m. anwar syarifuddin.pdf

13
MENIMBANG OTORITAS SUFI DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’ĀN * Oleh M. Anwar Syarifuddin ** Abstrak Sebuah fenomena menarik yang terjadi dalam praktek penafsiran al-Qur’ān dan perkembangan ilmu tafsir pada awal masa pembentukannya di abad ke-4 hijriah adalah batas pemilahan yang semakin kentara antara bentuk-bentuk penafsiran yang terpuji dan memiliki legitimasi formal di satu sisi, dengan bentuk-bentuk penafsiran yang tercela dan bersifat tidak formal yang juga terkadang dibumbui sebutan bid’ah di sisi yang lain. Pemilahan yang cenderung menciptakan dikhotomi yang berdimensi teologis ini –di mana penyimpangan terhadap praktek penafsiran yang baku berakibat pada munculnya tuduhan kāfir untuk pelakunya— menandai sebuah kenyataan akan semakin menguatnya pengaruh ilmu hadits, fiqh dan ilmu kalam aliran moderat, sementara peran ilmuwan muslim lain seperti para filsuf dan mutakallimin di luar kelompok sunni menjadi semakin terpinggirkan. Penilaian yang cukup mixed terjadi terhadap kalangan sufi. Sebagian kalangan sufi dikecam, bahkan dianggap keluar dari Islam, akibat pernyataan ekstatik mereka yang menyerempet batas-batas pemahaman akidah yang diperkenankan. Sebagian yang lain dipuji karena dianggap kaum yang shalih dengan konsistensi kuat dalam mengusung panji-panji moralitas dan etika yang luhur. Otoritas sufi dalam menafsirkan al-Qur’ān sendiri digugat, tetapi juga dibela. Penafsiran sufistik digugat kesahihan metodenya karena mirip dengan metode ta’wīl yang dilakukan kalangan Syi‘ah Bāthiniyyah. Salah satu hal yang menarik dan ditengarai telah menjadi inti selamatnya sufi dari tuduhan kekafiran seperti yang ditimpakan terhadap kalangan Bāthiniyah adalah analisis para sufi yang tetap menyertakan makna zhāhir, makna baku yang diperoleh melalui proses ijtihadi yang valid merujuk kepada pernyataan al-Qur’ān, sunnah, maupun konsesi pemakaian bahasa secara umum. Atas landasan makna zhāhir inilah mereka membangun metode penafsiran al-Qur’ān secara isyārī dalam menggali signifikansi moral al-Qur’ān yang menjadi legacy mereka sebagai pewaris tugas kenabian dalam membawa risālah akhlaqiyyah kepada manusia secara umum. Pendahuluan Keberadaan penafsiran sufistik sudah sejak lama dipertentangkan dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’ān. Al-Suyūthī dalam kitabnya Al-Itqān fī ‘ulūm al-Qur’ān membuka pasal tentang penafsiran para sufi dengan pernyataan yang bernada klarifikatif, “amma kalām al-shūfiyya fi al-Qur’ān fa laysa bi tafsīr(Pandangan kalangan sufi terhadap al-Qur’ān bukanlah tafsir). 1 Pernyataan ini pada dasarnya hanya mempertegas sikap kalangan mufassirin sebelumnya seraya merujuk sebuah fatwa yang dikeluarkan pada abad ke-13 oleh seorang muhaddits terkenal Ibn Shalah (w.1245) dalam Fatāwā-nya. Dalam fatwa ini, Ibn Shalah menyitir pernyataan Abū al-Hasan al-Wāhidī (w.1075) yang mendengar bahwa Abū ‘Abd al-Rahmān al-Sulamī telah menyusun sebuah tafsīr yang diberi nama Haqā’iq al-Tafsīr. Al-Wāhidī menegaskan bahwa jika al-Sulamī meyakini apa yang ditulisnya sebagai “tafsir”, maka ia telah kufur. Tentu saja, kata tafsīr yang dipahami pada masa hidup al-Wāhidī, sekitar abad ke-11 M telah mengalami perubahan makna dari apa yang dipersepsikan sebelumnya oleh para ulama sebagai bagian dari penjelasan terhadap ayat-ayat a-Qur’ān. Ibn Shalah sendiri setuju

Upload: lydang

Post on 16-Jan-2017

222 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: M. Anwar Syarifuddin.pdf

MENIMBANG OTORITAS SUFI DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’ĀN*

Oleh M. Anwar Syarifuddin**

Abstrak Sebuah fenomena menarik yang terjadi dalam praktek penafsiran al-Qur’ān dan perkembangan ilmu tafsir pada awal masa pembentukannya di abad ke-4 hijriah adalah batas pemilahan yang semakin kentara antara bentuk-bentuk penafsiran yang terpuji dan memiliki legitimasi formal di satu sisi, dengan bentuk-bentuk penafsiran yang tercela dan bersifat tidak formal yang juga terkadang dibumbui sebutan bid’ah di sisi yang lain. Pemilahan yang cenderung menciptakan dikhotomi yang berdimensi teologis ini –di mana penyimpangan terhadap praktek penafsiran yang baku berakibat pada munculnya tuduhan kāfir untuk pelakunya—menandai sebuah kenyataan akan semakin menguatnya pengaruh ilmu hadits, fiqh dan ilmu kalam aliran moderat, sementara peran ilmuwan muslim lain seperti para filsuf dan mutakallimin di luar kelompok sunni menjadi semakin terpinggirkan. Penilaian yang cukup mixed terjadi terhadap kalangan sufi. Sebagian kalangan sufi dikecam, bahkan dianggap keluar dari Islam, akibat pernyataan ekstatik mereka yang menyerempet batas-batas pemahaman akidah yang diperkenankan. Sebagian yang lain dipuji karena dianggap kaum yang shalih dengan konsistensi kuat dalam mengusung panji-panji moralitas dan etika yang luhur. Otoritas sufi dalam menafsirkan al-Qur’ān sendiri digugat, tetapi juga dibela. Penafsiran sufistik digugat kesahihan metodenya karena mirip dengan metode ta’wīl yang dilakukan kalangan Syi‘ah Bāthiniyyah. Salah satu hal yang menarik dan ditengarai telah menjadi inti selamatnya sufi dari tuduhan kekafiran seperti yang ditimpakan terhadap kalangan Bāthiniyah adalah analisis para sufi yang tetap menyertakan makna zhāhir, makna baku yang diperoleh melalui proses ijtihadi yang valid merujuk kepada pernyataan al-Qur’ān, sunnah, maupun konsesi pemakaian bahasa secara umum. Atas landasan makna zhāhir inilah mereka membangun metode penafsiran al-Qur’ān secara isyārī dalam menggali signifikansi moral al-Qur’ān yang menjadi legacy mereka sebagai pewaris tugas kenabian dalam membawa risālah akhlaqiyyah kepada manusia secara umum. Pendahuluan

