majalah pertambangan edisi 3

31
Kualitas Air Larian dari Daerah Reklamasi Tongoloka PT NNT Kualitas Air Larian dari Daerah Reklamasi Tongoloka PT NNT Dari Silaturrahmi Ketua UKP4 – PERHAPI Para Ahli Diminta Ikut Beres-beres…. Penuangan Emas Pertama Tambang Martabe Rio Tinto dan Mine of The Future Diterbitkan oleh Perhapi | Edisi 3 / II / September 2012

Upload: marleni-tajuddin

Post on 29-Jan-2016

102 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

uuu

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Pertambangan Edisi 3

Kualitas Air Larian dari Daerah Reklamasi Tongoloka PT NNT

Kualitas Air Larian dari Daerah Reklamasi Tongoloka PT NNT

Dari Silaturrahmi Ketua UKP4 – PERHAPI

Para Ahli Diminta Ikut Beres-beres….

Penuangan Emas Pertama Tambang Martabe

Rio Tinto dan Mine of The Future

Diterbitkan oleh Perhapi | Edisi 3 / II / September 2012

Page 2: Majalah Pertambangan Edisi 3

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 1

Pemimpin RedaksiKetua Bidang Media dan Informasi

PERHAPI

EditorHidir Tresnadi

Abraham Lagaligo

ArtistikKinetika Strategic Communications

Irene R.K. Sapti

Editor FotoSigit Pramono

IklanMariska Yosanti

Yulianingsih

PemasaranKetua Bidang Pemasaran dan Outreach

PERHAPI

DistribusiKasijo

Penerbit:PERHAPI

Perhimpunan Ahli Pertambangan IndonesiaAssociation of Indonesian Mining Professionals

Alamat Redaksi:Komplek Rukan Crown Palace Blok D No. 9

Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH. No. 231Jakarta Selatan - 12870

Telp: (62-21) 837 837 66, 837 966 61Fax: (62-21) 837 837 65

E-mail: [email protected]

Website:www.perhapi.or.id

Pembaca yang budiman,

Upaya pemerintah meningkatkan nilai tambah pertambangan, melalui pembangunan industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri, bertujuan menambah kemakmuran bagi rakyat yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Sejak 1960 pengusahaan minerba dilakukan oleh negara, sesuai dengan Prp No 37 tahun 1960. PT Perto yang saat itu mengelola nikel di Pomalaa, diambil alih negara dan diserahkan kepada PT Aneka Tambang (Antam), berdasarkan Keputusan Panglima Daerah Sulawesi. Kebijakan ini diikuti pelaranganan ekspor mineral mentah oleh perusahaan swasta. Sejak 1970 an Antam telah membangun pabrik pengolahan dan pemurnian Ferro-Nickel. Dalam pengelolaan batubara, tambang dengan cadangan batubara besar harus dikelola negara melalui PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), swasta hanya dapat mengelola tambang batubara dengan cadangan kecil.

Terbitnya UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009, yang menegaskan kewajiban meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara dan Permen ESDM 7/2012 sebagai regulasi teknisnya, yang memuat pelarangan ekspor mineral, kecuali ekspor mineral ore hingga 2014 dengan lima persyaratan tertentu, merupakan kompromi, guna menyeimbangkan konservasi, produksi, dan ekspor. Bagi investor tambang, kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian secara domestik, bukan hal baru di dunia internasional. Meski Permen tersebut dikritik karena kurang disosialisasikan. Namun kebijakan pelarangan ekspor bijih dalam jangka panjang dapat memaksimalkan konservasi bahan galian dan kelangsungan pasokan bahan baku industri masa depan. Gejolak saat awal pemberlakuan kebijakan ini sulit dihindari pada masa transisi, akibat benturan antara pelaku ekonomi dan pemerintah. Namun demi kepentingan nasional yang lebih besar, proses nilai tambah akan meningkatkan multiplier effect pertambangan.

Peran pemerintah dalam penyediaan infrastruktur fisik, insentif ekonomi, koordinasi antar kementerian terkait, dan komitmen penyelesaian proses perizinan yang baik dan singkat, merupakan syarat kebijakan nilai tambah dan pelarangan ekpor mineral dapat diberlakukan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, kebijakan ini merupakan tanggung jawab kita bersama, pemerintah, swasta serta pemangku kepentingan lainnya untuk mewujudkannya.

Salam,

Irwandy Arif

Bijak Menyikapi Nilai Tambah

Page 3: Majalah Pertambangan Edisi 3

2 | September 2012 • Pertambangan Indonesia September 2012 • Pertambangan Indonesia | 3

PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) mengoperasikan sistem penambangan terbuka (open cut) konvensional dan melakukan kegiatan reklamasi bersamaan dengan penambangan (concurrent reclamation). Sebagai bagian dari sistem pengelolaan air tambang (mine water management), saat ini air larian dari daerah reklamasi masih bercampur dengan air tambang (impacted water) yang ditampung dalam kolam-kolam pengendali sedimen untuk kemudian dipompa ke kolam sedimen Santong 3 untuk dipakai sebagai air proses di pabrik pengolahan.

10 Kualitas Air Larian dari Daerah Reklamasi Tongoloka PT NNT

Edisi 3 / II / September 2012

Diterbitkan oleh PERHAPI

4

10

21

34

43

50

Feature Articles

Technical Papers

PERHAPI News

Lintas Peristiwa

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto Nilai Tambah, Antara Kewajiban dan Kebutuhan

Kualitas Air Larian dari Daerah Reklamasi Tongoloka PT NNTOleh: Rissa Anungstri & Mara Maswahenu

Pengaruh Kegempaan terhadap Performance Stabilitas Lereng Tambang Terbuka Batu HijauOleh: Azwar Satriawan, Fransiscus Cahya, Hemiel Lelono, B. Donni Viriyatha dan Yan Adriansyah

Aplikasi Mikrothermometri Dalam Eksplorasi Endapan Epithermal *)Oleh: Syafrizal, M. Nur Heriawan, Teti Indriati

33 Rare Earth Element : China dan Tantangan Potensi dari Lumpur Dasar Samudera Pasifik

53

56

54Kegiatan Pengurus PERHAPI

TPT XXI dan Kongres VIII PERHAPI

Pelatihan Hukum Mineral dan Batubara MINING LAW ESSENTIALS 10 - 12 September 2012, Grand Melia Hotel, Jakarta

44 Indonesian Save Coal 2012Bauran Energi, DMO, Tumpang Tindih Lahan, Renegosiasi Kontrak dan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan.

18 Dari Silaturrahmi Ketua UKP4 – PERHAPIPara Ahli Diminta Ikut Beres-beres….Para ahli mulai sekarang harus mau dengan tegas mengatakan, mana yang benar dan mana yang tidak benar, dalam praktik pertambangan di Indonesia

PERHAPI Melantik 5 Competent Person IndonesiaCompetent Person Indonesia (CPI) adalah tenaga ahli pertambangan atau geologi yang memiliki minimum pendidikan S-1 dan pengalaman 5 tahun.

Penuangan Emas Pertama Tambang Martabe Setelah sempat tertunda beberapa kali, akhirnya tambang emas Martabe yang dikelola G-Resources berhasil memulai produksi pertamanya

52

Rio Tinto dan Mine of The FuturePenerapan sistem AHS merupakan bagian program Rio Tinto untuk mewujudkan Mine of The Future

Kongres I dan Pembentukan Badan Pengurus Perwakilan Daerah Propinsi Papua - Papua BaratKongres ini bertujuan untuk melakukan pembentukan susunan Badan Pengurus Perwakilan Daerah

Page 4: Majalah Pertambangan Edisi 3

FEATURE ARTICLES

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 54 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

FEATURE ARTICLES

Ramah dan terbuka, begitulah kesan yang dapat dirasakan saat berbincang dengan Rozik B. Soetjipto. Tak ada kesan birokratis yang tampak pada pribadi pria kelahiran 20 Agustus 1943 ini, meski sebagian besar umurnya dihabiskan dalam pengabdian sebagai pejabat pemerintah. Pada tahun 1998 – 1999 menjabat sebagai Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi, kemudian mendapatkan amanah sebagai Menteri Negara Pekerjaan Umum pada Kabinet Persatuan Nasional 1999 – 2000.

Pria asal Karanganyar, Jawa Tengah ini merupakan sosok yang sangat senior dan dikenal luas di dunia pertambangan Indonesia. Sebelum mengemban tugas yang sekarang, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, beliau cukup lama menjabat sebagai Komisaris di perusahaan tambang tembaga dan emas tersebut. Ditemui dalam suasana santai pada Senin, 2 Juli 2012 di kantornya, pemilik nama lengkap Rozik Boedioro Soetjipto ini bertutur lugas tentang berbagai isu yang mewarnai dunia pertambangan Indonesia dewasa ini.

Rozik juga meluruskan sejumlah tudingan miring, yang kerap dialamatkan kepada PT Freeport Indonesia. Diantaranya kabar bahwa 50% penerimaan Freeport McMoran, perusahaan induk PT Freeport Indonesia, merupakan hasil dari eksploitasi tambang Grasberg di Papua. Menurutnya, saat dulu kantor Freeport McMoran masih di New Orleans, sebelum akhirnya pindah ke Phoenix, mungkin benar 50% pendapatan McMoran berasal dari Grasberg, bahkan mungkin lebih.

“Karena dulu tambang McMoran yang besar ya memang di Grasberg. Tapi sekarang mungkin hanya 30-35% kontribusi Grasberg untuk McMoran. Karena sekarang McMoran juga mempunyai tambang di Amerika Utara , Peru, Chili, dan Kongo,” ujarnya. Ia juga menampik rumor bahwa Freeport sama sekali menolak renegosiasi Kontrak Karya yang diusulkan pemerintah. Justru Rozik berpendapat, Kontrak-kontrak Karya pertambangan yang ada saat ini sudah tua, dan perlu pembenahan. Berikut selengkapnya petikan wawancara dengan Rozik B. Soetjipto.

Akhir-akhir ini dunia pertambangan Indonesia diramaikan pro dan kontra lahirnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 7 Tahun 2012, tentang kewajiban mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri. Bagaimana pandangan Anda tentang hal ini? Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 mengharuskan setiap pengelolaan mineral pertambangan harus memberikan nilai tambah sebesar-besarnya. Menurut saya itu suatu langkah bagus dan memang sudah seharusnya begitu. Pengelolaan sumber daya alam pertambangan kita harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Terlebih hal itu pun sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Kami juga mendukung langkah pemerintah itu.

Namun sayangnya, Permen tersebut baru keluar tiga tahun setelah UU Minerba diterbitkan, dengan persiapan yang kurang komprehensif. Padahal kita tahu, sejak UU Minerba terbit sudah banyak orang yang tahu, ekspor mentah mineral hanya bisa sampai 2014, dan sudah ada yang berusaha cari-cari kesempatan untuk lolos dari peraturan itu, dengan mengekploitasi mineral tambangnya secepat-cepatnya. Baik nikel, bijih besi, dan bauksit.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto

Nilai Tambah, Antara Kewajiban dan Kebutuhan

FEATURE ARTICLESFEATURE ARTICLES

Page 5: Majalah Pertambangan Edisi 3

6 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

FEATURE ARTICLES FEATURE ARTICLES

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 7

Jadi saya menilai justru Permen itu terlambat. Mestinya konsep permen itu sudah disiapkan sebelum terbitnya UU Minerba, sehingga bisa diterbitkan tidak lama setelah UU Minerba lahir. Mestinya paling lambat satu tahun peraturan pendukung UU Minerba sudah harus keluar. Apalagi untuk nilai tambah, membangun pabrik kan tidak bisa dalam waktu cepat.

Apakah Freeport juga sudah siap untuk mengolah dan memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri mulai 2014 nanti, termasuk untuk membangun smelter?

Itu hal kedua yang ingin saya jelaskan. Bahwa agak sulit kalau digeneralisasi semua jenis mineral harus diberikan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, dengan pembangunan smelter di dalam negeri paling lambat 2014. Karena untuk membangun smelter pengolahan dan pemurnian, ada jenis-jenis mineral yang membutuhkan waktu agak pendek untuk dikembangkan, dan ada yang membutuhkan waktu lebih lama.

Mestinya sebelum aturan itu keluar, ada semacam ada pra-studi untuk menentukan mana mineral yang harus dikembangkan lebih cepat, dan mana yang membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa diolah di dalam negeri. Terkait Permen 7/2012, untuk nikel sebenarnya lebih mudah, karena produk yang bisa dihasilkan lewat pengolahan dan pemurnian lebih banyak. Bisa nickelmatte, ferronickel, nickel pig iron, dan sebagainya. Selain itu, untuk pengembangan pengolahan dan pemurnian nikel, nilai investasinya juga tidak terlalu besar jika harus membangun smelter.

Berbeda dengan tembaga yang pengembangannya butuh waktu lama. Freeport agak kesulitan kalau harus membangun smelter sendiri paling lambat 2014. Saat ini baru 30 – 35% konsentrat tembaga dari Freeport yang diolah di PT Smelting Gresik. Kalau harus 60 – 65% lagi yang harus diolah di dalam

negeri, sulit karena untuk membuat smelter tembaga yang kapasitasnya sama dengan PT Smelting Gresik, dibutuhkan investasi hingga USD 1 miliar lebih. Jadi tidak semua masalahnya sama.

Menurut Anda, bagaimana seharusnya perlakuan terhadap tembaga terkait dengan kewajiban nilai tambah mineral ini?

Jadi yang perlu diingat, untuk menentukan sejauh mana nilai tambah harus dilakukan di dalam negeri pada tiap-tiap mineral, Kementerian ESDM perlu berkoordinasi dengan instansi yang kewenangannya lebih ke hilir. Seperti Kementerian Perindustrian misalnya, yang lingkup kewenangannya terkait dengan hasil pengolahan. Seperti produk PT Smelting Gresik, kan hanya 40%-nya yang diserap di dalam negeri, 60%-nya diekspor. Artinya nilai tambah dibutuhkan untuk memberikan arti lebih itu justru di hilirnya, bahkan sampai manufacturing. Itu sudah harus dipikirkan sejak awal, dan saya kira pemerintah sudah mempertimbangkan hal itu, sebelum menerbitkan Permen 7/2012.

Hal yang lain yang harus dipikirkan, adalah bagaimana dengan insentif fiskal misalnya. Kita harus belajar dari masa-masa awal pembangunan pabrik pemurnian tembaga di Gresik. Sejak 1991 saat Freeport diwajibkan membangun pusat peleburan tembaga dengan menggandeng investor lain, baru pada tahun 1997 pabrik itu bisa terealisasi. Itu sangat terkait dengan ketentuan-ketentuan fiskal yang bersifat meringankan. Karena tahun-tahun pertama pabrik itu masih merugi, sehingga insentif ini patut diperhatikan. Sekarang kan seolah-olah pemerintah mengatakan “harus begini, titik. Terserah kalian mau bagaimana…”. Jadi masih banyak PR (pekerjaan rumah) kita, agar aturan nilai tambah ini bisa dilaksanakan dengan baik.

Untuk Freeport sendiri apakah ada kesulitan untuk mendapatkan izin ekspor mineral konsentrat, mengingat sejak Permen 7/2012 itu diberlakukan

secara efektif maka tidak boleh lagi ada ekspor mineral mentah atau konsentrat?

Ya sampai 2014 kita masih boleh mengekspor konsentrat. Memang beberapa waktu yang lalu sempat juga tertahan. Tapi kan dalam aturannya boleh dilakukan ekspor konsentrat asal memenuhi sejumlah syarat, salah satunya harus “Clear and Clean”. Sehingga kita kemudian mendapat dukungan dari Direktur Jenderal Mineral dan Batubara serta Kementerian Perdagangan, dan kita mendapat pengakuan “Clear and Clean”, sehingga bisa ekspor lagi.

Lalu saja apa persiapan Freeport untuk nilai tambah di dalam negeri, dan langkah-langkah apa yang sudah dilakukan untuk menyongsong 2014?

Pertama, kami sudah mempunyai hasil studi mengenai pembangunan smelter dan refinery (pemurnian, red) untuk tembaga. Sayangnya studi itu menunjukkan bahwa saat ini tidak feasible untuk dibangun smelter pengolahan dan pemurnian tembaga di Indonesia. Kami pun mengusulkan kepada pemerintah, untuk bersama-sama membuat studi tentang pembangunan smelter tembaga, yang dikaitkan dengan kondisi di Indonesia. Terus terang yang kami punya itu hasil studi konsultan asing. Siapa tahu kalau studinya dilakukan di Indonesia, maka bisa didapatkan angka yang lebih akurat, mengenai kelayakan dibangunnya pabrik pengolahan tembaga di dalam negeri.

Kedua, kami juga sudah menyatakan akan mendukung investor yang berniat masuk, pada pembangunan smelter peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia. Itu sudah menjadi komitmen kita, untuk mengutamakan pasokandi dalam negeri, pada pabrik-pabrik peleburan dan pemurnian yang akan dibangun di dalam negeri. Ini juga yang sedang kami jajaki, dan masih sulit mengatakan kalau ditanya kapan tambahan suplai tembaga untuk dalam negeri itu akan dimulai. Karena pihak-pihak yang sudah menyatakan siap

membangun smelter peleburan dan pemurnian tembaga itu, juga belum menyampaikan suatu rencana yang konkrit.

Sejauh ini apakah sudah ada calon investor yang sudah menyatakan niat masuk ke investasi pembangunan pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia, dan melakukan pembicaraan dengan Freeport?

Sudah, sebelum menjabat Presiden Direktur, saya pikir PT Nusantara Smelting sudah mencoba membangun pembicaraan dengan Freeport. Dan baru-baru ini ada juga investor lain yang membangun pembicaraan dengan kami, yakni dari Indosmelt. Kami juga belum menanggapi, kami hanya menerima keterangan dari mereka.

Mereka menyebutkan kapasitas pabrik pengolahan tembaga yang akan dibangunnya. Tetapi bagaimana studinya dan bagaimana rencana konkritnya, itu kan kita perlu kita ketahui lebih lanjut. Kalau pabriknya memang sudah ada, kita harus sesuaikan juga dengan kontrak penjualan konsentrat tembaga kita ke pihak lain. Konsentrat kita kan dijual ke mana-mana. Bagaimana supaya pas, begitu.

Kalau sampai 2014 nanti belum ada pabrik baru pengolahan tembaga yang berdiri dan konsentrat tidak boleh lagi diekspor, apakah tidak terjadi penumpukan di dalam negeri?

Kita juga tidak tahu bagaimana kebijakan pemerintah nantinya jika memang tidak juga bisa terbangun smelter di dalam negeri sampai 2014 itu. Ya kalau tidak ada fleksibilitas, maka di satu sisi produksi akan menurun, dan penerimaan negara juga akan turun.

Bagaimana kalau tembaga ini diolah dan dimurnikan di Indonesia, produk apa yang paling dekat yang bisa diproduksi?

Ya copper cathode, yang kemudian bisa dibuat semacam roll, lalu bisa dibuat menjadi kabel atau copper rods, yang

nantinya untuk pembuatan kabel-kabel telekomunikasi. Yang dari copper cathode itu juga bisa dibuat menjadi paduan atau alloy, perunggu, dan lebih ke hilir lagi. Itu yang saya bilang tadi, kalau industri hilirnya kita siapkan, maka bisa menyerap produk hasil pengolahan dan pemurnian, sehingga hasilnya akan lebih besar dibanding sekedar dari konsentrat ke copper cathode. Karena dari konsentrat ke copper cathode kenaikan value-nya hanya 45%.

