lepra
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
Pendahuluan
Lepra atau kusta termasuk penyakit tertua, kata kusta berasal dari bahasa India yaitu
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta merupakan penyakit yang
sangat ditakuti oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada anggot tubuh
terutama bagian kaki. Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae termasuk bakteri gram negatif yang tahan asam. Mycobacterium leprae
sudah tidak terlalu banyak penderitanya saat ini, namun di beberapa daerah di Indonesia M
leprae masih bisa ditemukan.1,2
Anamnesis
Pada anamnesis, agar diagnosa lepra dapat ditegakkan dengan tepat, beberapa hal yang harus
ditanyakan pada pasien adalah :
1. Apakah ada rasa gatal?
2. Apakah muncul bercak pada kulit?
3. Apa warna bercak yang muncul?
4. Apa ada rasa nyeri pada bercak?
5. Dimana letak bercaknya?
6. Sejak kapan bercak itu muncul?
7. Apakah ada rasa baal pada lesi?
8. Apakah sudah berobat ke dokter atau membeli obat di luar?
9. Bagaimana hasilnya?
10. Apakah sebelumnya pernah mengalami keluhan seperti ini?
11. Apakah di keluarga ada yang mengalami keluhan seperti ini?
12. Apakah pasien rajin mandi dan mengganti pakaiannya?
Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien datang dengan keluhan adanya bercak putih
pada lengan kiri, sejak 1 bulan, dan tidak ada rasa gatal.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang kita lakukan adalah dengan memastikan status lokalisasi
dari bercak putih tersebut. Kita perlu melakukan pemeriksaan pada seluruh bagian tubuh, jika
memang bercak putih sudah menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu, kita juga memeriksa
eflouresensi atau sifat dari luka tersebut. Pada setiap kriteria dari lepra, eflouresensinya juga
mempunyai sifat yang berbeda. Pada lepra tipe I (tipe interdeminan), eflouresensi yang muncul
adalah berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas, anestesi, dan anhidrasi, pemeriksaan
bakteriomologi negatif, dan tes lepromin positif. Lepra tipe TT (tuberkolusis), eflouresensi
berupa makula eritematosa bulat atau lonjong, permukaan kering, batas tegas, anestesi, bagian
tengah sembuh, bakteriologi negatif, tes lepromin positif kuat. Tipe BT (bordeline tuberculoid),
eflouresensi berupa makula eritrematousa tak teratur, batas tak tegas, kering, mula-mula akan
ada tanda kontraktur, anestesi, bakteriologi bisa negatif atau positif, tes lepromin juga bisa
menunjukan hasil positif atau negatif. Tipe BB (mid-borderline) makula eritromatosa, menonjol,
bentuk tidak teratur, kasar, ada lesi satelit, penebalan saraf dan kontraktur, pemeriksaan
bakteriologi positif, tes lepromin negatif. Tipe BL (boderline lepramatosa) berupa makula
infiltrat merah mengkilat, tak teratur, batas tak tegas, pembengkakan saraf, pemeriksaan
bakteriologi ditemukan banyak basil, tes lepromin negatif. Tipe LL (lepromatosa) berupa
infiltrasi difus berupa nodula simetri, permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi,
pemeriksaan bakteriologi positif kuat, tes lepromin negatif.2
Selain pemeriksaan fisik kulit, kita harus pula melakukan pemeriksaan saraf tepi pasien
(nervus ulnaris, nervus radialis, nervus aurikulas magnus, dan nervus poplitea), mata
(lagoftalmus), tulang (kontraktur atau absorbsi), dan rambut (alis mata, kumis, dan pada lesi
sendiri). Pemeriksaan anestesi (baal) dan sensitifitas bisa dilakukan dengan tes panas dingin
ataupun dengan jarum. Tes keringet dengan melakukan tes Gunawan, yaitu dengan pensil tinta
dibuat garis pada lesi hingga keluar lesi, lalu pasien melakukan olahraga sampai berkeringat.
Selanjutnya dilihat pada bagian mana tinta melebur karena keringat dab bagian tinta yang tidak
melebur karena anhidrasi.2 Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan makula hipopigmentasi
positif dengan anestesi.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis penunjang dibagi menjadi tiga macam yaitu pemeriksaa bakterioskopik (kerokan
jaringan kulit), pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan serologik.
