m. afif adityawan anwar 105610552015
TRANSCRIPT
i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
MERELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI NEW MALL PASAR
SENTRAL KOTA MAKASSAR
M. AFIF ADITYAWAN ANWAR
105610552015
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama Mahasiswa : M. Afif Adityawan Anwar
Nomor Stanbuk : 105610552015
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini dalam penelitian
saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah di
tulis/publikasikan orang lain atau melakukan plagiat. Pernyataan ini
saya buat dengan sesungguhnya dan apabila kemudian pernyataan ini
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi dari akademik yang
sesuai dengan aturan yang berlaku sekalipun pencabutan gelar
akademik.
Makassar, 2020
Yang Menyatakan,
(M. Afif Adityawan Anwar)
v
ABSTRAK
M. AFIF ADITYAWAN ANWAR (Implementasi Kebijakan Pemerintah
Dalam Merelokasi Pedagang Kaki Lima Di New Mall Pasar Sentral Kota
Makassar)
(dibimbing oleh : Dr. H. Muhlis Madani, M.SiDr. Anwar Parawangi, M.Si)
Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam Merelokasi Pedagang Kaki
Lima Di New Mall Pasar Sentral Kota Makassar, jenis penelitian ini adalah
penelitian Kualitatif yang mana semua data di peroleh melalui observasi,
wawancara, dan dokumentasi yang kemudian di jelaskan secara deskriptif
kualitatif, sedangkan informan dalam penelitian ini sebanyak delapan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pemerintah dalam
merelokasi pedagang kaki lima di new mall pasar sentral kota makassar dengan
berpedoman kepada undang-undang dan peraturan terkait, namun dalam
pelaksanaannya sesuai prosedur dan persyaratan yang telah di tetapkan oleh
pemerintah. adapun upaya yang harus di lakukan oleh pemerintah sehinggah
kebijakan tersebutefektif.
Kata Kunci: Implementasi, Pemerintah, Dinas Perdagangan
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan berkah
dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini dan salawat serta doa tercurahkan kepada Baginda
Muhammad SAW umat beliau yang senantiasa istiqamah dalam menjalankan
ajarannya kepada seluruh umatnya. Atas izin dan kehendak Allah SWT skripsi
sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana (S1) Jurusan
Ilmu Administrasi Negara fakultasi lmu sosial dan ilmu politik universitas
muhammadiyah Makassar Skripsi ini berjudul “IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MERELOKASI PEDAGANG
KAKI LIMA DI NEW MALL PASAR SENTRAL KOTA MAKASSAR.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini adalah ata sizin Allah
SWT sebagai pemegang kendali dan penulis sadar bahwa dalam proses penulisan
skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan,
kerjasama, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih dan rasa hormat penulis kepada :
1.Bapak Dr. H. Muhlis Madani, M.Si selaku pembimbing I yang selalu
meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan bimbingan, arahan
dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian skripsi.
2.Bapak Dr. Anwar Parawangi, M.Si selaku pembimbing II dan orang tua kami
yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan
bimbingan, memberikan arahan, memberikan kritik dan dorongan serta tak lupa
pula memberikan motivasi dan nasehat kepada penulis selama penyelesaian skripsi.
3.Seluruh pegawai, Staf Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang memberikan
bantuan dalam penulisan skripsi ini.
4.Kepada segenap informan penelitian penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Dinas perdagangan dan PDPasar makassar
terima kasih juga kepada StaffNewMall, yang telah memberikan bantuan data dan
informasi yang di butuh kanselama proses penelitian skripsi.
vii
Teristimewa kepada Kedua Orang tua tercinta Bapak Anwar dan Ibu Mulyana yang
telah menjadi orang tua terhebat, yang selalu memberikan motivasi, nasehat, cinta,
perhatian, dan kasih saying serta doa yang tentu takkan bisa penulis balas. Segenap
keluarga besar penulis yang selalu percaya bahwa segala sesuatu yang di lakukan
degan ikhlas dan tulus akan membuahkan hasil yang indah.
DAFTAR ISI
viii
HALAMAN JUDUL SKRIPSI ............................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii
PENERIMAAN TIM ................................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH........................ iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viiI
BAB I PENDAHULUAN
A.LatarBelakang ................................................................................................. 1
B.Rumusan Masalah ........................................................................................... 7
C.Tujuan Penelitian ............................................................................................ 7
D.ManfaatPenelitian............................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Tinjauan pustaka ............................................................................................. 9
B.Kebijakan Publik ........................................................................................... 13
C.Implementasi Kebijakan ................................................................................ 17
D. Kebijakan Pemerintah dalam Penataan Pedangan Kaki Lima ..................... 23
E.Kerangka Pikir ............................................................................................... 39
F.Fokus Penelitian ............................................................................................. 42
G.Deskripsi Fokus Penelitian ............................................................................ 42
BAB III METODE PENELITIAN
A.Waktu dan Lokasi Penelitian......................................................................... 44
B.Jenis dan Tipe Penelitian ............................................................................... 44
C.Sumber Data .................................................................................................. 45
D.Informan Penelitian ....................................................................................... 45
E.Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 46
F.Teknik Analisis Data...................................................................................... 47
G.Keabsahan Data ............................................................................................. 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 50
ix
B.Hasil dan Pembahasan ............................................................................ 52
C.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Relokasi Pedangang Kaki Lima di Kota
Makassar ........................................................................................................... 66
D.Efektifitas Relokasi Pedagang Kaki Lima di New Mall Kota Makassar ...... 72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan.............................................................................................. 78
B.Saran ....................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Implementasi adalah tahap paling penting dalam administrasi publik karena
merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu
yang di ikuti dan di laksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang
berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang di perhatikan.
Anderson dalam Tachjan (2016:19). Tahap yang penting dalam implementasi
kebijakan adalah menentukan apakah kebijakan yang di tempuh oleh pemerintah
benar-benar aplikabel di lapangan dan berhasil untuk menghasilkan output dan
outcomes seperti telah direncanakan. (Dwiyanto Indiahono, 2016:143).
Pada prinsipnya implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu
langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui
formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik. (Riant Nugroho,
2016:141).
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan
1
3
dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor,
organisasi, prosedur, teknik, serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-
sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan. Suratman (2017:26).
Beberapa tahun ini sektor informal di daerah perkotaan Indonesia
menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat namun masih di identik dengan
aktivitas ekonomi skala kecil, kurang produktif dan tidak mempunyai prospek yang
menjanjikan. Keberadaan dan kelangsungan sebuah kegiatan sektor informal dalam
sistem ekonomi kotemporer bukanlah gejala negatif, namun lebih sebagai realitas
ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan
masyarakat dan pembangunan nasional.
Keberadaan sektor informal setidaknya mampu berperan sebagai
penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja khususnya di Kota
Makassar. Pada hasil observasi awal penelitian, Nielma Palamba selaku Kepala
Dinas Perdagangan Kota Makassar, menyatakan bahwa ada 5.864 jumlah pedagang
kaki lima di Kota Makassar.
Pada saat ini di Indonesia sektor informal telah di anggap membuat banyak
masalah, terutama yang bertempat atau beroprasi di pusat kota, hal tersebut akan
menyebabkan keindahan kota berkurang dan menjadi pemicu kemacetan lalu lintas.
Berdasarkan hasil observasi awal penelitian ditemukan sebanyak 1.700 PKL
yang berada di luar gedung New Makassar Mall. Sejumlah PKL tersebut dibongkar
dan direlokasi ke gedung New Mall Makassar, sehingga saat ini PKL yang bersedia
4
direlokasi berjumlah 120 PKL dari 1.200 kios yang ada di New Mall Makassar, dan
saat ini telah beraktifitas serta telah mulai berjualan seperti biasanya.
Pemerintah Kota telah mengambil keputusan untuk membatasi ruang di
sektor informal Aslinda dan Guntur (2017). Bahkan kota besar di Indonesia seperti
Makassar, sektor informal mendapat perlakuan atau tindakan yang kurang pantas
dari aparat penertiban kota.
Suharto (2002) sektor informal mencakup operator usaha kecil yang
menjual makanan dan barang atau menawarkan jasa dan pada gilirannya melibatkan
ekonomi uang dan transaksi pasar, hal ini disebut
sebagai sektor informal perkotaan.
Simanjuntak dalam Haris (2011) mengemukakan bahwa Pedagang Kaki
Lima (selanjutnya di sebut PKL) sangat menarik karena kemandiriannya dalam
menciptakan lapangan kerja dan menyediakan barang/jasa murah serta reputasinya
sebagai mencegah merajalelanya pengangguran dan keresahan social.
Dalam bahasa Etimologi, PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja
dagangan yang menggunakan gerobak. Isilah kaki lima berasal dari masa
penjajahan Kolonial Belanda. Peraturan Pemerintah waktu itu menetapkan bahwa
setiap jalan raya yang di bangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan
kaki.
Eridian dalam Sudaryanti (2000) Pedagang Kaki Lima ialah orang-
orang dengan modal relatif kecil/sedikit berusaha (produksi–penjualan
barang–barang/jasa–jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen
tertentu dalam masyarakat.
5
Dari pengertian atau batasan tentang Pedagang Kaki Lima yang di singkat
PKL, yang di kemukakan para ahli di atas, dapat di pahami bahwa Pedagang Kaki
Lima merupakan bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor
informal. Secara spesifik defenisi PKL menurut Pemerintah Indonesia adalah
seorang yang menjalankan usaha yang melakukan penjualan barang-barang dengan
menggunakan bahu jalan atau trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum
serta tempat lain yang bukan miliknya.
Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI, 2007) tentang kajian
kebijakan pengelolaan sektor informal perkotaan di beberapa Negara Asia saat ini
di Indonesia, masalah sektor informal menjadi semakin genting karena pranata-
pranata sektor formal tidak mendukung keberadaan sektor informal dalam arti yang
sebenarnya. Sektor informal masih dianggap sebagai black economy, tidak resmi,
mengganggu ketertiban kota, dan bahkan dianggap merusak pranata formal.
Misalnya, kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) selama ini lebih banyak
menonjolkan matra "menggusur kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi
pendapatan di kota".
Seperti halnya dengan Kota Makassar atau sering di namakan Kota Daeng
juga memiliki masalah tersendiri dengan meningkatnya PKL yang tidak memiliki
izin. Kondisi ini yang ditempuh Pemerintah kota Makassar, seperti penggusuran
dan pemindahan lahan berjualan Pedagang Kaki Lima dilakukan, demi
mewujudkan Makassar yang rapi dan tertib. Ratna Sari (2017)
Di Kota Makassar kebijakan pemanfaatan ruang oleh PKL diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan
6
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41
Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima,
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pembinaan
Pedagang Kaki Lima Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang dan
Surat Keputusan Walikota Makassar Nomor 20 Tahun 2004 tentang prosedur tetap
(PROTAP) penertiban bangunan dan pembinaan pedagang sector informal (PKL)
dalam wilayah Kota Makassar dan yang terakhir Peraturan daerah kota makassar
nomor 12 tahun 2014 tentang pengurusan pasar dalam daerah kota Makassar.
Peraturan Daerah (PERDA) merupakan alasan kuat untuk merelokasi PKL
yang ada dikota makassar, terutama Pedagang kaki lima yang ada di Pasar sentral
Kota Makassar. atas kebijakan Pemerintah dalam merelokasi PKL yang berkisar
200-an, sepanjang Jl. KH Ramli, Jl. KH Wahid Hasyim, dan Jl. HOS Cokroaminoto
ke New Mall. Tujuan Pemerintah dari relokasi tersbut tidak lain adalah untuk
penataan PKL yang lebih modern dan tidak mempergunakan badan jalan sebagai
mana mestinya.
Pasar sentral yang sekarang berubah nama menjadi New Mall Makassar
yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota Makassar belum sepenuhnya
dimanfaatkan sebagaimana mestinya atau belum efektif, tidak semua Pedagang
Kaki Lima menempati tempat yang telah disediakan di New Makassar Mall.
Berdasarkan hasil observasi awal penelitian ditemukan sebanyak 1.700
PKL yang berada di luar gedung New Mall Makassar. Sejumlah PKL tersebut
dibongkar dan direlokasi ke gedung, sehingga saat ini PKL yang bersedia direlokasi
7
berjumlah 893 PKL dari 2.200 kios yang ada di New Mall Makassar, dan saat ini
telah beraktifitas serta telah mulai berjualan seperti biasanya.
Berita Kota Makassar (BKM, 2019) yang menyebutkan bahwa ada dua
lapak yang saat ini berada diarea luar bagunan New Makassar Mall, ada yang
bagunan yang tampak rapi dan ada bangunan yang tampak semrawut namun
fungsinya sama, yaitu untuk sementara waktu menampung PKL yang belum
bersedia menempati lapak yang berada dalam gedung New Mall Makassar. Lapak
PKL yang nampak rapi tepat berada di sebelah selatan berjumlah 700 lapak yang
dibangun oleh Perusahaan Daerah (PD) Pasar Makassar, sedangkan lapak yang
tampak semrawut berada di sebelah barat mall 300 lapak.
Penulis menyayangkan karena setelah dilaksanakan kebijakan relokasi
tersebut dengan dikosongkannya lahan yang tadinya ditempati Pedagang Kaki
Lima, kenyataannya masih ditemukan PKL yang mencoba kembali ke tempat awal,
sehingga kios yang berada di gedung New Mall Makassar nampak masih sepi.
Implementasi kebijakan program pemerintah Kota Makassar dapat dikatakan
efektif apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana dikemukakan
Ratminto dan Winarsih (2005) bahwa efektivitas itu tercapai ketika mencapai suatu
tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang
maupun misi organisasi itu.
Kondisi inilah yang menuntut Pemerintah kota untuk mengatasi
permasalahan ini namun masih banyak hambatan yang ditemui diantaranya adalah
jumlah Pedagang Kaki Lima yang lebih banyak dibandingkan aparat yang bertugas,
serta masih banyaknya tempat Pedagang Kaki Lima yang membutuhkan relokasi
8
untuk mewujudkan Makassar yang rapih dan tertib. Hal ini merupakan masalah
yang sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi dilematis. Pertentangan
antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat dan
menimbulkan friksi diantara keduanya.
Terlepas dari latar belakang yang telah diuraikan di atas penulis ingin
mengkaji bagaimanakah Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam merelokasi
PKL di New Makassar Mall, dimana mall tersebut bertempat di Jl. Kyai H. Agus
Salim. Dengan demikian, nantinya akan diperoleh gambaran tentang dampak
implementasi kebijakan pemerintah kota Makassar dalam pelaksanaan program
relokasi PKL di Pasar Sentral kota Makassar ke New Mall.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peran Pemerintah dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat dalam Implementasi
Kebijakan Pemerintah dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimanakah Efektivitas Kebijakan Pemerintah dalam
merelokasi Pedagang Kaki Lima?
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mendukung dan menghambat dalam
Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima
9
D. Manfaat
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada studi Administrasi
Negara khususnya Kebijakan Publik serta dapat dijadikan referensi atau acuan bagi
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dari penelitian ini nanti akan berpengaruh pada semakin
membaiknya pengelolaan PKL yang sesuai dengan tujuan utama dilaksanakannya
relokasi oleh Pemkot. Selain itu juga diharapkan dengan kebijakan relokasi tersebut
dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi para PKL.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Implementasi Kebijkan
Implementasi kebijakan sering terdapat permasalahan yang menunjukkan
ketidakefektifan kebijakan yang telah ditempuh.Gejala tersebut dinamakan
sebagai implementation gap, yakni: “Suatu keadaan dimana dalam proses
kebijakan selalu akan terbuka ke mungkinan terjadinya perbedaan antara apa
yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang
senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan).
Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung pada organisasi atau aktor yang
dipercaya untuk mengemban tugas dalam meng- implementasikan kebijakan
tersebut.” (Andrew Dunsire dalam Wahab, 2001).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hogwood dan Gunn (dalam Wahab,
2001), bahwa: “Kebijakan publik sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.
Kegagalan kebijakan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu non-
implementation (tidak ter-implementasi) dan unsuccessful implementation
(implementasi yang tidak berhasil). Kebijakan yang memiliki resiko untuk
gagal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, pelaksanaan- nya
yang jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy),
dan kebijakan yang bernasib jelek (bad luck).
Implementasi suatu kebijakan dapat dianalisis dengan mengunakan beberapa
model implementasi kebijakan. Salah satu model implementasi kebijakan adalah
11
model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut
sebagai a model of the policy implementation process (model proses implementasi
kebijakan). Model ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan
prestasi kerja (performance).
Antara kebijakan dengan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas
(independent variable) yang saling berkaitan. Variabel-variabel bebas itu
diantaranya:
a. Ukuran dan tujuan kebijakan
b. Sumber-sumber kebijakan
c. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana
d. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
e. Sikap para pelaksana, dan
f. Lingkungan ekonomi, politik, dan social.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) dalam Wahab (2001:65)
menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa :
“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik
usaha-usaha untuk mengadimistrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat
atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka fokus implementasi kebijakan itu
akan lebih jelas bagi mencakup usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
12
atau lembaga dalam upaya mereka untuk memberikan pelayanan atau untuk
merubah perilaku masyarakat kelompok sasaran dari program yang bersangkutan.
Abdul Wahab (2001) dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan implementasi
kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari
pembuatan kebijakan.
Berbagai tujuan kebijakan tentu tidak akan tercapai dengan sendirinya
tanpa kebijakan tersebut diimplementasikan. Meskipun sebagai sebuah konsep
implementasi sering dipakai untuk menggambarkan bagaimana upaya yang
dilakukan oleh para implementor dalam mewujudkan tujuan kebijakan, akan tetapi
hanya dengan menyebut implementasi saja tidak cukup menggambarkan
bagaimana sesungguhnya berbagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan itu
dilakukan. Menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2012:64-65) : “realitasnya di
dalam implementasi itu sendiri terkandung suatu proses kompleks dan panjang.
Proses implementasi sendiri bermula sejak kebijakan ditetapkan atau memiliki
payung hukum yang sah. Setelah itu tahapan-tahapan implementasi akan dimulai
dengan serangkaian kegiatan mengelola orang, sumber daya, teknologi,
menetapkan prosedur, dan seterusnya dengan tujuan agar tujuan kebijakan yang
ditetapkan dapat diwujudkan.”
Apabila disepakati bahwa cara melihat keberhasilan implementasi tidak
hanya berhenti pada kepatuhan para implementer saja namun juga hasil yang
dicapai setelah prosedur implementasi dijalani maka upaya untuk memahami
realitas implementasi kebijakan perlu dilihat secara lebih detil dengan mengikuti
13
proses implementasi yang dilalui para implementer dalam upaya untuk
mewujudkan tujuan kebijakan tersebut.
Model Implementasi Kebijakan
1. Model George C. Edward III
George C. Edward III dalam Subarsono (2011) Implementasi Kebijakan di
pengaruhi 4 (empat) variabel yaitu
a. Komunikasi yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target
group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
b. Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya
tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor
dan sumber daya finansial.
c. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti
komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi
yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki
sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif
d. Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
14
Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan
fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
2.Model Merilee S. Grindle
Selanjutnya Merilee S. Grindle Keberhasilan implementasi menurut
Merilee S. Grindle dalam Nugroho (2006) dipengaruhi oleh dua variabel besar,
yakni isi kebijakan (content of policy) lingkungan implementasi (context of
implementation). Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan,
dilakukan implementasi kebijakan.
Isi Kebijakan (content of policy) mencakup :
a.Jenis manfaat yang di hasilkan
b.Derajat perubahan
c.Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan
d.Kedudukan pembuat kebijakan
e.Siapa pelaksana program
f.Sumber daya yang dikerahkan
Sedangkan Lingkungan kebijakan (content of implementation) mencakup :
a.Kepatuhan dan daya tangkap
b.Karakteristik lembaga dan penguasa
c.Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
15
3.Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono, (2011) ada tiga
kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni
karakteristik dari masalah (tractability of the problems), karakteristik
kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan
variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation)
Keberhasilan implementasi menurut Merile S. Grindle (1980) dalam
Subarsono, dkk (2012) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan
(content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).
Variabel tersebut mencakup: sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target
group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group,
sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah
program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya
dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang
memadai.
Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang
komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan
implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di
antara para aktor implementasi, serta kondisikondisi sumber daya implementasi
yang diperlukan. Dalam penelitian ini menggunakan teori dari Merilee S. Grindle
yang menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel
besar, yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi.
16
Penggunaan teori tersebut dapat membantu peneliti untuk menganalisis
implementasi Kebijakan secara universal lebih mendalam serta dapat disimpulkan
bahwa pengertian implementasi kebijakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan kebijakan.
Setelah mengetahui tentang Implementasi dan kebijakan, selanjutnya akan
dibahas mengenai pengertian kebijakan pemerintah. Pemerintah ialah ilmu yang
mempelajari bagaimana cara lembaga umum disusun dan di fungsikan dengan baik
secara ekstern dan intern terhadap warga negaranya.
Implementasi secara etimologis adalah berasal dari bahasa inggris yaitu
implement. Webster’s Dictionary (Suratman:2017:25), to implement
(mengimplementasikan) berarti provide the means for carrying out (menyediakan
sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk
menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu.
Menurut Rulinawaty (2013:2) implementasi kebijakan merupakan tahap
yang krusial dalam proses kebijakan public. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang.Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan
derivate atau turunan dari kebijakan.
17
Menurut Kebijakan publik menurut Thomas R Dye (Mulyadi, 2016:36)
adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah.
Berbeda pendapat Howleyt dan Ramesh (Mutiarain dan Arif, 2014:20)
mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah proses pelaksana program-
program atau kebijakan-kebijakan, yang merupakan upaya penerjemahan dari
rencana ke dalam praktek.
Adapun menurut Ripley dan Franklin (Winarno, 2012:148) implementasi
kebijakan adalah apa yang terjadi setelah undang-undang yang ditetapkan
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan atau jenis keluaran yang
nyata.
Menurut (Wahab, 2010:68)Implementasi kebijakan adalah pelaksana
keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat
pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
atau keputusan badan peradilan lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi
masalah yang di atasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses
implementasinya.
Kemudian Suratman (2017:26) mengatakan implementasi kebijakan
merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau
program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang
diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan
alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik, serta sumber
daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna
18
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan dan implementasi seringkali digunakan
sebagai suatu istilah tunggal tanpa obyek. Sebenarnya, obyek dari kata
implementasi adalah kebijakan.Kebijakan harus ada lebih dahulu, baru kemudian
menyusul implementasi, dan yang diimplementasikan adala kebijakan.Pada
umumnya implementasi mengikuti teorema formasi dan keputusan tersebut.Sangat
jarang di temukan keputusan yang bersifat swalaksana atau self-executing.
Melalui pemahaman yang lebih tentang proses implementasi dilakukan
secara akurat diharapkan akan dapat dirumuskan rekomendasi yang lebih baik
sehingga di masa-masa mendatang implementasi suatu kebijakan akan lebih
memiliki peluang untuk berhasil disbanding dengan sebelumnya kemudian Harold
Laswell (1956) dalam Erwan agus purwanto dan Dhya Ratih Sulistyastuti (2002:17)
sebagai ilmuwan yang pertama kali yang mengembangkan studi tentang kebijakan
public, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan
proses (policy process approach). Menurutnya, agar ilmuwan dapat memperoleh
pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik, maka kebijakan
publik tersebut harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai tahapan-tahapan,
yaitu :agenda-setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi,
dan terminasi. Dari siklus kebijakan tersebut terliat secara jelas bahwa
implementasi hanyalah bagian atau sala satu tahap dari proses besar bagaimana
suatu kebijakan public dirumuskan. (Erwan Adan Dhya R:2002:16)
Meskipun Laswell tidak secara khusus memberi penekanan terhadap arti
penting implementasi kebijakan dari keseluruhan tahapan yang harus dilalui dalam
proses perumusan kebijakan, namun sejak saat itu konsep implementasi kemudian
19
menjadi suatu konsep yang mulai di kenal dalam disiplin ilmu politik, ilmu
administrasi publik, dan lebih khusus lagi disiplin ilmu kebijakan publik yang mulai
di kembangkan.
Konsep tersebut memiliki posisi yang privotal untuk menjelaskan fenomena
implementasi kebijakan publik.Perkembangan selanjutnya bermunculan pakar
yang menaruh perhatian terhadap studi implementasi. Mereka antara lain : Van
Horn dan Van Meter (1975), Teilmann (1980), Klein (1979), Berman (1978), dan
Patton (1978).
Ada Dua konsep pendekatan studi implementasi.Pertama, memahami
implementasi sebagai bagian dari proses atau siklus kebijakan (part of the stage of
the policy process). Implementasi merupakan sala satu tahapan dari serangkaian
proses atau siklus suatu kebijakan. Dalam hal ini implementasi di lihat
sebagai:”administration of the law in which various actors, organization,
procedures, and techniques work together to put adopted policies into effect in an
effort to attain policy or program goals” (Anderson, 1990:172). Dalam pemahaman
ini, implementasi dimaknai sebagai pengelolaan hukum (karena kebijakan telah
disyahkan dalam bentuk hukum) dengan mengarakan semua sumber daya yang ada
agar kebijakan tersebut mampu mencapai atau mewujudkan tujuannya.
Kedua, implementasi kebijakan dilihat sebagai suatu studi atau sebagai
bidang kajian (field of study).Perspektif ini tidak dapat di lepaskan dari upaya yang
dilakukan oleh para ahli untuk memahami problematika itu sendiri. Implementasi
sebagai studi, tentu memiliki berbagai elemen penting, yaitu: subject matter
(ontologi), cara memahami obyek yang dipelajari (epistemologi), dan rekomendasi
20
tindakan yang diperlukan (aksiologi). Secara kronologis, tahapan-tahapan ilmiah
implementasi sebagai suatu studi tersebut adalah:
Menemukan masalah atau fenomena implementasi yang menarik untuk
dikaji.
a.Merumuskan pertanyaan penelitian (research question) yang hendak diteliti.
b.Merumuskan landasan teoritis, konsep, dan variable-variabel penelitian.
c.Menetapkan metodologi yang hendak dipakai untuk mengumpulkan data.
d.Mengolah dan menganalisis data.
e.Rekomendasi kebijakan.
Konsep implementasi juga berkaitan dengan proses penilaian. Penilaian
tersebut dilakukan oleh aktor yang terlibat dalam proses implementasi, dan salah
satu tugas dasar seorang analis implementasi adalah mengevaluasi proses
implementasi dengan mempertimbangkan tujuan dan perangkat terhadap
implementasi kebijakan, analisis implementasi tidak bias terbatasi hanya dengan
pernyataan atau laporan mengenai kondisi setelah proses implementasi. Dan ini
merupakan fokus utama paling awal yang perlu di perhatikan dalam analisis
implementasi.Sukses atau gagal bukanlah satu-satunya tolak ukur relevan terhadap
implemetasi kebijakan publik. Proses pelaksanaan sebuah kebijakan memiliki
logikanya sendiri yang sekaligus menjadi fokus selanjutnya yang perlu di
perhatikan oleh seorang analis implementasi.Suratman (2017:38).
Aspek-aspek proses implementasi selain pencapaian terhadap tujuan
kebijakan yang perlu di perhatikan oleh seorang analis antara lain: strategi dan
taktik yang digunakan oleh para pihak dalam implementasi tujuan, mekanisme
21
penangguhan sebagai satu parameter keputusan, keseragaman motif diantara para
aktor yang terlibat, dua kebutuan pembangunan koalisi dan pengaturan tujuan yang
hendak dicapai. Implementasi tidak hanya sekedar perkara dimana suatu kebijakan
telah memiliki sebuah tujuan dan hasil (bisa jadi beberapa tujuan dan hasil), namun
sebagai tambahan, konsep implementasi juga harus memenuhi dua hubungan yang
berbeda, yakni: fungsi kausal dan fungsi pemenuhan/pencapaian.
Dua ide fundamental dalam konsep implementasi: bahwa rancangan
kebijakan adalah keluaran (output) yang memberikan hasil (outcome) dengan cara
tertentu yang kemudian memenuhi tujuan kebijakan. Penilaian dari proses
implementasi berfokus pada pelaksanaan sebuah kebijakan beserta konsekuensi di
dalamnya. Ini termasuk tiga aktifitas yang berbeda secara logika.
a.Penjelasan mengenai tujuan yang dimaksud (fungsi tujuan),
b.Pernyataan mengenai hubungan antara keluaran dan hasil dalam kerangka
efektivitas kausal (fungsi kausal),
c.Uraian mengenai hubungan antara tujuan dan hasil sebagai upaya untuk
menegaskan jangkauan pencapaian tujuan (fungsi pencapaian).
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli diatas,
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan atau usaha
yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu
pemahaman apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku
atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni
kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya
pedoman-pedoman kebijakan Negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
22
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkam akibat-akibat/dampak nyata
pada masyarakat atau kejadian-kejadian, sehingga diketahui hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
Selanjutnya Pressman dan wildavsky dalam (1973) dalam Suratman
(2017:79), mengemukakan lima buah model implementasi kebijakan yaitu :
a.Model Van Meter dan Van Horn
Model ini mendefinisikan implementasi kebijakan merupakan tindakan
yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok
pemerintah atau swasta, yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijakan.Pandangan keduanya mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor,
dan kinerja kebijakan.Meter dan Horn mengemukakan suatu model yang mencakup
enam variable yang membentuk keterkaitan antara kebijakan dengan kinerja.Dalam
model ini, variable terkait adalah kinerja, yang didefinisikan sebagai tingkat sejauh
mana standar-standar dan tujuan-tujuan kebijakan direalisasikan. Adapun variable-
variabel yang membentuk keterkaitan antara kebijakan dengan kinerja tersebut
adalah :
a)Standar dan tujuan (standards and objectives).
b)Sumber daya (keuangan) (resources).
c)Karakteristik organisasi pelaksana (characteristics of the implementing agencies).
d)Komunikasi antar organisasi dan aktifitas penguatan (interorganzational
communication and enforcement activities);
e)Sikap para pelaksana (disposition of implementers).
23
f)Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik (economic, social, and political
conditions).
b.Model Sabatier dan Mazmanian
Sabatier dan Mazmanian (1979) mengembangkan model control efektif dan
pencapaian. Menurutnya pendekatan tahapan-tahapan kebijakan tidak membantu
untuk memahami proses pembuatan kebijakan karena pendekatan ini membagi
prosesitu menjadi serangkaian bagian yang tidak realistis dan artifisial. Karena itu
dari sudut pandang ini implementasi dan pembuatan kebijakan menjadi satu proses
yang sama. Sabatier dan Mazmanian mendukung sintesis gagasan teoritis top-down
dan botton up menjadi enam syarat yang mencakupi dan mesti ada untuk
implementasi yang efektif dari tujuan kebijakan yang telah di nyatakan secara legal.
