budaya lampung oleh anwar sadad
DESCRIPTION
Kebudayaan Lampung oleh Anwar SadadTRANSCRIPT
BAB I SEJARAH DAN BUDAYA LAMPUNG
Wilayah Kabupaten Lampung Tengah terletak persis dibagian tengah
dari Provinsi Lampung. Berbagai riwayat, hikayat maupun cerita-cerita
rakyat berlatar belakang sejarah daerah telah pula mewarnai sosok
Lampung Tengah. Sehingga dari sisi historis sejarah Kabupaten
Lampung Tengah tidak terlepas dari sejarah Lampung secara umum.
A. Asal Muasal Kata Lampung
Sejarah asal mula kata Lampung berasal dari beberapa sumber. Salah
satu sumber menyebutkan bahwa pada zaman dahulu provinsi ini bila di
lihat dari daerah lain seperti melampung/terapung. Sebab wilayahnya
sendiri pada waktu itu sebagian besar dikelilingi oleh sungai-sungai dan
hanya dihubungkan deretan Bukit Barisan di tanah Andalas. Karena
daerah ini pada saat itu tampak terapung, lalu muncullah sebutan
lampung (melampung).
Sumber lain berdasarkan sebuah legenda rakyat menyebutkan, zaman
dulu di daerah ini ada seorang yang sakti mandraguna serta memiliki
kepandaian yang sulit ada tandingannya bernama Mpu Serutting Sakti.
Sesuai dengan namanya, salah satu kesaktian Mpu tersebut dapat
terapung diatas air. Kemudian di ambil dari kepandaian Mpu Serutting
Sakti itu, tersebutlah kata lampung (terapung).
Riwayat lain menyebutkan bahwa pada zaman dahulu ada sekelompok
suku dari daerah Pagaruyung Petani, dipimpin kepala rombongan
bernama Sang Guru Sati. Suatu ketika Sang Guru Sati mengembara
1
bersama ketiga orang anaknya, masing-masing bernama Sang
Bebatak, Sang Bebugis dan Sang Bededuh. Karena kala itu tanah
Pagaruyung sudah dianggap tak dapat lagi mampu memberikan
penghidupan yang layak, lalu ketiga keturunan ini akhirnya mencari
daerah kehidupan baru.
Dalam riwayat ini disebutkan, Sang Bebatak menuju ke arah utara,
menurunkan garis keturunan suku bangsa Batak. Sang Bebugis menuju
ke arah timur, menurunkan garis keturunan suku bangsa Bugis dan
Sang Bededuh menuju ke arah timur-selatan yang merupakan garis
keturunan suku Lampung.
Singkat cerita, keturunan berikutnya dari Sang Guru Sati lalu tinggal di
Skala Brak. Saat rombongan tersebut memasuki sebuah daerah yang di
sebut dengan Bukit Pesagi, Appu Kesaktian, salah seorang ketua
rombongan menyebut kata “lampung”; maksudnya menanyakan siapa
bermukim di tempat ini.
Kemudian dalam pertemuan ini, pertanyaan yang dilontarkan Appu
Kesaktian di jawab oleh Appu Serata Dilangit yang sudah lebih dulu
menetap di sana dengan kata “wat” yang dalam bahasa daerah berarti
ada. Artinya, tempat tersebut ada yang menghuni. Karena terjadi selisih
paham, kedua tokoh itu bersitegang namun mereka akhirnya menjalin
persaudaraan. Selanjutnya nama “lampung” selalu diucapkan dan jadi
nama tempat.
Versi lain dari cerita rakyat Lampung yang penuturannya hampir sama
dengan kedatangan Appu Kesaktian di Bukit Pesagi adalah cerita
tentang Ompung Silamponga. Dalam kisahnya diceritakan, di daerah
2
yang sekarang dinamakan Tapanuli, dulu terjadi letusan gunung berapi.
Karena letusan gunung berapi itu cukup dahsyat, di tempat ini banyak
penduduknya yang mati terkena semburan lahar panas serta bebatuan
yang disemburkan dari gunung berapi tersebut. Namun, meskipun
letusan itu sangat hebat, banyak juga yang berhasil menyelamatkan diri.
Letusan gunung api di daerah Tapanuli ini menurut tuturannya
membentuk sebuah danau yang kini di kenal dengan nama Danau
Toba.
Adalah empat orang bersaudara, masing-masing bernama Ompung
Silitonga, Ompung Silamponga Ompung Silaitoa dan Ompung
Sintalanga berhasil selamat dari letupan gunung berapi. Mereka
berempat menyelamatkan diri meninggalkan tanah Tapanuli menuju ke
arah tenggara. Dalam penyelamatan diri itu, keempat bersaudara
tersebut naik sebuah rakit menyusuri pantai bagian barat pulau Swarna
Dwipa yang sekarang bernama Pulau Sumatera. Siang malam mereka
tidur diatas rakit terus menyusuri pantai. Berbulan-bulan mereka
terombang-ambing dilautan tanpa tujuan yang pasti. Persediaan
makananpun dari hari ke hari semakin berkurang. Keempat bersaudara
ini juga sempat singgah di pantai untuk mencari bahan makanan yang
diperlukan.
