edisi juli 2011

Upload: kamal

Post on 07-Jul-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    1/78

     

    100

    Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko Lainnya Dengan Kejadian OsteoporosisPada Kelompok Dewasa Awal Di Wilayah Ciputat-Tangerang Selatan

    The Correlation between Calcium Intake and The Others Risk Factors withOsteoporosis in The Erly Adulthood Group in Ciputat-Tangerang Selatan

    Oleh : Tria Astik a Endah Permatasari

    Abstrak

    Puncak pembentukan massa tulang (peak bone mass) terjadi pada usia antara 20-30

    tahun. Periode yang menentukan kesehatan tulang pada kehidupan berikutnya ini terjadi

    bervariasi untuk setiap individu. Penurunan Densitas Massa Tulang (DMT) akan terus terjadi

     jika pembentukan massa tulang sudah tercapai dan akan meningkat seiring dengan

    bertambahnya usia. Setiap orang berisiko mengalamai osteopenia atau terjadinya penipisan

    massa tulang bahkan menderita osteoporis atau keropos tulang pada usia dewasa awal.

    Kondisi ini terjadi karena adanya transisi gaya hidup dari masa remaja ke masa dewasa awal

    terutama pola makan.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara asupan kalisum dan

    faktor risiko lainnya dengan kejadian osteoporis pada kelompok dewasa awal di wilayah

    Ciputat Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan disain studi potong lintang (cross

    sectional). Waktu penelitian pada bulan Januari-Juni tahun 2011 dengan jumlah responden

    sebanyak 170 orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta berusia 20-25 tahun .Hasil analisis univariat menunjukkan hasil sebanyak 6,3% (11 orang) responden pada usia

    dewasa awal sudah menderita osteoporosis dan sebanyak 51,1% osteopenia. Sebanyak

    59,2% responden asupan kalisumnya

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    2/78

    101

    Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko 

    Penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan upaya pencegahan dini

    terjadinya osteoporosis pada usia dewasa awal secara nyata dengan meningkatkan

     penganekaragaman makanan sumber ]kalsium sehingga asupan kalsium sesuai Angka

    Kecukupan Gizi (AKG) terutama konsumsi susu, mempertahankan berat badan ideal serta

    meningkatkan olahraga dengan pembebanan seperti jalan kaki.  Kata Kunci: Osteoporosis, Osteopenia, Denistas Massa Tulang (DMT), Asupan Kalsium.

    Abstract

    Peak bone mass was held at the age of 20-35 years. This periode is very important for

    bone health status in life cycle that different for each individual. Bone Mass Density (BMD) will

    be decreased continously when peak bone mass was passed and correlation with the age

    increase. Everyone have risk to get osteopenia which decrease in bone mass or osteoporosis

    that is state of the bones become thin and brittle in early adulthood. Changes of lifestyle in

    early adulthood as a period of transition from adolescence especially for food consumption

    pattern.

    The purpose of this study to analyze correlation between calcium intake and the others

    risk factors with osteoporosis in the early adulthood group in Ciputat-Tangerang Selatan.

    Research using cross-sectional study design in January-June 2012 with 170 respondents age

    20-25 years. Univariat analysis shows that 6,5% respondents osteoporosis, 53% osteopenia.

    Bivariat analysis shows risk factors that siginificant influence of osteoporosis are calcium

    intake (Odds Ratio, OR = 9,390, vitamin D intake (OR=6,915), sex (OR=12,083), Body Mass

    Index (OR=3,958), calcium source consumption (OR=4,226) dan calcium supplement

    consumption (OR=4,226). Weigh-bearing exercises have not correlation with osteoporosis

    but shows the trends that osteoporosis lower for respondent exercise continously.

    The results of research can support early prevention for osteoporosis in early adulthood.

    The efforts to prevent osteoporosis are increasing the diversification of high calcium food

    sources that suitbale with Recommended Dietary Allowance (RDA), increase weigh-bearing

    exercise.

    Keywords: Osteoporosis, Osteopenia, Bone Mass Density (BMD), Calcium Intake

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    3/78

    102

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    Pendahuluan

    Sumber Daya Manusia (SDM) yang

    sehat, cerdas dan berkualitas merupakan

    aset suatu bangsa. SDM paling produktif

    ditunjukkan pada masa dewasa karenakesehatan fisik yang optimal terutama

    puncak pembentukan tulang ( peak bone

    mass) terjadi pada rentang usia 20-35

    tahun. Setelah melewati masa tersebut

    kepadatan masssa tulang mulai menipis

    bahkan tulang menjadi keropos dan

    berisiko mengalami fraktur.1 Penyakit yang

    dikenal dengan silent disease  karena

    gejala dan tandanya tidak secara nyata

    dikenali ini prevalensinya cenderung

    meningkat dari tahun ke tahun.2  Penyakit

    ini tidak hanya diderita oleh kelompok

    lanjut usia namun dapat dialami oleh

    kelompok dewasa awal karena puncak

    pembentukan masaa tulang berbeda untuk

    setiap individu.3 

    Penduduk Asia diprediksi sebanyak

    50% pada tahun 2050 menderita patah

    tulang panggul oleh International Osteopo-

    rosis Foundaction (IOF) mengalami patah

    tulang panggul sebesar 50% penduduk

    pada orang Asia. Puslitbang Gizi dan

    Makanan Departemen Kesehatan yang

    bekerjasama dengan PT Fonterra Brands

    Indonesia (2005) melakukan penelitian di

    beberapa wilayah Indonesia dengan

    melibatkan sampel hingga 65.727 orang

    diperoleh hasil bahwa prevalensi

    osteopenia mencapai 41,8%, sebanyak

    10,3% menderita osteo-porosis. Penduduk

    kelompok umur 20-40 tahun di Kota Depok

    dinyatakan 43,3% responden mengalami

    osteopenia.

    5

      Penelitian serupa denganmetode yang sama pada 100 orang

    mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat

    Universitas Indonesia diperoleh hasil

    sebanyak 50,5% responden mengalami

    penurunan kepadatan massa tulang.6

    Osteoporosis terjadi disebabkan oleh

    berbagai faktor risiko terutama asupan

    kalisum. Salah satu mineral utama yang

    sangat berkontribusi terhadap pembentu-

    kan tulang adalah kalsium. Lebih dari 99%

    kalsium terdapat dalam jaringan keras

    yaitu tulang dan gigi.7,8

     Sekitar 91% volume

    tulang orang dewasa dibentuk sekitar akhir

    usia remaja atau masa dewasa awal.

    Pada masa remaja penyerapan kalsium

    dari komsumsi makanan dapat mencapai

    75% lalu menurun hingga 20-40% begitu

    menginjak usia dewasa.9  Namun asupan

    kalsium harian orang Indonesia masih

    banyak yang belum mencukupi jumlah

    kalsium yang dibutuhkan untuk memelihara

    tulang maupun tubuh.10

     

     Asupan kalsium harian orang

    Indonesia berdasarkan laporan dari

    Institute of Medicine, US (1997) hanya

    memenuhi 25-30% dari kebutuhan kalsium

    per harinya. Rata-rata asupan kalsium

    orang Indonesia sebesar 289 mg kalsium

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    4/78

    103

    Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko 

    per hari. Sedangkan pada populasi

    Indonesia Angka Kecukupan Gizi (AKG)

    untuk kalsium baik bagi laki-laki maupun

    perempuan usia 19 - 64 tahun adalah

    sebesar 800 mg.

    11

      Kalsium yang adekuat(sekitar 1000 mg) akan memberikan

    manfaat positif pada sistem rangka baik

    untuk memaksimalkan  peak bone mass

    (puncak massa tulang) yang terjadi pada

    usia 20-35 tahun.12

     

    Berdasarkan masalah tersebut

    muncullah pertanyaan penelitian mengenai

    bagaimanakah hubungan antara asupan

    kalsium dan faktor risiko lainnya dengan

    kejadian osteoporosis pada kelompok usia

    dewasa awal (usia 20-25 tahun) di wilayah

    Ciputat-Tangerang Selatan. Penelitian ini

    dilakukann sebagai gambaran dalam

    upaya melakukan pencegahan dini

    terjadinya osteoporosis pada kelompok

    usia produktif terutama pada usia dewasa

    awal.

    Metode

    Penelitian ini menggunakan desain

    studi potong lintang (cross sectional ).

    Instrumen peneltian adalah kuesioner dan

    wawancara untuk memperoleh data primer

    mengenai berbagai faktor risiko yang

    meliputi kebiasaan olahraga dengan

    pembebanan, tingkat pengetahuan

    mengenai osteoporosis, dan jenis kelamin.

    Kuesioner terlebih dahulu di lakukan uji

    validitas dan reliabilitas dimana r hutung > r

    tabel. Frekuensi konsmsi makanan sumber

    kalsium, bahan makanan penghambat

    penyerapan kalsium (teh, kafein dan soft

    drink ), konsumsi suplemen diperoleh

    melalui instrumen FFQ (Food FormulirQuostinnaire). Formulir 24 hours recall  

    digunakan untuk mengtahui asupan

    makanan antara lain asupan kalsium dan

    asupan vitamin D yang bekerja secara

    sinergis dalam pembentukan tulang.

    Pengukuran secara langsung untuk

    mengetahui Indeks Massa Tubuh (IMT)

    dilakukan dengan mengukur Tinggi Badan

    (TB) dengan alat Microtose dan Berat

    Badan (BB) dengan timbangan SECA

    digital. Pengukuran densitas massa tulang

    bekerjasama dengan PT.Fonterra Brands

    Indonesia menggunakan  Achilles Express/

    Insight Metode Quantitative Ultrasound  

    dengan keakuratan pengukuran sebesar

    97%. Hasil pengukuran berupa nilai t-score 

    yaitu normal jika nilai t-score  >-1 SD,

    osteopenia jikan nilai t-score  antara -1 SD

    sampai ≤ -2,5 SD dan osteoporosis jika

    nilai t-score

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    5/78

    104

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    seluruh fakultas dengan rumus besar

    sampel variabel dependen kategori satu

    populasi dan teknik pengambilan sampel

    adalah menggunakan random sampling.

    Metode analisis yang digunakan meliputianalisis univariat dan bivariat dengan uji

    chi square.

    Hasil

    Responden dari penelitian ini

    sebanyak 170 orang yang diambil secara

    random. Lokasi penelitian dipilih

    Universitas Muhammadiyah Jakarta karena

    merupakan salah satu universitas swasta

    di wilayah Ciputat Tangerang Selatan yang

    cukup besar dan memilki mahasiswa dari

    multikultur serta memiliki ragam gaya hidup

    dan pola makan. Berikut adalah hasil

    analisis univariat dan bivariat :

    Analisis Univariat

    Hasil penelitian menunjukkan

    sebanyak 6,5% responden sudah

    mengalami osteoporosis pada usia dewasa

    awal (20-25 tahun), 52,9% lainnya

    osteopenia. Responden yang asupan

    kalsiumnya ≤80% AKG sebanyak 59,2%,

    responden yang asupan vitamin D ny ≤

    80% AKG sebanyak 62,4%, responden

    perempuan lebih banyak (53,5%) daripada

    responden laki-laki (46,5%), IMT tidak

    normal (kurus maupun gemuk) sebanyak

    42,4%, sebanyak 52,9% mahasiswa tidak

    terbiasa melakukan aktivitas olahraga

    dengan pembebanan (weigh-bearing

    exercise), 30% responden memiliki

    pengetahuan yang cukup mengenaiosteoporosis, sebanyak 52,9% responden

    frekuensi konsumsi makanan sumber

    kaliumnya < median, frekuensi konsumsi

    makanan dan minuman penghambat

    penyerapan kalsium seimbang prosentase-

    nya antara responden yang frekuensi

    konsumsinya < median (50%) dengan

    responden yang frekuensi konsumsinya ≥

    median, serta responden yang tidak

    memiliki kebiasaan konsumsi suplemen

    adalah sebanyak 53,5% (Lihat Tabel 1).

