in Ciputat-Tangerang Selatan.
Research using cross-sectional study design in January-June 2012 with 170 respondents age
20-25 years. Univariat analysis shows that 6,5% respondents osteoporosis, 53% osteopenia.
Bivariat analysis shows risk factors that siginificant influence of osteoporosis are calcium
intake (Odds Ratio, OR = 9,390, vitamin D intake (OR=6,915), sex (OR=12,083), Body Mass
Index (OR=3,958), calcium source consumption (OR=4,226) dan calcium supplement
consumption (OR=4,226). Weigh-bearing exercises have not correlation with osteoporosis
but shows the trends that osteoporosis lower for respondent exercise continously.
The results of research can support early prevention for osteoporosis in early adulthood.
The efforts to prevent osteoporosis are increasing the diversification of high calcium food
sources that suitbale with Recommended Dietary Allowance (RDA), increase weigh-bearing
exercise.
Keywords: Osteoporosis, Osteopenia, Bone Mass Density (BMD), Calcium Intake
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
3/78
102
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
Pendahuluan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang
sehat, cerdas dan berkualitas merupakan
aset suatu bangsa. SDM paling produktif
ditunjukkan pada masa dewasa karenakesehatan fisik yang optimal terutama
puncak pembentukan tulang ( peak bone
mass) terjadi pada rentang usia 20-35
tahun. Setelah melewati masa tersebut
kepadatan masssa tulang mulai menipis
bahkan tulang menjadi keropos dan
berisiko mengalami fraktur.1 Penyakit yang
dikenal dengan silent disease karena
gejala dan tandanya tidak secara nyata
dikenali ini prevalensinya cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.2 Penyakit
ini tidak hanya diderita oleh kelompok
lanjut usia namun dapat dialami oleh
kelompok dewasa awal karena puncak
pembentukan masaa tulang berbeda untuk
setiap individu.3
Penduduk Asia diprediksi sebanyak
50% pada tahun 2050 menderita patah
tulang panggul oleh International Osteopo-
rosis Foundaction (IOF) mengalami patah
tulang panggul sebesar 50% penduduk
pada orang Asia. Puslitbang Gizi dan
Makanan Departemen Kesehatan yang
bekerjasama dengan PT Fonterra Brands
Indonesia (2005) melakukan penelitian di
beberapa wilayah Indonesia dengan
melibatkan sampel hingga 65.727 orang
diperoleh hasil bahwa prevalensi
osteopenia mencapai 41,8%, sebanyak
10,3% menderita osteo-porosis. Penduduk
kelompok umur 20-40 tahun di Kota Depok
dinyatakan 43,3% responden mengalami
osteopenia.
5
Penelitian serupa denganmetode yang sama pada 100 orang
mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia diperoleh hasil
sebanyak 50,5% responden mengalami
penurunan kepadatan massa tulang.6
Osteoporosis terjadi disebabkan oleh
berbagai faktor risiko terutama asupan
kalisum. Salah satu mineral utama yang
sangat berkontribusi terhadap pembentu-
kan tulang adalah kalsium. Lebih dari 99%
kalsium terdapat dalam jaringan keras
yaitu tulang dan gigi.7,8
Sekitar 91% volume
tulang orang dewasa dibentuk sekitar akhir
usia remaja atau masa dewasa awal.
Pada masa remaja penyerapan kalsium
dari komsumsi makanan dapat mencapai
75% lalu menurun hingga 20-40% begitu
menginjak usia dewasa.9 Namun asupan
kalsium harian orang Indonesia masih
banyak yang belum mencukupi jumlah
kalsium yang dibutuhkan untuk memelihara
tulang maupun tubuh.10
Asupan kalsium harian orang
Indonesia berdasarkan laporan dari
Institute of Medicine, US (1997) hanya
memenuhi 25-30% dari kebutuhan kalsium
per harinya. Rata-rata asupan kalsium
orang Indonesia sebesar 289 mg kalsium
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
4/78
103
Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko
per hari. Sedangkan pada populasi
Indonesia Angka Kecukupan Gizi (AKG)
untuk kalsium baik bagi laki-laki maupun
perempuan usia 19 - 64 tahun adalah
sebesar 800 mg.
11
Kalsium yang adekuat(sekitar 1000 mg) akan memberikan
manfaat positif pada sistem rangka baik
untuk memaksimalkan peak bone mass
(puncak massa tulang) yang terjadi pada
usia 20-35 tahun.12
Berdasarkan masalah tersebut
muncullah pertanyaan penelitian mengenai
bagaimanakah hubungan antara asupan
kalsium dan faktor risiko lainnya dengan
kejadian osteoporosis pada kelompok usia
dewasa awal (usia 20-25 tahun) di wilayah
Ciputat-Tangerang Selatan. Penelitian ini
dilakukann sebagai gambaran dalam
upaya melakukan pencegahan dini
terjadinya osteoporosis pada kelompok
usia produktif terutama pada usia dewasa
awal.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain
studi potong lintang (cross sectional ).
Instrumen peneltian adalah kuesioner dan
wawancara untuk memperoleh data primer
mengenai berbagai faktor risiko yang
meliputi kebiasaan olahraga dengan
pembebanan, tingkat pengetahuan
mengenai osteoporosis, dan jenis kelamin.
Kuesioner terlebih dahulu di lakukan uji
validitas dan reliabilitas dimana r hutung > r
tabel. Frekuensi konsmsi makanan sumber
kalsium, bahan makanan penghambat
penyerapan kalsium (teh, kafein dan soft
drink ), konsumsi suplemen diperoleh
melalui instrumen FFQ (Food FormulirQuostinnaire). Formulir 24 hours recall
digunakan untuk mengtahui asupan
makanan antara lain asupan kalsium dan
asupan vitamin D yang bekerja secara
sinergis dalam pembentukan tulang.
Pengukuran secara langsung untuk
mengetahui Indeks Massa Tubuh (IMT)
dilakukan dengan mengukur Tinggi Badan
(TB) dengan alat Microtose dan Berat
Badan (BB) dengan timbangan SECA
digital. Pengukuran densitas massa tulang
bekerjasama dengan PT.Fonterra Brands
Indonesia menggunakan Achilles Express/
Insight Metode Quantitative Ultrasound
dengan keakuratan pengukuran sebesar
97%. Hasil pengukuran berupa nilai t-score
yaitu normal jika nilai t-score >-1 SD,
osteopenia jikan nilai t-score antara -1 SD
sampai ≤ -2,5 SD dan osteoporosis jika
nilai t-score
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
5/78
104
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
seluruh fakultas dengan rumus besar
sampel variabel dependen kategori satu
populasi dan teknik pengambilan sampel
adalah menggunakan random sampling.
Metode analisis yang digunakan meliputianalisis univariat dan bivariat dengan uji
chi square.
Hasil
Responden dari penelitian ini
sebanyak 170 orang yang diambil secara
random. Lokasi penelitian dipilih
Universitas Muhammadiyah Jakarta karena
merupakan salah satu universitas swasta
di wilayah Ciputat Tangerang Selatan yang
cukup besar dan memilki mahasiswa dari
multikultur serta memiliki ragam gaya hidup
dan pola makan. Berikut adalah hasil
analisis univariat dan bivariat :
Analisis Univariat
Hasil penelitian menunjukkan
sebanyak 6,5% responden sudah
mengalami osteoporosis pada usia dewasa
awal (20-25 tahun), 52,9% lainnya
osteopenia. Responden yang asupan
kalsiumnya ≤80% AKG sebanyak 59,2%,
responden yang asupan vitamin D ny ≤
80% AKG sebanyak 62,4%, responden
perempuan lebih banyak (53,5%) daripada
responden laki-laki (46,5%), IMT tidak
normal (kurus maupun gemuk) sebanyak
42,4%, sebanyak 52,9% mahasiswa tidak
terbiasa melakukan aktivitas olahraga
dengan pembebanan (weigh-bearing
exercise), 30% responden memiliki
pengetahuan yang cukup mengenaiosteoporosis, sebanyak 52,9% responden
frekuensi konsumsi makanan sumber
kaliumnya < median, frekuensi konsumsi
makanan dan minuman penghambat
penyerapan kalsium seimbang prosentase-
nya antara responden yang frekuensi
konsumsinya < median (50%) dengan
responden yang frekuensi konsumsinya ≥
median, serta responden yang tidak
memiliki kebiasaan konsumsi suplemen
adalah sebanyak 53,5% (Lihat Tabel 1).
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
6/78
105
Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko
Tabel 1. Analisis Univariat Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko Lainnyadengan Kejadian Osteoporosis pada Kelompok Dewasa Awal di Wilayah Ciputat-
Tangerang Selatan
Variabel Kategori n %
Osteoporosis Osteoporosis
OsteopeniaNormal
11
9069
6,5
52,940,6
Jenis Kelamin Laki-lakiPerempuan
7991
46,553,5
IMT
Kebiasaan Olahraga
Tingkat Pengetahuan tentang Osteoporosis
Frekuensi Konsumsi Makanan Sumber
Kalsium
Frekuensi Konsumsi Makanan danMinumanPenghambat penyerapan Kalsium
Asupan Kalsium
Asupan VitaminD
Tidak NormalNormalTidak OlahragaYa, OlahragaCukupBaik< median
≥ median < median≥ median
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
7/78
106
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
Tabel 2. Analisis Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Osteopenia
Variabel Kategori Nilai p OR
Jenis Kelamin*
IMT*
Laki-lakiPerempuanTidak Normal
Normal
0,004
0,037
12,083
3,958
Kebiasaan Olahraga Tidak olaharagaYa, Olahraga
0,174
Tingkat Pengetahuan Osteoporosis CukupBaik
0,570
Frekuensi konsumsi makanan sumberkalsium
< median≥ median
0,645
Frekuensi konsumsi makanan danminuman penghambat penyerapankalsium*
≥ median < median
0,048 4,226
Kebiasaan konsumsi suplemen kalsium* Ya
Tidak
0,048 4,226
Asupan Kalsium*
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
8/78
107
Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko
tulang) lebih banyak dibandingkan
osteoblast (membentuk tulang baru)14
.
Osteo-porosis terjadi disebabkan oleh
banyak faktor dan kondisi ini tidak
menimbulkan gejala yang nyata atau rasasakit sehingga banyak orang mengabaikan
dampaknya dan masalah kesehatan tulang
ini disadari saat sudah terjadi
pengeroposan tulang dan berisiko untuk
mengalami fraktur 15
.
Jenis kelamin berhubungan secara
bermakna terhadap kejadian osteoporosis.
Perempuan memilki risiko lebih tinggi
mengalami osteoporosis dibandingkan laki-
laki yaitu sebesar 12,083 kali. Massa
tulang perempuan umumnya 4 kali lebih
kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini
disebabkan laki-laki memilki peak bone
mass lebih tinggi dari perempuan.
