lapsus asfiksia sedang + bblr + hipotermia

74
BAB I PENDAHULUAN Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%) Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Penilaian statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi. Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan 1

Upload: evert-silaen

Post on 23-Oct-2015

95 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

BAB I

PENDAHULUAN

Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia

disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan

dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003

asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak

diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.

Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup

dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan

belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian

perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%),

prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%)

Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang

dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Penilaian

statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini

merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan

oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah

sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka

kematian yang tinggi. Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan

perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan

kerdiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia merupakan

penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir. Kegagalan ini akan sering berlanjut

menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari pertama setelah lahir. Penyelidikan

patologi anatomis yang dilakukan oleh Larrhoce dan Amakawa (1971) menunjukkan

nekrosis berat dan difus pada jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena

itu tidaklah mengherankan bahwa sekuele neurologis sering ditemukan pada penderita

asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan fisis dan mental bayi di

kemudian hari. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan tersebut di atas, perlu

dipikirkan tindakan istimewa yang tepat dan rasional sesuai dengan perubahan yang

mungkin terjadi pada penderita asfiksia.

1

Page 2: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian Asfiksia Neonatorum

Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat

lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,

hiperkarbia dan asidosis.

2. WHO

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera

setelah lahir.

3. ACOG dan AAP

Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:

- Nilai Apgar menit kelima 0-3

- Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)

- Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)

- Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,

gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).

2

Page 3: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

II.2. Etiologi Asfiksia Neonatorum

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan

kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas

atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau

neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera

setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan

kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan dan

persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi.

Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai

anoksia/ hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus.

Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah:

1. Faktor Ibu

Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.

Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat

analgetika atau anastesia dalam. Gangguan aliran darah uterus dapat

mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran

oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan ;

gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus

akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan,

hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.

Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,

misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.

3

Page 4: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

3. Faktor Fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam

pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan

janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat

menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan

lain-lain.

4. Faktor Neonatus

Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena; pemakaian obat

anastesi/ analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat

menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma yang terjadi pada

persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital pada bayi

masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan,

hipoplasia paru dan lain-lain.

II.3. Patogenesis Asfiksia Neonatorum

1. Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 awalnya akan terjadi rangsangan dari

nervus vagus sehingga jantung janin menjadi lambat. Bila kekurangan O2 ini

terus berlangsung, maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah

kini rangsangan dari nervus simpatikus. DJJ menjadi lebih cepat, akhirnya

irregular dan menghilang.

2. Kekurangan O2 juga merangsang usus, sehingga mekonium keluar sebagai

tanda janin dalam hipoksia:

Jika DJJ normal dan ada mekonium maka janin mulai hipoksia.

Jika DJJ > 160 x/ menit dan ada mekonium maka janin sedang hipoksia.

Jika DJJ < 100 x/ menit dan ada mekonium maka janin dalam keadaan

gawat.

3. Janin akan mengadakan pernafasan intra uterine dan bila kita periksa terdapat

banyak air ketuban dan mekonium dalam paru. Bronkus tersumbat dan terjadi

atelektasis, bila janin lahir aveoli tidak berkembang.

4

Page 5: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

II.4. Prinsip Dasar Asfiksia Neonatorum

Bayi dapat mengalami apnea dan menunjukan upaya pernafasan yang tidak cukup

untuk kebutuhan ventilasi paru-paru. Kondisi ini menyebabkan kurangnya

pengambilan oksigen dan pengeluaran CO2. Penyebab depresi bayi pada saat lahir

ini mencakup:

1. Asfiksia intra uterin.

2. Bayi kurang bulan.

3. Obat-obat yang diberikan/ diminum oleh ibu.

4. Penyakit neuromuskular bawaan.

5. Cacat bawaan.

6. Hipoksia intra partum.

Asfiksia berarti hopoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses

ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak/ kematian.

Asfiksia juga mempengaruhi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami

kekurangan oksigen akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang

singkat. Apabila asfiksia berlanjut gerakan pernafasan akan berhenti, denyut

jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara

berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal dengan nama

apnea primer. Perlu diketahui bahwa pernafasan yang megap-megap dan tonus otot

yang juga turun terjadi akibat obat-obat yang diberikan pada ibunya. Biasanya

pemberian rangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat merangsang

terjadinya pernafasan spontan.

Apabila asfiksia berlanjut bayi akan menunjukan megap-megap yang dalam, denyut

jantung terus menurun, dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin

lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea

sekunder, selama apnea sekunder ini denyut jantung, tekanan darah, dan kadar

oksigen dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap

rangsangan dan tidak akan menunjukan upaya pernapasan secara spontan.

Kematian akan terjadi kecuali apabila resusitasi dengan pernafasan buatan dan

pemberian oksigen dimulai dengan segera.

5

Page 6: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

II.5. Tanda dan Gejala Klinis Asfiksia Neonatorum

Pada asfiksia tingkat lanjut akan terjadi perubahan yang disebabkan oleh beberapa

keadaan diantaranya:

1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.

2. Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan

termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.

3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap

tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami

gangguan.

Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam

periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti,

denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara

barangsur-angsur dan memasuki periode apnea primer.

Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan

cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.

Gejala lanjut pada asfiksia:

1. Pernafasan megap-magap dalam.

2. Denyut jantung terus menurun.

3. Tekanan darah mulai menurun.

4. Bayi terlihat lemas (flaccid).

5. Menurunnya tekanan O2 darah (PaO2).

6. Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2).

7. Menurunnya PH (akibat asidosis respiratorik dan metabolik).

8. Dipakainya sumber glikogen tubuh anak untuk metabolisme anaerob.

9. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular.

6

Page 7: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

II.6. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum

Kondisi bayi baru lahir dapat dibagi menjadi:

1. Vigorus baby. Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat tidak

memerlukan tindakan istimewa.

2. Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang). Skor APGAR 4-6 pada pemeriksaan

fisik akan terlihat frekuensi jantung > 100x/ menit, tonus otot kurang baik,

sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

3. Severe asphyxia (asfiksia berat) berat skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan

fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 x/ menit, tonus otot buruk,

sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

Asfiksia berat dengan henti jantung, dimaksudkan dengan henti jantung adalah

keadaan :

Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir

lengkap.

Bunyi jantung bayi menghilang post partum.