Entah apa sebabnya, suatu hari ketiga saudara Ompung Silamponga
enggan diajak untuk meneruskan perjalanan. Padahal ia pada waktu itu
dalam keadaan menderita sakit. Merekapun turun ke daratan dan
setelah itu menghanyutkan Ompung Silamponga bersama rakit yang
mereka naiki sejak dari tanah Tapanuli. Berhari-hari Ompung Silaponga
tak sadarkan diri diatas rakit.
3
Pada suatu ketika, Ompung Silamponga sadar begitu merasakan rakit
yang ditumpanginya menghantam suatu benda keras. Saat matanya
terbuka, ia langsung kaget karena rakitnya telah berada di sebuah
pantai yang ombaknya tidak terlalu besar. Yang lebih mengherankan
lagi, begitu terbangun badannya terasa lebih segar. Segeralah dia turun
ke pantai dengan perasaan senang. Ia tak tahu sudah berapa jauh
berlayar dan dimana saudaranya berada. Yang dia tahu, kini telah
mendarat di suatu tempat. Kemudian Ompung Silamponga tinggal di
pantai tersebut. Kebetulan di pantai ini mengalir sungai yang bening.
Pikirnya, disinilah tempat terakhirnya untuk bertahan hidup, jauh dari
letusan gunung berapi.
Setelah sekian lamanya Ompung Silamponga menetap di sini, yang
menurut cerita tempatnya terdampar itu sekarang bernama Krui, terletak
di Kabupaten Lampung Barat, ia hidup sebagai petani. Karena merasa
sudah lama bertempat tinggal di daerah pantai, Ompung seorang diri
akhirnya melakukan perjalanan mendaki gunung dan masuk ke dalam
hutan. Suatu ketika tibalah ia di sebuah bukit yang tinggi dengan
panorama yang indah. Pandangannya mengarah ke laut serta di sekitar
tempat itu.
Kegembiraan yang dirasakannya, tanpa sadar dia berteriak dari atas
bukit dengan menyebut kata Lappung. Lappung dalam bahasa Tapanuli
berarti luas. Keyakinannya, pastilah disekitar situ ada orang selain
dirinya. Dengan tergesa-gesa dia turun dari atas bukit. Sesampainya di
tempat yang di tuju, Ompung bertekad untuk menetap di dataran
tersebut untuk selamanya.
4
Ternyata apa yang selama ini diyakininya memang benar, setelah cukup
lama tinggal di sini, Ompung akhirnya bertemu dengan penduduk yang
lebih dulu menetap di tempat ini dengan pola hidup yang masih
tradisional. Tapi meskipun demikian, penduduk itu tidak mengganggu
Ompung bahkan diantara mereka terjalin tali persahabatan yang baik.
Saat datang ajal menjemput, Ompung Silamponga meninggal di dataran
itu untuk selamanya. Daerah yang di sebut Lappung tersebut bernama
Skala Brak.
Tuturan cerita rakyat di sini mengatakan, bahwa nama Lampung berasal
dari nama Ompung Silamponga. Namun ada pula yang menuturkan
kalau nama Lampung di ambil dari ucapan Ompung saat ia berada
diatas puncak bukit begitu melihat dataran yang luas.
Versi berikutnya tentang asal-usul kata Lampung disebutkan bahwa
Skala Brak merupakan perkampungan pertama orang Lampung yang
penduduknya dinamakan orang Tumi atau Buai Tumi.
Menurut Achjarani Alf dalam tulisannya tahun 1954 berjudul
“Ngeberengoh” tentang istilah kata Lampung, bahwa untuk menuliskan
kata Lampung, selain orang Lampung yang beradat Sai Batin maka
mereka menuliskannya dengan sebutan Lampung dan bagi orang Sai
Batin menyebutkannya dengan sebutan `Lampung’ sebagaimana dalam
bahasa Indonesia. Hal ini sama dengan sebutan “Mega-lo” menjadi kata
“Menggala”.
Sebelum ajaran agama Hindu masuk ke Indonesia, beberapa sumber
menyebutkan bahwa di daerah ini semasanya telah terbentuk suatu
pemerintahan demokratis yang di kenal dengan sebutan Marga. Marga
5
dalam bahasa Lampung di sebut Mega dan Mega-lo berarti Marga yang
utama. Dimana masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang
yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan Selapon. Sela
berarti duduk bersila atau bertahta sedangan Pon/Pun adalah orang
yang dimuliakan.