1. Pemeriksaan bakterioskopik: dibuatlah suatu sediaa dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung bagian septum lalu diwarnai dengan pewarnaan
BTA (Basil Tahan Asam), antara lain Ziehl-Neelsen. Jika hasilnya negatif, maka orang
tersebut belum tentu tidak mengandung kuman M. leprae. Bagian tubuh yang pasti
dikerok jaringan kulitnya adalah dibawah cuping telinga berdasarkan pengalaman,
tempat tersebut diharapkan mengandung kuman lebih banyak. Cara pengambilannya
dengan menggunakan skalpel steril, lalu pada kulit yang terkena lesi didesinfeksi
kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga
kerokan mengandung sedikit mungkin darah yang bisa mengganggu pemeriksaan.
Kerokan skalpel harus sampai di dermis yang diharapkan banyak mengandung kuman
M. leprae (sel leprae = sel Virchow). Dan dari mukosa hidung diambil dengan cara nose
blows, terbaik dilakukan pada pagi hari dan ditampung pada sehelai plastik. Namun
sediaan dari mukosa hidung jarang dipakai karena kemungkinan adanya M. atipik, M.
leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif, bila diobati hasil pemeriksaan
mukosa hidung negatif negatif lebi dahulu dibandingkan kerokan jaringan kulit, dan rasa
nyeri saat pemeriksaan. Lalu bahan sediaan dioleskan pada gelas alas, difiksasi diatas
api, lalu diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. M. Leprae tergolong BTA, akan
tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus
(fragmen), dan butiran (granulasi). Bentuk solid adalah bentuk dari kuman hidup,
Gambar 1. Makula Hipopigmentasi3
sedangkan bentuk fragmen dan granulasi adalah bentuk dari kuman yang mati.
Kepadatan BTA tanpa memebedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nila 0-6+ menurut Ridley.1
2. Pemeriksaan histopatologik: makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di
dalam darah ada yang mempunyai nama khusus dan fungsi berbeda-beda dalam
menjalankan imunitas tubuh. Saat ada kuman M. leprae yang masuk, akan bergantung
pada sistem imunitas seluler orang tersebut. Jika sistem imunnya bagus, maka akan
banyak ditemukan sel datia Langhans tetapi sayangnya jika ada massa epiteloid
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat. Sebaliknya jika sistem imunitas seluler orang tersebut
rendah, maka M. leprae akan berkembang biak dalam sel tubuh manusia lalu menjadi sel
Virchow sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Granuloma adalah akumulasi
makrofag dan atau derivat-derivatnya. Contohnya adalah gambaran histopatologik tipe
tuberkeloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nayta, tidak ada kuman, atau
hanya sedikit dan non-solid.1
3. Pemeriksaan serologik: pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh yang terinfeksi M. leprae. Ternyata ada antibodi spesifik kuman ini yaitu anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan
antobodi non-spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan. Kegunaan
pemeriksaan serologik ini adalah untuk mendiagnosis penyakit kusta yang meragukan
seperti kusta yang subklinis (hampir tidak ada lesi kulit). Disamping itu dapat
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapatinya lesi kulit, misalnya narakontak
serumah. Uji serologik tersebut terdiri dari Uji MLPA, ELISA, dipstick test, dan flow
test.1
Diagnosis Banding
1. Pteriasis Versikolor
Pteriasis Versikolor atau panu adalah penyakit jamur superfisial kronik yang
disebabkan oleh Malassezia furfur. Biasanya tidak akan menimbulkan keluhan yang
subyektifm hanya berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam.