Tabel 1. Penilaian Apgar Score

Tanda Score

0 1 2

Apperance

(warna kulit)

Biru pucat Tubuh kemerahan,

ekstremitas biru

Tubuh dan ekstremitas

kemerahan

Pulse

(Denyut nadi)

Tidak ada ≤100 x/i ≥ 100 x/i

Grimace

(refleks)

Tidak ada Gerakan sedikit Gerakan kuat dan menagis

Activity Lumpuh Gerakan lemah Gerakan aktif

7

Page 8: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

(tonus otot)

Respiratory

(usaha bernafas)

Tidak ada Lambat Teratur, menangis kuat

II.7. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum

Pada kasus asfiksia ringan bayi dapat terkejut atau sangat waspada dengan

peningkatan tonus otot, makan dengan buruk, dan frekuensi pernafasan normal atau

cepat. Temuan ini biasanya berlangsung selama 24-48 jam sebelum sembuh secara

spontan. Pada kasus asfiksia sedang bayi dapat letargi dan mengalami kesulitan

pemberian makan. Bayi dapat mengalami episode apnia kadang-kadang dan atau

konvulsi selama beberapa hari. Masalah ini biasanya sembuh dalam satu minggu,

tetapi masalah perkembangan saraf mungkin ada. Pada kasus asfiksia berat bayi

dapat terkulai atau tidak sadar dan tidak makan. Konvulsi dapat terjadi selama

beberapa hari dan episode apnia yang berat dan sering umumnya terjadi. Bayi dapat

membaik selama beberapa minggu atau tidak dapat membaik sama sekali. Jika bayi

ini dapat bertahan hidup mereka biasanya menderita kerusakan otak permanen.

Jika asfiksia ringan

Jika bayi tidak mendapat oksigen maka bayi mulai menyusui. Jika bayi

mendapat oksigen atau sebaliknya, tidak dapat menyusui berikan perasan ASI

dengan metode pemberian makan alternatif.

Jika asfiksia sedang atau berat

Pasang selang IV dan berikan hanya cairan IV selama 12 jam pertama. Batasi

volume cairan sampai 60 ml/ Kg BB selama hari pertama dan pantau urin. Jika

bayi berkemih kurang dari 6 kali/ hari atau tidak menghasilkan urin jangan

meningkatkan volume cairan pada hari berikutnya, ketika jumlah urin mulai

meningkat tingkatkan volume cairan IV harian sesuai dengan kemajuan

volume cairan. Tanpa memperhatikan usia bayi yaitu untuk bayi yang berusia 4

hari, lanjutkan dari 60 ml/ Kg sampai 80 ml/ Kg sampai 100 ml/ Kg jangan

langsung 120 ml/ Kg pada hari pertama. Ketika konvulsi terkendali dan bayi

8

Page 9: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

menunjukan tanda-tanda peningkatan respon. Ijinkan bayi mulai menyusui.

Jika bayi tidak dapat menyusui berikan perasan ASI dengan menggunakan

metode pemberian makan alternatif. Berikan perawatan berkelanjutan.

Tindakan Umum

Bersihkan jalan nafas : kepala bayi dileakkan lebih rendah agar lendir mudah

mengalir, bila perlu digunakan larinyoskop untuk membantu penghisapan lendir dari

saluran nafas ayang lebih dalam.

Rangsang reflek pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi tidak memperlihatkan

bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda achiles.

Mempertahankan suhu tubuh.

CPAP : bantuan pernapasan dengan cara meningkatkan tekanan pulmoner secara

artifisial pada saat fase ekspirasi pada bayi yang bernapas secara spontan.

Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) atau Intermittent Mandatory

Pressure Ventilation (IMV) : pernapasan bayi diambil alih sepenuh nya oleh mesin

ventilator mekanik dan meningkatkan tekanan pulmoner baik pada fase inspirasi

maupun ekspirasi. Indikasi CPAP Gangguan napas sedang atau berat dengan retraksi

dan grunting Apnu berulang PaO2 < 60 torr dengan FiO2 > 0.6 (60%) dengan head

box. CPAP gagal maka harus segera diberikan bantuan napas dengan Ventilator

mekanik.

Tindakan khusus

Asfiksia berat

Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermiten melalui pipa endotrakeal. dapat

dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. Tekanan O2 yang

diberikan tidak 30 cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan message

jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80 –100 x/menit.

Asfiksia sedang/ringan

Pasang relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila

gagal lakukan pernafasan kodok (Frog breathing) 1-2 menit yaitu : kepala bayi

ektensi maksimal beri O2 1-2 1/mnt melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut

dan hidung serta gerakkan dagu ke atas-bawah secara teratur 20x/menit.

Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.

9

Page 10: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

10

Page 11: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

II.8. Pencegahan Asfiksia Neonatorum

Pencegahan Secara Umum

Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau

meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,

khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan

melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin

dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan

wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah,

kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama

banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait adanya kebutuhan dan

tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di kamar bersalin.

Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang tak diduga dan tidak biasa

yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim persalinan harus dapat

mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau

menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat. Pada bayi dengan prematuritas,

perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru janin.

Antisipasi Dini Perlunya Dilakukan Resusitasi pada Bayi yang Dicurigai

Mengalami Depresi Pernapasan untuk Mencegah Morbiditas dan Mortilitas

Lebih Lanjut

Pada setiap kelahiran, tenaga medis harus siap untuk melakukan resusitasi pada

bayi baru lahir karena kebutuhan akan resusitasi dapat timbul secara tiba-tiba.

Karena alasan inilah, setiap kelahiran harus dihadiri oleh paling tidak seorang

tenaga terlatih dalam resusitasi neonatus, sebagai penanggung jawab pada

perawatan bayi baru lahir. Tenaga tambahan akan diperlukan pada kasus-kasus

yang memerlukan resusitasi yang lebih kompleks.

Dengan pertimbangan yang baik terhadap faktor risiko, lebih dari separuh bayi baru

lahir yang memerlukan resusitasi dapat diidentifikasi sebelum lahir, tenaga medis

dapat mengantisipasi dengan memanggil tenaga terlatih tambahan, dan menyiapkan

peralatan resusitasi yang diperlukan.

11

Page 12: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

II.9 Komplikasi

Komplikasi pada bayi baru lahir akibat asfiksia meliputi :

- Cerebral palsy

- Retardasi mental

- Gangguan belajar

Apabila asfiksia ini tidak ditangani dengan baik, maka akan mengakibatkan kematian.

HIPERBILIRUBINEMIA

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan

pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam

minggu pertama kehidupan disebabkan oleh hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia

menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, atau dikenal dengan istilah ikterus. Ikterus

adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena menumpuknya bilirubin

tak terkonjugasi pada jaringan. Ikterus biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum

> 5 mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan

masalah, dan yang paling ditakuti adalah ensefalopati bilirubin. Berbagai upaya dilakukan

untuk terapi hiperbilirubinemia. Terapi antara lain fototerapi, transfusi tukar, dan

sebagainya (Kosim, 2010).

DEFINISI

Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi

atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90

(Kosim, 2010). Definisi lain menyebutkan bahwa hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar

bilirubin dalam darah >13 mg/dL (Mansoer, 2000).

12

Page 13: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO

Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena hemolisis

yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.

