lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../02/dr.-drs-adi-atmoko-m.si_artikel.docx · web viewefektivitas...
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS PELATIHAN KETERAMPILAN METAKOGNISI
BERBASIS TEORI LEVELS OF PROCESSING UNTUK
MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA
Adi Atmoko1*, Ika Andrini Farida2, Ike Dwiastuti3
1,2,3Universitas Negeri Malang* adias_65@ yahoo. co.id
ABSTRAK
Mahasiswa dituntut untuk memiliki kemandirian dalam belajar. Namun fenomena yang terjadi adalah sebagian besar mahasiswa masih bersikap pasif dalam kegiatan perkuliahan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian belajar dengan memberikan pelatihan keterampilan metakognisi berbasis teori level of processing. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa peserta matakuliah Psikologi Kepribadian I Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, offering B (n=28) dan offering D (n=28). Offering B sebagai kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan pelatihan keterampilan metakognisi, dan offering D sebagai kelompok kontrol. Rancangan penelitian eksperimen yang digunakan adalah nonrandomized control group pretest posttest design. Analisis yang digunakan adalah paired sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemandirian belajar (t=-4,404; p<0,05) yang signifikan pada kelompok eksperimen. Sebaliknya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pretest dan posttest kemandirian belajar (t=-0,104; p>0,05) pada kelompok kontrol. Ini berarti pelatihan keterampilan metakognisi berbasis level of processing efektif untuk meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa.
Kata kunci : Pelatihan Keterampilan Metakognisi, Teori Levels of Processing, Kemandirian Belajar Mahasiswa
PENDAHULUAN
Penelitian pendahuluan telah dilaksanakan oleh peneliti pada tahun 2014,
adapun dari hasil asesmen kebutuhan diketahui bahwa keterampilan metakognisi
mahasiswa rata-ratanya sebesar 80,78 (rentangan skor bergerak dari 27 sampai
108) dan SD sebesar 7,714. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa rata-rata
keterampilan metakognisi mahasiswa tergolong cukup baik (dibandingkan mean
absolut 67,5), akan tetapi mengingat nilai SD cukup besar, maka ini berarti
keterampilan metakognisi mahasiswa sangat bervariasi, ada yang tinggi dan ada
yang rendah. Pada aspek pengetahuan kognisi, mahasiswa cenderung telah
memiliki pengetahuan deklaratif dan kondisional cukup baik, sedangkan aspek
pengetahuan prosedural tergolong kurang. Pada aspek regulasi kognisi,
mahasiswa cenderung telah memiliki perencanaan cukup baik, sedangkan aspek
monitoring dan evaluasi tergolong kurang. Dengan demikian dapat disimpulkan:
(1)Mahasiswa memiliki keterampilan metakognisi yang bervariasi, sebagian
memiliki keterampilan metakognisi cukup baik, sebagian lain masih kurang,
(2)Aspek metakognisi yang perlu ditingkatkan terutama aspek pengetahuan
prosedural, monitoring, dan evaluasi.
Kemandirian belajar mahasiswa rata-ratanya sebesar 52,44 (rentangan skor
bergerak dari 22 sampai 88) dan SD sebesar 8,279. Dari hasil tersebut dapat
diartikan bahwa rata-rata kemandirian belajar mahasiswa tergolong kurang
(dibandingkan mean absolut 55). Nilai SD cukup besar, maka ini berarti
kemandirian belajar mahasiswa sangat bervariasi, sebagian mahasiswa memiliki
kemandirian belajar yang tinggi dan sebagian mahasiswa lain memiliki
kemandirian belajar rendah. Skor minimumnya adalah 32 dan skor maximum 76,
maka ini berarti terdapat penyimpangan di atas mean sebesar kurang lebih 3 SD
dan di bawah mean sebesar kurang lebih 2,5 SD. Dengan demikian dapat
disimpulkan: (1)kemandirian belajar mahasiswa masih tergolong kurang, dan
(2)aspek kemandirian belajar mahasiswa yang perlu ditingkatkan terutama dalam
mengikuti perkuliahan dan dalam kegiatan mandiri.