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    6/78

    105

    Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko 

    Tabel 1. Analisis Univariat Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko Lainnyadengan Kejadian Osteoporosis pada Kelompok Dewasa Awal di Wilayah Ciputat-

    Tangerang Selatan

    Variabel Kategori n %

    Osteoporosis Osteoporosis

    OsteopeniaNormal

    11

    9069

    6,5

    52,940,6

    Jenis Kelamin Laki-lakiPerempuan

    7991

    46,553,5

    IMT

    Kebiasaan Olahraga

    Tingkat Pengetahuan tentang Osteoporosis

    Frekuensi Konsumsi Makanan Sumber

    Kalsium

    Frekuensi Konsumsi Makanan danMinumanPenghambat penyerapan Kalsium

     Asupan Kalsium

     Asupan VitaminD

    Tidak NormalNormalTidak OlahragaYa, OlahragaCukupBaik< median

    ≥ median < median≥ median 

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    7/78

    106

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    Tabel 2. Analisis Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Osteopenia

    Variabel Kategori Nilai p OR

    Jenis Kelamin*

    IMT*

    Laki-lakiPerempuanTidak Normal

    Normal

    0,004

    0,037

    12,083

    3,958

    Kebiasaan Olahraga Tidak olaharagaYa, Olahraga

    0,174

    Tingkat Pengetahuan Osteoporosis CukupBaik

    0,570

    Frekuensi konsumsi makanan sumberkalsium

    < median≥ median 

    0,645

    Frekuensi konsumsi makanan danminuman penghambat penyerapankalsium*

    ≥ median < median

    0,048 4,226

    Kebiasaan konsumsi suplemen kalsium* Ya

    Tidak

    0,048 4,226

     Asupan Kalsium*

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    8/78

    107

    Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko 

    tulang) lebih banyak dibandingkan

    osteoblast (membentuk tulang baru)14

    .

    Osteo-porosis terjadi disebabkan oleh

    banyak faktor dan kondisi ini tidak

    menimbulkan gejala yang nyata atau rasasakit sehingga banyak orang mengabaikan

    dampaknya dan masalah kesehatan tulang

    ini disadari saat sudah terjadi

    pengeroposan tulang dan berisiko untuk

    mengalami fraktur 15

    .

    Jenis kelamin berhubungan secara

    bermakna terhadap kejadian osteoporosis.

    Perempuan memilki risiko lebih tinggi

    mengalami osteoporosis dibandingkan laki-

    laki yaitu sebesar 12,083 kali. Massa

    tulang perempuan umumnya 4 kali lebih

    kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini

    disebabkan laki-laki memilki  peak bone

    mass  lebih tinggi dari perempuan.

    Sementara perempuan juga mengalami

    penurunan massa tulang lebih cepat

    dibandingkan laki-laki terutama berkaitan

    dengan kadar estrogen pada perempuan16

    .

    Selain itu, Indeks massa tubuh pun

    menjadi faktor risiko utama terjadinya

    osteoporosis. Pada hasil analisis dari

    penelitian ini IMT berhubungan secara

    bermakna dengan terjadinya osteoporosis.

    Orang yang memiliki IMT tidak normal

    terutama IMT „kurus‟ berpeluang 3,958 kali

    untuk menderita osteoporosis dibanding-

    kan dengan responden yang IMT nya

    „normal‟. Begitupun pada penelitian serupa

    lainnya Di Eropa risiko terjadinya patah

    tulang panggul meningkat pada orang

    dengan IMT „kurus‟. Penelitian lain yang

    memper-kuat hasil penelitian ini adalah

    pada penduduk usia dewasa di KotaDepok baik di daerah urban maupun rural,

    membuktikan adanya hubungan sangat

    kuat dalam terjadinya osteopenia. IMT

    „kurus‟ lebih berisiko menimbulkan osteo-

    penia dibandingkan IMT normal.17

     

     Aktifitas olahraga dengan pembe-

    banan (weigh-bearing exercise) dapat

    membantu pembentukan osteoblast lebih

    aktif. Olahraga lompat tali atau jalan kaki

    sekitar 30 menit yang dilakukan tiga atau

    empat kali dalam seminggu dapat

    meningkatkan massa panggul dan

    mengurangi penurunan massa tulang.13 

    Pada penelitian ini aktivitas olahraga tidak

    memiliki hubungan secara bermakna

    dengan osteoporosis (p value = 0,174).

    Namun hasil analisis menunjukkan

    terdapat kecenderungan bahwa osteo-

    porosis proporsinya lebih banyak terjadi

    pada responden yang tidak melakukan

    aktivitas olahraga secara rutin (8,9%)

    dibandingkan dengan responden yang

    melakukan aktivitas olahraga (3,8%).

    Frekuensi konsumsi makanan sumber

    kalsium terutama yang berasal dari bahan

    pangan hewani seperti susu dan produk

    olahannya masih tergolong rendah pada

    responden penelitian ini. Umunya

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    9/78

    108

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    responden mengonsumsi susu ≤ 2 gelas

    per hari. Padahal kandungan kalsium

    dalam susu sangatlah tinggi. Oleh karena

    itu konsumsi susu disamping bahan

    pangan lain yang mengandung kalsiumtinggi menjadi salah satu upaya dalam

    memenuhi kebutuhan kalsium harian

    karena mengandung 143mg/100 mililiter

    susu. Dianjurkan minum susu sedikitnya

    2-3 gelas per hari (200ml/gelas) untuk

    memenuhi kebutuhan 800 mg kalsium per

    hari.18

      Hasil analisis menunjukkan

    responden yang memiliki frekuensi

    konsumsi makanan sumber kalsium tinggi

    akan terhindar dari osteoporosis sebanyak

    4,226 kali dibandingkan responden yang

    frekuensi konsumsi makanan sumber

    kalsiumnya < median.

     Asupan kalsium merupakan fajadi

    faktor risiko yang utama dalam

    menyebabkan osteoporosis. Hal ini

    disebabkan menjadi syarat mutlak

    terdapatnya kalsium sebag mineral utama

    yang diperlukan dalam pembentukan

    tulang. Fungsi kalisum ini bersinergis

    dengan fungsi vitamin D dalam

    pembentukan tulang. Angka Kecukupan

    Gizi (AKG) kalsium usia 19-29 tahun baik

    untuk laki-laki maupun perempuan 800 mg

    per hari. Lebih dari separuh (59,2%)

    responden belum memenuhi kebutuhan

    kalisum sesuai dengan 80% AKG. Institute

    of Medicine, US (1997) melaporkan rata-

    rata asupan kalsium orang Indonesia

    hanya 25-3-% dari AKG atau sekitar 289

    mg per hari. Asupan kalsium yang cukup

    akan membantu mengoptimalkan puncak

    pembentukan massa tulang

    19

    . Kalsiumyang diperoleh dari sumber makanan yang

    mengandung tinggi kalsium lebih

    memberikan dampak positif pada

    kesehatan tulang daripada hanya

    mendapatkan kalsium dalam bentuk

    suplemen19

    . Hasil penelitian ini memper-

    lihatkan bahwa responden yang tidak

    cukup asupan kalsiumnya berisiko 9,390

    kali mengalami osteoporosis dibandingkan

    responden yang cukup asupan kalsiumnya

    (sesuai dengan 80% AKG).

    Penyerapan kalsium dalam tulang

    sangat erat kaitannya dengan asupan

    vitamin D. Fungsi vitamin D adalah

    membantu pembentukan tulang yang

    berperan khusus membantu pengerasan

    tulang dengan cara mengatur kalsium dan

    fosfor agar tetap tersedia di dalam darah

    sehingga proses pengerasan tulang bisa

    terjadi.20

      Hasil analisis statistik dalam

    penelitian ini juga membuktikan bahwa

    responden dengan asupan vitamin D yang

    cukup memenuhi 80%AKG terhindar

    sebanyak 6,915 kali untuk terkena

    osteoporosis dibandingkan dengan

    responden yang asupan vitamin D nya

    tidak memenuhi ≥80 % AKG.

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    10/78

    109

    Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko 

    Kesimpulan

    Faktor risiko yang berhubungan

    secara bermakna dengan kejadian

    osteoporosis pada penelitian ini antara lain

    asupan kalsium, asupan vitamin D, jeniskelamin, IMT, frekuensi konsumsi makanan

    sumber kalsium terutama untuk susu dan

    produk hasil olahan susu (diary milk ), dan

    kebiasaan konsumsi suplemen kalsium

    (nilai p

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    11/78

    110

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    sehingga masyarakat dapat secara rutin

    (minimal 6 bulan sekali) memeriksakan

    kesehatan tulangnya. Selain itu perlu

    diterapkan gerakan jalan sehat setiap hari

    untuk meningkatkan kepadatan massatulang. Perlu dilakukan penelitian lanjutan

    yang mengarah pada studi eksperimental

    pemeberian asupan kalsium pada

    responden.

    Daftar Pustaka

    1. Anisa, Siti. 2000. Osteoporosis dan

    Pencegahannya. Majalah KedokteranIndonesia. Vol.50 No.12

    2. World Health Organization. 2008.

    Health Benefits of Physical

     Activity .http://www.who.int [diunduh

    Januari 2011]

    3. Depkes. 2005. Satu dari Tiga Wanita

    Indonesia Usia di Atas 45 Tahun

    Cenderung Alami

    Osteoporosis.www.depkes.go.id

    [diunduh 28 Agustus 2010]

    4. Sankaran, Balu. 2000. Osteoporois  A

    Publication Funded by he South East

     Asia Regional Office. World Health

    Organization. New Delhi, India

    5. Chandra, Mellisa.2008. Faktor-Faktor

    yang Berhubungan dengan Osteopenia

     pada Kelompok Dewasa Usia 20-40

    Tahun di Kota Depok tahun 2008 .

    Fakultas Kesehatan Masyarakat,

    Universitas Indonesia, Depok.

    6. Hasye, A.Roza. Faktor-faktor yang

    Berhubungan dengan Osteopenia pada

    Mahasiswi Fakultas Kesehatan

    Masyarakat Universitas Indonesia

    Tahun 2008 . Fakultas KesehatanMasyarakat, Universitas Indonesia,

    Depok.

    7.  Almatsier, Sunita.2002. Prinsip Dasar

    Ilmu Gizi . Gramedia Pustaka

    Utama.Jakarta

    8. Baker, Susan, et al. 1999. Calcium

    Requirements of infants, Children, and

     Adolescents. American Academy of

    Pediatrics. Vol 104:5; pp1152-1157.

    9. Novotny, et al. 2003. Calcium Intake of

     Asian, Hispanic, and White Youth.

    Journal of The American College of

    Nutrition. Vol 22, pp 64-70. [Diakses 11

    Mei 2010]

    10. Briliantono, M. 1998. Tulang Anda

    Masa Depan Anda, Cegah

    Osteoporosis Sejak Dini . Anlene P.T.

    Fonterra Brand Indonesia, Jakarta.

    11. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi,

    2004. Angka Kecukupan Gizi.

    12. Grorvenor, B. Mary, dam Smolin,

     A.Lory. 2002. Nutritio from Science to

    Life. Barcourt College Publisher.

    Orlando

    13. Nicklas, T.A.2003. Calcium Intake

    Trends and Health Consequences from

    Childhood through adulthood . Journal

    of The American College of

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    12/78

    111

    Permatasari, Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko 

    Nutrition.Vol.22, pp:340-356 [Diunduh

    13 Mei 2010]

    14. Napoli,Nicole, et al.2007. Effect of

    Dietary Calcium Compared with

    Calcium Supplements on EstrogenMetabolism and Bone Mineral Density .

     American Journal Clinical of Nutrition.

    85:1428-

    33.http://www.ajcn.org.[Diunduh 10

    Januari 2011]

    15. Chompston Juliet.2002. Seri Kesehatan

    Bimbingan Dokter pada Osteoporosis.

