legal syekh puji

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hiup. Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga, karena keluarga merupakan gejala kehidupan umat manusia yang pada mulanya dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan yang kita sebut sebagai perkawinan. Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan- aturan hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum negara yang mengatur masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dan aturan lain yang mengatur tentang perkawinan adalah hukum adat, dimana hukum adat sudah terlahir secara turun menurun dari jaman nenek moyang yang akan terus ada sampai kapanpun. Dan juga hukum

Upload: merlitanuryowanda

Post on 18-Jun-2015

648 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Legal Syekh Puji

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke

dunia selalu mempunyai kecenderungan hidup bersama dengan manusia

lainnya dalam suatu pergaulan hiup. Di dalam bentuknya yang terkecil,

hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga, karena

keluarga merupakan gejala kehidupan umat manusia yang pada mulanya

dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

telah memenuhi persyaratan yang kita sebut sebagai perkawinan.

Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga

sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,

yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis. Hukum negara yang mengatur masalah perkawinan adalah

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dan aturan

lain yang mengatur tentang perkawinan adalah hukum adat, dimana

hukum adat sudah terlahir secara turun menurun dari jaman nenek

moyang yang akan terus ada sampai kapanpun. Dan juga hukum Islam,

dimana setiap agama mempunyai cara masing-masing untuk

melangsungkan sebuah perkawinan.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

mempunyai tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (pasal 1).

Untuk dapat mewujudkan tujuan suatu perkawinan, salah satu

syaratnya adalah bahwa pihak yang akan melakukan perkawinan telah

siap secara fisik maupun jiwanya. Oleh karena itu didalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur seseorang

untuk dinyatakan siap dalam melakukan perkawinan. Dalam hal ini

tercantum pada pasal 7 ayat 1 yang berbunyi : ”Perkawinan hanya

Page 2: Legal Syekh Puji

diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan

pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”.

Berbeda dengan hukum adat, biasanya batas umur tidak dijadikan

suatu kendala untuk melakukan suatu perkawinan. Bahkan hukum adat

memperbolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak

masih berusia anak-anak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum

Adat perkawinan tidak hanya merupakan persatuan kedua belah pihak

mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga yang

mempunyai hubungan kerabat.

Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk

melakukan perkawinan dimaksudkan agar orang yang akan menikah

diharapkan sudah memiliki kematangan dalam berpikir, kematangan jiwa

dan kekuatan fisik yang cukup memadai. Keuntungan lainnya yaitu agar

dapat menghindari perceraian karena pasangan tersebut memiliki

kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan

perkawinan.

Syekh Puji membuat kami cukup antusias untuk membahas lebih

dalam mengenai kasus yang belum lama dialaminya sebagai salah satu

contoh kasus dalam Hukum Perdata. Pujiono Chayo Widianto (43) atau

yang bisa dikenal sebagai Syekh Puji, adalah seorang pemilik pondok

pesantren dan pengusaha kaya asal Semarang. Belakangan ini Syekh

Puji gemar menikahi gadis dibawah umur sehingga kejadian ini

mengakibatkan pengusaha ini dijerat hukum. Lutfiana Ulfa (12) adalah

salah seorang anak yang dinikahinya dan konon akan berlanjut dengan

mempersunting anak umur 7 dan 9 tahun. Calon istri yang dipilih syeikh

puji adalah anak – anak yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Salah

satu tujuannya adalah karena Syekh Puji ingin membantu calon istrinya

karena kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang kurang

mampu. Tujuannya yang lain dengan memilih anak-anak yang pintar yaitu

karena Syekh Puji menginginkan mereka untuk melanjutkan usaha-usaha

bisnis yang dimiliki Syekh Puji. namun tanpa disadari bahwa semua

Page 3: Legal Syekh Puji

perbautan Syekh Puji ternyata melanggar peraturan yang berlaku di

Negara Indonesia sehingga Syekh Puji harus dikenakan hukuman.