Bercak meliputi badan dan kadang-kadang menyeang ketiak, lipat paha, lengan , tungkai
atas, leher, muka, kulit kepala yang berambut. Infeksi bisa terjadi karena kontak langsung
dari penempelan jamur ke kulit manusia. Jamur bertumbuh karena faktor kulit yang
berminyak, prematuritas, pengobatan anti mikrobial, kortikosteroid, penumpukan glikogen
ekstraseluler, infeksi kronik, keringat berlebihan, pemakaian pelumas kulit, dan kadang
karena kehamilan.4
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di
badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur
sampai teratur, batas jelas dan difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila di lihat
dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan
biasanya asimtomatik sehingga ada kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit
tersebut. Lesi kulit berupa bercak putih sampai coklat, merah, dan hitam. Di atas lesi terdapat
sisik halus. Bentuk lesi tidak teratur, dapat berbatas tegas atau difus. Sering didapatkan lesi
bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk numular yang meluas membentuk plakat,
kadang-kadang dijumpai bentuk campuran, yaitu folikular dengan numular, folikular dengan
plakat ataupun folikular, atau numular dengan plakat. Kadang-kadang penderita dapat
merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena
sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksik jamur terhadap pembentukan pigmen,
sering di keluhkan penderita. Biasanya penderita datang berobat karena alasan kosmetik yang
disebabkan bercak hipopigmentasi. Variasi warna lesi pada penyakit ini tergantung pada
pigmen normal kulit penderita, paqparan sinar matahari, dan lamanya penyakit. Kadang-
kadang warna lesi sulit dilihat, tetapi skuamanya dapat dilihat dengan pemeriksaan goresan
pada permukaan lesi dengan kuret atau kuku jari tangan (coup d’angle dari Beisner).1,4
2. Pteriasis Alba
Sering di jumpai pada anak-anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Lesi berbentuk bulat,
oval atau plakat yang tidak beraturan. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan
skuama halus. Setelah eritema hilang, lesi yang dijumpai hannya depigmentasi dengan
skuama halus. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2 cm. Pada
anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi,
serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simteris pada bokong,
paha atas, punggung, ekstensor lengan. Umunya lesi bersifat asimtomatik, meskipun kadang-
kadang penderita mengeluhkan panas atau gatal.1
3. Vitiligo
Makula berwarna putih dengann diameter beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis lain. Kadang
ada makula hipomelanotik selain makula apigmentasi. Daerah yang sering terkena adalah
bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, hidung, mulut, tibialis
anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris.
Mukosa jarang terkena, kadang mengenai genital eksterna, putting susu, bibir, dan gingitiva.1
4. Morbus Hansen Gambar 4. Vitiligo3
Gambar 3. Pitiriasis Alba5
Gambar 2. Pitiriasis Versikolor5Gambar 2. Pitiriasis Versikolor5
Lesi dengan bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian
melebar dan meluas. Jika sudah terkena saraf perifer, penderita akan mengelih kesemutan
dan baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota badan yang berlanjut
dengan kaku sendi. Rambut alispun dapat rontok.2
Diagnosis Kerja
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sudah
dilakukan, bapak usia 40 tahun ini didiagnosa mengalami penyakit lepra (Morbus Hansen).
Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun
1874 di Norwegia, yang sampai saat ini juga belum bisa dibiakkan dalam media artifisial. M.
leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam, dan alkohol positif-gram.1
Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam
Gambar 6. Mycobacterium Leprae3
droplet. Masa tunas sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun
sekitar 3-5 tahun. Penyebaran penyakit terjadi karena perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Distribusi penyakit ini tiap negara maupun dalam satu negara berbeda-beda.
Demikian pula penyebab penyakitnya menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat
ini belum jelas benar. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya resevoir diluar
manusia. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ± 11,39 %,
tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah
usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital.
Frekuensi tertinggi pada usia 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia,
Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat dengan sosial-ekonomi
rendah. Makin rendah sosial-ekonominya makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial-
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan.1
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam
disebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus pada awal tahun 2009 tercatat 213.036
penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat
249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercata akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang
dengan kasus baru tahun 2008 adalah 16.668. Distribusi tidak merata, yang tertinggi di Pulau
Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah
0,73.1 Pada total penyebaran di dunia muncul 600.000 kasus baru, dengan total 1,5-8 juta kasus
yang terjadi. Lebih dari 80% kasus muncul di India, China, Myanmar, Indochina, Indonesia,
Brazil, Nigeria. Di US total 400 kasus, dengan 100-200 kasus baru. Banyak kasus karena imigran
yang berasal dari Mexico, Asia Tenggara, Filipina.3
Patogenesis