Copper cathode sebenarnya barang setengah jadi, walaupun kadarnya bisa mencapai 89% (standar) LME (London Metal Exchange). Namun akan lebih baik kalau di dalam negeri tembaga hasil olahan bisa menjadi bahan baku industri manufacturing. Dua investor yang sudah menyatakan siap membangun smelter pengolahan dan pemurnian itu pun kelihatannya hanya sampai copper cathode saja. Sementara saya melihat, peningkatan nilai tambah tembaga di Indonesia ini bisa sampai manufacturing.

Apakah PT Smelting Gresik mempunyai keinginan untuk memproduksi sampai roll?

Belum lama ini kan Komisi VII DPR berkunjung ke PT Smelting Gresik. Perusahaan itu menyatakan lebih feasible melakukan investasi lebih ke hilir, ketimbang menambah kapasitas produksi copper cathode-nya. Saya tidak tahu persis produk-produk apa yang bisa disiapkan PT Smelting Gresik. Tetapi saya lihat Kementerian Perindustrian juga mendorong PT Smelting Gresik untuk lebih ke hilir. Itu tampaknya yang lebih menjadi prioritas bagi Kementerian Perindustrian.

Sejauh ini kan pembeli di luar negeri lebih banyak berburu konsentrat tembaga dari Indonesia. Untuk produk hasil olahan seperti copper cathode, roll, dan seterusnya, seperti apa peluang pasarnya di luar negeri?

Kalau copper cathode yang diproduksi PT Smelting Gresik saat ini, setahu saya 60%-nya diserap oleh pasar internasional. Tetapi kalau kapasitas produksi copper cathode di Indonesia dinaikkan, saya tidak

tahu bagaimana potensi penyerapannya di pasar internasional. Karena kapasitas smelter di dunia ini sudah melebihi kemampuan suplai konsentrat. Itu yang menyebabkan pembangunan pabrik baru copper cathode di Indonesia kurang menarik kalau ditinjau dari sisi komersialnya.

Menurut saya, kalau pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah di dalam negeri, maka harus memikirkan juga kemungkinan memberikan subsidi, terutama di tahap-tahap awal seperti saat pembangunan Smelting Gresik dulu. Mungkin ada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan dari sisi penguasaan teknologi. Tetapi karena situasinya saat ini tidak feasible maka kalau ingin mendirikan pabrik sejenis PT Smelting Gresik, pemerintah harus turun tangan memberikan insentif-insentif agar perusahaan baru itu dapat berjalan.

Jadi dalam hal nilai tambah mineral ini, di antara semangat yang besar juga harus ada penyesuaian dengan kondisi ya?

Iya, terutama dari sisi ketersediaan infrastrukturnya. Listrik misalnya. Kalau pengolahan tembaga mungkin tidak memerlukan suplai listrik terlalu besar. Tapi kalau pabrik alumina, kebutuhan listriknya besar sekali. Jadi apa pun itu, suplai energi listrik yang konsisten sangat dibutuhkan oleh industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang, selain sarana dan prasarana yang lain.

PT Smelting Gresik sendiri bisa sukses karena didukung lokasi yang cocok. Limbahnya berupa SO

2 yang sebenarnya menjadi masalah, ternyata bisa dipakai oleh industri petrokimia yang ada di sebelahnya. Slag-nya juga bisa dipakai oleh industri semen yang ada di Gresik. Pelabuhan juga ada di sana, dan listrik juga relatif terpenuhi. Jadi pemilihan lokasi sangat penting kalau kita mau membangun industri pengolahan dan pemurnian tembaga yang sukses. Indosmelt sendiri berniat mengkoneksikan kehadiran pabriknya dengan Semen Tonasa.

Page 6: Majalah Pertambangan Edisi 3

8 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

FEATURE ARTICLES FEATURE ARTICLES

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 9

Puas menggali pemikiran Rozik B. Soetjipto seputar nilai tambah mineral di dalam negeri, pembicaraan beralih pada isu-isu terkini yang terkait langsung dengan Freeport. Salah satunya renegosiasi Kontrak Karya pertambangan yang sedang diusung oleh pemerintah. Rozik tak menampik, dirinya adalah salah satu tokoh pertambangan yang menilai Kontrak Karya yang ada saat ini, usianya sudah terlalu tua dan membutuhkan pembenahan.

Hal itu pun pernah diungkapkannya secara terbuka pada suatu kesempatan diskusi di Universitas Trisakti Jakarta, November 2011 silam, saat ia masih menjabat Komisaris PT Freeport Indonesia. Sampai sekarang menjadi Presiden Direktur pun, Rozik mengaku pendapatnya tentang Kontrak Karya tidak berubah. Pria yang berulang tahun setiap 20 Agustus ini pun menegaskan, Freeport tidak pernah menolak renegosiasi Kontrak Karya. Bahkan Freeport menunggu undangan pemerintah, untuk memaparkan pandangannya soal renegosiasi. Berikut dialog selengkapnya.

Sejauh mana perjalanan renegosiasi Kontrak Karya saat ini khususnya terkait Freeport? Kalau poin-poinnya kan sudah jelas, termasuk yang pokok-pokok. Kita juga sudah mendengar sebelum dikeluarkannya Inpres yang berisi pembentukan Tim Evaluasi Renegosiasi Kontrak Pertambangan dikeluarkan. Kami pun sebenarnya sudah melakukan pertemuan-pertemuan dengan Dirjen Minerba. Pandangan Freeport tentang poin-poin yang diminta oleh pemerintah untuk di-review kembali itu pun, sudah kami siapkan untuk disampaikan ke pemerintah.

Sikap saya tidak berubah bahwa Kontrak Karya perlu diubah. Karena di pasal 23 Kontrak Karya itu sendiri mengatakan kemungkinan adanya isi yang diubah. Namanya saja yang berbeda, bukan renegosiasi, tetapi pembicaraan ulang

kerjasama para pihak. Jadi kalau pemerintah mengatakan ada aspirasi masyarakat yang menginginkan isi kontrak berubah, perusahaan juga perlu melihat itu. Tetapi pada akhirnya segala sesuatu itu kan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Memang kita belum sampai bicara tentang angka, tetapi semangatnya sudah ada. Jadi persetujuan untuk adanya pembicaraan itu sudah kami sampaikan kepada pemerintah atau Tim Evaluasi yang ditunjuk, dan saya pun sudah ditunjuk oleh pemegang saham Freeport untuk bertindak sebagai pihak dalam pembicaraan terkait Kontrak Karya Freeport dengan pemerintah. Jadi kami sekarang sedang menunggu, kapan sih formalnya kami diundang untuk menyampaikan, ini lho posisi kami seperti ini. Secara intern kami suah ada persiapan, tetapi belum kita sampaikan ke pemerintah.

Kabarnya Freeport keberatan kalau dalam renegosiasi ada pengurangan luas wilayah? Yang kami tangkap, pemerintah sebenarnya menanyakan rencana jangka panjang Freeport. Berapa lahan yang bisa digarap Freeport sampai akhir kontraknya pada 2041. Dan mengapa Freeport masih butuh lahan seluas wilayah Kontrak Karyanya sekarang. Mudah-mudahan kesan kami ini benar seperti itu. Karena kalau UU Minerba sendiri mengatakan, luasan maksimal pertambangan mineral 25.000 hektar. Mudah-mudahan pemerintah memang tidak mengutak-atik luasan wilayah itu, karena ini menyangkut suatu proses yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari.

Jadi sebenarnya berapa luas wilayah yang bisa digarap Freeport itu, tergantung pada sejauh mana rencana jangka panjang kita, berdasarkan Kontrak Karya yang dikeluarkan jauh hari sebelum UU Minerba terbit. Biasanya pemerintah bisa memahami hal seperti itu. Jangan sampai kita sudah punya rencana jangka panjang, ternyata tidak bisa dilaksanakan gara-gara suatu wilayah ternyata tidak boleh diapa-apakan. Ini bisa repot.

Jadi sebenarnya berapa luas wilayah yang dibutuhkan oleh Freeport untuk melanjutkan operasinya sampai 2041? Jadi begini, tambangnya itu sendiri tidak akan lebih dari yang digarap sekarang, yakni Blok A seluas 10.000 hektar. Karena pengembangan tambang kita kan ke underground. Yang kita perlukan di luar (yang 10.000 hektar) itu adalah lahan untuk sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan, seperti infrastruktur dan sebagainya. Itu yang mungkin membutuhkan tambahan lahan di luar areal yang 10.000 hektar itu. Nah nanti kalau ada lahan yang memang tidak dibutuhkan untuk operasional pertambangan kita sampai 2041, itu yang nanti kita kembalikan kepada pemerintah.

Untuk kenaikan royalti tembaga dan emas bagaimana? Angkanya memang belum dibicarakan. Karena kami memang selalu menekankan, yang penting penerimaan negara meningkat. Dari royalti memang besar, tetapi dari pajak kita sudah membayar lebih besar. Malah jangan-jangan kalau royalti kita dinaikkan sehingga mengurangi laba bersih, maka pajaknya malah turun. Itu pula yang akan kami utarakan kepada pemerintah dalam pembicaraan nanti.

Kalau royalti itu kan hanya penegasan bahwa sumber daya alam ini milik pemerintah, sehingga mau untung atau rugi perusahaan harus tetap membayar dengan angka yang sama. Sedangkan pajak itu kan dihitung dari manfaat yang kita peroleh, kita kembalikan sekian persen kepada negara. Pada 2011 setoran kita ke pemerintah dari pajak dan royalti sebesar USD 2,4 miliar. Dari jumlah itu, 80%-nya merupakan pajak, terutama pajak korporasi dan pajak lain-lain. Lalu 11%-nya dividen, dan 9%-nya baru royalti. Yang penting kan totalnya pemerintah inginnya naik.

Saya kira pemahaman ini juga yang perlu disebarkan ke khalayak yang lebih luas. Karena kemarin-kemarin masih ada juga orang yang bertanya kepada saya, memangnya anda tahu berapa yang dikirimkan dari Grasberg ke luar

negeri dan masuk menjadi penerimaan McMoran. Karena dibilangnya pengiriman hasil tambang Grasberg itu sangat rehasia, sampai lewat terowongan segala, ha…ha…ha… Saya bilang tentu tahu, wong semuanya ada sistemnya.

Jadi tidak benar ya kalau ada yang menganggap ekspor hasil tambang Grasberg itu tidak transparan? Setiap konsentrat yang mau keluar dari tambang Freeport di Papua itu, selalu ada yang menguji kadar dan volumenya, yakni Sucofindo. Yang bekerja di Sucofindo itu kan orang-orang kita juga. Kemudian ada Bea Cukai, yang itu orang-orang kita juga. Jadi semua itu bisa dikontrol. Itu juga pernah saya ceritakan kepada almarhum Pak Widjajono Partowidagdo saat menjabat Wakil Menteri ESDM.

Saya kasih tahu, kalau mau mengontrol berapa yang dikeluarkan dari Freeport, jangan kirim orang untuk menghitung truk yang mondar-mandir. Silahkan cek siapa yang membuat laporan, siapa yang membuat analisis, kemudian dari tambang, pabrik, pelabuhan, lalu tailing itu harus klop semuanya. Seperti audit keuangan saja, ketika ada yang miss atau hilang, pasti langsung kelihatan, karena pasti angkanya tidak sinkron. Jadi kalau mau menipu harus pintar sekali itu.

Dulu itu saya lakukan sendiri. Pada tahun 1990 saya Dirjen Pertambangan, selama lima tahun laporan Freeport tim saya yang memeriksa. Baik dari laporan eksplorasinya, produksinya, masuk ke pabrik, lalu yang masuk ke stock pile dan tailing, konsentrat, semua ada datanya, pengapalannya, lalu diuji kadar dan volumenya. Setelah semua klop, baru dikeluarkan izin ekspor atau pengapalan. Ya klop-nya tidak sampai koma-komanya, karena itu skalanya besar sekali.

Jadi semua yang diekspor dari Grasberg itu bisa kelihatan, karena ada dokumennya. Termasuk shipping document-nya, analisa kadarnya, dan segala macam. Ketika konsentrat mau dijual, maka lebih dulu sampel diambil dan dianalisa di Indonesia. Pengambilan

sampel dan analisis juga dilakukan lagi ketika barang tiba di tempat tujuan oleh pembeli. Sudah ada aturan mainnya, tidak bisa seperti jualan pisang goreng begitu. Saya pun jelaskan hal yang sama kepada Pak Amien Rais beberapa tahun yang lalu.

Soal divestasi, apakah Freeport juga akan mengikuti kewajiban UU Minerba yang baru? Kalau kita secara hukum, bertahan dengan isi Kontrak Karya, maka kita bisa katakan Freeport sudah melakukan divestasi sesuai dengan apa yang tertuang di dalam ketentuan kontrak karya. Saat bertemu dengan kepala BKPM Pak Chatib Basri dalam suatu forum, saya pun minta pandangan beliau tentang divestasi Freeport ini. Kami merasa Freeport sudah memenuhi kewajiban divestasinya, lalu sekarang ada UU yang mewajibkan divestasi sampai 51%. Apakah kita juga wajib mengikuti isi UU baru itu? Beliau menjawab “wah itu bagian yang harus kita bahas”.

Apakah pemerintah akan tetap dengan keinginan UU Minerba untuk divestasi saham sampai 51%? Kita tetap pada

pendirian bahwa telah melaksanakan divestasi sesuai Kontrak Karya. Bisa juga kita mencari jalan tengah di antara keduanya. Tapi yang jelas, pemilik Freeport ini adalah share holder di seluruh dunia, karena Freeport McMoran adalah perusahaan terbuka yang listing atau terdaftar di Bursa Efek New York. Posisi awal kita adalah kita sudah melakukan divestasi, sesuai Kontrak Karya sampai berakhirnya kontrak.

Apakah rencana pengalihan saham Indocopper (perusahaan tempat Freeport mendivestasikan 9% sahamnya) ke pemerintah daerah sudah terlaksana? Belum. Ya memang prioritas adalah ke pemerintah daerah, namun pemerintah daerah ini kan mesti menggandeng rekanan, karena harga saham Indocopper itu juga tidak murah. Lalu berapa persen yang diambil daerah juga tergantung sejauh mana pemerintah daerah bisa memilih teman dalam proses pembeliannya. Kami berharap partner daerah adalah pihak yang bisa benar-benar memberikan manfaat pada daerah secara maksimal.

Page 7: Majalah Pertambangan Edisi 3

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 11

TECHNICAL PAPERS

10 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

Kualitas Air Larian dari Daerah Reklamasi Tongoloka PT NNT*

Oleh: Rissa Anungstri & Mara MaswahenuDepartemen Lingkungan PT NNT,

Batu Hijau Project, Sekongkang, NTB*) Makalah ini telah disampaikan sebagai Prosiding dalam TPT XX PERHAPI 2011

Abstract:PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) mengoperasikan sistem penambangan terbuka (open cut) konvensional dan melakukan kegiatan reklamasi bersamaan dengan penambangan (concurrent reclamation). Sebagai bagian dari sistem pengelolaan air tambang (mine water management), saat ini air larian dari daerah reklamasi masih bercampur dengan air tambang (impacted water) yang ditampung dalam kolam-kolam pengendali sedimen untuk kemudian dipompa ke kolam sedimen Santong 3 untuk dipakai sebagai air proses di pabrik pengolahan. Seiring dengan meningkatnya timbunan batuan sisa seiring kemajuan penambangan, volume air tambang yang harus dikelola akan semakin tinggi. Hal ini berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya limpasan air tambang ke badan air ambien pada musim hujan. Untuk itu dilakukan evaluasi kualitas air dari daerah reklamasi untuk mengetahui apakah kualitas air dari daerah reklamasi Tongoloka telah memenuhi baku mutu, sehingga dapat dapat dialirkan langsung keluar ke sungai Tongoloka. Data kualitas air diambil dari 8 titik di saluran reklamasi dan dari 7 titik di lereng reklamasi pada Oktober 2010 – April 2011. Parameter yang dievaluasi adalah pH, Daya Hantar Listrik, TSS, Kation, Anion, dan Logam terlarut. Hasil pengukuran dan analisa kualitas air disajikan dalam bentuk grafik dan dibandingkan dengan KEPMEN LH Nomor: 202/2004 tentang baku mutu air limbah dari pertambangan emas dan tembaga. Hasil analisa logam terlarut menunjukkan bahwa air larian dari slope reklamasi jauh dibawah batasan dalam KEPMEN LH 202/2004.

Keyword : Kualitas Air Larian, Reklamasi, Air Tambang.

Latar BelakangPT NNT terletak di bagian Barat Daya Pulau Sumbawa, Batu Hijau, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), menambang bijih tembaga dan emas dari dari sebuah pit, yang kemudian mengolahnya menjadi konsentrat untuk dikapalkan ke peleburan. Berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang dimilikinya, maka pada tahun 1996 disusun AMDAL yang mencakup ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Pada tahun 2000 dilakukan revisi RKL-RPL dalam pengelolaan pengelolaan timbunan batuan sisa. Revisi terakhir terjadi pada tahun 2010. Revisi-revisi RKL-RPL ini dibuat untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang akan terjadi dalam kegiatan penambangan kedepan.

Sebagian besar timbunan limbah batuan ditempatkan di Tongoloka, bagian selatan Batu Hijau. Timbunan batuan dibangun dalam bentuk rangkaian tumpukan berjenjang, yang dirancang memiliki kemiringan slope permukaan timbunan sekitar 26,6 (2H: 1V). Berdasarkan operasi dari tahun 2000 hingga 2008 dan analisa studi geoteknik, maka penerapan desain lokasi penimbunan batuan telah memenuhi persyaratan pelaksanaan program perencanaan reklamasi,

dan pengontrolan erosi serta pengoptimalan lahan dalam mengurangi air asam tambang (PTNNT,2010).

Proses reklamasi di PTNNT, dilakukan bersamaan dengan kemajuan penam-bangan (concurrent reclamation), meliputi proses pembentukan konfigurasi lereng akhir (recontouring) dan penyebaran tanah, diikuti dengan kegiatan reklamasi berupa penempatan tanah pucuk dan revegetasi. Proses revegetasi membantu menstabilkan permukaan timbunan batuan penutup dan mengurangi erosi.

Dalam Sistem Pengelolaan Air Tambang (Mine Water Management atau MWM), aliran air permukaan yang bersih dari daerah sekitar lereng atas tambang disalurkan melalui beberapa saluran pengalih di sekitar lokasi tambang ke Sungai Sejorong dan Sungai Tongoloka, yang berada di bagian hilirnya. Pengelolaan air di dalam lokasi tambang dilakukan dengan pengaturan dan pemompaan air limpasan dari sekitar fasilitas tambang, lubang tambang, serta air rembesan dan air limpasan dari Timbunan Bijih Sejorong, Timbunan Timur (East WRSF) dan Timbunan Tongoloka. Air tersebut kemudian dikumpulkan pada beberapa kolam pengendap sedimen dan dipompakan ke kolam Santong 3 yang akan dimanfaatkan di pabrik pengolahan bijih.