Sementara perempuan juga mengalami
penurunan massa tulang lebih cepat
dibandingkan laki-laki terutama berkaitan
dengan kadar estrogen pada perempuan16
.
Selain itu, Indeks massa tubuh pun
menjadi faktor risiko utama terjadinya
osteoporosis. Pada hasil analisis dari
penelitian ini IMT berhubungan secara
bermakna dengan terjadinya osteoporosis.
Orang yang memiliki IMT tidak normal
terutama IMT „kurus‟ berpeluang 3,958 kali
untuk menderita osteoporosis dibanding-
kan dengan responden yang IMT nya
„normal‟. Begitupun pada penelitian serupa
lainnya Di Eropa risiko terjadinya patah
tulang panggul meningkat pada orang
dengan IMT „kurus‟. Penelitian lain yang
memper-kuat hasil penelitian ini adalah
pada penduduk usia dewasa di KotaDepok baik di daerah urban maupun rural,
membuktikan adanya hubungan sangat
kuat dalam terjadinya osteopenia. IMT
„kurus‟ lebih berisiko menimbulkan osteo-
penia dibandingkan IMT normal.17
Aktifitas olahraga dengan pembe-
banan (weigh-bearing exercise) dapat
membantu pembentukan osteoblast lebih
aktif. Olahraga lompat tali atau jalan kaki
sekitar 30 menit yang dilakukan tiga atau
empat kali dalam seminggu dapat
meningkatkan massa panggul dan
mengurangi penurunan massa tulang.13
Pada penelitian ini aktivitas olahraga tidak
memiliki hubungan secara bermakna
dengan osteoporosis (p value = 0,174).
Namun hasil analisis menunjukkan
terdapat kecenderungan bahwa osteo-
porosis proporsinya lebih banyak terjadi
pada responden yang tidak melakukan
aktivitas olahraga secara rutin (8,9%)
dibandingkan dengan responden yang
melakukan aktivitas olahraga (3,8%).
Frekuensi konsumsi makanan sumber
kalsium terutama yang berasal dari bahan
pangan hewani seperti susu dan produk
olahannya masih tergolong rendah pada
responden penelitian ini. Umunya
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
9/78
108
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
responden mengonsumsi susu ≤ 2 gelas
per hari. Padahal kandungan kalsium
dalam susu sangatlah tinggi. Oleh karena
itu konsumsi susu disamping bahan
pangan lain yang mengandung kalsiumtinggi menjadi salah satu upaya dalam
memenuhi kebutuhan kalsium harian
karena mengandung 143mg/100 mililiter
susu. Dianjurkan minum susu sedikitnya
2-3 gelas per hari (200ml/gelas) untuk
memenuhi kebutuhan 800 mg kalsium per
hari.18
Hasil analisis menunjukkan
responden yang memiliki frekuensi
konsumsi makanan sumber kalsium tinggi
akan terhindar dari osteoporosis sebanyak
4,226 kali dibandingkan responden yang
frekuensi konsumsi makanan sumber
kalsiumnya < median.
Asupan kalsium merupakan fajadi
faktor risiko yang utama dalam
menyebabkan osteoporosis. Hal ini
disebabkan menjadi syarat mutlak
terdapatnya kalsium sebag mineral utama
yang diperlukan dalam pembentukan
tulang. Fungsi kalisum ini bersinergis
dengan fungsi vitamin D dalam
pembentukan tulang. Angka Kecukupan
Gizi (AKG) kalsium usia 19-29 tahun baik
untuk laki-laki maupun perempuan 800 mg
per hari. Lebih dari separuh (59,2%)
responden belum memenuhi kebutuhan
kalisum sesuai dengan 80% AKG. Institute
of Medicine, US (1997) melaporkan rata-
rata asupan kalsium orang Indonesia
hanya 25-3-% dari AKG atau sekitar 289
mg per hari. Asupan kalsium yang cukup
akan membantu mengoptimalkan puncak
pembentukan massa tulang
19
. Kalsiumyang diperoleh dari sumber makanan yang
mengandung tinggi kalsium lebih
memberikan dampak positif pada
kesehatan tulang daripada hanya
mendapatkan kalsium dalam bentuk
suplemen19
. Hasil penelitian ini memper-
lihatkan bahwa responden yang tidak
cukup asupan kalsiumnya berisiko 9,390
kali mengalami osteoporosis dibandingkan
responden yang cukup asupan kalsiumnya
(sesuai dengan 80% AKG).
Penyerapan kalsium dalam tulang
sangat erat kaitannya dengan asupan
vitamin D. Fungsi vitamin D adalah
membantu pembentukan tulang yang
berperan khusus membantu pengerasan
tulang dengan cara mengatur kalsium dan
fosfor agar tetap tersedia di dalam darah
sehingga proses pengerasan tulang bisa
terjadi.20
Hasil analisis statistik dalam
penelitian ini juga membuktikan bahwa
responden dengan asupan vitamin D yang
cukup memenuhi 80%AKG terhindar
sebanyak 6,915 kali untuk terkena
osteoporosis dibandingkan dengan
responden yang asupan vitamin D nya
tidak memenuhi ≥80 % AKG.
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
10/78
109
Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko
Kesimpulan
Faktor risiko yang berhubungan
secara bermakna dengan kejadian
osteoporosis pada penelitian ini antara lain
asupan kalsium, asupan vitamin D, jeniskelamin, IMT, frekuensi konsumsi makanan
sumber kalsium terutama untuk susu dan
produk hasil olahan susu (diary milk ), dan
kebiasaan konsumsi suplemen kalsium
(nilai p
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
11/78
110
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
sehingga masyarakat dapat secara rutin
(minimal 6 bulan sekali) memeriksakan
kesehatan tulangnya. Selain itu perlu
diterapkan gerakan jalan sehat setiap hari
untuk meningkatkan kepadatan massatulang. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
yang mengarah pada studi eksperimental
pemeberian asupan kalsium pada
responden.
Daftar Pustaka
1. Anisa, Siti. 2000. Osteoporosis dan
Pencegahannya. Majalah KedokteranIndonesia. Vol.50 No.12
2. World Health Organization. 2008.
Health Benefits of Physical
Activity .http://www.who.int [diunduh
Januari 2011]
3. Depkes. 2005. Satu dari Tiga Wanita
Indonesia Usia di Atas 45 Tahun
Cenderung Alami
Osteoporosis.www.depkes.go.id
[diunduh 28 Agustus 2010]
4. Sankaran, Balu. 2000. Osteoporois A
Publication Funded by he South East
Asia Regional Office. World Health
Organization. New Delhi, India
5. Chandra, Mellisa.2008. Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Osteopenia
pada Kelompok Dewasa Usia 20-40
Tahun di Kota Depok tahun 2008 .
Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok.
6. Hasye, A.Roza. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Osteopenia pada
Mahasiswi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Tahun 2008 . Fakultas KesehatanMasyarakat, Universitas Indonesia,
Depok.
7. Almatsier, Sunita.2002. Prinsip Dasar
Ilmu Gizi . Gramedia Pustaka
Utama.Jakarta
8. Baker, Susan, et al. 1999. Calcium
Requirements of infants, Children, and
Adolescents. American Academy of
Pediatrics. Vol 104:5; pp1152-1157.
9. Novotny, et al. 2003. Calcium Intake of
Asian, Hispanic, and White Youth.
Journal of The American College of
Nutrition. Vol 22, pp 64-70. [Diakses 11
Mei 2010]
10. Briliantono, M. 1998. Tulang Anda
Masa Depan Anda, Cegah
Osteoporosis Sejak Dini . Anlene P.T.
Fonterra Brand Indonesia, Jakarta.
11. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi,
2004. Angka Kecukupan Gizi.
12. Grorvenor, B. Mary, dam Smolin,
A.Lory. 2002. Nutritio from Science to
Life. Barcourt College Publisher.
Orlando
13. Nicklas, T.A.2003. Calcium Intake
Trends and Health Consequences from
Childhood through adulthood . Journal
of The American College of
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
12/78
111
Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko
Nutrition.Vol.22, pp:340-356 [Diunduh
13 Mei 2010]
14. Napoli,Nicole, et al.2007. Effect of
Dietary Calcium Compared with
Calcium Supplements on EstrogenMetabolism and Bone Mineral Density .
American Journal Clinical of Nutrition.
85:1428-
33.http://www.ajcn.org.[Diunduh 10
Januari 2011]
15. Chompston Juliet.2002. Seri Kesehatan
Bimbingan Dokter pada Osteoporosis.
Dian Rakyat.
16. Permatassari, Astika Endah Tria.
Hubungan antara IMT dengan Kejadian
Osteoporosis pada Kelompok Dewasa
Usia 40-65 tahun di Kota Depok Tahun
2008 . Fakultas Kesehatan
Masyarakat.Universitas
Indonesia.depok
17. Khomsan, Ali. Susu Minuman Bergizi
untuk Peningkatan Kualitas SDM .
http://kolom.pacific.net.id [Diakses 15Oktober 2008]
18. Wardlaw G.2002. Perspective in
Nutrition 5 th. Mc-Graw-Hill Companies,
America.
19. Nieves, Jeri. W.2005. Osteoporosis :
The Role of Micronutrients. American
Journal Clinical of Nutrition.86:123S-
9S.http://www.ajcn.org [Diakses10
Februari 2011].
20. Garrow,J.S W.P.T James dan Ralph, A.
2000. Human Nutrition and
Dietetics.9th.Churchill
Livingstone.United Kingdom.
http://kolom.pacific.net.id/http://kolom.pacific.net.id/
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
13/78
112
Faktor Resiko Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun Di Posyandu Kawasan IndustriCiteureup Kabupaten Bogor
Oleh: Rahm ini Shabariah
Abstrak
Penyakit alergi merupakan penyakit yang terjadi akibat interaksi predisposisi genetik
dengan lingkungannya. Lingkungan berperan untuk inisiasi sensitisasi terhadap mempunyai
bakat alergi belum tentu akan menunjukan reaksi alergi bila tidak dirangsang dan dipacu oleh
faktor lingkungan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan usia,
jenis kelamin, cara lahir, riwayat penyakit alergi dalam keluarga, jumlah saudara kandung,
jumlah penghuni rumah, adanya perokok dalam rumah, frekuensi imunisasi, pemberian ASi
eksklusif, lama ASI eksklusif yang diberikan dan usia diberikannya MP ASI terhadap
timbulnya penyakit alergi pada anak usia 0-3 tahun di posyandu kawasan industri Citeurup
kabupaten Bogor.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik potong lintang, di Posyandu terpilih di
Kecamatan Citeurup Kabupaten Bogor Jawa Barat yang berlangsung dari Januari-Februari
2008.Subyek penelitian adalah anak yang berusia 0-3 tahun (0-42 bulan) yang datang ke
Posyandu Kecamatan Citeurup Kabupaten Bogor Jawa Barat.Prevalensi penyakit alergi pada
anak usia 0-3 tahun di posyandu kawasan industri Citeureup Kabupaten Bogor adalah 44,9%
dan terbanyak pada anak usia 0,3 tahun. Penyakit alergi terbanyak adalah rhinitis alergi
sebesar 20,2%. Ditemukan hubungan yang bermakna antara kelompok usia 13-42 bulan,
riwayat alergi dalam keluarga , kebiasaan ibu merokok dan pemberian ASI eksklusif dengan
munculnya penyakit alergi.