Ketika ajaran agama Hindu masuk ke daerah Selapon, maka mereka
yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan
istilah lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro
yang berarti bertahta raja.
Berdasarkan catatan It-Shing, seorang penziarah dari daratan Cina
menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di
tanah Swarna Dwipa (pulau Sumatera). Dimana di tempat itu walau
kehidupan penduduknya masih bersifat tradisional tapi sudah bisa
membuat kerajinan tangan dari logam besi (pandai besi) dan dapat
membuat gula aren yang bahannya berasal dari pohon Aren. Ternyata
tempat yang disinggahinya tersebut merupakan bagian dari wilayah
Kerajaan Sriwijaya, yang mana kerajaan besar ini sendiri gabungan dari
Kerajaan Melayu dengan Tulang Bawang (Lampung).
Sewaktu pujangga Tionghoa It-Shing singgah melihat daerah Selapon,
dari It-Shing inilah kemudian lahir nama Tola P’ohwang. Sebutan Tola
P’ohwang diambilnya dari ejaan Sela-pun. Sedangkan untuk
mengejanya, kata Selapon ini di lidah It-Shing berbunyi: So-la-po-un.
Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang pendatang
negeri Cina yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat
menyebutkan sebutan So maka It-Shing mengejanya dengan sebutan
6
To. Sehingga kata Solapun atau Selapon disebutnya Tola P’ohwang,
yang kemudian lama kelamaan sebutan Tolang Powang menjadi Tulang
Bawang.
Kerajaan Sriwijaya berbentuk federasi yang terdiri dari Kerajaan Melayu
dan Kerajaan Tulang Bawang semasanya menerima pengaruh ajaran
agama Hindu. Sedangkan orang Melayu yang tidak menerima ajaran
tersebut menyingkir ke Skala Brak. Sebagian lagi tetap menetap di
Mega-lo dengan budaya yang tetap hidup dengan ditandai adanya
Aksara Lampung.
Di antara orang Sela-pon yang menyingkir ke Skala Brak, guna untuk
merapatkan kembali hubungan dengan orang Melayu yang pindah ke
Pagaruyung, dilakukanlah pernikahan dengan seorang wanita bernama
“Tuanku Gadis”. Dari pernikahan tersebut, Selapon akhirnya mendapat
istilah baru lagi menjadi Selampung, dengan silsilahnya yang asli
mereka gelari “Abung”.
Pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan agung yang
wilayahnya sangat luas. Rajanya yang pertama bernama Sri
Jayanegara (680). Wilayah daerahnya meliputi sejumlah daerah di
Sumatera, Jawa Barat dan Kalimantan Barat, bahkan nama Sriwijaya
termashur hingga ke Malaysia dan Singapura (konon di ambil dari nama
panglima perang Sriwijaya yang mendarat di sana bernama Panglima
Singapura) sampai ke India.
Kemashuran Kerajaan Sriwijaya di tanah air meninggalkan beberapa
bukti kejayaan, diantaranya sebuah candi di Muara Takus Provinsi
Jambi yang di kenal dengan Candi Muara Takus, makam raja-raja di
Bukit Siguntang, Bukit Besar Palembang, Sumsel serta sejumlah
7
prasasti (batu bertulis) yang berada di beberapa tempat, seperti:
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang, Prasasti Talang
Tuo di Palembang, Prasasti Telaga Batu di Palembang, Prasasti Bom
Baru di Palembang, Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka, Prasasti
Karang Berahi di Jambi, Prasasti Palas Pasemah di Lampung Selatan
dan Prasasti Nalanda di Mesium Nalanda di India.
Dari sejumlah berita-berita ini diketahui, Sriwijaya memperoleh
kemajuan sekitar abad ke 7 dan 8 masehi dibawah pemerintahan Raja
Balaputra Dewa dari Wangsa Syailendra. Kemajuan-kemajuan itu,
diantaranya: Membentuk armada laut yang kuat sehingga memberikan
kemudahan bagi para pedagang untuk singgah dan berdagang dengan
aman; Kapal-kapal dagang Sriwijaya berlayar hampir ke seluruh
pelabuhan di Asia; Memberikan kesempatan pada putra-putri Indonesia
untuk belajar sampai ke India (Perguruan Tinggi Nalanda).
Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran pada sekitar abad ke 11
masehi. Lemahnya kerajaan yang sempat jaya ini dikarenakan
mendapat serangan dari Kerajaan Cola pimpinan Rajendrachola tahun
1025 dan munculnya Kerajaan Kediri yang mengadakan ekspedisi
Pamalayu ke Sumatera.