Daerah reklamasi Tongoloka dilengkapi dengan sistem aliran air terbuka, perpipaan untuk rembesan, effluent pond, dan Struktur Kendali Sedimen (SKS) Tongoloka. Saat ini, air larian dari lereng reklamasi dan daerah timbunan yang masih terbuka, serta air rembesan timbunan batuan dikumpulkan menjadi satu di kolam Tongoloka. Seiring dengan bukaan yang semakin luas dan penambahan timbunan, maka beban kolam Tongoloka semakin besar dan meningkatkan potensi terjadinya limpasan air asam tambang ke badan air di hilirnya.

Sistem MWM dirancang untuk pelepasan terkendali semua air yang terkena dampak di dalam area proyek. Sistem ini memungkinkan pembuangan air dari area tambang hanya jika air tersebut sudah memenuhi baku mutu air sesuai KepMen LH 202/2004. Dalam rencana pengelolaan untuk mengoptimalkan sistem drainase dan bagunan penampung sedimen, direncanakan untuk mengalihkan air bersih dari permukaan timbunan yang telah direklamasi keluar sistem MWM (PTNNT, 2010). Air larian dari reklamasi Tongoloka diharapkan merupakan air yang memehuni baku mutu air dan tidak tercemar air asam tambang sehingga bisa dialihkan.

Kajian tentang kualitas air dari daerah reklamasi terbagi dalam 2 projek, yaitu pengambilan contoh air di saluran reklamasi dan di lereng reklamasi. Tujuan dari projek ini adalah mengetahui kualitas air larian pada lereng daerah reklamasi dan kualitas air yang keluar dari daerah reklamasi melalui saluran yang ada di lereng reklamasi, yang kemudian dibandingkan dengan baku mutu air menurut KepMen 202/2004. Hasil kajian berupa rekomendasi kepada Departemen MWM dalam merancang sistem pengalihan air dari reklamasi, yang keluar dari sistem air

Page 8: Majalah Pertambangan Edisi 3

12 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 13

TECHNICAL PAPERS

asam tambang. Program pengambilan contoh ini melibatkan Departemen Environmental dan Mining khususnya seksi Environmental Compliance, Environmental Reclamation, Environmental Monitoring, dan Mine Water Management.

Lokasi Pengambilan ContohSecara umumAir lairan dari lereng reklamasi mengalir melalui saluran dan akan berakhir di drop structure yang kemudian masuk ke kolamTongoloka. Lokasi pengambilan contoh kualitas air tersebar di jenjang reklamasi Tongoloka pada elevasi 140 – 225, 8 titik pengambilan contoh di saluran reklamasi, 7 titik di daerah lereng reklamasi, dan 1 titik stasiun pantau air hujan (RF10).

Arah aliran air adalah sebagai berikut: 1. Point 1 ke Point 7 ke Point 8 ke drop structured 2. Point 2 ke Point 7 ke Point 8 ke drop structured 3. Point2A ke Point 7 ke Point 8 ke drop structured 4. Point 3 ke Point 6 ke Point 7 ke Point 8 ke drop structured 5. Point 4 ke Point 6 ke Point 7 ke Point 8 ke drop structured 6. Point 5 ke drop structured

Pada Oktober 2010, terdapat aktifitas dredging yang melewati daerah reklamasi Tongoloka sehingga mempengaruhi kualitas air pada Point 1, 3, dan 6. Aktifitas dredging memompa lumpur air dari kolam Tongoloka ke kolam pengendapan dengan pipa HDPE, dan menyalurkan kembali air yang sudah terendapkan kembali ke kolamTongoloka melewati saluran reklamasi. Setelah dua kali pengambilan contoh, dredging selesai dan saluran reklamasi digelontori dengan air bersih dari truk air untuk menghilangkan pengaruh air dredging. Data yang diambil pada bulan Oktober 2010 tidak dimasukkan dalam perhitungan.

Point 2A mengalirkan air dari rembesan di timbunan limbah batuan yang masih terbuka dan mengarah ke Point 7 dan 8 sehingga mempengaruhi kualitas air di titik-titik tersebut. Point 2A dimasukkan ke dalam peta walaupun tidak dilakukan pengambilan contoh.

Metode Pengambilan Contoh Program pengambilan contoh air dilakukan pada musim hujan dengan sistem pengambilan contoh sesaat. Di lapangan

dilakukan pengukuran pH dan daya hantar listrik, sedang contoh air disaring dengan saringan 0.45 mikron dan pengawet HNO untuk parameter logam. Contoh untuk analisis logam terlarut dan ion terlarut dikirim ke Laboratorium ALS di Bogor, sementara contoh lain yang dikirim ke laboratorium lingkungan PTNNT adalah untuk analisis TSS.

Pada lereng reklamasi, titik pengambilan contoh dibuat dengan menempatkan sebuah ember pada lereng reklamasi di jalur air. Untuk menangkap air larian, dibuat batasan bentuk V dengan kayu yang dilapisi plastik. Pada ujung batasan, digunakan pipa PVC yang dihubungkan dengan ember plastik 5 liter untuk penampungan air (Gambar 2).

Pada saluran daerah reklamasi, titik pengambilan contoh berupa cebakan berukuran ember plastik 5 liter (Gambar 3). Data curah hujan selama periode pemantauan diambil dari stasiun pantau curah hujan pencatatan otomastis di RF10.

Hasil dan Pembahasan Menurut konsep keseimbangan air, presipitasi yang jatuh ke lokasi tambang akan mengalami evapotranspirasi melalui vegetasi, ‘lari’ melalui permukaan (runoff ), melakukan infiltrasi dan mengalir di bawah tanah (subsurface ) (Morin, 1997). Air larian yang mengalir di lereng Tongoloka akan kontak dengan lapisan top soil. Sementara vegetasi akan berfungsi menstabilkan lapisan penutup, yang bersamaan dengan pembusukan berfungsi sebagai penyerap (absorben) oksigen (Forstner, 1983). Sedangkan aliran subsurface sebagian besar berinteraksi dengan limbah batuan dan menghasilkan air asam tambang. Pengukuran aliran subsurface di Tongoloka 140 mRL, menunjukkan bahwa aliran subsurface mengalir pada dasar

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Contoh di Saluran Reklamasi dan Lereng Reklamasi

Gambar 2. Titik Pengambilan Contoh di Lereng Reklamasi

Gambar 3. Titik Pengambilan Contoh pada Saluran Reklamasi

fondasi timbunan (PTNNT, 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa air rembesan tidak mengalir ke saluran maupun lereng reklamasi.

Proses pengambilan contoh dilakukan setelah hujan besar atau pada waktu hujan besar. Sebagian besar data menunjukkan bahwa contoh diambil sehari setelah hujan besar dengan maksimal curah hujan harian sebesar 70mm (Grafik 1). pH air hujan yang turun di RF10, terukur sedikit asam pada pH 4,4 dan 4,6 dengan daya hantar listrik (DHL) sebesar 8 dan 18 us/cm (Pengukuran 28 Desember 2010 dan 27 Januari 2011). Air hujan secara esensial bebas dari mineral terlarut, air hujan sedikit asam karena adanya karbondioksida yang terlarut dan akan lebih asam jika ditambah dengan konstiruen lain pembentuk hujan asam (Manahan, 2005).

Tipe Air (WaterType) Analisis parameter anion (SO4 ,Cl , F ,HCO3 ) dan kation (Na ,K ,Mg , Ca ) dilakukan terhadap contoh air yang berasal dari air di lereng reklamasi. Analisis dilakukan untuk mengetahui komposisi elemen utama yang terkandung dalam air larian tersebut, yang akan dibandingkan dengan data komposisi air hujan, maupun dengan air rembesan pada timbunan batuan sisa yang pernah dilakukan tahun 2006. Selama periode pengambilan contoh (Oktober 2010 – Maret 2011), didapat 53 contoh air larian dari lereng reklamasi. Perhitungan keseimbangan ion berkisar dari -15% sampai +50% dengan rata-rata simpangan sebesar +9%, hal ini mengindikasikan kelebihan kation dibandingkan dengan anion. Kekurangan anion mungkin diakibatkan adanya anion organik yang tidak teranalisis. Dominan anion pada contoh air lereng reklamasi adalah alkalinitas yang berkontribusi sebesar 64% sedangkan sodium + potasium, kalsium dan magnesium masing-masing berkontribusi hampir sama terhadap keseluruhan kation (Grafik 2a).

Catatan: Curah Hujan harian maksimum pada bulan ybs. Curah Hujan ketika pengambilan contoh dilakukan

Gambar 2 a. Komposisi Air dari Lereng Reklamasi Tongolakasi

Grafik 2 b. Komposisi Air Hujan di Batu Hijau (Data Tahun 2006)

Grafik 2 c. Komposisi Air Rembesan Tmbunan Batuan Tongolaka (AAT) (Data Tahun 2006)

Page 9: Majalah Pertambangan Edisi 3

14 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 15

TECHNICAL PAPERS

Jika dibandingkan antara komposisi air hujan dan air di reklamasi pada grafik 2a dan grafik 2b, telah terjadi sedikit pelarutan mineral yang berasal dari permukaan lereng yang ditunjukkan dengan meningkatnya kandungan ion menjadi sekitar 0,7 meq/l dari 0,15 meq/l di air hujan. Bahan organik dan pembusukan mikrobial memberikan kontribusi bagi terlarutnyaCO dalam air larian reklamasi sehingga anionnya didominasi oleh alkalinitas bikarbonat selain dari pelarutan mineral di permukaan lereng. Komposisi air di lereng sangat jelas berbeda jika dibandingkan dengan komposisi penyusun air rembesan seperti terlihat pada grafik 2c (Anungstri, 2006) yang lebih didominasi sulfat, kalsium dan magnesium, yang merupakan tipikal air asam tambang dengan electrical charges sampai 50 meq/l.

Kualitas pH

Kualitas air saluran di Point 1, 2, 3, 4, 5, 6 memenuhi batasan dari KepMen LH 202/2004 (6 – 9). pH air di Point 7 dan Point 8 dipengaruhi oleh aliran rembesan dari daerah timbunan terbuka yaitu di Point 2A seperti dalam peta.

Grafik 5 sampai 12 berikut menampilkan konsentrasi logam terlarut selama pemantauan pada contoh air di lereng reklamasi dan perbandingannya dengan konsentrasi logam yang sama di saluran dengan batasan KepMenLH202/2004

Gambar 3 Kualitas pH Contoh Air pada Lereng Reklamasi

Gambar 6 Cu Terlarut di Saluran Reklamasi

Gambar 7 Zn Terlarut di Lereng Reklamasi

Gambar 8 Zn Terlarut di Saluran Reklamasi

Gambar 5 Cu Terlarut di Lereng Reklamasi

Gambar 10 As Terlarut di Saluran Reklamasi

Gambar 11 Cd Terlarut di Lereng ReklamasiGambar 9 As Terlarut di Lereng Reklamasi

Gambar 12 Cd Terlarut di Saluran Reklamasi

Terlihat bahwa konsentrasi logam terlarut Cu, Zn, As, dan Cd cukup signifikan mencemari Point 7 dan Point 8. Tabulasi kualitas air untuk parameter logam selengkapnya terdapat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2 Kualitas Air di Lereng

Parameter n Minimum Rata-rata Maksimum KepMen LH 202/2004

Pemenuhan Baku Mutu

Tembaga (Cu) 43 0,001 0,010 0,037 2 Memenuhi

Seng (Zn) 48 <0,005 0,018 0,138 5 Memenuhi

Arsenik (As) 48 <0,0005 <0,0005 0,0025 0,5 Memenuhi

Kadmium (Cd) 48 <0,0001 0,0007 0,0002 0,1 Memenuhi

Kromium (cr) 48 <0,001 0,001 0,002 1 Memenuhi

Timbal (Pb) 48 <0,001 <0,001 0,002 1 Memenuhi

Merkuri (Hg) 48 <0,00005 <0,00005 <0,00005 0,005 Memenuhi

Nikel (Ni) 48 <0,001 <0,001 0,006 0,5 Memenuhi

Semua parameter logam terlarut air larian lereng reklamasi memenuhi baku mutu air sesuai KepMenLH 202/2004. Dengan tidak mengikutsertakan data Point 7 dan 8 maka semua parameter logam terlarut di saluran reklamasi (tabel 3) dan di lereng reklamasi (tabel 2) memiliki nilai yang hampir sama dan keduanya memenuhi baku mutu air menurut KepMenLH 202/2004.

Gambar 4 Kualitas pH Contoh Air pada Saluran Reklamasi

Page 10: Majalah Pertambangan Edisi 3

16 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 17

TECHNICAL PAPERS

Tabel 3 Kualitas Air di Saluran (tidak termasuk / tanpa Point 7 dan Point 8)

Parameter n Minimum Rata-rata Maksimum KepMen LH 202/2004

Pemenuhan Baku Mutu

Tembaga (Cu) 39 0,004 0,011 0,370 2 Memenuhi

Seng (Zn) 29 <0,005 0,012 0,074 5 Memenuhi

Arsenik (As) 29 <0,0005 0,0004 0,0025 0,5 Memenuhi

Kadmium (Cd) 29 <00001 <0,0001 0,0008 0,1 Memenuhi

Kromium (cr) 29 <0,001 <0,001 0,002 1 Memenuhi

Timbal (Pb) 29 <0,001 <0,001 0,004 1 Memenuhi

Merkuri (Hg) 29 <0,00005 <0,00005 <0,00005 0,005 Memenuhi

Nikel (Ni) 29 <0,001 0,001 0,006 0,5 Memenuhi

Kualitas Total Padatan Tersuspensi Rata-rata konsentrasi TSS saluran lebih tinggi daripada di lereng. Air saluran juga dipengaruhi oleh air larian dari jalan inspeksi reklamasi yang membawa kekeruhan tinggi karena debu-debu halus jalanan.

Pada pelaksanaan di lapangan, bias yang mungkin dapat mempengaruhi tingginya TSS adalah beberapa ember terlihat sudah meluap karena tidak cukup menampung air dan sedimen, terutama untuk lokasi di lereng reklamasi karena contoh air diambil sudah terendapkan sekitar 12 Hal ini juga mungkin terjadi di cebakan ember di saluran reklamasi. Walaupun begitu, hal ini mengindikasikan bahwa masih terjadinya erosi pada lereng dan sedimentasi pada saluran reklamasi. Dua data dari Bulan Maret dan April 2011 merupakan data yang diambil dari air lereng reklamasi secara langsung tidak menggunakan ember.

Tabel 5. Hasil Pemantauan TSS di Lereng Reklamasi

Lokasi Parameter n Minimum Rata-rata Maksimum KepMen LH 202/2004

Lereng TSS 54 16 738 5.996200

Saluran TSS 21 4 1.455 14.100

Grafik 13 Kualitas TSS Contoh Air pada Lereng Reklamasi Grafik 14. Kualitas TSS Contoh Air pada Saluran Reklamasi

Tingginya konsentrasi TSS dipengaruhi juga oleh besarnya curah hujan pada saat pengambilan contoh. Di beberapa lokasi seperti TD05-1, 3, 4,dan 5 menunjukkan erosi minimum dan TSS memenuhi baku mutu 200 mg/l pada dua hari pengamatan tersebut.

Kesimpulan dan Saran 1. Sumber utama air di saluran reklamasi Tongoloka adalah air yang berasal dari lereng reklamasi. Kualitas air yang berasal dari lereng reklamasi mempunyai pH rata-rata dan konsentrasi logam-logam terlarut memenuhi baku mutu air menurut KepMen LH 202/2004.

2. Kualitas air saluran reklamasi dipengaruhi oleh air dari aktifitas dredging, air larian dari jalan inspeksi dan rembesan air asam tambang dari timbunan limbah batuan yang belum direklamasi yang melalui saluran tersebut. Jika pengaruh luar tersebut dihilangkan, maka pH maupun logam terlarut memenuhi batasan KepMen LH 202/2004.

3. Total Padatan Tersuspensi masih terbawa oleh air larian dari lereng reklamasi dan terendapkan di saluran reklamasi yang nantinya bisa terbawa sampai ujung saluran yang masuk ke badan air ambien. Perancangan saluran diusulkan untuk mempertimbangkan hal ini.

4. Perancangan saluran pengalih dari daerah reklamasi menuju badan air ambien perlu juga memperhitungkan pembuatan untuk pengukuran laju aliran dan penentuan lokasi titik penaatan dalam rangka perijinan, serta membuat saluran darurat atau jika parameter pemantauan kemungkinan tidak dapat terpenuhi. Peraturan Pemerintah, 2001, “Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

PustakaAnungstri, R, 2006, “- Studi mengenai Sifat KimiaAir 1. Run Off ke PIT”, Internal PTNNT Memo report.

Forstner, U., Wittmann GTW, 1983,”Metal Pollution in 2. the Aquatic Environment”, 2 edition, Springer-Verlag.

Hem, J.D., 2005,”Study and Interpretation of the Chem-3. ical Characteristics of Natural Water”, University Press of The Pacific, Honolulu Hawai.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004. ”Keputusan 4. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor 202 Tahun 2004 tentang KualitasAir Limbah Batuan dari Proses Penambangan Emas dan Tembaga”.

Manahan, E.S, 2005, “Environmental Chemistry”, 8 edi-tion, CRC Press.

Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), 2007,”Pera-5. turan Bupati Sumbawa Barat tentang Penetapan Kelas dan PeruntukanAir pada SumberAir di Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 20”.

PTNNT, 1996, “Rencana Pengelolaan Lingkungan dan 6. Rencana Pemantauan Lingkungan, Pertambangan Tembaga – Emas Batu Hijau Dati II Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat”.

PTNNT, 2000, “Rencana Pengelolaan Lingkungan dan 7. Rencana Pemantauan Lingkungan, Rencana Pengelo-laan Limbah Batuan Batu Hijau, Provinsi Nusa Teng-gara Barat”.

PTNNT, 2010, “Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) 8. dan Rencana Pemantauan Lingkungan Tambahan (RPL), Kegiatan Perubahan Penambangan pada Per-tambangan Tembaga – Emas Batu Hijau di Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat”.

Page 11: Majalah Pertambangan Edisi 3

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 19

PERHAPI NEWSPERHAPI NEWS

Para Ahli Diminta Ikut Beres-beres….

Dari Silaturrahmi Ketua UKP4 – PERHAPI

Ketua UKP4, Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto bersama Anggota PERHAPI dan para tokoh pertambangan Indonesia dalam Silaturrahmi di Jakarta, Rabu, 4 Juli 2012

Suasana hangat dan bersahabat begitu terasa, saat puluhan Pengurus dan anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) menyambut kehadiran Dr Ir Kuntoro

Mangkusubroto. Kelakar dan canda mewarnai pertemuan di Rabu pagi itu, 4 Juli 2012, bak teman-teman lama yang menggelar reuni. Maklum, Kuntoro yang saat ini duduk sebagai Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bukanlah orang baru di pertambangan.

Pria kelahiran 14 Maret 1947 ini pernah menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, pada Kabinet Reformasi Pembangunan. Sebelumnya ia juga pernah menjabat Direktur Jenderal Pertambangan dan Energi, dan memimpin beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor pertambangan. Diantaranya adalah PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk. Tak heran Kuntoro begitu rileks saling menyapa ditengah-tengah tokoh-tokoh pertambangan yang hadir.