Sesuai dengan fenomena di atas, Matlin (2005) menyatakan bahwa
sebagian besar mahasiswa memiliki keterampilan metakomprehensi (salah satu
aspek metakognisi) yang kurang akurat. Pada saat membaca, mahasiswa
umumnya tidak mengenali adanya inkonsistensi dalam materi yang mereka baca,
bahkan mereka berpikir telah memahaminya. Mahasiswa juga berpikir bahwa
telah memahami apa yang mereka baca karena sudah mengenal topik umumnya,
akan tetapi mereka sering gagal mengingat informasi yang spesifik, dan mereka
mengalami over-estimasi bahwa mereka akan dapat mengerjakan ujian dengan
baik.
Beberapa ahli telah melakukan upaya meningkatkan metakognisi
mahasiswa. Nguyen dan Gu (2013) memberikan pelatihan metakognisi yang
digabungkan dalam matakuliah menulis bahasa inggris pada salah satu universitas
di Vietnam. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan tersebut dapat meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam menulis bahasa inggris dan meningkatkan
kemandirian belajar (learner autonomy). Pelton (2014) mengajarkan keterampilan
belajar dan strategi-strategi metakognitif kepada mahasiswa peserta matakuliah
Perkembangan Teori Sosiologi. Aktivitas tersebut menghasilkan efek positif
terhadap motivasi mahasiswa dan meningkatkan penggunaan strategi kognitif dan
metakognitif. Bensley dan Spero (2014) mengajarkan keterampilan berpikir kritis
dan monitoring metakognitif kepada mahasiswa peserta matakuliah Psikologi
Kognitif dengan pendekatan direct infusion. Mereka berhasil membuktikan bahwa
pendekatan tersebut dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan
monitoring metakognitif mahasiswa.
Self-regulated learning adalah suatu proses yang aktif dan konstruktif
yang membutuhkan kemampuan siswa untuk membangun pemahaman mengenai
suatu topik dengan menggunakan perencanaan, monitoring, dan strategi-strategi
belajar, dan dengan meregulasi aspek-aspek kognitif, perilaku, motivasi, dan
afeksi yang penting untuk mencapai tujuan belajar yang diinginkan. Secara lebih
spesifik, belajar mengenai topik yang kompleks menuntut siswa untuk secara
efektif meregulasi belajar secara mandiri dengan melakukan monitoring
metakognitif terhadap pemahaman suatu topik (Strain, Avezedo, dan D’Mello,
2013). Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji efektivitas pelatihan
keterampilan metakognisi berbasis teori level of processing untuk meningkatkan
kemandirian belajar mahsiswa.
Pelatihan Keterampilan Metakognisi
Pendekatan instruksional keterampilan berpikir
Ennis (dalam Bensley dan Spero, 2014)menggunakan kejelasan
(explicitness) instruksi sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan berbagai
pendekatan instruksional berpikir kritis. Ia membedakan pendekatan instruksional
berpikir kritis menjadi empat macam, yaitu umum (general), immersion, infusion,
dan campuran (mixed), yang dibedakan berdasar seberapa eksplisit prinsip-prinsip
berpikir kritis diajarkan dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut diajarkan
berkaitan dengan isi matakuliah. Pendekatan general secara eksplisit mengajarkan
prinsip-prinsip berpikir, biasanya terpisah dari konten perkuliahan reguler dan
terkadang dalam bentuk yang lebih abstrak seperti dalam perkuliahan logika
formal. Pendekatan kedua disebut immersion, tidak secara eksplisit mengajarkan
aturan-aturan atau prinsip-prinsip berpikir tetapi secara intens mendorong berpikir
kritis pada materi perkuliahan. Pendekatan ketiga disebut infusion, mirip dengan
pendekatan general yang mengajarkan berpikir kritis secara eksplisit tetapi
instruksi yang eksplisit ini disampaikan bersamaan dengan studi perkuliahan
yang relevan saat mahasiswa didorong untuk berpikir secara mendalam.
Pendekatan mixed mengkombinasikan pengajaran prinsip-prinsip berpikir kritis
secara eksplisit sebagai rangkaian instruksi yang terpisah, dengan immersion dan
infusion.
