laporan_kgm_sk_1 yuhuyuhu

42
LAPORAN TUTORIAL BLOK KEGAWATDARURATAN MEDIK SKENARIO 1 : PENURUNAN KESADARAN Disusun oleh: Kelompok A1 Amirul Zakiya B. (G0011019) Andyka Prima Pratama (G0011023) Dewi Nur Khotimah (G0011071) Derajat Fauzan N. (G0011065) Lina Kristanti W. (G0011127) Martha Oktavia Dewi (G0011133) Nadya K. Amira (G0011145) Naili N.S.N (G0011147) R.A. Sitha Anisa P (G0011161) Rizqa Febriliany P (G0011183) Yoga Mulia Pratama (G0011213) 1

Upload: denalia-aurika

Post on 10-Nov-2015

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

yughgugyg

TRANSCRIPT

LAPORAN TUTORIAL BLOK KEGAWATDARURATAN MEDIKSKENARIO 1 : PENURUNAN KESADARAN

Disusun oleh:Kelompok A1Amirul Zakiya B.(G0011019)Andyka Prima Pratama (G0011023)Dewi Nur Khotimah(G0011071) Derajat Fauzan N. (G0011065)Lina Kristanti W. (G0011127)Martha Oktavia Dewi (G0011133)Nadya K. Amira (G0011145)Naili N.S.N (G0011147)R.A. Sitha Anisa P (G0011161)Rizqa Febriliany P (G0011183)Yoga Mulia Pratama (G0011213)

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET2014BAB IPENDAHULUANSKENARIO I

Penurunan Kesadaran

Seorang laki-laki berusia 65 tahun diantar anak laki-lakinya yang serumah dengannya ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Tipe D karena tidak sadar. Dari Alloanamnesis didapatkan informasi 5 jam sebelum masuk rumah sakit pasien diketahui oleh anak kandungnya itu tidak sadar. Bisa dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak nyambung. Dari keterangan anaknya, sejak 3 hari penderita panas mual disertai muntah, sering kencing, nyeri pinggang dan urin berwarna keruh. Penderita hanya makan dan minum sedikit selama 3 hari terakhir. Ada riwayat DM dan Hipertensi sejak 5 tahun yang lalu dengan riwayat terapi insulin rapid 6-6-4 dan Captopril 3 x 25 mg, diketahui penderita jarang kontrol dan tidak suntik insulin 2 hari sebelumnya.Pada pemeriksaan fisik didapatkan: sakit berat, somnolen, GCS E3V4M5, tekanan darah 80/40 mmHg, suhu 38 C, laju pernafasan 32 kali per menit, nadi 128 kali/menit, lemah. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan rhonki di kedua lapang paru. Refleks fisiologis dalam batas norma, refleks patologis (-). Pemeriksaan laboratorium : Hb 13 gr%, leukosit 25.000/mm3, trombosit 350.000/mm3, GDS 600 mg/dl, ureum 60 mg/dl, kreatinin 1,0 mg/dl, kalium 4,5 mmol/L. Pemeriksaan urin rutin dan gas darah masih menunggu hasil. Setelah dijelaskan dan mendapat persetujuan keluarga dengan menandatangani inform consent,diberikan infus RL 2 jalur, tetesan cepat dan bolus insulin 0,1 unit/KgBB.

