maja lah

15
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEPARAHAN ISPA PADA BALITA USIA 0-5 TAHUN DENGAN PERSEPSI ORANG TUA TERHADAP KERENTANAN ANAK (PARENTAL PERCEPTION OF CHILD VULNERABILITY) Titin Andri Wihastuti, Lilik Supriati, Dian Dwi Fitriawati ABSTRAK Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi saluran pernafasan baik atas maupun bawah yang paling banyak diderita oleh balita berusia 0-5 tahun. Tingkat keparahan ISPA dibagi menjadi tiga yaitu ISPA dengan pneumonia berat, ISPA dengan pneumonia, dan ISPA bukan pneumonia. Kondisi sakit yang dialami oleh balita akan mengakibatkan kecemasan pada orang tua dan kecemasan ini dijelaskan dalam persepsi orang tua terhadap kerentanan anaknya (PPCV). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat keparahan ISPA dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskripsi analitik korelasi dengan pendekatan “Cross Sectional” dengan variabel ganda yaitu variabel independen (tingkat keparahan ISPA) dan variabel dependen (persepsi orang tua terhadap kerentanan anak). Pengambilan sampel dilakukan dengan Purposive Sampling dengan jumlah sample 63 responden. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner PPCV. Hasil analisis data menggunakan uji hipotesis Spearman Rank didapatkan hubungan yang signifikan (p=0,001). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat keparahan ISPA dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak. Kata kunci: Tingkat Keparahan ISPA, Balita 0-5 tahun, Persepsi Orang tua terhadap Kerentanan Anak (PPCV). ABSTRACT Acute Respiratory Infection (ARI) is a respiratory tract infections either above or below the most suffered by childern aged 0-5 years. The severity of ARI ARI is divided into three, first severe pneumonia, ARI with pneumonia and ARI without pneumonia. Pain conditions experienced by the children cause of anxiety in parents and anxiety are explained in parental perceptions of child vulnerability (PPCV). This study aimed to determine the relationship between the severity of ARI with parental perception of child vulnerability (PPCV) in Sidoarjo Porong. This study uses a design of analytic description with a "cross sectional" with dual variable that is independent variable (severity of ARI) and the dependent variable (parental perception of child vulnerability). Sampling was done by purposive sampling with total sample of 63 respondents. The study instrument used questionaire of

Upload: pipitanakmama

Post on 01-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Maja Lah

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEPARAHAN ISPA PADA BALITA USIA 0-5 TAHUN DENGAN PERSEPSI ORANG TUA TERHADAP KERENTANAN ANAK (PARENTAL

PERCEPTION OF CHILD VULNERABILITY)

Titin Andri Wihastuti, Lilik Supriati, Dian Dwi Fitriawati

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi saluran pernafasan baik atas maupun bawah yang paling banyak diderita oleh balita berusia 0-5 tahun. Tingkat keparahan ISPA dibagi menjadi tiga yaitu ISPA dengan pneumonia berat, ISPA dengan pneumonia, dan ISPA bukan pneumonia. Kondisi sakit yang dialami oleh balita akan mengakibatkan kecemasan pada orang tua dan kecemasan ini dijelaskan dalam persepsi orang tua terhadap kerentanan anaknya (PPCV). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat keparahan ISPA dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskripsi analitik korelasi dengan pendekatan “Cross Sectional” dengan variabel ganda yaitu variabel independen (tingkat keparahan ISPA) dan variabel dependen (persepsi orang tua terhadap kerentanan anak). Pengambilan sampel dilakukan dengan Purposive Sampling dengan jumlah sample 63 responden. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner PPCV. Hasil analisis data menggunakan uji hipotesis Spearman Rank didapatkan hubungan yang signifikan (p=0,001). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat keparahan ISPA dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak.

Kata kunci: Tingkat Keparahan ISPA, Balita 0-5 tahun, Persepsi Orang tua terhadap Kerentanan Anak (PPCV).