Keberadaan penafsiran sufistik sudah sejak lama dipertentangkan dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’ān. Al-Suyūthī dalam kitabnya Al-Itqān fī ‘ulūm al-Qur’ān membuka pasal tentang penafsiran para sufi dengan pernyataan yang bernada klarifikatif, “amma kalām al-shūfiyya fi al-Qur’ān fa laysa bi tafsīr“ (Pandangan kalangan sufi terhadap al-Qur’ān bukanlah tafsir).1 Pernyataan ini pada dasarnya hanya mempertegas sikap kalangan mufassirin sebelumnya seraya merujuk sebuah fatwa yang dikeluarkan pada abad ke-13 oleh seorang muhaddits terkenal Ibn Shalah (w.1245) dalam Fatāwā-nya. Dalam fatwa ini, Ibn Shalah menyitir pernyataan Abū al-Hasan al-Wāhidī (w.1075) yang mendengar bahwa Abū ‘Abd al-Rahmān al-Sulamī telah menyusun sebuah tafsīr yang diberi nama Haqā’iq al-Tafsīr. Al-Wāhidī menegaskan bahwa jika al-Sulamī meyakini apa yang ditulisnya sebagai “tafsir”, maka ia telah kufur. Tentu saja, kata tafsīr yang dipahami pada masa hidup al-Wāhidī, sekitar abad ke-11 M telah mengalami perubahan makna dari apa yang dipersepsikan sebelumnya oleh para ulama sebagai bagian dari penjelasan terhadap ayat-ayat a-Qur’ān. Ibn Shalah sendiri setuju

Page 2: M. Anwar Syarifuddin.pdf

dengan al-Wāhidī bahwa penafsiran sufistik tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah tafsir.2

Bila kita sekilas melihat pandangan dan fatwa di atas, tidaklah mengherankan bila pernyataan semacam itu dianggap pula sebagai penolakan terhadap penafsiran sufistik, meski kesimpulan semacam ini tampaknya sangat tergesa-gesa dan perlu dibenahi melalui pengkajian yang cukup mendetail. Kesan yang mencolok dari pandangan al-Wahidi dan pemikiran-pemikiran senada dari ulama yang datang belakangan, seperti Ibn Shalah dan Jalāl al-Dīn al-Suyūthī adalah bahwa istilah tafsīr telah dipahami secara sangat formal dengan dimensi legalistik dan teologis yang sangat kental. Ini akan kita lihat dari pemaparan yang akan disajikan dalam tulisan ini, sehingga pada akhirnya kita bisa menimbang apa sebenarnya yang bisa dikatakan karakter utama penafsiran sufi itu.

Sebagai pembuka, Ibn Shalāh memaparkan pertanyaan sang mustafti (peminta fatwa) tentang status penafsiran yang dilakukan oleh para sufi terhadap teks al-Qur’ān. Sang mustafti bercerita bahwa ketika ia menghadiri sebuah majelis pengajian, ia mendengar seorang shaikh menyatakan bahwa penafsiran sufi bukan termasuk tafsir, tetapi merupakan “makna yang didapatkan melalui tilāwa.” Shaikh itu tampaknya memberikan penilaian positif terhadap penafsiran sufi ketika ia juga memberi contoh firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, kalian selayaknya memerangi orang-orang kafir di sekitarmu...( QS 9:123)” Bagi kalangan sufi ayat ini adalah anjuran untuk memerangi hawa nafsu, mengingat kekejian yang paling dekat dengan diri manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Atau ketika menerangkan penjelasan para sufi terhadap QS 71:1, “Dan Kami telah mengutus Nuh kepada ummatnya...,” yang menurut penafsiran sufi kata “Nūh” bisa ditafsirkan sebagai “akal” atau “hasrat” (ghar) yang dengan kedua hal ini Allah memberikan manfaat serta keuntungan yang dapat manusia raih melalui firman-firman-Nya. Sang mustafti menilai bahwa pandangan-pandangan semacam ini telah banyak diungkapkan oleh para tokoh sufi. Persoalan pokok yang dipertanyakan sang mustafti kepada Ibn Shalāh adalah, sebagaimana telah diketahui secara umum bahwa makna yang dikehendaki dari ayat QS 9:123 bukanlah perintah untuk memerangi “hawa nafsu”, sehingga menurutnya jika seseorang memberikan penjelasan lain untuk makna alladhīna yalūnakum min al-kuffār, yang melalui pemahaman zhāhir berarti orang-orang kafir dari kaum kerabat kalian, maka dengan mengatakan sesuatu makna yang lain dari apa yang dipahami secara zhāhir merupakan sebuah kesalahan.

Pandangan seperti yang diberikan oleh mustafti di atas sangatlah hitam putih, penuh dengan nuansa legalistik. Jika sebuah makna, misalnya, tidak sesuai dengan apa yang dianggap semestinya menurut hukum zhāhir, maka itu adalah penyimpangan. Jika kemudian hal yang dijadikan tolok ukur penyimpangan tadi memiliki bobot teologis yang kuat, dengan kata lain menyangkut akidah, maka tidak heran kemudian bila tuduhan kekufuran bisa di timpakan kepada sang pelaku. Jika pandangan mustafti ini dianggap sebagai pandangan kelompok umum dalam masyarakat yang hanya mampu memahami penafsiran al-Qur’ān hanya dari aspek makna zhahiriah semata, bagaimana dengan pengakuan dari kalangan sufi sendiri? Apakah mereka juga menganggap penjelasan tehadap ayat al-Qur’ān yang mereka ungkapkan sebagai bagian dari apa yang disebut “tafsir” dengan konotasi legal dan teologis tadi? Bahkan yang juga harus diteliti adalah apakah benar bahwa pernyataan al-Wahidī bisa dianggap sebagai tuduhannya terhadap Abu Abd al-Rahmān al-Sulami bahwa ia telah benar-benar berbuat kekufuran? Ini perlu

2

Page 3: M. Anwar Syarifuddin.pdf

telaahan yang cukup cermat mengingat al-Wahidi hanya mengungkapkan pengandaian, “...jika ia meyakininya sebagai tafsir, maka ia telah kufur.”

