lp hipospadia
DESCRIPTION
askep hipospadiaTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN HIPOSPADIA
Yayah, 1206323123
PENGERTIAN
Hipospadia berasal dari dua kata yaitu hypo yang berarti di bawah dan spadon yang berarti
keratan yang panjang. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan dimana meatus uretra eksterna
berada di bagian permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal
(ujung glanss penis) (Arif Mansjoer, 2000).
Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari perkembangan uretra anterior dimana muara dari
uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari penis proksimal hingga glands penis. Muara dari
uretra dapat pula terletak pada skrotum atau perineum. Semakin ke proksimal defek uretra maka
penis akan semakin mengalami pemendekan dan membentuk kurvatur yang
disebut “chordee”(Ngastiyah, 2005).
ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab
pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli dianggap paling
berpengaruh antara lain :
(1) Gangguan dan ketidakseimbangan hormon : Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone
androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormone
androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone
androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak
akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis
hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
(2) Genetika : terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi
pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak
terjadi.
(3) Lingkungan : Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat
yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda yang biasanya di timbulkan antara lain : (1) Lubang penis tidak terdapat di
ujung penis, tetapi berada di bawah penis. (2) Penis melengkung ke bawah. (3) Penis tampak
seperti kerudung karena kelainan pada kulit di depan penis. (4) Ketidakmampuan berkemih
secara adekuat dengan posisi berdiri. (5) Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang
dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus. (6) Preputium tidak
ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis. (7) Adanya chordee, yaitu
jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih
keras dari jaringan sekitar. (8) Kulit penis bagian bawah sangat tipis. (9) Tunika dartos, fasia
buch dan korpus spongiosum tidak ada. (10) Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada
dasar dari glans penis. (11) Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi
bengkok.(12) Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
(13) Kadang disertai kelainan congenital pada ginjal. (14) Ketidaknyamanan anak saat BAK
karena adanya tahanan pada ujung uretra eksterna.
KLASIFIKASI
(1) Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan atau di anterior: (a)Hipospadia Glandular
yaitu lubang kencing sudah berada pada kepala penis hanya letaknya masih berada di bawah kepala
penisnya. (b) HipospadiaSubcoronal yaitu lubang kencing berada pada sulcus coronarius
penis (cekungan kepala penis).
(2) Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di tengah: (a) Hipospadia Mediopenean
yaitu lubang kencing berada di bawah bagian tengah dari batangpenis. (b) Hipospadia
Peneescrotal yaitu lubang kencing terletak di antara buah zakar (skrotum) dan batang penis.
(3) Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di belakang atau posterior.
(4) Hipospadia Perineal yaitu lubang kencing berada di antara anus dan buah zakar (skrotum).
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan
untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG
mengingat hipospadi sering disertai kelainan pada ginjal.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah merekomendasikan penis menjadi
lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing
arahnya ke depan dan dapat melakukan coitus dengan normal.
Operasi harus dilakukan sejak dini, dan sebelum operasi dilakukan bayi atau anak tidak boleh
disirkumsisi karena kulit depan penis digunakan untuk pembedahan nanti.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan
Devine.
1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang
berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi
meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan
preputium bagian dorsal dan kulit penis
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat
insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari
kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit
preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah.
Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama
telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis
yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke
ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis
dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Urethroplasty
Terdapat banyak teknik yang dapat digunakan untuk urethroplasty, namun yang akan dibahas
adalah teknik MAGPI yang cukup umum digunakan.
MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty Incorporated)
a. Teknik MAGPI ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipospadia glanular distal.