    Dian Rakyat.

    16. Permatassari, Astika Endah Tria.

    Hubungan antara IMT dengan Kejadian

    Osteoporosis pada Kelompok Dewasa

    Usia 40-65 tahun di Kota Depok Tahun

    2008 . Fakultas Kesehatan

    Masyarakat.Universitas

    Indonesia.depok

    17. Khomsan, Ali. Susu Minuman Bergizi

    untuk Peningkatan Kualitas SDM .

    http://kolom.pacific.net.id [Diakses 15Oktober 2008]

    18. Wardlaw G.2002. Perspective in

    Nutrition 5 th. Mc-Graw-Hill Companies,

     America.

    19. Nieves, Jeri. W.2005. Osteoporosis :

    The Role of Micronutrients. American

    Journal Clinical of Nutrition.86:123S-

    9S.http://www.ajcn.org [Diakses10

    Februari 2011].

    20. Garrow,J.S W.P.T James dan Ralph, A.

    2000. Human Nutrition and

    Dietetics.9th.Churchill

    Livingstone.United Kingdom.

     

    http://kolom.pacific.net.id/http://kolom.pacific.net.id/

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    13/78

     

    112

    Faktor Resiko Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun Di Posyandu Kawasan IndustriCiteureup Kabupaten Bogor

    Oleh: Rahm ini Shabariah

    Abstrak

    Penyakit alergi merupakan penyakit yang terjadi akibat interaksi predisposisi genetik

    dengan lingkungannya. Lingkungan berperan untuk inisiasi sensitisasi terhadap mempunyai

    bakat alergi belum tentu akan menunjukan reaksi alergi bila tidak dirangsang dan dipacu oleh

    faktor lingkungan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan usia,

     jenis kelamin, cara lahir, riwayat penyakit alergi dalam keluarga, jumlah saudara kandung,

     jumlah penghuni rumah, adanya perokok dalam rumah, frekuensi imunisasi, pemberian ASi

    eksklusif, lama ASI eksklusif yang diberikan dan usia diberikannya MP ASI terhadap

    timbulnya penyakit alergi pada anak usia 0-3 tahun di posyandu kawasan industri Citeurup

    kabupaten Bogor.

    Penelitian ini merupakan penelitian analitik potong lintang, di Posyandu terpilih di

    Kecamatan Citeurup Kabupaten Bogor Jawa Barat yang berlangsung dari Januari-Februari

    2008.Subyek penelitian adalah anak yang berusia 0-3 tahun (0-42 bulan) yang datang ke

    Posyandu Kecamatan Citeurup Kabupaten Bogor Jawa Barat.Prevalensi penyakit alergi pada

    anak usia 0-3 tahun di posyandu kawasan industri Citeureup Kabupaten Bogor adalah 44,9%

    dan terbanyak pada anak usia 0,3 tahun. Penyakit alergi terbanyak adalah rhinitis alergi

    sebesar 20,2%. Ditemukan hubungan yang bermakna antara kelompok usia 13-42 bulan,

    riwayat alergi dalam keluarga , kebiasaan ibu merokok dan pemberian ASI eksklusif dengan

    munculnya penyakit alergi.

    Perlu informasi yang lebih luas pada masyarakat tentang penyakit alergi terutama di

    daerah kawasan industri untuk mencegah faktor resiko penyakit alergi yang telah ada

    berinteraksi dengan faktor lain sehingga timbul penyakit alergi.

    Kata kunci: Alergi, kawasan industri, Citeurup

    PENDAHULUAN

    Penyakit alergi merupakan penyakit

    yang terjadi akibat interaksi predisposisi

    genetik dengan lingkungannya. Lingkungan

    berperan untuk inisiasi sensitisasi terhadap

    mempunyai bakat alergi belum tentu akan

    menunjukan reaksi alergi bila tidak

    dirangsang dan dipacu oleh faktor

    lingkungan.1,7,8

     Sedangkan 55% anak-anak

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    14/78

    113

    Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun 

    dengan penyakit atopi mempunyai riawayat

    keluarga yang menderita atopi pula.6

    Berdasarkan penelitian the epidem-

    miology of Asthma and Allergies in Early

    Life (The EAAEL Study) pada tahun 2005-

    2006 dengan menggunakan kuesioner

    yang sudah modifikasi dari The Inter-

    national Study Of Asthma and Allergies in

    Childhood (ISAAC) untuk mencari angka

    kejadian penyakit alergi dan faktor yang

    mempengaruhi, menunjukan hasil bahwa

    nilai sensitivitas kuesioner 69,2%,

    spesifitias 85,7%, nilai prediksi positif

    (NPP) 90% dan nilai prediksi negatif (NPN)

    60%.17

     

    Beberapa faktor lain yang diketahui

    berhubungan dengan penyakit alergi

    antara lain mekanisme persalinan, usia

    gestasi, jumlah saudara kandung, tingkat

    sosial ekonomi, infeksi oleh bakteri dan

    virus, pemakaian antibiotik pada 2 tahun

    pertama, vaksinasi, pemberian ASI, usia

    awal pemberian MP-ASI, dan pemberian

    probiotik pada ibu hamil dan menyusui.1,10-1

     

    Kabupaten Bogor sebagai bagian dari

    wilayah Provinsi Jawa Barat mempunyai

    beberapa daerah kecamatan yangberfungsi sebagai kawasan industri,

    diantaranya Kecamatan cibinong,

    Kecamatan Citeureup, Kecamatan

    Cileungsi, Kecamatan Jonggol dan

    Kecamatan Gunung Putri. Pabrik yang ada

    di kawasan tersebut meliputi pabrik

    pakaian, pabrik semen, pabrik kue, pabrik

    benang, pabrik kabel dan lain-lain. Pabrik

    semen adalah yang terbesar dan berada di

    wilayah 3 kecamatan yaitu Kecamatan

    Citeureup, Kecamatan Cileungsi dan

    Kecamatan Gunung Putri.16

      Polusi udara

    dapat terjadi di daerah ini akibat asap

    pabrik dan partikel halus dari semen.

    Kepadatan penduduk dan polusi

    udara yang terjadi dikawasan industri

    kabupaten Bogor dapat mempengaruhi

    kejadian penyakit alergi di wilayah tersebut,

    dan kondisi ini menarik untuk diteliti

    termasuk untuk menilai tingkat prevalensi

    penyakit alergi pada anak usia 0-3 tahun

    dan juga faktor-faktor yang berpengaruh

    langsung terhadap munculnya penyakit

    alergi pada ana usia 0-3 tahun di posyandu

    kawasan industri Citeureup Kabupa-ten

    Bogor tinggi.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk

    mengetahui bagaimana peranan usia, jenis

    kelamin, cara lahir, riwayat penyakit alergi

    dalam keluarga, jumlah saudara kandung,

     jumlah penghuni rumah, adanya perokok

    dalam rumah, frekuensi imunisasi, pem-berian ASi eksklusif, lama ASI eksklusif

    yang diberikan dan usia diberikannya MP

     ASI terhadap timbulnya penyakit alergi

    pada anak usia 0-3 tahun di posyandu

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    15/78

    114

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    kawasan industri Citeurup kabupaten

    Bogor.

    METODE

    Penelitian ini merupakan penelitian

    analitik potong lintang, di Posyandu terpilih

    di Kecamatan Citeurup Kabupaten Bogor

    Jawa Barat yang berlangsung dari Januari-

    Februari 2008.Subyek penelitian adalah

    anak yang berusia 0-3 tahun (0-42 bulan)

    yang datang ke Posyandu Kecamatan

    Citeurup Kabupaten Bogor Jawa Barat.

    Responden adalah ibu subyek ataupengasuh subyek bersedia anaknya/ anak

    asuhnya diikutkan dalam penelitian dan

    bersedia diwawan-carai. Anak-anak yang

    menderita kelainan bawaan, kelainan

    susunan saraf surat, dan pasca operasi,

    serta anak-anak tidak memiliki Kartu

    menuju sehat dan Ibu/orangtua/ pengasuh

    tidak bersedia diwawan-carai tidak

    dimasukkan dalam penelitian ini. Besar

    sampel ditentukan berdasar-kan rumus rule

    of thumb yaitu jumlah variabel bebas 12

    dan jumlah variabel tergantung 3 dilakukan

    10 maka diperlukan sebanyak 150 sampel.

    Pemilihan subyek adalah secara conse-

    cutive sampling. Kuesioner menggunakan

    kuesioner ISAAC yang telah

    diterjemahakan ke dalam bahasa

    Indonesia dan dimodifikasi dengan

    penambahan pertanyaan tentang cara

    lahir, riwayat keluarga, jumlah saudara

    kandung jumlah orang serumah, adanya

    perokok dalam rumah, status imunisasi,

    pemberian ASI eksklusif dan lama

    pemberian ASI serta usia pemberian MP

     ASI. Pengisian kuesioner dilakukan dengan

    wawancara terpimpin yang dipandu oleh

    peneliti atau petugas kesehatan yang

    sebelumnya sudah dilatih.Setelah

    kuesioner diisi dan terkumpul, dicek

    kembali keleng-kapan jawaban, bila perlu

    responden dihubungi kembali untuk

    mengisi pertanyaan kuesioner yang masih

    kosong atau tidak konsisten untuk

    memastikan jawaban yang benar.

    Pengolahan dan analisis data

    Pengolahan dan analisis data

    menggunakan SPSS versi 13.0.persentase

    prevalensi dan sebaran karakteristik

    demografi menggunakan analisis univariat.

     Analisis bivariat digunakan untuk menguji

    hubungan antara variabel bebas dan

    variabel tergantung, sedangkan perbedaan

    distribusi proporsi menggunakan uji kai

    kuadrat (chi square) dan untuk melihat

    hubungannya dihitung koefisien rasio odds

    (RO). Bila salah satu sel nilainya kurang

    dari 5, akan digunakan fisher’s test.

    Sedangkan analisis multivariate digunakan

    untuk menguji berbagai variabel bebas

    dengan variabel tergantung dan untuk

    menentukan variabel bebas yang paling

    berpengaruh dalam hal ini faktor resiko

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    16/78

    115

    Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun 

    digunakan analisis regresi logistic. Tingkat

    kemakmuran ( p) yang dipakai adalah 42 bulan.

    Karakteristik subyek penelitian

    berdasarkan pendidikan orangtua,

    pekerjaan orangtua, jenis kelamin anak

    dan kelompok usia dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian

    Karakteristik Jumlah %

    Pendidikanorangtua

    SD

    SMPSMAS1Tidak Tamat

    SDPekerjaanorangtua

    Ibu Rumah tanggaKaryawanPedagangGuru/TNI/PolriJanis Kelaminanak

    Laki-lakiPerempuanKelompok Usia

    0-12 bulan13-42 bulan

    9357

    3144

    1514142

    10989

    83115

    4728,8

    1,50,522,2

    76,320,72,01,0

    55,144,9

    41,958,1

    Pada penelitian ini usia medium ibu

    subyek adalah 28,07 tahun, usia ibu

    termuda 19 tahun sedangkan usia ibu

    tertua adalah 45 tahun. Tingkat pendidikan

    ibu subyek adalah tidak tamat SD sebesar

    44 orang (22,2%), tamat SD sebesar 93

    orang (47,0%), tamat SMP sebesar 57

    orang (28,8%), tamat SMA sebesar 3

    orang (22,7%), berprofesi pedagang

    sebesar 4 orang (2,0%) dan berprofesi

    sebagai guru/TNI/ Polri sebesar 2 orang

    (1,0%).

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    17/78

    116

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    Dari 198 subyek yang mengikuti

    penelitian ini sebanyak 109 (55,1%)

    subyek adalah laki-laki dan 89 (44,9%)

    subyek adalah perempuan. Berdasarkan

    sebaran usia, subyek paling banyak ada dikelompokkan usia 13-42 bulan yaitu

    sebesar 115 subyek (58,1%) sedangkan

    subyek pada kelompok usia 0-12 bulan

    sebesar 83 subyek (41,9%). Usia media

    subyek adalah 13,90 bulan, subyek

    penelitian termuda berusia ¾ bulan,

    sedangkan yang tertua berusia 42 bulan.