Sebelum membahas lebih jauh tentang fatwa Ibn Shalah terhadap penafsiran sufistik ini, ada baiknya kita mengenal lebih dalam siapa saja tokoh sentral yang terlibat di dalamnya. Ada tiga tokoh yang secara tersurat disebutkan di dalamnya: Abu al-Hasan al-Wāhidī, Abu Abd al-Rahmān al-Sulamī, dan Ibn Shalah sendiri sebagai mufti yang mengeluarkan fatwa. Abu al-Hasan al-Wāhidī adalah seorang linguist, ahli hadits, sekaligus juga mufassir yang bermadhhab Syafi’i. Dia terkenal dengan karyanya mengenai asbab al-nuzul yang mendapat pujian sebagai karya terbaik di bidangnya. Disusun berdasarkan susunan surat-surat al-Qur’ān, al-Wahidi mengumpulkan hampir seluruh hadits-hadits mengenai sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’ān dengan susunan sanad yang lengkap melalui periwayatan sahabat dan tabi’in.3

Abu Abd al-Rahman al-Sulamī lahir di Naysabur pada tahun 325/937, termasuk keturunan Arab suku Azd b. Ghawts dari garis ayahnya, dan Sulaym b. Mansur dari garis ibu. Tidak banyak informasi mengenai ayahnya, kecuali sedikit saja yang menyebut bahwa dia seorang sufi. Beberapa ulama terkenal yang termasuk dalam garis keturunan ibunya adalah Ahmad b. Yusuf b. Khalid al-Naysaburi, seorang ahli hadits; dan Abu Amr Isma’il b. Nujayd yang selain ahli hadits juga seorang tokoh sufi abad ke-4 Hijrah. Ibn Nujayd inilah yang pertama kali menanamkan pengaruhnya di dalam perkembangan intelektual al-Sulamī, bahkan dia juga yang mengenalkannya dengan dunia sufi. Memulai periwayatan hadits dari Ibn Nujayd, al-Sulamī dikenal sebagai seorang yang tsiqat yang menjadi sumber bagi Hakim al-Naysaburī (w.405/1014), al-Qusyairī, Abu Bakr al-Bayhāqī (w.458/1066), dan Abū Nu‘aym al-Isfahānī.4

Sementara, Ibn Salah juga merupakan salah seorang ahli hadits. Lahir di Iraq pada tahun 577 H, lalu mengembara ke Khurasan guna mendalami ilmu hadits dan fiqih dalam madhhab Syafi’i. Ia juga pernah tinggal di Jerussalem sebelum berpindah ke Damaskus menghabiskan akhir hayatnya di madrasah Rawahiyya.5 Dari sini tampak jelas bahwa ketiga tokoh di atas merupakan bagian dari kelompok ahli hadits dan sama-sama bermadhhab Syafi’i di dalam pemahaman fiqh mereka. Persoalan ini cukup penting bukan saja untuk melihat besarnya pengaruh ilmu hadits, tanpa bermaksud mengesampingkan peranan ilmu fiqih dan teologi, dalam pembentukan konsep-konsep yang berkenaan dengan dimensi penafsiran terhadap al-Qur’ān, terutama menyangkut proses perkembangan menuju standardisasi tafsīr yang ditandai dengan penyempitan makna dan penggunaannya. Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi

Kata Arab tafsīr, diambil dari bentuk dasar f-s-r dan bentuk sungsangnya s-f-r. Bentuk dasar pertama dipakai untuk makna “menjelaskan”. Bentukan kata bendanya, al-fasr, berarti “penjelasan” yang kadang juga dirujuk sebagai “observasi dokter melalui medium air”.6 Dari beberapa pemakaian kata di atas, jelas bahwa penggunaan kata tafsīr dengan merujuk bentuk dasar f-s-r mensyaratkan dipakainya sebuah medium dalam menjalankan proses penafsiran, sehingga kata Arab tafsira, misalnya, didefinisikan sebagai “aktivitas mencari tahu penyebab sebuah penyakit”. Akan tetapi, ada dua syarat yang diperlukan untuk menandai validitas pemakaian makna ini, yaitu: adanya objek yang berupa tafsira sendiri dan akivitas observasi atau analisis. Dua syarat ini penting, seperti

3

Page 4: M. Anwar Syarifuddin.pdf

diungkapkan Nasr Abu Zayd di dalam Mafhūm al-Nash, mengingat seorang dokter tidak akan begitu saja sampai kepada sebuah diagnosis yang mendekati kebenaran jika ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan penelitiannya terhadap objek tafsira tadi.7

Sementara itu bentukan dasar kedua melalui bentuk sungsang s-f-r membentuk makna “aktivitas transformatif”8 yang bisa dikaitkan dengan tradisi hermetik dalam hubungan transfer pengetahuan melalui wahyu atau aktivitas menjelaskan makna wahyu. Penggunaan makna pertama sangat jelas pada pemakaian kata safīr yang berarti rasul, atau malaikat yang membawakan wahyu kepada para Nabi atas izin Tuhan. Makna ini bisa diterapkan pada QS 80:15, “biaydiy safarah kirāmin bararah (di tangan para malaikat yang mulia dan penuh kebajikan...). signifikansi kedua tampak jelas pada penggunaan kata sifr yang berarti kitab/buku. Asal usul kata sāfir dipakai untuk menunjuk kepada “penulis” (kātib), karena fungsi seorang penulis adalah menerangkan sesuatu dan membuatnya menjadi jelas. Atas dasar ini, kata kitāb bermakna aktivitas menjelaskan apa yang tersembunyi di hati dan melepaskannya dari keterpenjaraan hati.

Akan halnya kata Arab ta‘wīl dirujuk dari bentuk dasar a-w-l yang bermakna kembali. Pemakaian kata ini dalam al-Qur’ān menunjuk ke arah aktifitas memberikan penjelasan, seperti juga dipakai untuk kata tafsir.9 Berbeda dengan kata tafsir yang dipakai hanya sekali di dalam al-Qur’ān, kata ini ditemukan di 17 tempat di dalam al-Qur’ān, yang bila ditilik melalui peradaban Arab pada masanya, kata ini sangat erat hubungannya dengan tradisi penafsiran mimpi, yang darinya seseorang dapat menarik pelajaran.10 Berbeda dengan aktivitas tafsir yang mutlak mensyaratkan medium sebagai unsur utama dalam proses penafsiran, penggunaan kata ini tidak mutlak mensyaratkan hal yang sama, karena ta’wil bisa didapatkan tanpa medium sama sekali, seperti diisyaratkan oleh QS 18:78 dan 82, di mana penjelasan Khidr atas perbuatannya bukan didasarkan pada cakrawala pandangan secara umum, sebagaimana juga Musa memprotesnya, tetapi didapatkan melalui pengetahuan Tuhan yang diterimanya, Khidr menjelaskan pembenaran atas tindakan-tindakan yang telah dilakukannya.