Setelah penis terlihat lurus pada tes ereksi artifisial, insisi sirkumsis dilakukan. Skin
hook diletakkan pada tepi ujung dari saluran uretra glanular lalu kemudian ditarik ke arah
lateral. Gerakan ini dapat meningkatkan transverse band dari mukosa yang nantinya
akan diinsisi longitudinal pada garis tengah.
b. Insisi pada dinding dorsal glanular uretra ini nantinya akan ditutup dengan jahitan
transversal dengan chromic catgut 6-0. Skin hook ditempatkan pada tepi kulit dari
korona pada garis tengah ventral.
c. Dengan traksi distal, ujung glans ditarik ke depan dan dijahitkan pada garis tengah
dengan jahitan subkutikuler. Epitel glans ditutup dengan jahitan interrupted. Kelebihan
kulit dari prepusium dorsal dapat dijahitkan untuk penutupan kulit.
KOMPLIKASI :
(1) Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1 jenis
kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu).
(2) Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK.
(3) Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa.
Komplikasi operasi
1. Jangka pendek
a. Edema lokal dan bintik-bintk perdarahan dapat terjadi segera setelah operasi dan
biasanya tidak menimbulkan masalah yang berarti
b. Perdarahan postoperasi jarang terjadi dan biasanya dapat dikontrol dengna balut tekan.
Tidak jarang hal ini membutuhkan eksplorasi ulang untuk mengeluarkan hematoma dan
untuk mengidentifikasi dan mengatasi sumber perdarahan.
c. Infeksi merupakan komplikasi yang cukup jarang dari hipospadia. Dengan persiapan kulit
dan pemberian antibiotika perioperatif hal ini dapat dicegah.
2. Jangka Panjang
a. Fistula : Fistula uretrokutan merupakan masalah utama yang sering muncul pada operasi
hpospadia. Fistula jarang menutup spontan dan dapat diperbaiki dengna penutupan
berlapis dari flap kulit lokal.
b. Stenosis meatus : Stenosis atau menyempitnya meatus uretra dapat terjadi. Adanya aliran
air seni yang mengecil dapat menimbulkan kewaspadaan atas adanya stenosis meatus.
c. Striktur : Keadaan ini dapat berkembang sebagai komplikasi jangka panjang dari operasi
hipospadia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pembedahan, dan dapat membutuhkan
insisi, eksisi atau reanastomosis.
d. Divertikula : Divertikula uretra dapat juga terbentuk ditandai dengan adanya
pengembangan uretra saat berkemih. Striktur pada distal dapat mengakibatkan obstruksi
aliran dan berakhir pada divertikula uretra. Divertikula dapat terbentuk walaupun tidak
terdapat obstruksi pada bagian distal. Hal ini dapat terjadi berhubungan dengan adanya
graft atau flap pada operasi hipospadia, yang disangga dari otot maupun subkutan dari
jaringan uretra asal.
e. Terdapatnya rambut pada uretra : Kulit yang mengandung folikel rambut dihindari
digunakan dalam rekonstruksi hipospadia. Bila kulit ini berhubungan dngan uretra, hal ini
dapat menimbulkan masalah berupa infeksi saluran kemih dan pembentukan batu saat
pubertas. Biasanya untuk mengatasinya digunakan laser atau kauter, bahkan bila cukup
banyak dilakukan eksisi pada kulit yang mengandung folikel rambut lalu kemudian
diulang perbaikan hipospadia.
Follow up
Setelah operasi pasien diberi kompres dingin pada area operasi selama 2 hari pertama. Cara ini
dapat mengurangi edema dan nyeri serta menjaga daerah operasi tetap bersih. Pasien yang
menggunakan kateter suprapubik, dapat juga memerlukan sten uretra yang kecil dan dapat
dicabut pada hari ke lima postoperasi. Pada pasien yang menggunakan graft tube atau flap
prepusium, proses miksi dilakukan melalui kateter suprapubik perkutan. Tergantung dari proses
penyembuhan luka, kateter ini ditutup pada hari ke 10 untuk percobaan miksi. Bila terdapat
kesulitan metode ini diulang 3-4 hari kemudian. Bila hingga 3 minggu fistula tetap ada, proses
miksi diteruskan seperti biasanya kemudian pasien disarankkan untuk memperbaiki hasil operasi
6 bulan kemudia bila proses inflamasi sudah menghilang. Biasanya fistula yang kecil dapat
menutup dengan spontan.