    Pada tabel 2. Menunjukkan karakteristik

    subyek dengan gejala alergi berdasarkan

     jenis kelamin dan kelompok usia. Penyakit

    alergi didapatkan pada 50 subyek laki-laki

    (56,2%) sedangkan pada subyek peremp-uan didapatkan 39 subyek (43,8%). Tidak

    ada perbedaan bermakna kejadian

    penyakit alergi pada kelompok subyek laki-

    laki dibandingkan perempuan dengan rasio

    Odds 1,086 (IK 95% 0,619-1,908; p=

    0,885).

    Tabel 2. Karakteristik subyek dengan gejala penyakit alergi berdasarkan jenis kelamindan kelompok usia

    Karakteristik Penyakit alergi OR pAda

    N (%)Tidak ada

    N (%)(IK 95%)

    Jenis kelamin

    Laki-lakiPerempuanTotal

    Kelompokusia

    0-12 bulan

    13-42 bulan 

    50(56,2%)

    39(43,8%)

    89(44,9%)

    29(32,6%)

    60(67,4%)

    59 (54,1%)50 (45,9%)

    109(55,1%)

    54 (49,5%)

    55 (50,5%)

    1,086(0,619-1,908)

    0,492(0,275 – 0,880)

    0,885

    0,024

    Penyakit alergi pada kelompok usia

    13-42 bulan sebesar 60 subyek (67,4%)

    sedangakan pada kelompok usia 0-12

    bulan ditemukan sebesar 29 subyek

    (32,6%). Terdapat perbedaan yang

    bermakana tentang timbulnya penyakit

    alergi kelompok usia 13-42 buloan

    dibandingkan kelompok usia 0-12 bulan

    dengan rasio Odds 0,492 (IK 95% 0,275-

    0,880; p= 0,024).

    Tabel 3. Memperlihatkan kejadian

    gejala penyakit alergi berdasarkan riwayat

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    18/78

    117

    Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun 

    alergi pada ibu, ayah dan saudara

    kandung. Pada penelitian ini subyek yang

    memiliki riwayat alergi pada ibu sebesar 52

    subyek (26,3%), subyek yang memiliki

    riwayat alergi pada ayah sebesar 32subyek (16,2%) dan subyek yang memiliki

    riwayat alergi pada saudara kandung

    sebesar 25 subyek (122,6%). Kejadian

    penyakit alergi lebih banyak terjadi pada

    subyek yang memiliki riwayat alergi pada

    ibu yaitu sebesar 35 (39,3%) dibandingkan

    subyek yang memiliki riwayat alergi pada

    ayah yaitu sebesar 17 subyek (19,1%) dan

    saudara kandung sebesar 14 subyek

    (15,7%).

    Timbulnya penyakit alergi berbeda

    bermakna pada kelompok subyek yang

    memiliki riwayat alergi pada ibu

    dibandingkan subyek yang tidak memiliki

    riwayat alergi pada ibu dengan rasio Odds3,508 (IK 95% 1,795-6,853 ; 0,000).

    Sedangkan timbulnya penyakit alergi pada

    kelompok subyek yang tidak ada riwayat

    penyakit alergi pada ayah dan saudara

    kandung tidak berbeda bermakna dengan

    rasio Odds 1,480 (IK95% 0,693-3,161;

     p=0,411)dan rasio Odds 1,663 (IK95%

    0,714-3,8722; p=0,330).

    Tabel 3. Kejadian gejala penyakit alergi berdasarkan riwayat alergi pada ibu, ayah dan

    saudara kandung

    Penyakit

    alergi

    Riwayat Ibu

    alergi

    Riwayat Ayah

    Alergi

    Riwayat Saudara

    alergi

    Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak

    Ada 35(39,3%) 54 (60,7%) 17(19,1%) 72(80,9%) 14(15,7%) 75(84,3%)

    Tidak 17(15,6%) 92 (84,4%) 15(13,8%) 94(86,2%) 11(10,1%) 98(89,9%)

    Total 52(26,3%) 146(73,7%) 32(16,2%) 166(83,8%) 25(12,6%) 173(87,4%)

    OR

    (IK95%)

    3,508 (1,795-6,853) 1,480 (0,693-3,161) 1,663 (0,714-3,872)

    P 0,000 0,411 0,330

    Diskusi

    Data tentang adanya penyakit alergi

    pada penelitian ini hanya diperoleh melalui

    wawancara dengan menggunakan

    kuesioner modifikasi The International

    Study Of Asthma And Allergies in

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    19/78

    118

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    Childhood (ISAAC) dan penentuan

    penyakit hanya berdasarkan ada tidaknya

    gejala penyakit dalam 12 bulan terakhir

    tanpa dilakukan pemeriksaan fisis. Alat

    bantu berupa gambar dan suara rekamanbunyi mengi diharapkan dapat

    memperkecil kelemahan tersebut.

    Keterbatasan penelitian yang lain adalah

    tingkat pendidikan responden yang rendah

    dapat mempengaruhi pemahaman

    pertanyaan yang diajukan sehingga

    mempengaruhi jawaban.

    Pada penelitian ini penyakit alergi

    ditentukan berdasarkan adanya satu atau

    lebih gejala penyakit alergi meliputi asma

    alergi, rhinitis alergi dan dermatitis atopi.

    Penyakit asma alergi ditandai dengan

    adanya mengi dalam 12 bulan atau

    ingusan dalam 1 bulan terakhir, yang

    bukan disebabkan sakit influenza atau

    batuk pilek. Sedangkan penyakit dermatitis

    atopi ditandai dengan ruam merah yang

    gatal pada kulit, hilang timbul selama

    sedikitnya 6 bulan dalam 12 bulan terakhir.

    Penyakit alergi ditemukan sebesar

    44,9% dari 198 subyek penelitian meliputi

    asma alergi 4,5%, dermatitis atopi 16,%

    dan dermatitis atopi dan rhinitis alergi

    3,0%. Munasir dkk9

    melaporkan angka

    kejadian penyakit alergi yang lebih tinggi

    pada anak usia 1-18 bulan di Jakarta yaitu

    dari semua anak yang menderita gejala

    penyakit alergi (n=626) ditemukan rhinitis

    alergi sebesar 41,9%, dermatitis atopi

    sebesar 24,6% dan asma didapatkan

    sebesar 13,9%.

    Penelitian di Bandung oleh Hafsah58

    pada tahun 2004 melaporkan angkakejadian penyakit atopi yang lebih rendah

    pada anak usia 3 tahun. Dari seluruh

    subyek yang dianalisis kejadian penyakit

    atopi ditemukan sebesar 18,0% meliputi

    dermatitis atopi 9,0%, rhinitis alergi 4,0%

    dan dermatitis alegi maupun

    rinokonjungtivitis alergi 5,0%. Weningsih59

    pada tahun 2006 melaporkan angka

    kejadian penyakit alergi di Bandung

    meningkat dibanding tahun sebelumnya,

    yaitu sebesar 33,08% dari seluruh subyek

    meliputi rhinitis alergi 15,7%, dermatitis

    atopi 6,9%, asma alergi 1,9%, dan subyek

    dengan gejala alergi lebih dari satu

    sebesar 8,4%.

    Tingginya angka kejadian penyakit

    alergi di wilayah ini dapat disebabkan

    pengaruh polusi udara oleh asap pabrik

    maupun asap kendaraan bermotor yang

    dalam penelitian ini kedua faktor tersebut

    tidak dianalisis, hal ini merupakan

    kelemahan dari penelitian ini. Faktor lain

    yang juga tidak dianalisis adalah paparan

    tungau debu rumah dan paparan serpihan

    bulu binatang yang mungkin juga berperan

    pada penyakit alergi pada anak usia 0-3

    tahun di kawasan ini.

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    20/78

    119

    Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun 

    Penyakit alergi pada laki-laki

    ditemukan sebesar 56,2% dan penyakit

    alergi pada perempuan sebasar 43,8%

    perbedaan ini secara statistik tidak

    bermakna dengan rasio Odds 1,086(IK95% 0,619-1,908;  p= 0,885 ). Penelitian

    ini mendapatkan hasil yang berbeda yaitu

    Hafsah58

    mendapatkan kejadian penyakit

    alergi pada anak perempuan lebih banyak

    yaitu sebesar 53,0% dibandingkan pada

    laki-laki sebesar 47,0%. Eningsih59

     juga

    mendapatkan kejadian penyakit alergi

    pada anak perempuan lebih banyak yaitu

    sebesar 54,7% dibandingkan laki-laki

    sebesar 45,3%. Perbedaan ini disebabkan

    pada penelitian ini jumlah subyek laki-laki

    lebih banyak, sedangkan pada penelitian

    pembanding sebelumnya jumlah subyek

    perem-puan yang lebih banyak.

    Dari total seluruh subyek yang

    memiliki penyakit alergi (n=89), penyakit

    alergi pada kelompok usia 13-42 bulan

    ditemukan sebesar 67,4% sedangkan pada

    kelompok usia 0-12 bulan didapatkan

    32,6%. Penyakit alergi paling banyak pada

    kelompok usia 0-12 bulan dermatitis atopi

    diikuti rinitis alergi dan asma alergi.

    Penyakit alergi paling banyak pada

    kelompok usia 13-42 bulan adalah rinitis

    alergidermatitis atopi dan asma alergi. Bila

    dilakukan analisis ke tiga penyakit alergi

    terhada kelompok umur didapatkan angka

    kejadian rhinitis alergi pada kelompok usia

    13-42 bulan sebaesar 72,3% dibandingkan

    27,7% pada kelompok usia 0-12 bulan dan

    perbedaan ini secara statistik bermakana

    dengan rasio Odds 0,44 (IK95% 0,2217-

    0,904;p=0,036).Berdasarkan analisis multivariat

    regresi logistik didapatkan resiko subyek

    kelompok usia 0-1 bulan dalam hal

    munculnya penyakit alergi 0,465 kali resiko

    subyek kelompok usia 13-42 bulan (IK95%

    0,247-0,876;p=0,018). Sesuai dengan

    perjalanan alamiah penyakit atopi yang

    dimulai dengan manifestasi dermatitis atopi

    pada masa bayi, kemudian rhinitis atau

    asma pada masa anak-anak. Pada

    penelitian ini subyek terbanyak pada

    kelompok usia yang lebih besar, sehingga

    kemungkianan untuk memperoleh gejala

    rhinitis dan asma alergi lebih besar

    dibandingkan dermatitis atopi.

    Resiko untuk mendapatkan penyakit

    alergi pada anak lebih besar bila salah satu

    orangtua menderita penyakit alergi.

    Sundaru7

    melaporkan terdapat hubungan

    yang erat riwayat asma pada orangtua

    dengan penyakit asma pada anaknya.

    Koning dkk60

    menyebutkan bila salah satu

    orangtua memiliki penyakit alergi maka

    anak mem-punyai resiko 20-40%

    menderita penyakit alergi, apabila kedua

    orangtuanya memiliki penyakit alergi maka

    resiko menjadi 60-80%, apabila saudara

    kandung memiliki penyakit alergi maka

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    21/78

    120

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    anak mempunyai resiko 20-30%,

    sedangkan bila orangtua tidak memiliki

    penyakit alergi maka resiko anak

    menderita penyakit alergi sebesar 10%.

    Pada penelitian ini didapatkan subyekyang memiliki riwayat penyakit alergi dalam

    keluarganya sebesar 40,4%, sedangkan

    59,6% subyek tidak ada riwayat alergi

    dalam keluarganya. Penyakit alergi

    ditemukan sebesar 55,1% pada kelompok

    subyek dengan riwayat alergi dalam

    keluarga, dan kejadian penyakit alergi

    berbeda bermakna secara statistik antara

    kelompok yang memiliki riwayat alergi

    dalam keluarganya dibandingkan yang

    tidak dengan rasio Odds 3,082 (IK95%

    1,709-5,558;p=0,000).