Secara umum ada 4 penyebab ikterus (Price, 2007) :

a. Produksi yang berlebihan

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur

lebih pendek. Hemolisis biasanya terjadi inkompatibilitas Rh, ABO, golongan

darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi

atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar).

Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting

dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan

bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,

13

Page 14: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin

indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam eksresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.

Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam

hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih dapat dipengaruhi oleh faktor dibawah ini :

Faktor maternal Faktor perinatal Faktor neonatus

Ras atau kelompok

etnik tertentu

Komplikasi kehamilan

(DM, Inkompatibilitas

ABO dan Rh)

ASI

Infeksi (bakteri, virus,

protozoa)

Prematuritas

Faktor genetik

Obat-obatan

Rendahnya Asupan

ASI

Hipoglikemia

hipoalbuminemia

Berdasarkan waktu timbulnya ikterus, penyebab ikterus dapat diklasifiksikan seperti

dibawah ini (Mansoer, 2000) :

Waktu Penyebab

24 jam pertama Inkompatibilitas darah ABO dan Rh Infeksi intra uterine (virus, toxoplasma, bakteri) Defisiensi G6PD

24 jam sampai ≤ 72 jam Biasanya ikterus fisiologis Polisitemia Hemolisis karena perdarahan tersembunyi Dehidrasi asidosis

Lebih dari 72 jam sampai minggu pertama

Biasanya karena sepsis Dehidrasi asidosis Defisiensi G6PD

14

Page 15: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Obat – obatan

KLASIFIKASI

Terdapat 2 jenis ikterus yang dikenal yaitu yang fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis

adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar

patologi. Kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2mg/dL. Adapun tanda-

tanda ikterus fisiologis adalah sebagai berikut (Sarwono, 2001) :

1. Timbul pada hari kedua dan ketiga

2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.

3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.

4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.

5. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.

6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin

mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai

berikut :

1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.

2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5%

pada neonatus kurang bulan.

3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.

4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.

5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

Dalam buku saku pelayanan neonatal esensial, ikterus diklasifikasikan seperti dalam tabel

dibawah ini.

15

Page 16: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

PATOFISIOLOGI

Bilirubin adalah produk akhir dari penguraian hemoglobin. Sebagian besar (85-90%)

terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti

mioglobin. Secara umum ada empat tahapan pembentukan bilirubin (Price, 2007).

a. Produksi

Sel darah merah yang sudah habis masa hidup nya atau eritrosit yang mengalami

kelainan akan dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial. Sel retikuloendotelial

menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel

darah merah. Kemudian terjadi pemecahan hemoglobin menjadi heme dan globin.

Globin akan kembali ke depo protein untuk kemudian digunakan kembali,

sedangkan heme akan melalui beberapa proses penguraian. Heme akan dipecah

melalui proses oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah

pembentukan biliverdin dengan bantuan enzim heme oksigenase. Pada reaksi itu

juga terbentuk besi yang akan kembali digunakan untuk pembentukan hemoglobin.

Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin

reduktase. Bilirubin yang terbantuk merupakan bilirubin tidak terkonjugasi/indirect

yang sifatnya tidak larut dalam air.

b. Transportasi

16

Page 17: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Untuk dapat sampai ke hati melalui peredaran darah, bilirubin tak terkonjugasi

harus berikatan terlebih dahulu dengan albumin. Kadar albumin pada bayi baru

lahir terkadang belum cukup banyak, sehingga banyak bilirubin yang tak

terkonjugasi tidak dapat dibawa ke hati. Kadar albumin juga dipengaruhi oleh obat

– obatan. Ikatan albumin dengan bilirubin juga terkadang masih lemah sehingga

banyak bilirubin tak terkonjugasi yang beredar bebas.

c. Konjugasi

Proses konjugasi bilirubin terjadi di dalam hati. Pada saat kompleks bilirubin-

albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor

permukaan sel. Bilirubin kemudian ditransfer melalui sel membran yang berikatan

dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik

lainnya. Setelah itu terbentuklah bilirubin terkonjugasi/direct yang sifatnya larut di

dalam air. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak

terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.

Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang

larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate

glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke

dalam kanalikulus empedu, Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi

akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya

d. Ekskresi

Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresi ke dalam empedu

kemudian akan masuk saluran cerna dan di ekskresikan melalui feses. Setelah

berada dalam usus halus, bilirubin terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi,

kecuali jika diubah kembali menjadi bentuk tak terkonjugasi oleh enzim beta-

glukoronidase yang memang terkandung dalam usus halus dan feses bayi baru

lahir. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk

dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik

17

Page 18: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat tahapan tersebut atau

kombinasi dari beberapa faktor. Pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati

normal untuk mengekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak)

untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal menyebabkan

terjadinya hiperbilirubinemia. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati

juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di

dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa

ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut

ikterus atau jaundice. Daerah yang paling mudah terjadi timbunan bilirubin adalah sklera,

dan kulit (Price, 2007).

Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena

peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini

hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan

penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat (Azis, 2006).

18

Page 19: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak

terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi

itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl pada umur 3 hari dan akan mengalami

penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat

menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada umur 5 hari.

Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir,

peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari

pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang

mendasari (muntah, letargi, penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang).

DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Beberapa hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis adalah sejak kapan bayi mulai

terlihat kuning, pada usia berapa hari mulai kuning, adakah kejang, dan bagaimana

warna feses bayi tersebut. Selain itu perlu juga ditanyakan riwayat kehamilan

dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intrauterine,

infeksi intranatal), riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi, riwayat

ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya, riwayat inkompatibilitas

darah, serta riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

2. Pemeriksaan fisikSecara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah

beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup.

Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan

penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian

ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan

sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer. Caranya dengan jari telunjuk

ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,

dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.

Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan

tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

19

Page 20: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus

yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi

yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab

ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan

darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin

total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin.

Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau

transfusi tukar (Mansjoer, 2000).