Di dalam perkawinan usia ini yang dilakukan Syekh Puji terhadap

Lutfiana Ulfah, merupakan salah satu contoh pernikahan dibawah umur

yang ditentang oleh negara karena dianggap melanggar:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

anak menyatakan : ”perlindungan terhadap anak bertujuan untuk

menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,

berakhlak mulia, dan sejahtera”. Sedangkan nyatanya hak hidup Luthfiana

Ulfa sebagai anak berusia 12 Tahun tidak mendapatkan hak sepenuhnya.

Oleh karena itu, dalam proposal ini kami akan membahas lebih jauh

mengenai kasus pernikahan dibawah umur yang dilakukan Syekh Puji

terhadap Lutfiana Ulfah dan menjelaskan beberapa kasus-kasus perdata

yang dijatuhkan kepada Syekh Puji dan beberapa hal yang meliputi kasus

ini.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah perbuatan yang dilakukan Syekh Puji terhadap Luthfiana

Ulfa melawan hukum Undang-undang Perkawinan dan Undang-Undang

Perlindungan Anak ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang

berkaitan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974

Page 4: Legal Syekh Puji

Untuk mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan Syekh Puji

terhadap Luthfiana Ulfa melawan hukum Undang-undang

Perkawinan dan Undang-undang Perlindungan Anak

1.4 MANFAAT PENILITIAN

1.4.1 Akademik

Untuk memberikan pelajaran dan informasi secara luas agar

tahu nilai-nilai yang ada didalam suatu peraturan Negara sehingga

tidak dapat dilanggar

1.4.2 Praktis

Agar masyarakat mengetahui bahwa adanya larangan akan

adanya pernikahan dibawah umur agar dapat mengurangi jumlah

kasus-kasus yang ada saat ini.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam laporan ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini kami akan membahas mengenai latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, serta sistematika

penulisan dengan tema pernikahan dibawah umur yang berjudul

”Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa”.

BAB II KERANGKA TEORITIS

Dalam bab ini kami akan membahas teori hukum perdata dan teori-

teori yang berkaitan dengan kasus ”Pernikahan Dini Syekh Puji dengan

Luthfiana Ulfa”. Seperti hukum Perkawinan, Hukum perkawinan dalam

Islam, Hukum Adat Perkawinan, dan Hukum Perlindungan Anak.

Page 5: Legal Syekh Puji

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini kami akan menganalisa dan membahus kasus

”Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa” secara mendalam.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini kami akan membuat kesimpulan dari masalah ini dan

memnyampaikan saran yang berkaitan dengan kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 6: Legal Syekh Puji

BAB II

KERANGKA TEORITIS

2.1 Hukum Perdata

2.1.1 Sejarah hukum Perdata

Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka

KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di

wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia

Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda.

Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia

yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi

yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan

keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri

Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda

mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah

Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas

istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr.

C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836

ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua

Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van

Oud Haarlem.

Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem

di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van

Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia

tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang

diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya

diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya

panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka

KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena

KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia.

Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April

Page 7: Legal Syekh Puji

1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan

peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan

berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru

berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda

disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia

sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945. Segala Badan Negara

dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum

diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum

perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum

perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat

[Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal

dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.

Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti

dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan,

Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang

Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5

Tahun 1960.

2.1.2 Definisi Hukum Perdata

Mengenai pengertian dari Hukum Perdata ini, oleh para

pakar sarjana hukum diartikan secara berbeda-beda. Pendapat

para pakar sarjana hukum tersebut antara lain adalah :

a. Menurut Prof.Subekti S.H.,

Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum

“privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur

kepentingan-kepentingan perseorangan.

Page 8: Legal Syekh Puji

b. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H.,

Hukum perdata ( materiil ) ialah kesemuanya kaidah hukum

yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban perdata.

c. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo S.H.,

Hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang

mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang

lain di dalam pergaulan masyarakat.

d. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.,

Hukum perdata adalah suatu rangkaian hukum antara

orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan

kewajiban.

e. Menurut H.F.A. Vollmar,

Hukum perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma, yang

memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan

perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam

perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan

yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu

( negeri Belanda ) terutama yang mengenai hubungan keluarga

dan hubungan lalu-lintas. Hukum perdata disebut juga hukum sipil

atau hukum privat.

f. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H.