Setelah percobaan miksi, pasien dapat mandi seperti biasanya. Balutan dapat lepas dengan
spontan. Setelah pelepasan dari sten, orang tua diminta untuk menjaga meatus tetap terbuka
dengan menggunakan tutup tabung salep mata Neosporin sehingga krusta pada meatus tidak
mengakibatkan obstruksi distal yang berkembang menjadi fistula.
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF
PENGERTIAN
Perawatan pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang dimulai
sejak pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke
meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Perawatan intra operatif dimulai sejak pasien ditransfer ke meja bedah dan berakhir bila pasien
di transfer ke wilayah ruang pemulihan.
Perawatan post operasi merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre dan intra operatif yang
dimulai saat klien diterima di ruang pemulihan / pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya.
PRE OPERATIFPersiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi persiapan psikologi baik pasien maupun keluarga dan persiapan fisiologi (khusus pasien) : Diet (puasa). Persiapan Perut (lavement). Persiapan Kulit (Pencukuran) Luas daerah yang dicukur sekurang-kurangnya 10-20 cm2. Hasil Pemeriksaan.Persetujuan Operasi / Informed Consent.
Persiapan Akhir Sebelum Operasi Di Kamar Operasi (Serah terima dengan perawat OK): Mencegah Cidera (penanda daerah operasi). Pemberian Obat premedikasi
INTRA OPERATIFAnggota Tim Asuhan Keperawatan Intra OperatifAnggota tim asuhan pasien intra operatif biasanya di bagi dalam dua bagian. Berdasarkan kategori kecil terdiri dari anggota steril dan tidak steril :Anggota steril: (1)Ahli bedah utama / operator. (2) Asisten ahli bedah. (3) Scrub Nurse / Perawat Instrumen. Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : (1) Ahli atau pelaksana anaesthesi. (2) Perawat sirkulasi. (3) Anggota lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau yang rumit).
PRINSIP TINDAKAN KEPERAWATAN SELAMA PELAKSANAAN OPERASI.A. Persiapan Psikologis PasienB. Pengaturan Posisi
Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien :1. Atur posisi pasien dalam posisi yang nyaman.
2. Sedapat mungkin jaga privasi pasien, buka area yang akan dibedah dan kakinya ditutup dengan duk.
3. Amankan pasien diatas meja operasi dengan lilitan sabuk yang baik yang biasanya dililitkan diatas lutut. Saraf, otot dan tulang dilindungi untuk menjaga kerusakan saraf dan jaringan.
4. Jaga pernafasan dan sirkulasi vaskuler pasien tetap adekuat, untuk meyakinkan terjadinya pertukaran udara.
5. Hindari tekanan pada dada atau bagain tubuh tertentu, karena tekanan dapat menyebabkan perlambatan sirkulasi darah yang merupakan faktor predisposisi terjadinya thrombus.
6. Jangan ijinkan ekstremitas pasien terayun diluar meja operasi karena hal ini dapat melemahkan sirkulasi dan menyebabkan terjadinya kerusakan otot.
7. Hindari penggunaan ikatan yang berlebihan pada otot pasien.
8. Yakinkan bahwa sirkulasi pasien tidak berhenti ditangan atau di lengan.
9. Untuk posisi litotomi, naikkan dan turunkan kedua ekstremitas bawah secara bersamaan untuk menjaga agar lutut tidak mengalami dislokasi.
10. Pengkajian psikososial
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi :
(1) Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan. (2) Kurangnya
pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur pembedahan dan perawatan
setelah operasi.
Post Operasi :
(1) Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk
aktivitas adekuat. (2) Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi. (3) Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan invasi kateter. (4)Perubahan eliminasi urine (retensi urin)
berhubungan dengan trauma operasi.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Pre Operasi
Diagnosa keperawatan: Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan.