Essensi yang bisa kita tarik dari analis bahasa terhadap kata tafsīr dan ta’wīl di atas adalah adanya sebuah petunjuk yang jelas bahwa dua kata ini sama-sama dipakai untuk aktivitas yang berkaitan dengan “penjelasan atas Kalamullah” (bayān kalāmillāh). Lepas dari persoalan apakah hal ini termasuk kategori ilmu khusus ataukah hanya sebuah istilah biasa yang berlaku universal, kedua kata ini sejak masa awal Islam sudah dipakai untuk nama judul karya yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur’ān secara umum, tanpa merinci metode yang dipakai oleh penyusunnya. Al- Farrā’ (w.822), misalnya, menamakan kitabnya yang mengupas pemahaman linguistik terhadap al-Qur’ān dengan judul Ma‘ānī al-Qur’ān, sementara pengikut Sahl al-Tustarī memberi nama Tafsir al-Qur’ān al-Azhim untuk tafsir Sufi yang disusunnya, sedangkan Ibn Jarīr al-Tabarī menamakan kitab tafsirnya dengan sebutan Jamī‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āyy al-Qur’ān. Tiga karya tafsir ini mewakili tiga metode penafsiran yang berbeda: al-Farrā’ dengan cara al-dirāya/ra’yi, Sahl al-Tustarī dengan cara isyārī, dan Tabarī dengan al-riwāya. Walhasil, ketiganya merupakan bagian dari apa yang dianggap sebagai karakteristik umum tafsir, memberikan penjelasan terhadap Kalamullah. Tidak heran bila kemudian beberapa ulama seperti Ibn ‘Ubayd menyatakan bahwa pada masa itu tafsir dan ta’wil memang memiliki kesamaan makna.11

4

Page 5: M. Anwar Syarifuddin.pdf

Penyempitan Makna dan Standardisasi Konsep Persoalan yang mengemuka, seperti dapat kita lihat dalam komentar al-

Wahidi terhadap penafsiran sufistik Abu Abd al-Rahman al-Sulami adalah apakah istilah tafsir pada masa hidup al-Wahidi telah mengalami penyempitan makna, sehingga penggunaan metode isyari, seperti yang dilakukan oleh kalangan sufi dalam memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’ān tidak lagi bisa dikatakan sebagai upaya menjalankan tafsīr? Konsep penyempitan makna terhadap istilah tafsir sebenarnya telah dirintis sejak lama, ketika al-Maturidi (w.333/944) mendefinisikan istilah tersebut dengan “memberikan kepastian bahwa makna sebuah kalimat adalah demikian dengan serta memberi persaksian (syahādah) atas nama Allah bahwa Ia menghendaki maknanya seperti itu.” Makna yang dikehendaki oleh Allah ini, dalam pandangan Maturidi, harus didukung dengan dalil yang kuat agar bisa dianggap valid, bila tidak maka termasuk kategori “penafsiran rasional” (tafsīr bi al-ra’yi) yang tercela.12 Sampai di sini jelaslah kiranya kalau al-Māturīdī memasukkan tafsīr ke dalam proses ijtihadi, di mana pengambilan makna yang menjadi penjelasan terhadap ayat al-Qur’ān harus disertai dengan argumen yang meyakinkan. Sejalan dengan penolakan terhadap metode tafsīr bi al-ra’yi sejak masa awal Islam, maka argumen yang dipakai untuk melandasi pengambilan makna tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’ān juga mesti disandarkan pada argumentasi naqli di mana peranan akal direduksi sampai pada taraf minimal, bahkan tidak ada sama sekali karena yang menentukan validitasnya bukan semata-mata pada sahihnya argumentasi itu menurut penalaran logika, tetapi tergantung pada kuat dan banyaknya rangkaian perawi yang bersetuju. Ini dimungkinkan baik dengan mengambil argumen yang bernilai penjelasan yang berada dalam bahagian lain dari al-Qur’ān sendiri, yang diyakini diriwayatkan secara mutawatir, sehingga tidak perlu diingkari kesahihannya, atau dengan mengutip hadits yang semakin sahih bila diriwayatkan banyak perawi yang kuat, tsiqa.

Mengkonsepsi tafsir seperti diungkap oleh al-Māturidi di atas mengarah pada justifikasi penafsiran melalui pendekatan skriptural, terutama menyangkut sumber utama hukum Islam: al-Qur’ān dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap al-Qur’ān dianggap valid jika didasarkan pada argumen-argumen yang juga disuarakan oleh al-Qur’ān sendiri, ataupun didapatkan penjelasannya di dalam sunnah Rasul. Akibatnya, pengaruh perkembangan ilmu hadits ke dalam menentukan arah metode penafsiran yang dianggap valid terhadap al-Qur’ān menjadi sangat sentral. Tafsir sudah sejak lama menjadi bagian dari ilmu hadits, seperti Bukharī di dalam kitab Shahih-nya juga menyertakan bagian tersendiri tentang tafsīr. Atas pertimbangan ini pula tampaknya penilaian terhadap validitas makna yang diberikan kepada sebuah ayat al-Qur’ān kemudian sangat bergantung pada kesahihan riwayat yang membawanya. Di samping itu, beberapa elemen penafsiran seperti qirā’at, nuzul ayat, nasikh mansukh, Makkī dan Madanī, juga bertopang pada validitas riwayat hadits yang membawanya.

Dengan membatasi tafsīr hanya untuk penjelasan yang berdasarkan makna yang diyakini menjadi makna yang dikehendaki oleh Allah sebagai Sang Pemilik Kalam di dalam al-Qur’ān, proses tafsīr digolongkan ke dalam metode i‘tibārī, yaitu dengan “membatasi makna dan menjadikannya terikat hanya dengan pemakaian makna itu.”13 Pembatasan makna yang bermuara pada dimensi teologis, dengan meyakini bahwa inilah makna sebenarnya yang dikehendaki Tuhan terhadap kalamnya kepada manusia, membuat tafsīr tidak mampu melampaui batas

5

Page 6: M. Anwar Syarifuddin.pdf

denotasi seperti yang tertuang dalam makna zhahir dari sebuah lafadh al-Qur’ān, mengingat pesan al-Qur’ān diperuntukkan untuk seluruh ummat manusia. Hanya makna zhahir saja yang mampu memberikan makna umum secara universal, lepas dari segala jenis konotasi dan makna-makna khusus yang bersifat lokal. Metode ini juga dasarnya meminimalisasi peran rasio dalam menentukan sebuah makna karena yang terjadi adalah pemberian makna melalui konsesi pemakaian bahasa yang berlaku secara umum.

Walhasil, metode ijtihadi yang tampak dalam proses tafsīr, baik menyangkut prosedur penyandaran argumen, maupun kecenderungan untuk menutup kemungkinan lain pengambilan makna di luar konsesi zhahir, menjadi upaya yang memagari tafsīr dari peran dominan akal yang sejak awal Islam sudah diperingatkan tentang keburukannya. Pengalihan dari makna zhahir, misalnya, hanya dimungkinkan ketika terjadi kendala teologis akibat kesan tasybih yang mengarah pada gejala anthropomorfisme, sehingga diperlukan panafsiran metaforis yang keluar dari makna literalnya. Dalam hal ini, metode ta’wil didefinisikan oleh Maturidi sebagai “memilih salah satu makna dari berbagai alternatif arti yang dimungkinkan tanpa disertai pemberian kesaksian atas nama Allah.”14 Hanya saja kalangan yang menutup sama sekali dari penafsiran bi al-ra’yī juga menolak bentuk ta’wil yang merupakan interpretatsi metaforis dengan mengedepankan konsep tanzīh. Dengan begitu kesucian dan ketidakserupaan Allah dengan makhluknya bisa tetap terjaga.