    Subyek dengan riwayat penyakit

    alergi pada ibu ditemukan paling banyak

    yaitu 26,3%, diikuti riwayat penyakit alergi

    pada ayah sebesar16,2%, dan riwayat

    penyakit alergi pada saudara kandung

    sebesar 12,6%. Kejadian penyakit alergi

    paling banyak ditemukan pada subyek

    yang memiliki riwayat alergi pada ibu yaitu

    sebesar 39,3% dibandingkan subyek yang

    tidak memiliki riwayat alergi pada ibu dan

    perbedaan ini bermakna secara statistik.

    Berdasarkan anlaisis multivariat subyek

    dengan riwayat penyakit alergi dalam

    keluarga memiliki resiko 3 kali resiko

    subyek tanpa riwayat alergi dalam keluarga

    dalam hal timbulnya penyakit alergi dengan

    rasio Odds 3,508 (IK95% 1,795-

    6,853;p=0,000).

    Hasil penelitian ini serupa dengan

    penelitian yang dilakukan oleh Munasir 9

    dan Weningsih

      59

    yang menyebutkanbahwa resiko anak menderita penyakit

    alergi sebesar dua sampai tiga kali lipat

    bila orangtua memiliki penyakit alergi.

    Munasir   9 dkk melaporkan trdapat

    hubungan yang bermakna antara riwayat

    asma pada ayah dengan gejala mengi (OR

    3,41(IK95% 1,43-8,11; p=0,001) dan ruam

    kulit (OR 2,39(IK95% 1,09-5,24; p=0,002)

    pada anak selain itu juga terdapat

    hubungan yang bermakna antara riwayat

    dermatitis atopi pada ibu denga rhinitis

    alergi pada anak (OR 3,07 (IK95% 1,24-

    7,6;p=0,001).

    KESIMPULAN

    Prevalensi penyakit alergi pada anak

    usia 0-3 tahun di posyandu kawasan

    industri Citeureup Kabupaten Bogor adalah

    44,9% dan terbanyak pada anak usia 0,3

    tahun. Penyakit alergi terbanyak adalah

    rhinitis alergi sebesar 20,2%. Ditemukan

    hubungan yang bermakna antara

    kelompok usia 13-42 bulan, riwayat alergi

    dalam keluarga, kebiasaan ibu merokok

    dan pemberian ASI eksklusif dengan

    munculnya penyakit alergi.

    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

    kemungkinan pengaruh polusi udara

    terhadap tingginya angka prevalensi gejala

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    22/78

    121

    Shabariah, Penyakit Alergi Pada Anak 0-3 Tahun 

    penyakit alergi pada anak di posyandu

    kawasan industri Citeureup Kabupaten

    Bogor. Perlu informasi yang lebih luas

    pada masyarakat tentang penyakit alergi

    terutama di daerah kawasan industri untukmencegah faktor resiko penyakit alergi

    yang telah ada berinteraksi dengan faktor

    lain sehingga timbul penyakit alergi.

    Daftar Pustaka

    1. Kay AB.  Allergy and allergy diseases.

    Dalam : Mackay IR, Rosen FS,

    penyunting. Advances in immunology.

    N Engl J Med 2001;344:30-6.

    2. Pearce n, sunyer J, cheng S, Chinn S,

    Bjorksten B, Burr M, dkk. Comparison

    of asthma prevalence in the ISAAC

    and the ECRHS. Eur Respir J

    2000;16:420-6.

    3. Down SH, Marks GB, Sporik R,

    Belosouva EG, peat JK, Car NG.

    Continued increase in the prevalence

    of asthma and atopy . Arch Dis Child

    2001;84:20-3.

    4. Siregar PS, Suyuko D, Akib A, Munasir

    Z, Matondang CS. Prevalence penyakit

    atopi pada anak di kelurahan Utan

    Kayu. Disampaikan pada SimposiumKualitas Hidup di Perkotaan, Aspek

    Penyakit alergi . Pokja Immunologi

    FKUI Jakarta, 1990.

    5. Baratawidjaja K, Setiabudiawan b,

    Munasir z, Kurniati N, Tan TN, Lim DL,

    dkk. Comparison of the prevalence of

    wheeze, persistent rash and doctor

    diagnosed aczema in the three South

    East Asian cities of Jakarta, Bandung

    and Singapore. J allergy Clin Immunol2006;17:S293.

    6. Dold SE, Wjst M, von Mutius E,

    Reitmeir P, stiepel E, Genetic risk for

    asthma, allergic rhinitis and atopic

    dermatitis. Arch Dis Child

    1992;67:1081-22.

    7. Sundaru H. Perbandingan Prevalensi

    dan Derajat Berat Asma antara Daerah

    Urban dan Rural pada Siswa Sekolah

    Usia 13-14 tahun. Tinjauan dari segi

    riwayat asma dalam keluarga, penyakit

    atopi yang menyertai, kadar alergan

    debu rumah, sensitisasi alergan,

    urutan kelahiran anak, dan populasi

    udara. [Disertasi]. Ilmu Penyakit

    Dalam. Fakultas Kedoteran Unversitas

    Indonesia. 2005.

    8. Akib AP. Pengobatan dini anak atopi .

    Update allergy and clinical immunologi.

    Bogor,2000.

    9. Munasir Z, Akib AAP, Siregar SP,

    Suyoko EMD, Kurniati N, van Bever H.

    Epidemiology of asthma and allergies

    in early life 2006 . [Unpublished]

    10. Whan U, Von Mutius E. Childhood risk

    faktor for atopy and the importance of

    early intervention. J allergy Clin

    Immunol 2001 ;107:567-74.

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    23/78

    122

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    11. Liu AH, Murphy JR. hygine

    hypothesis: fact or fiction?. J Allergy

    Clin Immunol 2003;111:471-8.

    12. Leung, DYM. Epidemilogy of allergic

    diseases. Dalam: Leung DYM,Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ,

    penunting. Pediatric allergy principle

    and practice. Edisi ke-4. Missuri:

    Mosby;2003.h.1-9.

    13. Akip AP. Perjalanan alamiah penyakit

    alergi dan upaya pencegahannya.

    Dalam: Akib AP, Tumbelaka AR,

    Matondang CS, penyunting.

    Pendekatan imunlogis berbagai

    penyakit alergi dan infeksi. Edisi ke-8.

    Balai penerbit FKUI;2001.h.37-45

    14. Liu AH, Martinez FD, Tussing LM.

    Natural history of allergic diseases and

    asthma. Dalam Leung Donald YM,

    Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ,

    penyunting. Pediatric allergy principles

    and practice. Edisi ke-4. Missouri:

    Mosby;2003.h.10-22.

    15. Boezen HM, van der Zee SC, Postma

    DS, Vonk JM, Gerritsen J, Hoek G,

    dkk. Effect of ambient air pollution on

    uppe anf lower respiratory symptoms

    and peak expiratory flow in children.

    Lancet 1999;353:874-8.

    16. Kabupaten Bogor dalam angka. 2007.

    Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

    17. Setyabudiawan B. Sensitivitas danspesifitas modifikasi angket ISAAC

    untuk skrining asma pada murid SD

    dengan uji provokasi histamine

    sebagai standar emas  [Tesis]. Ilmu

    Kesehatan anak Faklutas Kedokteran

    Universitas Padjajaran, 1996.

    18. Pearlman DS, Bierman CW.  Allergic

    disordes. Dalam: Stiehm ER,

    penyunting. Immunologic disorders in

    infants and children. Edisi ke 4.

    Philadelphia: W.B. Sunders

    Company;1996.h.604-13.

    19. Terr AI. The atopic diseases. Dalam:

    Stites DP, Terr AI, parslow TG,

    penyunting. Medical immunology . Edisi

    ke 9. London : Appleton &

    Lange;1997.h.389-408.

    20. Terr AI.  Allergic diseases. Dalam:

    Stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH,

    Wwells JV, penyunting. Basic and

    clinical Immunology . Edisi ke-5.

    Singapore: Maruzen Asian Edition;

    1984.h.500-18.

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    24/78

     

    123

    Peran Refleksi Diri dalam Kemampuan Logika Klinis Mahasiswa Kedokteran  

    Oleh: Oktarina, Herawati Y, Rahmin i Shabariah, Husn a I, Kh om imah K

    Abstract

    Aims . To explore the effect of self reflection on developing clinical reasoning skills.Methods . This cross sectional study involved medical students who completed preclinical

     phase of their study. Students' self reflection were measured by the Scale of Reflection in

    Learning by Sobral, while clinical reasoning ability was assessed by script concordance tes

    (SCT). The SCT is confirmed by 10 medical doctors as judges.

    Results . There is significant relationship between SCT score and self reflection score,r= .262,

     p(one tailed) < .05.

    Conclus ion . The result implies that clinical reasoning ability is influenced by self reflection.

    Hence,it can be a subject to consider for strengthening self reflection in improving clinical

    reasoning ability.

    Keywords: Refleksi diri, logika klinis, 

    PENDAHULUAN

    Refleksi diri adalah bagian penting

    dalam metakognisi. Hal ini memiliki peran

    dalam mengenali kemampuan dan

    kelemahan diri sendiri yang perlu

    dikembangkan. Dengan memiliki

    kemampuan refleksi diri, pembelajar sadar

    terhadap kekurangan yang dimiliki-nya,

    sehingga mereka dapat merencanakan

    kebutuhan belajarnya (Duvivier et al,

    2011). Kemampuan ini dibutuhkan dalam

    mencapai kemahiran belajar saat

    mendalami informasi atau pengetahuan

    baru.

    Sesuai dengan kompetensi profesi,

    dokter dituntut untuk mahir dalam berlogika

    klinis, yaitu kemampuan berpikir secara

    sistematis dan beralasan dalam

    menatalaksana pasien (Boshuizen &

    Schmidt, 2000). Kemahiran dalam logika

    klinis dipengaruhi oleh kekayaan

    pengetahuan biomedis yang dimiliki serta

    cara berpikir dan menata informasi.

    (Boshuizen & Schmidt, 2000; Schmidt &

    Rikers, 2007; Dunphy et al,2010). Proses

    mendapatkan pengetahuan biomedis

    sendiri, akan sangat terstruktur bila

    pembelajar mengenali kebutuhannya

    dengan memanfaatkan potensi yang

    dimiliki diantara keterbatasannya (Vermunt

    & Verloop, 1999). Selain itu, kemahiran lain

    yang diperlukan adalah proses belajar

    memproses informasi baru supaya siap

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    25/78

    124

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    digunakan atau dengan kata lain tersimpan

    dengan baik dalam memori dan mudah

    untuk dipanggil pada saat dibutuhkan,.

    Metakognisi adalah aktifitas berpikir

    yang mempengaruhi peng-ambilankeputusan pada seorang pembelajar,

    seperti refleksi kemam-puan sendiri,

    memilih konten, mengatur motivasi,

    mengarahkan upaya pada proses, dan

    memilih strategi belajar untuk mencapai

    tujuan (Vermunt & Verloop, 1999). Sebagai

    contoh, bila seorang pembelajar yang

    mahir menghadapi suatu tugas, dia secara

    sadar akan mengenali kemampuan dirinya,

    dia juga akan memotivasi dirinya sendiri,

    selain itu dia akan memilih konten yang

    diperlukan untuk masa depannya

    sehubungan dengan cita-citanya, serta

    memilih strategi yang sebaiknya digunakan

    dan mengatur seberapa keras upaya yang

    perlu dilakukan.