(1) Tujuan : mengurangi kecemasan orang tua terlihat tenang.
(2) Intervensi : (a) Evaluasi tingkat pemahaman keluarga tentang diagnosa. (b)Akui masalah
pasien dan dorong mengekspresikan masalah. (c) Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab
dengan jujur. (d) Catat komentar atau perilaku yang menunjukkan penerimaan. (e) Libatkan
pasien dan keluarga dalam perencanaan keperawatan dan berikan kenyamanan fisik
pasien. (f) Anjurkan keluarga untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan
Diagnosa keperawatan: Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa,
prosedur pembedahan dan perawatan setelah operasi.
(1) Tujuan: menyatakan pemahaman diagnosa dan program pengobatan.
(2) Intervensi : (a) Diskusikan diagnosa, rencana terapi dan hasil yang diharapkan.
(b) Diskusikan perlunya perencanaan untuk mengevaluasi perawatan saat pulang. (c) Identifikasi
tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medis seperti perubahan penampilan, insisi,
terjadinya kesulitan pernafasan, demam, peningkatan nyeri dada
Post Operasi
Diagnosa keperawatan: Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik
berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
(1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kesiapan peningkatan regimen
terapeutik baik.
(2) Intervensi: (a) Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu. (b) Bantu keluarga dalam
melakukan strategi menormalkan situasi. (c) Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang
tepat. (d) Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana pengaruh pada
keluarga. (e) Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi. (f) Ajarkan
keluarga untuk menjaga dan selalu menngawsi perkembangan status kesehatan keluarga.
Diagnosa keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi.
(1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang.
(2) Intervensi :
NIC 1 : Manajemen nyeri. (a) Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri. (b)Observasi keluhan nonverbal dari
ketidaknyamanan. (c) Ajarkan teknik nonfarmakologi (relaksasi). (d) Bantu pasien & keluarga
untuk mengontrol nyeri. (f) Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi
nyeri).
NIC 2 : Monitor tanda vital : (a) Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien. (b) Monitor
keabnormalan pola napas pasien. (c) Identifikasi kemungkinan perubahan TTV. (d)Monitor
toleransi aktivitas pasien. (e) Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat.
NIC 3 : Manajemen lingkungan : (a) Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan. (b) Posisikan
pasien dalam posisi yang nyaman
Diagnosa keperawatan: Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter.
(1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi.
(2) Intervensi:
NIC 1 : Kontrol infeksi : (a) Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar.
(b) Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus melaporkan kepada
petugas. (c) Batasi pengunjung. (d) Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan
pasien.
NIC 2 : Perawatan luka : (a) Catat karakteristik luka, drainase. (b) Bersihkan luka dan ganti
balutan dengan teknik steril. (c) Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan.
(d) Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka
NIC 3 : Perlindungan infeksi : (a) Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih. (b) Kaji
faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
Diagnosa keperawatan: Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan trauma
operasi.
(1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan retensi urin berkurang.
(2) Intervensi : (a) Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada
inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin).
(b) Menjaga privasi untuk eliminasi. (c) Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di
toilet. (d) Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit).
(e) Menyediakan perlak di kasur. (f)Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan.
(g) Menganjurkan untuk mencegah konstipasi. (h) Monitor intake dan output. (i) Monitor
distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi. (j) Berikan waktu berkemih dengan interval
reguler, jika diperlukan .
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Marion dkk. (2000). Nursing outcomes classification (NOC). Mosby
Suriadi SKp, dkk. (2001). Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : Fajar Interpratama
Mansjoer, Arif, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Jakarta : Media Aesculapius.
McCloskey, Joanne C. (1996). Nursing interventions classification (NIC). Mosby
Price, Sylvia Anderson. (2000). Pathofisiologi. Jakarta: EGC
Purnomo, B Basuki. (2000). Dasar – dasar urologi. Jakarta : Infomedika
Santosa, Budi. (2005-2006). NANDA. Prima Medika
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2000). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :EGC.