Hukum perdata adalah keseluruhan aturan hukum yang

mengatur tingkah laku orang yang seorang terhadap orang yang

lainnya di dalam Negara itu, tingkah laku antara warga masyarakat

dalam hubungan keluarga dan dalam pergaulan masyarakat.

g. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn

Hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang

obyeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal

akan dipertahankannya atau tidak, diserahkan kepada yang

berkepentingan.

h. Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.

Page 9: Legal Syekh Puji

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan

antara warganegara perseorangan yang satu dengan warga

Negara perseorangan yang lain.

Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan, bahwa yang

dimaksud dengan hukum perdata adalah hukum yang mengatur

mengenai hubungan hukum antara hak dan kewajiban orang atau

badan hukum yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain

di dalam pergaulan hidup masyarakat, dengan menitikberatkan

pada kepentingan perseorangan atau individu.

2.1.3 Pembagian dan Sistematik Hukum Perdata

Hukum perdata diatur dalam (bersumber pokok pada) kitab

Undang-undang hukum Sipil yang disingkat KUHS (burgerlijk

wetboek,disingkat B.W.).

KUHS itu terdiri atas 4 buku yaitu:

1. buku I, yang berjudul perihal orang(van personen),yang memuat

hukum perorangan dan hukum kekeluargaan;

2. buku II, yang berjudul perihal benda(van zaken),yang memuat

hukum benda dan hukum waris;

3. buku III, yang berjudul perihal perikatan (van

verbintenissen),yang memuat hukum harta kekayaan yang

berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi

orang-orang atau pihak-pihak tertentu;

4. buku IV, yang berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa atau

liwat waktu(van bewjis en verjaring),yang memuat perihal alat-alat

pembuktian dan akibat-akibat liwat waktu terhadap hubungan-

hubungan hukum.

Menurut ilmu pengetahuan hukum,hukum perdata(yang

termuat dalam KUHS) dapat dibagi dalam 4 bagian,yaitu:

1. Hukum perorangan (personenrecht) yang memuat antara lain:

Page 10: Legal Syekh Puji

a. peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek

hukum;

b. peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki

hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-

haknya itu.

2. hukum keluarga (familierecht) yang memuat antara lain:

a. perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta

kekayaan antara suami/istri;

b. hubungan antara orang tua dan anak-anaknya

(kekuasaan orang tua-ouderlijke macht);

c. perwalian(voogdij);

d. pengampuan(curatele).

3. hukum harta kekayaan(vermogensrecht),yang mengatur tentang

hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang.

Hukum harta kekayaan meliputi:

a. hak mutlak,yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap

orang;

b. hak perorangan,yaitu hak-hak yang hanya berlaku

terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.

4. hukum waris(erfrecht),yang mengatur tentang benda atau

kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat

dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).

2.2 Perkawinan

2.2.1 Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia

Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia yang berlaku

sekarang ini antara lain :

a. Buku I dari Kitab Undang-undang HukumPerdata, yaitu Bab IV

sampai dengan Bab XI.

b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Page 11: Legal Syekh Puji

d. Peraturan Pemeeerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang

pelaksanaan UU Nomor 1 Tagun 1974 tentang Perkawinan.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan

dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983

tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri

Sipil.

f. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).

2.2.2 Definisi Hukum Perkawinan dan Perkawinan

Hukum Perkawinan adalah peraturan-peraturan hukum yang

mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya

antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita

dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut

peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang.

Sedangkan Perkawinan, menurut Pasal 1 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah Ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanta sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.2.3 Bentuk-bentuk Perkawinan

Dilihat dari dua segi :

1. Dilihat dari segi jumlah suami atau isteri, terdiri atas :

a. Perkawinan Monogami adalah Perkawinan antara pria

dengan seorang wanita.

b. Perkawinan Poligami adalah Perkawinan antara seorang

Pria dengan lebih dari satu wanita (poligini) ataupun

perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu

pria (poliandri).