    Berdasarkan referensi di atas,

    sangatlah relevan untuk mengeva-luasi

    pengaruh refleksi diri dalam kemampuan

    logika klinis mahasiswa kedokteran dalam

    proses studinya. Hasil yang diperoleh

    diharapkan dapat menjadi alasan pengem-

    bangan kurikulum dengan suatu program

    yang meningkatkan kemampuan refleksi

    diri mahasiswa. Desain cross sectional  

    digunakan untuk menjawab rumusan

    masalah penelitian ini dengan

    menggunakan kuesioner dan Script

    Concordance Test  (SCT).

    METODE 

    Penelitian ini dilakukan di Fakultas

    Kedokteran dan Kesehatan Universitas

    Muhammadiyah Jakarta. Logika klinis

    adalah komponen yang perlu dipelajari

    selama menjadi mahasiswa kedokteran.

    Subyek penelitian ini adalah mahasiswa

    kedokteran yang telah menyelesaikan

    tingkat sarjana kedokteran dan sebelum

    memasuki tahap kepaniteraan klinik. Hal inidiperlukan karena sebagian besar ilmu

    biomedis sebagai salah satu bekal utama,

    dipelajari pada tahap sarjana kedokteran.

    Jumlah populasi target adalah 94 orang.

    Seluruh responden melaku-kan tes

    dengan Script Concordance Test (SCT)

    dan diminta untuk mengisi kuesioner

    tentang refleksi diri dari Sobral. Kemudian,

     jawaban SCT dinilai berdasarkan proporsi

     jawaban panelis, yang merupakan dokter

    yang berpengalaman dalam praktik

    kedokteran. Panelis berjumlah 10 orang

    dokter praktek umum. Sedangkan skor

    kuesioner Sobral menggunakan skala

    Likert dari 1 hingga 7. Hasil kuesioner ini

    adalah jumlah keseluruhan skor yang ada.

    Scr ipt Conco rdance Test

    SCT merupakan metode tes yang

    mengukur kemampuan logika klinis

    (Charlin, B., Roy, L., Brailovsky,C., Goulet,

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    26/78

    125

    Oktarina. dkk, Peran Refleksi Diri Dalam Kemampuan Logika 

    F., & Vleuten, C., 2000). SCT disusun oleh

    dua orang dokter umum, satu orang dokter

    ahli kesehatan anak dan satu orang dokter

    ahli penyakit dalam. The SCT was

    constructed by 2 general practitioners and1 pediatrician and 1 internist, Dalam

    penelitian ini, SCT terdiri dari dua kasus

    pediatric dan dua kasus dewasa. Masing-

    masing kasus mengandung dua area, yaitu

    kemampuan diagnosis dan kemampuan

    merencanakan prose-dur diagnostic. Tiap

    area memiliki empat pertanyaan. Semua

    pertanyaa dijawab oleh panelis. Jumlah

    panelis yang merupakan dokter praktek

    umum adalah 10 orang. Persentase tiap

    pilihan dihitung berdasarkan proporsi

     jawaban panelis.

    Kuesioner Refleksi Dir i Sobral

    Kuesioner yang digunakan dalam

    penelitian ini menggunakan kuesi-oner

    refleksi Sobral. Kuesioner ini menilai

    refleksi diri dalam proses belajar. Item

    kuesioner ini meng-gunakan skala Likert

    dengan poin 1 yang menunjukkan “Tidak

    Pernah” secara ekstrem dan 7 yang

    menunjukkan “Selalu”. Jumlah skor ini

    bervariasi dari 14 hingga 98. Instrumen ini

     juga menilai pertanyaan-pertanyaan

    penilaian diri pada efikasi personal dalam

    proses belajar (Sobral, 2000).

    HASIL

    Data yang diperoleh, dihitung

    menggunakan perangkat lunak SPSS

    (versi 15.0). Batas signifikansi adalah

    p=0.05. Data yang diperoleh, berasal dari

    73 orang, atau 77,66% responden yang

    mengisi kuesioner dan melakukan tes

    secara lengkap. Dari hasil yang terkumpul,

    dilakukan pengukuran konsistensi internal.

    Kuesioner Sobral memiliki konsis-tensi

    internal baik (Cronbach‟s alpha= 0.719).

    Sedangkan SCT memilliki reliabilitas baik

    dengan Chronbach‟s alpha= 0.792. 

    Univariat

    Dari keseluruhan responden (n=94),

    response rate adalah sebesar 77,66%.

    Responden terdistribusi atas wanita 57.5%

    dan laki-laki 26.0% dan 16.4% sisanya

    tidak memberikan informasi. Responden

    terdiri atas 2,7% angkatan 2004, 1,4%

    angkatan 2005, 13.7% angkatan 2006, dan

    61.6% angkatan 2007 dan 4,1% lainnya

    tidak memberikan informasi tahun

    angkatan. Rentang usia responden

    berkisar antara 21 hingga 29 tahun,

    dengan 42% berusia 22 tahun.

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    27/78

    126

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    Sex

    19 26.0 31.1 31.1

    42 57.5 68.9 100.0

    61 83.6 100.0

    12 16.4

    73 100.0

    male

    f emale

    Total

    Valid

    SystemMissing

    Total

    Frequency Percent Valid Percent

    Cumulativ e

    Percent

    Batch

    2 2.7 3.4 3.4

    1 1.4 1.7 5.2

    10 13.7 17.2 22.4

    45 61.6 77.6 100.0

    58 79.5 100.0

    3 4.1

    12 16.4

    15 20.573 100.0

    2004

    2005

    2006

    2007

    Total

    Valid

    9999

    System

    Total

    Missing

    Total

    Frequency Percent Valid Percent

    Cumulativ e

    Percent

     

    Bivariat

    SPSS 15 digunakan dalam analisa data.

    Merujuk pada variable bebas dan variable

    tergantung yang memiliki skala numkerik,

    maka hubungan keduanya dianalisa

    menggunakan uji korelasi. Berdasar-kan

    asumsi data parametrik, diketahui bahwa

    kedua variable tersebut tidak memiliki

    distribusi yang normal, sehingga korelasi

    Spearman lebih diutamakan dalam menilai

    keyakinan hubungan kedua variable

    tersebut. Dari korelasi Spearman,

    diperoleh hasil bahwa nilai SCT

    berhubungan secara signifikan dengan

    skor refleksi diri, dengan r   = .262, p(one

    tailed) < .05.

    Age

    6 8.2 8.5 8.5

    31 42.5 43.7 52.1

    12 16.4 16.9 69.0

    12 16.4 16.9 85.9

    5 6.8 7.0 93.0

    1 1.4 1.4 94.4

    1 1.4 1.4 95.8

    2 2.7 2.8 98.6

    1 1.4 1.4 100.0

    71 97.3 100.02 2.7

    73 100.0

    21

    22

    23

    24

    25

    26

    27

    28

    29

    Total

    Valid

    0Missing

    Total

    Frequency Percent Valid Percent

    Cumulativ e

    Percent

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    28/78

    127

    Oktarina. dkk, Peran Refleksi Diri Dalam Kemampuan Logika 

    KESIMPULAN

    Penelitian ini menggali peran

    refleksi diri terhadap kemampuan logika

    klinis pada mahasiswa kedokteran. Hal ini

    merujuk pada keseimbangan metakognisi

    dalam mendukung ketercapaian kognisi

    untuk mencapai suatu tujuan

    pembelajaran. Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian

    dengan literatur. Literatur menyebutkan

    bahwa keahlian/ expertise  dicapai oleh

    seorang pembelajar yang mahir.

    Sedangkan mencapai kemahiran belajar,

    tidak hanya membutuhkan kemampuan

    kognisi dan informasi keilmuan yang

    dibutuhkan, tetapi juga metakognisi.

    Metakognisi ini diperlukan dalam

    mengenali kebutuhan belajar dan

    mengako-modir sesuai dengan

    pengetahuan metakognisi atas dirinya

    sendiri.

    Penelitian ini memiliki keterbatasan

    pada homogennya variable perancu

    lainnya seperti kurikulum dan suasana

    akademik. Untuk itu, disarankan untuk

    penelitian selanjutnya, dilakukan eksplorasi

    terhadap variable lain yang mempengaruhi

    logika klinis ini dalam kaitannya dengan

    peng-embangan metakognisi.

    Daftar Pustaka1. Boshuizen, H.P.A., & Schmidt, H.G.

    (2000). The development of clinical

    reasoning expertise. In: J. Higgs & M.

    Jones, Clinical Reasoning in the health

    Correlations

    1.000 .262*

    . .014

    73 71

    .262* 1.000

    .014 .

    71 71

    Correlation Coef f icient

    Sig. (1-tailed)

    N

    Correlation Coef f icient

    Sig. (1-tailed)

    N

    posttest

    ref _diri

    Spearman's rho

    posttest ref _diri

    Correlation is s ignif icant at the 0.05 level (1-tailed).*.

    Case Processing Summarya

    73 100.0% 0 .0% 73 100.0%

    71 97.3% 2 2.7% 73 100.0%

    posttest

    ref _diri

    N Percent N Percent N Percent

    Included Excluded Total

    Cases

    Limited to f irst 100 cases.a.

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    29/78

    128

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    Professions. Butterworth Heinemann:

    Oxford.

    2. Charlin, B., Roy, L., Brailovsky,C.,

    Goulet, F., & Vleuten, C. (2000). Script

    concordance test: A tool to assessreflective clinician. Teaching and

    Learning in Medicine, 12 , 189-195.

    3. Dunphy, B.C., & Williamson, S.L.

    (2004). In Pursuit of Expertise. In:

     Advances in Health Science Education,

    9, pp.107-127.

    4. Dunphy, B.C., Cantwell, R., Bourke, S.,

    Fleming, M., Smith, B., Joseph, K.S., &

    Dunphy, S.L. (2010). Cognitive

    elements in decision making: Toward a

    cognitive model for medical education

    and understanding clinical reasoning .

    Health Science Education, 15,  229-

    250.

    5. Ertmer, P.A. & Newby, T.J. (1996). The

    expert learner: Strategic, self

    regulated, and reflective. Instructional

    science, 24, 1-24.

    6. Fraenkel, J.R., & Wallen, N.E. (2009).

    How to design and evaluate research

    in education, 7 th ed .. McGraw-Hill. New

    York.

    7. Peters, E.E. & Kitsantas, A. (2010).

    Self-regulation of student epistemic

    thinking in science: the role of

    metacognitive prompts. Educational

     psychology and science education, 30 ,27-52.

    8. Ormrod, J.E. (2008) Human Learning ,

    (5th ed) Pearson Education; Upper

    Saddle River, New Jersey.

    9. Schmidt, H.G. & R.M.J.P. Rikers

    (2007). How expertise develops in

    medicine: knowledge encapsulation

    and illness script formation. Medical

    Education, 41(12), 1133-1139.

    10. Duvivier, R.J., Van Dalen, J., Muijtjens,

     A.M., Moulaert, V.R.M.P., Van der

    Vleuten, C.P.M, et Scherpbier, A.

    2011. The role of deliberate practice in

    the acquisition of clinical skills.  BMC

    Medical Education, 11:101.