Perlu informasi yang lebih luas pada masyarakat tentang penyakit alergi terutama di
daerah kawasan industri untuk mencegah faktor resiko penyakit alergi yang telah ada
berinteraksi dengan faktor lain sehingga timbul penyakit alergi.
Kata kunci: Alergi, kawasan industri, Citeurup
PENDAHULUAN
Penyakit alergi merupakan penyakit
yang terjadi akibat interaksi predisposisi
genetik dengan lingkungannya. Lingkungan
berperan untuk inisiasi sensitisasi terhadap
mempunyai bakat alergi belum tentu akan
menunjukan reaksi alergi bila tidak
dirangsang dan dipacu oleh faktor
lingkungan.1,7,8
Sedangkan 55% anak-anak
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
14/78
113
Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun
dengan penyakit atopi mempunyai riawayat
keluarga yang menderita atopi pula.6
Berdasarkan penelitian the epidem-
miology of Asthma and Allergies in Early
Life (The EAAEL Study) pada tahun 2005-
2006 dengan menggunakan kuesioner
yang sudah modifikasi dari The Inter-
national Study Of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) untuk mencari angka
kejadian penyakit alergi dan faktor yang
mempengaruhi, menunjukan hasil bahwa
nilai sensitivitas kuesioner 69,2%,
spesifitias 85,7%, nilai prediksi positif
(NPP) 90% dan nilai prediksi negatif (NPN)
60%.17
Beberapa faktor lain yang diketahui
berhubungan dengan penyakit alergi
antara lain mekanisme persalinan, usia
gestasi, jumlah saudara kandung, tingkat
sosial ekonomi, infeksi oleh bakteri dan
virus, pemakaian antibiotik pada 2 tahun
pertama, vaksinasi, pemberian ASI, usia
awal pemberian MP-ASI, dan pemberian
probiotik pada ibu hamil dan menyusui.1,10-1
Kabupaten Bogor sebagai bagian dari
wilayah Provinsi Jawa Barat mempunyai
beberapa daerah kecamatan yangberfungsi sebagai kawasan industri,
diantaranya Kecamatan cibinong,
Kecamatan Citeureup, Kecamatan
Cileungsi, Kecamatan Jonggol dan
Kecamatan Gunung Putri. Pabrik yang ada
di kawasan tersebut meliputi pabrik
pakaian, pabrik semen, pabrik kue, pabrik
benang, pabrik kabel dan lain-lain. Pabrik
semen adalah yang terbesar dan berada di
wilayah 3 kecamatan yaitu Kecamatan
Citeureup, Kecamatan Cileungsi dan
Kecamatan Gunung Putri.16
Polusi udara
dapat terjadi di daerah ini akibat asap
pabrik dan partikel halus dari semen.
Kepadatan penduduk dan polusi
udara yang terjadi dikawasan industri
kabupaten Bogor dapat mempengaruhi
kejadian penyakit alergi di wilayah tersebut,
dan kondisi ini menarik untuk diteliti
termasuk untuk menilai tingkat prevalensi
penyakit alergi pada anak usia 0-3 tahun
dan juga faktor-faktor yang berpengaruh
langsung terhadap munculnya penyakit
alergi pada ana usia 0-3 tahun di posyandu
kawasan industri Citeureup Kabupa-ten
Bogor tinggi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana peranan usia, jenis
kelamin, cara lahir, riwayat penyakit alergi
dalam keluarga, jumlah saudara kandung,
jumlah penghuni rumah, adanya perokok
dalam rumah, frekuensi imunisasi, pem-berian ASi eksklusif, lama ASI eksklusif
yang diberikan dan usia diberikannya MP
ASI terhadap timbulnya penyakit alergi
pada anak usia 0-3 tahun di posyandu
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
15/78
114
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
kawasan industri Citeurup kabupaten
Bogor.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
analitik potong lintang, di Posyandu terpilih
di Kecamatan Citeurup Kabupaten Bogor
Jawa Barat yang berlangsung dari Januari-
Februari 2008.Subyek penelitian adalah
anak yang berusia 0-3 tahun (0-42 bulan)
yang datang ke Posyandu Kecamatan
Citeurup Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Responden adalah ibu subyek ataupengasuh subyek bersedia anaknya/ anak
asuhnya diikutkan dalam penelitian dan
bersedia diwawan-carai. Anak-anak yang
menderita kelainan bawaan, kelainan
susunan saraf surat, dan pasca operasi,
serta anak-anak tidak memiliki Kartu
menuju sehat dan Ibu/orangtua/ pengasuh
tidak bersedia diwawan-carai tidak
dimasukkan dalam penelitian ini. Besar
sampel ditentukan berdasar-kan rumus rule
of thumb yaitu jumlah variabel bebas 12
dan jumlah variabel tergantung 3 dilakukan
10 maka diperlukan sebanyak 150 sampel.
Pemilihan subyek adalah secara conse-
cutive sampling. Kuesioner menggunakan
kuesioner ISAAC yang telah
diterjemahakan ke dalam bahasa
Indonesia dan dimodifikasi dengan
penambahan pertanyaan tentang cara
lahir, riwayat keluarga, jumlah saudara
kandung jumlah orang serumah, adanya
perokok dalam rumah, status imunisasi,
pemberian ASI eksklusif dan lama
pemberian ASI serta usia pemberian MP
ASI. Pengisian kuesioner dilakukan dengan
wawancara terpimpin yang dipandu oleh
peneliti atau petugas kesehatan yang
sebelumnya sudah dilatih.Setelah
kuesioner diisi dan terkumpul, dicek
kembali keleng-kapan jawaban, bila perlu
responden dihubungi kembali untuk
mengisi pertanyaan kuesioner yang masih
kosong atau tidak konsisten untuk
memastikan jawaban yang benar.
Pengolahan dan analisis data
Pengolahan dan analisis data
menggunakan SPSS versi 13.0.persentase
prevalensi dan sebaran karakteristik
demografi menggunakan analisis univariat.
Analisis bivariat digunakan untuk menguji
hubungan antara variabel bebas dan
variabel tergantung, sedangkan perbedaan
distribusi proporsi menggunakan uji kai
kuadrat (chi square) dan untuk melihat
hubungannya dihitung koefisien rasio odds
(RO). Bila salah satu sel nilainya kurang
dari 5, akan digunakan fisher’s test.
Sedangkan analisis multivariate digunakan
untuk menguji berbagai variabel bebas
dengan variabel tergantung dan untuk
menentukan variabel bebas yang paling
berpengaruh dalam hal ini faktor resiko
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
16/78
115
Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun
digunakan analisis regresi logistic. Tingkat
kemakmuran ( p) yang dipakai adalah 42 bulan.
Karakteristik subyek penelitian
berdasarkan pendidikan orangtua,
pekerjaan orangtua, jenis kelamin anak
dan kelompok usia dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik Jumlah %
Pendidikanorangtua
SD
SMPSMAS1Tidak Tamat
SDPekerjaanorangtua
Ibu Rumah tanggaKaryawanPedagangGuru/TNI/PolriJanis Kelaminanak
Laki-lakiPerempuanKelompok Usia
0-12 bulan13-42 bulan
9357
3144
1514142
10989
83115
4728,8
1,50,522,2
76,320,72,01,0
55,144,9
41,958,1
Pada penelitian ini usia medium ibu
subyek adalah 28,07 tahun, usia ibu
termuda 19 tahun sedangkan usia ibu
tertua adalah 45 tahun. Tingkat pendidikan
ibu subyek adalah tidak tamat SD sebesar
44 orang (22,2%), tamat SD sebesar 93
orang (47,0%), tamat SMP sebesar 57
orang (28,8%), tamat SMA sebesar 3
orang (22,7%), berprofesi pedagang
sebesar 4 orang (2,0%) dan berprofesi
sebagai guru/TNI/ Polri sebesar 2 orang
(1,0%).
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
17/78
116
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
Dari 198 subyek yang mengikuti
penelitian ini sebanyak 109 (55,1%)
subyek adalah laki-laki dan 89 (44,9%)
subyek adalah perempuan. Berdasarkan
sebaran usia, subyek paling banyak ada dikelompokkan usia 13-42 bulan yaitu
sebesar 115 subyek (58,1%) sedangkan
subyek pada kelompok usia 0-12 bulan
sebesar 83 subyek (41,9%). Usia media
subyek adalah 13,90 bulan, subyek
penelitian termuda berusia ¾ bulan,
sedangkan yang tertua berusia 42 bulan.
Pada tabel 2. Menunjukkan karakteristik
subyek dengan gejala alergi berdasarkan
jenis kelamin dan kelompok usia. Penyakit
alergi didapatkan pada 50 subyek laki-laki
(56,2%) sedangkan pada subyek peremp-uan didapatkan 39 subyek (43,8%). Tidak
ada perbedaan bermakna kejadian
penyakit alergi pada kelompok subyek laki-
laki dibandingkan perempuan dengan rasio
Odds 1,086 (IK 95% 0,619-1,908; p=
0,885).
Tabel 2. Karakteristik subyek dengan gejala penyakit alergi berdasarkan jenis kelamindan kelompok usia
Karakteristik Penyakit alergi OR pAda
N (%)Tidak ada
N (%)(IK 95%)
Jenis kelamin
Laki-lakiPerempuanTotal
Kelompokusia
0-12 bulan
13-42 bulan
50(56,2%)
39(43,8%)
89(44,9%)
29(32,6%)
60(67,4%)
59 (54,1%)50 (45,9%)
109(55,1%)
54 (49,5%)
55 (50,5%)
1,086(0,619-1,908)
0,492(0,275 – 0,880)
0,885
0,024
Penyakit alergi pada kelompok usia
13-42 bulan sebesar 60 subyek (67,4%)
sedangakan pada kelompok usia 0-12
bulan ditemukan sebesar 29 subyek
(32,6%). Terdapat perbedaan yang
bermakana tentang timbulnya penyakit
alergi kelompok usia 13-42 buloan
dibandingkan kelompok usia 0-12 bulan
dengan rasio Odds 0,492 (IK 95% 0,275-
0,880; p= 0,024).