Page 12: Legal Syekh Puji

2. Dilihat dari segi asal suami istri, dibedakan menjadi :

a. Perkawinan Eksogami, ialah Perkawinan antara pria dan

wanita yang berlainan suku dan RAS

b. Perkawinan Endogami, ialah Perkawinan antara Pra dan

Wanita yang berasal dari suku dan ras yang sama

c. Perkawinan Homogami,adalah perkawinan antara pria

dan wanita dari lapisan sosial yang sama

d. Perkawinan Heterogami, adalah perkawinan antara pria

dan wanita dari lapisan sosial yang berlainan

2.2.4 Syarat Sahnya Perkawinan

Menurut Hukum Perdata Barat :

a. Berasas monogami

b. Harus ada kata sepakt dan kemauan bebas antara si pria

dan wanita

c. Pria sudah berusia 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun

d. Ada masa tunggu bagi wanita yang bercerai yaitu 300 hari

sejak perkawinan terakhir bubar

e. Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh ijin kawin

dari orang tua mereka. Mengenai ijin kawin ini diatur dalam

ketentuan-ketentuan berikut ini :

Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang

dibawah pengawasannya harus ada ijin dari wali pengawas.

1. Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tiak

mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan ijin

adalah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu,

sedangkan ijin wali masih pula tetap diperlukan

2. Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin,

harus mendapat iji dari bapak dan atau ibu yang mengakuinya.

Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak dibawah

pengawasannya, harus ada ijin dari wali pengawas. Jika

diantara orang-orang yang harus memberi ijin iytu terdapat

Page 13: Legal Syekh Puji

perbedaan pendapat, maka pengailan atas permintaan si anak,

berkuasa memberikan ijin

3. Anak luar kawin namun tidak di akui, selama belm dewasa,

tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali

pengawas mereka ( pasal 40 KUHPer )

4. Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30

tahun, masih juga diperlukan izin kawindari orang tuanya.

Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak

dapat memintanya dengan perantaraan hakim ( pasal 42

KUHPer ).

f. Tidak terkena larangan kawin ( pasal 30 sampai 33

KUHPer ).

2.2.5 Larangan Perkawinan

Didalam KUHPer ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara :

a. Mereka yang bertalian keluarga dalam gariskeuturunan lurus

keatas dan kebawah atau dalam garis keturunan menyamping,

yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan ( pasal

30 KUPer ).

b. Ipar laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orang tua

dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara;

atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau

cucu laki saudara ( pasal 31 KUHPer ).

c. Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah

oleh putusan hakim ( pasal 32 KUHPer ).

d. Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran

perkawinan terakhir jika belum lewat waktu satu tahun ( pasal

33 KUHPer ).

Page 14: Legal Syekh Puji

2.2.6Perjanjian Perkawinan

Di dalam ketentuan pasal 139 – 143 KUHPer, di atur

mengenai hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian kawin,

yaitu :

a. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan

kesusilaan.

b. Tidak boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di

dalam perkawinan.

c. Tidak boleh melanggar ekuasaan orang tua.

d. Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang undang

terhadap suami atau istri yang hidup terlama.

e. Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai

kepala persatuan suami stri.

f. Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie ( hak

mutlak ) atas warisan dari keturunannya dan mengatur

pembagian warisan dari keturunannya.

g. Tidak boleh di perjanjikan bahwa sesuatu pihak harus

membayar sebagian utang ang lebih besar daripada bagian

keuntungannya.

h. Tidak boleh di perjanjikan dengan jata-kata umum, bahwa

ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang undang luar

negeri, adat kebiasaan, atau peraturan daerah.

2.3 Hukum Adat

Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma

adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan

manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan

anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam

bermasyarakat dan negara. Kepribadian bangsa kita dapat dilihat dari

keanekaragaman suku bangsa di negara ini yang ada pada Lambang

Page 15: Legal Syekh Puji

negara kita Garuda Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika”

(Berbeda – Beda tetapi tetap satu jua).

Dengan mempelajari hukum adat di Indonesia maka kita akan

mendapatkan wawasan berbagai macam budaya hukum Indonesia, dan

sekaligus kita dapat ketahui hukum adat yang mana ternyata tidak sesuai

lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana dapat di

konkordasikan dan diperlakukan sebagai hukum nasional. Berkat hasil

penelitian Prof. Mr. C. Vollenhoven di Indonesia yang membuktikan bahwa

bangsa Indonesia mempunyai hukum pribadi asli, dan dengan demikian

bangsa Indonesia semenjak tanggal 17 Agustus 1945 melalui undang –

undang dasarnya dapat mewujudkan tata hukum Indonesia.

Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi,

ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi

(dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam

buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson

Tahun 1850.

2.4Pernikahan menurut Hukum Islam

2.4.1 Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang

kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami

maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga

yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan

memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat

menentukan jalan hidup seseorang.

2.4.2 Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan

"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu

dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba

sahayamu yang perempuan." (Q.S. 24-An Nuur : 32)

Page 16: Legal Syekh Puji

2.4.3 Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia

menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir."

2.4.4 Tata cara Perkawinan dalam Islam

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang

mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun,

dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun

masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut

nampak kecil dan sepele. Termasuk tata cara perkawinan Islam

yang begitu agung nan penuh nuansa. Dan Islam mengajak untuk

meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan

upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan

melelahkan serta bertentangan dengan syariat Islam.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara

perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih.

Dalam kesempatan kali ini redaksi berupaya menyajikannya secara

singkat dan seperlunya. Adapun Tata Cara atau Runtutan

Perkawinan Dalam Islam adalah sebaga berikut: 

1.Khitbah(Peminangan)

Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah

hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia

sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang

seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh

orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat

wajah yang akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud,

Tirmidzi No. 1093 dan Darimi). 

Page 17: Legal Syekh Puji

2. Aqad Nikah

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang

harus dipenuhi :

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.

b. Adanya Ijab Qabul.

c. Adanya Mahar.

d. Adanya Wali.

e. Adanya Saksi-saksi. 

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah

terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul

Hajat.

 

3. Walimah

Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan

sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang

orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam

bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti

makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi

wa sallam, yang artinya: "Makanan paling buruk adalah makanan

dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja

untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang.

Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia

durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (HR: [shahih] Muslim 4:154

dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah). 

Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu

orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Janganlah kamu

bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan

makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (HR: [shahih]

Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id

Al-Khudri). 

Page 18: Legal Syekh Puji

BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Pernikahan adalah hal yang biasa terjadi, namun dalam pelaksanaannya

sering terjadi penyelewengan yang tidak sesuai dengan undang-undang

perkawinan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang berlaku di Indonesia.

Kasus Pernikahan Syekh Puji dan Luthfiana Ulfa adalah salah satunya.

Sebagian kelompok masyarakat dibeberapa daerah mengakui bahwa hal ini

lazim dilakukan, karena menurut mereka ini adalah sesuatu yang halal dan tidak

ada masalah karena syarat sahnya pernikahan menurut hukum agama islam

sudah terpenuhi. Namun sebenarnya hal ini melanggar beberapa aturan

perundang-undangan yang telah ditetapkan. Karena pernikahan yang dilakukan

Syekh Puji melibatkan mempelai wanita di bawah umur yaitu berusia 12 tahun.

3.1 Cara pandang Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

mengenai Pernikahan dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa.

Kasus pernikahan dini Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa menjadi

perbincangan hangat di masyarakat karena pernikahan Syekh Puji ini

melibatkan seorang gadis belia yang bernama LUthfiana Ulfa yang baru

berusia 12 tahun. Pernikahan ini ditentang oleh beberapa pihak. Karena

Syekh Puji dituduh telah melanggar tiga ketentuan peraturan perundang-

undangan sekaligus. Yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak. Beberapa pernyataan dari beberapa pihak yang

berkaitan dengan kasus pernikahan controversial tersebut. Menteri

Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menjelaskan bahwa

pernikahan dini mempunya dampak yang cukup serius bagi anak

khususnya perempuan, termasuk bahaya kesehatan, trauma psikis yang

berkepanjangan, gangguan perkembangan pribadi, dampak social seperti

putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas dan sering kali

menjadi sebagai pendorong perceraian di usia dini. “ tingginya angka usia

Page 19: Legal Syekh Puji

perkawinan dini berkaitan dengan terlalu cepatnya anak-anak kehilangan

aksesibilitas pada pendidikan, “ ucap Meutia Hatta dalam Konferensi Pers

‘Dampak Pernikahan Dini’ yang digelar oleh Departemen Komunikasi dan

Informasi di Jakarta.