Bila kita meramu penjelasan-penjelasan yang mendasari penyempitan makna tafsīr, maka konsekuensi lanjutan yang bisa diraih adalah berlangsungnya proses standarisasi, ketika tafsir kemudian dipahami sebagai bentuk penafsiran yang bersifat formal dan umumnya mendapatkan pujian, sementara ta’wil sebaliknya merupakan bentuk penafsiran yang tidak formal dan umumnya mendapatkan kecaman. Pertanyaan kita sekarang, berkaitan dengan fatwa diatas, apakah bentuk pemaparan penjelasan atas ayat-ayat al-Qur’ān yang dilakukan oleh Abu Abd al-Rahmān al-Sulami di dalam Haqā’iq al-Tafsīr dianggap sebagai bentuk penafsiran yang bukan termasuk kategori tafsīr sehingga harus dicela, sehingga pelakunya layak mendapat tuduhan kafir?

Jika kita mendasarkan penilaian pada latar belakang ilmu hadits yang mengedepankan kesahihan riwayat sebagai tolok ukur kesahihan argumen yang akan dibangun dalam rangka mencari kehendak Tuhan terhadap makna pesan-pesannya, maka sangat jelas bahwa upaya penafsiran yang dilakukan al-Sulami di dalam Haqā’iq al-Qur’ān sangat jauh dari kriteria ini. Kitab ini memuat riwayat para sufi dan komentar mereka berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’ān tanpa menyebutkan sanadnya hingga riwayat ini sampai ke tangan al-Sulamī sendiri. Oleh karenanya, penisbatan yang dilakukan al-Sulamī terhadap apa yang dikatakannya sebagai pendapat Imam Ja‘far al-Sadiq, misalnya, diragukan kebenarannya oleh Ibn Taymiyya.15

Di samping itu, isi dan tema umum yang diungkap al-Sulami dalam Haqāiq al-Tafsīr sama sekali bukan informasi yang bisa dicerna dengan mudah oleh publik secara luas. Seperti diakui sendiri di dalam muqaddimah tafsirnya, al-Sulami bermaksud mengumpulkan pandangan para tokoh yang termasuk ahli al-haqiqa tentang al-Qur’ān, sebagaimana orang lain telah menyusun banyak karya yang menampilkan ilmu-ilmu yang termasuk dalam dimensi zhāhir al-Qur’ān seperti fawā’id, musykilāt, ahkām, i‘rāb, lughah, mujmal dan mufassar, nasikh mansukh dan lainnya.16 Ini menjadikan Haqā’iq sebagai kitab yang berisi

6

Page 7: M. Anwar Syarifuddin.pdf

penjelasan makna ayat-ayat al-Qur’ān di luar kategori proses pengambilan makna secara i’tibari seperti yang berlaku dalam tafsīr. Belum lagi, penilaian yang beragam terhadap figur-figur sufi yang dimuat pandangan-pandangannya di dalam Haqā’iq al-Tafsīr menjadi persoalan rumit yang tidak saja kemudian menyertakan penilaian terhadap metode panafsiran yang dilakukan oleh para sufi itu, di mana setiap individu memiliki keunikannnya sendiri, tetapi juga menyertakan penilaian terhadap aspek kepribadian mereka dari yang paling taat dan salih sampai kepada beberapa pribadi yang dianggap nyeleneh karena pernyataan-pernyataan esktatiknya, syathahiyyāt. Dalam hal ini selain memuat pandangan Ja‘far al-Sadiq, Dhu al-Nun al-Misri, Junayd, Sahl al-Tustarī, Ibn Athā’ al-Baghdadi, Abu Bakr al-Wāsitī, Fudhayl b. Iyādh, serta Shiblī, tuduhan yang memberatkan kitab ini adalah ketika al-Sulami juga memuat pandangan-pandangan Abū Manshūr al-Hallāj, seorang sufi martir yang mati digantung di tiang salib karena pandangan-pandangan wahdat al-syuhud, dan aktivitas da’wahnya yang mendukung pemberontakan Qaramithah terhadap kekhalifahan Abbasiah.

Meskipun begitu, adalah sangat mungkin bila kritik pedas al-Wāhidī dan Ibn Shalāh ditujukan bukan untuk menghakimi penafsiran sufi yang telah dikumpulkan oleh al-Sulami, tetapi lebih sebagai peringatan keras kepada teman sejawat yang masih sesama penganut madhhab Syafi‘ī untuk tidak memasukkan karyanya sebagai sebuah tafsīr, yang nampaknya telah mengalami penyempitan makna seperti yang diungkap di muka. Bahwa metode periwayatan tanpa menyertakan sanad lengkap sebenarnya baru dianggap sebagai kesalahan prosedur ketika isi matan hadits yang dikandungnya memang berkaitan dengan aspek ibadah yang mengandung unsur legalitas atau teologis yang memerlukan argumentasi naqli yang didukung oleh kesahihan riwayat. Sementara pesan-pesan moral yang menyangkut aspek adab atau etika, seperti juga halnya mau‘idhah yang baik, tidak begitu mensyaratkan kesahihan sanad karena banyak hadits yang berisi mau‘izhah hasanah tetap bisa diterima dan diamalkan meskipun diriwayatkan melalui sanad yang lemah (dha’if). Oleh karenanya, sebagaimana Khatib al-Baghdadi dan Subki yang menilai al-Sulami sebagai perawi yang tsiqat, persoalan penghilangan sanad dalam proses penukilan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan konsepsi etika para sufi dalam memahami al-Qur’ān bukan menjadi problematika utama yang menjadikan penafsirannya dikritik pedas oleh kalangan muhadditsun, seperti diwakili oleh al-Wahidī dan Ibn Shalah.

Sebagaimana al-Sulami juga tidak meyakini pandangan yang dinukilkannya sebagai tafsīr dalam arti penjelasan tentang makna yang dikehendaki Allah dari ayat-ayat al-Qur’ān, Ibn Shalah memberikan jawaban dalam fatwanya,

“...Imam Abu al-Hasan al-Wahidi, seorang mufassir al-Qur’ān, menyatakan bahwa Abu Abd al-Rahman al-Sulami telah menyusun Haqā’iq al-tafsīr. Jika dia meyakininya sebagai tafsir, maka dia telah kafir. Saya berpendapat bahwa ini sangat diragukan datang dari orang yang dianggap tsiqat dalam kalangan ahli hadits. Jika ia mengungkapkan penjelasan semacam itu, maka dia semestinya tidak akan memasukkannya sebagai tafsir, atau pejelasan apapun yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’ān, karena hal itu sama saja dengan cara yang ditempuh oleh kelompok Bāthiniyyah...”17