Tabel 3. Memperlihatkan kejadian
gejala penyakit alergi berdasarkan riwayat
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
18/78
117
Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun
alergi pada ibu, ayah dan saudara
kandung. Pada penelitian ini subyek yang
memiliki riwayat alergi pada ibu sebesar 52
subyek (26,3%), subyek yang memiliki
riwayat alergi pada ayah sebesar 32subyek (16,2%) dan subyek yang memiliki
riwayat alergi pada saudara kandung
sebesar 25 subyek (122,6%). Kejadian
penyakit alergi lebih banyak terjadi pada
subyek yang memiliki riwayat alergi pada
ibu yaitu sebesar 35 (39,3%) dibandingkan
subyek yang memiliki riwayat alergi pada
ayah yaitu sebesar 17 subyek (19,1%) dan
saudara kandung sebesar 14 subyek
(15,7%).
Timbulnya penyakit alergi berbeda
bermakna pada kelompok subyek yang
memiliki riwayat alergi pada ibu
dibandingkan subyek yang tidak memiliki
riwayat alergi pada ibu dengan rasio Odds3,508 (IK 95% 1,795-6,853 ; 0,000).
Sedangkan timbulnya penyakit alergi pada
kelompok subyek yang tidak ada riwayat
penyakit alergi pada ayah dan saudara
kandung tidak berbeda bermakna dengan
rasio Odds 1,480 (IK95% 0,693-3,161;
p=0,411)dan rasio Odds 1,663 (IK95%
0,714-3,8722; p=0,330).
Tabel 3. Kejadian gejala penyakit alergi berdasarkan riwayat alergi pada ibu, ayah dan
saudara kandung
Penyakit
alergi
Riwayat Ibu
alergi
Riwayat Ayah
Alergi
Riwayat Saudara
alergi
Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak
Ada 35(39,3%) 54 (60,7%) 17(19,1%) 72(80,9%) 14(15,7%) 75(84,3%)
Tidak 17(15,6%) 92 (84,4%) 15(13,8%) 94(86,2%) 11(10,1%) 98(89,9%)
Total 52(26,3%) 146(73,7%) 32(16,2%) 166(83,8%) 25(12,6%) 173(87,4%)
OR
(IK95%)
3,508 (1,795-6,853) 1,480 (0,693-3,161) 1,663 (0,714-3,872)
P 0,000 0,411 0,330
Diskusi
Data tentang adanya penyakit alergi
pada penelitian ini hanya diperoleh melalui
wawancara dengan menggunakan
kuesioner modifikasi The International
Study Of Asthma And Allergies in
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
19/78
118
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
Childhood (ISAAC) dan penentuan
penyakit hanya berdasarkan ada tidaknya
gejala penyakit dalam 12 bulan terakhir
tanpa dilakukan pemeriksaan fisis. Alat
bantu berupa gambar dan suara rekamanbunyi mengi diharapkan dapat
memperkecil kelemahan tersebut.
Keterbatasan penelitian yang lain adalah
tingkat pendidikan responden yang rendah
dapat mempengaruhi pemahaman
pertanyaan yang diajukan sehingga
mempengaruhi jawaban.
Pada penelitian ini penyakit alergi
ditentukan berdasarkan adanya satu atau
lebih gejala penyakit alergi meliputi asma
alergi, rhinitis alergi dan dermatitis atopi.
Penyakit asma alergi ditandai dengan
adanya mengi dalam 12 bulan atau
ingusan dalam 1 bulan terakhir, yang
bukan disebabkan sakit influenza atau
batuk pilek. Sedangkan penyakit dermatitis
atopi ditandai dengan ruam merah yang
gatal pada kulit, hilang timbul selama
sedikitnya 6 bulan dalam 12 bulan terakhir.
Penyakit alergi ditemukan sebesar
44,9% dari 198 subyek penelitian meliputi
asma alergi 4,5%, dermatitis atopi 16,%
dan dermatitis atopi dan rhinitis alergi
3,0%. Munasir dkk9
melaporkan angka
kejadian penyakit alergi yang lebih tinggi
pada anak usia 1-18 bulan di Jakarta yaitu
dari semua anak yang menderita gejala
penyakit alergi (n=626) ditemukan rhinitis
alergi sebesar 41,9%, dermatitis atopi
sebesar 24,6% dan asma didapatkan
sebesar 13,9%.
Penelitian di Bandung oleh Hafsah58
pada tahun 2004 melaporkan angkakejadian penyakit atopi yang lebih rendah
pada anak usia 3 tahun. Dari seluruh
subyek yang dianalisis kejadian penyakit
atopi ditemukan sebesar 18,0% meliputi
dermatitis atopi 9,0%, rhinitis alergi 4,0%
dan dermatitis alegi maupun
rinokonjungtivitis alergi 5,0%. Weningsih59
pada tahun 2006 melaporkan angka
kejadian penyakit alergi di Bandung
meningkat dibanding tahun sebelumnya,
yaitu sebesar 33,08% dari seluruh subyek
meliputi rhinitis alergi 15,7%, dermatitis
atopi 6,9%, asma alergi 1,9%, dan subyek
dengan gejala alergi lebih dari satu
sebesar 8,4%.
Tingginya angka kejadian penyakit
alergi di wilayah ini dapat disebabkan
pengaruh polusi udara oleh asap pabrik
maupun asap kendaraan bermotor yang
dalam penelitian ini kedua faktor tersebut
tidak dianalisis, hal ini merupakan
kelemahan dari penelitian ini. Faktor lain
yang juga tidak dianalisis adalah paparan
tungau debu rumah dan paparan serpihan
bulu binatang yang mungkin juga berperan
pada penyakit alergi pada anak usia 0-3
tahun di kawasan ini.
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
20/78
119
Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun
Penyakit alergi pada laki-laki
ditemukan sebesar 56,2% dan penyakit
alergi pada perempuan sebasar 43,8%
perbedaan ini secara statistik tidak
bermakna dengan rasio Odds 1,086(IK95% 0,619-1,908; p= 0,885 ). Penelitian
ini mendapatkan hasil yang berbeda yaitu
Hafsah58
mendapatkan kejadian penyakit
alergi pada anak perempuan lebih banyak
yaitu sebesar 53,0% dibandingkan pada
laki-laki sebesar 47,0%. Eningsih59
juga
mendapatkan kejadian penyakit alergi
pada anak perempuan lebih banyak yaitu
sebesar 54,7% dibandingkan laki-laki
sebesar 45,3%. Perbedaan ini disebabkan
pada penelitian ini jumlah subyek laki-laki
lebih banyak, sedangkan pada penelitian
pembanding sebelumnya jumlah subyek
perem-puan yang lebih banyak.
Dari total seluruh subyek yang
memiliki penyakit alergi (n=89), penyakit
alergi pada kelompok usia 13-42 bulan
ditemukan sebesar 67,4% sedangkan pada
kelompok usia 0-12 bulan didapatkan
32,6%. Penyakit alergi paling banyak pada
kelompok usia 0-12 bulan dermatitis atopi
diikuti rinitis alergi dan asma alergi.
Penyakit alergi paling banyak pada
kelompok usia 13-42 bulan adalah rinitis
alergidermatitis atopi dan asma alergi. Bila
dilakukan analisis ke tiga penyakit alergi
terhada kelompok umur didapatkan angka
kejadian rhinitis alergi pada kelompok usia
13-42 bulan sebaesar 72,3% dibandingkan
27,7% pada kelompok usia 0-12 bulan dan
perbedaan ini secara statistik bermakana
dengan rasio Odds 0,44 (IK95% 0,2217-
0,904;p=0,036).Berdasarkan analisis multivariat
regresi logistik didapatkan resiko subyek
kelompok usia 0-1 bulan dalam hal
munculnya penyakit alergi 0,465 kali resiko
subyek kelompok usia 13-42 bulan (IK95%
0,247-0,876;p=0,018). Sesuai dengan
perjalanan alamiah penyakit atopi yang
dimulai dengan manifestasi dermatitis atopi
pada masa bayi, kemudian rhinitis atau
asma pada masa anak-anak. Pada
penelitian ini subyek terbanyak pada
kelompok usia yang lebih besar, sehingga
kemungkianan untuk memperoleh gejala
rhinitis dan asma alergi lebih besar
dibandingkan dermatitis atopi.
Resiko untuk mendapatkan penyakit
alergi pada anak lebih besar bila salah satu
orangtua menderita penyakit alergi.
Sundaru7
melaporkan terdapat hubungan
yang erat riwayat asma pada orangtua
dengan penyakit asma pada anaknya.
Koning dkk60
menyebutkan bila salah satu
orangtua memiliki penyakit alergi maka
anak mem-punyai resiko 20-40%
menderita penyakit alergi, apabila kedua
orangtuanya memiliki penyakit alergi maka
resiko menjadi 60-80%, apabila saudara
kandung memiliki penyakit alergi maka
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
21/78
120
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
anak mempunyai resiko 20-30%,
sedangkan bila orangtua tidak memiliki
penyakit alergi maka resiko anak
menderita penyakit alergi sebesar 10%.
Pada penelitian ini didapatkan subyekyang memiliki riwayat penyakit alergi dalam
keluarganya sebesar 40,4%, sedangkan
59,6% subyek tidak ada riwayat alergi
dalam keluarganya. Penyakit alergi
ditemukan sebesar 55,1% pada kelompok
subyek dengan riwayat alergi dalam
keluarga, dan kejadian penyakit alergi
berbeda bermakna secara statistik antara
kelompok yang memiliki riwayat alergi
dalam keluarganya dibandingkan yang
tidak dengan rasio Odds 3,082 (IK95%
1,709-5,558;p=0,000).
Subyek dengan riwayat penyakit
alergi pada ibu ditemukan paling banyak
yaitu 26,3%, diikuti riwayat penyakit alergi
pada ayah sebesar16,2%, dan riwayat
penyakit alergi pada saudara kandung
sebesar 12,6%. Kejadian penyakit alergi
paling banyak ditemukan pada subyek
yang memiliki riwayat alergi pada ibu yaitu
sebesar 39,3% dibandingkan subyek yang
tidak memiliki riwayat alergi pada ibu dan
perbedaan ini bermakna secara statistik.
Berdasarkan anlaisis multivariat subyek
dengan riwayat penyakit alergi dalam
keluarga memiliki resiko 3 kali resiko
subyek tanpa riwayat alergi dalam keluarga
dalam hal timbulnya penyakit alergi dengan
rasio Odds 3,508 (IK95% 1,795-
6,853;p=0,000).
Hasil penelitian ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Munasir 9
dan Weningsih
59
yang menyebutkanbahwa resiko anak menderita penyakit
alergi sebesar dua sampai tiga kali lipat
bila orangtua memiliki penyakit alergi.