Empat jenis pendekatan di atas juga dapat digunakan untuk memahami
pelatihan metakognisi yang telah dilakukan dalam beberapa studi. Pendekatan
infusion antara lain digunakan oleh Nguyen dan Gu (2013). Mereka memberikan
pelatihan metakognisi yang diinkorporasikan dalam matakuliah menulis pada
jurusan bahasa inggris di sebuah universitas di Vietnam. Studi ini melibatkan dua
orang dosen dan 91 orang mahasiswa dari tiga kelas. Sejumlah 54 orang
mahasiswa dari dua kelas berada dalam kelompok kontrol dan 37 orang
mahasiswa berada dalam kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen diajar
oleh guru dan peneliti pertama. Guru mengajarkan isi materi dan peneliti pertama
mengajarkan keterampilan metakognitif dalam melakukan perencanaan,
monitoring, dan evaluasi suatu tugas menulis. Prinsip-prinsip berpikir secara
metakognitif diajarkan secara eksplisit oleh peneliti yang tercakup dalam 9 sesi,
sesi satu sampai lima mengajarkan pengetahuan dan strategi bagaimana
melakukan perencanaan, monitoring, dan evaluasi dalam melakukan tugas
menulis. Sesi enam sampai sembilan mahasiswa diminta mempraktekkan
pengetahuan dan strategi metakognitif dalam tugas matakuliah. Hasilnya
menunjukkan bahwa mahasiswa dalam kelompok eksperimen mengalami
peningkatan dalam kemampuan merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi
tugas menulis dibandingkan mahasiswa dalam kedua kelompok kontrol. Selain
meningkatkan otonomi mahasiswa (learner autonomy), pelatihan metakognisi
juga menghasilkan peningkatan kemampuan menulis.
Pendekatan dalam mengembangkan kemandirian belajar
Benson (dalam Nguyen dan Gu, 2013)mengklasifikasikan enam
pendekatan untuk mengembangkan otonomi siswa (learner autonomy), yaitu
pendekatan berbasis sumberdaya, berbasis teknologi, berbasis kurikulum, berbasis
guru, berbasis kelas, dan berbasis siswa. Pendekatan berbasis sumberdaya
menekankan pada penyediaan kesempatan bagi siswa untuk mengarahkan
pembelajaran mereka sendiri dalam self-study, self-access, dan belajar jarak jauh.
Material dan konseling merupakan instrumen utama untuk pelaksanaan
pendekatan berbasis sumber daya. Pendekatan berbasis teknologi menekankan
kesempatan belajar yang disediakan oleh berbagai bentuk teknologi. Salah satu
bentuk dari pendekatan berbasis teknologi yang paling populer adalah computer-
assisted language learning (CALL), yang menggunakan CD-ROM dan internet
untuk belajar bahasa dengan menggabungkan program video interaktif dalam
pusat self-access. Pendekatan berbasis kurikulum fokus pada negosiasi antara
guru dan siswa. Negosiasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi
siswa dalam membuat keputusan mengenai materi, aktivitas, tugas-tugas, dan
evaluasi belajar. Terdapat dua versi dalam pendekatan ini, versi lemah dan kuat.
Versi lemah menggunakan projek yang isi dan metodenya ditentukan sendiri oleh
siswa. Pada versi kuat, silabus tidak ditetapkan terlebih dahulu, tetapi dipilih,
diatur, dan dinegosiasikan oleh guru dan siswa selama proses belajar. Pendekatan
berbasis guru fokus pada pengembangan profesional guru dan pendidikan guru.
Pendekatan ini telah dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa mengubah
keyakinan guru mengenai otonomi, membangun komitmen guru terhadap
otonomi, dan mendorong praktek-praktek yang mendukung otonomi siswa, akan
menghasilkan perubahan di dalam kelas dalam mendukung otonomi siswa.
Pendekatan berbasis kelas mementingkan mengubah hubungan dan praktek-
praktek dalam kelas. Perubahan ini menyebabkan guru dapat mentransfer
tanggung jawab dan kontrol terhadap tujuan belajar, proses belajar, dan asesmen
hasil belajar kepada siswa. Pendekatan berbasis siswa berusaha untuk membekali
siswa dengan keterampilan-keterampilan spesifik dan strategi-strategi yang
membantu mereka memanfaatkan kesempatan belajar.