Dalam Konferensi Pers tersebut turut hadir ketua MUI Huzaimah

yang menyatakan bahwa masyarakat sebaiknya tidak berpengaruh dan

ikut-ikutan dengan tindakan Syekh Puji yang menikahi anak dibawah

umur. MUI menjelaskan salah satu dasar untuk menikah adalah kesiapan

materi, mental dan kejiwaan. Sehingga tujuan berumah tangga dengan

membangun keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang dapat

diwujudkan. Namun masalahnya jika anak yang belum dikatakan dewasa

dan harus menikah akan mengalami kebingungan dalam memahami arti

cinta dan kasih sayang.

Sementara menteri komunikasi dan informasi juga menghimbau

agar media massa lebih bijaksana dalam memberikan pemberitaan

mengenai kasus pernikahan dini syekh puji dan luthfiana ulfa. Untuk

menghilangkan trauma psikologis dimasa datang seorang anak wajib

mendapat perlindungan dalam hal publikasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

terdapat ketentuan yang ada di dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)

dimana dalam ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan

kepercayaannya. Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa tiap –

tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Kedua Undang-Undang ini sangat bertolak belakang.

Menurut pemahaman dalam teori Islam pernikahan yang dilakukan oleh

syekh puji dengan luthfiana Ulfa dianggap sah karena syarat-syarat

sahnya perkawinan menurut agama islam telah terpenuhi. Namun

pencatatan perkawinan tersebut terhalang ketentuan lain yang berkaitan

dengan syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang tersebut

Page 20: Legal Syekh Puji

sehingga perkawinan yang dilakukan oleh Syekh Puji tidak bisa

dicatatkan.

Ketentuan-ketentuan yang menghalangi perkawinan Syekh Puji

tersebut ialah terdapat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat (1) menentukan bahwa perkawinan

hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak

wanita sudah berumur 16 tahun. Dalam hal ini pihak Luthfiana Ulfa yang

baru berusia 12 tahun dan belum mencapai 16 tahun.

Pernikahan dispensasi nikah yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang

menyatakan bahwa apabila ada penyimpangan terhadap ketentuan ayat

(1) dapat dimohonkan adanya dispensasi nikah kepada pengadilan atau

pejabat lain yang ditunjuk.

Pihak keluarga Luthfiana Ulfa mengajukan dispensasi nikah untuk

menikah secara resmi dan sesuai Undang – Undang dengan Pujiono

Cahyo Widianto atau yang dikenal sebagai Syekh Puji melalui ayahnya

yaitu Suroso kepada Pengadilan Agama Kabupaten Semarang namun

ternyata permohonan dispensasi nikah yang diajukan pihak keluarga

Luthfiana Ulfa ditolak Pengadilan Agama Kabupaten Semarang dengan

alasan dalam 2 agenda sidang terakhir pihak pemohon dari keluarga

Luthfiana Ulfa tidak hadir dalam persidangan. Disamping itu pemohon

juga tidak menunjukan dan membuktikan apa yang diminta pemohon

kehadapan majelis hakim.

“Kami tidak dapat mengabulkan permohonan dispensasi nikah yang

diajukan pemohon. Sebab dalam 2 kali persidangan terakhir pemohon

tidak hadir. Selain itu pemohon tidak dapat membuktikan apa yang

diminta selama di pengadilan,” kutipan Rohanna selaku ketua majelis

hakim Pengadilan Agama Kabupaten Semarang yang menangani

permohonan dispensasi nikah Luthfiana Ulfa.

Page 21: Legal Syekh Puji

3.2 Cara pandang Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak mengenai Pernikahan Dini Syekh Puji dengan

Luthfiana Ulfa.