Tampak diantaranya Ketua Umum PERHAPI Prof Dr Irwandy Arif MSc, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dr Ir Thamrin Sihite, juga beberapa mantan Direktur Jenderal Pertambangan dan Energi seperti Rozik B Soetjipto dan Kosim Gandataruna. Hadir pula Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk Alwin Syah Lubis, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Milawarma, pakar pertambangan Latief Bakky, dan tokoh-tokoh pertambangan lainnya.

Meski suasana santai, namun kehadiran Kuntoro pagi itu membawa misi penting. Seperti yang terungkap dalam pidatonya di hadapan para tokoh pertambangan tersebut, bahwa dunia pertambangan Indonesia saat ini berada dalam situasi yang boleh dibilang kurang tertib. Begitu banyaknya orang yang mencari keuntungan dari pertambangan, sampai-sampai lahan satu perusahaan tambang dengan perusahaan tambang lainnya saling tumpang tindih. “Kadang orang tak mau peduli lagi itu lahan siapa. Sebelah kebun kelapa sawit, langsung tambang batubara,” ujar Kuntoro disambut tawa para hadirin.

Belum lagi ekspor mineral yang sempat menggila beberapa tahun belakangan ini. Angkanya meningkat lima kali lipat, justru setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mensyaratkan pengolahan dan pemurnian hasil-hasil pertambangan di dalam negeri lahir. Ekspor batubara juga terus meningkat, sementara pembangkit listrik di dalam negeri masih sering menjerit kekurangan pasokan batubara.

“Jadi saya ditempatkan di UKP4 ini tugasnya adalah beres-beres, termasuk untuk sektor pertambangan. Tapi UKP4 bukan Kementerian ESDM, jadi butuh dukungan dan bantuan teman-teman sekalian,” tutur mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) ini. Bagi Kuntoro, peran para anggota PERHAPI sangat

dibutuhkan guna menata ulang pertambangan Indonesia. Karena tentunya yang berhimpun dalam PERHAPI adalah para ahli, orang-orang yang profesional, cukup senior, dan menguasai bidangnya.

“Ahli menurut saya adalah orang yang kompeten, itu yang pokok,” tukasnya. Menurut Kuntoro, para ahli pertambangan juga harus ikut bertanggung jawab atas ketidaktertiban dunia pertambangan Tanah Air dewasa ini. Tanggung jawab dan peran untuk menata kembali pertambangan Indonesia, lanjutnya, tidak cukup hanya dibebankan kepada para anggota PERHAPI yang duduk di pemerintahan. Melainkan, mereka yang aktif di dunia profesional yang justru lebih mengerti tentang kondisi di lapangan.

Peran itu bisa ditunjukkan dengan berbagai macam inisiatif dan tindakan. “Paling tidak, para ahli mulai sekarang harus mau dengan tegas mengatakan, mana yang benar dan mana yang tidak benar, dalam praktik pertambangan di Indonesia,” ujarnya. Termasuk dengan rencana diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang percepatan pengembangan industri hilir, lewat pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri. “Ini merupakan panggilan buat Anda. Para ahli pertambangan yang harus bicara soal ini, bukan yang lain,” tandas Kuntoro disambut tepuk tangan para hadirin.

Dengan peran aktif para ahli pertambangan, Kuntoro mengaku yakin ke depan akan tumbuh industri hilir berbasis pertambangan yang maju di Indonesia. Namun syaratnya, kita harus mendorong bersama terciptanya iklim yang kondusif, agar investasi pertambangan yang lebih ke hilir bisa masuk ke negeri ini. Tidak mungkin kita bermimpi masuknya investasi yang besar, ditengah suasana yang tidak tertib seperti sekarang. “Inilah isu besar kita…!,” tandasnya lagi.

Layaknya silaturrahmi, forum pagi itu juga membuka dialog langsung para hadirin dengan Kuntoro. Beberapa peserta memberikan masukan yang komprehensif, terkait dengan upaya menata kembali pertambangan Indonesia. Diantaranya terkait dengan UU Minerba yang dinilai tidak punya “gigi” untuk menegaskan, bahwa kekayaan alam pertambangan adalah milik negara, dan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

UU Pertambangan yang lama, yakni UU Nomor 11 Tahun 1967 dianggap lebih mempunyai “gigi” karena mengatur bahwa batubara dan mineral strategis apalagi yang bernilai ekonomi tinggi, diserahkan pengelolaannya kepada BUMN. Dalam UU 11/1967 jelas, pemerintah daerah nomor dua dalam urusan pengelolaan sumber daya alam pertambangan. Sedangkan UU Minerba Nomor 4/2009 justru memberikan wewenang penerbitan izin usaha pertambangan kepada pemerintah daerah, sehingga esensi sumber daya alam pertambangan dikuasai negara sudah tidak ada lagi.

18 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

Page 12: Majalah Pertambangan Edisi 3

20 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

PERHAPI NEWS TECHNICAL PAPERSTECHNICAL PAPERS

Dari peserta dialog yang lain Kuntoro juga mendapat masukan, industri hilir yang maju memang membutuhkan dukungan industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang yang maju di dalam negeri. Namun saat ini dirasakan masih sulit mendorong nilai tambah mineral di Indonesia, karena infrastruktur yang masih minim. Jika investor masuk ditengah infrastruktur yang masih minim, selalu mengatakan keekonomian investasi itu tidak akan tercapai.

Menjawab ini, Kuntoro mengaku sangat memahami persoalan yang dihadapi dunia pertambangan Indonesia. Terkait UU Minerba yang dinilai kurang menggigit dalam upaya menertibkan praktik pertambangan di Tanah Air, Kuntoro memandangnya sebagai dampak dari demokrasi yang sedang berkembang di. Harus diakui UU Minerba adalah produk demokrasi, lembaga perwakilan yang orang-orangnya dipilih rakyat, termasuk para insan pertambangan sendiri.

Termasuk pula tentang amanat UU tersebut, untuk mendorong nilai tambah pertambangan, ditengah ketersediaan infrastruktur yang masih minim di dalam negeri. Salah satu jalan keluarnya, lanjut Kuntoro, adalah kemauan untuk berkonsultasi dengan para ahli pertambangan dalam melaksanakan apa-apa yang

sudah ditetapkan dalam UU tersebut. Dalam hal ini, sekali lagi ia menegaskan pentingnya peran dan keterlibatan para ahli, untuk menunjukkan bagaimana mestinya amanat UU Minerba dilaksanakan.

Dalam kesempatan itu, Budi Santoso dari Komite Cadangan Mineral Indonesia (KCMI) juga menyampaikan, bahwa PERHAPI dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia sudah menelurkan sebuah sistem, yang memungkinkan para ahli berperan besar dalam menata ulang dunia pertambangan Tanah Air, sistem Competent Person. Dalam konsep Competent Person System, setiap personal ahli pertambangan pada individunya melekat professional liability (pertanggungjawaban secara professional).

Seorang Competent Person, wajib memberikan panduan yang benar, tentang bagaimana seharusnya kegiatan pertambangan dilakukan, dan ini diikat oleh Kode Etik. Competent Person juga berwenang melakukan uji kelayakan terhadap suatu rencana operasi pertambangan dari berbagai segi. Diharapkan sistem Competent Person ini dapat membantu pemerintah, untuk melihat dengan benar potensi sumberdaya pertambangannya, dan sejauh mana hasil-hasilnya dimanfaatkan bagi kemajuan negara.

Anggota PERHAPI serta sejumlah tokoh pertambangan dengan seksama mengikuti pidato Ketua UKP4, Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto dalam Silaturrahmi di Jakarta, Rabu, 4 Juli 2012.

Pengaruh Kegempaan terhadap Performance Stabilitas Lereng Tambang Terbuka Batu Hijau*

Oleh: Azwar Satriawan, Fransiscus Cahya, Hemiel Lelono, B. Donni Viriyatha dan Yan Adriansyah

Geotechnical & Hydrogeological Group - Mine Technical ServicesPT. Newmont Nusa Tenggara

*) Makalah ini telah disampaikan sebagai Prosiding dalam TPT XX PERHAPI 2011

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 21

Page 13: Majalah Pertambangan Edisi 3

22 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 23

TECHNICAL PAPERS

Abstract Tambang Batu Hijau terletak di Pulau Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dimana operasional penambangan telah dilakukan sejak tahun 1997 dan masih berlanjut hingga saat ini. Area tambang Batu Hijau termasuk kedalam zona dengan tingkat resiko kegempaan tinggi (SNI Gempa-2011) dimana disebelah selatan Pulau Sumbawa merupakan zona subduksi pertemuan Lempeng Eurasia dan Indo-Australia dengan tingkat aktivitas kegempaan tektonik yang tinggi.

Aktivitas kegempaan dengan magnitude yang berbeda-beda akan menghasilkan percepatan gempa di suatu wilayah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu, seperti: goncangan, bangunan rubuh, kelongsoran lereng, tanah amblas (likuifaksi), dan lain sebagainya. Dalam kasus lereng tambang, goncangan gempa yang kuat akan mengakibatkan lereng berada pada kondisi tidak stabil dan berpotensi longsor. Tambang Batu Hijau merupakan daerah yang tak luput dari pengaruh aktivitas kegempaan.

Untuk menilai performance stabilitas lereng di Tambang Batu Hijau telah digunaka berbagai metode real time monitoring dengan menggunakan beberapa instrument monitoring seperti: MSR Radar, Robotic Total Station, Extensometer, maupun manual crackmeter yang dapat menampilkan besaran pergerakan lereng pada skala waktu aktual.

Adapun pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh percepatan gempa yang terjadi sebagai produk aktivitas kegempaan terhadap performance kestabilan lereng tambang Batu Hijau adalah dengan membandingkan antara data pergerakan lereng real time terhadap kejadian gempa. Aktivitas kegempaan yang digunakan adalah yang terjadi pada kurun waktu tahun 2000 hingga Agustus 2011.

Pada tataran selanjutnya sebagai metode mitigasi bencana gempa terhadap aktivitas penambangan adalah dengan penerapan real time monitoring yang merupakan suatu perangkat sistem peringatan dini (early warning system) terhadap kemungkinan terjadinya gempa dengan skala magnitude yang lebih besar dari yang pernah terjadi untuk menghindari kerugian dan terganggunya aktivitas penambangan secara keseluruhan.

Kata kunci: magnitude gempa, performance lereng, mitigasi bencana.

Pendahuluan PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) mengoperasikan tambang terbuka tembaga-emas yang berlokasi di Batu Hijau, Pulau Sumbawa, Indonesia. Kontrak Karya PT NNT disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1986. Eksplorasi permukaan menemukan mineralisasi tembaga-emas porfiri di Batu Hijau pada tahun 1990 dengan eksplorasi lanjutan sampai tahun 1996 yang menghasilkan delianeasi cadangan. Pemerintah Indonesia menyetujui studi kelayakan Proyek Batu Hijau pada

bulan Mei 1997 bersamaan dengan diberikannya izin konstruksi. Pra-pengupasan tambang terbuka dimulai pada bulan Oktober 1997 dan proses penggilingan dimulai pada akhir tahun 1999.

Pada saat ini total material yang direncanakan akan ditambang sekitar 3500 juta ton, dengan rata-rata rasio pengupasan sebesar 1.7:1, yang terdiri dari: 0.51% Cu, 0.36% gr/ton Au, dan 1,14 gr/ton Ag. Total ketinggian lereng penambangan direncanakan sekitar 1000 meter. Dari pertimbangan jumlah deposit mineral, umur penambangan diperhitungkan selama 25 tahun, termasuk 6 tahun proses ‘rehandle stockpile’ setelah berakhirnya kegiatan penambangan terbuka.

Semenjak periode dilakukannya aktivitas penambangan hingga saat ini dilaporkan, telah terjadi beberapa kejadian gempa dengan salah satu pusat gempa berada di sekitar Laut Selatan, tepatnya di area zona pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Pusat gempa yang lain berada di utara Pulau Sumbawa, cukup dekat dengan lokasi gunung berapi Tambora. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan United States Geological Survey (USGS), pada radius 300 kilometer Batu Hijau memiliki aktivitas kegempaan yang tinggi yang menyebabkan terjadinya beberapa bencana gempa.

Gambar 1. Posisi tambang Batu Hijau dalam tatanan lempeng tektonik (tanda panah menunjukkan arah pergerakan lempeng), Teknik Geologi ITB

Gambar 2. Foto kondisi tambang terbuka Batu Hijau Mei 2011 dilihat dari timur

Aktivitas Kegempaan di Sekitar Tambang Batu Hijau Zona pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia di Samudera Indonesia, yang membentang dari Sumatera hingga Papua menghasilkan aktivitas kegempaan yang tergolong tinggi, termasuk sebelah selatan tambang Batu Hijau, dimana Batu Hijau terletak pada koordinat -8.97 Latitude dan 116.87 Longitude. Selain berpusat di zona pertemuan lempeng, aktivitas kegempaan disekitar tambang Batu Hijau juga terjadi di sekitar Gunung Tambora. Tidak semua kejadian gempa tersebut dapat dirasakan, karena intensitas kegempaan sangat dipengaruhi oleh magnitude (M) dan jarak pusat gempa. Pada tahun 2000 hingga Agustus 2011 di sekitar wilayah tambang Batu Hijau tercatat telah terjadi lebih dari 50 kali kejadian gempa yang tergolong gempa besar dengan kriteria radius (R) 300 kilometer dari tambang Batu Hijau, dengan kedalaman (D) pusat gempa hingga 100 kilometer dan magnitude (M) gempa minimum 5.0 pada skala moment magnitude (Mw). Gambaran aktivitas kegempaan disekitar daerah tambang Batu Hijau ditunjukkan pada gambar-gambar berikut ini.

Gambar 3. Aktivitas kegempaan disekitar zona pertemuan lempeng Eurasia dan

Indo-Australia, dan tambang Batu Hijau pada radius maksimum 300 kilometer (USGS)

Gempa terbesar yang pernah terjadi sejak tahun 2000 adalah dengan M 6.6 pada D-18 KM dengan pusat gempa berada pada koordinat -8.21 Latitude dan 118.63 Longitude dengan jarak horizontal 211 KM dari tambang Batu Hijau terjadi pada 8 November 2009. Sedangkan kejadian gempa besar rahunan terbanyak di sekitar daerah tambang Batu hijau terjadi pada tahun yang sama dengan kejadian gempa terbesar yaitu di 2009 sebanyak 10 (sepuluh) kejadian. Gempa dengan M5.9 cukup sering terjadi di sekitar area tambang Batu Hijau sebanyak 6 kali. Statistik kejadian gempa dengan radius hingga 300 KM di tambang Batu Hijau ditunjukkan pada grafik-grafik berikut ini.

Gambar 4. Frekuensi Magnitude Gempa Besar yang Terjadi di Batu Hijau (2000 - Agustus 2011)

Gambar 5. Frekuensi Tahunan dan Magnitude Maksimum Gempa Besar

yang terjadi di Batu Hijau Tahun 2000 - Agustus 2011)

Berdasarkan peta zonasi gempa revisi 2010 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum/PU yang merupakan bagian dari Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI-1726-2002), wilayah Batu Hijau termasuk kedalam zona percepatan gempa maksimum 0.3 g (1g=9.8 m/s2) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun dengan redaman 5%.

Page 14: Majalah Pertambangan Edisi 3

24 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 25

TECHNICAL PAPERS

Gambar 6. Peta Zonasi Gempa Indonesia 2010 (Revisi untuk SNI-1726-2002, DPU)

Performance Lereng Tambang Batu Hijau Secara umum performance lereng dikategorikan kedalam stabil dan tidak stabil. Batu Hijau menggunakan 3 kategori untuk menunjukkan performance lereng tambang, dimana kategori tersebut didasarkan atas grafik pergerakan lereng aktual yang terjadi. Kategori performance lereng tambang Batu Hijau dapat diilustrasikan pada gambar dibawah dengan penjelasan sebagai berikut.

- Kategori 1: Pola grafik pergerakan cenderung datar, diinterpretasikan sebagai kondisi tidak ada pergerakan atau tingkat pergerakan rendah, tidak ditemui perkembangan retakan atau indikasi ketidakstabilan yang lain di lapangan, lereng tambang pada kondisi stabil

- Kategori 2: Pola grafik pergerakan agak naik, diinterpretasikan sebagai kondisi akselerasi awal yang berpotensi untuk bertambah menjadi tidak stabil atau berkurang menjadi stabil, tidak ditemui atau mulai ditemukan beberapa retakan atau indikasi ketidakstabilan yang lain di lapangan

Kategori 3- : Pola grafik pergerakan naik tajam, diinterpretasikan sebagai kondisi peningkatan akselerasi yang berpotensi untuk terjadinya longsoran lereng, ditemukan beberapa retakan atau indikasi ketidakstabilan yang lain di lapangan, lereng tambang pada kondisi tidak stabil

Gambar 7. Kategori Performance Lereng di Batu Hijau

Untuk mengetahui performance lereng tambang digunakan beberapa instrumen pemantau lereng yang dilengkapi dengan pengamatan secara visual untuk memastikan tingkat kepastian interpretasi data di lapangan. Instrumen pemantauan yang digunakan di Batu Hijau adalah: georadar, robotic total station (RTS), extensometer, dan manual crackmeter. Pada tataran praktis pelaksanaan di lapangan, data yang dihasilkan dari georadar sangat baik digunakan untuk menginterpretasikan performance lereng yang kemudian dikombinasikan dengan data RTS, extensometer, dan crackmeter sebagai konfirmasi yang kemudian dipastikan dengan pengamatan visual. Sebagai contoh kasus pada makalah ini disertakan gambar interpretasi performance lereng pada saat terjadinya longsoran Failure#70 di Batu Hijau.

Gambar 8. Instrumen Monitoring Lereng yang Digunakan di Batu Hijau

Gambar 9. Grafik Pergerakan Lereng Failure#70 yang Ditunjukkan oleh Radar

Page 15: Majalah Pertambangan Edisi 3

26 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 27

TECHNICAL PAPERS

Gambar 10. Kondisi Lereng Failure#70 Sebelum dan Sesudah Longsor

Pengaruh Kegempaan Terhadap Stabilitas Lereng Dalam analisis stabilitas lereng faktor getaran yang diakibatkan oleh faktor eksternal selain massa batuan dimodelkan sebagai beban vibrasi berupa acceleration (a) dengan besarannya merupakan turunan dari gaya gravitasi (g). Dalam kasus operasional tambang, beban vibrasi ini dihasilkan oleh pengaruh gempa dan juga aktivitas peledakan/blasting. Dalam makalah ini akan dilihat pengaruh beban vibrasi akibat gempa yang telah terjadi dengan performance stabilitas lereng. Selain itu akan dilihat juga perbandingan performance lereng di saat terjadi gempa dengan saat dilakukan blasting sehingga dapat terlihat kontribusi terbesar dari vibrasi yang mempengaruhi performance stabilitas lereng.