Pelatihan keterampilan metakognisi untuk mengembangkan kemandirian
belajar dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan berbasis siswa, yaitu
dengan mengajarkan pengetahuan kognisi dan keterampilan melakukan regulasi
kognisi kepada mahasiswa. Pendekatan instruksional yang digunakan adalah
pendekatan infusion, yaitu mengajarkan pengetahuan dan keterampilan
metakognisi secara eksplisit tetapi instruksi yang eksplisit ini disampaikan
bersamaan dengan proses perkuliahan dalam suatu matakuliah.
Meningkatkan metakognisi dalam setting kelas
Terdapat empat cara untuk meningkatkan metakognisi dalam setting kelas:
(1)meningkatkan kesadaran pentingnya metakognisi, (2)meningkatkan
pengetahuan kognisi, (3)meningkatkan regulasi kognisi, dan (4)menciptakan
lingkungan yang mendukung kesadaran metakognitif (Schraw, 1998). Pelatihan
keterampilan metakognisi dalam penelitian ini melakukan cara satu sampai tiga di
atas, dengan ditambah satu cara yaitu meningkatkan akurasi metacognitive
experience (judgement of learning). Sehingga pelatihan ini mencakup tiga
komponen metakognisi sebagaimana dijelaskan oleh Efklides (2006) bahwa
metakognisi meliputi metacognitive knowledge dan metacognitive experience
(fungsi monitoring), dan metacognitive skill (fungsi kontrol). Dengan demikian
materi yang akan diajarkan dalam pelatihan keterampilan metakognisi meliputi:
(1)meningkatkan kesadaran pentingnya metakognisi, (2)meningkatkan
pengetahuan kognisi, (3)meningkatkan akurasi metacognitive experience
(judgement of learning), dan (4) meningkatkan regulasi kognisi.
Pengetahuan kognisi (knowledge of cognition)
Pengetahuan kognisi adalah pengetahuan individu mengenai kognisi
mereka sendiri atau mengenai kognisi secara umum. Pengetahuan kognisi
meliputi tiga jenis kesadaran metakognitif, yaitu pengetahuan deklaratif,
prosedural, dan kondisional. Pengetahuan deklaratif adalah mengetahui
“mengenai” sesuatu. Pengetahuan prosedural adalah mengetahui “bagaimana”
melakukan sesuatu. Pengetahuan kondisional adalah mengetahui “mengapa” dan
“kapan” melakukan sesuatu.
Pengetahuan deklaratif. Pengetahuan deklaratif meliputi pengetahuan
mengenai diri sendiri sebagai pelajar (learner) dan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan belajar, seperti mengenai berbagai aspek memori
(kapasitas memori, rehearsal, testing effect, encoding specificity, spacing effect,
interleaving of topics, dan self-reference effect).
Pengetahuan prosedural. Pengetahuan prosedural adalah mengetahui
bagaimana melakukan sesuatu. Sebagian besar pengetahuan ini disebut sebagai
heuristic atau strategi. Individu yang memiliki pengetahuan prosedural yang baik
dapat melakukan tugas secara lebih otomatis, mengetahui lebih banyak macam
strategi, dan mengatur rangkaian strategi lebih efektif. Contohnya adalah
bagaimana melakukan chunk dan mengkategorikan informasi baru.
Pengetahuan kondisional. Pengetahuan kondisional adalah mengetahui
kapan dan mengapa perlu menggunakan pengetahuan deklaratif dan prosedural.
Contoh, pelajar yang efektif mengetahui kapan dan informasi apa yang tepat
untuk dilakukan rehearsal. Pengetahuan kondisional penting karena membantu
siswa mengalokasikan sumber daya secara selektif dan menggunakan strategi
lebih efektif.