ABSTRACT

Acute Respiratory Infection (ARI) is a respiratory tract infections either above or below the most suffered by childern aged 0-5 years. The severity of ARI ARI is divided into three, first severe pneumonia, ARI with pneumonia and ARI without pneumonia. Pain conditions experienced by the children cause of anxiety in parents and anxiety are explained in parental perceptions of child vulnerability (PPCV). This study aimed to determine the relationship between the severity of ARI with parental perception of child vulnerability (PPCV) in Sidoarjo Porong. This study uses a design of analytic description with a "cross sectional" with dual variable that is independent variable (severity of ARI) and the dependent variable (parental perception of child vulnerability). Sampling was done by purposive sampling with total sample of 63 respondents. The study instrument used questionaire of PPCV. Result of data analysis used Spearman Rank test that signifikan (p=0,001). The result of this study showed that there is a significant correlation between the severity of ARI with parental perception of child vulnerability.

Keywords: Severity of ARI, Children Aged 0-5 Years, Parental Perception of Child Vulnerability (PPCV)

Page 2: Maja Lah

PENDAHULUANInfeksi Saluran pernapasan Akut (ISPA)

adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih di saluran napas mulai dari hidung (saluran atas), hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan selaput pleura (Depkes, 2009). Populasi yang rentan terkena ISPA adalah anak usia balita yaitu berkisar 0-5 tahun. Pada penelitian ini tingkat keparahan ISPA dilihat dari klasifikasi penyakit ISPA berdasarkan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) yaitu bukan pneumonia, pneumonia, dan pneumonia berat.

ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang menduduki peringkat pertama dari sepuluh besar penyakit terbanyak di Indonesia (Andarini, 2011). Di Jawa Timur pada tahun 2006 dilaporkan sebanyak 98.050 kasus ISPA. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyebab utama kematian bayi adalah ISPA. Berdasarkan data BPS pada tahun 2004 menunjukkan kematian balita akibat ISPA sebesar 28%, artinya 28 dari 100 anak dapat meninggal akibat penyakit ISPA (Dinkes Provinsi Jatim, 2010).

Banyak faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya ISPA pada anak-anak, diantaranya umur, gizi, jumlah keluarga, pendidikan orang tua, sosial ekonomi, lingkungan dan fasilitas kesehatan (Depkes RI 1993, Zain MS 1994 dalam Wilar 2006). Lingkungan yang tidak sehat (misalnya, polutan udara, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur) bisa berpengaruh pada daya tahan tubuh seseorang. Seperti yang terjadi pada warga di kecamatan Porong dan sekitarnya. Musibah lumpur lapindo meng-akibatkan warga mengalami sesak nafas setelah menghirup hembusan H2S yang terkandung di dalam lumpur. Menurut Prof. Dr. Dr Mukono., M.PH, gas asam sulfida (H2S) pada awalnya hanya mengakibatkan iritasi, jika itu berlanjut maka tenggorokan akan terasa panas dan tercekat. Selanjutnya, gas tersebut bisa mengakibatkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dosis tinggi dan pada manusia yang peka bisa mengakibatkan kematian (Jawa Pos, 2006

dalam Wijayanti 2007). Dengan demikian, warga yang tinggal di sekitar porong rentan terkena penyakit ISPA.

Tingginya kadar H2S berbanding lurus dengan kejadian ISPA pada balita di kecamatan Porong dan sekitarnya. Menteri kesehatan Endang R Sedyaningsih (2009) dalam Depkes (2009) menyebutkan bahwa tingginya angka kejadian ISPA di masyarakat menyebabkan kunjungan pasien di sarana Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) meningkat berkisar antara 40-60% dan sisanya kunjungan ke rumah sakit sebanyak 15-30% yang diakibatkan oleh ISPA. Hasil data yang diperoleh di Puskesmas porong sebelum terjadinya banjir lumpur Lapindo tahun 2005 pada balita sebanyak 1.630 kasus sedangkan pada tahun 2007 atau setelah kejadian banjir lumpur Lapindo penderita ISPA yang berusia balita (0-5 tahun) terdapat 3.326 kasus. Tingginya angka kejadian ISPA pada balita memicu terjadinya kecemasan pada orang tua terutama ibu.

Green dan solnit (1964) menggunakan istilah “perception of child vulnerability” untuk mendeskripsikan kecemasan orang tua terhadap kesehatan anaknya. Mereka mengatakan bahwa kecemasan ini sering mengarah pada pola maladaptif dari interaksi orang tua dan anak serta masalah perilaku anak yang disebut “vulnerable child syndrome” (Leslie & Boyce, 1996 dalam Kelly 2003).