BAB IIDISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump1. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsepDalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:a. RS Tipe D : Bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pelayanan terdiri dari kedokteran umum dan kedokteran gigi. Menerima pelayanan rujukan dari puskesmas.b. Insuli rapid 6-6-4 : Pemberian boluls insulin pada pagi hari saat sarapan sebanyak 6 unit, siang hari saat makan siang sebanyak 6 unit, dan malam hari saat makan malam sebanyak 4 unit.c. Captopril 3x 25: Adalah obat anti hipertensi golongan ACE inhibitor dengan cara mensupresi system renin angiotensin aldosteron. Dosis awal 12,5 x 3, bila 2 minggu penurunan tekanan darah belum memuaskan maka dosis ditingkatka menjadi 25 x 3 (Ganiswara, 1995).d. Somnolen : (Obtundasi, Letargi) yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.e. Pemeriksaan Urin Rutin : pemeriksaan yang meliputi kimia, sedimen mikroskopis, dan makroskopis urin.f. GCS E3V4M5 : Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )1. Menilai respon membuka mata (E)(4) : spontan(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)(1) : tidak ada respon2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)(5) : orientasi baik(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak) (2) : suara tanpa arti (mengerang)(1) : tidak ada respon3. Menilai respon motorik (M)(6) : mengikuti perintah(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(1) : tidak ada responHasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan :(Compos Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) / Somnolen(11-10) / Delirium (GCS: 9-7)/ Sporo coma (GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3))g. Refleks Fisiologis : serangkaian pemeriksaan untuk mendeteksi kelainan pada system saraf.h. Refleks Patologis : refleks yang normal muncul pada orang yang sehat. Refleks yang muncul pada orang dengan kelainan neurologis adalah refleks patologis.i. Pemeriksaan gas darah : pemeriksaan untuk mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah.2. Langkah II: Menetapkan/mendefinisikan permasalahanPermasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut: a. Apa jenis kegawatdaruratan dalam skenario?b. Bagaimana prinsip penanganan pasien gawat darurat?c. Bagaimana penilaian bahwa pasien gawat darurat?d. Bagaimana prosedur penanganan kegawatdaruratan dalam scenario?e. Bagaimana triage dan guidline AHA pada kasus gawat darurat nontrauma?f. Bagaimana patofisiologi setiap keluhan & korelasi dengan keluhan?g. Apa penyebab kesadaran menurun?h. Apa kaitan riwayat penyakit dahulu dengan kasus sekarang?i. Adakah hubungan tidak suntik 2 hari dengan keluhan?j. Bagaimana Interpretasi hasil pemeriksaan?k. Apakah fungsi pemeriksaan Gas Darah dan Urin rutin?l. Apakah setiap kasus gawat darurat harus dilakukan pemeriksaan lengkap?m. Apa Diagnosis dan Diagnosis bandingnya?n. Bagaimana tatalaksana kasus sampai selesai?o. Bagaimana komplikasi dan prognosis kasus dala skenario?p. Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam kasus ini?q. Bagaimana aspek medikolegal kegawatdaruratan?r. Apa saja jenis-jenis RS dan Alur rujukannya?3. Langkah III: Analisis masalahBerikut analisa dan pernyataan sementara dari masalah yang telah ditetapkan:1. Penyebab kesadaran menurunPada keadaan normal, ketika mengonsumsi karbohidrat, kadar glikemik akan meningkat dan diambil oleh jaringan. Selain itu, akan menstimulus sekresi insulin sehingga kadar insulin meningkat dan menghambat pelepasan glukagon. Rasio yang tinggi antara insulin plasma dan glukagon akan membantu beberapa proses, seperti: (1) penyimpanan glukosa sebagai glikogen di hati dan otot, (2) lipogenesis di adiposit, (3) mendorong potasium masuk ke dalam sel, dan (4) pengambilan asam amino oleh otot.Apabila sekresi insulin tidak ada, maka kadar glukagon akan meningkat dan menyebabkan efek sebaliknya, yaitu pemecahan glikogen di hati dan otot, glukoneogenesis oleh hati, dan membantu lipolysis dan pembentukan badan keton oleh hati. Glukagon merupakan salah satu hormon counterregulatory di samping hormon pertumbuhan, epinefrin, dan kortisol. Hormon tersebut akan meningkat ketika stres dan terserang penyakit secara akut, seperti infeksi, infark miokard, dan pankreatitis.Efek tersebut akan meningkatkan kadar glukosa. Ketika glukosa 180 mg/dl, tubulus proksimal tidak dapat mereabsorbsi secara sempurna sehingga glukosa akan mengalir melalui nefron dan saluran kemih dan akhirnya keluar sebagai urin dengan membawa air dan elektrolit. Hilangnya sejumlah air dari tubuh tanpa adanya pemberian cairan tambahan secara oral dapat menyebabkan keadaan hipovolemi. Keadaan hipovolemi ini akan menyebabkan hipoksia dan hipotensi. Keadaan kekurangan oksigen tersebut dapat mempengaruhi tingkat kesadaran (Hemphill, 2014; Raghavan, 2014).

2. Patofisiologi keluhan dan interpretasi hasil pemeriksaan a. Sakit berat, somnolen, GCS turun: merupakan penurunan kesadaran karena kurangnya asupan oksigen ke otak dan merupakan tanda - tanda syok.b. Tekanan darah 80/40: turunnya tekanan darah dengan sistol 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria moderate. b. SHH (Status Hiperosmolar Hiperglikemik)SHH adalah keadaan yang ditandai dengan hiperosmolaritas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni. SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia ekstrim, osmolalitas serum yang tinggi dan dehidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan. Nilai normal osmolalitas serum adalah 290 5 mOsm/kg air. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metode nitropusid pada dilusi 1:2, bikabonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7.3. Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat daripada KAD; kadar glukosa darah > 600 mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat. (Mansjoer, 2000)Untuk diagnosis pasti dalam skenario, masih harus menunggu hasil pemeriksaan gas darah dan urin rutin. 2. Penilaian Pasien Gawat Darurat dalam SkenarioSyok hipovolemik bias terjadi karena kehilangan cairan dan elektrolit seperti diare, muntah, keringat yang berlebihan, keadaan hiperosmolar (Ketoasidosis diabetic, koma hiperosmolar non ketotik). Manifestasi klinis syok adalah tekanan darah sistemik rendah dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau lebih dari 10 % dibawah tekanan darah yang telah diketahui, hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianonis, status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma, oligouria atau anuria dan asidosis metabolic (Mansjoer et al., 2000).3. Pemeriksaan pada Kasus Gawat DaruratDepartemen kegawatdaruratan harus menentukan pemeriksaan apa yang harus dilakukan sebagai pemeriksaan dasar dan pemeriksaan yang dibutuhkan tetapi tidak memerlukan analisis yang cepat. Contoh pemeriksaan yang dibutuhkan sebagai pemeriksaan dasar pada departemen kegawatdaruratan adalah pemeriksaan darah lengkap, kreatinin fosfokinase total, elektrolit, glukosa, amilase, kalsium, analisis gas darah, dan skrining toksikologi dasar yang terdiri dari aspirin, asetaminofen, fenitoin, dan kadar etanol. Pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan dasar adalah kadar digoksin dan fenobarbital, kreatinin fosfokinase (CPK-MB), karbon monoksida, dan mengukur saturasi oksigen. Ketika menentukan pemeriksaan apakah yang harus dilakukan sebagai pemeriksaan dasar atau tidak harus mempertimbangkan beberapa hal seperti (Hardin, 1996) : Manfaat potensial untuk pasien Apakah hasil segera dari pemeriksaan bisa mengubah rencana pengobatan Biaya dari pemeriksaan yang dilakukan Sumber daya yang tersedia pada departemen kegawatdaruratan seperti dokter jaga Standar pelayanan yang diterapkan Ketersediaan dari beberapa pemeriksaan atau prosedur pada tempat pelayanan kesehatan tersier (jika departemen kegawatdaruratan merupakan bagian dari fasilitas komunitas kecil) Aspek medikolegalTabel 1. Pedoman yang digunakan untuk penggunaan pemeriksaan darah pada bagian kegawatdaruratan sebagai penilaian awal dari pasien kegawatdaruratan (Rehmani and Amarullah, 1999).PenyakitJenis Pemeriksaan