Enam syarat yang dimaksud adalah :
a)Tujuan yang jelas dan konsisten, sehingga dapat menjadi standar evaluasi legal
dan sumber daya.
b)Teori kasual yang memadai, dan memastikan agar kebijakan itu mengandung
teori yang akurat tentang bagaimana cara melahirkan perubahan.
c)Struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membantu pihak-pihak
yang mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok yang menjadi
sasaran kebijakan.
d)Para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang menggunakan
kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.
e)Dukungan dari kelompok kepentingan dan “penguasa” di legislatif dan eksekutif.
24
f)Perubahan dalam kondisi sosio ekonomi yang tidak melemahkan dukungan
kelompok dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kasual yang mendasari
kebijakan.
Zabatier dan mazmanian mengklasifikasikan proses implementasi
kebijakan ke dalam tiga variable, yaitu :
1.Variable independen
2.Variable intervening
3.Variable dependen
c.Model Politik- Administratif Grindle
Model Politik- Administratif Grindle (1980) berasumsi bahwa tugas
implementasi adalah menetapkan suatu mata rantai yang memungkinkan arah
kebijakan umum direalisasikan sebagai suatu hasil dari aktifitas
pemerintahan.Dalam hal ini, kebijakan diterjemahkan kedalam program tindakan
guna mencapai tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan tersebut.Program tindakan
itu sendiri dapat dijabarkan lagi kedalam proyek-proyek spesifik yang mudah
dilaksanakan.Kebijakan adalah pernyataan arah, tujuan, dan sarana yang bersifat
luas dan umum. Proses implementasi hanya dapat dimulai apabila arah kebijakan
umum dan tujuan sudah dinyatakan secara spesifik, program tindakan sudah di
desain, dan dana telah dialokasikan untuk pelaksanaannya.
Model implementasi Grindle mencakup dua kelompok factor yang secara
potensial dapat menyebabkan implementasi kebijakan berhasil atau gagal, yaitu :
muatan kebijakan (policy content) dan konteks implementasi. Variabel terkait di
dalam model adalah outcomes kebijakan namun tetap mempertimbangkan struktur
25
implementasi yaitu dengan mempertanyakan tentang apakah program dan proyek
di laksanakan sesuai rencana.
Grindle merumuskan model implementasi sebagai berikut :
a)Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
b)Jenis manfaat yang di hasilkan (tipe of benefit).
c)Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
d)Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
e)Para pelaksana program (program implementators).
f)Sumber daya yang dikerahkan (resources commited).
d.Model Edwards III
Model Edwards III (1980) mempertimbangkan empat factor kritis atau
variable di dalam mengimplementasikan kebijakan public, yaitu : komunikasi,
sumber daya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi. Faktor-faktor internal
birokrasi ini berpengaruh secara langsung terhadap implementasi, tetapi juga saling
tergantung satu dengan yang lainnya.Edwards menilai bahwa masalah utama
administrasi public adalah rendahnya perhatian terhadap implementasi. Secara
tegas dikatakan bahwa ‘without effective implementation the decision of
policymakers will not be carried out successfully’.
Factor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C.
Edward III sebagai berikut :
a)Komunikasi
b)Sumber daya
c)Disposisi atau sikap
26
Model Proses atau Alur Dari Smith
Model botton-up yang di kemukakan oleh Smith (1973) yang di kutip Putra
(2003), memandang implementasi sebagai proses atau alur. Smith menyatakan
bahwa ada empat variabel yang perlu di perhatikan dalam proses implementasi
kebijakan yaitu :
a)Idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh
perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan
meransang target grup untuk melaksanakannya.
b)Target grup, yaitu bagian dari policy stakeholdersyang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang di harapkan oleh perumus
kebijakan. Karna mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka
diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang
dirumuskan.
c)Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit
birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
Model Implementasi Kebijakan Adam Smith
gambaran lebih lanjut dapat dilihat pada gambar berikut :
a. Substantive and Procedural Policies
Substantive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang dilihat dari
substansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah, seperti kebijakan pendidikan,
kebijakan ekonomi, dan lain sebagainya.
Procedural policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang dilihat dari
pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya (policy stakeholders).
27
Adapun dalam hal ini pembuatan suatu kebijakan publik meskipun ada
instansi/organisasi pemerintah yang secara fungsional berwenang membuatnya,
tetapi dalam pelaksanaan pembuatannya banyak instansi/organisasi lain yang
terlibat.
b. Distributive, Retributive, and Regulatory Policies
Distributive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pemberian pelayanan atau keuntungan kepada individu-individu,
kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan.
Retributive policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pemindahan alokasi kekayaan, kepemilikan, atau hak-hak.
Regulatory policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pembatasan atau pelarangan terhadap perbuatan atau tindakan. Contohnya
adalah kebijakan tentang larangan memiliki.
c. Material Policy
Material policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi
penerimanya.
d. Public Goods and Private Goods Policies
Public goods policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang
penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan oleh pemerintah, untuk
kepentingan orang banyak. Contohnya kebijakan tentang perlindungan keamanan
dan penyediaan jalan umum.
28
Private goods policy yang dimaksud adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan oleh pihak swasta,
untuk kepentingan individu-individu (perorangan) di pasar bebas dengan imbalan.
Contohnya kebijakan pengadaan tempat hiburan, hotel, dan lain sebagainya
Selanjutnya beberapa aspek yang perlu dicermati dalam memahami difinisi
kebijakan public menurut Makhya (2006: 83-84). Pertama, kebijakan publik adalah
tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Jadi, dalam
pemahaman ini, maka yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan
adalah pemerintah. Maka pihak swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan publik. Kedua, tidak semua
tindakan pemerintah bisa dikategorikan dalam pengertian kebijakan publik.
Istilah publik, menjadi kata kunci untuk memberikan pengertian bahwa tindakan
pemerintah walaupun secara prosedural mengatasnamakan untuk kepentingan
publik, tetapi tindakannya bersifat kepentingan personal, maka tidak bisa
dikategorikan sebagai kebijakan publik. Ketiga, setiap kebijakan pemerintah
harus mengikat pada publik. Kebijakan-kebijakan yang tidak mengikat hanya
bersifat simbolis (Symbolic Policies). Keempat, kebijaksanaan pemerintah harus
ditujukan kepada kepentingan publik dan didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu.
Model implementasi kebijakan Adam Smith
Policy
Tension
Policy
Making
process
Implementing
Organization
Target
Group
Idealized Policy
29
Transactions
| Feedback Institutions
B. Kebijakan Publik
Asal dari kata kebijakan dan publik. Menurut Islamy (1991) dalam Wahab
(2001) kebijakan public (public policy) adalah Serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan
seluruh masyarakat. Pembuatan kebijakan merupakan suatu tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dan berorientasi pada upaya
pencapaian tujuan demi kepentingan masyarakat. Suatu proses kebijakan,
menurut Charles O. Jones dalam Wahab (2001, h.29) sedikitnya terdapat empat
golongan atau tipe aktor (pelaku) yang terlibat, yaitu: golongan rasionalis,
golongan teknisi dan golongan inkrementalis serta golongan reformis.
Syafiie dalam Tahir (2014:20) mendefiniskan kebijakan publik adalah
semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan merupakan upaya
memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya
menjadi penganjur,inovasi,dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbalik
dan tindakan terarah, sedangkan menurut Anderson menjelaskan bahwa
kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan
seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan masalah Anderson
Environmental Factors
30
(1984) dalam Tahir (2014). Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dasar, dalam melaksanakan
pekerjaan, kepemimpinan serta cara bertindak (tentang perintah organisasi dan
sebagainya).
Sementara itu, Carl Friedrich dalam Wahab (2001) menyatakan bahwa
kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang disusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan
dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Kebijaksanaa Negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah (Agustino,
2006). Menurut David Easton dalam Winanrno (2012) mendefinisikan
kebijakan sebagai akibat aktifitas pemerintah (the impact of government
activity). Untuk mendefinisikan tentang masalah kebijakan kita harus merujuk
pada definisi dari kebijakan publik itu sendiri seperti yang telah dijelaskan di
atas.Masalah kebijakan merupakan sebuah kesenjangan dari implementasi
sebuah kebijakan di dalam masyarakat. Terjadinya ketidakserasian antara isi dari
kebijakan terhadap apa yang terjadi di lapangan merupakan masalah dari
kebijakan tersebut.
Adapun berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas mengenai pengertian
kebijakan publik, maka dapat disimpulkan kebijakan publik merupakan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan
pemerintah. Kebijakan tersebut diartikan baik untuk melakukan atau tidak
31
melakukan sesuatu dengan mempunyai tujuan tertentu dan ditujukan untuk
kepentingan masyarakat. Menurut James L. Anderson dalam LAN (2008:6-8),
jenis-jenis kebijakan publik dapat dikelompokkan, antara lain sebagai berikut:
C. Pedangang Kaki Lima
Peningkatan penduduk di Kota Makassar yang memiliki kecendrungan yang
semakin besar. Pusat kota tersebut memiliki kegiatan dan daya tarik yang besar bagi
penduduk desa untuk melakukan urbanisasi. Urbanisasi merupakan respon terhadap
harapan untuk mendapatkan penghasilan dan pekerjaan yang dianggap lebih baik.
Perkembangan di Kota Makassar yang semakin terkonstruksi oleh
kemajuan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri membuat level
keterampilan menjadi semakin tinggi. Akibatnya, penduduk yang bermukim di
sekitaran kota Makassar semakin tidak mempunyai kesempatan untuk berkerja di
sektor formal, sehingga mereka memilih untuk bekerja di sektor informal. Ratna
Sari, (2017)
Berdasarkan definisi tersebut, semua PKL yang menempati area publik atau
tanah-tanah milik pemerintah adalah ilegal, tak terkecuali PKL Jl. KH Ramli dan
Jl. KH Wahid Hasyim serta Jl. HOS Cokroaminoto. Akan tetapi, PKL diharapkan
menjadi mitra pemerintah dalam membangun pilar-pilar perekonomian masyarakat
(quilljournal.wordpress.com).
Menurut Wirisardjono (2003) bahwa PKL adalah kegiatan sector marginal
(kecilkecilan) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun
penerimanya.
32
b. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikatakan”liar”)
c. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan
diusahakan dasar hitung harian
Definisi-definisi tentang PKL di atas menunjukkan bahwa siapa saja
berpeluang untuk menjadi PKL, kemudahan ini mendorong pesatnya jumlah PKL
di kota-kota karna usaha ini cukup menjanjikan bagi mereka yang tidak tertampung
di sektor formal, serta bagi mereka yang termasuk angkatan kerja yang tidak
memiliki keahlian dan keterampilan Mustafa (2008:9) menyatakan bahwa jenis
usaha sektor ini paling berpengaruh karena kehadirannya dalam jumlah yang cukup
besar mendominasi sektor yang bekerja memenuhi kebutuhan masyarakat
perkotaan, terutama golongan menengah ke bawah.
2. Penataan tempat usaha Pedagang Kaki Lima di jalan KH Ramli sampai
dengan Jalan HOS Cokroaminoto (Pasar Sentral)
Kehadiran PKL di suatu kota pada dasarnya tidak direncanakan sehingga
memunculkan permasalahan bagi suatu kota karena tidak tertata dengan rapi. Untuk
mengembalikan ketertiban suatu kota muncul gagasan relokasi. Relokasi yaitu
suatu upaya menempatkan kembali suatu kegiatan tertentu ke lahan yang sesuai
dengan peruntukannya Harianto (2001). Dapat disimpulkan relokasi adalah usaha
memindahkan PKL dari lokasi yang tidak sesuai ke sebuah lokasi yang dinilai layak
menampung pedagang dengan memperhatikan semua aspek. Khususnya aspek
ketertiban, keindahan dan kebersihan. Umumnya PKL tidak mendapatkan subsidi
apapun dari pemerintah, modal yang dikeluarkan diperoleh dari meminjam sanak
33
family atau orang-orang terdekat. Pemerintah memandang sektor informal hanya
sebagai ancaman yang harus ditertibkan bukan sebagai sektor penggerak ekonomi,
maka terjadi kesalahan presepsi dalam memandang sektor informal Mubyarto
(2002), sehingga pendekatkan yang diterapkan pun tidak menyentuh akar
permasalahan.
Untuk itu diperlukan dukungan pemerintah dalam pertumbuhan sektor
informal, dengan cara menjamin serta mengatur perkembangan mekanisme pasar
dan melindungi dari ancaman monopoli perusahaan besar yang bersifat formal.
Oleh karenanya, pemerintah mempertimbangkan lagi keberadaan sektor informal,
jika keberadaan sektor informal mampu diberdayakan dengan baik, bisa menjadi
potensi daerah dalam mengurangi angka pengangguran.
Upaya kebijakan pemerintah dalam merelokasi PKL bertujuan untuk
mempergunakan badan jalan dengan semestinya selain dari itu pemerintah juga
bertujuan untuk meningkatkan kesejatraan PKL. Kegiatan penataan tempat usaha
merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pengelolaan PKL.
Dalam penataan tempat usaha tersebut walikota berwenang untuk menetapkan,
memindahkan dan menghapus lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan
sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan di sekitarnya Maulana
(2004).
Ratnasari (2017) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa berdasarkan
hasil sensus ekonomi 2016 terdapat 132.444 usaha di Kota Makassar di mana
95,22% (126.115 usaha) adalah usaha mikro kecil menengah dan sisanya 4,78%
(6.329) adalah usaha menengah besar.
34
Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal kota yang
mengembangkan aktifitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan
tidak terdaftar (Evers dan Korf, 2002:234) selanjutnya menurut International
Labour Organization (ILO) pedagang kaki lima didefinisikan sebagai sektor yang
mudah dimasuki oleh pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi
dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat
karya, ketrampilan yang dibutuhkan dipeoleh di luar bangku sekolah, tidak dapat
diatur oleh pemerintah dan bergerak di pasar persaingan penuh.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan
yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-
pindah dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha
tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat
umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak
mempunyai legalitas formal. Namun pengertian tentang pedagang kaki lima terus
berkembang sehingga sekarang menjadi kabur artinya.
Selanjutnya dampak sosial ekonomi dapat dilihat dari kacamata positif dan negatif
sehingga dapat lebih berimbang dalam memberikan penilaian. Yang bersifat positif
yaitu meningkatnya kelayakan dan kenyamanan usaha, terbukanya kesempatan
kerja, perubahan status PKL menjadi pedagang legal. Dampak negatif yaitu
menurunnya pendapatan, meningkatnya biaya operasional, melemahnya jaringan
35
sosial, dan menurunnya kesempatan pedagang untuk ikut dalam kelompok-
kelompok sosial non formal (Suryantika Sinaga, 2004: 134).
Keempat variabel di atas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu
kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbale balik, oleh
karena itu sering menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau
tawar menawar antara formulator dan implementor kebijakan.