Dari beberapa keterangan di peroleh bahwa kata Lampung telah
berulang kali mengalami perubahan. Semula sebelum Hindu dari India
masuk ke Nusantara di sebut Selapon. Setelah Hindu masuk mendapat
gelaran Cela Indra atau Syailendra/Syailendro. Abad ke IV oleh It-Shing
disebutkannya Tola P’ohwang (Tulang Bawang). Abad ke VII di masa
Tuanku Gadis mendapat gelaran Selampung yang kemudian menjadi
sebutan Lampung.
8
B. Sejarah Perkembangan Daerah
Semasa kekuasaan marga-marga Hindu/Animisme, pada abad ke 14
masehi terdapat kekuasaan Ratu Sekar-mong (Sekromong) di Skala
Brak Bukit Pesagi dan abad 14-15 kekuasaan Paksi-pak, Ratu di
Puncak, Ratu Pemanggilan, Ratu di Balau dan Ratu di Pugung.
Semasa kekuasaan Islam dan pengaruh VOC, abad ke 15-16 masehi
terdapat kekuasaan Ratu Darah Putih, penyimbang-penyimbang
Lampung seba di Banten. Abad 16 sampai dengan 18 masehi, daerah
Lampung dibawah pengaruh Banten, lalu masuknya pengaruh
kekuasaan ekonomi VOC. Tahun 1668, VOC bercokol di tanah
Lampung dan mendirikan Benteng Petrus Albertus di Tulang Bawang.
Tahun 1684, penyimbang-penyimbang marga di Lampung melakukan
perdagangan lada dengan VOC melalui pelabuhan Sungai Way Tulang
Bawang. Tahun 1738, penyimbang-penyimbang marga dari kebuaian
Abung (Ratu di Puncak) memboikot perdagangan lada dengan VOC
dan melakukan pemasaran ke Palembang. Pada saat itu, Palembang
berada dibawah pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam,
salah satu kerajaan Islam di tanah Sumatera. Akibatnya VOC
mendirikan Benteng Valken Oog di Bumi Agung, Way Kanan.
Saat kekuasaan Raden Intan dan pengaruh Inggris pada tahun 1750
terjadi penyerahan daerah Lampung kepada VOC oleh Ratu Fatimah.
Namun Banten tidak diakui rakyat Lampung. Lalu muncullah gerakan
perlawanan Raden Intan I dari Keratuan Darah Putih. Penyimbang-
penyimbang marga di daerah Krui akhirnya berhubungan dengan
Inggris. Tahun 1799 VOC bubar, pemerintahan marga-marga di
9
Lampung terancam bahaya perompakan bajak laut, kelaparan dan
wabah penyakit.
Tahun 1801-1805, sebatin-sebatin bandar di daerah Semangka
melaksanakan perjanjian dagang dengan Inggris. Tahun 1808 Gubernur
Jenderal Daendels mengakui kekuasaan Keratuan Darah Putih dibawah
pimpinan Raden Intan I. Tahun 1812 kekuasaan pemerintahan Inggris
Raffles mengakui kekuasaan kepala-kepala marga di daerah Lampung.
Pada tahun 1816 daerah Lampung dibawah kekuasaan Residen
Belanda di Banten. Setahun kemudian yakni tahun 1817 Assisten
Residen Belanda Kruseman untuk Lampung mengakui kekuasaan
Raden Intan I. Kapten J. A. Du Bois lalu memperkuat bentengnya di
Kalianda dan Tulang Bawang. Tahun 1819-1826, ekspedisi Kapten
Hulstein ditolak berunding oleh Raden Intan I. Tahun 1826 dapat
dianggap tahun dimulainya perlawanan rakyat Lampung terhadap
kekuasaan Belanda. Perlawanan ini di pimpin Raden Imba dari
Keratuan Darah Putih. Tahun 1826 sampai dengan 1856 merupakan
masa perang Lampung (Perang Raden Intan). Namun sayang, pada
tanggal 5 Oktober 1856 Raden Intan II gugur dalam peperangan
menghadapi tentara jajahan dibawah pimpinan Kolonel Waleson.
Perang Lampung pun akhirnya berakhir.
Semasa administrasi pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1829-1834,
J. A. Du Bois di angkat sebagai Residen Kepala Pemerintahan
Sipil/Militer untuk daerah Lampung dan berpusat di Terbanggi Besar.
Pada tahun 1847 Teluk Betung dijadikan ibukota Keresidenan
Lampung. Tanggal 21 Juni 1857 pemerintah Hindia Belanda
10
menetapkan pemerintahan daerah Lampung berdasarkan pada
susunan pemerintahan setempat, dengan ditandai diakuinya sistem
kemasyarakatan marga dibawah pimpinan penyimbang-penyimbang
masing-masing.