Persepsi orang tua terhadap kerentanan anak (PPCV) adalah kategori dari kognisi spesifik yang berhubungan dengan ketahanan diri anak. Persepsi kerentanan terhadap anak muncul untuk mengawali kognisi tentang kerentanan anak terhadap penyakit di masa depan (Forsyth, Horwitz, Leventhal, Burger, & Leaf, 1996 dalam Kelly 2003). Faktor yang mempengaruhi PPCV ini menurut beberapa penelitian diantara-nya ras, status pernikahan, tingkat pendidikan, usia, dan pendapatan yang di-anggap mempunyai pengaruh terhadap persepsi kerentanan. PPCV tidak selalu berhubungan dengan keparahan penyakit, tetapi lebih kepada bagaimana sebuah keluarga

Page 3: Maja Lah

merespon keadaan sakit yang dialami anaknya

Berdasarkan penjelasan diatas, hampir semua orang tua dengan balita yang sakit ISPA mempunyai persepsi tersendiri terhadap kerentanan anaknya, namun persepsi yang dimiliki setiap orang tua tersebut berbeda-beda tingkatannya. Balita yang menderita ISPA lebih parah kemungkinan orang tuanya akan mempersepsikan bahwa anaknya rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana tingkat keparahan ISPA pada balita mempengaruhi persepsi orang tua terhadap kerentanan anak di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo.

METODE PENELITIANPenelitian dilakukan di Pueskesmas

Porong Kabupaten Sidoarjo. Populasi dalam penelitian adalah seluruh ibu dengan balita usia 0-5 tahun yang berkunjung ke Puskesmas Porong kabupaten Sidoarjo dengan gejala batuk atau pilek. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusinya adalah orang tua yang memiliki balita terdiagnosa ISPA oleh bidan pada saat berkunjung ke Puskesmas didapatkan sampel 63 responden.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup, berupa 16 pernyataan tertulis yang bersifat positif (favorable) dan negatif (non favorable) dengan menggunakan skala Likert (Hidayat, 2009). Kuesioner telah diuji validitas dan realibilitas dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment. Setiap item instrumen dikatakan valid dengan nilai signifikasi (p)<0,05. Pengukuran reliabilitas instrumen menggunakan rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach. Setiap item instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai alpha≥0,7.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari-Maret 2013. Analisis univariat dilakukan untuk menganalisa data karakteristik responden dan data tingkat keparahan ISPA dan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak. Analisis bivariat

dilakukan untuk melihat hubungan variabel independen terhadap variabel dependen, dilakukan uji korelasi Rank Spearmen untuk menganalisa hubungan dan mengukur kekuatan hubungan antara tingkat keparahan ISPA dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak, dengan tingkat kepercayaan 95%.

HASIL PENELITIANTabel 1. Data Umum RespondenKarakteristik responden

N %

PendidikanSMP 4 6SMA 56 89Sarjana 3 5PekerjaanIbu RT 53 82Bekerja 11 18Usia20-25 tahun 26 4125-30 tahun 23 3730 tahun keatas 14 22Usia Balita0-1 tahun 19 301-5 tahun 44 70Jenis kelamin balitaLaki-laki 32 51Perempuan 31 49Berat badan balitaUnderweight 24 38Normal 28 44Overweight 11 18

Data hasil penelitian pada tabel 1. menggambarkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan SMA dan menjadi ibu rumah tangga biasa dengan kisaran usia 20-25 tahun. Karakteristik balita paling banyak berusia 1-5 tahun dengan jenis kelamin tidak berbeda jauh antara laki-laki dan perempuan dimana hanya ada selisih satu. Berat badan balita sebagian besar berada dalam kisaran normal yaitu sekitar 44%.

Page 4: Maja Lah

Tabel 2. Data Khusus Tingkat Keparahan ISPA

Data hasil penelitian pada tabel 2. menggambarkan bahwa tingkat keparahan ISPA yang paling banyak di derita oleh balita di Puskesmas Porong adalah ISPA bukan pneumonia.