Smith menggunakan model teoritisnya dalam bentuk system dimana suatu
kebijakan sedang diimplementasikan, maka interaksi di dalam dan di antara
keempat faktor tersebut mengakibatkan ketidaksesuaian dan akan menimbulkan
tekanan atau ketegangan. Ketidaksesuaian, ketegangan dan tekanan-tekanan
tersebut menghasilkan pola-pola interaksi, yaitu pola-pola yang tidak tetap yang
berkaitan dengan tujuan dari suatu kebijakan.
D. Kebijakan Pemerintah dalam Penataan Pedangan Kaki Lima
Kebijakan publik itu sendiri mempunyai arti serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat. M. Irfan Islamy (2004 h.20). Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan
salah satu sektor informal yang dominan di daerah perkotaan, sebagai wujud
kegiatan ekonomi skala kecil yang menghasilkan dan atau mendistribusikan barang
dan jasa. Barang-barang yang dijual yaitu barang-barang convenience (berkatagori
menyenangkan) seperti makanan hingga souvenir. PKL menjajakan dagangannya
berkeliling atau mengambil tempat di trotoar dan emper toko.
36
Pertumbuhan PKL yang demikian pesat tersebut berdampak positif dan
negatif. Positif, karena dapat menjadi sumber bagi pendapatan asli daerah, dapat
menjadi alternatif untuk mengurangi pengangguran, dan dapat melayani kebutuhan
masyarakat khususnya bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Pedagang kaki lima adalah suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit,
berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan
kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang
dianggap strategis dalam lingkungan yang informal.Pedagang kaki lima menurut
Alam, dkk (2003:30). Ismawan (2002) menjelaskan bahwa Secara garis besar
karakteristik PKL, digambarkan sebagai berikut: 1. Informalitas. Sebagian besar
PKL bekerja diluar kerangka legal dan pengaturan yang ada, maka keberadaan
mereka pun tak diakui oleh pemerintah setempat. 2. Mobilitas. Aspek informalitas
dari PKL juga membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan aktifitas
yang dijalani, sehingga usaha ini merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki
dan ditinggalkan. Apabila terdapat peluang maka dengan banyak pelaku yang turut
serta, sebaliknya apabila terjadi perubahan peluang ke arah negatif pelakunya akan
berkurang.
Pedagang kaki lima berpotensi dalam bidang pembangunan ekonomi
sekaligus sebagai pengganggu ketertiban umum untuk itu dibutuhkan peran sosial
dalam merumuskan kebijakan bagaimana pedagang kaki lima bisa tetap berjalan
namun tidak sampai mengganggu ketertiban umum. Menurut Charles Lindblom
dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan (2004) mengatakan bahwa untuk memahami
siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-
37
sifat semua pemeran serta bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang
atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki dan bagaimana mereka saling
berhubungan. Untuk itu Pemerintah harus berusaha untuk mengatasi permasalahan
ini dengan bijak dan terbuka dengan menyadarkan kepada masyarakat baik
terhadap pedagang kaki lima itu sendiri maupun konsumennya untuk selalu
berusaha mentaati segala aturan yang ada dalam pemerintahan.
Kebijakan pemerintah yang harus diambil dalam mengatasi permasalah
tersebut menurut Charles Lindblom dalam Hessel Nogi S. Tangkilisan (2004)
adalah :
a.Alokasi tempat
Pemerintah tidak hanya memberikan peringatan kepada pedagang kaki lima
saja yang melakukan kesalahan namun juga harus mampu memberikan solusi untuk
mengatasi permasalah tersebut salah satunya adalah memberikan lahan atau tempat
untuk berjualan kepada pihak pedagang kaki lima.
b.Sarana dan prasarana
Untuk dapat menjual dagangannya maka pedagang kaki lima harus bisa diberikan
sarana dan prasarana yang baik sehingga baik pedagang maupun para pengunjung
segan dan menikmati suasana yang menyenangkan sehingga betah dan krasan bisa
ada ditempat tersebut.
c.Adanya peraturan dan larangan
Baik pedagang kaki lima maupun pengunjung tetap harus mentaati peraturan dan
larangan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk pelaksanaan kegiatan
dagang dapat berjalan secara teratur, tertib dan tidak sendiri-sendiri.
38
Selanjutnya Ramdhani (2005) menerangkan hal-hal yang menjadi
pertimbangan dalam penentuan lokasi relokasi pedagang kaki lima, yaitu : Pertama
kestrategisan lokasi, yaitu konsumen mudah menjangkau lokasi usaha PKL karena
adanya aksesibilitas yang mendukung. Kedua faktor visual, memberikan kesan
harmonis dan asri sehingga mudah menarik minat konsumen, Ketiga hirarki
pembangunan, jangkauan pelayanan yang efektif dan efisien, Keempat sewa atau
penjualan tanah/ kios yang murah sehingga tidak memberatkan pedagang.
Begitupun dengan apa yang diungkapkan menurut Maulana (2004) dalam
penelitiannya bahwa upaya untuk mewujudkan pemberdayaan para pedagang kaki
lima, yaitu : pertama, memberikan kebijakan yang melindungi keberadaan PKL,
kedua, memanfaatkan lahan yang kurang produktif menjadi lokasi berjualan PKL,
ketiga merelokasi tempat-tempat berjualan para PKL, keempat melakukan
penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah, untuk mengembangkan
keahlian para PKL.
E.Kerangka Pikir
Kehadiran pedagang kaki lima merupakan salah satu unsur yang perlu
diperhatikan dalam dunia perdagangan di Indonesia dari masa ke masa. Sebagai
salah satu sektor informal, pedagang kaki lima tidak mungkin dihindari atau
ditiadakan, pedagang kaki lima bagi sebuah kota tidak hanya sebagai fungsi
ekonomi fungsi sosial dan budaya. Aktivitas perdagangan terutama pedagang kaki
lima yang ada kota makassar berkembang sangat pesat kerena menyerap tenaga
kerja yang besar dan modal usaha yang tidak terlalu besar, sehingga pedagang kaki
lima ini menyebar begitu cepat.
39
Dengan berkembangnya ibu kota makassar membuat aktivitas di jalan
semakin tinggi pula kawasan pedagang kaki lima yang ada di kawasan bahu jalan
dan semakin banyak pula permasalahan yang timbul. Permasalahan-permasalahan
yang sering terjadi dari hari ke hari adalah kepadatan lalu lintas, tingkat kesadaran
pedagang kaki lima untuk kebersihan sekitar lapak dagangannya, pedagang kaki
lima yang tidak tertib, masalah parkir yang semakin hari semakin tidak tertib,
gangguan keamanan, gerobak yang tidak dimasukan ke gudang pada malam hari
sehingga menganggu jalur jalan yang menganggu penggunjung yang ingin
berbelanja.
Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan pemerintah
dalam merelokasi pedangan kaki lima (PKL) di New Mall Kota Makassar, dari
opservasi awal peneliti menemukan bahwa kebijakan pemerintah dalam merelokasi
adalah usaha memindahkan PKL dari lokasi yang tidak sesuai ke sebuah lokasi
yang dinilai layak menampung pedagang dengan memperhatikan semua aspek.
Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan pemerintah
dalam merelokasi pedangan kaki lima (PKL) di New Mall Kota Makassar, apakah
implementasi dilaksanakan berhasil atau berjalan secara lancar atau tidak. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir sebagai berikut.
Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam merelokasi
Pedagang Kaki Lima di New Mall Kota Makassar
Faktor Pendukung :
1. Faktor Internal
2. Faktor Eksternal
Implementasi Kebijakan
Menyangkut :
1. Sumber Daya
2. Komunikasi
3. Struktur Birokrasi
4. Diposisi atau Sikap
Faktor Penghambat:
1. Anggaran/baiaya
2. Koordinasi
40
Gambar I : Skema Kerangkar Pikir
Kebijakan relokasi pedagang kaki lima dari Jl. KH Ramli, Jl. KH Wahid
Hasyim, dan Jl. HOS Cokroaminoto adalah sebuah teknik usaha yang dilakukan
pemerintah kota makassar untuk memindahkan suatu objek dari satu tempat ke
tempat lainnya yang di anggap layak dan lebih baik yaitu new mall kota makassar.
Relokasi Pedagang kaki lima(PKL) merupakan suatu bentuk aktivitas atau kegiatan
yang dilakukan pemerintah kota Makassar guna melakukan penataan, pertiban dan
pengelolaan atau pembinaan PKL dan Pemerintah juga menyediakan tempat baru
yang lebih layak dan lebih baik dari sebelumnya.
Dampak secara langsung dari program yang dilakukan terhadap kelompok
sasaran. Kriteria ini sangat menentukan bagi keikutsertaan dan respon warga
masyarakat dalam mengimplementasikan dan mengelola hasil-hasil program
tersebut. Tanpa adanya kepuasan dari pihak sasaran kebijakan, maka program
tersebut dianggap belum berhasil.
Pencapaian tujuan atau hasil merupakan suatu yang mutlak bagi keberhasilan suatu
pelaksanaan kebijakan. Meskipun kebijakan telah dirumuskan dengan baik oleh
orang-orang yang ahli di bidangnya dan juga telah diimplementasikan, namun tanpa
Efektivitas Relokasi
Pedagang Kaki
Lima
41
hasil seperti yang diharapkan maka dapat dikatakan bahwa program tersebut tidak
berhasil atau gagal.
Pemilihan indikator hasil di atas didasarkan pada alasan bahwa indikator
tersebut merupakan pengukur yang tepat dari efektivitas kebijakan apabila dilihat
dari hasil setelah dilaksanakannya kebijakan.
PKL merupakan usaha sektor informal yang tak jarang menimbulkan masalah di
perkotaan. Keberadaan PKL dianggap telah mengganggu ketertiban dan kebersihan
kota. Begitu pula dengan PKL yang berada di kota Makassar, khususnya di Jalan
KH Ramli sampai dengan Jalan HOS Cokroaminoto.
Di sisi lain, PKL dipandang sebagai penyakit kota. Keberadaan mereka di fasilitas
umum dan fasilitas sosial dinilai merusak estetika kota. Apalagi mereka menempati
bagian jalan. PKL seringkali juga mengganggu ketertiban, karena pembeli
berkendaraan yang datang biasanya memarkirkan kendaraannya di badan jalan
akibat keterbatasan tempat. Kondisi ini akan berpotensi menimbulkan kemacetan
lalu lintas.
F.Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini di lihat dari latar belakang masalah kemudian di
rumuskan dalam rumusan masalah di kaji berdasarkan teori dalam tinjauan
pustaka.Adapun fokus penelitian implementasi kebijakan pemerintah dalam
merelokasi pedagang kaki lima di new mall pasar sentral kota makassar.
G.Deskripsi Fokus Penelitian
a. Sumber daya
42
Sumber daya adalah segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya
manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan
b. Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari komunikor kepada
komunikan.
c. Struktur birokrasi
Struktur birokrasi adalah suatu pelaksana kebijakan yang memberikan ruang
bagi para pelaksana melakukan berbagai koordinasi kepada semua unit terkait
sehingga dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan
d. Disposisi
Disposisi adalah suatu kecendrungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana
kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang
sesuai dengan tujuan atau sasaran
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Adapun menjadi lokasi penelitian ini adalah New Mall Pasar Sentral Kota
Makassar. Penelitian ini dilaksanakan di PD Pasar Makassar Raya kota Makassar
dan khususnya di lokasi yang kini ditempati PKL yaitu di Pasar Sentral yang
terletak di jalan KH Ramli sampai dengan Jalan HOS Cokroaminoto.
Pemilihan Pasar Sentral sebagai lokasi penelitian yaitu karena isu tentang
relokasi PKL di pasar tersbut memang sedang hangat dibicarakan dengan fakta
yang ada yaitu hanya beberapa PKL saja yang menempati kios-kios di New
Makassar Mall.
Selain itu juga permasalahan yang muncul dalam proses pelaksanaan
relokasi PKL di pasar sentral tersebut menjadi hal yang menarik untuk diketahui
lebih lanjut dengan diadakannya penelitian di lokasi tersebut.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
44
Penelitian ini menggunakan bentuk deskriptif kualitatif yang memaparkan,
menafsirkan dan menganalisis data yang ada. Penelitian deskriptif yakni studi kasus
yang mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret
kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan
studinya. Selain itu, penelitian ini juga ditunjang dengan studi kepustakaan untuk
mengetahui relevansi pengetahuan yang ditemukan di lapangan dengan pendekatan
teori yang ada.
C. Sumber data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu data yang
paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Akan tetapi, demi
kelengkapan dan kebutuhan dari masalah yang diteliti maka akan dikumpulkan pula
data pelengkap yang berguna untuk melengkapi data pokok. Adapun jenis data yang
digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1) Data primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri yang diperoleh
melalui wawancara. Sedangkan yang akan diwawancarai antara lain:
a. Pedagang Kaki Lima di Jalan KH Ramli sampai dengan Jalan HOS
Cokroaminoto yang sudah pindah di tempat kios PKL yang baru yakni di New
Makassar Mall
b. Kepala Pasar Sentral
c. Aparat Kantor Pengelolaan PKL, yaitu Kepala Dinas bidang Pengelolaan PKL
2) Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah
dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain, yang biasanya terbentuk publikasi-
45
publikasi. Yaitu melalui catatan-catatan lapangan hasil observasi penelitian dan
pengumpulan dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian.
D. Informan Penelitian
Informan dalam hal ini yaitu orang yang berada pada ruang lingkup penelitian,
artinya yaitu orang yang dapat menyerahkan suatu informasi tentang kondisi dan
situasi pada latar penelitian.
Tabel I.I Informan Penelitian
No Nama Jumlah Keterangan
1 Syamsul Bahri, S. E 1 Kepala Bagian Umum
2 Asnawi M. Aras, S. H 1 Kepala Subbagian Penagihan
3 Andi Samsuddin
Effendi
1 Kepala Seksi Ketertiban Umum
4 zulkarnaim 1 Pedagang di Blok A
5 Farid 1 Pedagang di Blok B
6 Salsa 1 Pedagang di Blok C
7 Putri 1 Pedagang di Blok C
Adapun narasumber atau informan yang ada dalam penelitian ini yaitu orang-
orang yang berwenang untuk menyerahkan informasi tentang bagaimana
Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Pasar Sentral Kota
46
Makassar. Adapun beberapa informan yaitu Kepala Satpol PP, Pengelola Pasar
Sentral, Pedagang Kaki Lima, dan Masyarakat.
Berdasarkan petunjuk dari informan awal seperti rencana informan di atas
peneliti mengembangkan penelitian ke informan lainnya, begitu seterusnya sampai
penelitian dianggap cukup mendapatkan informasi yang dibutuhkan, proses
penelitian menggunakan teknik Purposive sampling, yaitu pengambilan sampel
berdasarkan penilaian dari peneliti mengenai siapa-siapa saja yang pantas untuk
dijadikan sampel, oleh karena itu agar tidak sangat subjektif, peneliti harus punya
latar belakang pengetahuan tertentu mengenai sampel dimaksud agar peneliti benar-
benar bisa mendapatkan sampel yang sesuai dengan persyaratan atau tujuan dari
penelitian (memperoleh data yang akurat).
E.Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui 3 (tiga)
cara sebagai berikut :
a. wawancara
Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in-deph
interviewing) yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada
informan dengan pertanyaan yang bersifat openended dan mengarah pada
kedalaman informasi serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal
terstruktur guna menggali pandangaan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang
sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasinya secara lebih
jauh dan mendalam. (Sutopo, 2002)
b. Observasi
47
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa
peristiwa, tempat atau lokasi dan benda; serta rekaman gambar, yaitu suatu lokasi
dan benda serta rekaman gambar yang menyangkut relokasi di Pasar Sentral kota
Makassar. (Sutopo, 2002)
c. Dokumentasi
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melihat dan mencatat data yang ada di
lapangan maupun yang tersimpan di kantor berupa catatan, literatur, arsip, laporan-
laporan yang berhubungan dengan masalah penelitian.