Judgement of learning (metacognitive experience)
Judgement of learning merupakan salah satu keterampilan monitoring
metakognitif, yaitu keterampilan untuk menyadari sejauhmana telah memahami
materi. Keterampilan ini diperlukan oleh mahasiswa saat mengikuti perkuliahan
tatap muka di kelas dan saat melakukan kegiatan mandiri (mempelajari literatur
matakuliah). Bila mahasiswa terampil melakukan monitoring, maka mereka akan
terdorong melakukan kontrol atau regulasi kognisi.
Regulasi kognisi (regulation of cognition)
Regulasi kognisi adalah serangkaian aktivitas yang membantu siswa
mengontrol belajar. Tiga keterampilan mendasar dalam regulasi kognisi adalah
perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Perencanaan mencakup pemilihan strategi
yang tepat dan alokasi sumberdaya yang mempengaruhi hasil belajar, seperti
membuat prediksi sebelum membaca, mengatur strategi, dan mengalokasikan
waktu atau perhatian sebelum mulai mengerjakan tugas. Monitoring adalah
kesadaran seseorang akan pemahaman dan pengerjaan tugas. Kemampuan untuk
menguji diri secara periodik saat belajar adalah salah satu contoh monitoring.
Kemampuan monitoring dapat ditingkatkan dengan berlatih. Evaluasi adalah
melakukan penilaian terhadap hasil dan efisiensi belajar.
Tahap DesainInput Proses Output
Tahap PengembanganInput Proses Output
Tahap ImplementasiInput Proses Output
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada Model Proses Pelatihan (Training
Processes Model). Seperti dijelaskan pada gambar 1, proses pelatihan diawali
dengan adanya masalah, kemudian dilakukan lima tahap dalam pelatihan, yaitu
tahap analisis kebutuhan, tahap desain, tahap pengembangan, tahap implementasi,
dan terakhir tahap evaluasi. Tiap-tiap tahap mencakup input, proses, dan output.
Output pada suatu tahap, misalkan tahap analisis kebutuhan, merupakan input
pada tahap berikutnya yaitu tahap desain (Blanchard dan Thacker, 2004).
Keseluruhan tahapan akan dilaksanakan selama dua tahun. Tahap analisis, tahap
desain, dan tahap pengembangan telah dilaksanakan pada tahun pertama, tahap
implementasi dan tahap evaluasi dilaksanakan pada tahun kedua ini.
Gambar 1. Model Proses Pelatihan
Tahap Analisis KebutuhanInput Proses Output
Masalah
Tahap EvaluasiInput Proses Output
Tahap Implementasi
Langkah-langkah dalam tahap implementasi ditampilkan pada gambar 2,
meliputi input, proses, dan output. Input pada tahap ini adalah output dari tahap
sebelumnya, yaitu tahap pengembangan. Pada tahap pengembangan telah
dihasilkan bahan pelatihan keterampilan metakognisi berupa material
instruksional, perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelatihan, manual bagi trainer
atau fasilitator, dan fasilitas yang dibutuhkan. Pada proses terdapat dua langkah,
yaitu dry run dan program pilot. Dry run adalah uji pertama bahan pelatihan yang
bertujuan untuk mengetahui nilai dan kejelasan berbagai kegiatan yang akan
dilakukan dalam pelatihan. Pada langkah ini ahli diminta memberikan saran
mengenai validitas bahan pelatihan dan penggunaannya. Selain itu beberapa orang
mahasiswa juga akan diminta untuk membaca dan melakukan latihan-latihannya
dan memberikan saran untuk perbaikan. Untuk itu akan disiapkan daftar
pertanyaan yang menanyakan antara lain kejelasan petunjuk latihan dan lamanya
alokasi waktu untuk melakukan kegiatan. Pada langkah program pilot sejumlah
mahasiswa akan benar-benar dilatih. Hasil dari program pilot adalah tambahan
masukan untuk menyempurnakan bahan pelatihan dan mengidentifikasi hal-hal
yang mengganggu atau menghambat selama proses pelatihan. Setelah dilakukan
revisi hasil masukan dari program pilot maka pelatihan siap untuk
diimplementasikan.