Pendekatan yang digunakan dalam menilai pengaruh kegempaan adalah menggunakan grafik pergerakan yang menunjukkan performance lereng pada saat terjadinya gempa. Pergerakan yang stabil saat terjadi gempa menunjukkan pengaruh kegempaan minimum, sedangkan apabila terjadi peningkatan pergerakan menunjukkan stabilitas lereng terpengaruh oleh kejadian gempa. Begitupun juga untuk melihat pengaruh blasting, performance lereng saat dilakukan blasting dapat menunjukkan kontribusi beban vibrasi akibat blasting.

Untuk berikutnya digunakan kejadian gempa terbesar sebagai pembanding terhadap performance lereng tambang Batu Hijau. Performance lereng pada saat terjadi gempa-gempa besar tersebut dapat dilihat dari grafik pergerakan lereng dibawah ini.

Tabel 1. Kejadian Gempa Terbesar pada Tahun 2000 - Agustus 2011 yang terjadi di Daerah Batu Hijau

Source Time Latitude Longitude Depth (KM) Magnitude (MW)

SourcePOE 8-Nov-09 -8.21 118.63 18 6.6

POE - USGS 28-Nov-09 -10.40 118.89 15 6.0

POE - USGS 6-Aug-08 -8.13 117.67 30 5.9

POE - USGS 13-Jul-09 -9.14 119.32 65 5.9

POE - W - USGS 8-May-10 -8.09 118.26 12 5.9

POE - USGS 18-Sep-09 -9.14 115.59 79 5.7

POE - USGS 24-Oct-09 -9.90 118.79 35 5.6

POE - USGS 14-Jun-09 -7.69 117.20 17 5.5

Gambar 11. Titik Pusat Gempa Besar di Daerah Batu Hijau

Gambar 12. Grafik Pergerakan Lereng yang Ditunjukkan Radar pada Saat Terjadi Gempa dengan Magnitude 6.6 pada 8 November 2009

Page 16: Majalah Pertambangan Edisi 3

28 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 29

TECHNICAL PAPERS

Gambar 13. Grafik Pergerakan Lereng yang Ditunjukkan Prisma (Monitoring Menggunakan RTS) pada Saat Terjadi Gempa dengan Magnitude 6.6 pada 8 November 2009

Gambar 14. Grafik Pergerakan Lereng yang Ditunjukkan Crackmeter pada Saat Terjadi Gempa dengan Magnitude 6.6 pada 8 November 2009

Gambar 15. Grafik Pergerakan Lereng yang Ditunjukkan Radar pada Saat Terjadi Gempa dengan Magnitude 5.9 pada 13 Juli 2009

Gambar 16. Grafik Pergerakan Lereng yang Ditunjukkan Radar pada Saat Terjadi Gempa dengan Magnitude 5.6 pada 24 Oktober 2009

Page 17: Majalah Pertambangan Edisi 3

30 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 31

TECHNICAL PAPERS

Gambar 17. Grafik Pergerakan Lereng yang Ditunjukkan Radar pada Saat Terjadi Gempa dengan Magnitude 5.5 pada 14 Juni 2009

Gambar 18. Grafik Pergerakan Lereng yang Ditunjukkan

Radar Korelasinya dengan Aktivitas Blasting

Mitigasi Bencana Gempa di Tambang Batu Hijau Sejak dimulainya operasi penambangan di Batu Hijau, gempa terbesar yang terjadi di sekitar daerah tambang adalah dengan M 6.6, yang tidak memberikan pengaruh terhadap performance stabilitas lereng tambang Batu Hijau. Namun daerah tambang Batu Hijau dan sekitarnya, yang memiliki tingkat aktivitas kegempaan cukup aktif, berpotensi diguncang gempa yang lebih besar dari M 6.6. Untuk mencegah terjadinya bahaya geoteknik (kerusakan, kerugian, ataupun korban) yang dapat ditimbulkan apabila terjadi gempa lebih besar, yang dapat menyebabkan performance lereng tambang berada pada kondisi tidak stabil maka perlu dilakukan rencana mitigasi bencana gempa.

Langkah awal mitigasi gempa adalah dengan melakukan pengamatan performance lereng tambang terutama pada saat terdeteksi adanya gempa. Performance lereng yang tidak stabil ditunjukkan oleh data instrument pemantau yang telah dikonfirmasi dengan pengamatan ataupun laporan dari petugas di lapangan melalui geotechnical hazard call up dan/atau geotechnical hazard response plan, berarti aktivitas penambangan memiliki tingkat resiko tinggi terhadap terjadinya longsor. Untuk menurunkan tingkat resiko tinggi tersebut maka dilakukan evakuasi sehingga apabila terjadi longsor tidak menimbulkan kerusakan, kerugian, ataupun korban. Alur mitigasi bencana gempa dan beberapa contoh prosedur tanggap darurat ditunjukkan pada gambar-gambar dibawah ini.

Identifikasi gempa - Seismograf - Accelerometer

Kejadian Gempa (M, R, D, a) Performance Lereng

STABIL Continue, kondisi aman

TIDAK STABIL Rencana Evakuasi

Instrumen monitoring Pengamatan Visual Interpretasi data

Gambar 19. Alur Mitigasi Bencana Gempa di PT NNT

ALL MINE INDUCTED

PERSONNEL

Report to Dispatch

(CH20 UHF)

Report to Snr Foreman

Loading

Report to Geotechnical

Engineer

Implement Geotechnical Hazard Response Plan (NNT-MIN-032-G103)

Rockfall/Ravelling, Cracking on the

Crest, movement at Toe or Slope Failure

Broadcast over Open Channel

(CH20 UHF)

Senior Foreman Loading

Identifikasi Bahaya Geoteknik

Inspeksi Visual

Menentukan Dampak

Membuat dan Melaksanakan Rencana

Menentukan Tingkat Keseriusan

Tinggi Rendah

Mengkomunikasikan kepada General

Foreman L&H dan G&H group

Melaporkan pada

pertemuan produksi

berikutnya

Gambar 20. Alur Geotechnical Hazard Call Up dan Geotechnical Hazard Response Plan di Lapangan

Page 18: Majalah Pertambangan Edisi 3

32 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 33

PERHAPI NEWS

Gambar 21. Alur tanggung jawab terhadap kondisi lereng yang tidak stabil

Kesimpulan Semenjak awal dilakukan operasi penambangan di Batu Hijau, telah terjadi beberapa kali kejadian gempa. Gempa terbesar terjadi pada 8 November 2009 dengan magnitude M 6.6, kedalaman D 8km, dan jarak dari Batu Hijau R 211km. Gempa-gempa tersebut dan beberapa gempa lain yang lebih kecil tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap performance lereng tambang Batu Hijau. Grafik performance lereng menunjukkan beban vibrasi yang memberikan pengaruh terhadap stabilitas lereng dihasilkan dari aktivita blasting.

Untuk menghindari bahaya geoteknik (kerusakan, kerugian, ataupun korban) yang ditimbulkan gempa-gempa tersebut atau gempa yang lebih besar, sehingga menyebabkan performance lereng tambang berada pada kondisi tidak stabil, PT NNT telah menyiapkan rencana mitigasi bahaya gempa. Mitigasi tersebut dimulai dengan pengamatan performance lereng terutama pada saat terjadi gempa besar yang terdeteksi oleh detector gempa seperti seismograf atau accelerometer. Mitigasi bahaya gempa ini dilakukan untuk mendukung operasional penambangan Batu Hijau agar dapat dilaksanakan sesuai dengan perencaan yang telah dibuat.

Ucapan Terima Kasih Kami menghaturkan terima kasih kepada PT Newmont Nusa Tenggara dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Daftar Pustaka 1. Geotech Dept, 2008 Pit Slope Management Project. Unpublished Internal Memorandum Prepared for PT Newmont Nusa Tenggara. 2. Weekly Monitoring Report for Batu Hijau Open Pit Mine, 2009-2011. Unpublished Internal Memorandum Prepared for PT Newmont Nusa Tenggara. 3. Slope Monitoring Alarm Threshold (NNT-MIN-032-P101). Geotechnical & Hydrogeological PT Newmont Nusa Tenggara Internal Guidelines. 4. Geotechnical Hazard Response Plan (NNT-MIN-032-G103). Geotechnical & Hydrogeological PT Newmont Nusa Tenggara Internal Guidelines. 5. Geotechnical Hazard Call-Up (NNT-MIN-032-G109). Geotechnical & Hydrogeological PT Newmont Nusa Tenggara Internal Guidelines. 6. Geology Section - Mine Technical Services Department, PT Newmont Nusa Tenggara. United States Geological Survey (USGS), 2011. 7. Peta zonasi gempa Indonesia 2010, revisi untuk SNI-1726- 2002, Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 8. Diktat Kuliah Pengantar Rekayasa Gempa, Masyhur Irsyam, Penerbit ITB, Bandung. 9. Geotechnical Earthquake Engineering, Steven L. Kramer (1996), Prentice Hall, New Jersey.

China akan meningkatkan penggunanaan rare earth element dalam industri nasionalnya. Sehingga akan berubah menjadi pengimpor rare earth element pada

awal tahun 2014. Strategi ini dipilih untuk tidak lagi menjadi negara pengekspor terbesar bahan tambang tersebut di dunia. Dalam industri teknologi tinggi rare earth element berguna sebagai katalis, logam alloy, magnet, pemoles, campuran kapasitor keramik, lensa, LCD display (HP, TV, dll), batery, phospors dll. Perubahan drastis ini akan memperbesar nilai tambah industri di negeri tersebut. Sehingga hasil yang diperoleh dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan mengurangi kerusakan akibat kegiatan industri pertambangannya selama ini. Negara yang menghasilkan 90 persen dari pasokan global rare earth element ini, sekarang telah menggunakan 65 persen dari produksinya untuk industri teknologi tingginya dibandingkan dengan 25 persen 10 tahun lalu. Perubahan akan terjadi awal 2014 – 2015. karena pada saat itu China akan menjadi negara dengan sistim ekonomi kedua terbesar di dunia. Sehingga akan menjadi net importer untuk unsur rare earth element tertentu.

China yang memonopoli perdagangan internasional komoditas tersebut, pada 2010 menahan pasokannya ke Jepang ketika terlibat pertikaian teritorial dengan negera tersebut. Sehingga memaksa negeri Sakura tersebut mencari sumber pasokan yang baru. Tahun lalu para pakar kebumian Jepang yang dipimpin oleh Yasuhiro Kato, seorang guru besar ilmu kebumian di University of Tokyo, berhasil menemukan potensi endapan rare earth element pada endapan lumpur dasar Samudera Pasifik. Jika terbukti ekonomis, maka potensinya diperkirakan dapat memasok kebutuhan dunia. Penemuan yang dipublikasikan pada Jurnal Inggris Nature Geoscience, menjelaskan bahwa potensi endapan mineral tersebut tersebar di 78 lokasi, yang memiliki konsentrasi rare earth element yang tinggi. “Satu kilometer persegi (0,4 mil persegi) endapan dapat memasok seperlima dari konsumsi tahunan global saat ini “ cetusnya. Endapan ini, yang ditemukan pada kedalaman 3.500 sampai 6.000 meter (11,500-20,000 ft) di bawah permukaan laut, sepertiganya kaya akan logam yttrium, yang berada di perairan internasional dan membentang dari barat Hawaii, Tahiti hingga timur di Polinesia Prancis dan diduga mengandung 80-100 milyar ton rare earth element.

Rare Earth Element : China dan Tantangan Potensi dari Lumpur Dasar Samudera Pasifik

Pure Rare Earth Elements Oxides

Page 19: Majalah Pertambangan Edisi 3

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 35

TECHNICAL PAPERS

34 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

Aplikasi Mikrothermometri DalamEksplorasi Endapan Epithermal*

Oleh: Syafrizal, M. Nur Heriawan, Teti IndriatiKelompok Keahlian Eksplorasi Sumber Daya Bumi,

Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB.*) Makalah ini telah disampaikan sebagai Prosiding dalam TPT XX PERHAPI 2011

Abstrak Studi mikrothermometri dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan studi alterasi dan studi inklusi fluida. Studi mineral alterasi umum diterapkan pada batuan samping yang kontak dengan bidang urat atau zona mineralisasi, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi perkiraan temperatur pembentukan urat melalui kemunculan mineral-mineral lempung yang sensitif terhadap temperatur. Studi inklusi fluida akan dilakukan dengan cara melakukan pengukuran pada inklusi yang terperangkap di bidang urat pada kristal kuarsa, yang kemudian dapat diketahui temperatur pembentukan dan salinitas larutan hidrothermal.

Dari hasil analisis mikrothermometri akan diperoleh data-data berupa perkiraan temperatur pembentukan, posisi (letak) terhadap paleo water table, salinitas fluida pembentuk bijih, serta kondisi pembentukan endapan. Selanjutnya dengan memanfaatkan analisis mineragrafi akan diperoleh variasi kelimpahan secara kualitatif mineral-mineral bijih dan mineral-mineral aksesorisnya, paragenesa serta tekstur. Dengan mengkombinasikan keseluruhan hasil analisis ini, maka akan dapat diketahui posisi (letak) zona mineralisasi, baik zona precious metal maupun zona base metal.

Pendekatan mikrothermometri ini diharapkan dapat diterapkan sebagai salah satu pendekatan dalam eksplorasi yang lebih efisien, akan berdampak luas dalam perkiraan distribusi kadar logam-logam berharga, perencanaan penambangan, serta dalam melakukan evaluasi-evaluasi nilai ekonomis suatu endapan, khususnya pada endapan epithermal.

Kata kunci: mikrothermometri, alterasi, inklusi fluida, epithermal, mineragrafi, precious metal, base metal.

Pendahuluan Studi mikrothermometri adalah salah satu metoda dalam memperkirakan temperature pembentukan suatu endapan atau mineralisasi, khususnya endapan pada lingkungan hidrothermal melalui analisis inklusi fluida. Data-data yang berasal dari studi mikrothermometri dapat dikombinasikan dengan hasil studi mineragrafi, studi alterasi, studi tekstur bijih, serta studi petrografi urat agar dapat menggambarkan zonasi pengayaan logam-logam tertentu pada zona mineralisasi.

Endapan epithermal adalah salah satu tipe endapan yang berada pada suatu sistem hidrothermal (volcanic hydrothermal system) yang merupakan suatu sistem endapan yang terbentuk pada paleo atau fosil suatu sistem panas bumi (geothermal). Pada sistem hidrothermal ini secaraumum terdapat 3 (tiga) tipe endapan, yaitu Endapan Porfiri, Endapan Epithermal Low Sulfidasi, dan Endapan Epithermal High Sulfidasi (Gambar 1). Selain itu, pada suatu sistem yang berasosiasi dengan magmatisme akibat subduksi kerak samudera dan kerak benua seperti busur magmatik yang ada di Indonesia akan menghasilkan beberapa tipe endapan seperti terlihat pada Tabel 1.

Gambar 1. Penampang skematik yang memperlihatkan variasi tipe endapan yang terdapat pada sistem hidrothermal vulkanik (Hedenquist&Lowenstern, 1994).

Page 20: Majalah Pertambangan Edisi 3

36 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 37

TECHNICAL PAPERS

Tabel 1. Beberapa tipe endapan yang berasosiasi dengan magmatisme akibat subduksi kerak samudera dan kerak benua (Sumber: Hedenquist&Lowenstern, 1994).

Endapan Epithermal Endapan epithermal mengandung mineral bijih epigenetik yang umumnya terjebak (hosted) pada batuan vulkanik. Tubuh bijih memiliki bentuk yang bervariasi yang diakibatkan oleh kontrol struktur dan litologi, dimana biasanya merefleksikan kondisi paleo-permeability pada kedalaman

yang dangkal suatu bagian sistem hidrothermal. Tubuh bijih dapat berupa sistem urat dengan dip yang terjal yang terbentuk sepanjang zona regangan. Beberapa diantaranya terdapat pada bidang sesar utama, tetapi lebih umum terdapat pada sesar-sesar minor dengan perpindahan yang relatif kecil (< 10 m). Faktor litologi batuan induk juga cukup penting, terutama ketika aliran fluida mengalir dalam porositas dan permeabilitas batuan, sepanjang kontak antar batuan atau pada permeabilitas yang terbentuk dalam batuan yang ter-breksiasi. Pada suatu jaringan sesar dan fractures, akan terbentuk bijih pada veinlets s/d disseminated, dimana bisa tersebar secara lateral sepanjang beberapa kilometer sampai dengan beberapa meter secara vertikal.

Mineral gangue utama adalah kuarsa sehingga menyebabkan bijih menjadi keras dan relatif tahan terhadap pelapukan. Kandungan sulfida pada urat relatif sangat sedikit (<1 s/d 20%). Beberapa faktor penting yang mengontrol pembentukan endapan pada lingkungan epithermal (Simmons et al., 2005) antara lain:

Pada kedalaman beberapa kilometer pembentukan larutan • oksidasi dan asam terhadap larutan reduksi dan pH netral dikontrol oleh perbandingan kandungan air magmatik dan air meteorik di dalam larutan sehingga akan mempengaruhi interaksi antara air dan batuan, yang kemudian naik menuju lingkungan epithermal.

Adanya kondisi boiling pada kedalaman menyebabkan • terbentuknya gradien secara fisika dan kimia yang cukup tajam, sehingga kondusif untuk pengendapan logam-logam dasar dan logam berharga.

Pada lokasi (daerah) yang dangkal, posisi muka air tanah akan • mengontrol gradien tekanan dan temperatur hidrostatik untuk pembentukan endapan epithermal.

Zona Alterasi pada Endapan Epithermal Dalam definisi yang sederhana, batuan yang teralterasi dapat didefinisikan sebagai perubahan komposisi mineral pada batuan. Mineral-mineral awal dapat berubah menjadi satu atau lebih mineral baru akibat adanya perubahan-perubahan kondisi, seperti perubahan dalam temperatur, tekanan, ataupun kondisi kimia-nya. Alterasi hidrothermal dapat didefinisikan sebagai perubahan mineralogi, tekstur dan kimiawi sebagai akibat dari perubahan panas dan kondisi lingkungan kimia yang disebabkan oleh keberadaan larutan yang panas (dapat berupa cairan, uap air maupun gas).

Beberapa mineral-mineral hidrothermal tertentu stabil (terbentuk) pada suatu range temperatur dan pH tertentu (Gambar 2). Pendataan dan pemetaan dari mineral-mineral alterasi tersebut dapat menghasilkan suatu zona-zona alterasi yang dapat merefleksikan keberadaan suatu sistem hidrothermal serta temperatur pembentukannya. Jika dihubungkan dengan interpretasi genetik (proses pembentukannya), Simmons et al., (2005) memberikan suatu pendekatan atau penjelasan aspek genetik dari keberadaan suatu zona alterasi (lihat Tabel 2), dimana berdasarkan hubungan secara genetis ini dapat digunakan untuk menjelaskan kemungkinan proses pembentukan endapan epithermal.

Tabel 2. Hubungan genetik zona-zona alterasi serta perkiraan kondisi dan temperature pembentukannya (Sumber : Simmons et al., 2005).

Pola distribusi zona alterasi hidrothermal pada endapan epithermal low sulfidasi digambarkan sebagai endapan yang terdiri dari Quartz ± Calcite ±Adularia ± Illite. Sebagai contoh kasus, dapat dilihat bagaimana pola zona alterasi pada urat (vein) Ciurug di Pongkor Indonesia (Gambar 3).