F.Teknik Analisis Data
Tujuan dari menganalisis data adalah untuk menyusun dan
mengintepretasikan data yang sudah diperolehDi dalam analisis data dalam
penelitian kualitatif terdapat tiga tahapan, yaitu reduksi data, sajian data dan
penarikan simpulan dan verifikasi yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Reduksi data
Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang
merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari
fieldnote (Sutopo, 2002:91). HB Sutopo juga menambahkan bahwa reduksi data
berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Bahkan prosesnya diawali
sebelum pelaksanaan pengumpulan data. Sutopo (2002) lebih lanjut menyatakan
bahwa reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan
48
mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan
(2002).
b. Sajian Data
Kegiatan kedua dalam kegiatan analisis data adalah penyajian data. Iskandar
(2009:141-142) menjelaskan bahwa biasanya dalam penelitian, Peneliti akan
mendapat data yang banyak. Data yang didapat tidak mungkin dipaparkan secara
keseluruhan. Untuk itu, dalam penyajian data, data dapat dianalisis oleh peneliti
untuk disusun secara sistematis, sehingga data yang diperoleh dapat menjelaskan
atau menjawab masalah yang diteliti.
c. Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Menarik simpulan dan verifikasi merupakan kegiatan analisis yang ketiga. Iskandar
(2009:142) menjelaskan bahwa mengambil kesimpulan merupakan analisis
lanjutan dari reduksi data, dan display data sehingga data dapat disimpulkan.
G. Pengabsahan data
Validitas sangat mendukung hasil akhir dari penelitian ini, oleh karena itu
diperlukan suatu teknik untuk memeriksa suatu keabsahan data. Keabsaha data
dalam penelitian ini diperiksa dengan menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi
bermakna silang yakni mengadakan pengecekan akan kebenaran data yang akan
dikumpulkan dari sumber data dengan teknik pengumpulan data yang lain serta
pengecekan pada waktu yang berbeda.
49
1. Triangulasi sumber yaitu dikerjakan dengan cara mengecek atau mencocokan
suatu data pada sumber lain keabsahan data yang telah didapatkan sebelumnya
untuk mendapatkan sebuah hasil yang ada.
2. Triangulasi pengumpulan data yaitu bermakna data yang diperoleh dari satu
sumber dengan menggunakan metode atau teknik tertentu, diuji keakuratan dan
ketidakakuratan.
3. Triangulasi waktu berkenaan dengan waktu pengumpulan data peneliti
melakukan wawancara dengan informan dalam kondisi waktu yang berbeda untuk
menentukan kredibilitas data
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi atau Karakteristik Objek Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Perusahaan Daerah Makassar Raya atau bisa disingkat PD Pasar Makassar
Raya adalah sebuah perusahaan atau organisasi yang bergerak di bidang
pemungutan distribusi pasar tradisional, seperti Pasar Sentral, Pasar Terong dan
pasar tradisional lainnya. Perusahaan Daerah Makassar Raya di bentuk oleh
Walikota Makassar berdasarkan perubahan atas peraturan daerah Kota Makassar
Nomor 17 Tahun 2002.
50
Untuk kelancaran pelaksanaan relokasi Pedagang kaki lima di Pasar
Sentral, Perusahaan Daerah Makassar Raya membentuk
a. PD (Perusahan Daerah) Pasar New Mall Makassar
Perusahaan daerah Pasar New Mall yang di pimpin oleh Sudirman Lannurung. PD
Pasar New Mall Makassar mempunyai tugas memungut retribusi pedagang kaki
lima resmi yang berada di dalam dan diluar bangunan New Mall Makassar yang di
tetapkan oleh Walikota Makassar.
Kepala perusahaan daerah Pasar Makassar Raya melaporkan secara bersekala
retribusi setiap harinya kepada Ketua PD pasar lalu melaporkan kembali kepada
Walikota Makassar.
b. PD (Perusahan Daerah) Pasar Makassar Raya
Perusahaan daerah Pasar Makassar Raya yang di ketuai Oleh Walikota Makassar.
PD Pasar Makassar Raya mempunyai tugas merumuskan kebijakan, strategi, dan
langkah-langkah yang di perlukan dalam rangka merelokasikan PKL yang berada
di Pasar Tradisional di Kota Makassar sesuai dengan kebijakan, strategi, dan
pedoman yang di tetapkan oleh Walikota Makassar.
Perusahaan daerah Pasar Makassar Raya melaporkan secara bersekala pelaksanaan
tugasnya kepada Ketua PD pasar lalu melaporkan kembali kepada Walikota
Makassar.
2. Visi dan Misi PD Pasar Makassar Raya
Adapun Visi dan Misi Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya yaitu :
51
Visi : Terwujudnya Pasar yang nyaman untuk semua, penunjang pendapatan asli
Kota Makassar
Misi :
1. Merekontruksi bangunan pasar, menjadi seperti pasar modern yang berwawasan
ramah lingkungan (Pasar Sehat).
2. Mewujudkan pengelolaan pasar dengan pelayanan publik yang berkualitas,
profesional, memiliki intregritas yang tinggi.
3. Mewujudkan management pengelolaan pasar yang unggul/ modern/
berkontribusi tinggi menunjang pendapatan asli daerah Kota Makassar.
3. Susunan keanggotaan Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya
Ketua : Walikota Makassar
Direktur Utama : Syafrullah, SE
Satuan Pengawas Internal (SPI) / Direktur Umum : Thamrin Mensa, S.T , MM
Kelompok Jabatan Fungsional / Direktur Oprasional : Saharuddin Ridwan, S.S,
MM
Kabag Keuangan : Ahriani S.Sos
Kabag Umum : Syamsul Bahri, S.E
Kabag Pengelolaan : Yunita Yusuf , S.T
Kabag Ketertiban dan Keindahan : Muh. Cahyadi W. Putra, S.H
Kasubag Anggaran dan Pembukuan : Lutfi Gunawan Alam, S.E
Kasubag Administrasi dan Kepegawaian : Wahyudi Falarungi, S.H
Kasubag Perencaan Fisik dan Realibitas : Heril Ahmad, S.T
Kasubag Kebersihan dan Keindahan : Abd Latief
52
Kasubag Pengelolaan Karcis : Ismail
Kasubag Pengelolaan Asset : Akbar Idris, AMd
Kasubag Kemitraan : Fany Firmansyah
Kasubag Pembinaan dan Penertiban : Bahtiar. R
Kasubag Humas dan Hukum : Sumardin
Kasubag Penagihan : Asnawi M. Aras, S.H
B. Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam merelokasi Pedagang Kaki
lima di New Mall Pasar Sentral Kota Makassar.
Kebijakan publik berasal dari kata kebijakan dan publik. Menurut Islamy
(2004) kebijakan publik (public policy) adalah, “Serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat”. Pembuatan kebijakan merupakan suatu tindakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh pemerintah dan berorientasi pada upaya pencapaian tujuan demi
kepentingan masyarakat namun pada kenyataannya hampir di setiap kebijakan
yang di buat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dapat dipastikan adanya
masalah awal yang muncul sehingga Pemerintah tersebut melakukan suatu trobosan
dengan membuat suatu kebijakan yang tepat dalam mengalami masalah tersebut.
Sumber daya bahan galian merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang
penting untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan penunjang pembangunan.
Relokasi Pedagang Kaki Lima yang tidak tertata di Kota Makassar terus
meningkat sehingga PEMDA membuat suatu kebijakan yang tertuang dalam
Keputusan Walikota Makassar Nomor 20 Tahun 2004 tentang prosedur tetap
53
(PROTAP) penertiban bangunan dan pembinaan pedagang sector informal (PKL)
dalam wilayah Kota Makassar dan yang terakhir Peraturan daerah kota makassar
nomor 12 tahun 2014 tentang pengurusan pasar dalam daerah kota makassar
bertujuan mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah dan
sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari hasil penelitian peneliti, yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan pemerintah dalam merelokasi pedagang kaki lima di kota makassar
bahwa keberhasilan suatu implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak faktor
dan masing-masing faktor saling berhubung satu dengan yang lain antara golongan
pelaku actor yang terlibat didalam kebijakan tersebut. Hal ini didukung dengan apa
yang diungkapkan Charles O. Jones (dalam Wahab, 2001) yang menegaskan bahwa
Suatu proses kebijakan, sedikitnya terdapat empat golongan atau tipe aktor (pelaku)
yang terlibat, yakni: golongan rasionalis, golongan teknisi, golongan inkrementalis
dan golongan reformis. Golongan – golongan tersebut yang sebagai aktor dalam
merelokasi Pedagang Kaki Lima yang saat ini berkembang pesat di kota makassar
dengan alas an bahwa semakin banyaknya tingkat kelahiran sehingga pengangguran
dan pedangang kaki lima berkembang pesat sebagai alternative pekerjaan yang
muda di kerjakan.
Dalam mensukseskan kebijakan pemerintah Perusahaan Daerah Pasar
Makassar Raya mengadakan kegiatan sosialisasi dan mengundang para pedagang-
pedagang Kaki Lima yang berada di jalan Jl. KH Ramli, Jl. KH Wahid Hasyim, dan
Jl. HOS Cokroaminoto guna memberikan arahan tentang kebijakan relokasi
54
tersebut adalah kebijakan yang terbaik demi untuk meningkatkan kesejahteraan
PKL dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan
proses kebijakan sehingga dalam mengkaji lebih dalam tentang kebijakan
Pemerintah Kota Makassar dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima peneliti
menggunakan teori Edward III Pemilihan teori Edwards III didasarkan pada
implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang
apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil Agustino (2006:115),
adapun teori tersebut adalah :
1. Komunikasi (Communication)
2. Sumber Daya (Resources)
3. Disposisi (Disposition)
4. Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)
Sehubungan dengan penjelasan diatas, merupakan hasil dari reductions (Reduksi
data) dan sampai pada konteks konklusif data yang bersumber dari hasil
wawancara, hasil observasi dan dokumentasi penulis pada saat melakukan
penelitian.
C. Pedagang di Pasar Sentral (New Makassar Mall)
Pedagang yang menjual di pasar sentral (New Makassar Mall) ditempatkan
sesuai dengan jenis barang dagangannya, pedagang tersebut dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Pedagang di Blok A : Induknya Mall
55
Pedagang yang menempati bangunan bertingkat yang berupa kios-kios kecil
yang memiliki ukuran 2m x 2,20 dan 2m x 2,23. Bangunan ini di bangun oleh pihak
swasta (PT.Melati Tunggal Inti Raya) sebagai pihak pengelola pasar New
Makassar Mall yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Makassar. Di dalam
mall ini menjual berbagai macam kebutuhan primer dan sekunder.
a. Pedagang di Blok A : Ruko
a) Pedagang Kios / Lapak, adalah pedagang yang menempati bangunan ruko
yang sebelumnya sudah hangus terbakar dan dibangun kembali berupa
lapak oleh pemerintah kota dengan ukuran yang tidak begitu luas dan tidak
bertingkat. Ciri lainnya yakni pintu dari kios/lapak ini terbuat dari ruling
door dan pintu tripleks. Kios/lapak ini menjual berbagai macam pakaian,
barang pecah belah, sepatu, sandal, tas dan sebagainya.
b) Pedagang Kaki Lima (PK5), adalah pedagang yang menjual dengan
membawa gerobak yang berisi dagangannya. Contoh PK5 ini yang menjual
di pasar ini seperti penjual bakso, kue keliling, penjual minuman dingin dan
ada juga yang menjual pakaian jadi, kosmetik asessoris dan lain sebagainya.
Pedagang yang menjual di Blok B ini sesuai perjanjian antara pedagang dan
pemilik ruko bahwa pedagang siap mengangkut kembali barang dagangannya
“siap pindah” apabila suatu saat ruko akan di bangun kembali dengan waktu yang
tidak di tentukan artinya bisa cepat bisa juga lambat.
Tabel I.II
56
Tarif Retribusi
No. Jenis Pungutan Tarif Total
1 Kios Rp. 2,5 juta / Tahun
2 Kartu Pedagang Rp. 150.000/ Tahun
Rp. 2.665.000 / Tahun 3 Distribusi Rp. 5.000 / Hari
4 Keamanan Rp. 5.000/ Hari
5 Listrik Rp. 3.000/ Hari
6 Kebersihan Rp. 2.000/ Hari
Sumber: PD. Pasar Makassar Raya Kota Makassar, 2020
Tabel 1.3
Rekapitulasi Data Kios (New Makassar Mall) No. Lantai (Lt) Pedagang Mall Booth Emerald Food Septi Jumlah
Lama Cour 1 Lt. Basement 368 - - 171 - - 493
2 Lt. Dasar 613 - - - - - 513
3 Lt. Satu 103 145 4 - - 7 97
4 Lt. Dua - 3 10 - - - 13
5 Lt. Tiga - - - - 4 - 4
Total Kios Buka 1084 48 14 171 4 7 1478
Sumber: Pasar Sentral Makassar (New Makassar Mall), 2020
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan SB selaku
Kabag Umum di PD Pasar Makassar Raya yang mengatakan bahwa :
“Kebijakan ini sebenarnya sudah lama, yaitu pada tahun 2018 bulan Juli dengan
nama kebijakan pengembalian fungsi jalan. Tapi masih banyak PKL yang menolak
kebijakan ini” . (Wawancara SB, tanggal 16 Agustus 2019).
57
Adapun pendapat dari SE selaku Kepala Seksi Ketertiban Umum yang
mengatakan bahwa:
“Relokasi ini sebenarnya mandet 5-10 tahun karena adanya penolakan oleh PKL
karena menganggap ketika mereka di pindahkan kebangunan baru maka mereka
akan rugi karena pembeli akan malas masuk karena tempatnya yang sangat jauh,
berbeda ketika mereka berjualan dipinggir jalan. Relokasi seharusnya dilakukan
sesuai dengan yang direncanakan dengan alasan SK penampungan pedagang pasca
kebakaran dibahu Jl Cokrominoto, Jl KH Wahid Hasyim, dan Jl KH Agus Salim
sudah dicabut, maka dari itu akan di laksanakan pengembalian badan jalan supaya
aktivitas ekonomi kembali lancar” . (Wawancara SB, tanggal 16 Agustus 2019).
Hasil wawancara oleh SE menunjukkan bahwa Relokasi seharusnya
dilkukan sesuai dengan yang direncanakan dengan alasan SK penampungan
pedagang pasca kebakaran dibahu Jl Cokrominoto, Jl KH Wahid Hasyim, dan Jl
KH Agus Salim sudah dicabut, maka dari itu akan di laksanakan pengembalian
badan jalan supaya aktivitas ekonomi kembali lancar. Namun para pedagang
menolak untuk dipindahkan, sehingga relokasi menjadi mandet dengan jangka
waktu yang sangat panjang karena sampai memakan waktu bertahun-tahun
lamanya.