Sebelum suku Lampung tersebar ke daerah-daerah Lampung seperti
sekarang ini, disebutkan bahwa nenek moyang mereka pertama kali
mendiami Skala Brak, yakni di sekitar Bukit Pesagi (Kecamatan Belalau,
Lampung Utara). Pada mulanya di sana berdiri sebuah kerajaan
bernama Kerajaan Tumi dengan raja-rajanya yang menganut
kepercayaan animisme dan dipengaruhi agama Hindu Bairawa. Rajanya
yang terakhir disebutkan bernama Kekuk Suik. Dengan daerah
kekuasaannya yang terakhir adalah daerah jantung Tanjung Cina
sekarang. Raja tersebut dikisahkan meninggal dunia dalam sebuah
peperangan melawan anak buahnya sendiri yang datang dari daerah
Danau Ranau yang sudah memeluk ajaran agama Islam.
C. Suku dan Adat Istiadat
Berdasarkan adat istiadatnya, penduduk suku Lampung terbagi ke
dalam dua golongan besar, yakni masyarakat Lampung beradat
Pepadun dan masyarakat Lampung beradat Saibatin atau Peminggir.
Suku Lampung beradat Pepadun secara lebih terperinci dapat di
golongkan ke dalam; (a) Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga),
terdiri atas: Buai Nunyai, Buai Unyi, Buai Nuban, Buai Subing, Buai
Beliuk, Buai Kunang, Buai Selagai, Buai Anak Tuha dan Buai Nyerupa.
(b) Megou Pak Tulangbawang (Empat Marga Tulangbawang), terdiri
dari: Buai Bolan, Buai Umpu, Buai Tegamoan, Buai Ali. (c) Buai Lima
11
(Way Kanan/Sungkai), terdiri dari: Buai Pemuka, Buai Bahuga, Buai
Semenguk, Buai Baradatu, Buai Barasakti. (d) Pubian Telu Suku
(Pubian Tiga Suku), terdiri dari Buai Manyarakat, Buai Tamba Pupus,
dan Buai Buku Jadi.
Diperkirakan bahwa yang pertama kali mendirikan adat Pepadun adalah
masyarakat Abung yang ada disekitar abad ke 17 masehi di zaman
seba Banten. Pada abad ke 18 masehi, adat Pepadun berkembang pula
di daerah Way Kanan, Tulang Bawang dan Way Seputih (Pubian).
Kemudian pada permulaan abad ke 19 masehi, adat Pepadun
disempurnakan dengan masyarakat kebuaian inti dan kebuaian-
kebuaian tambahan (gabungan). Bentuk-bentuk penyempurnaan itu
melahirkan apa yang dinamakan Abung Siwou Migou (Abung Siwo
Mego), Megou Pak Tulang Bawang dan Pubian Telu Suku.
Masyarakat yang menganut adat tidak Pepadun, yakni yang
melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi
Pepadun. Karena mereka sebagian besar berdiam di tepi pantai, maka
di sebut adat Pesisir. Suku Lampung beradat Saibatin (Peminggir)
secara garis besarnya terdiri atas: Masyarakat adat Peminggir, Melinting
Rajabasa, masyarakat adat Peminggir Teluk, masyarakat adat
Peminggir Semangka, masyarakat adat Peminggir Skala Brak dan
masyarakat adat Peminggir Komering. Masyarakat adat Peminggir ini
sukar untuk diperinci sebagaimana masyarakat Pepadun, sebab di
setiap daerah kebatinan terlalu banyak campuran asal keturunannya.
Bila di lihat dari penyebaran masyarakatnya, daerah adat dapat
dibedakan bahwa daerah adat Pepadun berada di antara Kota
12
Tanjungkarang sampai Giham (Belambangan Umpu), Way Kanan
menurut rel kereta api, pantai laut Jawa sampai Bukit Barisan sebelah
barat. Sedangkan daerah adat Peminggir ada di sepanjang pantai
selatan hingga ke barat dan ke utara sampai ke Way Komering.
D. Bahasa, Aksara dan Dialek
1. Bahasa
Selain pembagian berdasarkan masyarakat beradat, suku Lampung
dapat pula di bagi berdasarkan logat bahasa yang dipergunakan, yaitu
bahasa Lampung Belalau yang berlogat “A” dan bahasa Lampung
berlogat “O”. Pembagian atas logat ini dikelompokkan menjadi logat
“Api” dan logat “Nyou”. Masyarakat berbahasa Lampung Belalau (Logat
“A”) terdiri dari: bahasa Jelma Daya/Sungkai, bahasa Pemanggilan
Peminggir, bahasa Melinting Peminggir dan bahasa Pubian. Sedangkan
masyarakat berbahasa Lampung Abung (Logat “O”) terdiri dari: bahasa
Abung dan bahasa Tulang Bawang.
Selain bahasa dan budayanya yang memiliki kekhasan, etnik Lampung
mempunyai aksara tersendiri yang dikenal dengan nama Had Lappung.