Waktu Diagnosis banding Anjuran PemeriksaanHari ke-1 Penyakit hemolitik

Inkompatibilitas darah(Rh,ABO) Sferositosis. Anemia hemolitik nonsferositosis(defisiensi G6PD)

Kadar bilirubin serum berkala Hb, Ht, retikulosit,sediaan hapus darah golongan darah ibu/bayi, uji Coomb

Hari ke-2 s.d ke-5 Kuning pada bayi prematur Kuning fisiologik, Sepsis Darah ekstravaskular, Polisitemia Sferositosis kongenital

Hitung jenis darah lengkap Urin mikroskopik dan biakan urin, Pemeriksaan terhadap infeksi bakteri, golongan darah ibu/bayi, uji Coomb

Hari ke-5 s.d ke-10 Sepsis, Kuning karena ASI Defisiensi G6PD, Hipotiroidisme Galaktosemia, Obat-obatan

Uji fingsi tiroid, Uji tapis enzim G6PD, Gula dalam urin Pemeriksaan terhadap sepsis

Hari ke-10 atau lebih

Atresia biliaris, Hepatitis neonatal Kista koledokusm, Sepsis(terutama infeksi saluran kemih), Stenosis pilorik

Urin mikroskopik dan biakan Uji serologi TORCH, Alfa fetoprotein, alfa1antitripsin, Kolesistografi

20

Page 21: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

TATALAKSANA

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut (AAP, 2004):

a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya

lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus

yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai

lagi.

b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya

menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk

memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa

hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi

bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma

meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan

dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB,

sebelum maupun sesudah terapi tukar.

c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini

d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik

dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.

e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar. Pada umunya,

transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%

Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam

Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung

Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct

positif.

f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor

inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum

digunakan secara rutin.

g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena(500-

1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level

bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum

diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel

21

Page 22: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang

dilapisi oleh antibodi.

Terapi Sinar Pada Ikterus Bayi Baru Lahir yang di Rawat di Rumah Sakit

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan

membuka pakaian bayi.

2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan

cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.

3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik

untuk mendapatkan energi yang optimal.

4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang

terkena cahaya dapat menyeluruh.

5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.

6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.

7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan

ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa

metabolisme lebih lanjut oleh hati. Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan

foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap

oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi fotokimia

yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk molekul

bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah

menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer

bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa

diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan

pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah

bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam

mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui

22

Page 23: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini

mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin diekskresikan melalui

empedu dan urin. Lumirubin bersifat larut dalam air.

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada

neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai

dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP).

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin

direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.

23

Page 24: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Walaupun fototerapi digunakan secara luas untuk pengobatan hiperbilirubinemia, fototerapi juga

terbukti memiliki beberpa efek samping. Efek samping fototerapi terangkum dalam tabel berikut

(Kosim,2010) :

EFEK SAMPING PERUBAHAN SPESIFIK

Perubahan suhu dan

metabolik lainnya

Peningkatan suhu lingkungan dan tubuh

Peningkatan konsumsi oksigen

Peningkatan laju respirasi

Peningkatan aliran darah ke kulit

Perubahan kardiovaskular Perubahan sementara curah jantung dan penurunan

curah ventrikel kiri

Status cairan Peningkatan aliran darah perifer

Peningkatan Insensible Water Loss

Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan frekuensi buang air besar

Feses cair berwarna hijau kecoklatan

Penurunan waktu transit usus

Penurunan absorbsi, retensi nitrogen, air dan

elektrolit

Perubahan aktivitas laktosa dan riboflavin

Perubahan aktifitas Letargis-gelisah

24

Page 25: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan

Penurunan pada awalnya namun terkejar dalam 2-4

minggu

Efek okuler Paparan sinar disinyalir merusak retina

Belum ada penelitian pada manusia tetapi dapat

dibandingkan efek dengan atau tanpa penutup

mata.

Perubahan kulit Tanning

Rashes

Burns

Bronze baby syndrome

Perubahan endokrin Perubahan kadar gonadotropin serum

Perubahan hematologi Peningkatan turnover trombosit

Cedera sel darah merah dengan penurunan kalium

dan peningkatan aktivitas ATP

Perhatian terhadap perilaku

psikologis

Isolasi

Perubahan status organisasi dan manajemen

perilaku

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dikhawatirkan apabila kadar bilirubin terus menerus naik adalah kern

ikterus atau bilirubin ensefalopati. Keadaan yang tampak pada minggu pertama sesudah

bayi lahir disebut dengan akut bilirubin ensefalopati. Kern ikterus terjadi akibat

penumpukan bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu ganglia basalis dan beberapa nucleus

batang otak. Kern ikterus menyebabkan perubahan neuropatologis, yang secara klinis

tampak kronis dengan sekuele permanen (Kosim, 2000).

25

Page 26: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati dan kern ikterus dapat dilihat pada tabel berikut ini

(Kosim, 2000) :

Manifestasi

Akut bilirubin ensefalopati Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak

letargis, hipotoni, dan refleks hisap buruk.

Pada fase intermediet akan ditandai dengan moderate

stupor, iritabilitas dan hipertoni (contoh : opistotonus)

Selanjutnya bayi akan demam, high-pitched cry,

kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni.

Kern ikterus Pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang masih

bertahan hidup akan berkembang menjadi athetoid

cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,

displasia dental enamel dan paralisis upward gaze.

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

Definisi

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500

gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1

(satu) jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau

pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction/IUGR).

26

Page 27: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Klasifikasi

BBLR dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Prematuritas murni

Adalah masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan

berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai

untuk masa kehamilan.

Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit dan komplikasi akibat kurang

matangnya organ karena masa gestasi yang kurang.

b. Dismaturitas

Adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk

masa gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan

merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya.

Hal ini disebabkan oleh terganggunya sirkulasi dan efisiensi plasenta, kurang

baiknya keadaan umum ibu atau gizi ibu, atau hambatan pertumbuhan dari bayinya

sendiri.

Epidemiologi

Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia, karena

merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada masa neonatal.Prevalensi BBLR masih

cukup tinggi terutama di negara-negara dengan sosio-ekonomi rendah.Secara statistik

menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka

kematiannya 35 kali lebih tinggi dibandingkan pada bayi dengan berat lahir > 2500 gram.

Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu

berkisar antara 9-30%.Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR

sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran

program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%.

Kejadian BBLR yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas kesehatan dan

kesejahteraan masyarakat itu masih rendah. Untuk itu diperlukan upaya untuk menurunkan

angka kejadian BBLR agar kualitas kesehatan dan kesejahteraan menjadi meningkat.

Kejadian BBLR ini bisa dicegah bila kita mengetahui faktor-faktor penyebabnya.

Etiologi

27

Page 28: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang

lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,

kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.

(1) Faktor ibu

a. Penyakit : Seperti malaria, anemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain

b. Komplikasi pada kehamilan : Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti

perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran preterm.

c. Usia Ibu dan paritas : Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang

dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia (< 20 tahun atau >40 tahun)

d. Faktor kebiasaan ibu : Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok,

ibu pecandu alkohol dan ibu pengguna narkotika.

(2) Faktor Janin

Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.

(3) Faktor Lingkungan

Yang dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-

ekonomi dan paparan zat-zat racun.