Kemudian untuk mencari informasi yang lebih akurat mengenai waktu
relokasi dlaksanakan maka peneliti kembali mengajukan pertanyaan mengenai
orang-orang yang terlibat dalam melancarkan kegiatan relokasi.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan SB selaku
Kabag Umum di PD Pasar Makassar Raya yang mengatakan bahwa :
“Pemerintah mengerahkan 700-san lebih aparat personil gabungan untuk menjaga
keamanan relokasi dari pihak Satpol-PP dan kepolisian, hal ini dilakukan karena
banyaknya para pedangan yang melaukan aksi protes, aksi protes kebanyakan
dilakukan oleh ibu-ibu bahkan ada pedagang nekat berdiri di atas alat berat, dan
bahkan mereka berorasi dan membentangkan spanduk penolakan relokasi. Maka
dari itu diturunkan aparat keamanan untuk mengamankan lokasi relokasi”. .
(Wawancara SB, tanggal 16 Agustus 2019).
58
Berdasarkan hasil wawancara dengan SB selaku Kasubag Umum PD Pasar
Raya yang mengatakan bahwa:
“Keberhasilan relokasi yaitu pemindahan pedagang sesuai dengan pengembalian
fungsi jalan sudah dikatakan berhasil atau efektif seperti yang kita lihat empat sisi
jalan yang menjadi sasaran relokasi yaitu JL.KH. Ramli, JL. KH. Wahid Hasyim,
JL. HOS Cokroaminoto sudah kosong atau sudah tidak terlihat lagi PKL yang
berjualan, mereka sudah dipindahkan ke New Makassar Mall (Blok A) meskipun
masih ada pedagang yang masih berjualan di Blok B, tempat itu kita namakan
tempat sementara karena tempat itu diberadakan karena masih ada pedagang yang
menolak untuk masuk gedung karena masalah finansial dan menganggap bahwa
tempat yang sudah disediakan di dalam gedung terlalu jauh sehingga pembeli akar
berpikir dua kali untuk naik”. (Wawancara, tanggal 18 Agustus 2019).
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan
relokasi PKL Pasar Sentral sudah efektif dengan melihat JL. KH. Ramli, JL. KH.
Wahid Hasyim, JL. HOS Cokroaminoto sudah bersih dari PKL yang berjualan.
Pendapat yang sama juga datang dari hasil wawancara dengan AM selaku
Kasubag Penagihan PD Pasar Raya yang mengatakan bahwa:
“Keberhasilan relokasi ini sudah dikatakan berhasil dikarenakan PKL sudah
memasuki gedung yang sudah disiapkan (New Makassar Mall), meskipun masih
ada pedagang yang belum masuk dan masih menempati tempat sementara, namun
pedagang masih dapat pindah ke dalam gedung ketika sudah siap, baik secara
finansial atau apa pun itu”. (Wawancara, tanggal 18 Agustus 2019)
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat dilihat bahwa relokasi PKL
berhasil meskipun tidak semua PKL memasuki gedung yang sudah disediakan dan
masih menempati tempat sementara namun setidaknya para PKL tidak lagi
mengganggu fungsi jalan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AM selaku pedagang yang
menempati Blok B mengatakan bahwa:
“Saya akan tetap berjualan diluar gedung New Makassar Mall, apabila pengelola
belum merespon keinginan kami untuk menurunkan harga sesuai kemampuan
kami. Saya menyadari keberadaan saya salah tapi apa boleh buat kami tidak
59
sanggup untuk masuk ke dalam gedung karena harga kios yang sangat berat untuk
saya. Sedangkan di luar gedung kami tidak perlu membayar mahal. Namun kami
siap pindah kapan pun ketika pemerintah menurunkan harga sesuai kemampuan
kami ataupun solusi lain yang sanggup kami terima” (Wawancara, tanggal 18
Agustus 2019
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penolakan yang dilakukan
oleh pedagang yang menempati Blok B untuk masuk berjualan di Blok A karena
alasan harga kios di Blok A yang terbilang mahal. Beberapa pedagang lebih
memilih berjualan di luar gedung karena harga yang lebih murah di banding di
dalam gedung, namun pedagang siap untuk dipindahkan kapanpun apabila harga
kios disesuaikan dengan kemampuan mereka atau pemerintah mencari solusi lain.
Peneliti melanjutkan wawancara selaku pedagang yang menempati Blok D
mengatakan bahwa:
“Saya juga ingin masuk dalam gedung, tapi karena finansial saya tidak mampu,
saya harus berjualan di luar gedung. Saya juga merasa tidak enak hati dengan para
pedagang di dalam gedung dengan keberadaan kami disini. Harga kios dalam
gedung untuk keuangan saya sangat berat. Saya akan berdamai dengan sendirinya
jika harga kios diturunkan sesuai kemampuan saya ”. (Wawancara, tanggal 18
Agustus 2019
a. Komunikasi (Communication)
Edward III (1980) dalam Haedar (2010) Komunikasi merupakan proses
penyampaian informasi dari komunikor kepada komunikan. Sementara itu,
komunikasi kebijkan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan
dari pembuat kebijakan (policy makers) Kepada pelaksana kebijakan (policy
implementors)
Komunikasi yang di lakukan PD Pasar Makassar Raya yaitu melakukan
informasi kepada setiap pedagang kaki lima bahwa akan di adakan rapat bersama
yang membahas tentang relokasi ke New Mall Makassar.
60
Sebagaimana yang telah di jelaskan diatas, peneliti mewawancarai salah satu
informan yang berada di kantor PD Pasar yang tertempat di gedung New Mall
Makassar. Ibu A selaku sekertaris mengatakan bahwa :
“PD Pasar memang sudah memberitahukan sebelumnya kepada pedangang kaki
lima, bahwa akan dilakukan penggusuran atau lapak-lapak yang ilegal dan akan di
pindahkan ke dalam New Mall Makassar, dan pedangang kaki lima yang terlanjur
memiliki surat izin yang sah akan di tempatkan ke dalam gedung New Mall, tetapi
masih banyak pedang kaki lima yang ilegal rela mati demi menyalamatkan
lapaknya. (Wawancara, tanggal 18 Agustus 2019).
Menurut Agustino (2006:157) komunikasi merupakan salah-satu variabel
penting yang memengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat
menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”.
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting
yaitu tranformasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi tidak
hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok
sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi
yang jelas dan mudah di pahami, selain itu untuk menghindari kesalahan
implementasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang
terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi
menghendaki agar informasi yang di sampaikan harus konsisten sehingga tidak
menimbulkan kebingungan pelaksana kebijkan, kelompok sasaran maupun pihak
terkait.
b.Sumber daya (Resources)
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implemetasi kebijakan. Edward III
dalam Widodo (2007) :
61
Bagaimana jelas dam konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan serta
bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan
tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak
akan efektif.
Sumber daya disini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan
untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan
yang dijelaskan sebagai berikut
c. Sumber Daya Manusia (staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber
daya manusia yang cukup kualiatas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya
manusia berkaitan dengan keterampilan, profesionalitas, dan kompetensi di
bidangnya, sedangkan kualitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia
apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya
manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa
sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia, implentasi kebijakan
akan berjalan lambat.
Kegagalan yang sering terjadi dalam suatu implementasi kebijakan yaitu
disebabkan oleh staff yang tidak memadai, mencukupi. Penambahan jumlah staf
dan implementor saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan implentasi
kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan
62
kemampuan yang di perlukan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Hasil
wawancara penulis dengan informan yang berada di PD Pasar New Mall, Ibu A
mengatakan bahwa :
“Semua pegawai PD Pasar Makassar Raya ikut berpatisipasi dalam merelokasikan
PKL atau dalam pembongkaran lapak yang ilegal dijalan Jl. KH Ramli, Jl. KH
Wahid Hasyim, sampai di Jl. HOS Cokroaminoto, Sudah sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing”. (Wawancara, 18 Agustus 2019)
Selain itu peneliti mewawancarai pegawai setempat untuk memperkuat wawancara
ditas, Bapak H sebagai pegawai mengatakan bahwa:
“Sudah pasti semua anggota PD Pasar Makassar Raya turut berpastisipasi, karena
itu sudah tanggung jawab kami dan perintah langsung dari direktur utama PD Pasar
yang diarahkan dari Walikota”. (Wawancara 20 Agustus 2019)
Dari hasil wawancara diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa semua
pegawai di PD Pasar Makassar Raya sampai PD Pasar New Mall turut berpartisipasi
dalam setiap melakukan kegiatan karena masing-masing mempunyai tugas dan
tanggung jawab.
Namun pada kenyatannya setelah diimplementasikan, sebagian besar
pedagang kaki lima yang telah direlokasi masih banyak memutuskan untuk kembali
berjualan di sepanjang jalan dan parkiran new mall. Melihat hal tersebut PEMDA
dan Satpol PP belum melakukan tindakan, dan pedagang kaki lima masih dibiarkan
berjualan di sepanjang jalan bahkan saat ini dibuat kembali gardu-gardu baru
disamping new mall.
Disini terlihat jelas bahwa komunikasi dan koordinasi antar organisasi
pelaksana kebijakan masih belum efektif. Sikap para pelaksana Dalam
implementasinya, kebijakan penataan pedagang kaki lima yang merupakan
perwujudan kerjasama Pemerintah dengan pihak swasta dihadapkan pada beberapa
63
permasalahan. Di antaranya pertama, ketidak konsistensinya Pemerintah dalam
merelokasi semua pedangan ke new mall dimana saat ini masih banyak
bermunculan pedagang kaki lima baru yang tetap berjualan di sekitar parkiran
lokasi new mall bahkan pihak swasta melegalkan dengan membuat kembali gardu-
gardu untuk PKL. Hal inilah yang kemudian membuat pedagang kaki lima yang
sudah dipindah ke new mall banyak memilih keluar dan kembali berjualan di luar.
a) Anggaran (Budgetary)
Kebijakan anggaran adalah sebuah keputusan yang besar pengaruhnya terhadap
kinerja pengelolaan anggaran karena berdampak langsung tehadap masyarakat.
Syarifuddin (2018:100) mengemukakan bahwa pembuatan keputusan adalah salah
satu dari aktivitas manajerial yang penting. Lebih lanjut Greenberg dan Baron 2003
dalam Syarifuddin (2018:100) menjelaskan bahwa pada dasarnya keputusan dapat
dibedakan sebagai keputusan terprogram dan tidak terprogram. Menurut mereka,
keputusan tidak terprogram dapat disebut sebagai keputusan yang tidak memiliki
solusi.
Berangkat dari hal tersebut, implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan
kecakupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan sehinggs
pemerintah perlu melakukan tahapan kebijakan yang benar-benar terprogram agar
dapat mewujudkan kualitas pengelolaan anggaran dengan baik sesuai dengan
harapan masyarakat. Syarifuddin (2018:205) menyatakan bahwa keberhasilan
kepemimpinan dan kekuasaan atas kebijakan anggaran, sangat tergantung kepada
unsur manusia, termasuk di dalamnya cara pandang manusia yang bersangkutan
terhadap kebijakan anggaran, yang tercermin melalui kebijakan dalam menjalankan
64
kekuasaan atas anggaran dan berpolitik untuk mencapai tujuan kekuasaan atas
anggaran. Menurut ungkapan Bapak S yang mengatakan bahwa:
“Mengenai anggaran atau ke cukupan modal, kami cuma menyesuaikan dengan
dana yang dikirim dari pusat, kita tinggal mengatur bagaimana supaya dana yang
dikirim dari pusat cukup untuk memfasiliasi kegiatan relokasi. (Wawancara 10
Agustus 2019)
Hal Serupa di perkuat oleh wawancara peneliti kepada yang lain
mengatakan bahwa :
“Anggaran yang dari pusat itu sudah termasuk oprasional, dan sumber dananya itu
dari APBN, sosialisasi yang di laksanakan sesuai dengan dana dari pusat, untuk
mengimplementasikan suatu kegiatan relokasi pedagang kaki lima, dengan adanya
dari pusat kita sesuaikan dengan kebutuhan yang akan dilaksanakan di New Mall
Makassar misalnya saja penambahan lapak-lapak untuk pedagang kaki lima.
(Wawancara 20 Agustus 2019)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa
PD Pasar Makassar Raya melaksanakan kegiatan membutuhkan dana dimana dana
tersebut demi keperluan untuk mencapai suatu tujuan dalam mengimplementasikan
suatu relokasi pedagang kaki lima.
b) Fasilitas (facility)
Tahir Arifin (2014) fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang
layak, seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam
keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan. Edward III (1980) dalam
Haedar (2010) Pegadaan fasilitas yang layak, seperti lapak-lapak, peralatan-
peralatan pada saat relokasi dan setelah relokasi akan menunjang dalam
keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan. Berdasarkan dengan hal
65
tersebut adapun wawancara dengan Bapak H sekretris dinas perdagangan
mangatakan bahwa :
“Untuk mengimplementasikan relokasi pedagang kaki lima Dinas
perdagangan itu cuman membantu dari fasilitasnya saja, karna itu sebenarnya bukan
lagi tanggung jawab kami, karna telah dibentuk PD pasar oleh walikota jadi kami
cuman memfasilitasi seperti snack,baliho, dan mengundang PKL untuk
melaksanakan sosialisasi. (Wawancara 20 Agustus 2019)
Berdasarkan hasil wawancara diatas, maka hasil wawancara diperkuat oleh
Ibu N bahwa :
“Memang kita sudah menyediakan beberapa fasilitas untuk mengimplementasikan
relokasi PKL ke New Mall Makassar seperti baliho,snack,atau komsumsi lainnya
dan juga ruang rapat untuk PD pasar dan pedagang kaki lima untuk membahas
tentang pelaksanaan relokasi.(Wawancara 20 Agustus 2019)
Dari hasil wawancara diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa
fasilitas yang digunakan dalam mengimplementasi relokasi pedagang kaki lima
sangat memadai untuk tercapainya kegiatan tersebut, Tim dari Dinas Perdagangan
juga ikut berpastisipasi menyiapkan fasilitas seperti batuan komsumsi pada saat
relokasi seperti baliho, komsumsi pada saat relokasi dan semua yang dibutuhkan
PD Pasar Makassar Raya, peneliti menyimpulkan bahwa kegiatan tersebut berjalan
dengan prosedur yang direncanakan.
c) Informasi dan kewenangan (Information and Authority)
Tachjan (2006) Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi
kebijakan, terutama informasi suatu kebijakan. Sementara wewenang berperan
penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang
dilaksanakan sesuai dengan yang di kehendaki. Adapun wawancara peneliti dengan
Kasubag Pembinaan dan Penertiban yaitu Bapak B :
66
“Dengan pengimlementasian kegiatan tersebut PD Pasar tidak berjalan sendiri akan
tetapi PD pasar melakukan kerja sama oleh PT Melati dan Dinas Perdagangan Kota
Makassar . (Wawancara 20 Agustus 2019)
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis menyimpulkan bahwa PD
Pasar Makassar Raya mememilik sumberdaya informasi dan kewenangan yang
baik dimana Hasil wawancara yang dilakukan peneliti bahwa PD Pasar Makassar
Raya tidak berjalan sendiri melainkan PD Pasar bekerja sama dengan Pt Melati dan
Dinas Perdagangan Kota Makassar untuk melaksanakan perawatan dan
pengelolaan new mall.
d. Disposisi (Disposition)
Edward III dalam Haedar (2010) menyatakan pentingnya disposisi yang
benar yang harus dimiliki oleh implementor agar dapat melaksanakan sebuah
kebijakan dengan benar. Kecendrungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana
kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran. Karekter yang penting yang harus dimiliki oleh
pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran
mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah
digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan
membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi,
dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia
akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka
67
implementasi tidak akan terlaksana dengna baik. Berdasarkan hal tersebut peneliti
melakukan wawancara dengan ibu Y bahwa :
“Dalam mengimplementasikan kegiatan relokasi pedagang kaki lima. PD Pasar
melakukan pendampingan, penataan, dan pengamanan terdahap pedagang kaki
lima yang ingin direlokasi” (Wawancara 20 Agustus)
"Kami masih terus melakukan pendampingan kepada pedagang kaki lima yang
ingin di relokasi. Adapun juga seminar yang kita lakukan untuk pencerahan
pedagang kaki lima supaya bisa menjadi pedagang yang lebih maju" (Wawancara
18 Februari 2020)
Ada tiga bentuk sikap/respon implemtor terhadap kebijakan ; kesadaran
pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan
atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut Lilis dkk 2009. Komitmen atau
dukungan serius dari pejabat pelaksana dalam hal ini PEMDA dan PD Pasar
Makkassar, sangat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan agar bisa mencapai tujuan
secara efektif dan efisien. Pada prinsipnya, kedua pihak pelaksana ini sangat
mendukung penerapan kompetensi Pedagang khususnya di tingkat PKL Di lain
pihak, sebagian Pedangan juga mendukung kebijakan tersebut terlebih bertujuan
untuk meningkatkan kualitas tempat penjualan dan peningkatan kesejahteraan
pedagang itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara diatas terbukti bahwa
pelaksanaan kebijakan Pemerintah telah berjalan sesuai aturan birokrasi yang ada.