7

Page 8: M. Anwar Syarifuddin.pdf

Oleh karena itu, kenyataan bahwa al-Sulami sendiri tidak meyakini apa yang diungkapkannya di dalam Haqā’iq sebagai tafsir cukup memberi excuse baginya dari tuduhan bahwa ia telah bertindak melampaui batas-batas keimanan. Tuduhan kufur baru dikenakan bila ternyata ia memang menjalankan metode yang ditempuh kelompok Batiniyah. Sa‘d al-Dīn al-Taftazānī (w.722/1390) memberikan penjelasan dalam Syarh Aqā’id al-Nasafiyah, “Kaum Batiniyah dijuluki dengan sebutan itu karena mereka menyandarkan interpretasi terhadap teks al-Qur’ān bukan melalui indikasi yang tertuang dalam makna zhahir, tetapi dengan mengambil makna batin yang hanya diketahui oleh para imam Shi’ah, yang digelari dengan julukan para mu‘allim.”18 Tindakan yang memalingkan makna zhahir kepada makna batin yang dilakukan kalanan Batiniyyah ini, menurut Taftazani, dianggap sebagai tindak kekufuran karena maksud mereka sebenarnya adalah menolak syariah secara keseluruhan. Sebuah penjelasan yang sangat gamblang, yang sasaran sebenarnya berada di luar kelompok sunni, terutama karena kelompok Bāthiniah memiliki anutan ideologis yang berbeda untuk menolak syari’ah dengan bersembunyi di balik penafsiran batin. Karakteristik Penafsiran Sufi

Memasukkan penafsiran sufi sebagai bagian dari tafsīr secara formal adalah tidak mungkin, sebagaimana juga mustahil menakar kesahihannya melalui pandangan formal yang berbasis legalistik karena pandangan para sufi tidak menyangkut esensi ibadah, dalam kaitan aspek hukum dan muatan teologisnya, tetapi lebih pada kualitas penghayatan spiritual terhadap pelaksanaan ibadah seseorang. Dimensi yang ditawarkan oleh para sufi adalah dimensi ihsān, yang menjadi bagian erat dari ajaran Islam sendiri seperti dinukilkan dalam hadits Jibril ketika menguji pengetahuan Nabi SAW dengan bertanya apa itu imān, islam dan ihsān serta pertanyaan tambahan tentang kiamat (sā‘ah). Ihsan dalam konsep ini dijelaskan oleh Nabi sebagai “an ta‘buda Allāh kannaka tarāhu fa in lam takun tarāhu fa innahu yarāka” (kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu). Dalam mengejawantahkan nilai-nilai spiritualitas yang termuat dalam dimensi ihsān inilah pandangan-pandangan sufi terhadap ayat-ayat al-Qur’ān bermuara.

Kemunculan penafsiran sufi juga tidak lepas dari situasi dan kondisi yang melatari corak dan sifat gerakan tasawwuf sendiri pada masa setelah wafatnya Rasulullah. Seperti diungkapkan Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, bahwa tasawwuf merupakan sebuah protes bisu melawan kekuatan politik aristokrasi, ketidakadilan sosial, dogma-dogma agama yang cenderung formal dan kering. Di sini, para Sufi dianggap telah berhasil menyelamatkan warisan spiritual Islam, bahkan telah memberikan warna baru bagi penafsiran al-Qur’ān ketika mereka pun mampu menunjukkan orisinalitas tasawwuf sebagai ajaran Islam. Dan ketika al-Qur’ān pun dirujuk sebagai cahaya (QS 64:8; 4:17), maka al-Ghazali mengumpamakannya laksana cahaya matahari yang menerangi mata, akal manusia. Meski memiliki kemampuan melihat, namun semua yang tampak padanya tidak akan berada dalam tingkatan yang sama. Raghib al-Isfahani juga memberikan komentar senada, bahwa Allah menurunkan al-Qur’ān sesuai dengan kebutuhan hamba-hambanya, dan disampaikan dengan secermat-cermatnya. Ia menerangkan bahwa itu dimaksudkan agar semua dalil dan buktinya dapat dipahami secara meyakinkan oleh kaum awam menurut susunan redaksinya. Sementara kaum khawas dan para ahli hikmat dapat menapis berbagai persoalan

8

Page 9: M. Anwar Syarifuddin.pdf

dari sela-sela kalimatnya. Oleh karena itu pula, penafsiran al-Qur’ān disesuaikan dengan pemahaman manusia.19

Salah satu hal yang menjadi dasar penafsiran sufi adalah kenyataan bahwa kalamullah adalah dimensi yang tidak memiliki batas (QS 18:109; 31:28). Maka dengan sendirinya tidaklah bijaksana bila membatasi al-Qur’ān hanya dengan satu penafsiran tertentu, yang kemudian dianggap sebagai satu-satunya penafsran yang sesuai dengan maksud Allah yang sebenarnya atas kalamnya. Beberapa hadits juga menyebut bahwa al-Qur’ān tidak hanya memiliki satu arah penafsiran yang monolitik, tetapi setiap ayat al-Qur’ān memiliki empat wajah penafsiran: zhāhir, bāthin, hadd, dan mathla‘.20 Makna dari keempat istilah ini, seperti dijelaskan oleh Sahl al-Tustarī21 berkait erat dengan isi kandungan ayat-ayat al-Qur’ān secara keseluruhan bisa dibedakan ke dalam 5 kategori: muhkam, mutasyābih, halal, haram, dan amtsāl. Bila kita kemudian tarik lebih jauh kategorsasi-kategorisasi ini dalam diskursus pemahaman terhadap al-Qur’ān secara umum, seperti ditunjukkan dalam pembagian kategori tafsīr yang dilakukan oleh Ibn Abbās,22 maka akan didapatkan 4 dimensi pemahaman terhadap teks al-Qur’ān yang secara kategoris dapat dirangkum dalam bagan berikut ini:

Qur’ān

Zhāhir Tilāwa (bacaan) Mukam Mā arafahu al-arab Praktikal

Hadd Halāl wa arām alāl

Al-halāl wa al-harām Legal arām

Bāthin Fahm (ta’wīl) Amtsāl Ma arafahu al-ulamā’ Metaforikal

Mathla‘ Isyrāf al-qalb ‘alā al-murād bihā23

Mutasyābih Ma la ya‘lamu

ta’wīlahu illa Allāh Testimonial

Tidak semua orang dengan kapasitas intelektual yang dimilikinya mampu

menelaah seluruh makna dari empat kategori tadi. Dua aspek pemahaman yang berlaku umum dan sepatutnya diketahui sebagai panduan hidup manusia adalah aspek praktikal dan legal dari ayat-ayat al-Qur’ān yang di atas landasannya dibangun aturan-aturan hukum. Hanya beberapa kalangan tertentu saja, seperti kalangan ulama dan para sufi, yang mampu menyelami aspek metaforikal dan testimonial dari ayat-ayat al-Qur’ān sebagai bagian dari dimensi pemahaman secara bāthin.