Pelatihan ini akan diimplementasikan dengan menggunakan pendekatan
infusion, yaitu dengan mengajarkan pengetahuan dan strategi metakognitif secara
eksplisit bersamaan dengan proses perkuliahan. Matakuliah yang dipilih untuk
implementasi pelatihan metakognisi adalah matakuliah Psikologi Kepribadian I
yang dilaksanakan di Program Studi Psikologi Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang. Dalam matakuliah tersebut mahasiswa harus
mempelajari dan menguasai konsep-konsep berbagai teori kepribadian yang
abstrak dan kompleks sehingga keterampilan metakognisi sangat dibutuhkan oleh
mahasiswa untuk mendukung penguasaan materi kuliah.
Gambar 2. Tahap Implementasi
Input Proses OutputMaterialInstruksional
PerlengkapanInstruksional
Dry Run PilotProgram
ImplementasiPelatihan
Manual Trainer dan Trainee
Fasilitas
Implementasi Evaluasi dan Asesmen Kegunaan
Partisipan dan Analisis
Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa peserta matakuliah Psikologi
Kepribadian I Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang offering
B (n=28) dan offering D (n=28). Offering B digunakan sebagai kelompok
eksperimen yang mendapat perlakuan pelatihan keterampilan metakognisi, dan
offering D digunakan sebagai kelompok kontrol. Rancangan penelitian
eksperimen yang digunakan adalah nonrandomized control group pretest posttest
design. Analisis paired sample t-test digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan yang signifikan antara pre-test dan post-test kemandirian belajar pada
kelompok eksperimen dan pada kelompok kontrol.
HASIL
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif kemandirian belajar dapat dilihat pada tabel 5-3. Pada
tabel 5-3 terlihat bahwa terdapat peningkatan mean skor kemandirian belajar dari
pre-test (48,6429) ke post-test (55,4286) pada kelompok eksperimen. Pada
kelompok kontrol hanya terdapat sedikit selisih mean skor kemandirian belajar
pada pre-test (51,8571) dan post-test (52,1429).
Perbedaan kemandirian belajar pada pre-test dan post-test
Perbedaan kemandirian belajar pada pre-test dan post-test dapat dilihat
pada tabel 5-4. Kelompok eksperimen menunjukkan selisih mean yang cukup
besar (-6,78571) dan perbedaan mean tersebut signifikan (t = -4,404; p<0,05).
Kelompok kontrol memiliki selisih mean yang sangat kecil (-0,28571) dan
perbedaan mean tersebut tidak signikan (t = -0,104; p>0,05). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kelompok eksperimen mengalami peningkatan
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed)Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
skor pre-test kemandirian belajar klpPair
eksperimen - skor post-test1
kemandirian belajar klp eksperimen
skor pre-test kemandirian belajar klpPair
kontrol - skor post-test kemandirian2
belajar klp kontrol
-6,78571
-,28571
8,15297
14,51910
1,54077
2,74385
-9,94711
-5,91563
-3,62432
5,34420
-4,404
-,104
27
27
,000
,918
kemandirian belajar setelah menerima pelatihan metakognisi, sedangkan
kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan kemandirian belajar.
Tabel Statistik deskriptif kemandirian belajarmean n std. deviation
skor pre-test kemandirian belajar klp eksperimen
pair 1skor post-test kemandirian belajar klpeksperimenskor pre-test kemandirian belajar klp kontrol pair 2skor post-test kemandirian belajar klp kontrol
48,6429 28 6,31409
55,4286
51,8571
28
28
8,50894
9,39943
52,1429 28 9,75520
Tabel Perbedaan kemandirian belajar pada pre-test dan post-test
PEMBAHASAN
Kefektivitasan pelatihan keterampilan metakognisi berbasis teori of level
processing dalam meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa tidak terlepas
dari strategi pelatihan yang digunakan. Adapun strategi tersebut antara lain,
pemilihan pendekatan instrusional keterampilan berpikir, pendekatan
mengembangkan kemandirian belajar dan pemilihan setting pelatihan.