Komplikasi

Komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain :

- Hipotermia

- Hipoglikemia

- Gangguan cairan dan elektrolit

- Hiperbilirubinemia

- Sindroma gawat nafas

- Paten duktus arteriosus

- Infeksi

- Perdarahan intraventrikuler

- Apnea of Prematurity

- Anemia

Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir

rendah (BBLR) antara lain :

28

Page 29: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

- Gangguan perkembangan

- Gangguan pertumbuhan

- Gangguan penglihatan (Retinopati)

- Gangguan pendengaran

- Penyakit paru kronis

- Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit

- Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

Diagnosis

Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka

waktu kurang lebih dapat diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari

etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR:

- Umur ibu

- Riwayat hari pertama haid terakir

- Riwayat persalinan sebelumnya

- Paritas, jarak kelahiran sebelumnya

- Kenaikan berat badan selama hamil

- Aktivitas

- Penyakit yang diderita selama hamil

- Obat-obatan yang diminum selama hamil

2. Pemeriksaan Fisik

Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain :

- Berat badan <2500 gr

- Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)

Tulang rawan telinga belum terbentuk.

Masih terdapat lanugo.

Refleks masih lemah.

29

Page 30: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Alat kelamin luar; perempuan: labium mayus belum menutup

labium minus; laki-laki: belum terjadi penurunan testis & kulit testis

rata.

- Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa

kehamilan).

Tidak dijumpai tanda prematuritas.

Kulit keriput.

Kuku lebih panjang

3. Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain

- Pemeriksaan skor ballard

- Tes kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan

- Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar

elektrolit dan analisa gas darah.

- Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur

kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan akan

terjadi sindrom gawat nafas.

- USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan kurang lebih

Penatalaksanaan/ terapi

1. Medikamentosa

Pemberian vitamin K1 :

- Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau

- Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10

hari, dan umur 4-6 minggu)

2. Diatetik

Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks

menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan

pompa atau diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan

memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap

sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet atau selang kecil

yang menempel pada puting. ASI merupakan pilihan utama :

30

Page 31: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

- Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan

cara apapun, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap

paling kurang sehari sekali.

- Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari

selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.

Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan

keadaan bayi adalah sebagai berikut:

a. Berat lahir 1750 – 2500 gram

Bayi Sehat

- Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih

mudah merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh;

setiap 2 jam) bila perlu.

- Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas

menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan

menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.

Bayi Sakit

- Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan

minum seperti pada bayi sehat.

- Apabila bayi memerlukan cairan intravena:

Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama

Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 atau segera setelah bayi stabil.

Anjurkan pemberian ASI apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-tanda

siap untuk menyusu.

Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh; gangguan

nafas, kejang), berikan ASI peras melalui pipa lambung :

Berikan cairan IV dan ASI menurut umur

Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali).

Apabila bayi telah mendapat minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih

tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum. Biarkan bayi

menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi menunjukkan

keinginan untuk menyusu dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.

b. Berat lahir 1500-1749 gram

Bayi Sehat

31

Page 32: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

- Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak

dapat diberikan menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke

dalam paru (batuk atau tersedak), berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan

dengan pemberian menggunakan cangkir/ sendok apabila bayi dapat menelan tanpa

batuk atau tersedak (ini dapat berlangsung setela 1-2 hari namun ada kalanya

memakan waktu lebih dari 1 minggu)

- Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah

mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan

ASI setiap kali minum.

- Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok,

coba untuk menyusui langsung.

Bayi Sakit

- Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama

- Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan

IV secara perlahan.

- Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah

mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan

ASI setiap kali minum.

- Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila kondisi

bayi sudah stabil dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak

- Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok,

coba untuk menyusui langsung.

c. Berat lahir 1250-1499 gram

Bayi Sehat

- Beri ASI peras melalui pipa lambung

- Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah

mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri

tambahan ASI setiap kali minum

- Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

- Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba

untuk menyusui langsung.

Bayi Sakit

32

Page 33: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

- Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama.

- Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan

intravena secara perlahan.

- Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah

mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri

tambahan ASI setiap kali minum

- Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

- Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok,

coba untuk menyusui langsung.

d. Berat lahir < 1250 gram (tidak tergantung kondisi)

- Berikan cairan intravena hanya selama 48 jam pertama

- Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi pemberian

cairan intravena secara perlahan.

- Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah

mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri

tambahan ASI setiap kali minum

- Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.

- Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba

untuk menyusui langsung.

Suportif

Hal utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal (3):

- Gunakan salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti

kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan

hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk.

- Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin

- Ukur suhu tubuh dengan berkala

- Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :

- Jaga dan pantau patensi jalan nafas

- Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit

- Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia, kejang,

gangguan nafas, hiperbilirubinemia)

- Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya

33

Page 34: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

- Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu

berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui.

Pemantauan (Monitoring)

1). Pemantauan saat dirawat

a. Terapi

- Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan

- Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu

b. Tumbuh kembang

- Pantau berat badan bayi secara periodik

- Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk

bayi dengan berat lahir ≥1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat lahir

<1500

- Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori berat

lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari :

Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 ml/kg/hari sampai tercapai jumlah 180

ml/kg/hari

Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan bayi agar

jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari

Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah pemberian

ASI hingga 200 ml/kg/hari

Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala setiap

minggu.

2). Pemantauan setelah pulang

Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan

mencegah/ mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah pulang

sebagai berikut :

- Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.

- Hitung umur koreksi.

- Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.

- Tes perkembangan, Denver development screening test (DDST).

- Awasi adanya kelainan bawaan.

34

Page 35: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Prognosis BBLR

Kematian perinatal pada bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal.Prognosis

akan lebih buruk bila BB makin rendah, angka kematian sering disebabkan karena

komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intrakranial,

hipoglikemia. Bila hidup akan dijumpai kerusakan saraf, gangguan bicara, IQ rendah.

Pencegahan

Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah langkah yang

penting. Hal-hal yang dapat dilakukan :

- Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama kurun

kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu hamil yang diduga

berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat

dilaporkan, dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih

mampu

- Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim,

tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri selama kehamilan agar

mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik

- Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi

sehat (20-34 tahun)

- Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan

pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses

terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama hamil.

Tanda kecukupan pemberian ASI:

- BAK minimal 6 kali/ 24 jam.

- Bayi tidur lelap setelah pemberian ASI.

- BB naik pd 7 hari pertama sebanyak 20 gram/ hari.

- Cek saat menyusui, apabila satu payudara dihisap à ASI akan menetes dari

payudara yg lain.

Indikasi bayi BBLR pulang:

- Suhu bayi stabil.

- Toleransi minum oral baik à terutama ASI.

35

Page 36: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

- Ibu sanggup merawat BBLR di rumah.

Cara menghangatkan bayiCara Petunjuk penggunaan

Kontak kulit Untuk semua bayi Untuk menghangatkan bayi dalam waktu singkat atau

menghangatkan bayi hipotermi (32-36,4 oC) apabila cara lain tidak mungkin dilakukan.

KMC Untuk menstabilkan bayi dgn berat badan <2.500 g, terutama direkomendasikan untuk perawatan berkelanjutan bayi dengan berat badan <1.800 g.