Tabel 3. Data Khusus Persepsi Orang Tua terhadap Kerentanan Anak

Data hasil penelitian pada tabel 3. menggambarkan bahwa sebagian besar orang tua memiliki persepsi kerentanan yang rendah terhadap kesehatan anaknya yaitu sekitar 39%

ANALISA DATAHasil uji korelasi Spearman Rank

didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0,001) antara variabel indepen-den dan variabel dependen. Dari hasil uji korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa korelasi antar kedua variabel mempunyai hubungan karena nilai p<0,05. Sedangkan nilai korelasi (r) Spearman Rank sebesar 0,397 menunujukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan hubungan ‘rendah’. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk hubungan kedua variabel adalah berbanding lurus yaitu semakin tinggi tingkat keparahan

ISPA semakin tinggi pula persepsi orang tua terhadap kerentanan anak.

PEMBAHASAN1. Tingkat Keparahan ISPA pada

Balita Usia 0-5 Tahun di Puskesmas Porong SidoarjoTingkat keparahan ISPA diklasifikasi-

kan menjadi tiga tingkat yaitu pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia (Depkes RI, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di puskesmas porong di dapatkan hasil bahwa sebagian besar balita menderita ISPA bukan pneumonia sebanyak 38 balita (60%) kemudian balita yang menderita ISPA dengan pneumonia sebanyak 16 balita (25%) dan sebagian kecil balita menderita ISPA dengan pneumonia berat 9 balita (14%). Interpretasi dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar balita menderita ISPA bukan pneumonia. Tingkatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah agen penginfeksi (virus dan bakteri), umur, daya tahan, variansi musim (Hartono, 2012), pengetahuan orang tua, gizi, dan tempat tinggal (Depkes RI, 2006).

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan ISPA adalah usia balita. Pada data hasil penelitian tingkat keparahan ISPA berdasarkan karakteristik usia menunjukkan bahwa ISPA yang paling banyak di derita oleh balita usia 0-1 tahun maupun 1-5 tahun adalah ISPA bukan pneumonia. Balita berusia dibawah 3 bulan mempunyai angka infeksi yang rendah, karena fungsi pelindung dari antibodi keibuan. Infeksi meningkat pada umur 3-6 bulan, pada saat itu terjadi pergantian antara antibodi keibuan dengan produksi antibodi itu sendiri (Hartono, 2012). Anak yang berusia lebih dari 3 tahun maka resiko kejadian ISPA meningkat menjadi dua kali lipat jika dihubungankan dengan faktor lingkungan (Lubis, 1996). Pada waktu anak-anak berumur 5 tahun, infeksi pernafasan yang disebabkan virus akan berkurang frekuensinya, tetapi pengaruh infeksi mycoplasma pneumoniae dan grup A β-

Page 5: Maja Lah

Hemolityc Streptococcus akan meningkat. Beberapa agen virus membuat sakit ringan pada anak yang lebih tua tetapi menyebabkan sakit yang hebat di sistem pernafasan bagian bawah atau batuk asma pada balita (Hartono, 2012).

Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi tingkat keparahan ISPA adalah status gizi balita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukmawati (2010) status gizi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian ISPA. Status gizi yang kurang dapat menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat sehingga akan menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi. Balita dengan status gizi kurang akan lebih muda terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Indikator untuk menentukan status gizi diantaranya adalah berat badan, dalam penelitian ini data karakteristik tingkat keparahan ISPA berdasarkan berat badan diperoleh data sebagai berikut, balita dengan berat badan kurang dari normal dan normal sebagian besar (17 balita) menderita ISPA bukan pneumonia, sedangkan berat badan diatas normal paling banyak menderita ISPA dengan pneumonia (6 balita).

Faktor sosial yang memegang peranan paling penting lainnya adalah pendidikan orang tua. Ditemukan hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan orang tua dengan morbiditas ISPA. Pendidikan yang tinggi diharapkan membawa serta perubahan pola pikir secara positif terhadap berbagai masalah termasuk masalah kesehatan. Di pedesaan jenjang pendidikan ibu tampak berpengaruh pada proporsi balita yang menderita ISPA berat. Tampak jika ibu berpendidikan SMP ke atas proporsi anaknya yang menderita ISPA dengan pneumonia jauh lebih rendah dari ibu yang berpendidikan SMP. Namun di perkotaan, pola penyakit ISPA pada balita menurut jenjang pendidikan ibu tidak

menunjukkan perbedaan yang jelas (Lubis, 1996).