Aksara itu berupa bahasa Lampung yang dituangkan ke dalam bentuk
tulisan.
2. Aksara
Bentuk tulisan yang masih berlaku di daerah Lampung pada dasarnya
berasal dari aksara Pallawa (India Selatan) yang diperkirakan masuk ke
Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Macam-macam
13
tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup
seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di
baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tapi tidak memakai
tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di
belakang. Masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Aksara
Lampung hampir sama bentuknya dengan aksara Rencong (Aceh).
Artinya, Had Lappung dipengaruhi dua unsur, yakni; aksara Pallawa dan
huruf Arab.
Adapun Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf
ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka, dan tanda
baca.
Huruf Induk
Aksara Lampung disebut dengan istilah kaganga, ditulis dan dibaca dari
kiri ke kanan (pada Tabel 1 dibaca dari atas ke bawah). Huruf induk
berjumlah 20 buah. Bentuk, nama, dan urutan huruf induk dikemukakan
pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Huruf Induk
Aksara Nama Huruf Aksara Nama Huruf
14
ka k ja j
ga g nya ny
nga ng ya y
pa p a a
ba b la l
ma m ra r
ta t sa s
da d wa w
na n ha h
ca c gha gh
Jika ejaan Lampung (lihat Tabel 1) dibandingkan dengan ejaan bahasa
Indonesia, tampak bahwa dalam ejaan Lampung tidak terdapat huruf f,
q, v, x, kh, dan sy. Huruf-huruf itu ditulis dengan menggunakan huruf
berikut ini.
1. Huruf f atau v ditulis dengan huruf pa
2. Huruf q ditulis dengan huruf ka
3. Huruf x atau sy ditulis dengan huruf sa
4. Huruf z ditulis dengan huruf ja
5. Huruf kh ditulis dengan huruf ha
Anak Huruf
Anak huruf Kaganga ada 12 buah:
15
Nama masing-masing anak huruf itu adalah sebagai berikut:
a. Anak huruf yang terletak diatas huruf
1. ulan : dan
2. bicek :
3. tekelubang : ang
4. rejenjung : ar
5. datas : an
b. Anak huruf yang terletak dibawah huruf
1. bitan : dan
2. tekelungau : au
c. Anak huruf yang terletak di kanan huruf
1. tekelingai : ai
2. keleniah : ah
3. nengen : tanda huruf mati
a.1 Ulan
Ulan adalah anak huruf Kaganga berbentuk setengah lingkaran kecil
yang terletak diatas huruf. Ulan terdiri atas dua macam: ulan yang
menghadap ke atas melambangkan bunyi [i], sedangkan ulan yang
menghadap ke bawah melambangkan bunyi [e].
16
Catatan:
Bahasa Lampung Abung tidak memiliki fonem vokal . Kata yang
mengandung fonem vokal berupa kata serapan dari bahasa atau
dialek lain. Dengan demikian, dalam bahasa Lampung Abung hanya
terdapat satu macam ulan, yakni ulan [i].
a.2 Bicek
Bicek adalah huruf Kaganga berbentuk garis tegak yang terletak diatas
huruf. Bicek melambangkan bunyi [e].
a.3 Tekelubang
Tekelubang adalah anak huruf Kaganga berbentuk garis mendatar
(seperti tanda hubung dalam ejaan bahasa Indonesia) yang terletak
diatas huruf. Tekelubang melambangkan bunyi [ng].
a.4 Rejenjung
Rejenjung adalah anak huruf Kaganga berbentuk yang terletak diatas
huruf. Rejenjung melambangkan bunyi [r].
a.5 Datas
Datas adalah anak huruf Kaganga berbentuk yang terletak diatas
huruf. Datas melambangkan bunyi [n].
17
b.1 Bitan
Bitan adalah anak huruf Kaganga yang terletak dibawah huruf. Bitan
terdiri atas dua macam. Bitan yang berupa garis pendek mendatar –
melambangkan bunyi [u] dan bitan yang berupa garis tegak
melambangkan bunyi [o].
b.2 Tekelungau
Tekelungau adalah anak huruf Kaganga berbentuk setengah lingkaran
kecil yang terletak dibawah huruf. Tekelungau melambangkan bunyi
[au].
c.1 Tekelingai
Tekelingai adalah anak huruf Kaganga berbentuk garis tegak | yang
terletak di kanan huruf. Tekelingai melambangkan bunyi [ai].
c.2 Keleniah
Keleniah adalah anak huruf Kaganga berbentuk seperti huruf ha, tetapi
kecil . Keleniah melambangkan bunyi [h].
c.3 Nengngen
Nengngen adalah anak huruf Kaganga berbentuk garis miring / yang
terletak di kanan huruf. Nengngen melambangkan huruf yang berada
disebelah kiri nengngen menjadi huruf mati.