Pendekatan instruksional keterampilan berpikir yang diterapkan adalah
pendektan infusion, yaitu mirip dengan pendekatan general yang mengajarkan
berpikir kritis secara eksplisit tetapi instruksi yang eksplisit ini disampaikan
bersamaan dengan studi perkuliahan yang relevan saat mahasiswa didorong untuk
berpikir secara mendalam. Strategi ini juga sudah dibuktikan oleh Nguyen dan Gu
(2013) untuk mengajarkan keterampilan metakognisi. Strategi ini peningkatan
dalam kemampuan merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi tugas menulis
dibandingkan mahasiswa dalam kedua kelompok kontrol. Selain meningkatkan
otonomi mahasiswa (learner autonomy), pelatihan metakognisi juga
menghasilkan peningkatan kemampuan menulis.
Pendekatan pengembangan kemandirian belajar yang digunakan adalah
Pendekatan berbasis siswa berusaha untuk membekali siswa dengan
keterampilan-keterampilan spesifik dan strategi-strategi yang membantu mereka
memanfaatkan kesempatan belajar (Nguyen dan Gu, 2013). Pelatihan ini
mengajarkan pengetahuan kognisi dan keterampilan melakukan regulasi kognisi
kepada mahasiswa.
Setting pelatihan yang diterapkan adalah (1)meningkatkan kesadaran
pentingnya metakognisi, (2)meningkatkan pengetahuan kognisi, (3)meningkatkan
regulasi kognisi, dengan ditambah satu cara yaitu meningkatkan akurasi
metacognitive experience (judgement of learning). Sehingga pelatihan ini
mencakup tiga komponen metakognisi sebagaimana dijelaskan oleh Efklides
(2006) bahwa metakognisi meliputi metacognitive knowledge dan metacognitive
experience (fungsi monitoring), dan metacognitive skill (fungsi kontrol). Dengan
demikian materi yang akan diajarkan dalam pelatihan keterampilan metakognisi
meliputi: (1)meningkatkan kesadaran pentingnya metakognisi, (2)meningkatkan
pengetahuan kognisi, (3)meningkatkan akurasi metacognitive experience
(judgement of learning), dan (4) meningkatkan regulasi kognisi.
SIMPULAN
Berdasar hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretest dan posttest kemandirian
belajar pada kelompok eksperimen, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pelatihan keterampilan metakognisi efektif untuk meningkatkan kemandirian
belajar mahasiswa.
SARAN
Bagi penyelenggara pendidikan tinggi
Agar mahasiswa memiliki kemandirian belajar, pelatihan keterampilan
metakognisi dapat dilaksanakan pada kegiatan orientasi mahasiswa baru atau
dapat diberikan dengan pendekatan infusion bersamaan dengan pengajaran
matakuliah oleh dosen pembina matakuliah.
Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini menggunakan pendekatan pembelajaran infusion, yaitu
pembelajaran keterampilan metakognisi dimasukkan pada matakuliah psikologi
tertentu, sehingga bukti efektivitas pelatihan keterampilan metakognisi masih
terbatas pada domain psikologi. Penelitian berikutnya diperlukan untuk menguji
efektivitas pelatihan keterampilan metakognisi pada domain atau matakuliah lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bensley, D.A., Spero, R.A. 2014. Improving Critical Thinking Skills and Metacognitive Monitoring through Direct Infusion. Thinking Skills and Creativity 12, 55-68.
Blanchard, P.N., Thacker, J.W. 2004. Effective Training: Systems, Strategies, andPractices. Second edition. Pearson Education, Inc.
Efklides, A. 2006. Metacognition and Affect: What can metacognitive experiences tell us about the learning process? Educational Research Review 1, 3-14.
Matlin, M.W. 2005. Cognition. Sixth edition. John Wiley & Sons, Inc.
Nguyen, L.T.C., Gu, Y. 2013. Strategy-based Instruction: A Learner-focusedApproach to Developing Learner Autonomy. Language Teaching Research17(1) 9-30.
Pelton, J.A. 2014. How Our Majors Believe They Learn: Student LearningStrategies in an Undergraduate Theory Course. Teaching Sociology 1-10.
Schraw, G. 1998. Promoting General Metacognitive Awareness. InstructionalScience 26: 113-125.
Strain, A.C., Azevedo, R., D’Mello, S.K. 2013. Using a False Biofeedback Methodology to Explore Relationships between Learner’s Affect, Metacognition, and Performance. Contemporary Educational Psychology38: 22-39.