Penelitian yang dilakukan oleh Hatakka (2010) di dapatkan hasil adanya hubungan antara pendidikan akademik ibu dengan tingkat keparahan ISPA. Ibu yang berpendidikan tinggi akan memeberikan ASI lebih lama daripada ibu dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Di negara-negara maju, tingkat pendidikan orang tua yang tinggi justru meningkatkan resiko kejadian ISPA. Dengan kata lain pendidikan ibu memiliki hubungan positif dengan kejadian ISPA dan merupakan faktor resiko penyakit pernafasan.

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa dalam penelitian ini tingkat keparahan ISPA dipengaruhi oleh usia dan pendidikan orang tua, sedangkan berat badan memberikan pengaruh yang kurang signifikan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar balita menderita ISPA bukan pneumonia atau batuk pilek biasa, dan paling banyak diderita oleh balita usia 1-5 tahun. Pendidikan orang tua berperan dalam pemilihan makanan, tempat dan waktu bermain serta ketepatan pengobatan dan perawatan balita ISPA. Menurut hasil penelitian sebagian besar responden yang berpendidikan SMA sering memberikan makanan ringan kepada anaknya dan membiarkan anaknya bermain diluar rumah saat hujan. Ketepatan pengobatan dan perawatan diartikan sebagai ketanggapan orang tua terhadap status kesehatan anaknya. Dalam penelitian ini sebagian besar orang tua membawa anaknya berobat jika dirasa anakanya kurang sehat walaupun tidak terkaji berapa lama sakitnya dirumah. Faktor lain yang dapat mempengaruhi keparahan ISPA adalah lingkungan dan sosial-ekonomi, seperti variansi musim, lingkungan tempat tinggal, dan pendapatan orang tua (Lubis, 1996).

2. Persepsi Orang tua terhadap Kerentanan Anak (PPCV)Persepsi orang tua terhadap

kerentanna anak (PPCV) ditandai sebagai

Page 6: Maja Lah

kecemasan yang tidak mendasar oleh orang tua bahwa anak mereka lebih rentan terhadap penyakit atau cedera dibandingkan dengan anak lainnya (Green & Solnit, 1964 dalam Tluczek, 2012). Berdasarkan analisa dan interpretasi data pada gambar 5.8 didapatkan hasil bahwa hampir sebagian besar orang tua mempunyai persepsi kerentanan terhadap anaknya rendah yaitu sebesar 39%, tidak jauh berbeda dengan persepsi kerentanan tingkat sedang yaitu sebesar 32%, sedangkan sebagian kecilnya memiliki persepsi tinggi yaitu 28%. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini sebagian besar responden memiliki persepsi rendah terhadap kerentanan anaknya. Tinggi atau rendahnya persepsi orang tua terhadap kerentanan anak dapat dipengaruhi oleh karakteristik orang tua dan balita.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa PPCV dikaitkan dengan kecemasan orang tua, pendapatan atau pendidikan orang tua yang rendah, kondisi kesehatan anak, riwayat penyakit terdahulu, dan kelahiran prematur (Tluczek, 2012). Dalam penelitian ini PPCV berdasarkan karakteristik pendidikan orang tua diperoleh hasil sebagian besar responden memiliki persepsi rendah dengan pendidikan SMA yaitu sebanyak 23 dan sedangkan dua dari tiga orang responden yang berpendidikan sarjana memiliki persepsi tinggi, beberapa penelitian mempunyai hasil yang sama yaitu wanita yang berpendidikan lebih tinggi atau yang kurang dukungan dalam pernikahannya memiliki persepsi lebih tinggi pula terhadap kerentan anaknya (Kokotos, 2009). Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dimana sebagian besar responden berpendidikan SMA dan mempunyai persepsi yang rendah terhadap kerentanan, sedangkan responden yang berpendidikan sarjana sebanyak 3 orang dimana 2 orang diantaranya memiliki persepsi yang tinggi terhadap kerentanan anak.