18
Akan tetapi, untuk melambangkan bunyi [ng], [r], [n], [y], [h], atau [w],
nengngen / tidak digunakan. Bunyi-bunyi itu dilambangkan dengan
menggunakan anak huruf Kaganga berikut ini.
1. Bunyi [ng] menggunakan tekelubang :
2. Bunyi [r] menggunakan rejenjung :
3. Bunyi [n] menggunakan datas :
4. Bunyi [y] menggunakan tekelingai :
5. Bunyi [h] menggunakan keleniah :
6. Bunyi [w] menggunakan tekelungau :
Untuk memperjelas keterangan diatas, perhatikanlah contoh penulisan
yang salah dan yang benar dibawah ini.
Kata PenulisanSalah Benar
Kurang ‘kurang’
tanggung ‘tanggung’
Lawan ’lawan’
Tando ‘tanda’
Sabah ‘sawah’
Anak Huruf Ganda
Untuk menuliskan bunyi tertentu, seperti [leu] pada tileu ‘tuli’, [pei] pada
kupei ‘kopi’, atau [gui] pada agui ‘aduh’ digunakan anak huruf ganda.
Yang dimaksud anak huruf ganda disini adalah penggunaan dua anak
19
huruf sekaligus pada sebuah huruf. Anak huruf ganda dapat diletakkan
di beberapa tempat berikut:
1. Anak huruf yang satu terletak di atas huruf dan yang satu lagi
terletak di bawah huruf. Jenis ini terdiri atas dua macam.
a. Anak huruf yang di atas berupa ulan atau bicek
dan yang dibawah berupa tekelungau /au/. Cara
membacanya dimulai dari ulan atau bicek kemudian tekelungau.
b. Anak huruf yang di atas berupa tekelubang /ang/, rejenjung
/ar/, atau datas /an/ dan yang berada di bawah berupa bitan
/o/ atau /u/. Cara membacanya dimulai dari bitan kemudian
tekelubang, rejenjung, atau datas.
2. Anak huruf yang satu terletak di atas huruf dan yang satu lagi
terletak di kanan huruf. Anak huruf yang di atas berupa bicek ,
ulan atau /i/ dan yang dikanan berupa tekelingai /ai/ atau
keleniah /ah/. Cara membacanya dimulai dari anak huruf yang
terletak di atas kemudian yang terletak di kanan.
3. Anak huruf yang satu terletak di bawah huruf dan yang satu lagi
terletak di kanan huruf. Anak huruf yang di bawah berupa bitan /o/
atau /u/ dan yang di kanan berupa tekelingai /ai/ atau keleniah
/ah/. Cara membacanya dimulai dari bitan kemudian tekelingai
atau keleniah.
4. Kedua anak huruf berada di bawah huruf. Jenis yang keempat ini
terdiri atas bitan /o/ diikuti tekelungau /au/. Cara membacanya
dimulai dari kiri ke kanan.
20
5. Kedua anak huruf berada di atas huruf. Jenis yang kelima ini terdiri
atas ulan /i/, ulan /e/, atau bicek /e/ diikuti tekelubang
/ang/ , rejenjung /ar/ , atau datas /an/ . Cara membacanya
dimulai dari kiri ke kanan.
Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang
termasuk dalam suku kata yang sama. Misalnya, /sp/ pada kata spidol
atau /str/ pada kata instrumen.
Penulisan gugus konsonan dengan menggunakan aksara Lampung
dilakukan dengan cara menambahkan bunyi [e] pada konsonan yang
berdekatan.
Lambang
Lambang singkatan satuan ukuran/takaran/timbangan, mata uang,
matematika, dan lambang-lambang yang lain dalam tulisan Kaganga
belum di atur secara khusus. Untuk keperluan tersebut digunakan
lambang yang berlaku secara umum, seperti yang terdapat dalam
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang diterbitkan oleh Pusat
Bahasa.
Angka
Angka dalam tulisan Kaganga menggunakan angka Arab atau Romawi.
Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
21
Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X,
L (50), C (100), D (500), M (1.000),
V (5.000), M(1.000.000)
Tanda Baca
Tanda baca dalam tulisan Kaganga ada lima buah, meliputi tanda baca
berikut ini:
Tanda koma
Tanda seru
Tanda Tanya
Tanda titik
Tanda hubung
Jika tanda baca dalam tulisan Kaganga dibandingkan dengan tanda
baca dalam ejaan bahasa Indonesia, tampak bahwa dalam tulisan
Kaganga tidak terdapat tanda-tanda baca berikut ini:
; Tanda titik koma [ ] Tanda kurung siku
: Tanda titik dua “…” Tanda petik
__ Tanda pisah ‘…’ Tanda petik tunggal
… Tanda ellipsis / Tanda garis miring
( ) Tanda kurang ‘ Tanda penyingkat
(apostrof)
Untuk menutupi kekurangan itu, tanda baca ejaan baca dalam ejaan
bahasa Indonesia yang dikemukakan di atas dapat digunakan atau
seluruh penggunaan tanda baca menggunakan tanda baca yang ada
dalam ejaan bahasa Indonesia.