Munasir 9 dkk melaporkan trdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat
asma pada ayah dengan gejala mengi (OR
3,41(IK95% 1,43-8,11; p=0,001) dan ruam
kulit (OR 2,39(IK95% 1,09-5,24; p=0,002)
pada anak selain itu juga terdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat
dermatitis atopi pada ibu denga rhinitis
alergi pada anak (OR 3,07 (IK95% 1,24-
7,6;p=0,001).
KESIMPULAN
Prevalensi penyakit alergi pada anak
usia 0-3 tahun di posyandu kawasan
industri Citeureup Kabupaten Bogor adalah
44,9% dan terbanyak pada anak usia 0,3
tahun. Penyakit alergi terbanyak adalah
rhinitis alergi sebesar 20,2%. Ditemukan
hubungan yang bermakna antara
kelompok usia 13-42 bulan, riwayat alergi
dalam keluarga, kebiasaan ibu merokok
dan pemberian ASI eksklusif dengan
munculnya penyakit alergi.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
kemungkinan pengaruh polusi udara
terhadap tingginya angka prevalensi gejala
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
22/78
121
Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun
penyakit alergi pada anak di posyandu
kawasan industri Citeureup Kabupaten
Bogor. Perlu informasi yang lebih luas
pada masyarakat tentang penyakit alergi
terutama di daerah kawasan industri untukmencegah faktor resiko penyakit alergi
yang telah ada berinteraksi dengan faktor
lain sehingga timbul penyakit alergi.
Daftar Pustaka
1. Kay AB. Allergy and allergy diseases.
Dalam : Mackay IR, Rosen FS,
penyunting. Advances in immunology.
N Engl J Med 2001;344:30-6.
2. Pearce n, sunyer J, cheng S, Chinn S,
Bjorksten B, Burr M, dkk. Comparison
of asthma prevalence in the ISAAC
and the ECRHS. Eur Respir J
2000;16:420-6.
3. Down SH, Marks GB, Sporik R,
Belosouva EG, peat JK, Car NG.
Continued increase in the prevalence
of asthma and atopy . Arch Dis Child
2001;84:20-3.
4. Siregar PS, Suyuko D, Akib A, Munasir
Z, Matondang CS. Prevalence penyakit
atopi pada anak di kelurahan Utan
Kayu. Disampaikan pada SimposiumKualitas Hidup di Perkotaan, Aspek
Penyakit alergi . Pokja Immunologi
FKUI Jakarta, 1990.
5. Baratawidjaja K, Setiabudiawan b,
Munasir z, Kurniati N, Tan TN, Lim DL,
dkk. Comparison of the prevalence of
wheeze, persistent rash and doctor
diagnosed aczema in the three South
East Asian cities of Jakarta, Bandung
and Singapore. J allergy Clin Immunol2006;17:S293.
6. Dold SE, Wjst M, von Mutius E,
Reitmeir P, stiepel E, Genetic risk for
asthma, allergic rhinitis and atopic
dermatitis. Arch Dis Child
1992;67:1081-22.
7. Sundaru H. Perbandingan Prevalensi
dan Derajat Berat Asma antara Daerah
Urban dan Rural pada Siswa Sekolah
Usia 13-14 tahun. Tinjauan dari segi
riwayat asma dalam keluarga, penyakit
atopi yang menyertai, kadar alergan
debu rumah, sensitisasi alergan,
urutan kelahiran anak, dan populasi
udara. [Disertasi]. Ilmu Penyakit
Dalam. Fakultas Kedoteran Unversitas
Indonesia. 2005.
8. Akib AP. Pengobatan dini anak atopi .
Update allergy and clinical immunologi.
Bogor,2000.
9. Munasir Z, Akib AAP, Siregar SP,
Suyoko EMD, Kurniati N, van Bever H.
Epidemiology of asthma and allergies
in early life 2006 . [Unpublished]
10. Whan U, Von Mutius E. Childhood risk
faktor for atopy and the importance of
early intervention. J allergy Clin
Immunol 2001 ;107:567-74.
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
23/78
122
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
11. Liu AH, Murphy JR. hygine
hypothesis: fact or fiction?. J Allergy
Clin Immunol 2003;111:471-8.
12. Leung, DYM. Epidemilogy of allergic
diseases. Dalam: Leung DYM,Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ,
penunting. Pediatric allergy principle
and practice. Edisi ke-4. Missuri:
Mosby;2003.h.1-9.
13. Akip AP. Perjalanan alamiah penyakit
alergi dan upaya pencegahannya.
Dalam: Akib AP, Tumbelaka AR,
Matondang CS, penyunting.
Pendekatan imunlogis berbagai
penyakit alergi dan infeksi. Edisi ke-8.
Balai penerbit FKUI;2001.h.37-45
14. Liu AH, Martinez FD, Tussing LM.
Natural history of allergic diseases and
asthma. Dalam Leung Donald YM,
Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ,
penyunting. Pediatric allergy principles
and practice. Edisi ke-4. Missouri:
Mosby;2003.h.10-22.
15. Boezen HM, van der Zee SC, Postma
DS, Vonk JM, Gerritsen J, Hoek G,
dkk. Effect of ambient air pollution on
uppe anf lower respiratory symptoms
and peak expiratory flow in children.
Lancet 1999;353:874-8.
16. Kabupaten Bogor dalam angka. 2007.
Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor.
17. Setyabudiawan B. Sensitivitas danspesifitas modifikasi angket ISAAC
untuk skrining asma pada murid SD
dengan uji provokasi histamine
sebagai standar emas [Tesis]. Ilmu
Kesehatan anak Faklutas Kedokteran
Universitas Padjajaran, 1996.
18. Pearlman DS, Bierman CW. Allergic
disordes. Dalam: Stiehm ER,
penyunting. Immunologic disorders in
infants and children. Edisi ke 4.
Philadelphia: W.B. Sunders
Company;1996.h.604-13.
19. Terr AI. The atopic diseases. Dalam:
Stites DP, Terr AI, parslow TG,
penyunting. Medical immunology . Edisi
ke 9. London : Appleton &
Lange;1997.h.389-408.
20. Terr AI. Allergic diseases. Dalam:
Stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH,
Wwells JV, penyunting. Basic and
clinical Immunology . Edisi ke-5.
Singapore: Maruzen Asian Edition;
1984.h.500-18.
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
24/78
123
Peran Refleksi Diri dalam Kemampuan Logika Klinis Mahasiswa Kedokteran
Oleh: Oktarina, Herawati Y, Rahmin i Shabariah, Husn a I, Kh om imah K
Abstract
Aims . To explore the effect of self reflection on developing clinical reasoning skills.Methods . This cross sectional study involved medical students who completed preclinical
phase of their study. Students' self reflection were measured by the Scale of Reflection in
Learning by Sobral, while clinical reasoning ability was assessed by script concordance tes
(SCT). The SCT is confirmed by 10 medical doctors as judges.
Results . There is significant relationship between SCT score and self reflection score,r= .262,
p(one tailed) < .05.
Conclus ion . The result implies that clinical reasoning ability is influenced by self reflection.
Hence,it can be a subject to consider for strengthening self reflection in improving clinical
reasoning ability.
Keywords: Refleksi diri, logika klinis,
PENDAHULUAN
Refleksi diri adalah bagian penting
dalam metakognisi. Hal ini memiliki peran
dalam mengenali kemampuan dan
kelemahan diri sendiri yang perlu
dikembangkan. Dengan memiliki
kemampuan refleksi diri, pembelajar sadar
terhadap kekurangan yang dimiliki-nya,
sehingga mereka dapat merencanakan
kebutuhan belajarnya (Duvivier et al,
2011). Kemampuan ini dibutuhkan dalam
mencapai kemahiran belajar saat
mendalami informasi atau pengetahuan
baru.
Sesuai dengan kompetensi profesi,
dokter dituntut untuk mahir dalam berlogika
klinis, yaitu kemampuan berpikir secara
sistematis dan beralasan dalam
menatalaksana pasien (Boshuizen &
Schmidt, 2000). Kemahiran dalam logika
klinis dipengaruhi oleh kekayaan
pengetahuan biomedis yang dimiliki serta
cara berpikir dan menata informasi.
(Boshuizen & Schmidt, 2000; Schmidt &
Rikers, 2007; Dunphy et al,2010). Proses
mendapatkan pengetahuan biomedis
sendiri, akan sangat terstruktur bila
pembelajar mengenali kebutuhannya
dengan memanfaatkan potensi yang
dimiliki diantara keterbatasannya (Vermunt
& Verloop, 1999). Selain itu, kemahiran lain
yang diperlukan adalah proses belajar
memproses informasi baru supaya siap
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
25/78
124
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
digunakan atau dengan kata lain tersimpan
dengan baik dalam memori dan mudah
untuk dipanggil pada saat dibutuhkan,.
Metakognisi adalah aktifitas berpikir
yang mempengaruhi peng-ambilankeputusan pada seorang pembelajar,
seperti refleksi kemam-puan sendiri,
memilih konten, mengatur motivasi,
mengarahkan upaya pada proses, dan
memilih strategi belajar untuk mencapai
tujuan (Vermunt & Verloop, 1999). Sebagai
contoh, bila seorang pembelajar yang
mahir menghadapi suatu tugas, dia secara
sadar akan mengenali kemampuan dirinya,
dia juga akan memotivasi dirinya sendiri,
selain itu dia akan memilih konten yang
diperlukan untuk masa depannya
sehubungan dengan cita-citanya, serta
memilih strategi yang sebaiknya digunakan
dan mengatur seberapa keras upaya yang
perlu dilakukan.
Berdasarkan referensi di atas,
sangatlah relevan untuk mengeva-luasi
pengaruh refleksi diri dalam kemampuan
logika klinis mahasiswa kedokteran dalam
proses studinya. Hasil yang diperoleh
diharapkan dapat menjadi alasan pengem-
bangan kurikulum dengan suatu program
yang meningkatkan kemampuan refleksi
diri mahasiswa. Desain cross sectional
digunakan untuk menjawab rumusan
masalah penelitian ini dengan
menggunakan kuesioner dan Script
Concordance Test (SCT).
METODE
Penelitian ini dilakukan di Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Logika klinis
adalah komponen yang perlu dipelajari
selama menjadi mahasiswa kedokteran.
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa
kedokteran yang telah menyelesaikan
tingkat sarjana kedokteran dan sebelum
memasuki tahap kepaniteraan klinik. Hal inidiperlukan karena sebagian besar ilmu
biomedis sebagai salah satu bekal utama,
dipelajari pada tahap sarjana kedokteran.
Jumlah populasi target adalah 94 orang.