Peneliti tidak hanya membandingkan persepsi orang tua dengan pendidikan saja, namun dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk melakukan perbandingan dengan usia balita. Hal tersebut dilakukan dengan mengingat bahwa persepsi kerentanan anak sistematis berbeda tergantung pada usia dan jenis kelamin (Connelly, 2012). Hasil yang didapatkan untuk PPCV berdasarkan karakteristik usia balita adalah sebagian besar orang tua yang berpersepsi rendah terhadap kerentanan memiliki balita dengan berat badan rendah, sedangkan orang tua yang berpersepsi terhadap kerentanan tinggi justru memiliki berat badan normal. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh keyakinan orang tua, ketika orang tua merasa anaknya mempunyai berat badan normal atau jarang terkena penyakit maka ketika anaknya terkena penyakit akut yang tidak seperti biasanya akan meningkatkan persepsinya terhadap kerentanan anaknya (Forsyth, 1996).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini sebagian besar orang tua mempunyai persepi rendah terhadap kerentanan anaknya yang mana artinya orang tua sedikit atau bahkan tidak sama sekali menganggap bahwa anaknya rentan terhadap penyakit. Hasil tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pendidikan orang tua, usia balita, dan juga kondisi kesehatan anak. Faktor yang tidak kalah penting adalah adanya faktor modifikasi yaitu kultur atau budaya, kebiasaan, kemampuan, dan motivasi.

3. Hubungan tingkat keparahan ISPA pada balita usia 0-5 tahun dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anakISPA merupakan salah satu penyakit

infeksi yang menduduki peringkat pertama dari sepuluh besar penyakit terbanyak di Indonesia dan paling sering diderita oleh balita (Andarini, 2011). Penyebab dari ISPA paling banyak adalah karena infeksi virus dan bakteri (Hartono, 2012). Status ISPA pada balita dapat mejadi semakin berat ketika

Page 7: Maja Lah

pajanan terhadap penyabab tidak dapat dihindarkan. Beberapa faktor yang berkontribusi dalam peningkatan keparahan ISPA pada balita antara lain usia balita, status imunitas, pendidikan orang tua, dan variansi musim. Derajat keparahan ISPA dibedakan menjadi 3 tingkat yaitu ISPA dengan pneumonia berat, ISPA dengan pneumonia, dan ISPA buka pneumonia atau batuk pilek biasa. ISPA dengan pneumonia maupun dengan pneumonia berat ditandai dengan gejala peningkatan frekuensi pernafasan, serta tarikan dinding dada.

ISPA yang semakin parah juga dapat menyebabkan penurunan nafsu makan pada balita. Status kesehatan yang menurun dan berkurangnya nafsu makan balita dapat mengakibatkan kecemasan pada orang tua yang pada akhirnya menyebabkan orang tua beranggapan bahwa anaknya rentan terhadap penyakit anaknya dibandingkan dengan anak lainnya. Pandangan yang mendasari orang tua menganggap anaknya beresiko dapat berawal dari kecemasan orang tua ketika anaknya memiliki penyakit akut tidak seperti biasanya. Dalam penelitian ini didapatkan sebagian besar responden memiliki balita dengan status ISPA bukan pneumonia atau dapat dikatakan ISPA dengan derajat keparahan paling rendah.

Hasil dari penelitian tersebut dapat digunakan untuk mengukur persepsi orang tua terhadap kerentanan anak walaupun hasilnya menunjukkan sebagian besar balita menderita ISPA dengan derajat keparahan paling rendah. Hal tersebut dikarenakan PPCV tidak selalu berhubungan dengan keparahan penyakit, tetapi lebih kepada bagaimana sebuah keluarga merespon keadaan sakit yang dialami anaknya. Dengan demikian PPCV dapat dinilai dengan penyakit ringan atau bahkan tanpa penyakit jika orang tua kurang memahami informasi medis (Kokotos, 2009).

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa tingkat keparahan ISPA mempunyai peranan dalam penentuan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak. Namun, ada hal

utama yang mempengaruhi PPCV itu sendiri, diantaranya adalah tingkat pendidikan orang tua. Dari data hasil penelitian didapatkan sebagian besar orang tua memiliki persepsi yang rendah terhadap kerentanan anaknya dan berpendidikan SMA sebanyak 23 orang, sedangkan 2 dari 3 responden yang berpendidikan sarjana memiliki persepsi yang tinggi terhadap kerentanan anaknya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang ibu maka semakin tinggi pula persepi terhadap kerentanan anaknya. Sedangkan banyaknya orang tua yang memiliki persepsi rendah juga tidak dapat disalahkan, karena hal tersebut benar bahwa tidak semua anak-anak yang sakit tersebut harus dianggap rentan. Orang tua mungkin mengakui bahwa anaknya sakit, namun tidak merasa bahwa anaknya tidak normal atau rentan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan anak lainnya.