Gambar 2. Stabilitas temperatur pembentukan mineral-mineral alterasi yang umum terdapat pada lingkungan epithermal terhadap stabilitas pH pembentukannya (Hedenquist et al., 1996).

Alterasi Mineral Assemblages Keterdapatan dan asal (genetik)

PropyliticQuartz, K-feldspar (Adularia), Albite, illite, chlorite, calcite, epidote, pyrite

Terbentuk pada T > 240, pada lingkungan yang dalam, akibat fluida (air) pada pH mendekati normal.

ArgillicIllite, smectite, chlorite, mixed-layer clay minerals, pyrite, calcite, chalcedony.

Terbentuk pada T < 180, pada zona periphery dan dangkal, akibat steam-heated CO2-rich water.

Adv. Argillic (steam-heated) Opal, alunite, kaolinite, pyrite, marcasite.Terbentuk pada T < 120, pada lingkungan terdangkal, akibat steam-heated acid-sulfate water.

Adv. Argillic (magmatic - hydrothermal)

Quartz, alunite, dikcite, pyrophillite diaspore.

Terbentuk pada T > 200, akibat magmatic derived acidic water.

Adv. Argillic (supergene)Alunite, kaolinite, halloysite, jarosite, Fe-oxides.

Terbentuk pada T < 40, akibat pelapukan dan oksidasi bantuan pembawa sulfida.

Page 21: Majalah Pertambangan Edisi 3

38 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 39

TECHNICAL PAPERS

Metal Zoning pada Endapan Epithermal Variasi mineral pembawa logam yang terbentuk pada lingkungan epithermal yang terjebak di dalam batuan vulkanik dapat dijelaskan dengan model klasik yang dikenal dengan model Buchanan (Gambar 4). Endapan epithermal terbentuk jika terjadi pembentukan mineral-mineral presipitasi dari larutan hidrothermal. Berdasarkan hasil studi dari beberapa endapan-endapan precious dan base metal pada sistem urat, maka Buchanan telah menyusun suatu model yang memperlihatkan hubungan spasial antara mineral assemblages, pola alterasi

dan kontrol bijih. Sementara itu, pada Gambar 5 dapat dilihat bagaimana kecenderungan geokimia atau logamlogamAu, Ag, Sb, Tl danHgsecara vertikal (kedalaman).

Dalam model Buchanan ini dapat dilihat perkiraan kedalaman metal zoning atau zona-zona mineralisasi yang melingkupi zona alterasi dan indikasi mineral-mineral yang umum muncul. Pada model ini, secara spesifik dapat dilihat bagaimana kecenderungan letak, kedalaman, serta karakteristik mineralogi terhadap paleo-surface maupun paleo-water table.

Gambar 3. Contoh kasus zona alterasi pada urat Ciurug, Pongkor Indonesia yang dapat digunakan sebagai referensi dalam penentuan temperatur pembentukan

(Syafrizal et al., 2005, 2007).

Gambar 4. Metal zoning berdasarkan model Buchanan pada lingkungan epithermal (Dalam Guilbert and Park, 1985).

Studi Mikrothermometri (Inklusi Fluida) Analisis Inklusi Fluida (Fluid Inclusion) umumnya digunakan dalam “Microthermometry”. Studi inklusi fluida dapat dilakukan sebagai termometer geologi untuk memperkirakan temperatur pembentukan urat atau mineralisasi. Lebih luas, interpretasi-interpretasi geologi lainnya dapat dikembangkan lebih jauh untuk mendukung kegiatan eksplorasi khususnya pada endapan epithermal dengan sistem urat, seperti penentuan (perkiraan) tingkat erosi pada paleo-surface atau paleo-water table, sehingga selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar dalam memperkirakan spasial (letak dan kedalaman) zona-zona precious metal maupun base metal.

Interpretasi inklusi fluida sebaiknya dilakukan bersamaan dengan studi-studi pendukung lainnya, seperti studi mineragrafi, studi tekstur urat dan mineralisasi, serta studi

alterasi, sehingga dapat diperoleh hubungan antara inklusi fluida dan host mineral. Mirip dengan studi mineralogi (paragenesa), inklusi fluida tidak hanya bercerita tentang sebuah proses, tetapi dapat menjelaskan evolusi proses pembentukan endapan dimana dapat merupakan bukti langsung dari perilaku suatu fluida sepanjang suatu proses geologi.

Inklusi fluida dapat dideskripsikan berdasarkan parameter ukuran, bentuk, warna, dan refractive index pada temperatur kamar. Inklusi fluida biasanya muncul lebih pada 1 fase, dapat berupa liquid (L), gas or vapor (V), atau bersama-sama dengan satu atau lebih fase padatan (S). Host mineral merupakan informasi yang penting. Umumnya studi dilakukan pada FI yang terjebak dalam kuarsa, kalsit ataupun mineral-mineral semi transparan (misalnya sphalerit).

Data utama yang dapat diperoleh dari studi ini adalah Temperatur Homogenisasi (Th) dan temperatur titik lebur es (final melting temperature of ice, Tm). Temperatur homogenisasi dapat diterjemahkan sebagai temperatur pembentukan urat. Sementara temperatur titik lebur es dapat digunakan untuk mengetahui tingkat salinitas fluida pembentuk mineralisasi. Dalam makalah ini, pembahasan hanya dilakukan untuk interpretasi data Th. Sebagai studi kasus, pada Tabel 3 dapat dilihat rekapitulasi data inklusi fluida dan pada Gambar 6 dapat dilihat data hasil pengukuran Th pada sampel dari Urat Ciurug, Pongkor, dimana secara umum dapat dilihat terjadi peningkatan temperaturTh dengan kedalaman.

Tabel 3. Rekapitulasi Data Mikrothermometri Sampel Urat Ciurug.

Gambar 5. Metal zoning pada lingkungan epithermal low sulfidasi (White, 2005).

Page 22: Majalah Pertambangan Edisi 3

40 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 41

TECHNICAL PAPERS

Berdasarkan histogram pada Gambar 6 terlihat bahwa pada level 700 mdpl, temperatur homogenisasi diperkirakan berkisar antara 170-210 °C.Temperatur homogenisasi pada level 600 mdpl adalah 170-210 °C. Sedangkan pada level terbawah (level 515 mdpl) menunjukkan temperatur homogenisasi antara 190-240 °C.

Studi mikrothermometri juga dapat digunakan untuk memperkirakan kedalaman pembentukan bidang urat. Penentuan perkiraan kedalaman pembentukan urat ini dapat dilakukan dengan plotting histogram data temperatur homogenisasi sesuai dengan posisi (elevasi) asal data tersebut pada diagram (kurva) yang diusulkan oleh Hass (1971).

Pada Gambar 7 dapat dilihat plotting data mikrothermometri urat Ciurug pada “boiling curves for the simple H O-NaCl system (Hass, 1971) untuk menentukan minimal posisi pembentukan urat di bawah paleo-water table. Berdasarkan hasil plotting tersebut dapat diperkirakan bahwa pembentukan urat Ciurug terjadi pada kedalaman 105-130 meter di bawah posisi paleo-water table.

Hasil ini menunjukkan bahwa posisi paleo-water table jika diproyeksikan pada elevasi saat ini berada di sekitar elevasi 805-830 mdpl.Ketinggian maksimum topografi saat ini di daerah Pongkor adalah sekitar 800 mdpl, sehingga diperkirakan ketebalan topografi yang telah tererosi adalah sekitar 30 meter.

Gambar 6. Histogram hasil pengukuran temperatur homogenisasi sampel dari urat Ciurug.

Hal ini didukung oleh studi alterasi (lihat Gambar 3) dimana terdapat alterasi argilik dan I/Sm alterasi pada daerah Pongkor ini yang menunjukkan adanya zona alterasi akibatnya adanya arus air yang mengalir secara lateral. Selain itu, jika disebandingkan dengan model Buchanan (lihat Gambar 4), maka secara umum zona precious metal memiliki rentang ketebalan 200-250 meter, sehingga diperkirakan zona precious metal di urat Ciurug ini relatif masih utuh.

Gambar 7. Plotting histogram hasil pengukuran temperatur homogenisasi sampel dari urat Ciurug pada kurva perkiraan posisi pembentukan urat di bawah water table.

Kesimpulan Studi mikrothermometri dapat digunakan sebagai alternatif dalam penentuan posisi spasial (letak dan kedalaman) pembentukan bidang urat di bawah paleo-water table. Kombinasi antara studistudi pendukung lainnya (alterasi dan mineragrafi) dapat digunakan sebagai dasar untuk penentuan zona mineralisasi (zona precious metal atau zona base metal) beserta perkiraan ketebalan zona-zona tersebut yang masih tersisa pada saat kegiatan eksplorasi dilakukan.

Daftar Referensi Cooke, D R. and Simmons, S F. (2000) Characteristics and Genesis of Epithermal Gold Deposits. Rev. Econ. Geol., 13, 221–244.1. Guilbert, J.M. and Park, C.F. Jr., The Geology of Ore Deposits.,W.H. Freeman., 1986.2. Hedenquist, J.W. and Lowenstern, J.B. (1994) The role of magmas in the formation of hydrothermal ore deposits. 3. Nature,Vol. 370, 519-527.Hedenquist, J. W., Izawa, E., Arribas, A. Jr. and White, N. C. (1996) Epithermal gold deposits: Styles, Characteristics, and 4. Exploration, Resource Geol. Special Publ., 1.Simmons, S.F., White, N.C. and John, D.A. (2005) Geological characteristics of epithermal precious and base metal deposits. 5. Econ. Geol. 100th Anniversary Volume., 485-522.

Page 23: Majalah Pertambangan Edisi 3

42 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

TECHNICAL PAPERS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 43

PERHAPI NEWS

Syafrizal,Watanabe, K. and Imai, A. (2004) Alteration and related mineralization of the Ciurug vein and the Cikoret prospect, 6. Pongkor gold-silver deposit, Indonesia. Proc. 2nd InternationalWorkshop on Earth Science andTechnology, Kyushu Univ., 185–192.Syafrizal, Imai, A. Motomura, Y. and Watanabe, K. (2005) Characteristics of gold mineralization at the Ciurug Vein, Pongkor 7. Gold-Silver Deposit, West Java, Indonesia. Resource Geol., 55, 225–238.Syafrizal, Koichiro Watanabe, Akira Imai. (2005) Hydrothermal Alteration of Cikoret and Ciurug Utara Prospect:AClue to the 8. Possible Extension of the CiurugVein, Pongkor Gold Mine, Indonesia. Proc. 3nd International Workshop on Earth Science and Technology, Kyushu Univ., 573-582.Syafrizal, Akira Imai., and KoichiroWatanabe., “Descriptive and Genetic Models of the Ciurug-Cikoret veins, Pongkor Au-Ag 9. Epithermal Deposit, West Java, Indonesia”., Proceeding of 9th International Symposium on Mineral Exploration (ISME IX), pp 142-148, Bandung, September 2006.Syafrizal, Akira Imai., and Koichiro Watanabe, “Origin of Ore-forming Fluids Responsible for Gold Mineralization of the 10. Pongkor Au-Ag Deposit, West Java, Indonesia: Evidences from Mineralogic, Fluid Inclusion Microthermometry and Stable Isotopes of the Ciurug-Cikoret Veins”., Resource Geology Journal, Volume 57, No.2, 136–149, 2007. 11. Noel C. White, Epithermal Gold Deposits., Society of Economic Geologists., Beijing GoldWorkshop,August 2005.11.

*) Makalah ini telah disampaikan sebagai Prosiding dalam TPT XX PERHAPI 2011. Pada tanggal 4 Juli 2012, Grand Father Competent Person PERHAPI, antara lain Chairul Nas, Budi

Santoso, Ronald Sibarani, Milawarma, Andre Alis, melakukan klarifikasi dan audiensi Calon CPI di Sekretariat PERHAPI, dan berhasil melantik 5 competent Person Indonesia (CPI), yakni Osman Antony Hansson (PT. Carsurin); Iyus Sumarsono (PT. Arutmin Indonesia); Wisjnoe Adjie (PT. Bukit Asam, (Persero) Tbk); Adullah Dahlan (PT. SMG Consultant); dan Lasito Soebari (PT. Freeport Indonesia). Peristiwa penting bagi industri pertambangan dan profesi ahli pertambangan di Indonesia, berkaitan dengan Investasi pertambangan yang beresiko tinggi, khususnya dalam penentuan sumberdaya dan cadangan. Banyak pihak yang berkepentingan terhadap masalah tersebut , seperti pemilik IUP, investor, bank, penyedia dana maupun perusahaan yang terdaftar di bursa efek, yang harus dilindungi terhadap adanya pernyataan penentuan sumberdaya dan cadangan yang terkandung dalam pelaporan eskplorasi. Oleh karena itu, PERHAPI dan IAGI telah mengembangkan Kode dan standar pelaporan sumberdaya dan cadangan yang dikenal dengan Kode KCMI (Komite Cadangan Mineral Indonesia).

Kode KCMI adalah kode dalam pembuatan pelaporan tentang hasil eksplorasi, pernyataan sumberdaya dan cadangan tentang mineral, Batubara, mineral industri maupun batu mulia. Kode ini mengatur prinsip-prinsip pembuatan laporan serta bagaimana klasifikasi perkiraan sumberdaya atau cadangan dan tingkat keakuratannya,

berdasarkan ketersediaan data yang ada. Sebagai pembuat laporan dan yang menandatanganinya, maka seorang CPI (competent Person Indonesia) harus dan dapat mempertanggungjawabkan pernyataan sumberdaya dan cadangan yang terkandung dalam laporan tersebut.

Competent Person Indonesia (CPI) adalah tenaga ahli pertambangan atau geologi yang memiliki minimum pendidikan S-1 dan pengalaman 5 tahun terkait kompetensi perhitungan sumberdaya atau cadangan dan menjadi anggota assosiasi profesi yang mampu menegakkan kepatuhan bagi anggotanya untuk mengikuti Kode Etik dan Kode-kode lain yang telah ditetapkan oleh assosiasi tersebut. Pada setiap laporan yang dibuatnya, maka seorang CPI akan bertanggungjawab secara pribadi, dan bukan perusahaan dimana CPI tersebut bekerja.

Dalam pengembangan profesionalisme, pertanggungjawaban pribadi terhadap setiap laporan yang dibuat dan ditanda-tanganinya merupakan terobosan besar dalam membangun kesadaran bagi setiap CPI untuk bekerja profesional, sehingga tidak menimbulkan kerugian pihak lain, jika sebaliknya maka dapat menghadapi tuntutan materi maupun tindakan disiplin organisasi profesinya. DI lain pihak, organi- sasi profesi tersebut harus bertanggung-jawab melindungi anggotanya apabila ada pihak-pihak yang memaksa atau membuat tekanan atau ancaman bagi CPI untuk melakukan tindakan yang melanggar Kode Etik maupun Kode-kode yang telah

ditetapkan. Tindakan organisasi berupa perlindungan terhadap CPI dan memberi tindakan disiplin bagi pelanggaran Kode organisasi diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan integritas anggotanya.

Pemberlakuan dan pengakuan KCMI sebagai pedoman pembuatan laporan sumberdaya dan cadangan akan membuat lembaga-lembaga keuangan, perusahaan swasta maupun BUMN dan Bursa Efek Indonesia memiliki standard pernyataan sumberdaya dan cadangan, yang memberi kepastian bagi para pihak dalam investasi dan usaha didunia pertambangan nasional.

Pelantikan CPI dan munculnya CPI baru pada masa datang dapat meningkatkan kepercayaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan industri pertambangan, begitu pula peranan professional nasional di Indonesia. Saat ini CPI baru dibuka untuk keahlian khusus dalam perhitungan Sumberdaya dan Cadangan, tetapi masa datang diharapkan dapat dikembangkan pada keahlian khusus lain, seperti geoteknik, prosesing, lingkungan, valuasi tambang dan lain-lain.

PERHAPI Melantik 5 Competent Person Indonesia

SELAMAT BAGI CPI BARU dan SEMOGA disusul oleh

Anggota PERHAPI yang lain.

Page 24: Majalah Pertambangan Edisi 3

SAVE INDONESIA COAL 2012Bauran Energi, DMO, Tumpang Tindih Lahan,

Renegosiasi Kontrak dan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan

44 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

PERHAPI NEWS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 45

PERHAPI NEWS

PERHAPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia) bekerjasama dengan APBI-ICMA (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia) dan ICS

(Indonesian Coal Society / Masyarakat Batubara Indonesia) menyelenggarakan pertemuan tahunan keempat antara pemangku kepentingan (stakeholders) pertambangan batubara nasional dalam acara Save Indonesian Coal pada Maret 2012. SAVE INDONESIAN COAL dilandasi semangat menerapkan praktik pertambangan terbaik (good mining practice) untuk mencari solusi permasalahan bagi perencanaan, tantangan dan peluang masa depan industri batubara di Indonesia, baik nasional maupun internasional.

Save Indonesia Coal 2012 menitikberatkan pada kebijakan sumber daya batubara untuk mencari solusi target bauran energi batubara 33 % pada tingkat nasional (kini baru 26 %) yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2025. Sedang kondisi saat ini menunjukkan bahwa 78 % produksi batubara

nasional diekspor, yang menimbulkan tanda tanya bagi keber-langsungan pasokan energi bagi negara dan masyarakat kelak.

Secara terintegrasi diselenggarakannya hajatan besar tahunan ini secara berkala, bermaksud untuk menjadikannya sebagai forum saling berbagi informasi dan masukan bagi berbagai pemangku kepentingan dalam industri ini. Berbagai masalah dikemukakan di sini, antara lain : • peranan batubara dalam kebijakan energi nasional, dalam rangka menjaga ketahanan energi nasional (security), berdasarkan availibility, accessibility dan affordability • perkembangan tingkat konsumsi batubara nasional oleh PLN yang merupakan konsumen utama dan pemakai langsung batubara sebagai bahan baku energi listrik nasional, berbagai permasalahan yang dihadapi dan solusi yang dilakukannya. • Peranan batubara sebagai bahan energi utama listrik di kawasan Asia, khususnya impor yang dilakukan oleh China,

India, Korea Selatan dan Jepang dan keterkaitannnya dengan peranan batubara Indonesia.

Pengelolaan industri batubara bertujuan untuk pertumbuhan perekonomian daerah dan nasional, pemerataan pembangunan kapasitas daerah, peningkatan lapangan kerja, dan pengelolaan kualitas lingkungan yang semuanya mengarah pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Saat ini industri batubara nasional memiliki tantangan berupa : • Sumber daya dan cadangan yang tersebar dan jumlahnya terbatas • Pengolahan dan Peningkatan nilai tambah batubara yang terbatas • Infrastruktur, sumber daya manusia dan teknologi yang terbatas • Isu legal, seperti tumpang tindih peraturan dan perundangan, tumpang tindih lahan pertambangan, UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan, otonomi daerah, UU no. 4 tahun 2009 tentang pertambangan minerba, PP no.24/2012 yang menggantikan pp no.23/2010 • Isu pasar, potensi lonjakan permintaan dalam negeri, Domestic Market Obligation • Isu lingkungan, dampak lingkungan akibat pertambangan, penggunaan jalan umum, penambangan tanpa izin, Kyoto Protocol dan CSR

Badan Geologi Nasional yang berperan dalam melakukan inventarisasi data dan informasi potensi sumberdaya dan cadangan batubara Indonesia kini lebih fokus pada inventarisasi batubara di daerah terpencil, kawasan Indonesia timur dan daerah perbatasan. Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan dalam batubara hipotetik, yang merupakan hasil penyelidikan survei tinjau, sebagai indikasi kerberadaaan batubara di daerah tersebut. Hasil inventarisasi ini oleh Badan Geologi dipergunakan sebagai data awal untuk lelang IUP. Meski pada proses lelang IUP tersebut, sumberdaya hipotetik memasuki lelang pada standar harga penawaran yang paling rendah.