Seluruh responden melaku-kan tes
dengan Script Concordance Test (SCT)
dan diminta untuk mengisi kuesioner
tentang refleksi diri dari Sobral. Kemudian,
jawaban SCT dinilai berdasarkan proporsi
jawaban panelis, yang merupakan dokter
yang berpengalaman dalam praktik
kedokteran. Panelis berjumlah 10 orang
dokter praktek umum. Sedangkan skor
kuesioner Sobral menggunakan skala
Likert dari 1 hingga 7. Hasil kuesioner ini
adalah jumlah keseluruhan skor yang ada.
Scr ipt Conco rdance Test
SCT merupakan metode tes yang
mengukur kemampuan logika klinis
(Charlin, B., Roy, L., Brailovsky,C., Goulet,
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
26/78
125
Oktarina. dkk, Peran Refleksi Diri Dalam Kemampuan Logika
F., & Vleuten, C., 2000). SCT disusun oleh
dua orang dokter umum, satu orang dokter
ahli kesehatan anak dan satu orang dokter
ahli penyakit dalam. The SCT was
constructed by 2 general practitioners and1 pediatrician and 1 internist, Dalam
penelitian ini, SCT terdiri dari dua kasus
pediatric dan dua kasus dewasa. Masing-
masing kasus mengandung dua area, yaitu
kemampuan diagnosis dan kemampuan
merencanakan prose-dur diagnostic. Tiap
area memiliki empat pertanyaan. Semua
pertanyaa dijawab oleh panelis. Jumlah
panelis yang merupakan dokter praktek
umum adalah 10 orang. Persentase tiap
pilihan dihitung berdasarkan proporsi
jawaban panelis.
Kuesioner Refleksi Dir i Sobral
Kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan kuesi-oner
refleksi Sobral. Kuesioner ini menilai
refleksi diri dalam proses belajar. Item
kuesioner ini meng-gunakan skala Likert
dengan poin 1 yang menunjukkan “Tidak
Pernah” secara ekstrem dan 7 yang
menunjukkan “Selalu”. Jumlah skor ini
bervariasi dari 14 hingga 98. Instrumen ini
juga menilai pertanyaan-pertanyaan
penilaian diri pada efikasi personal dalam
proses belajar (Sobral, 2000).
HASIL
Data yang diperoleh, dihitung
menggunakan perangkat lunak SPSS
(versi 15.0). Batas signifikansi adalah
p=0.05. Data yang diperoleh, berasal dari
73 orang, atau 77,66% responden yang
mengisi kuesioner dan melakukan tes
secara lengkap. Dari hasil yang terkumpul,
dilakukan pengukuran konsistensi internal.
Kuesioner Sobral memiliki konsis-tensi
internal baik (Cronbach‟s alpha= 0.719).
Sedangkan SCT memilliki reliabilitas baik
dengan Chronbach‟s alpha= 0.792.
Univariat
Dari keseluruhan responden (n=94),
response rate adalah sebesar 77,66%.
Responden terdistribusi atas wanita 57.5%
dan laki-laki 26.0% dan 16.4% sisanya
tidak memberikan informasi. Responden
terdiri atas 2,7% angkatan 2004, 1,4%
angkatan 2005, 13.7% angkatan 2006, dan
61.6% angkatan 2007 dan 4,1% lainnya
tidak memberikan informasi tahun
angkatan. Rentang usia responden
berkisar antara 21 hingga 29 tahun,
dengan 42% berusia 22 tahun.
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
27/78
126
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
Sex
19 26.0 31.1 31.1
42 57.5 68.9 100.0
61 83.6 100.0
12 16.4
73 100.0
male
f emale
Total
Valid
SystemMissing
Total
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Batch
2 2.7 3.4 3.4
1 1.4 1.7 5.2
10 13.7 17.2 22.4
45 61.6 77.6 100.0
58 79.5 100.0
3 4.1
12 16.4
15 20.573 100.0
2004
2005
2006
2007
Total
Valid
9999
System
Total
Missing
Total
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Bivariat
SPSS 15 digunakan dalam analisa data.
Merujuk pada variable bebas dan variable
tergantung yang memiliki skala numkerik,
maka hubungan keduanya dianalisa
menggunakan uji korelasi. Berdasar-kan
asumsi data parametrik, diketahui bahwa
kedua variable tersebut tidak memiliki
distribusi yang normal, sehingga korelasi
Spearman lebih diutamakan dalam menilai
keyakinan hubungan kedua variable
tersebut. Dari korelasi Spearman,
diperoleh hasil bahwa nilai SCT
berhubungan secara signifikan dengan
skor refleksi diri, dengan r = .262, p(one
tailed) < .05.
Age
6 8.2 8.5 8.5
31 42.5 43.7 52.1
12 16.4 16.9 69.0
12 16.4 16.9 85.9
5 6.8 7.0 93.0
1 1.4 1.4 94.4
1 1.4 1.4 95.8
2 2.7 2.8 98.6
1 1.4 1.4 100.0
71 97.3 100.02 2.7
73 100.0
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Total
Valid
0Missing
Total
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
28/78
127
Oktarina. dkk, Peran Refleksi Diri Dalam Kemampuan Logika
KESIMPULAN
Penelitian ini menggali peran
refleksi diri terhadap kemampuan logika
klinis pada mahasiswa kedokteran. Hal ini
merujuk pada keseimbangan metakognisi
dalam mendukung ketercapaian kognisi
untuk mencapai suatu tujuan
pembelajaran. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian
dengan literatur. Literatur menyebutkan
bahwa keahlian/ expertise dicapai oleh
seorang pembelajar yang mahir.
Sedangkan mencapai kemahiran belajar,
tidak hanya membutuhkan kemampuan
kognisi dan informasi keilmuan yang
dibutuhkan, tetapi juga metakognisi.
Metakognisi ini diperlukan dalam
mengenali kebutuhan belajar dan
mengako-modir sesuai dengan
pengetahuan metakognisi atas dirinya
sendiri.
Penelitian ini memiliki keterbatasan
pada homogennya variable perancu
lainnya seperti kurikulum dan suasana
akademik. Untuk itu, disarankan untuk
penelitian selanjutnya, dilakukan eksplorasi
terhadap variable lain yang mempengaruhi
logika klinis ini dalam kaitannya dengan
peng-embangan metakognisi.
Daftar Pustaka1. Boshuizen, H.P.A., & Schmidt, H.G.
(2000). The development of clinical
reasoning expertise. In: J. Higgs & M.
Jones, Clinical Reasoning in the health
Correlations
1.000 .262*
. .014
73 71
.262* 1.000
.014 .
71 71
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (1-tailed)
N
posttest
ref _diri
Spearman's rho
posttest ref _diri
Correlation is s ignif icant at the 0.05 level (1-tailed).*.
Case Processing Summarya
73 100.0% 0 .0% 73 100.0%
71 97.3% 2 2.7% 73 100.0%
posttest
ref _diri
N Percent N Percent N Percent
Included Excluded Total
Cases
Limited to f irst 100 cases.a.
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
29/78
128
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
Professions. Butterworth Heinemann:
Oxford.
2. Charlin, B., Roy, L., Brailovsky,C.,
Goulet, F., & Vleuten, C. (2000). Script
concordance test: A tool to assessreflective clinician. Teaching and
Learning in Medicine, 12 , 189-195.
3. Dunphy, B.C., & Williamson, S.L.
(2004). In Pursuit of Expertise. In:
Advances in Health Science Education,
9, pp.107-127.
4. Dunphy, B.C., Cantwell, R., Bourke, S.,
Fleming, M., Smith, B., Joseph, K.S., &
Dunphy, S.L. (2010). Cognitive
elements in decision making: Toward a
cognitive model for medical education
and understanding clinical reasoning .
Health Science Education, 15, 229-
250.
5. Ertmer, P.A. & Newby, T.J. (1996). The
expert learner: Strategic, self
regulated, and reflective. Instructional
science, 24, 1-24.
6. Fraenkel, J.R., & Wallen, N.E. (2009).
How to design and evaluate research
in education, 7 th ed .. McGraw-Hill. New
York.
7. Peters, E.E. & Kitsantas, A. (2010).
Self-regulation of student epistemic
thinking in science: the role of
metacognitive prompts. Educational
psychology and science education, 30 ,27-52.
8. Ormrod, J.E. (2008) Human Learning ,
(5th ed) Pearson Education; Upper
Saddle River, New Jersey.
9. Schmidt, H.G. & R.M.J.P. Rikers
(2007). How expertise develops in
medicine: knowledge encapsulation
and illness script formation. Medical
Education, 41(12), 1133-1139.
10. Duvivier, R.J., Van Dalen, J., Muijtjens,
A.M., Moulaert, V.R.M.P., Van der
Vleuten, C.P.M, et Scherpbier, A.
2011. The role of deliberate practice in
the acquisition of clinical skills. BMC
Medical Education, 11:101.
11. Sobral, D.T. 2005. Medical Students’
Mindset for Reflective Learning: A
Revalidation Study of the Reflection-In-
Learning Scale. Advances in Health
Sciences Education, 10:4, 303-314.
http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
30/78
129
Oktarina. dkk, Peran Refleksi Diri Dalam Kemampuan Logika
Appendix 1
Table A.I. The Scale of Reflection-in-Learning
Please answer the items below in relation to your learning experiences in the medicalprogramme.Draw a circle around the scale number closer to your usual behaviour
To what extent have I [1=Never 7=Always]
1. Carefully planned my learning tasks in the courses andtraining activities of the medical program
1 2 3 4 5 6 7
2. Talked with my colleagues about learning and methods ofstudy
1 2 3 4 5 6 7
3. Reviewed previously studied subjects during each term 1 2 3 4 5 6 7
4. Integrated all topics in a course with each other and withthose of other courses and training activities 1 2 3 4 5 6 7
5. Mentally processed what I already knew and what I neededto know about the topics or procedures
1 2 3 4 5 6 7
6. Been aware of what I was learning and for what purposes 1 2 3 4 5 6 77. Sought out interrelations between topics in order to constructmore comprehensive notions about some theme
1 2 3 4 5 6 7
8. Pondered over the meaning of the things I was studying andlearning in relation to my personal experience
1 2 3 4 5 6 7
9. Conscientiously sought to adapt myself to the varieddemands of the different courses and training activities
1 2 3 4 5 6 7
10. Systematically reflected on how I was studying andlearning in different contexts and circumstances
1 2 3 4 5 6 7
11. Mindfully summarised what I was learning day in, day out,in my studies
1 2 3 4 5 6 7
12. Exerted my capacity to reflect during a learning experience 1 2 3 4 5 6 7
13. Diligently removed negative feelings in relation to aims,objects, behaviours, topics or problems pertaining to my
Studies 1 2 3 4 5 6 7
14. Constructively self-assessed my work as a learner 1 2 3 4 5 6 7
Material reproduced from Medical Education. Permission granted from BlackwellScience
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
31/78
130
Jasad Renik Dalam Air
Oleh: Rayhana
Abstrak
Air merupakan bagian yang terbesar dari seluruh ekosistem yang ada di dunia. Air
mempunyai beberapa kandungan yang membuatnya sebagai bagian yang penting dari
lingkungan bagi beberapa mikroorganisme dan juga berperan pada fungsi esensial dalam
semua sel hidup. Komposisi air merefleksikan tempat, baik air permukaan ( seperti sungai,
danau) dan air bawah tanah (sering disebut juga Groundwater). Adanya berbagai macam gas
yang larut dalam air menentukan mikroba yang dapat hidup didalamnya.