Pelaksana kebijakan dalam hal ini PD Pasar telah melaksanakan kebijakan tersebut
dengan tetap melakukan pendampingan, penataan tempat dan pengamanan kepada
pedagang kaki lima yang ingin direlokasi ke New Makassar Mall.
e.Struktur Birokrasi (Bureucratic Srtucture)
68
Struktur birokrasi yang baik akan membuat pelaksana kebijakan memberikan ruang
bagi para pelaksana melakukan berbagai koordinasi kepada semua unit terkait
sehingga dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan Haedar (2010).
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan
struktur birokrasi itu sendiri. SOP menjadi aspek pertama pedoman bagi setiap
implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng
dari tujuan dan sasaran kebijakan, dan aspek dua adalah struktur birokrasi yang
rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi
menjadi tidak fleksibel.
Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada PD Pasar New Mall
Makassar mengenai struktur organisasi. Menurutnya bahwa :
“telah menentukan dan melaksanakan struktur birokrasi yang sederhana dan jelas.
Kejelasan pembagian wewenang memudahkan tiap bagian melaksanakan tugasnya.
Koordinasi antar unit/ bagian menjadi mudah dan jelas, sehingga struktur birokrasi
yang ada memudahkan koordinasi dalam melaksanakan tugas. Pembagian
wewenang dalam melakukan relokasi PKL dengan bekerjasama berbagai pihak
terutama kepada SATPOL PP sebagai penopang keberhasilan kebijakan tersebut
(Wawancara 24 Agustus 2019)
Adapun pendapat lain dari bapak B mengatakan bahwa :
“kebijakan relokasi pedagagang kaki lima (PKL) adalah sebuah kebijakan yang
suda disepakati Bersama, artinya bahwa kegiatan ini telah dibagi masing-masing
unit untuk melaksanakan kewajibannya dalam menertibkan PKL guna meujudkan
harapan Pemerintah untuk mensejahterakan rakyat dan meningkatkan daya beli
masyarakat khususnya Kota makassar.” (Wawancara 24 Agustus 2019)
Hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa Struktur birokrasi yang
baik akan membuat pelaksana kebijakan memberikan ruang bagi para pelaksana
melakukan berbagai koordinasi kepada semua unit terkait sehingga dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan Pemerintah.
69
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas yang kemudian diolah dengan
menggunakan model teori Edwar III yang terdiri dari empat aspek yakni
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi, maka dapat
digambarkan dalam bentuk matriks sebagai berikut :
Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Makassar dalam Merelokasi PKL
ke New Mall
Tabel I.III
Berdasarkan tabel tersebut di atas maka dapat dijelaskan, hasil penelitian ini
menunjukan bahwa aspek-aspek yang perlu ditingkatkan dalam Implementasi
Kebijakan dalam merelokasi PKL ialah aspek komunikasi dan sumber daya,
sedangkan aspek yang sudah berjalan dengan baik adalah aspek disposisi dan
struktur birokrasi.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Relokasi Pedangang Kaki Lima di
Kota Makassar
Model Implementasi Kebijakan Dampaknya
1. Komunikasi
2. Sumber daya
3. Disposisi
4. Struktur Birokrasi
Belum baik/ ditingkatkan
Belum baik/ ditingkatkan
Sudah baik/ dipertahankan
Sudah baik/ dipertahankan
70
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), faktor adalah sesuatu hal
(keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu.
Dengan demikian yang dimaksud faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas
kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima di masyarakat di pengaruhi oleh banyak
faktor seperti ketertiban, perilaku, tingkat pendidikan dan kemiskinan. Hal
demikian Berdampak sangat luas terhadap keadaan sosial ekonomi masyarakat dan
keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan. Oleh karenanya masalah Pedagang
Kaki Lima harus ditangani secara terkoordinasi oleh sektor pemerintah, sektor
swasta atau dunia usaha dan LPM. Koordinasi mencakup aspek perencanaan,
pembinaan, penyelenggaraan, monotoring dan evaluasi.
a. Faktor pendukung
Salah satu faktor yang mendukung relokasi tersebut adalah dengan
melakukan sosialisasi akan kenyamanan, kemanan dan kebersihan lokasi PKL serta
peningkatan daya beli masyarakat dengan adanya new mall makassar. Adapun
faktor pendukung dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Faktor Internal
Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil komunikasi
adalah faktor internal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
pedagang itu sendiri. Seperti dalam temuan Fatmawati (2013) bahwa dalam
pemilihan lokasi PKL dipengaruhi oleh kemudahan pencapaian, kemudahan dilihat
dan kemudahan hubungan dengan aktifitas formal. Sehingga memudahkan
pelanggan untuk mengakses keberadaan dan waktu para PKL tersebut memulai
71
menjajakan dagangannya. Berikut penuturan salah satu informan terkait faktor
pendukung relokasi PKL :
“dengan adanya new mall makassar maka antusias pembeli meningkat dan
otomatis omset yang didapatkan pedagang akan meningkat, dan tidak takutlagi
dengan adanya penggusuran-penggusuran serta pungli-pungli liar seperti pada
pasar sebelumnya ” (Wawancara 24 Agustus 2019).
"Dari hasil data Pedagang Kaki Lima yang berpindah ke New Mall terus meningkat
sampai saat ini dan daya tarik pembeli Pedagang terus mingkat" (Wawancara 18
Februari 2020)
Hal senada diungkapkan Suci (2009) dalam penelitiannya bahwa dengan
melakukan relokasi tidak akan mengalami penggusuran terus menerus, karena
tempat yang mereka gunakan untuk kegiatan jual beli suda dalam pengelolaan
pemerintah, tempat yang disediakanpun menarik perhatian pengunjung untuk
datang dan jarak lokasi lama dengan yang baru tidak terlalu jauh sehingga
pelanggan PKL masih bisa tahu keberadaan mereka.
2. Faktor Eksternal
Selain dari faktor internal, komunikasi juga di pengaruhi oleh faktor
eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar Pedagang Kaki Lima. Faktor eksternal
ini dibagi menjadi dua. Yaitu lingkungan yang aman, dan lingkungan yang bersih.
merupakan bagian dari kehidupan pedagang kaki lima, karena dimana lingkungan
tersebut tempat untuk mereka berusaha di dalamnya. lingkungan yang bersih sangat
berpengaruh dalam peningkatan kemajuan usaha mereka karena tingkat
ketertarikan costumer dalam berbelanja sangat baik ketika lingkungan itu bersih
dan tertib.
Terkait dengan faktor eksternal diatas, peneliti mewawancarai salah satu
Staff PD pasar Ibu Y, mengatakan bahwa :
72
“Selain kami melakukan sosialisasi diluar kita juga menyampaikan langsung
kepada beberapa pedagang yang tidak ingin di relokasi ke New Mall, bahwa untuk
kesejatraan mereka, mereka harus mengikuti proses penataan yang lebih baik”
(Wawancara 24 Agustus 2019).
"Dari pihak pengurus New Mall Makassar mengundang para Pedagang Kaki Lima
untuk mengikuti Seminar. Supaya pola fikir Pedagang bisa terus maju agar
penjualan dagangan mereka bisa lebih efektif" (Wawancara 20 Februari 2020)
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa Pedagang Kaki Lima yang tidak mau direlokasi atau ditata dengan baik
sangat mempengaruhi pedagang yang lainnya untuk relokasi.
Untuk mencapai pengimplementasian dalam merelokasi pedagang kaki
lima. PD Pasar Makassar Raya Kota Makassar bekerja sama dengan berbagai pihak
seperti PT. Melati dan Dinas Perdagangan Kota Makassar. Sehingga dalam relokasi
pedagang kaki lima tidak berdiri sendiri mereka bekerja sama dengan pihak lain.
Dengan banyaknya bantuan dari instansi-instansi lain PD Pasar Kota Makassar
dapat dengan mudah melaksanakan kegiatan dalam mencapai tujuan.
Terkait dengan argumen diatas peneliti melakukan wawancara dengan Staf-
Staf PD Pasar Makassar Raya yang berada di New Mall Makassar. Ibu K
mangatakan bahwa :
“Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap kita melakukan kegiatan
misalnya sosialiasi, kita selalu di dukung oleh berbagai instansi-instansi yang ada
di Kota Makassar” (Wawancara 24 Agustus 2019).
"Dalam kegiatan Seminar yang di program oleh instansi-instansi sudah berjalan
dengan baik, dan banyak pedagang kaki lima yang mengikuti kegiatan seminar
tersebut" (Wawancara 20 Februari 2020)
b. Faktor Penghambat
Pendekatan yang menyatakan bahwa implementasi suatu kebijakan bisa saja
telah direncakan dengan seksama, baik dari sudut organisasi, prosedur, manajemen
73
dan pengaruh pada perilaku tetapi tidak kurang memperhatikan realita-realita
kekuasaan maka mustahil kebijakan dapat berhasil. Pernyataan wahab tersebut di
benarkan oleh situasi relokasi pedagang kaki lima. Pernyataan wahab tersebut
dibenarkan oleh situasi relokasi pedagang kaki lima di Jl. KH Ramli, Jl. KH Wahid
Hasyim, dan Jl. HOS Cokroaminoto.
Koordinasi lintas sektoral juga menjadi faktor penghambat penerapan
beberapa kebijakan terutama kebijakan yang membutuhkan kerjasama lintas
sektoral. Lintas sektoral ini sangat dibutuhkan terutama dalam upaya mengurangi
pedagang kaki lima yang tidak resmi atau semrawut. PD Pasar yang mengembang
amanah melakukan koodinasi antar sektor belum berfungsi optimal. Pelaksana
harian (full time staff) yang berstatus tenaga kontrak sehingga tidak mempunyai
kekuatan untuk mengajukan usulan kepada ketua PD Pasar Makassar Raya dan
jajarannya untuk melakukan koordinasi. Semua pihak merasa bekerja sendiri,
merasa yang paling berperan dan mempunyai anggapan pihak yang lain tidak
melakukan apa-apa. Hal ini karena lemahnya koordinasi lintas sektor.
Berdasarkan argumen di atas maka peneliti melakukan wawancara dengan
salah petugas petugas PD pasar, bapak J mengatakan :
“Rasanya aku kerja sendiri, ya. Rasanya kita pihak perusahaan ini kerja sendiri.
Karena nanti kalau ada pedagang kaki lima, kurang yang ngurusin, semua sibuk
dengan pemungutan retribusi dan tidak berfokus kepada peningkatan perusahaan
ini. Semua memang punya kerjaan masing-masing sesuai dengan perjanjian, tapi
seharusnya rasa saling menutupi dalam pekerjaan itu ada dan tidak sibuk dengan
pekerjaan nya masing-masing” (24 Agustus 2019)
Berdasarkan hasil wawancara diatas adapun pendapat dari Ibu K
mengatakan bahwa :
74
“Salah satu hambatan ya, di dalam pemerintahan itu dari segi koordinasi antar
sektoral itu, ya. Bagaimana mengkoordinasikan satu kegiatannya dengan peran dari
berbagai macam unit kerja maupun sektor lain yang kadang-kadang ini sulit
memang. Itulah hambatannya dari situ, sehingga dukungan maupun juga
keterlibatan itu kadang-kadang terkendala masalah itu, masalah teknis dan
sebagainya” (2 September 2019)
Berdasarkan hasil wawancara diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
pihak PD Pasar bekerja sendiri tanpa memperhatikan bagian yang penting atau tidak
berkoordinasi dalam tugas yang lain, sehingga pedagang kaki lima yang mau
direlokasi kurang mendapat respon dari pengurus pasar.
Selain itu faktor penghambat dalam mengimplementasikan suatu kebijakan
relokasi pedagang kaki lima di kota makassar ada beberapa faktor yang dapat
menghambat sehingga kegiatan tersebut tidak sesuai dengan apa yang di
rencanakan sebelumnya. Salah satu faktor yang menjadi penghambat dari kegiatan
yang di rencanakan yaitu masalah harga sewa lapak. Adapun hasil wawancara
peneliti dengan ibu A sebagai bagian Kabag keuangan:
“Salah satu faktor penghambat dari kebijakan ini yaitu masalah harga lapak
yang di berikan pihak swasta kepada pedagang kaki lima yang cukup tinggi, jadi
itu juga yang menjadi kendala pedagang kaki lima untuk tidak mau direlokasi” (2
September 2019)
Berdasarkan hasil wawancara diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa salasatu yang menjadi penghambat dalam mengimplementasikan suatu
kebijakan yaitu masalah harga lapak yang diberikan pihak swasta cukup tinggi, dan
membuat pedangang kaki lima tetap bertahan di lapaknya yang sebelumnya.
Lebih lanjut peneliti menemukan faktor penghambat dalam relokasi PKL seperti
masih masih dibukanya akses penjualan diluar pasar new mall, edukasi ke PKL
untuk ikut serta mensukseskan kebijakan pemerintah dalam menata kota masih
75
minim, anggaran untuk relokasi PKL masih terbatas, mindset PKL yang sudah
terlanjur nyaman berjualan di bahu jalan sehingga banyak PKL masih memili
berjualan di luar Gedung new mall apalagi menurut PKL penghasilan pasca relokasi
menurun daripada sebelumnya. Berikut penuturan para narasumber mengenai salah
satu faktor penghambat relokasi PKL Di kota Makassar:
“Penjualan setelah di adakannya relokasi itu cukup menurun bagi pedagang-pegang
lain, karena persoalan tempat berjualan yang tidak strategis atau tidak terlihat” (2
September 2019)
Sesuai dengan hasil wawancara diatas maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa pedagang kaki lima merasakan penurunan penjualan yang cukup terasa
karena banyak pedagang tidak mendapatkan tempat yang strategis. Dan
berdasarkan hasil wawancara mengatakan bahwa kondisi pedagang kaki lima
setelah direlokasi sudah tidak semrawut.
D. Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di New Mall Kota Makassar
a. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah kota makassar terhadap peningkatan kesejahteraan
ekonomi pedagang kaki lima serta penertiban lapak liar yang ada di jalan trotoar
khususnya pada x pasar sentaral kota mkasassar melalui program pembangunan
prasarana Gedung yang saat ini dikenal sebagai new mall makassar sehingga
pedangan kaki lima yang berkeliaran dan mengganggu ketertibaj jalan lalu lintas
dapat direlokasi ke Gedung pasar new mall makassar saat ini.
Pemerintah Kota Makassar memberikan informasi dan rapat sosialisasi
sebelumnya guna mengantisipasi persoalan yang sewedyanya akan menghambat
kebijakan pemerintah dalam merelokasi pedangang kaki lima sekaligus
76
menyiapkan berbagai alternative yang dikeluhkan pedangang sesuaikan dengan
kondisi yang di keluhkan. Selain itu dengan memberikan pembinaan berupa
sosialisasi mulai dari tahap perencanaan hingga perpindahan tempat. Pemerintah
juga menyiapkan sarana prasara guna menununjang peningkatan daya beli
pengungjung melalui berbagai kegiatan yang dilakkan PD pasar dengan
menyiapkan sarana yang dapat membuat pengungjung nyaman. Selain itu, juga
pada PD pasar menyiapkan tempat parkiran yang memadai dalam rangka
meningkatkan kenyamanan pengungjung.
Relokasi new mall makassar telah di rencanaankan dengan
menformulasikan anggaran yang cukup, baik untuk penyiapan infrastruktur
maupun suprastruktur serta kebijakan di bidang keamanan.
b. Kesiapan pedagang
Kesiapan pedagang adalah salah satu potensi yang mencakup potensi yang
cukup mendukung aktivitas sosial ekonomi karena pedagang kaki lima tersebut
merupakan satuan penggerak ekonomi serta mengurangi pengangguran kondisi
tersebut membuat pemerintah berinisiatif untuk meningkatkan kualitas
kesejahteraan pedangan dengan membangun insfrakturktur pendukung yaitu new
mall makassar yang saat ini telah resmi di kelola oleh Pihak PD Pasar. Berdasarkan
hasil wawancara yang peneliti lakukan dapat disimpulkan bahwa sikap atas
kebijakan pemerintah kota makassar dalam merelokasi pedagang kaki lima di
nyatakan cukup efektif karena implementor yang ada di PD Pasar Makassar Raya
bersikap sesuai apa yang diinginkan sejumlah kalangantelah berhasil mengurangi
77
kemacetan jalan raya namun pada kesiapan pedagang kaki lima masih banyak yang
mengeluhkan tentang harga sewa lapak yang di keluhkan sangat mahal.
c. Kendala relokasi Pedagang
Pedagang kaki lima di makassar yang telah cukup lama menjajakan
dagangannya di trotoar jalan telah merasa nyaman dan merasa memiliki omset yang
tinggi sehingga kebanyakan menolak untuk direlokasi dengan mainset bahwa ketika
di relokasi nantinya daya beli masyarakat kan kurang dan pajak serta yuran
keamanan akan bertamba sehingga mengakibatkan kesejahteraan para pedagang
kaki lima menurun. Begitu juga pedagang makanan yang berasumsi bahwa jika
mereka menerima untuk direlokasi maka akan menimbulkan dampak negatif
salahsatunya omset dan keamanan akan merugikan pedagang kaki lima. Sehingga
para PKL menolak untuk direlokasi
Komunikasi yang dilakukan oleh PD Pasar terlihat belum cukup efektif
karena masih banyak Pedagang yang masih mengeluhkan informasi yang sering
simpansiur datangnya, banyak diketahui keluhan dan kendala yang ada pada
pedagang kaki lima tidak dapat di pecahkan hingga direlokasi, dan pemerintah
terkesan tidak begitu perduli dengan aspirasi masyarakat bahkan dengan apa yang
terjadi di lapangan adalah pemerintah belum memecahkan masalah suda membuat
aturan baru dengan mmbuat kembali gardu-gardu di samping new mall sehingga
memancing pedangang yang sudah terlanjur membeli lapak didalam new malla
merasa kecewa.
Data Pedagang Kaki Lima yang di Relokasi dan yang masih berada di luar
Gedung are New Mall Tahun 2019
78
Tabel I.IV
Sumber: PD Pasar New Mall Tahun 2019
Pedagang Kaki Lima yang di Relokasi dan yang masih berada di luar
Gedung New Mall Periode Maret Tahun 2020
Tabel IV.III
Jumlah Yang Telah
Direlokasi
Jumlah Yang Belum
Direlokasi
1.478 (Seribu Empat Ratus
Tujuh Puluh Depan)
Pedagang Kaki Lima
708 (tujuh ratus delapan)
Pedagang Kaki Lima
Sumber: PD Pasar New Mall Tahun 2020
Jumlah Yang Telah Direlokasi Jumlah Yang Belum Direlokasi
1.278 (Seribu Dua Ratus
Tujuh Puluh Depan) Pedagang
Kaki Lima
908 (Sembilan Ratus Delapan)
Pedagang Kaki Lima
79
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi pemerintah dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di
New Mall Pasar Sentral Kota Makassar dilakukan dengan cara:
mengomunikasikan relokasi melalui diskusi, rapat dan sosialisasi; melakukan
peningkatan sumberdaya dalam bentuk menambah jumlah staf, menambah
fasilitas lain berupa baliho, kenyamanan lapak, dan kerjasama dengan Dinas
Perdagangan Kota Makassar; melakukan disposisi dalam bentuk
pendampingan penataan dan pengamanan pedagang yang ingin direlokasi
2. Faktor-faktor yang mendukung dalam implementasi kebijakan pemerintah
dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di New Mall Pasar Sentral Kota
Makassar, terdiri atas: faktor internal, berupa keadaan diri pedagang untuk mau
80
direlokasi ke tempat yang lebih nyaman dan tidak memberatkan dari sisi iuran
dan faktor eksternal berupa proses penataan lokasi yang lebih baik melalui
kerjasama dengan pihak swasta untuk kenyamanan penggunaan sarana.
Sementara Faktor-faktor yang menghambat dalam implementasi kebijakan
pemerintah dalam merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di New Mall
Makassar, yaitu: lemahnya koordinasi lintas sektoral dinas-dinas yang terkait,
lokasi yang tidak strategis, dan harga lapak yang tidak terjangkau.
B. SARAN
Adapun saran-saran peneliti terhadap inplementasi relokasi tersebut adalah:
1. Bagi Pemerintah
Perlu melakukan komunikasi yang efektif sebelum mengimplementasikan
relokasi pedagang kaki lima dalam bentuk lebih meningkatkan pertemuan
bersama pedagang kaki lima dan pemberitaan yang tepat serta tidak
menimbulkan keresahan masyarakat untuk mengendalikan, memantau, dan
mengevaluasi pelaksanaan relokasi. Dari sisi sumber daya selain menambah
kuantitas juga perlu ditambah kualitas agar penanganan relokasi berjalan lebih
baik. Perlu peningkatan penadampingan secara berkelanjutan dalam dalam
bentuk pengananan dan pengamanan yang lebih baik bagi pedagang yang ingin
direlokasi salah satunya dalam bentuk keringanan iuran, lapak yang nyaman,
strategis, dan mengawasi adanya iuran yang tidak resmi.
2. Bagi Pedagang
81
Lebih menyiapkan diri dalam berbagai kemungkinan relokasi di masa yang
akan datang karena perubahan tata letak kota, sehingga saat relokasi terjadi
pedagang lebih siap mental dan mendukung program pemerintah untuk
kenyamanan bersama.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat berpartisipasi dan mendukung dalam relokasi dengan ikut
melakukan transaksi ke tempat relokasi yang telah ditentukan pemerintah, agar
omset pedagang meningkat di tempat yang baru, sehingga ketertiban kota juga
akan meningkat.
82
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara. Edisi Kedua. Jakarta : Bumi Aksara.
Agus, Erwan Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi
Kebijakan Publik. Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta :
Gava Media.
Agostiono. 2006. Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter dan Van
Horn,http//kertyawitaradya.wordpre ss, diakses 5 September 2010
Alfina Dewi Ratnasari. 2017. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Keberhasilan Usaha Bisnis Online Shop Di Kota Samarinda. Volume 5,
Nomor 1. ISSN 2355-5408.
Alam, G., Adnan, A., dan Makhmud, A.I., 2003, Analisi KLT-Bioautografi
Senyawa Antibakteri Ekstrak Metanol Spons Callyspongia sp, Majalah
Obat Tradisional, Volume 8 (23 Januari-Maret 2003): 2
Aslinda, Guntur, 2017 : Perubahan Kebijakan Implementasi Pemanfaatan Ruang
Oleh Pedangang Kaki Lima (Pkl) di Kota Makassar. Universitas Negeri
Makassar.
Evers, Hans Dieter dan Rudiger Korff. 2002. Urbanisme Di Asia Tenggara Makna
dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Obor Indonesia.
Fatmawati Putri, 2013. Kesiapsiagaan Siswa Di SMK Muhammadiyah 2 Surakarta
Kelurahan Kestalan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta Tahun
Pelajaran 201. Skripsi. Jurusan Pendidikan Geografi Unniversitas
Muhammadiyah Surakarta.
Haris, D. M. Strategi Pengembangan Usaha Sektor Informal Dalam Mendukung
Pertumbuhan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah. Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. 2011.
Harianto. 2001. Pendapatan, Harga, dan Konsumsi Beras. Bunga Rampai Ekonomi
Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
HAEDAR AKIB Guru 2010. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Apa, Mengapa,
dan Bagaimana: Besar Ilmu Haedar Akib/ Jurnal Administrasi Publik,
Volume 1 No. 1 Thn. 2010 Universitas Negeri Makassar
Hessel Nogi S. Tangkilisan, M.Si, Drs, 2004. Kebijakan Publik yang Membumi,
Konsep, Strategi dan Kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI.
83
Islamy, M.Irfan. 2004. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:
BumiAksara.
Iskandar (2009). Metode Penelitian Kualitatif Bidang Ilmu-ilmu Sosial Humaniora.
UNESA University Press: Surabaya. Ansori Ansori, Wirjokusumo.
Ismawan. 2002 Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Jakarta: Gramedia.
Kasmad Rulinawaty, Study Implementasi Kebijakan Publik. Makassar: Kedai
Aksara. 2013.
Lembaga Administrasi Negara, 2008, Modul Diklat Kepemimpinan Tingkat III,
Kertas Kerja Perseorangan (KKP), LAN-RI, Jakarta.
Makhya, S. 2006. Ilmu Pemerintahan Telaah Awal. Bandar Lampung: Universitas
Lampung.
Mustafa, Ali Achsan. 2008. Transformasi Sosial Makassar Marginal. Malang :
INSPIRE.
Mubyarto, 18 Juli 2002,. Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan
Koperasi: Peran Perguruan tinggi”. Artikel Dalam Jurnal Ekonomi
Rakyat, Thn I, No 6, tersedia di http;//www.ekonomikerakyatan.org ,
Oktober 2012.
Mulyadi, Deddy. 2016. Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik. Bandung:
Alfabeta.
Mutiarin, dyah dan Arif Zaenudin. 2014. Manajemen Birokrasi dan Kebijakan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maulana.2004. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: PT
Refika Aditama.
Ndraha, S., 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tata Laksana Terkini. Departemen
Penyakit Dalam, FK. Universitas Krida Wacana. Jakarta.
Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik, Implementasi, Evaluasi.Jakarta: PT. Elex
Media Kumputindo
Othenk. (2008). Pengertian Efektivitas dan Landasan Teori Efektivitas. Tersedia di
http://literaturbook.blogspot.co.id (diakses tanggal 2 Maret 2016)
PKAI. 2007. Kajian Kebijakan Pengelolaan Sektor Informal Perkotaan di
Beberapa Negara ASIA.(Online).Dari http://ppid.lan.go.id/wp-
content/uploads/2014/10/ES-Kajian-Kebijakan-pengelolaan-sektor-
informal-perkotaan-dibeberapa-negara-asia-2007.pdf). Diakses 27
November 2017.
84
Ratminto & Septi. 2005. Manajemen Pelayanan (Pengembangan Model
Konseptual, Penerapan Citizent’s Charter dan Standar Pelayanan
Minimal). Yogjakarta : Pustaka Pelajar.
Ramdhani, Mohamad, Rangkaian Listrik, Bandung, Penerbit Erlangga, 2005.
Suratman, Generasi Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik. Makassar:
Capiya Publising. 2017.
Sudaryanti (2000). Pedaang Kaki Lima. Tim Pusat Penelitian UMPAR Bandung.
Sutopo, H. B. 2002. Metologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Penerapannya
Dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: Cetakan Ke Tiga. Pustaka Pelajar
Sugiyono (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung:
Alfabeta.
Suharto . 2002. Implementasi Kebijakan. Surakarta: : Refika Aditama
Sinaga, Suryantika. 2004. Dampak Sosial Kebijakan Pemda DKI Jakarta Tentang
Relokasi Pedagang Kaki Lima di Lokasi Binaan Studi Kasus di Lokasi
Binaan Paal Merah Jakarta Pusat. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Syarifuddin. 2018. Dramaturgy Anggaran Pemerintahan Daerah : Phinatama
Media Cetakan I, 2018
Tahir,Arifin. 2014. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah. Alfabeta. Bandung.
Wahab, Solihin Abdul. 2010. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Pt Bumi Aksara.
Widodo. Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasi Proses
Kebijakan Publik) Cetakan Kedua. Malang: Bayumedia Publishing
Winarno, Drs budi. 2012. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus.
Yogyakarta: CAPS.
Winarno,Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Kasus). PT Buku Seru.
Jakarta.
Undang-undang
85
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima;
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 10 Tahun 1990 dan Surat Keputusan Wali
Kota Makassar sebagaimana tertera pada pasal 2 ayat (1) tentang PKL.
Keputusan Walikota Makassar Nomor 20 Tahun 2004 tentang prosedur tetap
(PROTAP) penertiban bangunan dan pembinaan pedagang sector
informal (PKL) dalam wilayah Kota Makassar
Peraturan daerah kota makassar nomor 12 tahun 2014 tentang pengurusan pasar
dalam daerah kota makassar.
Peraturan Derah Kota Makasar Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Rencana Wilayah
Tata Ruang Kota Makasar
Sumber Lainnya :
BKM (Berita Kota Makasssar 2019
Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI, 2007)
International Labour Organization (ILO)
Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
\
98
RIWAYAT HIDUP
M. Afif Adityawan Anwar, lahir di Makassar pada tanggal
16 April 1996. Anak Pertama dari pasangan Ayah Anwar
Burhanuddin dan Ibu Muliana Arif. Penulis menyelesaikan
pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Mangkura III
Makassar pada tahun 2008. Pada tahun itu juga penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 33 Makassar hingga tamat pada tahun 2011. Kemudian melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Sungguminasa dengan
mengambil program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Selanjutnya pada tahun 2015
penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan mengambil program studi Ilmu
Administrasi Negara. Pada tahun 2020 ini akan mengantarkan penulis untuk meraih
gelar Sarjana Strata Satu (S1) dengan menyusun karya ilmiah dengan judul
“Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam Merelokasi Pedagang Kaki
Lima Di New Mall Pasar Sentral Kota Makassar”.