Saat ini data yang diperoleh oleh Badan Geologi masih merupakan data inventarisasi yang dilakukan sendiri, PKP2B dan sebagian kecil KP / IUP. Sehingga belum dapat mewakili potensi batubara yang sudah ditemukan. Karena kesulitan mendapatkan data sumberdaya batubara dari KP / IUP. Oleh karena itu para pemegang PKP2B dan KP/IUP diharapkan menyampaikan data teknis hasil eksplorasinya kepada pemerintah dalam rangka pemutakhiran data neraca sumberdaya dan cadangan batubara open pit dan underground batubara di Indonesia.

Pada masa datang di Indonesia usaha baru eksplorasi batubara semakin sulit dan menantang, karena resiko makin tinggi, sehingga diperlukan ahli-ahli geologi batubara yang berkualitas, agar dapat memberikan program dan hasil eksplorasi batubara yang baik dan benar. Oleh karena itu diperlukan paradigma baru dalam kegiatan eksplorasi batubara

dengan menggunakan standar kegiatan eksplorasi batubara. Perhapi dan IAGI kini telah menyebarluaskan penggunaan Kode KCMI sebagai panduan dan standar dalam eksplorasi batubara dan mineral di Indonesia. Standar yang setingkat dengan Jorc ini diharapkan semakin banyak diterapkan dalam eksplorasi batubara dan mineral di Indonesia. Selain itu dalam meningkatkan profesionalisme di Indonesia, maka Perhapi mengeluarkan sistim Competent Person Indonesia yang mendorong para profesional semakin berkualitas dalam pelaporan sumberdaya dan cadangan mineral dan batubara di Indonesia. Sehingga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri pertambangan dan iklim investasinya.

Dalam upaya optimalisasi penerimaan negara dari pertambangan batubara, maka pemerintah memiliki kebijakan • Melakukan prioritas pemenuhan batubara untuk kebutuhan dalam negeri dan memperkuat keberlangsungan (security) pasokan batubara melalui kontrak-kontrak jangka panjang • Meningkatkan pengawasan, pembinaan, memberikan kepastian dan transparansi didalam kegiatan pertambangan dan meningkatkan eksplorasi sumberdaya dan cadangan batubara (regulasi pendukung UU Minerba, sanksi pelanggaran ketentuan, dll), • Mendorong pengembangan nilai tambah produk komoditi hasil tambang (a.l. pengolahan, pemurnian, local content, local expenditure, tenaga kerja dan CSR) • Menerapkan Harga Patokan Batubara dan mengatur pasar batubara melalui harga batubara dalam negeri dan eskpor, mengawasi tatalaksana produksi dan pasar mulai dari hulu sampai hilir, dan royalti progresif yang disesuaikan dengan kondisi jumlah produksi dan harga, termasuk pembentukan badan pengatur yang independen. • Melakukan rekonsiliasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara dan Renegosiasi PKP2B . • Melaksanakan Audit Kewajiban PNBP SDA Pertambangan Umum ( Tim OPN-BPKP, BPK-RI dan DJMB). • Menerapkan PP No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku di KESDM dan diupayakan agar tarif royalti untuk IUP Batubara dan PKP2B disamakan menjadi 13,5%. • Menindaklanjuti kerjasama Ditjen Minerba dan KPK atas pengelolaan IUP Batubara. • Mengembangkan infrastruktur industri batubara nasional, seperti transportasi, stockpiling dan blending • Mengatur secara khusus pemanfaatan batubara sesuai kualitas • Melakukan regionalisasi batubara termasuk mine mouth power plant. • Menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan pada pertambangan batubara antara lain memasukkan biaya lingkungan, good mining practices, pembatasan open surface mining, mengutamakan tambang dalam, prioritas tata ruang, konservasi lingkungan dan pemanfaatan teknologi bersih.

Page 25: Majalah Pertambangan Edisi 3

46 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

PERHAPI NEWS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 47

PERHAPI NEWS

Geografi Indonesia yang strategis, dibandingkan dengan Australia dan Afrika Selatan, serta spesifikasi batubara Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan pasar, menjadikannya diminati di pasar internasional. Produksi batubara Indonesia dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 390 – 400 juta ton. Konsumsi batubara dalam negeri tahun 2012 mengalami sedikit peningkatan sekitar 75 – 80 juta ton sejalan dengan mulai beroperasinya PLTU-PLTU baru. Ekspor batubara pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 315 – 325 juta ton.

Pada jangka pendek dan jangka menengah, Indonesia dapat menjadi tiga besar pengekspor batubara dunia. Namun tidak untuk jangka panjang. Karena cadangan batubara Indonesia tidak terlalu besar dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki potensi lebih besar, namun penjualan ekspor tidak terlalu besar. Sehingga agar Indonesia dikemudian hari tidak menjadi pengimpor batubara, maka diperlukan adanya pembatasan ekspor batubara.

India sebagai importir batubara Indonesia harus mencermati setiap langkah kebijakan pemerintah Indonesia terhadap industri batubaranya, seperti kebijakan DMO, wacana pelarangan ekspor batubara berkualitas rendah (low rank coal) pada 2014, peraturan lingkungan yang semakin ketat, perbedaan peraturan-peraturan di Indonesia dan India, dan pasar energi internasional yang dinamik. Karena pada masa datang India akan menghadapi kendala dan kebutuhan energi yang melonjak sehingga harus bergantung pada impor batubara, khususnya batubara Indonesia.

Dalam pengembangan pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional dan sebagai konsumen utama batubara di Indonesia, maka PLN yang merupakan BUMN dalam pelayanan kebutuhan kelistrikan, harus menjadi fokus utama dalam sistim permintaan dan pasokan batubara nasional. Sehingga dapat memenuhi target bauran energi yang dicanangkan pemerintah sebesar 33 % pada tahun 2025 (Thamrin Sihite). Pada jangka 10 tahun ke depan dua skema utama direncanakan oleh PLN untuk meningkatkan produksi listrik sebesar 54 GW, yaitu 35 GW (65 %) diharapkan dapat diperoleh dari pembangkit listrik

berbahan baku batubara, yang berasal dari realisasi berbagai proyeknya, 19.000 MW dan IPP, independent power producer, 16.000 MW; termasuk di dalamnya dari mine mouth plant di Sumatera, 6.000 MW. Sedang sekitar 15 GW dihasilkan dari Hydro (5,3 GW); Geothermal (5,8 GW); Combined cycle (Gas), (3,2 GW); Gas (4,2 GW); dll (0,2 GW). Untuk mencapai sasaran tersebut, maka PLN memiliki berbagai kebijakan untuk menjaga kelangsungan pasokan batubaranya (Helmi Najamuddin), seperti : • Melakukan penggantian bahan baku BBM dengan batubara dalam bauran bahan baku energi • Menggunakan low rank coal yang berlimpah • Meningkatkan kualitas batubara dengan clean coal technologies

Selain itu dengan kebutuhan listrik yang meningkat sebesar 9,5 % per tahun dan tingkat kelistrikan yang masih rendah, 66,5 % dibandingkan dengan Singapura (100 %), Brunei (99,7%), Malaysia (99,4%) Thailand (99,3 %), dan Philipina (89,7%), maka PLN akan meningkatkannya menjadi 90 % pada tahun 2019.

Dalam pengaturan harga domestik dan eskpor melalui penerapan kebijakan HPB oleh ESDM, maka dilandasi oleh : • Kebijakan harga batubara (Permen ESDM No. 17 Tahun 2010) tidak membedakan harga untuk ekspor maupun domestik • Penerapan harga khusus untuk konsumen domestik sudah pernah dikonsultasikan dengan para stakeholder (instansi terkait – termasuk Kementerian Keuangan dan Perdagangan, praktisi pertambangan dan APBI) dan umumnya menyatakan bahwa tidak dapat membedakan harga domestik dengan harga internasional karena: • Terdapat aturan dari World Trade Organization (WTO) bahwa harga suatu komoditas tidak dapat dibedakan berdasakan siapa konsumennya, domestik maupun luar negeri. Apabila hal ini dipaksakan maka Indonesia dapat dikenai tuduhan melakukan dumping. • Produsen akan cenderung mengekspor batubaranya ke luar negeri sehingga berpotensi terjadi kelangkaan batubara di dalam negeri.

• Namun khusus untuk harga PLN, telah diatur lebih lanjut di Kepmen ESDM No. 0617/2010 bahwa harga untuk PLN adalah sebesar HPB. • HBA yang diterbitkan oleh Pemerintah setiap bulan masih di bawah indeks NEX dan GC. • Jepang memiliki indeks sendiri dengan harga di atas NEX dan GC untuk batubara yang diimpor ke negara mereka.

Namun dalam pelaksanaannya, timbul berbagai permasalahan pada DMO. Bob Kamandanu, APBI, menyatakan bahwa :

• Kebijakan DMO secara yuridis formal tidak bermasalah, namun implementasinya tidak banyak berpengaruh terhadap prospek usaha pertambangan batubara kecuali menambah ruwet pekerjaan administrasi dan marketing perusahaan; • Dari sisi pemakai domestik, aksesabilitas dan affordabilitas terhadap DMO cukup terbuka, namun dari sisi pemasok ditemukan beberapa kendala seperti sulit memasarkan karena kualitas tidak sesuai dan kalah dalam tender. Hal ini akan memaksa para wajib kuota untuk melakukan transfer kuota, karena kalau tidak akan mendapatkan sangsi. • Transfer kuota sangat memberatkan perusahaan penghasil batubara yang kualitas atau kalorinya rendah/di bawah yang dibutuhkan, karena harus membeli kuota yang harganya jauh lebih mahal dari harga batubara yang dimilikinya; • Menerapkann HPB untuk “long terms contract” masih menyisakan masalah. Perlu dikaji lebih jauh pemanfaatan BBJ untuk penentuan harga “future”; • Memerlukan kebijakan yang bersifat insentif (administrasi, kepastian hukum, pajak, non pajak, dll) untuk investasi nilai tambah batubara; • Melakukan sosialisasi GMP, GCG, dan CSR, perlu dilakukan terutama bagi perusahaan skala kecil, agar program konservasi berjalan lancar; • Memperkuat kemampuan dan jumlah petugas inspektur tambang di daerah (Propinsi, Kabupaten/kota); • Mendorong eksplorasi baru untuk meningkatkan sumberdaya dan cadangan batubara Indonesia. • Terbatasnya kualitas batubara PKP2B/IUP OP yang dapat diterima pasar domestik • Belum semua IUP OP masuk dalam daftar wajib DMO • Sistem pembayaran ke penjual batubara dinilai masih lambat • Lokasi pelabuhan batubara pemakai domestik dan fasilitas bongkar batubara pelabuhan pada sebagian besar PLTU yang terbatas. • Khusus untuk pengiriman ke Industri kecil/menengah di Pulau Jawa diperlukan fasilitas pelabuhan dan stockpile yang cukup besar serta sistem distribusi yang lebih efisien.

Berdasarkan evaluasi terhadap penerapan DMO dan kebijakan harga batubara pada 2009-2011, ESDM menyimpulkan bahwa berkurangnya penjualan batubara ke domestik disebabkan beberapa PLTU mengalami keterlambatan penyelesaian pembangunan atau masih dalam percobaan (commisioning), dan adanya penurunan penyerapan batubara pada industri semen dan tekstil.

Selain itu untuk mengatasi permasalahan di atas, beberapa alternatif solusinya adalah : • Melakukan pembangunan fasilitas blending batubara • Optimalisasi fasilitas pelabuhan bongkar batubara di kebanyakan PLTU domestik agar tidak terjadi antrian (demurage). • Membangun pelabuhan batubara domestik yang dapat dilabuhi oleh barge ukuran besar dan vessel batubara agar pengiriman lebih efisien dan aman. • Meningkatkan rasio elektrifikasi melalui pembangunan PLTU Batubara • Mendorong nilai tambah batubara mutu rendah melalui gasifikasi, liquifaction, UBC • Meningkatkan kehandalan PLTU yg beroperasi • Memperkirakan kebutuhan pasokan yang lebih akurat dengan mempertimbangkan stockpile, kemampuan serta keadaan discharging rate di disport, jumlah hari dan kapasitas beroperasi pembangkit, serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kemampuan penerimaan batubara di disport, dsb • Mensosialisaikan penerapan applikasi Batu Bara Online (BBO) oleh PLN guna membantu memonitor dan mempercepat proses penagihan (invoicing)Dalam rekapitulasi untuk menanggulangi masalah tumpang tindih wilayah izin usaha pertambangan, Tatang Sabaruddin, ESDM, menjelaskan kemajuan dan hambatan yang ada. Permasalahan tumpang tindih lahan terdiri atas 3 kondisi, yaitu : • Tumpang Tindih sama Komoditas, • Tumpang tindih beda komoditas dan • Tumpang tindih kewenangan. Permasalahan tumpang tindih komoditas dapat dilakukan pemecahannya dengan melakukan koordinasi dan kerjasama antara pihak-pihak pemerintah daerah setempat terkait, Perusahaan Terkait, dan Bag. Hukum dan Perundang-undangan DJMB. Sedang tumpang tindih kewenangan dilakukan dengan kerjasama dan komunikasi antara pemerintah setempat terkait dan Kementerian Dalam Negeri. Secara umum langkah pemecahan dilakukan dengan melakukan inventarisasi dan evaluasi kronologis tahap pemberian izin. Dalam Tumpang tindih sama komoditas dan beda komoditas maka tindak lanjutnya adalah : 1. Melakukan pengecekan wilayah perusahaan yang TT (first come first serve) 2. Melakukan konfirmasi ke Pemda 3. Meminta dukungan Gubernur untuk memfasilitasi PenyelesaianNamun untuk tumpang tindih beda komoditas, dilakukan langkah tambahan dengan menyelesaikan permasalahan pada setiap perbedaan komoditas, yang dapat difasilitasi Pemda. Sedang dalam menyelesaikan tumpang tindih kewenangan, maka langkahnya adalah dengan berbagi data dan informasi pada pemerintah daerah dan mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk penetapan batas wilayah.

Page 26: Majalah Pertambangan Edisi 3

48 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

PERHAPI NEWS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 49

PERHAPI NEWS

Dasar hukum tumpang tindih beda komoditas adalah PP 23 2010 pasal 44, dengan persyaratan, yang melibatkan Kementerian ESDM. Sedang dasar hukum tumpang tindih komoditas sama adalah Permen 12/ 2011, tentang tata cara Penetapan WUP, sehingga akan melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ESDM. Dalam tumpang tindih beda kewenangan dasar hukumnya adalah UU 4/2011, tentang Informasi geospatial dan Pemendagri 1/2006, tentang Pedoman Penetapan Batas Daerah, yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ESDM.

Dalam pelaksanaan upaya penyelesaian tumpang tindih WIUP ini, ESDM, telah menyampaikan surat kepada Gubernur seIndonesia No. 522/30/DJB/2012 tanggal 3 Februari 2012 sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk dapat memfasilitasi penyelesaian tumpang tindih WIUP tersebut, secara keseluruhan sebanyak ± 913 permasalahan (data per Maret 2012 masih dalam verifikasi). Selain itu Dirjen Mineral dan Batubara telah melaksanakan koordinasi untuk penggunaan peta dasar sebagai acuan dalam penetapan WIUP dengan Kemendagri dan Bakosurtanal tanggal 23 Februari 2012 di Ditjen Minerba. Sehingga diharapkan bahwa keseluruhan permasalahan tersebut dapat berkurang dan dapat memberikan iklim investasi yang baik pada industri ini.

Terkait regonesiasi kontrak, Hikmahanto Juwana, Universitas Indonesia, menyatakan bahwa berdasarkan perspektif hukum atas Kontrak Karya maka semua Kontrak Karya perlu dilakukan renegosiasi. Renegosiasi merupakan suatu keharusan apabila para kontraktor masih ingin beroperasi di Indonesia. Kontrak Karya perlu direnegosiasi karena: • Kontrak Karya tidak mencerminkan para pihak yang memiliki posisi tawar yang sama • Kontrak Karya yang diperlakukan sebagai “Lex Spesialis” menyalahi doktrin hukum. Lex spesialis derogat legi generali (ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum) berlaku bila produk hukum adalah sama, seperti UU dengan UU, atau PP dengan PP. Terhadap Kontrak Karya tidak dapat diberlakukan Lex Spesialis • Kontrak Karya di era Indonesia yang lebih demokratis tidak bisa lagi dipertahankan. Karena Kontrak Karya dibuat ketika bangsa Indonesia tidak dapat mengkritisi pemerintah. Saat ini publik dan elit telah menyampaikan kritiknya, mulai dari tidak setaranya Kontrak Karya hingga manfaat yang sangat kecil bagi Negara. Sehingga mempertahankan Kontrak Karya berarti melawan keinginan mayoritas publik di Indonesia • Kontrak Karya meski ditandatangani oleh Pemerintah, seharusnya batal bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga peraturan perundang- undangan bidang Mineral dan Batubara dan bidang perpajakan yang berlaku harus menjadi acuan bagi Kontrak Karya

Beberapa hal yang harus direvisi seperti • Prosentase kontribusi kepada negara, yaitu royalti, pajak, divestasi saham, dll.

• Ketentuan Kontrak Karya disisir untuk dilihat konsistensinya dengan peraturan perundang-undangan Minerba, Perpajakan, Investasi dll • Keadilan dalam Kontrak Karya, CSR ke rakyat sekitar, hubungan industrial, dll

Pada tahun ini Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tim Evaluasi untuk Penyesuain Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara pada tanggal 10 Januari 2012. Tim ini memiliki keanggotaan terdiri dari Para Menteri dan Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kepala BPKP, Kepala BPN, Kepala BKPM yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan Ketua Harian Menteri ESDM dan Sekretaris Dirjen Minerba. Dengan telah dibentuknya tim tersebut, maka renegosiasi sudah dapat dilakukan sesuai dengan setiap permasalahan dan tahapan yang ada pada setiap Kontrak Karya yang telah dibuat selama ini.

Dalam industri batubara program CSR bisa menjadi prime mover perekonomian daerah, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat di sekitar tambang. Secara garis besar program ini melibatkan tiga pihak pemangku kepentingan, yaitu: masyarakat, pemerintah daerah dan perusahaan. Sedang keberhasilan program CSR harus dapat diukur dan dibandingkan dengan kondisi sebelum sebelum program CSR dilakukan.