Mikroorganisme dalam suatu lingkungan akuatik mungkin terdapat pada semua
kedalaman, berkisar dari permukaan sampai ke dasar parit-parit yang paling dalam di dasar
lautan. Populasi terbesar mikroorganisme menghuni "lapisan" teratas dan sedimen dasar,
terutama di perairan dalam. Istilah "mikroorganisme indikator" sebagaimana digunakan dalam
analisis air mengacu pada sejenis mikroorganisme yang kehadirannya di dalam air
merupakan bukti bahwa air tersebut tercemar oleh bahan tinja dari manusia atau hewan
vertebrata Artinya, terdapat peluang bagi berbagai macam mikroorganisme patogenik, yang
secara berkala terdapat dalam saluran pencernaan, untuk masuk ke dalam air tersebut.
Kata kunci: Jasad renik, mikroorganisme, air
PENDAHULUAN
Air merupakan bagian yang terbesar
dari seluruh ekosistem yang ada di dunia.
Air mempunyai beberapa kandungan yang
membuatnya sebagai bagian yang penting
dari lingkungan bagi beberapa
mikroorganisme dan juga berperan padafungsi esensial dalam semua sel hidup .
Contohnya; dapat menyerap koloid dan
partikel dalm bentuk ikatan hidrogen; dapat
menyerap cahaya dari bebrbagai panjang
gelombang, merupakan bagian yang
penting untuk mikroba aquatic; dan air
merupakan pelarut yang sangat efisien ,
yang penting untuk semua organisme baik
didarat maupun di air.
Karena air merupakan pelarut yang
sangat baik, kandungan air alam
sebenarnya melarutkan berbagai macam
substansi. Oleh karena itu mungkin tidak
ada air yang benar-benar murni, pun
dilaboratorium dimana berbagai macam
distilasi menghasilkan sampel yang sangat
murni, karena sejumlah kecil komponen
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
32/78
131
Rayhana, Jasad Renik Dalam Air
dari gelas atau tabung larut kedalam
larutan ini. Pengertian ”pure water” dapat
digunakan terhadap air yang aman untuk
diminum tetapai jah dari murni dari segi
kimia dan mikrobiologinya.
Air hujan mempunyai ketidak-murnian
yang lebih sedikit dibandingkan air yang
bersal dari tempat lain seperti danau,
sungai; oleh karena air ini hanya terkonta-
minasi dari kandungan yang terdapat di
udara. Seperti dapat dilihat pada tabel 1,
sampel air hujan yang mengandung sangat
sedikit nutrien. Dibandingkan air hujan
yang berasal dari daerah nonindustri, air
hujan yang berasal dari daerah industri
mengandung material terlarut yang lebihbanyak, terutama sulfat, ion ammonium
dan lain-lain. Dan juga mungkin
mengandung lebih banyak bahan toksik.
Bila air hujan telah sampai tanah
kandungan bahan yang terlarut menjadi
lebih banyak.
Tabel 1. Jumlah substansi didalam air
Komposisi air merefleksikan tempat,
baik air permukaan ( seperti sungai,
danau) dan air bawah tanah (sering
disebut juga Groundwater ). Gas seperti
CO2 dan methane larut didalam air tanah.
Adanya berbagai macam gas yang larut
dalam air menentukan mikroba yang dapat
hidup didalamnya.
Air yang mengalir sepanjang strata
tanah mengalami perubahan pada gas dan
nutrient yang larut didalamnya. Selama
musim panas suhu air betambah 10F setiap
kenaikan 50 ft . Suhu air biasanya berkisar
antara 1-1000C. Sangat mengagumkan
karena kita dapat menemukan berbagai
macam mikroorganisme yang dapat
bertahan dengan rentang suhu tersebut.
Misalnya : didaerah geiser dimana suhu >
900C, spesies thermophilic bisa hidup.
Sedangkan didaerah yang sangat dingin
beberapa fungi dan bakteri ( psychrophiles)
dapat hidup.
Kadar pH air menentukan organisme
yang hidup di dalamnya, misalnya mata air
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
33/78
132
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
di Yellowstone National Park mempunyai
pH antara 2-4, sehingga organisme yang
hidup didalamnya adalah yang dapat
bertahan pada pH rendah. Berlawanan
dengan daerah yang pHnya tinggi (alkali)oragnisme yang ada adalah yang dapat
hidup di pH >9.
Air sungai dan danau kaya dengan
nutrient, dan bervariasi tergantung pada
berbagai faktor seperti karakter
geochemical suatu daerah dan zat-zat
yang ditambahkan kedalamnya. Air yang
mengalir ke arah laut, semakin dekat
dengan laut, kadar garamnya semakin
meningkat. Air laut kandungan garamnya
cukup tinggi (3,5%) dibandingkan kadargaram air tawar 0,05%, tetapi air laut
sedikit mengandung nutrient seperti
phosphate dan nitrate. Organisme yang
hidup di laut disebut halophilic . Tabel 2
memperlihatkan kandungan mineral yang
terdapat di air laut.
Tabel 2. Kandungan Mineral dalam air laut
Setiap bagian dari air memperlihatkan
ekosistem yang kompleks. Energi didapat
dari cahaya, akan berubah menjadi energi
kimia melalui produser fotosintesa primer,
baik alga atau cyanobacteria (dalam
kondisi aerobik) atau bakteri (dalam kondisi
anaerobik). Produser primer memerlukan
nutrient inaorganik, mengutilisasi CO2
sebagai sumber Carbon. Mereka bertindak
sebagi rantai makanan pertama,
menyedia-kan makanan untuk protozoa
dan invertebrata kecil yang kemudian akan
menjadi makanan ikan.
Nutrient inorganik bisa juga berasaldari sampah yang membusuk, daun mati,
bangkai binatang dll. Mereka dirubah
menjadi bahan inorganik oleh suatu
dekomposer, termasuk bakteria dan jamur.
Dekomposer juga merupakan bagian dari
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
34/78
133
Rayhana, Jasad Renik Dalam Air
rantai makanan, sebagai makanan untuk
heterotrophic protozoa dan invertebrata.
Sebagian kecil yang tidak dikomposisi
akan mengendap di dasar sungai menjadi
lumpur atau lama kelamaaan berubahmenjadi minyak bumi atau batu bara.
1. Perairan alamiah
Kelembapan bumi berada dalam
sirkulasi yang berkesinam-bungan, yaitu
suatu proses yang dikenal sebagai daur air
atau daur hidrologis. Istilah ini mengacu
pada sirkulasi air dari lautan dan air-airpermukaan lain menuju atmosfer melalui
evaporasi dan transpirasi, diikuti dengan
presipitasi kembali ke bumi sebagai hujan
batu es.
Perairan alamiah dapat diklasifikasikan
menjadi: (Gambar 1)
1. Air atmosfer: Air yang terkandung
dalam awan dan dipresipitasikan
sebagai hujan, salju, atau hujan
batu es.
2. Air permukaan: Kumpulan air seperti
danau, kali, sungai, dan laut.
3. Air di bawah permukaan tanah: Air
di bawah permukaan tanah di
daerah yang semua pori tanahnya
serta ruang di dalam dan di antarabatu-batuannya jenuh dengan air.
Gambar 1. Daur hidrologis, menggambarkan sistem sirkulasi air permukaan bumi keatmosfer dan kembali ke bumi
Telah diperkirakan bahwa jumlah air
yang menguap setiap tahunnya dari lautan
ialah sebanyak 330.000 kilometer kubik se-
dangkan dari danau dan permukaan tanah
sebanyak 62.500 kilometer kubik.
Penguapan total diimbangi oleh presipitasi
total, dari jumlah tersebut 100.000
kilometer kubik jatuh ke permukaan tanah.
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
35/78
134
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
2. Mikroorganisme di perairan alamiah
Mengingat bahwa berbagai
lingkungan perairan alamiah itu demikian
berbedanya, maka tidaklah mengherankan
bila mikrobanya juga amat berbeda-beda.Mikroba di perairan atmosfer banyak
berasal dari udara. Sebenarnya udara
dapat dikatakan "tercuci" hujan sehingga
partikel-partikel debu tempat melekatnya
mikroorganisme terakumulasikan di dalam
perairan atmosfer.
Mikroba perairan di bawahpermukaan tanah dipengaruhi oleh proses
penyaringan. Mikroorganisme tertahan
oleh bahan partikulat dalam tanah yang
berfungsi sebagai saringan (filter). Dengan
demikian besar kemungkinan perairan
yang berada jauh di bawah permukaan
tanah bebas dari mikroorganisme. Mata air
terdiri dari air tanah yang mencapai
permukaan melalui bagian batuan yang
retak atau pori tanah; sumber-sumber air
semacam ini dapat mempunyai kualitas
mikrobiologis yang "baik".
Perairan permukaan, seperti danau,
kali, sungai, muara, dan lautan, merupakan
suatu ekosistem mikrobiologis yang amat
rumit. Perairan demikian kurang lebih
rentan terhadap pencemaran berkala oleh
mikroorganisme dari air atmosfer, aliran air
pada permukaan tanah, dan limbah
domestik ataupun industri yang dibuang ke
dalamnya. Perairan permukaan amat
bervariasi dalam hal kandungan nutrien
yang tersedia bagi mikroba, keadaan fisik,
dan ciri-ciri biologisnya. Dengan demikian
jelaslah bahwa terdapat perbedaan yangamat besar dalam hal populasi mikroba
yang terdapat di dalamnya.
3. Penyebaran mikroorganisme akuatik
Mikroorganisme dalam suatu
lingkungan akuatik mungkin terdapat pada
semua kedalaman, berkisar dari
permukaan sampai ke dasar parit-parityang paling dalam di dasar lautan.
Populasi terbesar mikroorganisme
menghuni "lapisan" teratas dan sedimen
dasar, terutama di perairan dalam.