Berdasarkan analisa data dengan hasil korelasi ‘rendah’, menunjukkan bahwa ada faktor lain yang juga mempengaruhi persepsi orang tua terhadap kerentanan anak. Namun, hal tersebut tidak mengurangu signifikasni hubungan antara tingkat keparahan ISPA pada balita usia 0-5 tahun dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak. Oleh karena itu perlu adanya perhatian terhadap faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi persepsi orang tua terhadap kerentanan anak seperti status pernikahan, dukungan sosial keluarga, dan faktor sosio ekonomi.

KETERBATASAN PENELITIANDalam penelitian ini, keterbatasan

yang dihadapi oleh peneliti, diantaranya adalah:1. Penelitian yang dilakukan tanpa

mengendalikan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi persepsi orang tua terhadap kerentanan anak seperti faktor lingkungan, variansi musim, berat badan lahir.

2. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional

Page 8: Maja Lah

sehingga kurang dapat menjelaskan keadaan secara umum persepsi orang tua dalam setting yang berbeda.

KESIMPULANDari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti menyimpulkan beberapa hal berikut :

1. Tingkat keparahan ISPA pada balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo sebagian besar berada pada derajat ISPA bukan pneumonia sebesar 60%.

2. Persepsi orang tua terhadap kerentanan anak (PPCV) di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo secara umum memiliki persepsi rendah sebesar 39%.

3. Ada hubungan antara tingkat keparahan ISPA pada balita usia 0-5 tahun dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak (parental perception of child vulnerability) yaitu hasil korelasi Spearman Rank menunjukkan nilai korelasi (r) = 0,397 yang berarti arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi ‘rendah’

dan nilai p = 0,001 < α (0,05). Semakin tinggi tingkat keparahan ISPA, maka semakin tinggi persepsi orang tua terhadap kerentanan anak.

SARAN1. Bagi Institusi Terkait/Perawat

Dalam hal ini perawat bisa memberikan edukasi terhadap orang tua yang anaknya sedang sakit baik akut maupun kronis untuk dapat menjaga anaknya secara wajar dan tetap mengedepankan tugas pertumbuhan dan perkembangan anak seperti pemilihan nutrisi yang tepat untuk anak-anaknya.

2. Bagi Penelitian SelanjutnyaUntuk penelitian selanjutnya

diharapkan untuk mencoba menjelaskan faktor-faktor tambahan yang berkontribusi terhadap sindrom kerentanan anak dan

kompleksitas keterkaitan antara kerentanan yang dirasakan orang tua dengan masalah perilaku yang dialami oleh anak. Penelitian selanjutnya juga diharapka untuk meneliti persepsi orang tua terhadap keparahan penyakit anak dan menggunakan metode penelitian yang lain seperti Case Control Study Design.

DAFTAR PUSTAKAAlsagaff Hood, Mukti Abdul H. 1995. Dasar-

Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.

Andarini S, Asmika, Ani Noviani. 2011. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Tingkat Konsumsi Energi, Protein Dengan Frekuensi Kejadian Infeksi Salura Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang. http.// elibrary.ub.ac.id/. Diakses tanggal 24 September 2012. Pukul 09.07 WIB.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Asmadi. 2005. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC.

Bimo Walgito. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.

Connelly Mark. 2012. Parent Perception of Child Vulnerability are Associated with Functioning and Health Care Use in Children with Chronic Pain. http://www.ncbi.nml.gov/pubmed/. Diakses pada 08 April 2013 Pukul 09.00 WIB.

Depkes, RI.2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Jakarta: Ditjen PLP & PL.

Depkes, RI. 2006. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Jakarta: Ditjen PLP & PL.

Depkes,RI. 2009. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Jakarta: Ditjen PLP & PL.