22
3. Dialek
Di Provinsi Lampung dinyatakan terdapat sejumlah dialek dan sebaran
pemakaian bahasa Lampung. Dialek-dialek tersebut banyak
dipergunakan masyarakat setempat dalam bertutur dilingkungannya.
Dialek dan penyebaran bahasa Lampung dapat diklasifikasikan dari
penggunaan bahasa yang dipakai.
Pertama, bahasa Lampung dialek Way Kanan digunakan masyarakat
etnik Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Way Kanan, yakni
di Kecamatan Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga dan Pakoanratu.
Kedua, bahasa Lampung dialek Pesisir yang dipakai masyarakat etnik
Lampung yang bertempat tinggal di kabupaten (1) Lampung Selatan,
seperti Kecamatan Kalianda, Penengahan, Palas, Sidomulyo, Katibung,
Padangcermin, Kedondong dan sebagian Gedongtataan. (2) Kabupaten
Lampung Barat, yaitu Kecamatan Balikbukit, Pesisir Tengah, Pesisir
Utara, Belalau dan Sumberjaya. (3) Kabupaten Tanggamus, di
Kecamatan Kotaagung, Wonosobo, Talangpadang, Pagelaran,
Pardasuka, Cukuhbalak, Sukoharjo dan sebagian Pulau Panggung. (4)
Kota Bandar Lampung, seperti Teluk Betung Barat, Teluk Betung
Selatan, Teluk Betung Utara dan Panjang.
Selain itu, bahasa Lampung Pesisir juga digunakan oleh masyarakat
etnik Lampung yang bertempat tinggal di sekitar Danau Ranau dan etnik
Lampung yang bertempat tinggal di Cikoneng, Bojong, Salatuhur dan
Tegal, Kecamatan Anyer, Serang, Banten.
23
Ketiga, bahasa Lampung dialek Melinting dipergunakan masyarakat
etnik Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Timur
(Pemekaran Kabupaten Lampung Tengah), sebagian Kecamatan
Labuhan Maringgai dan sebagian Kecamatan Jabung.
Keempat, bahasa Lampung dialek Pubian dipergunakan masyarakat
etnik Lampung yang bertempat tinggal di kabupaten (1) Lampung
Selatan, yaitu di Gedongtataan, Natar, Tegeneneng dan sebagian
Kecamatan Ketibung. (2) Lampung Tengah, di Kecamatan Pubian dan
sebagian Kecamatan Padangratu. (3) Kota Bandar Lampung, sebagian
Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjung Karang Barat.
Kelima, bahasa Lampung dialek Sungkai dipergunakan masyarakat
etnik Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Utara,
meliputi Kecamatan Sungkai Selatan dan Sungkai Utara. Keenam,
bahasa Lampung dialek Pemanggilan Jelema Daya dipergunakan
masyarakat etnik Lampung yang berada di Muara Dua, Martapura,
Komering dan Kayuagung (Provinsi Sumatera Selatan).
Ketujuh, bahasa Lampung dialek Menggala dipergunakan masyarakat
etnik Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Tulang Bawang,
meliputi Kecamatan Menggala, Tulang Bawang Udik, Tulang Bawang
Tengah, Gunung Terang dan Gedungaji.
Kedelapan, bahasa Lampung dialek Abung dipakai masyarakat etnik
Lampung yang bertempat tinggal di kabupaten (1) Lampung Selatan, di
Kecamatan Natar (Desa Negararatu dan Muaraputih). (2) Lampung
Tengah, di Kecamatan Gunung Sugih, sebagian Padang Ratu, Punggur,
Terbanggi Besar, Seputih Raman, Seputih Banyak, Seputih Mataram
24
dan Rumbia. (3) Lampung Utara, meliputi Kecamatan Kotabumi, Abung
Barat, Abung Timur dan Abung Selatan. (4) Lampung Timur, di
Kecamatan Sukadana, Metro Kibang, Batanghari, Sekampung, Jabung,
Labuhan Maringgai dan Way Jepara. (5) Kota Metro, Kecamatan Metro
Raya dan Bantul, serta (6) Kota Bandar Lampung seperti Kedaton
(Labuhanratu, Gedongmeneng dan Rajabasa), Tanjungkarang Timur
(Jagabaya I, Langkapura dan Selagamider; Anek Gunungagung yang
telah terpengaruh bahasa Lampung sub-dialek Pubian).
25