Berbagai perusahaan memiliki program CSR nya. A. H. Chia memaparkan pengelolaan lingkungan yang merupakan strategi keberlanjutan bisnis PT Adaro Indonesia. Faisal Firdaus, PT Arutmin Indonesia, mengetengahkan kinerja pengelolaan lingkungan pertambangan batubara di indonesia serta inovasinya dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sedang Milawarma mengemukakan program CSR PTBA, terutama dalam pembangunan Infrastruktur, dimana PTBA bersinergi dengan Pemda Muara Enim dan Lahat dalam program Musrenbang. Selain itu dalam bidang pendidikan turut serta dalam pemberian bantuan biaya pendidikan kepada siswa SD, SLTP, SLTA dan Beasiswa Prestasi kepada mahasiswa serta pendirian rumah baca. Sedang dalam pelestarian lingkungan turut serta dalam pembangunan Tahura Enim. Dalam pemberdayaan masyarakat, maka dilakukan pembentukan sentra industri di sekitar perusahaan. Hal ini dilakukan untuk mendorong dan membina wirausaha masyarakat sekitar perusahaan, secara sendiri maupun kelompok. Jenis usaha yang dipilih umumnya berkaitan dengan kebutuhan perusahaan dan atau masyarakat sekitar perusahaan, serta memanfaatkan beberapa lahan bekas tambang, yang dapat diserap kebutuhan operasional perusahaan. Program ini diharapkan dapat mewujudkan kemandirian masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan good mining practice harus tetap digalakan pada industri ini dalam mencapai peningkatan produksi dan pengolahan batubara, penjualan, investasi dan penerimaan

negara. Selain itu kaitan industri hulu dan hillir mineral nasional harus terjalin dengan kokoh. Sehingga Industri nilai tambah produk pertambangan nasional berkontribusi pada perekonomian nasional. Namun untuk mencapai hasil tersebut diperlukan kemampuan teknologi industri nilai tambah yang kuat serta kemampuan sumber daya manusia yang berkembang dan menguasai teknologi, serta kebijakan batubara yang tepat.

Dalam pelaksanaan good mining practices, Suyartono menyebutkan karakteristiknya, yaitu : • GMP bercirikan adanya komitmen manajemen untuk mengelola sumberdaya demi tercapainya pembangunan berkelanjutan, karena pernah adanya industri pertambangan • Keberhasilan implementasi GMP mensyaratkan adanya acuan berupa standar dan pedoman yang disepakati, SDM, khususnya KTT yang berkualitas, profesional dan berintegritas yang bersinergis dengan pihak-pihak terkait, peralatan dan teknologi yang sesuai dan memadai, dan penegakan hukum yang konsisten dan kontrol yang terus menerus untuk meminimalkan resiko • Diperlukan IT/Pengawas Lingkungan Hidup yang mencukupi agar KTT mendapat pembinaan dan pengawasan yang “lebih dekat” dan optimal serta penerapan “reward and punishment” yang tepat • Standardisasi keteknikan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari efisiensi, reputasi perusahaan dan upaya merebut pasar ditunjukkan oleh kepemilikan sertifikat SNI/ ISO seperti seri 9000; 14000; 18000 • Perlu dijaga komitmen melaksanakan “Green Mining”; faktor lingkungan (dan K3) yg paling mudah “dikorbankan” utk

menekan biaya (apalagi pada industri batubara berskala kecil dan menengah yg jumlahnya paling banyak) mendu- kung pasokan batubara sebagai sumberdaya energi mencapai pembangunan berkelanjutan

Terkait PROPER perusahaan tambang batubara, Surna Tjahja Djajadiningrat, memaparkan bahwa pada tahun 2011 telah dipantau 32 perusahaan-perusahaan besar. Program yang merupakan penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan bertujuan mendorong perusahaan taat terhadap peraturan lingkungan hidup dan mencapai keunggulan lingkungan (environmental excellency) melalui integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam proses produksi dan jasa, dengan jalan penerapan sistem manajemen lingkungan, 3R, efisiensi energi, konservasi sumberdaya dan pelaksanaan bisnis yang beretika serta bertanggung jawab terhadap masyarakat melalui program pengembangan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 5 tahun 2011 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka sebagian besar perusahaan taat terhadap peraturan. PROPER kali ini memang belum mencakup tambang-tambang skala menengah dan kecil yang memiliki ijin KP. Dengan adanya kerjasama pengawasan PROPER dengan pemerintah Provinsi diharapkan pengawasan terhadap tambang skala menengah dan kecil dapat diperluas.

Sehingga dengan melakukan GMP, CSR dan Proper yang bersamaan maka diharapkan industri batubara dapat melakukan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Page 27: Majalah Pertambangan Edisi 3

50 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

LINTAS PERISTIWA

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 51

LINTAS PERISTIWA

TAPANULI SELATAN – Setelah sempat tertunda beberapa kali, akhirnya tambang emas Martabe yang dikelola G-Resources berhasil memulai produksi pertamanya pada

Selasa, 24 Juli 2012. Rencananya, tambang yang berlokasi di Ba-tang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara itu setiap tahun akan memproduksi 250.000 ons emas dan 2-3 juta ons perak berbiaya rendah.

Produksi perdana Martabe ditandai dengan penuangan emas pertama, ke tungku pabrik pengolahan bijih, yang berada satu komplek dengan lokasi tambang. Batangan emas bercampur perak pertama dihasilkan dari tungku di ruang pengolahan bijih, pada Selasa sore, 24 Juli 2012. “Ini menandai tonggak sejarah amat penting dalam perjalanan Tambang Emas Martabe menjadi tambang emas berkelas dunia yang pertama berproduksi di Su-matera Utara,” ujar Presiden Direktur G-Resources, Peter Albert.

Penuangan Emas Pertama Tambang Martabe

Lokasi tambang emas Martabe di Batang Toru, Tapanuli Selatan Sumatera Utara

Upacara penuangan emas pertama terse-but disaksikan oleh Chairman G-Resourc-es Group Ltd. Chiu Tao, didampingi kedua Wakil Chairman Owen Hegarty dan Or Ching Fai, serta Presiden Direktur Peter Albert, jajaran direktur dan manajemen senior beserta staf operasional. Bupati Tapanuli Selatan dan jajaran staf kabu-paten, perwakilan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kepala Desa di sekitar tambang, serta tokoh-tokoh masyarakat setempat juga hadir dalam upacara itu.

Peter mengatakan, peristiwa ini meru-pakan puncak kerja keras dan dedikasi karyawan serta seluruh mitra kerja G-Re-sources selama tiga tahun terakhir. Keg-iatan uji coba di pabrik pengolahan telah berlangsung selama dua bulan. Saat ini beberapa proses akhir produksi dan sa-rana penunjang terkait masih harus dis-elesaikan, sementara tambang dan pabrik pengolahan akan terus meningkatkan ka-pasitas hingga berproduksi penuh dalam beberapa bulan ke depan.

“Ini adalah awal dari perjalanan baru bagi perusahaan dan bagi rakyat Batang Toru dan sekitarnya. Pada hari yang sama G-Resources telah menandatangani per-janjian dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, untuk kepemilikan 5% sa-ham tambang Martabe. Ini akan memasti-kan bahwa manfaat dari keberadaan dan pengembangan Tambang Emas Martabe bisa dinikmati oleh seluruh pemangku ke-pentingan utama,” tambah Peter.

Tambang Emas Martabe terletak di sisi barat pulau Sumatera, Kecamatan Ba-tang Toru, Provinsi Sumatera Utara, den-gan luas wilayah 1.639 km2. Tambang ini beroperasi dibawah Kontrak Karya gen-erasi keenam yang ditandatangani April 1997. Tambang Emas Martabe memiliki sumberdaya 7,86 juta ons emas dan 73,48 juta ons perak, dengan kapasitas produksi per tahun sebesar 250.000 ons emas dan 2-3 juta ons perak berbiaya rendah.

Pemegang saham Tambang Emas Mar-tabe adalah G-Resources Group Ltd sebe-sar 95 persen. Pemegang 5 persen saham lainnya adalah PT Artha Nugraha Agung, yang 70 persen sahamnya dimiliki Pemer-intah Kabupaten Tapanuli Selatan, dan 30 persen dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Pengukuhan Perjanjian para Pemegang Saham ditandatangani Selasa, 24 Juli 2012.

Saat ini Tambang Emas Martabe mem-pekerjakan 1.500 orang, yang 70 persen-nya direkrut dari masyarakat di sepu-luh desa di sekitar tambang. Batangan emas bercampur perak yang diproduksi tambang ini, selanjutnya dikirim untuk dimurnikan dan dipasarkan oleh PT Log-am Mulia, anak perusahaan PT Aneka Tambang Tbk.

(Dari kiri ke kanan) Wakil Chairman G-Resources Owen Hegarty, Chairman G-Resources Chiu Tao, Wakil chairman G-Resources Or Ching

Fai, dan President Direktur G-Resources Peter Albert, memamerkan batangan emas dan perak pertama yang dihasilkan dari tungku

pengolahan bijih di tambang emas Martabe, dalam peresmian produksi perdana tambang tersebut di Batang Toru, Selasa 24 Juli 2012

Page 28: Majalah Pertambangan Edisi 3

52 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

PERHAPI NEWS

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 53

PERHAPI NEWS

Jayapura - Pada awal juni 2012 dilaksanakan Kongres I Perwakilan Perhapi Daerah Propinsi

Papua-Papua Barat di Jayapura. Kongres ini bertujuan untuk melakukan pembentukan susunan Badan Pengurus Perwakilan Daerah tersebut. Terpilih sebagai ketua adalah Eddy Pengaribuan. Terbentuknya perwakilan daerah Perhapi yang baru ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme para ahli tambang yang bekerja perusahaan perusahaan pertambangan yang ada dan industri pertambangan di kedua propinsi tersebut. Sehingga mendukung penerapan good mining practices yang memperhatikan lingkungan dan berperan aktif dalam community development dan mendukung corporate social responsibility, yang mendukung penyediaan lapangan pekerjaan, pertumbuhan perekonomian, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan.

Rio Tinto secara komersil menguji Komatsu AHS (Autonomous Haulage system) pertama kali sebagai sistim alat pengangkutan otonom

Komatsu, FrontRunner, di Pit West Angelas, Pilbara Timur, Australia Barat sejak Desember 2008. Sistim yang terdiri atas lima unit 930E electric drive dump truck sebagai intinya, PC5500 hydraulic excavator, D475A bulldozer, WD900 wheel dozer dan GD825 Motor Grader ini, selama percobaan tersebut telah terbukti meningkatkan kesehatan, keselamatan dan produktivitas.

Kini Rio Tinto telah mengoperasikan 10 unit truk angkut Komatsu tak berpengemudi tersebut untuk mengangkut bijih besi kadar tinggi maupun rendah, dan tailing dari Tambang Yandicoogina, di Pit Junction South East (JSE), Australia Barat. Sam Walsh, CEO Rio Tinto yang membawahi Bijih Besi, mengungkapkan bahwa ini merupakan bagian dari program pengoperasian lebih 150 truk di Tambang Bijih Besi Pilbara. Sehingga akan membuatnya menjadi tambang dengan armada truk tak berpengemudi terbesar di dunia.

Penerapan sistem AHS merupakan bagian program Rio Tinto untuk mewujudkan Mine of The Future, yang diluncurkan pada tahun 2008, untuk menciptakan generasi berteknologi tinggi

dalam kegiatan penambangan, yang diharapkan memberikan efisiensi lebih tinggi, biaya produksi lebih rendah, yang meningkatkan kesehatan, keselamatan dan kinerja lingkungan. Sistim ini memiliki pusat pengontrol yang mengendalikan seluruh kegiatan penambangan Bijih Besi di Pilbara terintegrasi bersama dengan pengelolaan logistik 14 tambang Bijih Besi, tiga pelabuhan dan dua jalur kereta api. Sehingga dapat menopang pengembangan produksi 353 juta ton bijih per tahun. Dalam pertambangan global penerapan sistem ini merupakan yang kedua setelah Tambang Tembaga Codelco, Chili.

Rio Tinto dan Mine of The Future

930E electric drive dump truck (Image Courtesy of Rio Tinto)

Kongres I dan Pembentukan Badan Pengurus Perwakilan Daerah

Propinsi Papua - Papua Barat

26 Maret 2012 Irwandy Arif menghadiri workshop Pengembangan SDM Inspektur Tambang yang diselenggarakan oleh Badan Diklat ESDM yang bekerjasama dengan International Mining for Development Country (IM4DC). Pada kesempatan tersebut Ketua Umum Perhapi bertindak sebagai moderator.

13 April 2012 Bertempat di Gedung Dirjen Minerba, Ketua Umum menghadiri rapat pembahasan pelaksanaan Permen ESDM No 7 tahun 2012. Pada pembahasan yang dipimpin oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral, Dede Suhendra, dirumuskan rencana pembentukan tim dan mekamisme kerja yang harus dilakukan terkait pelaksanaan peraturan tersebut. Dibahas pula penentuan kriteria, evaluasi dan persyaratan evaluasi yang harus dilakukan seperti administrasi, teknis dan finansialnya. Lebih jauh lagi pembahasan juga mencakup output yang akan dihasilkan oleh evaluasi tersebut.

4 Mei 2012 Bertempat di The Belezza Suites, Permata Hijau, Ketum Perhapi menghadiri rapat Pembahasan Draft Peraturan Menteri tentang Pembentukan Lembaga Sertifikasi Usaha Jasa Pertambangan . Rapat yang di pimpin oleh Direktur Direktorat Teknik Lingkungan, Syawaludin Lubis, membahas permasalahan dan masukan untuk draft Peraturan Menteri tentang Pembentukan Lembaga Sertifikasi Usaha dan Jasa Pertambangan.

8 Mei 2012 Ketua umum, Irwandy Arif menghadiri undangan untuk pembahasan PERMEN Kehutanan RI No. P.63/Menhut-II/2011 –

bertempat di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.

29 Mei 2012 Undangan Coffe Morning – Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Akhir Mei ini Dirjen Mineral dan Batubara meng-undang Perhapi untuk menghadiri Coffe Morning, yang membicarakan berbagai masalah dan isu pertambangan untuk saling berbagi informasi dan mencari masukan atau saran terhadap isu-isu ter- sebut. Sehingga pihak Dirjen Mineral dan Batubara dapat lebih terarah dalam meng-atur programnya sesuai dengan berbagai permasalah yang ada di industri ini.

31 Mei 2012 Ketua Umum menghadiri undangan sebagai narasumber pada Seminar “kebijakan Pengecualian Larangan Ekspor Bijih Mineral dan Implementasi Permen ESDM No. 07/2012”. Materi yang dibawakan pada kesempatan tersebut adalah “Praktik Pertambangan Mineral dan Pengaturan Hukum Terkait di Indonesia”

26 Juni 2012 Pertemuan dengan AusAID – Australian Embassy Tempat : Sekretariat PERHAPI. Pihak AusAID dari Kedutaan Besar Australia berkunjung ke Perhapi dalam rangka membicarakan masukan bagi program Mining for Development Intiative yang mereka miliki. Dalam pembicaraan tersebut mereka membutuhkan masukan scooping study bagi program tersebut. Garis besar lingkup studi meliputi : tinjauan terhadap Kebijakan atau governance serta peraturan dan hukum terkait dengan iklim investasi dalam sektor pertambangan; pengembangan kapasitas sumberdaya manusia institusi terkait pengelolaan sumberdaya mineral

Kegiatan Pengurus Perhapi

pada tingkat pusat dan pemerintahan daerah, maupun institusi kemasyarakatan lainnya serta mekanisme yang tepat dalam pengembangan teknis dan sosialnya untuk memperbesar benefit industri ini dalam bentuk beasiswa maupun pelatihan-pelatihan; pengelolaan administrasi, keuangan dan perpajakan.

4 Juli 2012 Para pengurus Perhapi Pusat dan Dewan Penasehat, NGO dan Pemerhati Pertambangan mengadakan Dialog dan Diskusi dengan Kuntoro Mangkusubro, Ketua UKP4, Kabinet Indonesia Bersatu II di Ritz Carlton, Mega Kuningan Jakarta. Dialog mengetengahkan Pengawasan Negara untuk Pertambangan Indonesia saat ini dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam industri ini. Kuntoro dalam uraiannya mengemukakan tiga faktor utama yang menjadi pemicu simpang siur isu pertambangan yang ada saat ini, pertama, tidak ada kejelasan dalam tugas dan wewenang setiap pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya mineral dan batubara pada tingkat pusat dan daerah sehingga menimbulkan kebingungan pada pelaku industri yang terlibat disini. Kedua, ketidak jelasan tersebut mengakibatkan ketidak jelasan pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan memberikan solusi terhadap setiap isu yang dihadapi. Yang terakhir, tidak adanya kesaman persepsi mengenai good mining practices yang harus men-jadi panduan para profesional atau bukan profesional yang berkecimpung dalam industri ini. Sehingga memberikan pen-citraan yang buruk terhadap industri ini.

Page 29: Majalah Pertambangan Edisi 3

PERHAPI NEWSPERHAPI NEWS

54 | September 2012 • Pertambangan Indonesia September 2012 • Pertambangan Indonesia | 55

Pelatihan Hukum Mineral dan Batubara MINING LAW ESSENTIALS

10-12 September 2012, Grand Melia Hotel, Jakarta

Menyambut perkembangan industri pertambangan di Indonesia yang sangat dinamis, Diklat Perhapi sebagai Bidang Pendidikan dan Pelatihan Perhimpunan Ahli Pertambangan lndonesia

(Perhapi) dengan bangga mempersembahkan:

Pelatihan Hukum Mineral dan Batubara MINING LAW ESSENTIALS 10-12 September 2012, Grand Melia Hotel, Jakarta

Pelatihan intensif dan komprehensif ini dirancang khusus bagi praktisi tambang baru, investor, pelaku pasar modal, investment managers, dan praktisi professional lainnya. Pelatihan ini

disampaikan oleh para pakar di bidangnya yang sarat pengalaman dan problem-solving lapangan. Terlampir kami sampaikan brosur pelatihan dimaksud.

Sebagai anggota Perhapi, menjadi kewajiban kita bersama untuk mengembangkan kompetensi dan kapabilitas dari seluruh anggota PERHAPI serta turut mendukung upaya Pemerintah guna mensosialisasikan aspek-aspek kegiatan usaha pertambangan kepada stakeholders yang lebih luas. Dengan ini kami kami mohon bantuan Bapak dan Ibu untuk dapat berpartisipasi dalam

pelatihan ini dengan merekomendasikan peserta pelatihan.

Jika Bapak dan Ibu memerlukan keterangan lebih lanjut, kami akan dengan senang hati membantu di: [email protected] atau 0852-1513 3536

Page 30: Majalah Pertambangan Edisi 3

September 2012 • Pertambangan Indonesia | 5756 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

Page 31: Majalah Pertambangan Edisi 3

58 | September 2012 • Pertambangan Indonesia

Ingin Mengenal PERHAPI Lebih Jauh ?

Kunjungilah website kami

www.perhapi.or.id

PERHAPI adalah suatu organisasi yang merupakan wadah berhimpunnya para ahli pertambangan, baik yang sarjana maupun praktisi yang tersebar di berbagai instansi pemerintah, dunia usaha dan perguruan tinggi. Organisasi profesi ini dibentuk dengan memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan-kemampuan individu para ahli pertambangan, baik berupa sumbangan pemikiran maupun partisipasi aktif dalam pengembangan industri pertambangan.