Pertanyaan yang sepatutnya juga kita ulas berkaitan dengan fatwa Ibn Shalah di atas adalah bagaimana seorang sufi menafsirkan al-Qur’ān? Apa saja karakteristik penafsiran sufi itu? Dalam menjawab hal ini, Ibn Shalāh menjelaskan,

“...sesungguhnya (penafsiran sufi) itu merupakan dhikr terhadap perumpamaan (nazhīr) yang ada di dalam al-Qur’ān karena perumpamaan hanya bisa dibandingkan dengan yang semisalnya. Seolah-olah para sufi itu berkata bahwa kita diperintahkan untuk membunuh hawa nafsu beserta orang-orang kafir dari kerabat kita. Maka berhati-hatilah untuk tidak menggampangkan persoalan semacam ini karena masalah ini bisa menimbulkan kesalahfahaman dan hal yang membingungkan.”24

Kategori dhikr yang disebut Ibn Shalah mungkin bisa dikaitkan dengan merujuk pemaparan al-Qur’ān QS.18:70 tentang kisah pertemuan Musa dengan Khidhr, di mana Khidhr mengizinkan Musa untuk mengikuti dengan syarat untuk tidak

9

Page 10: M. Anwar Syarifuddin.pdf

bertanya sebelum ia menjelaskan dhikr, yang dapat dipahami sebagai “alasan” atau “penjelasan” terhadap perbuatan yang akan diperbuatnya. Merujuk kepada pemakaian kata ini pula untuk QS.18:83, dhikr juga bisa dipakai untuk “signifikansi yang bisa didapatkan dari sebuah cerita” ketika Allah memaparkan kisah Zulkarnain. Penafsiran sufi yang menitikberatkan perhatian pada signifikansi moral al-Qur’ān jelas-jelas menjadi alasan mengapa Ibn Shalah mengklasifikasikan bentuk penafsiran ini ke dalam kategori dhikr di luar cakupan makna istilah tafsir secara formal tadi.

Bila kita membandingkan jawaban Ibn Shalah dengan pandangan seorang shaikh yang sebelumnya dirujuk oleh sang mustafti yang juga telah mendatangi majelis pengajiannya di mana ia mengatakan bahwa penafsiran sufi hanyalah “makna yang diperoleh melalui cara pembacaan (tilāwa), maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara seorang sufi mendapatkan makna tadi. Telah secara luas diyakini bahwa pandangan para sufi didapatkan berdasarkan ilham yang mereka peroleh sebagai hasil mujahadah mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah. Cara pembacaan yang dimaksud tergolong ke dalam apa yang dikonsepsikan sebagai hermeneutika pengalaman, the hermeneutics of experience, terhadap teks al-Qur’ān. Meminjam konsep Gerard L. Bruns dalam Hermeneutics Ancient and Modern, pemahaman seseorang terhadap sebuah teks tidak dihantarkan melalui tradisi, tetapi lebih pada pemahaman seseorang terhadap sebuah tradisi dihantarkan melalui “pengalamannya” terhadap teks.25 Oleh karena itu tidak mengherankan bila sufi mampu memberikan makna spiritual yang dalam melalui penafsirannya terhadap lafadh basmala, atau penakwilan mereka terhadap huruf-huruf muqattha‘a.

Penafsiran simbolik terhadap huruf-huruf muqattha‘a yang menjadi pembuka dalam surat-surat tertentu di dalam al-Qur’ān menjadi ciri khas penafsiran sufi yang sebenarnya juga merupakan kelanjutan dari tradisi awal Islam, seperti banyak riwayat menyebutnya sebagai bagian dari hasil penafsiran Ali b. Abi Thālib dan Ibn Abbas dari kalangan sahabat. Persoalan yang kemudian mengemuka dari penafsiran simbolik ini menjadi krusial ketika muqattha‘āt dikategorikan sebagai bagian dari ayat-ayat mutashabihat di dalam al-Qur’ān, yang hanya Allah yang mengetahui penjelasannya. Penjelasan terhadap kemungkinan apakah kalangan tertentu dari orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam (rāsikhūna fi al-ilm) mampu mengetahui penakwilan ayat-ayat mutasyābihāt ini telah menjadi perdebatan teologis yang panjang dan telah pula melahirkan banyak aliran dalam ilmu kalam. Sehingga apakah para sufi termasuk dalam kategori yang disebut sebagai rāsikhūna fi al-‘ilm yang disebut di dalam QS 3:7?

Penjelasan yang memadai tentang kemampuan sufi dalam mencerap pengatahuan Tuhan melalui ritual penyucian diri dan mujahadahnya dalam mendekatkan diri kepada Allah dapat dilihat dalam konsep walayah yang dikonsepsikan oleh Ibn Arabi sebagai “al-nubuwwah al-‘amma al-muktasaba” di samping predikat lain yang disebut sebagai nubuwwat al-ikhtishāsh. Kedua jenis predikat kenabian ini diberikan oleh Allah kepada para nabi sejak masa Adam AS sampai Muhammad SAW. Hanya saja yang membedakan kedua karakter kenabian ini adalah bahwa nubuwwat al-Ikhtishāsh menyangkut pendelegasian risālah ilahiyyah (pesan ketuhanan) yang harus disampaikan kepada ummat manusia dan tertutup pintunya sampai wafatnya Muhammad SAW, sementara predikat walāya terbuka selama-lamanya sejak awal masa penciptaan (al-kalimah al-muhammadiyyah) sampai akhir masa, yang menyangkut pendelegasian tugas untuk

10

Page 11: M. Anwar Syarifuddin.pdf

mengingatkan manusia kepada prinsip-prinsip moral. Pendelegasian tugas menyangkut penegakan aspek moral inilah yang menjadikan sufi mewarisi tradisi kenabian, yang oleh al-Hasan al-Basrī disebut sebagai tugas para sufi untuk mengemban risālah akhlaqiyyah. Kesimpulan

Walhasil, apa yang dilakukan sufi dalam menafsirkan al-Qur’ān labih tepat dipandang sebagai metode isyārī, yaitu dengan jalan menarik keluar indikasi yang tersembunyi yang tampak dari sebuah ayat al-Qur’ān yang diangkat ke dalam cakrawala terbuka dan tanpa batas, yang tidak terbatasi oleh capaian makna zhahir-nya melalui pemahaman literal. Abu Zaid membandingkan bila makna zhahir adalah indikasi yang dihasilkan melalui analisis leksikal terhadap ujaran sebuah diskursus dalam teks, kitab suci yang lekat dengan karakter jauh kemanusiannya (bu‘diha al-insānī), maka makna bāthin yang bisa dicapai oleh kalangan sufi adalah tingkatan paling dalam (al-mustawā al-a‘maq) yang disebut pula sebagai level bahasa Tuhan (mustawā al-lughah al-ilāhiyya) yang didapatkan melalui observasi spiritual mereka. Bagi sufi, bahasa Tuhan tampak dalam bentuk totalitas eksistensinya, bukan hanya dalam formula yang tereduksi menjadi lambang-lambang huruf yang tertulis dalam naskah kitab suci. Oleh karena itu, mereka memahami teks al-Qur’ān tidak terbatas pada naskah al-Qur’ān seperti yang tertuang dalam mushhaf, tetapi mereka juga memahami al-Qur’ān dalam karakternya sebagai kalamullah yang qadim yang tertulis di Lauh al-Mahfuzh.