Sebenarnya Mycobacterium leprae mempunyai patogenesis dan daya inhasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang
lebih berat. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.1
Manifestasi Klinik
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis,
dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta
perlu dilakukan agar dapat menentukan terapi yang sesuai.1
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar (banyak kuman) dan
pausibasilar (sedikit kuman). Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah
tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan pengobatan, pada 1987 telah
terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan PB adalah kusta dengan BTA negatif yaitu pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit ( I, TT, BT). Kusta MB adalah kusta dengan tipe BB, LL,
BL, atau kusta dengan hasil BTA positif. Antara diagnosis secara klinis dan secara
histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat
bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh
orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, bisa saja
ada kemungkinan diagnosis di bagian wajah berbeda dengan di bagian tubuh lainnya. Bahkan
pada satu lesi pun dapat berbeda tipenya, tergantung dari tempat biopsinya diambil. Untuk
membandingkan gejala klinis yang ditimbulkan, berikut ada 2 tabel dibawah ini yang akan
menjelaskan jenis multibasilar dan pausi basilar :
Tabel 1: Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta Pausibasilar (PB)1-3
SIFATLEPROMATOSA
(LL)
BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)
MID
BORDERLINE
(BB)
Lesi
- Bentuk
- Jumlah
- Distribusi
- Permukaan
- Batas
- Anestesia
Tes Lepromin
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Tidak ada sampai
tidak jelas
Negatif
Makula
Plakat
Papul
Sukar dihitung,
masih ada kulit sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tak jelas
Negatif
Plakat
Dome-shaped
(kubah)
Punched-out
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Biasanya negatif
SIFATTUBERKULOID
(TT)
BORDERLINE
TUBERCULOID
(BT)
INDETERMINATE
(I)
Lesi
- Bentuk
- Jumlah
- Distribusi
- Permukaan
- Batas
- Anestesia
Makula saja; makula
dibatasi infaltrat
Satu, dapat beberapa
Asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Makula dibatasi
infiltrat; infiltrat saja
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Hanya makula
Satu atau beberapa
Variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas/tidak
Tak ada sampai tidak
jelas
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat negatif lemah
atau negatif
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh.
Untuk saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesaran, konsistensi, ada/tidaknya nyeri
spontan, dan ada/tidanya nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu
diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe yang kearah lepromatousa, kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid, kelainan saraf lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan
patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas sekunder dan primer. Cacat primer adalah akibat
langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulot, mukosa, tr. Respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan
wajah. Cacat sekunder terajdi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan
saraf, antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan , dan kaki.1
Gejala-gejala kerusakan saraf adalah sebagai berikut :
- N. ulnaris : anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawling
kelingking, dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
- N. medianus : anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,
tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari
kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
- N. radialis : anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung
(wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
- N. poplitea lateralis : anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
- N. tibialias posterior : anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intirinstik kaki dan
kolaps arkus pedis.
- N. fasialis : cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal,
mandibular, servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir.
- N. trigeminus : anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, atrofi otot tenar dan
kedua otot lumbrikalis lateralis.
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata. Sekunder karena rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian mata lainnya. Secara sendiri atau bersama dapat
sebabkan kebutaan.1
Penatalaksanaan
Dalam terapi penyakit lepra/kusta saat ini yang masih sering digunakan adalah golongan
Sulfon yaiut derivate diamino difenil sulfon (DDS, dapson). Tetapi WHO menganjurkan
penggunaan 3 obat sekaligus yaitu dapson, rifampicin dan klofazimin. Untuk mencegah
resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan MDT (multi drug treatment) sejak 1951,
sedangkan untuk kusta baru dimulai pada 1971. Adanya MDT adalah untuk mencegah dan
mengobati resistensi dan memperpendek masa pengobatan, serta mempercepat pemutusan rantai
penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain adalah efek terapeutik
obat, efek samping, ketersediaan obat, harga, dan kemungkinan penerapannya.1
Rifampisin biasanya digunakan sebagai antituberkulosis, obat ini memiliki sifat
bakterisid dan mampu menembus sel dan saraf. Tetapi setelah 3-4 tahun penggunaan akan
muncul sifat resistensi terhadap obat ini, karena itulah obat ini digunakan bersamaan dengan obat
lain. Sering dipakai bersama dengan isoniazid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek. Efek
samping beragam, tetapi insidensinya rendah dan jarang sampai perlu menghentikan terapi.