Tidak untuk bayi sakit berat (sepsis, gangguan napas berat) Tidak untuk ibu yang menderita penyakit berat yang tidak dapat

merawat bayinya.Pemancar panas Untuk bayi sakit atau bayi dengan berat 1.500 g atau lebih.

Untuk pemeriksaan awal bayi, selama dilakukan tindakan, atau menghangatkan kembali bayi hipotermi.

Inkubator Penghangatan berkelanjutan bayi dengan berat <1.500 g yang tidak dapat dilakukan KMC.

Ruangan hangat Untuk merawat bayi dengan berat <2.500 g yang tidak memerlukan tindakan diagnostik atau prosedur pengobatan.

Tidak untuk bayi sakit berat.

Jumlah cairan yang dibutuhkan bayi (ml/Kg)

Berat (g)Umur (hari)

1 2 3 4 5+>1500 60 80 100 120 150<1500 80 100 120 140 150

Jumlah ASI untuk bayi sehat berat 1250-1499

PemberianUmur (hari)

1 2 3 4 5 6 7Jumlah ASI tiap 3 jam (ml/kali) 10 15 18 22 26 28 30

Kebutuhan cairan elektrolit bayi (ml/kg)

Berat badan (g) <1000 1000 - <1500 1500 – 2500 >2500

Hari I 120 cc D5% 100 cc D7,5% 80 cc D10% 80 cc D10%

Hari II 140 cc D5% 120 cc D7,5% 100 cc D10% 90 cc D10%

Hari III 170 cc D5% 130 cc D7,5% 110 cc D10% 100 cc D10%

Hari >IV 200 cc 140-150 cc 130-150 cc 120-150 cc

Pembuatan cairan D7,5% = 93 cc (D5%) + 7 cc (D40%) = 100 cc D7,5%.

36

Page 37: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap : By. Ny. M

Tempat dan Tanggal Lahir : Mataram, 20 Juli 2013

Umur : 5 Hari

Jenis kelamin : Laki - laki

Alamat : Batu Ngale, Praya Tengah, Lombok Tengah

Status dalam keluarga : Anak Kandung

Ibu Ayah

Nama Ibu M Bapak S

Umur 29 Tahun 25 Tahun

Pendidikan SMA SMA

Pekerjaan IRT Swasta

Masuk RS tanggal : 20 Juli 2013

Diagnosis masuk RS : BBLR + Asfiksia Sedang + Hipotermia

Tangggal keluar RS : 30 Juli 2013

Diagnosisi keluar : BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post

Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia +

Dehidrasi

Lama perawatan : 10 hari

Keadaan saat keluar RS : Sembuh

No. RM : 518059

ANAMNESIS (Tanggal 25 Juli 2013, Heteroanamnesis dari Ibu pasien dan Bidan yang

merawat)

Keluhan Utama : Bayi tidak bernapas spontan

Riwayat Penyakit Sekarang

37

Page 38: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Pasien merupakan anak pertama, lahir SC (Sabtu, 20 Juli 2013) pukul 15.10

WITA, di OK UGD RSUP NTB, dibantu Dokter Spesialis Obgin, post date, dan

tidak langsung menangis. AS : 6 – 8. Saat lahir badan pasien biru. Pasien masuk

NICU dengan kondisi sedang, berat badan lahir 2.200 gram, panjang badan lahir 46

cm, lingkar kepala : 32 cm. Anus (+), kelainan kongenital (-).

Pasien sempat di rawat gabung bersama ibunya saat pasien berusia 3 hari,

namun keesokan harinya pasien masuk NICU karena pasien dikeluhkan lemah,

jarang menangis, dan kulitnya kuning. Kuning terjadi mulai dari wajah kepala

hingga kaki pasien. Pasien tidak dikeluhkan panas maupun kejang. Ibu pasien

mengaku tidak memberi ASI anaknya semenjak di rawat gabung hingga sampai di

bawa ke NICU lagi.

BAB di pampers, 1 kali/hari, sedikit-sedikit, konsistensi lembek, berwarna

coklat kehitaman, tidak berbusa, berbau busuk, berlendir, maupun berdarah. BAK

di pampers 2 kali/hari, warna kuning jernih, tidak disertai darah, bau busuk, dan

busa.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat sakit jantung sejak lahir (-)

- Riwayat kelainan kongenital (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat sakit kencing manis di keluarga tidak ada

- Riwayat sakit jantung bawaan di keluarga tidak ada

- Riwayat sakit darah tinggi di keluarga tidak ada

Riwayat Pengobatan

- Riwayat VTP dan RJP (-).

- Injeksi vitamin K dan salep mata diberikan setelah lahir.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Selama kehamilan ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC) di

posyandu, ibu pasien melakukan ANC lebih dari 4 kali, saat kehamilan ibu pasien tidak

38

Page 39: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

pernah mengalami demam, batuk, sesak, ataupun sakit lain, riwayat rontgen selama

hamil tidak pernah, ibu tidak pernah USG, riwayat minum obat atau jamu-jamuan

selama hamil tidak ada. Ibu mengatakan HPHT nya tanggal (12/10/2012). Bayi lahir

SC dengan indikasi G1P0A0H0 40 – 41 minggu T/H/IU + Eklamsia

Riwayat Nutrisi

Sejak lahir sampai saat diperiksa pasien dipuasakan.

Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan

- Ayah bekerja sebagai pegawai swasta dan ibu rumah tangga.

- Penghasilan keluarga sekitar Rp. 1.500.000 / bulannya.

- Riwayat Imunisasi:

Pasien belum diimunisasi

Pemeriksaan Fisik (25 Juli 2013)

Kesan umum : Lemah

Kesadaran : Apatis

GCS : E2V2M4

Vital Sign

Nadi : 156 x/menit, lemah, irama teratur

Pernapasan : 56 x/menit, ireguler tipe abdominotorakal

Temperature : 36,1 o C

CRT : < 3 detik

Status Gizi

Berat Badan : 2.200 gram

Panjang Badan : 46 cm

Umur : 2 hari

Lingkar Kepala : 32 cm

Status General :

Kepala dan Leher :

39

Page 40: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

1. Bentuk : Normocephalic, bulat, chepal hematoma (-), ubun-

ubun terbuka cekung (+).

2. Rambut : hitam, lurus, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut.

3. Mata : Simetris, mata cowong (-), air mata (-), pupil isokor +|+,

refleks cahaya langsung +|+, refleks cahaya tidak langsung +|+ ,eksoftalmus (-),

enoftalmus (-), palpebra normal, konjungtiva : anemia -|-, sklera : ikterik +|+, lensa :

kekeruhan -|-, fisura palpebral normal, lipatan epikantus bilateral (-).