Plankton (fitoplankton dan zoo-
plankton). Kumpulan organisme hidup
yang seba-gian besar terdiri darimikroorganisme, yang terapung dan
hanyut pada permukaan ekosistem
akuatik, dinamakan plankton. Populasi
plankton terdiri dari algae (fitoplankton),
protozoa, hewan kecil (zooplankton), dan
mikroorganisme lain. Mikroor-ganisme
fototrofik dianggap sebagai plankton yang
paling penting karena merupakan
produsen primer bahan organik; artinya,
pelaku fotosintesis. Sebagian besar
organisme planktonik dapat bergerak, atau
mengandung tetesan minyak, atau memiliki
struktur khusus yang memungkinkan
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
36/78
135
Rayhana, Jasad Renik Dalam Air
mereka mengapung; kesemua ciri ini
membantu orga-nisme tersebut untuk
mempertahan-kan lokasinya di zone
fotosintetik yang berada di lapisan air
bagian atas.
Mikroorganisme bentik
Mikroorganisme yang merupa-kan
penghuni suatu dasar perairan (lumpur
tanah) dinamakan orga-nisme bentik.
Daerah terkaya akan jumlah dan macam
organisme pada sistem muara-laut ialah
daerah bentik, yang terbentang dari pa-sang naik sampai suatu kedalaman di
tempat tanaman sudah jarang tumbuh.
Daerah dasar laut mengan-dung berjuta
juta bakteri per gram.
Keadaan fisik dan komponen-
komponen kimiawi yang mencirikan daerah
perairan di antara zone planktonik dan
bentik sangat bervariasi sehingga tidak ada
gunanya untuk mencoba membuat
gambaran umum. Pikirkanlah seje-nak
mengenai perbedaan antara kolam dan
lautan! Kolam dan danau juga memiliki
zonasi dan stratifikasi yang khas, dan telah
tersedia banyak informasi mengenai
populasi mikrobiologis yang menghuninya.
4. Peranan mikroorganisme dalam
lingkungan akuatik
Kehidupan akuatik memper-tunjukkan
adanya interaksi yang amat rumit di antara
mikroorga-nisme, dan antara
mikroorganisme dengan makroorganisme,
baik tumbuhan maupun hewan. Mikroor-
ganisme, terutama algae memegang
peranan penting dalam rantai makanan
lingkungan akuatik.
Produsen primer dalam lingkungan
akuatik ialah algae, yang didominasi oleh
fitoplankton. Dengan fotosintesis, algae
mampu meng-ubah energi cahaya menjadi
energi kimiawi (persenyawaan organik).
Protozoa (spesies Foraminifera dan
Radiolaria, dan juga banyak spesies
berflagela dan bersilia) juga terctapat
dalam jumlah banyak di daerah yang
dihuni fitoplankton.. Jenis jenis zooplankton
ini hidup dari organisme fitoplanktorr;
bakteri, dan zat-zat organik atau, anorganik
sebagai makanannya. Menurut penyelidi-
kan, zooplankton menghindari cahaya danmempertunjukkaan migrasi diurnal. Pada
malam hari zooplankton memakan
fitoplankton di permukaan; sedangkan
siang hari berada di zone fotik.
Plankton, terutama fitoplankton
dianggap sebagai "padang rumput di laut".
Ikan, ikan paus, dan cumi-cumi secara
langsung memakan plankton atau hewan
yang lebih besar pemakan plankton .Istilah
kesuburan lautan dipakai untuk
menyatakan kemampuan organisme-
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
37/78
136
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
organisme yang terdapat di dalamnya
untuk menghasilkan bahan organik.
Lingkungan darat menghasilkan 1
sampai 10 g bahan organik kering per
meter persegi per hari, sedangkan daerah-
daerah lautan yang dalam menghasilkan
0,5g. Bagaimanapun juga, daerah laut jauh
lebih luas daripada lahan yang produktif
sehingga perbedaan tersebut tidak penting
karena pada akhirnya produktivitas total
lautan jauh melebihi produktivitas total
lahan. Kesuburan ini terutama bergantungkepada produksi fitoplankton. Pertumbuh-
an organisme fitoplankton bergantung
kepada energi cahaya, karbon diokside,
air, persenyawaan nitrogen dan fosfor
anorganik, dan beberapa unsur dalam
jumlah amat kecil (unsur mikro). Nitrogen,
fosfor, dan unsur-unsur mikro dibuat
menjadi bentuk tersedia melalui kegiatan
biokimiawi mikroorganisme, terutama
bakteri.
Kegiatan tersebut meliputi disimilasi
substrat organik (jaringan tumbuh-
tumbuhan dan hewan) dan menghasilkan
persenyawaan anorganik, yang dikenal
dengan proses mineralisasi. Rangkaian
transformasi kimiawi yang menghasilkan
nutrien bagi berbagai spesies kehidupan
akuatik mengikuti jalan yang mirip seperti
yang digambarkan pada daur nitrogen
dalam tanah.
Algae planktonik, dalam lingkungan
tertentu, dapat tumbuh menjadi populasi
yang sangat besar sehingga dapat
mengubah warna air. Warna khas Laut
Merah disebabkan oleh populasi padatalgae hijau-biru (sianobakteri), Oscillatoria
erythraea, yang mengandung pigmen
fikoeritrin, dan fikosianin. Demikian pula
"pasang merah" (red tides) disebabkan
oleh pertumbuhan eksplosif spesies-
spesies planktonik tertentu. Di samping itu,
ada pula populasi padat mikroorganisme
lain yang memberi warna coklat, kuning
sawo, atau kuning kehijau-hijauan pada
daerah perairan yang luas. Di berbagai
daerah akuatik yang berbeda terdapat
banyak tipe fisiologis bakteri.
Di antara kelompok psikrofilik
terdapat bakteri tertentu yang bercahaya,
yang dapat menghasil-kan cahaya bila ada
oksigen. Beberapa bakteri (Flavo-
bacterium, Micrococcus dan Chromo-
bacterium) di daerah permukaan ling-
kungan marin seringkali berpigmen, suatu
ciri khas yang dimilikinya untuk melindungi
diri terhadap bagian dari radiasi sinar
matahari yang bersifat letal. Bakteri yang
banyak ditemui di daerahdaerah yang
tercemari hasil buangan rumah tangga dan
kaya akan nutrien organik meliputi bakteri
Coli, streptokokus tinja, dan spesies-
spesies dari genus Bacillus, Proteus,
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
38/78
137
Rayhana, Jasad Renik Dalam Air
Clostridium, Sphaerotilus, Beggiatoa,
Thiothrix, Thiobacillus, dan banyak lainnya.
Virus enterik juga mungkin dapat dijumpai
di situ. Di daerah-daerah muara yang
miskin akan nutrien, seringkali terdapat,bakteri tunas dan/ atau berapendiks seperti
Hyphomicrobium, Caulobacter, Gallionella,
di samping pseudo-monad .
Di daerah muara yang dangkal,
peranan mikroba fotosintetik sebagai
produsen primer jauh lebih kecil. Tumbuh-
tumbuhan di sepanjang garis pantaimemberikan daun, batang, dan zat organik
lain kepada lingkungan tersebut.
Fitoplankton dan algae bentik merupakan
sebagian kecil dari bahan makanan yang
tersedia di muara dangkal. V.egetasi
organik diuraikan oleh bakteri dan
cendawan dan diubah menjadi proteinmikrobial yang dapat merupakan nutrien
untuk protozoa. Namun, di daerah muara
terdapat banyak pemakan bahan makanan
berupa potongan-potongan (bangsa udang
dan kepiting herbivora dan omnivora,
kerang-kerangan, larva serangga,
nematode, dan beberapa jenis ikan).
Mereka memperoleh energinya dari bahan
tanaman berpembuluh yang terdapat di
sepanjang pantai.
Tabel 4. Mikroorganisme marine
5. Pencemaran (polusi) air
Kontaminan yang mencemari air
digolongkan ke dalam tiga kategori:
kimiawi, fisik, dan hayati. Kontaminan-
kontaminan tertentu dalam setiap kategori
ini dapat mempunyai pengaruh nyata ter-
hadap kualitas air.
Karena mempunyai potensi untuk
berlaku sebagai pembawa mikroorganisme
patogenik, air dapat membahayakan
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
39/78
138
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011
kesehatan dan kehidupan. Patogen yang
paling sering disebarkan melalui air ialah
yang menyebabkan infeksi pada saluran
pencernaan, yaitu demam tifoid dan
paratifoid, disenteri (basilar dan amebik),kolera, dan virus enterik. Organisme
penyebab penyakit-penyakit ini terdapat
dalam tinja atau air seni orang yang
menderita infeksi dan ketika dibuang dapat
memasuki kumpulan air yang pada
akhirnya berfungsi sebagai sumber air
minum.
Sejalan dengan hal tersebut maka harus
ada :
(1) Prosedur untuk memeriksa air dan
menetapkan kualitas mikrobiologisnya
(2) Metode pemurnian air untuk
menyediakan air minum yang aman
(3) Fasilitas pembersih air untuk air
buangan sebelum dibuang atau
digunakan kembali.Permurnian air
Air mungkin saja terlihat jernih, tak
berbau, dan tak berasa, tetapi tidak aman
untuk diminum. Air yang baik dan aman
untuk diminum ialah air yang bebas dari
-
8/18/2019 Edisi Juli 2011
40/78
139
Rayhana, Jasad Renik Dalam Air
mikroor-ganisme penyebab penyakit dan
zat kimia yang merusak kesehatan.
Pencemaran air oleh mikroorga-nisme atau
zat-zat kimia berarti air tersebut mengalami
polusi dan tidak dapat diminum.
6. Persediaan air untuk rumah tangga
Sumber-sumber dalam tanah, yaitu
sumur dan mata air, menyediakan
sebagian besar air untuk rumah-rumah
perorangan di daerah pedesaan. Air
permukaan tidak boleh diminum kecuali
bila diberi perlakuan (atau dididihkan)
sebelumnya untuk menghilangkan
kontaminan, karena air tersebut selalu
terancam bahaya polusi. Air dari sumur
atau mata air telah mengalami penyaringan
selama perjalanannya menembus lapisan-
lapisan tanah sehingga partikelpartikel
yang tersuspensikan di dalamnya termasuk
mil:roorganisme menjadi tersingkirkan.
Amatlah penting untuk mengusahakan
agar persediaan air tanah yang dipilih itu
memptulyai lokasi yang baik sehingga
terhindar dari pencemaran dari kakus
umum. perigi jamban, tangki septik, dan
kandang ternak.
Air yang berasal dari sumber-sumber
tersebut di atas sebaiknya diperiksakan
secara berkala di laboratorium tuntuk
memperoleh kepastian bahwa air tersebut
aman untuk diminum. Sistem air masyara-
kat umum Amerika terlibat di dalam
produksi dan distribusi air yang-terawasi
dengan baik sehingga aman untuk
dilninum. Pelayanan ini membantu
memberantas penyebab demam tifoid -