Selain itu rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10mg/kg BB dan diberikan setiap hari atau setiap bulan. Tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi. Efek samping yang
harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala GI, flu-like syndrome, dan erupsi
kulit.1,8
Klofazimin adalah turunan fenazin yang efektif terhadap basil lepra, obat ini merupakan
kombinasi dengan rifampisin jika pasien sudah resisten terhadap dapson. Obat ini tidak hanya
sebagai anti lepra tetapi sebagai antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya eritema
nodosum. Sekarang ini rifampizin juga dapat menekan eksaserbasi lepromatosis. Pada pemberian
oral, obat ini diserap dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Keadaan ini memungkinkan pemberian
obat secara berkala dengan jarak waktu antar dosis 2 minggu atau lebih. Efek baru terlihat
setelah 50 hari. Dosisnya adalah 100 mgg sehari. Untuk mengendalikan reaksi lepromatosis, bisa
diberikan dosis sampai 3 x 100 mg/hari. Harus segera dikurangi bila muncul keluhan saluran
cerna. Kulit bisa mengalami pigmnetasi merah dan hitam.8
Amitiozon adalah obat turunan tuosemikarbazon lebih efektif pada lepra jenis tuberkuloid
dibandingkan dengan jenis lepromatosis. Resistensi pada obat ini sangat cepat yaitu dalam 3
tahun pasien sudah mengalami resisten terhadap obat ini, karena itulah obat ini dianjurkan untuk
pasien yang tidak dapat menerima dapson. Efek sampingnya adalah anoreksia, mual, dan muntah
serta anemia karena terjadi depresi sumsum tulang terlihat pada sebagian besar pasien. Ruam
kulit dan albuminuria tidak jarang pula terlihat. Kejadian ikterus cukup tinggi dan gejala obat ini
menandakan obat bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya reversibel. Dosis awal ialah 50 mg setiap
hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis dinaikan perlahan-lahan sampai mencapai 200 mg.8
Dapson memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan basil pada kadar 10 mikrogram/ml.
penelitian pada hewan menunjukkan bahwa dapson bersifat bakteriostatik dengan KHM sebesar
0,02 mikrogram/mL, tetapi tidak menutup kemungkinan akan terjadi resistensi. Memiliki kadar
puncak 1-3 jam yaitu 10-15 mikrogram/mL setelah pemberian dosis yang dianjurkan. Waktu
paruh eliminasi berkisar antara 10-50 jam dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang,
sejumlah kecil obat masih ditemukan sampai 35 hari setelah pemberian obat dihentikan. Obat ini
terikat pada protein plasma sebesar 50-70% dan mengalami daur enterohepatik dan dieksresi
melewati urin sebanyak 70-80% terutama dalam bentuk metabolitnya. Tetapi sayangnya obat ini
memiliki efek samping hemolisis yang berkaitan dengan jumlah dosisnya. Selain itu anoreksia
dan mual dapat terjadi dalam pemberian sulfon, ada juga reaksi Jarisch-Herxheimer dengan
nama lain sindrom sulfon yang timbul 5-6 minggu setelah awal terapi dan pada pasien akan
terlihat gejala berupa demam, malaise, dermatitis eksoliatif, nekrosis hati, anemia. Sindrom ini
hanya terjadi pada pasien dengan status gizi buruk.8
Dapson adalah lini pertama untuk semua penyakit lepra obat ini digunakan baik pada
terapi tunggal maupun kombinasi. Bila terjadi resistensi baru diberikan obat dari golongan lain.8
Pencegahan
Penderita kusta dengan diagnosa yang terlambat mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, sensibiltas yang
hilang, dan berkurangnya kekuatan otot. Ditemukan keluhan sukar melakukan kegiatan sehari-
hari seperti memasang kancing baju, memegang pulpen, dan sebagainya. Cara terbaik untuk
melakukan pencegahan cacat adalah dengan melakukan diagnosis dini kusta, pemberian MDT
yang cepat dan tepat. Selanjutnya mengenali gejala dan tanda rekasi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila ada
gangguan sensibiltas, pasien diberi petunjuk untuk memakai sepatu, memakai sarung tangan,
memakai kacamata, dan lain-lain. Diajarkan juga untuk melakukan pemeriksaan ada tidaknya
memar, luka, atau ulkus. Selain itu tangan dan kaki direndam, disikat, dan diminyaki agar tidak
kering dan pecah.1
Prognosis
Dengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih
singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada ulkus dan kontraktur kronik,
prognosis kurang baik.2,3
Penutup
Bapak usia 40 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putih pada
lengna kiri sejak 1 bulan. Tidak ada rasa gatal. Pada pemeriksaan dermatologis : makula
hipopigmentasi (+) dan anestesi (+), didiagnosa menderita Morbus Hansen (lepra/kusta).