4. THT

Telinga : Struktur dan ukuran telinga normal, otorhea (-)

Hidung : Napas cuping hidung (-), rinorhea (-)

Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil tidak membesar

5. Mulut : Trismus (-), mukosa mulut : kering (+), oral trush

(-), gusi : warna merah muda, radang (-), lidah : normal, lidah warna merah muda,

Gigi : belum tumbuh.

6. Leher : Massa (-), Pembesaran KGB superficial leher

bagian servikal, mastoideal dan parotideal (-), pembesaran KGB Supraklavikula (-),

pembesaran KGB aksiler (-).

Thorax :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, Retraksi subcostal (-/-), retraksi

suprasternal (-), kulit ikterus (+).

Palpasi : Gerakan simetris, thrill (-); ictus cordis : ictus cordis teraba pada sela iga 5

garis midkavikuler kiri.

Perkusi :

Pulmo : Sonor pada kedua lapang paru

Cor : Batas atas : ICS 2

Batas bawah : ICS 5

Batas Kanan : Garis parasternal kanan

Batas kiri : Garis midclavicularis kiri

Kesan : Normal

Auskultasi:

Pulmo : Bronkovesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-).

40

Page 41: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Massa (-), distensi (-), tali pusat layu (+),

kulit ikterus (+), anus (+).

Auskultasi : BU (+) N

Perkusi : Timpani

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tak teraba, lien tak

teraba, ren tak teraba, turgor kulit kembali lambat namun masih < 2 detik.

Anggota Gerak:

Tungkai Atas Tungkai Bawah

Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral hangat + + + +

Edema - - - -

Pucat - - - -

Ikterus + + + +

Kelainan bentuk - - - -

Pembengkakan

Sendi

- - - -

Pembesaran KGB

Aksiler

Axilla

Inguinal

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Kekuatan otot TDE TDE TDE TDE

Kulit : Kulit tampak keriput (+), kering (+), kulit mengelupas (+), warna kulit

meconeal staining (-), Ikterus (+) kramer 3, pustula (-), peteki (-) , flushing (-), miliaria (-)

Urogenital : Flank mass (-), Nyeri tekan (-), genital normal

Vertebrae : Tidak tampak kelainan

41

Page 42: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Darah Lengkap (24 Agustus 2013)

WBC : 14,58 x 103/ᵤL (N = 4x103 – 11x103/ᵤL)

RBC : 5,98 x 106/ᵤL (N = 3,5x106 – 5,0x106/ᵤL)

HGB : 22,1 g/dl (N = 12 – 16 g/dl)

HCT : 65,3 % (N = 37 – 48%)

MCV : 109,2 fL (N = 82 – 95 fL)

MCH : 37,0 pg (N = 27 – 31 pg)

MCHC : 33,8 g/dl (N= 32 – 36%)

PLT : 151 x 103/ᵤL (N = 150x103 – 400x103/ᵤL)

GDS : 71 mg/dl (N = <160 mg/dl)

Bilirubin total : 15,38 mg %

Bilirubin direk : 2,65 mg %

Golongan Darah : B (Rh +)

Resume

Bayi perempuan usia 5 hari dikeluhakan tidak bernapas spontan, lahir SC dengan

indikasi eklamsia, post date, lahir tidak langsung menangis. AS : 6 – 8. Saat lahir badan

pasien biru. Pasien masuk NICU dengan kondisi sedang, berat badan lahir 2.200 gram.

Pasien sempat di rawat gabung saat pasien berusia 3 hari, namun keesokan harinya pasien

masuk NICU lagi karena pasien dikeluhkan lemah, jarang menangis, dan kulitnya kuning.

Pasien tidak dikeluhkan panas maupun kejang. Ibu pasien mengaku tidak memberi ASI

anaknya semenjak di rawat gabung hingga sampai di bawa ke NICU lagi.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum : lemah, kesadaran : apatis vital

sign dalam batas normal, ubun-ubun terbuka cekung (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir :

kering (+), tali pusat layu (+), anus (+), turgor kulit kembali lambat namun masih < 2 detik.

Kulit tampak keriput (+), kering (+), kulit mengelupas (+). Dari pemeriksaan penunjang

didapatkan bilirubin total : 15,38 mg %, bilirubin direk : 2,65 mg %.

42

Page 43: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Diagnosis Kerja

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I +

Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

Rencana Terapi Awal

Planing Terapi

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm

- Rehidrasi IVFD RL 22 cc dalam 10 menit

- Maintenance IVFD D10% 12 tpm

- Inj. Aapisilin 2 x 100 mg

- Inj. Gentamisin 2 x 10 mg

- ASI sonde ad lib

- Foto terapi setelah dehidrasi teratasi

Planning Diagnostik

- Cek AGD

- Cek elektrolit

- Cek bilirubin post fototerapi

Prognosis : Dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tanggal Subject Object Assesment Planning25/7/2013 Jarang

menangis, Sesak (-), kulit kuning (+), demam (-), gerakan aktif

KU : lemahKesadaran : apatis Nadi : 156 x/menitPernapasan : 56 x/menitTemperature : 36,1 o CUbun-ubun terbuka

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm- Rehidrasi IVFD

RL 22 cc dalam 10 menit

43

Page 44: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

kurang, minum ASI (+).

cekung (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (+), tali pusat layu (+), anus (+), turgor kulit kembali lambat namun masih < 2 detik. Kulit tampak keriput (+), kering (+), kulit mengelupas (+). Dari pemeriksaan penunjang didapatkan bilirubin total : 15,38 mg %, bilirubin direk : 2,65 mg %.

Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

- Maintenance IVFD D10% 12 tpm

- Inj. Aapisilin 2 x 100 mg

- Inj. Gentamisin 2 x 10 mg

- ASI sonde ad lib

- Foto terapi setelah dehidrasi teratasi

-26/7/2013 Jarang

menangis, Sesak (-), kulit kuning (+), demam (-), gerakan aktif kurang, minum ASI (+).

KU : lemahKesadaran : apatis Nadi : 148 x/menitPernapasan : 52 x/menitTemperature : 36,7 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm- IVFD D10% 12

tpm- Inj. Aapisilin 2

x 100 mg- Inj. Gentamisin

2 x 10 mg- ASI sonde ad

lib- Foto terapi

27/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (+), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).

KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 144 x/menitPernapasan : 52 x/menitTemperature : 36,8 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm- IVFD D10% 12

tpm- Inj. Aapisilin 2

x 100 mg- Inj. Gentamisin

2 x 10 mg- ASI sonde ad

lib- Foto terapi

44

Page 45: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

28/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).

KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 140 x/menitPernapasan : 58 x/menitTemperature : 36,8 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm- IVFD D10% 12

tpm- Inj. Aapisilin 2

x 100 mg- Inj. Gentamisin

2 x 10 mg- ASI sonde ad

lib- Foto terapi

28/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).

KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 148 x/menitPernapasan : 48 x/menitTemperature : 36,6 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm- IVFD D10% 12

tpm- Inj. Aapisilin 2

x 100 mg- Inj. Gentamisin

2 x 10 mg- ASI sonde ad

lib- Foto terapi

29/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).

KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 154 x/menitPernapasan : 56 x/menitTemperature : 36,7 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm- IVFD D10% 12

tpm- Inj. Aapisilin 2

x 100 mg- Inj. Gentamisin

2 x 10 mg- ASI sonde ad

lib

45

Page 46: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

30/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).

KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 140 x/menitPernapasan : 144 x/menitTemperature : 36,8 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).

- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi

- Rawat inkubator

- O2 1 lpm- IVFD D10% 12

tpm- Inj. Aapisilin 2

x 100 mg- Inj. Gentamisin

2 x 10 mg- ASI sonde ad

lib

46

Page 47: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

BAB IV

PEMBAHASAN

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat

lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia

dan asidosis. Pembagian klasifikasi asfiksia dibuat berdasarkan nilai apgar score yaitu :

1. Asfiksia berat

Apgar score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian O2

terkendali.

2. Asfiksia sedang

Apgar score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O2 sampai bayi dapat bernafas

normal kembali.

3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai apgar 7-10). Dalam hal ini bayi dianggap

sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.

Pada kasus diatas AS 6 – 8, maka pasien dapat didiagnosis dengan asfiksia sedang.

Diagnosis ini ditunjang dari anamnesis dimana didapatkan pasien tidak bisa bernapas

spontan, saat lahir kulit pasien berwarna biru, dan terdapat faktor resiko janin yaitu adanya

tanda sindrom post maturitas grade I dimana tali pusat pasien layu kulit mengelupas dan

keriput. Sindrom post maturitas ini akan muncul bila bayi sudah lewat bulan atau post date

dimana pada pasien usia kehamilan ibu 40 – 41 minggu. Tali pusat yang sudah layu akan

membuat aliran darah ke janin menjadi kurang adekuat sehingga bayi dapat mengalami

asfiksia intranatal. Didapatkan faktor resiko ibu dimana ibu mengalami eklamsia. Saat

terjadi eklamsia maka terjadi insufisiensi aliran darah ke janin melalui plasenta dan tali

pusat akibat tekanan darah yang tinggi. Tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan

arteri dan vena umbilikalis menjadi berkonstriksi sehingga dapat pula menyebabkan aliran

darah ke bayi menurun dan dapat menyebabkan asfiksia intranatal dan post natal.

Bayi kuning seperti pada kasus mengarahkan pada terjadinya suatu ikterus. Faktor

resiko pada bayi ini adalah berat badan lahir rendah pada pasien yaitu 2.200 gram dan

adanya dehidrasi pada pasien. Bayi yang dehidrasi akan menyebabkan pasase feses

terhambat dan meningkatkan resorbsi bilirubin. Kombinasi dari faktor faktor tersebut

menyebabkan ikterus.

47

Page 48: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

Ikterus yang terjadi pada bayi dalam ini terjadi pada usia 4 hari. Kondisi ini termasuk

dalam ikterus patologis karena bilirubin total pasien : 15,38 mg/dl dimana kadar ini lebih

tinggi dari kisaran normal bilirubin total yaitu < 8,8 mg/dL. Ikterus patologis pada pasien

ini juga didukung oleh adanya BBLR dan dehidrasi pada pasien. sehingga pasien

memerlukan terapi fototerapi. Bilirubin direk pada pasien adalah : 2,65 mg %, dimana

angka ini masih dalam kisaran normal yaitu < 20 % dari bilirubin total (bila bilirubin total

> 5 mg/dl). Dari hasil laboratorium tersebut dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini

terjadi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (bilirubin tak terkonjugasi >85% bilirubin total).

Hal ini juga sesuai dengan teori yang mengatakan ikterus yang disebabkan oleh bilirubin

tak terkonjugasi akan memberikan tampakan kuning yang lebih jelas dibandingkan dengan

ikterus oleh karena bilirubin terkonjugasi. Pada pasien juga tidak ada keluhan berupa feses

pucat, serta didapatkan sehingga semakin menunjang ke arah hiperbilirubinemia tak

terkonjugasi.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan oleh :

1. Septikemia/ISK

2. Breast milk jaundice

3. Hipotiroidisme

4. Hemolisis karena defisiensi G6PD atau sferositosis kongenital

5. Galaktosemia

Pada pasien ini belum dapat ditentukan dengan pasti apa penyebab ikterus yang

terjadi. Apabila ditemukan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi maka perlu dilakukan

beberapa pemeriksaan penunjang seperti tes fungsi tiroid pemeriksaan urine, pemeriksaan

hapusan darah tepi, kultur darah, serta pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan untuk

menyingkirkan kemungkinan penyebabnya.

Terapi untuk ikterus pasien adalah foto terapi atau terapi sinar. Terapi ini diberikan

untuk membantu ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Fototerapi menyebabkan isomerisasi

pada bilirubin tak terkonjugasi, sehingga dengan mudah bilirubin yang sudah

terisomerisasi ini dapat dikeluarkan dari tubuh, dan tidak terjadi hiperbilirubinemia.

Setelah fototerapi bayi perlu di evaluasi. Evaluasi meliputi kuning pada tubuh bayi, serta

pemeriksaan bilirubin ulang.

48

Page 49: Lapsus Asfiksia Sedang + BBLR + Hipotermia

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-

Revision. Geneva: World Health Organization; 1999. Diunduh dari:

www.who.int/reproductive-health/publications/newborn_resus_citation/index.html.

2. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276. (level of evidence IV).

3. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan

resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2006.

4. Parer JT. Fetal Brain Metabolism Under Stress Oxygenation, Acid-Base and

Glucose. 2008. Diunduh dari:

http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/acute/acute.cfm.

5. Kosim, Sholeh. 2008. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama. Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jakarta

6. Poesponegoro, Hardiono, dr. Sp.A(K). 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan

Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

7. American Academy of Pediatric. 2004. Clinical Practice Guideline: Management

of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant > 35 Weeks of Gestation. Pediatric.

America

8. Azis, Abdul Latief. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Kesehatan

Anak, edisi III. RSU Dokter Sutomo. Surabaya

9. Kementrian kesehatan RI. 2010. Buku Saku Pelayanan Neonatal Esensial.

Kementrian Kesehatan RI. Jakarta

10. Kosim, Sholeh. 2010. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama. Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jakarta

11. Mansjoer, A; Kuspuji T; Rahmi S; dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran. Media

Aesculapius. Jakarta.

12. Price, S; Wilsons. 2007. Buku ajar patofisiologi, volume 2. ECG. Jakarta.

13. Sarwono. 2004. Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo. Jakarta.

49