Yang dimaksud anak dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak khususnya dalam pasal 1 ayat (1) adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan. Dari sini dapat diketahui, bahwa mempelai wanita,

Luthfiana Ulfa masih termasuk sebagai kategori anak-anak sehigga harus

dilindungi. Dan dalam pasal 3 dinyatakan bahwa Perlindungan terhadap

anak untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang

berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Sedangkan dalam pasal 4

menyatakan setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang

dab berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Dan dalam pasal 6 dinyatakan bahwa setiap anak berhak

beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan

tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Syekh Puji

telah melanggar ketentuan-ketentuan tersebut karena telah menikahi

Luthfiana Ulfa yang masih termasuk kategori anak. Sehingga, di

khawatirkan Luthfiana Ulfa tidak dapat tumbuh, berkembang, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi karena

perubahan status Luthfiana Ulfa dari seorang anak menjadi Ibu rumah

tangga. Yang berarti telah lepas dari bimbingan orang tuanya.

Lagipula, dalam pasal 9 dinyatakan pula bahwa setiap anak berhak

memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya

dan dalam pasal 11 dinyatakan setiap anak berhak untuk beristirahat dan

memanfaakan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,

Page 22: Legal Syekh Puji

bermain,berekreasi, berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat

kecerdasannya demi pengembangan diri.

Semenjak Luthfiana Ulfa menikah dengan Syekh Puji, Luthfiana

Ulfa tidak meneruskan sekolah dan ini melanggar ketentuan pasal 9 ayat

(1) karena tidak dapat memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui

jalur pendidikan formal yang dapat menghambat pengembangan karakter

dalam diri Luthfiana Ulfa. Karena pernikahan ini pula, Luthfiana Ulfa hanya

mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat, bergaul dan bermain dengan

teman-teman sebayanya karena Luthfiana Ulfa mempunyai kewajiban

terhadap suaminya yaitu Syekh Puji.

Dalam Pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa orangtua mempunyai

tanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa orang tua dari

Luthfiana Ulfa telah melanggar ketentuan karena telah melalaikan

kewajibannya untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi

anak serta melanggar hak anak karena memperbolehkan Luthfiana Ulfa

untuk menikah.

Dalam hal ini Syekh Puji juga dianggap melanggar undang-

undang ini dalam pasal 77 A yang berbunyi : Setiap orang yang dengan

sengaja melakukan tindakan:

a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami

kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi

sosialnya; atau

b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami

sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,

c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Page 23: Legal Syekh Puji

3.3 Cara Pandang Hukum Islam dan hukum adat terhadap pernikahan dini

Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa

Jika dua peraturan di atas yaitu undang-undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan dan undang-undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menentang pernikahan yang dilakukan Syekh

Puji.maka, berbeda dengan hukum Islam dan hukum adat yang berlaku di

Indonesia.

Dimana dalam hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia tidak

melarang perkawinan ini karena telah memenuhi syarat perkawinan yaitu

adanya persetujuan antara kedua belah pihak keluarga dan kemauan dari

diri masing-masing. Maka, dalam hal ini tidak ada hukuman yang menjerat

Syekh Puji karena melakukan pernikahan di bawah umur dengan

Luthfiana Ulfa.

Page 24: Legal Syekh Puji

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pelanggaran dalam pernikahan sebenarnya sudah banyak terjadi di

daerah-daerah tertentu. Namun, karena Syekh Puji merupakan salah

seorang yang terpandang di desanya membuat kasus ini menjadi dibesar-

besarkan dan menimbulkan kontroversi dari berbagai kelompok

masyarakat. Ada yang menyetujuinya dan ada yang tidak. Jika dilihat dari

segi hukum hal itu dinyatakan salah karena menikahi anak di bawah umur

yaitu Luthfiana Ulfa dan dinyatakan melanggar :

1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan

2. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak

Dan Syeikh Puji diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun dan

atau denda 100 juta rupiah. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum

adat dan hukum Islam dapat dibenarkan dan dinyatakan sah karena tidak

adanya larangan pernikahan dengan batasan umur.

4.2 Saran

Dengan adanya pemberitaan kasus ini kami selaku penulis

berharap agar pemerintah lebih menegakkan peraturan mengenai

Perkawinan dan Perlindungan anak sehingga tidak terjadi lagi kasus yang

sama sehingga tidak adanya lagi kasus pelanggaran yang terjadi dalam

pernikahan.

Dan semoga pembaca dapat mengambil hikmah dari masalah ini

dan kemudian di aplikasikan ke kehidupan nyata untuk menjadi yang lebih

baik.