Jika kemudian terjadi ketidakcocokan antara pemahaman secara zhahir --seperti yang ditunjukkan di dalam fatwa Ibn Shalah melalui pemahaman literal sang mustafti-- dengan indikasi yang ditunjukkan oleh makna batin yang diperoleh kalangan sufi, maka perbedaan ini hanya muncul dalam cakrawala pandang para fuqaha saja, sedangkan bagi para sufi perbedaan ini tidaklah tampak sama sekali, mengingat sufi tidak saja memakai bahasa al-Qur’ān melalui bentuk lahiriahnya dalam dimensi kemanusiaan tetapi juga memandang lafadh-lafadh itu sebagai getaran kalam Tuhan yang sebenarnya. Faktor yang membuat para sufi selamat dari tuduhan kekafiran adalah ketika mereka tidak menafikan sama sekali kandungan makna zhahir yang difahami dari al-Qur’ān dalam dimensi kemanusiaannya tadi, tetapi lebih jauh mereka menggunakan makna zhahir ini untuk sampai pada hakikat al-Qur’ān sebagai wahyu, kalamullah dalam dimensi ketuhanannya. Tanpa melalui makna zhahir, ataupun wujud formal al-Qur’ān dalam bentuknya sebagai bahasa manusia, maka mereka tidak akan sampai kepada makna batin yang melalui kemampuan khusus bisa mereka raih. Wallahu a’lam.

* Artikel ini diterbitkan dalam Jurnal Studi AGAMA DAN MASYARAKAT vol. 1, no. 2 Desember 2004. Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah. ** Penulis adalah Dosen di Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 194. 2Taqiy al-Dīn Ibn Shalāh, Fatāwā, Kairo: Idāra Thabā‘a al-Munīriyya, 1348 H, h.29. 3Abd al-Halīm Mahmūd, Manāhij al-Mufassirin, Kairo: Dār al-kitāb al-mishrī, 1978, h.101-103.

11

Page 12: M. Anwar Syarifuddin.pdf

4Lihat Abū al-‘Alā ‘Afifī, Malāmatiyya wa al-shūfiyya wa ahl al-futuwwa, Kairo : Dār ihyā’ al-kutub, 1945, h. 78-80. Meskipun begitu, ada juga ulama yang menganggap Sulami sebagai seorang pemalsu hadits (wada‘), seperti tuduhan yang dilontarkan oleh Abu Yusuf al-Naysabūri al-Qatthān, akan tetapi tuduhan ini dibantah oleh al-Khatib al-Baghdadi dan Subki [lihat Tāj al-Dīn Subkī, Tabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrā, Kairo: Musthafā al-bāb al-halabī, vol.iii, h.60-62]. 5J. Robson, “Ibn Salāh” in The Encyclopaedia of Islam, Leiden: EJ Brill, CD ROM edition 2002, vol.iii, 927a. 6 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Kairo : Dār al-ma’ārif, tanpa tahun, vol. v, h.3412-13. 7 Nash Hāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Nash, Kairo: Matba’ah al-hayāt al-misriyya li ‘ammat al-kitāb, 1993, h. 8Bentuk verbal safara bermakna: manyapu, mengangkat selubung, angin yang menyapu awan, wanita yang menyingkapkan penutup wajahnya, menemukan sesuatu, mendamaikan dua pihak yang bersengketa, atau juga menulis buku. Lihat E.W Lane, An Arabic English Lexicon, Cambridge: 1984, vol. i, 1370. 9 QS.10:39. 10Ada banyak variasi berkaitan dengan hal ini, seperti penggunaan kata ta’wil dalam surat Yusuf secara umum mengangkat makna “penjelasan atau tafsir mimpi”. QS 12:6, 21, 101 menyebut dengan istilah ta’wil al-ahādits, sementara QS 12:44 menyebutnya dengan ta’wil al-ahlām, sedangkan QS 12:100 menyebut ta’wīl al-ru’ya. Lihat Nashr Hāmid Abu Zayd, Mafhūm al-nash, Kairo: matba’ah al-hayāt al-mishriyya li ‘ammāt al-kitāb, 1993, h.287. 11 Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Al-Itqān fi ulum al-Qur’ān, Kairo: Masyhad al-husayniyya, 1967, vol. iv, h.167. 12 Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. 13Nar Hāmid Abū Zayd, Hakadhā Takallam Ibn Arabī, Kairo: al-Hai’ah al-misriyya al-amma li al-kitāb, 2002, h.139. 14Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. 15Lihat Muhammad Husein al-Dhahabī, Al-Tafsir wa al-mufassirun, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsiyya, tt, vol. ii, h.387. 16Abu Abd al-Rahmān al-Sulamī, Haqā’iq al-Tafsīr, Beirut: Dār al-kutub al-ilmiyya, 2002, vol. i, 19-20. 17 Taqiy al-Dīn Ibn Shalāh, Fatāwā, Kairo: Idāra Thabā‘a al-Munīriyya, 1348 H, h.29. 18Sa‘d al-Dīn al-Taftazānī, Sharh al-Aqā’id al-Nasafiyya, Damaskus: Wizārat al-Tsaqāfa wa irshād al-qawm, 1974, h.191-192. Lihat pula Jalāl al-Dīn al-Suyuthi, al-Itqān, iv, 195. 19Ahmad al-Syirbasi, Sejarah Tafsir al-Quran, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1985, h.45. 20Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 166 dengan seluruh sumber riwayatnya baik yang mursal, maupun yang musnad sampai kepada Nabi SAW. 21 Sahl b. Abd Allāh al-Tustarī, Tafsir al-Qur’ān al-Azhīm, Kairo: Dār al-kutub al-‘aabiyya al-kubrā, 1911, h. 3-5. 22 Ibn Abbās mengatakan bahwa Allah menurunkan al-Qur’ān melalui empat huruf: halal haram yang semua orang mesti mengetahuinya, tafsīr al-Arabī, tafsīr al-ulamā’, dan mutasyābih yang hanya Allah yang mengetahui. Lihat Sahl b. Abd Allāh al-Tustarī, Tafsir al-Qur’ān al-Azhīm, Kairo: Dār al-kutub al-‘aabiyya al-kubrā, 1911, h.24. 23 Kalimat ini dapat diartikan sebagai terbukanya hati terhadap maksud yang dikehendaki dari sebuah ayat al-Qur’ān yang tengah ditafsirkan, umumnya menyangkut ayat-ayat mutasyābihāt di dalam al-Qur’ān. Dalam memberkan penafsiran simbolik terhadap huruf-huruf muqatha’ah, misalnya, kalangan sufi mampu mencerna makna ayat-ayat yang tersamar tadi melalui ilham yang mereka terima melalui jalan mukāshafah sebagai buah kedekatan hubungannya dengan Allah.

12

Page 13: M. Anwar Syarifuddin.pdf

24 Lihat Taqiy al-Dīn Ibn Shalāh, Fatāwā, Kairo: Idāra Thabā‘a al-Munīriyya, 1348 H, h.29. 25Gerard L Bruns, Hermeneutics Ancients and Modern, New Haven: Yale University Press, 1992, h.134.

13