    11. Sobral, D.T. 2005. Medical Students’

    Mindset for Reflective Learning: A

    Revalidation Study of the Reflection-In-

    Learning Scale.  Advances in Health

    Sciences Education, 10:4, 303-314.

    http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.springerlink.com/content/1382-4996/http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101http://www.biomedcentral.com/1472-6920/11/101

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    30/78

    129

    Oktarina. dkk, Peran Refleksi Diri Dalam Kemampuan Logika 

    Appendix 1

    Table A.I. The Scale of Reflection-in-Learning

    Please answer the items below in relation to your learning experiences in the medicalprogramme.Draw a circle around the scale number closer to your usual behaviour

    To what extent have I [1=Never 7=Always]

    1. Carefully planned my learning tasks in the courses andtraining activities of the medical program

    1 2 3 4 5 6 7

    2. Talked with my colleagues about learning and methods ofstudy

    1 2 3 4 5 6 7

    3. Reviewed previously studied subjects during each term 1 2 3 4 5 6 7

    4. Integrated all topics in a course with each other and withthose of other courses and training activities 1 2 3 4 5 6 7

    5. Mentally processed what I already knew and what I neededto know about the topics or procedures

    1 2 3 4 5 6 7

    6. Been aware of what I was learning and for what purposes 1 2 3 4 5 6 77. Sought out interrelations between topics in order to constructmore comprehensive notions about some theme

    1 2 3 4 5 6 7

    8. Pondered over the meaning of the things I was studying andlearning in relation to my personal experience

    1 2 3 4 5 6 7

    9. Conscientiously sought to adapt myself to the varieddemands of the different courses and training activities

    1 2 3 4 5 6 7

    10. Systematically reflected on how I was studying andlearning in different contexts and circumstances

    1 2 3 4 5 6 7

    11. Mindfully summarised what I was learning day in, day out,in my studies

    1 2 3 4 5 6 7

    12. Exerted my capacity to reflect during a learning experience 1 2 3 4 5 6 7

    13. Diligently removed negative feelings in relation to aims,objects, behaviours, topics or problems pertaining to my

    Studies 1 2 3 4 5 6 7

    14. Constructively self-assessed my work as a learner 1 2 3 4 5 6 7

    Material reproduced from Medical Education. Permission granted from BlackwellScience

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    31/78

     

    130

    Jasad Renik Dalam Air

    Oleh: Rayhana

    Abstrak

     Air merupakan bagian yang terbesar dari seluruh ekosistem yang ada di dunia. Air

    mempunyai beberapa kandungan yang membuatnya sebagai bagian yang penting dari

    lingkungan bagi beberapa mikroorganisme dan juga berperan pada fungsi esensial dalam

    semua sel hidup. Komposisi air merefleksikan tempat, baik air permukaan ( seperti sungai,

    danau) dan air bawah tanah (sering disebut juga Groundwater). Adanya berbagai macam gas

    yang larut dalam air menentukan mikroba yang dapat hidup didalamnya.

    Mikroorganisme dalam suatu lingkungan akuatik mungkin terdapat pada semua

    kedalaman, berkisar dari permukaan sampai ke dasar parit-parit yang paling dalam di dasar

    lautan. Populasi terbesar mikroorganisme menghuni "lapisan" teratas dan sedimen dasar,

    terutama di perairan dalam. Istilah "mikroorganisme indikator" sebagaimana digunakan dalam

    analisis air mengacu pada sejenis mikroorganisme yang kehadirannya di dalam air

    merupakan bukti bahwa air tersebut tercemar oleh bahan tinja dari manusia atau hewan

    vertebrata Artinya, terdapat peluang bagi berbagai macam mikroorganisme patogenik, yang

    secara berkala terdapat dalam saluran pencernaan, untuk masuk ke dalam air tersebut.

    Kata kunci: Jasad renik, mikroorganisme, air

    PENDAHULUAN

     Air merupakan bagian yang terbesar

    dari seluruh ekosistem yang ada di dunia.

     Air mempunyai beberapa kandungan yang

    membuatnya sebagai bagian yang penting

    dari lingkungan bagi beberapa

    mikroorganisme dan juga berperan padafungsi esensial dalam semua sel hidup .

    Contohnya; dapat menyerap koloid dan

    partikel dalm bentuk ikatan hidrogen; dapat

    menyerap cahaya dari bebrbagai panjang

    gelombang, merupakan bagian yang

    penting untuk mikroba aquatic; dan air

    merupakan pelarut yang sangat efisien ,

    yang penting untuk semua organisme baik

    didarat maupun di air.

    Karena air merupakan pelarut yang

    sangat baik, kandungan air alam

    sebenarnya melarutkan berbagai macam

    substansi. Oleh karena itu mungkin tidak

    ada air yang benar-benar murni, pun

    dilaboratorium dimana berbagai macam

    distilasi menghasilkan sampel yang sangat

    murni, karena sejumlah kecil komponen

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    32/78

    131

    Rayhana, Jasad Renik Dalam Air  

    dari gelas atau tabung larut kedalam

    larutan ini. Pengertian ”pure water” dapat

    digunakan terhadap air yang aman untuk

    diminum tetapai jah dari murni dari segi

    kimia dan mikrobiologinya.

     Air hujan mempunyai ketidak-murnian

    yang lebih sedikit dibandingkan air yang

    bersal dari tempat lain seperti danau,

    sungai; oleh karena air ini hanya terkonta-

    minasi dari kandungan yang terdapat di

    udara. Seperti dapat dilihat pada tabel 1,

    sampel air hujan yang mengandung sangat

    sedikit nutrien. Dibandingkan air hujan

    yang berasal dari daerah nonindustri, air

    hujan yang berasal dari daerah industri

    mengandung material terlarut yang lebihbanyak, terutama sulfat, ion ammonium

    dan lain-lain. Dan juga mungkin

    mengandung lebih banyak bahan toksik.

    Bila air hujan telah sampai tanah

    kandungan bahan yang terlarut menjadi

    lebih banyak.

    Tabel 1. Jumlah substansi didalam air

    Komposisi air merefleksikan tempat,

    baik air permukaan ( seperti sungai,

    danau) dan air bawah tanah (sering

    disebut juga Groundwater ). Gas seperti

    CO2  dan methane larut didalam air tanah.

     Adanya berbagai macam gas yang larut

    dalam air menentukan mikroba yang dapat

    hidup didalamnya.

     Air yang mengalir sepanjang strata

    tanah mengalami perubahan pada gas dan

    nutrient yang larut didalamnya. Selama

    musim panas suhu air betambah 10F setiap

    kenaikan 50 ft . Suhu air biasanya berkisar

    antara 1-1000C. Sangat mengagumkan

    karena kita dapat menemukan berbagai

    macam mikroorganisme yang dapat

    bertahan dengan rentang suhu tersebut.

    Misalnya : didaerah geiser dimana suhu >

    900C, spesies thermophilic   bisa hidup.

    Sedangkan didaerah yang sangat dingin

    beberapa fungi dan bakteri ( psychrophiles) 

    dapat hidup.

    Kadar pH air menentukan organisme

    yang hidup di dalamnya, misalnya mata air

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    33/78

    132

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    di Yellowstone National Park mempunyai

    pH antara 2-4, sehingga organisme yang

    hidup didalamnya adalah yang dapat

    bertahan pada pH rendah. Berlawanan

    dengan daerah yang pHnya tinggi (alkali)oragnisme yang ada adalah yang dapat

    hidup di pH >9.

     Air sungai dan danau kaya dengan

    nutrient, dan bervariasi tergantung pada

    berbagai faktor seperti karakter

    geochemical suatu daerah dan zat-zat

    yang ditambahkan kedalamnya. Air yang

    mengalir ke arah laut, semakin dekat

    dengan laut, kadar garamnya semakin

    meningkat. Air laut kandungan garamnya

    cukup tinggi (3,5%) dibandingkan kadargaram air tawar 0,05%, tetapi air laut

    sedikit mengandung nutrient seperti

    phosphate dan nitrate. Organisme yang

    hidup di laut disebut halophilic   . Tabel 2

    memperlihatkan kandungan mineral yang

    terdapat di air laut.

    Tabel 2. Kandungan Mineral dalam air laut

    Setiap bagian dari air memperlihatkan

    ekosistem yang kompleks. Energi didapat

    dari cahaya, akan berubah menjadi energi

    kimia melalui produser fotosintesa primer,

    baik alga atau cyanobacteria (dalam

    kondisi aerobik) atau bakteri (dalam kondisi

    anaerobik). Produser primer memerlukan

    nutrient inaorganik, mengutilisasi CO2 

    sebagai sumber Carbon. Mereka bertindak

    sebagi rantai makanan pertama,

    menyedia-kan makanan untuk protozoa

    dan invertebrata kecil yang kemudian akan

    menjadi makanan ikan.

    Nutrient inorganik bisa juga berasaldari sampah yang membusuk, daun mati,

    bangkai binatang dll. Mereka dirubah

    menjadi bahan inorganik oleh suatu

    dekomposer, termasuk bakteria dan jamur.

    Dekomposer juga merupakan bagian dari

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    34/78

    133

    Rayhana, Jasad Renik Dalam Air  

    rantai makanan, sebagai makanan untuk

    heterotrophic protozoa dan invertebrata.

    Sebagian kecil yang tidak dikomposisi

    akan mengendap di dasar sungai menjadi

    lumpur atau lama kelamaaan berubahmenjadi minyak bumi atau batu bara.

    1. Perairan alamiah

    Kelembapan bumi berada dalam

    sirkulasi yang berkesinam-bungan, yaitu

    suatu proses yang dikenal sebagai daur air

    atau daur hidrologis. Istilah ini mengacu

    pada sirkulasi air dari lautan dan air-airpermukaan lain menuju atmosfer melalui

    evaporasi dan transpirasi, diikuti dengan

    presipitasi kembali ke bumi sebagai hujan

    batu es.

    Perairan alamiah dapat diklasifikasikan

    menjadi: (Gambar 1)

    1. Air atmosfer: Air yang terkandung

    dalam awan dan dipresipitasikan

    sebagai hujan, salju, atau hujan

    batu es.

    2. Air permukaan: Kumpulan air seperti

    danau, kali, sungai, dan laut.

    3. Air di bawah permukaan tanah: Air

    di bawah permukaan tanah di

    daerah yang semua pori tanahnya

    serta ruang di dalam dan di antarabatu-batuannya jenuh dengan air.

    Gambar 1. Daur hidrologis, menggambarkan sistem sirkulasi air permukaan bumi keatmosfer dan kembali ke bumi

    Telah diperkirakan bahwa jumlah air

    yang menguap setiap tahunnya dari lautan

    ialah sebanyak 330.000 kilometer kubik se-

    dangkan dari danau dan permukaan tanah

    sebanyak 62.500 kilometer kubik.

    Penguapan total diimbangi oleh presipitasi

    total, dari jumlah tersebut 100.000

    kilometer kubik jatuh ke permukaan tanah.

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    35/78

    134

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    2. Mikroorganisme di perairan alamiah

    Mengingat bahwa berbagai

    lingkungan perairan alamiah itu demikian

    berbedanya, maka tidaklah mengherankan

    bila mikrobanya juga amat berbeda-beda.Mikroba di perairan atmosfer banyak

    berasal dari udara. Sebenarnya udara

    dapat dikatakan "tercuci" hujan sehingga

    partikel-partikel debu tempat melekatnya

    mikroorganisme terakumulasikan di dalam

    perairan atmosfer.

    Mikroba perairan di bawahpermukaan tanah dipengaruhi oleh proses

    penyaringan. Mikroorganisme tertahan

    oleh bahan partikulat dalam tanah yang

    berfungsi sebagai saringan (filter). Dengan

    demikian besar kemungkinan perairan

    yang berada jauh di bawah permukaan

    tanah bebas dari mikroorganisme. Mata air

    terdiri dari air tanah yang mencapai

    permukaan melalui bagian batuan yang

    retak atau pori tanah; sumber-sumber air

    semacam ini dapat mempunyai kualitas

    mikrobiologis yang "baik".

    Perairan permukaan, seperti danau,

    kali, sungai, muara, dan lautan, merupakan

    suatu ekosistem mikrobiologis yang amat

    rumit. Perairan demikian kurang lebih

    rentan terhadap pencemaran berkala oleh

    mikroorganisme dari air atmosfer, aliran air

    pada permukaan tanah, dan limbah

    domestik ataupun industri yang dibuang ke

    dalamnya. Perairan permukaan amat

    bervariasi dalam hal kandungan nutrien

    yang tersedia bagi mikroba, keadaan fisik,

    dan ciri-ciri biologisnya. Dengan demikian

     jelaslah bahwa terdapat perbedaan yangamat besar dalam hal populasi mikroba

    yang terdapat di dalamnya.