Dinkes provinsi jatim 2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur. http.//www.dinkes-jatim.go.id/penyakit.

Page 9: Maja Lah

html/. Diakses pada 20 September 2012 Pukul 20.22 WIB.

Enny das, John B.F. de Wit, Raymond vet and Tom Frijns.2008. ‘Feeling’ Risk and Seeing Solution : Predicting Vaccination Intention against Hepatitis B Infection among Men Who Sex with Men. http:www.sagepublication.com/. Diakses pada 13 September 2012 Pukul 15.17 WIB

Forsyth Brian W.C. 1996. The Child Vulnerability Scale: An Isntrument to Measure Parental Perception of Child Vulnerability. http://ncbi.nml.nih.gov/pubmed/. Diakses pada 12 September 2012 Pukul 20.03 WIB.

Hartono R, Dwi Rahmawati H. 2012. Gangguan Pernapasan pada Anak: ISPA. Yogyakarta : Nuha Medika.

Hatakka Katja, Laura Piirainen. 2010. Factors Associated with Acute Respiratory Illness in Day Care Children. http://www.ncbi.nml.nih.gov/pubmed/. Diakses pada 24 September 2012 Pukul 16.35 WIB.

Hayden J. 2009. Introduction to health belief behavior.Sudbury, MA: Jones and Barlet.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Jawa Pos. 2006. Gas lumpur bisa memicu kanker. Surabaya (6 Juni 2006).

Kelly K.Anthony, MA, Karen M.Gil and Laura E Schanberg. 2003. Brief Report: Parental Perceptions Of Child Vulnerability In Children With Chronic Illness. Journal of Pediatric Psychology, Vol.28 No.3, 2003, pp. 185-190.

Kokotos Faye. 2009. In Brief: The Vulnerable Child Syndrome. Pediatirc in Review, Vol.30 No.5 May 2009, pp 193-194.

Kusumawati Erni. 2005. Hubungan Episode Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Dengan Pertumbuhan Bayi Umur 3 Sampai 6 Bulandi Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.

http.//eprints.undip.ad.id/. Diakses pada 12 September 2012 Pukul 19.00 WIB.

Larry L. Mullins, Cortney Wolfe-Christensen, Ahna L. Hoff Pai. 2007. The Relationship of Parental Overprotection, Perceived Child Vulnerability, and Parenting Stress to Uncertainty in Youth with Chronic Illness. Journal of Pediatric Psychology 32 (8) pp.973-982.

Lubis, Agustina.1996. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Batuk dengan Nafas Cepat pada Balita. http.// ejournal.litbang.depkes.go.id/. Diakses pada 03 April 2013 Pukul 08.19 WIB.

Maclean, Peggy. 2010. Maternal Perception of Child Vulnerabilityin Preschoolers Born Very Low Birth Weight. https://repository.unm.edu/. Diakses pada 09 September 2012 Pukul 07.35 WIB.

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Potter & Perry. 2001. Fundamental Nursing edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran EGCRakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi

Komunikasi. Bandung. PT.Remaja Rosdakarya.

Rudiyanto Teguh. 2006. Persepsi siswa SMK panca bhakti banjarnegara terhadap pelajaran pendidikan jasmani. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Page 10: Maja Lah

Sukmawati. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir, Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Pukesmas Tunikamaseang Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros. https://jurnalmediagizipangan.files.wordpress.com/. diakses pada 17 September 2012 Pukul 08.26 WIB.

Sunaryo. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. 2004.

Tluczek Audrey, Anne Chevalier McKechnie. 2012. Factors Associated with Parental Perception of Child Vulnerability 12 Month After Abnormal Newborn Screening Result. http://www.ncbi.nml.nih.gov.pubmed/. Diakses pada 08 April 2013 Pukul 20.15 WIB

Wijayanti tantri. 2007. Gambaran Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Saat Sebelum Dan Saat Kejadian Lapindo Di Porong. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya.

Wilar R, J.M Wanatania. 2006. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Episode Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Dengan Penyakit Jantung Bawaan. Sari Pediatri Volume 8, nomor 2, september 2009 154-158.

Telah disetujui oleh,Pembimbing I

Titin Andri Wihastuti S.Kep M.KesNIP. 19770226 200312 2 001