    3. Penyebaran mikroorganisme akuatik

    Mikroorganisme dalam suatu

    lingkungan akuatik mungkin terdapat pada

    semua kedalaman, berkisar dari

    permukaan sampai ke dasar parit-parityang paling dalam di dasar lautan.

    Populasi terbesar mikroorganisme

    menghuni "lapisan" teratas dan sedimen

    dasar, terutama di perairan dalam.

    Plankton (fitoplankton dan zoo-

    plankton). Kumpulan organisme hidup

    yang seba-gian besar terdiri darimikroorganisme, yang terapung dan

    hanyut pada permukaan ekosistem

    akuatik, dinamakan plankton. Populasi

    plankton terdiri dari algae (fitoplankton),

    protozoa, hewan kecil (zooplankton), dan

    mikroorganisme lain. Mikroor-ganisme

    fototrofik dianggap sebagai plankton yang

    paling penting karena merupakan

    produsen primer bahan organik; artinya,

    pelaku fotosintesis. Sebagian besar

    organisme planktonik dapat bergerak, atau

    mengandung tetesan minyak, atau memiliki

    struktur khusus yang memungkinkan

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    36/78

    135

    Rayhana, Jasad Renik Dalam Air  

    mereka mengapung; kesemua ciri ini

    membantu orga-nisme tersebut untuk

    mempertahan-kan lokasinya di zone

    fotosintetik yang berada di lapisan air

    bagian atas.

    Mikroorganisme bentik

    Mikroorganisme yang merupa-kan

    penghuni suatu dasar perairan (lumpur

    tanah) dinamakan orga-nisme bentik.

    Daerah terkaya akan jumlah dan macam

    organisme pada sistem muara-laut ialah

    daerah bentik, yang terbentang dari pa-sang naik sampai suatu kedalaman di

    tempat tanaman sudah jarang tumbuh.

    Daerah dasar laut mengan-dung berjuta

     juta bakteri per gram.

    Keadaan fisik dan komponen-

    komponen kimiawi yang mencirikan daerah

    perairan di antara zone planktonik dan

    bentik sangat bervariasi sehingga tidak ada

    gunanya untuk mencoba membuat

    gambaran umum. Pikirkanlah seje-nak

    mengenai perbedaan antara kolam dan

    lautan! Kolam dan danau juga memiliki

    zonasi dan stratifikasi yang khas, dan telah

    tersedia banyak informasi mengenai

    populasi mikrobiologis yang menghuninya.

    4. Peranan mikroorganisme dalam

    lingkungan akuatik

    Kehidupan akuatik memper-tunjukkan

    adanya interaksi yang amat rumit di antara

    mikroorga-nisme, dan antara

    mikroorganisme dengan makroorganisme,

    baik tumbuhan maupun hewan. Mikroor-

    ganisme, terutama algae memegang

    peranan penting dalam rantai makanan

    lingkungan akuatik.

    Produsen primer dalam lingkungan

    akuatik ialah algae, yang didominasi oleh

    fitoplankton. Dengan fotosintesis, algae

    mampu meng-ubah energi cahaya menjadi

    energi kimiawi (persenyawaan organik).

    Protozoa (spesies Foraminifera dan

    Radiolaria, dan juga banyak spesies

    berflagela dan bersilia) juga terctapat

    dalam jumlah banyak di daerah yang

    dihuni fitoplankton.. Jenis jenis zooplankton

    ini hidup dari organisme fitoplanktorr;

    bakteri, dan zat-zat organik atau, anorganik

    sebagai makanannya. Menurut penyelidi-

    kan, zooplankton menghindari cahaya danmempertunjukkaan migrasi diurnal. Pada

    malam hari zooplankton memakan

    fitoplankton di permukaan; sedangkan

    siang hari berada di zone fotik.

    Plankton, terutama fitoplankton

    dianggap sebagai "padang rumput di laut".

    Ikan, ikan paus, dan cumi-cumi secara

    langsung memakan plankton atau hewan

    yang lebih besar pemakan plankton .Istilah

    kesuburan lautan dipakai untuk

    menyatakan kemampuan organisme-

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    37/78

    136

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    organisme yang terdapat di dalamnya

    untuk menghasilkan bahan organik.

    Lingkungan darat menghasilkan 1

    sampai 10 g bahan organik kering per

    meter persegi per hari, sedangkan daerah-

    daerah lautan yang dalam menghasilkan

    0,5g. Bagaimanapun juga, daerah laut jauh

    lebih luas daripada lahan yang produktif

    sehingga perbedaan tersebut tidak penting

    karena pada akhirnya produktivitas total

    lautan jauh melebihi produktivitas total

    lahan. Kesuburan ini terutama bergantungkepada produksi fitoplankton. Pertumbuh-

    an organisme fitoplankton bergantung

    kepada energi cahaya, karbon diokside,

    air, persenyawaan nitrogen dan fosfor

    anorganik, dan beberapa unsur dalam

     jumlah amat kecil (unsur mikro). Nitrogen,

    fosfor, dan unsur-unsur mikro dibuat

    menjadi bentuk tersedia melalui kegiatan

    biokimiawi mikroorganisme, terutama

    bakteri.

    Kegiatan tersebut meliputi disimilasi

    substrat organik (jaringan tumbuh-

    tumbuhan dan hewan) dan menghasilkan

    persenyawaan anorganik, yang dikenal

    dengan proses mineralisasi. Rangkaian

    transformasi kimiawi yang menghasilkan

    nutrien bagi berbagai spesies kehidupan

    akuatik mengikuti jalan yang mirip seperti

    yang digambarkan pada daur nitrogen

    dalam tanah.

     Algae planktonik, dalam lingkungan

    tertentu, dapat tumbuh menjadi populasi

    yang sangat besar sehingga dapat

    mengubah warna air. Warna khas Laut

    Merah disebabkan oleh populasi padatalgae hijau-biru (sianobakteri), Oscillatoria

    erythraea,  yang mengandung pigmen

    fikoeritrin, dan fikosianin. Demikian pula

    "pasang merah" (red tides) disebabkan

    oleh pertumbuhan eksplosif spesies-

    spesies planktonik tertentu. Di samping itu,

    ada pula populasi padat mikroorganisme

    lain yang memberi warna coklat, kuning

    sawo, atau kuning kehijau-hijauan pada

    daerah perairan yang luas. Di berbagai

    daerah akuatik yang berbeda terdapat

    banyak tipe fisiologis bakteri.

    Di antara kelompok psikrofilik

    terdapat bakteri tertentu yang bercahaya,

    yang dapat menghasil-kan cahaya bila ada

    oksigen. Beberapa bakteri (Flavo-

    bacterium, Micrococcus dan Chromo-

    bacterium) di daerah permukaan ling-

    kungan marin seringkali berpigmen, suatu

    ciri khas yang dimilikinya untuk melindungi

    diri terhadap bagian dari radiasi sinar

    matahari yang bersifat letal. Bakteri yang

    banyak ditemui di daerahdaerah yang

    tercemari hasil buangan rumah tangga dan

    kaya akan nutrien organik meliputi bakteri

    Coli, streptokokus tinja, dan  spesies-

    spesies  dari  genus  Bacillus, Proteus,

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    38/78

    137

    Rayhana, Jasad Renik Dalam Air  

    Clostridium, Sphaerotilus, Beggiatoa,

    Thiothrix, Thiobacillus, dan banyak lainnya.

    Virus enterik juga mungkin dapat dijumpai

    di situ. Di daerah-daerah muara yang

    miskin akan nutrien, seringkali terdapat,bakteri tunas dan/ atau berapendiks seperti

    Hyphomicrobium, Caulobacter, Gallionella,

    di samping pseudo-monad .

    Di daerah muara yang dangkal,

    peranan mikroba fotosintetik sebagai

    produsen primer jauh lebih kecil. Tumbuh-

    tumbuhan di sepanjang garis pantaimemberikan daun, batang, dan zat organik

    lain kepada lingkungan tersebut.

    Fitoplankton dan algae bentik merupakan

    sebagian kecil dari bahan makanan yang

    tersedia di muara dangkal. V.egetasi

    organik diuraikan oleh bakteri dan

    cendawan dan diubah menjadi proteinmikrobial yang dapat merupakan nutrien

    untuk protozoa. Namun, di daerah muara

    terdapat banyak pemakan bahan makanan

    berupa potongan-potongan (bangsa udang

    dan kepiting herbivora dan omnivora,

    kerang-kerangan, larva serangga,

    nematode, dan beberapa jenis ikan).

    Mereka memperoleh energinya dari bahan

    tanaman berpembuluh yang terdapat di

    sepanjang pantai.

    Tabel 4. Mikroorganisme marine

    5. Pencemaran (polusi) air

    Kontaminan yang mencemari air

    digolongkan ke dalam tiga kategori:

    kimiawi, fisik, dan hayati. Kontaminan-

    kontaminan tertentu dalam setiap kategori

    ini dapat mempunyai pengaruh nyata ter-

    hadap kualitas air.

    Karena mempunyai potensi untuk

    berlaku sebagai pembawa mikroorganisme

    patogenik, air dapat membahayakan

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    39/78

    138

     Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol. 7, No.2, Juli 2011

    kesehatan dan kehidupan. Patogen yang

    paling sering disebarkan melalui air ialah

    yang menyebabkan infeksi pada saluran

    pencernaan, yaitu demam tifoid dan

    paratifoid, disenteri (basilar dan amebik),kolera, dan virus enterik. Organisme

    penyebab penyakit-penyakit ini terdapat

    dalam tinja atau air seni orang yang

    menderita infeksi dan ketika dibuang dapat

    memasuki kumpulan air yang pada

    akhirnya berfungsi sebagai sumber air

    minum.

    Sejalan dengan hal tersebut maka harus

    ada :

    (1) Prosedur untuk memeriksa air dan

    menetapkan kualitas mikrobiologisnya

    (2) Metode pemurnian air untuk

    menyediakan air minum yang aman

    (3) Fasilitas pembersih air untuk air

    buangan sebelum dibuang atau

    digunakan kembali.Permurnian air

     Air mungkin saja terlihat jernih, tak

    berbau, dan tak berasa, tetapi tidak aman

    untuk diminum. Air yang baik dan aman

    untuk diminum ialah air yang bebas dari

  • 8/18/2019 Edisi Juli 2011

    40/78

    139

    Rayhana, Jasad Renik Dalam Air  

    mikroor-ganisme penyebab penyakit dan

    zat kimia yang merusak kesehatan.

    Pencemaran air oleh mikroorga-nisme atau

    zat-zat kimia berarti air tersebut mengalami

    polusi dan tidak dapat diminum.

    6. Persediaan air untuk rumah tangga

    Sumber-sumber dalam tanah, yaitu

    sumur dan mata air, menyediakan

    sebagian besar air untuk rumah-rumah

    perorangan di daerah pedesaan. Air

    permukaan tidak boleh diminum kecuali

    bila diberi perlakuan (atau dididihkan)

    sebelumnya untuk menghilangkan

    kontaminan, karena air tersebut selalu

    terancam bahaya polusi. Air dari sumur

    atau mata air telah mengalami penyaringan

    selama perjalanannya menembus lapisan-

    lapisan tanah sehingga partikelpartikel

    yang tersuspensikan di dalamnya termasuk

    mil:roorganisme menjadi tersingkirkan.

     Amatlah penting untuk mengusahakan

    agar persediaan air tanah yang dipilih itu

    memptulyai lokasi yang baik sehingga

    terhindar dari pencemaran dari kakus

    umum. perigi jamban, tangki septik, dan

    kandang ternak.

     Air yang berasal dari sumber-sumber

    tersebut di atas sebaiknya diperiksakan

    secara berkala di laboratorium tuntuk

    memperoleh kepastian bahwa air tersebut

    aman untuk diminum. Sistem air masyara-

    kat umum Amerika terlibat di dalam

    produksi dan distribusi air yang-terawasi

    dengan baik sehingga aman untuk

    dilninum. Pelayanan ini membantu

    memberantas penyebab demam tifoid -