Nyeri dada iskemikBiasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah. Untuk evaluasi bisa dilakukan pemeriksaan mioglobin dan kreatinin kinase.

AritmiaBlood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin; elektrolit

Gagal jantungAnalisis gas darah; BUN dan kreatinin; elektrolit

Cardiac arrestAnalisis gas darah; kreatinin dan elektrolit pada fase pasca resusitasi

Asma akutAnalisis gas darah, hitung leukosit total, dan hitung leukosit diferensial

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)Analisis gas darah, hitung leukosit total, dan hitung leukosit diferensial

Perdarahan gastrointestinal bagian atas dan bawahHitung darah lengkap, waktu protrombin, dan waktu aktif sebagian tromboplastin

GastroenteritisHitung darah lengkap, pemeriksaan tinja, jika lebih dari 24 jam perlu dilakukan pemeriksaan BUN dan kreatinin, elektrolit

HipoglikemiGula darah, BUN dan kreatinin, elektrolit

Ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar nonketotikGula darah, analisis gas darah, BUN dan kreatinin, elektrolit. Hitung sel darah putih dilakukan pada beberapa kasus

Penyakit demam akutKurang dari 3 hari : hitung darah lengkap dan parasit malaria; lebih dari 3 hari : tambah kultur darah dan pemeriksaan sensitivitas

Overdosis obatKadar obat, kadang hitung sel darah merah, BUN dan kreatinin, elektrolit

PolitraumaHitung darah lengkap, golongan darah, dan crossmatch

Trauma tunggalHitung darah lengkap, golongan darah, dan crossmatch pada kasus tertentu

Penyakit asam peptik, pankreatitis, perforasi dan nyeri abdomen non spesifikHitung darah lengkap, amilase. BUN dan kreatinin dan elektrolit dilakukkan jika terdapat muntah dan diare yang signifikan

Perdarahan pervaginalGolongan darah dan crossmatch. Gonadotropin korionik beta-human dilakukan pada kasus tertentu.

Pemeriksaan darah lain dapat dilakukan pada manajemen akut dari pasien tapi harus terfokus pada kebutuhan klinis pada tiap individu.

4. Prinsip Penanganan Kasus Gawat Darurat Non Trauma Berdasarkan Triage dan Guidline AHA

Penilaian triage dapat menggunakan metode START (Simple, Triage, Rapid, Treatment) seperti skema di bawah ini:

5. Aspek Medikolegal KegawatdaruratanInformed consent menurut Hanafiah dan Amir (2009) memiliki dua sifat, yaitu implied atau tersirat dan expressed atau tersurat. Pada keadaan gawat darurat dimana korban tidak sadar dan tidak terdapat keluarga atau wakil dari korban, maka digunakan informed consent yang tersirat, atau disebut juga presumed consent. Pada presumed consent, dianggap ketika pasien sadar menyetujui tindakan dokter untuk menolongnya. Expressed informed consent digunakan apabila diperlukan tindakan besar, seperti pembedahan. Apabila prosedur diagnostik atau terapeutik harus segera dilakukan, dokter tidak harus menjelaskan secara rinci mengenai prosedur, tetapi penjelasan dapat dilakukan setelah tindakan selesai dilakukan. Apabila terjadi komplikasi saat penanganan, maka dokter tidak bersalah.Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah: Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah ketrampilan penolong. (Herkutanto, 2007)Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dila- kukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertim- bangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkua- lifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.Kematian pada Instalasi Gawat DaruratPada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner. Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian (death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner. Pihak rumah sakit harus menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut. (Herkutanto, 2007)Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya pada POLRI.Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum et repertum.Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat keterangan kematian adalah: meninggal pada saat dibawa ke IGD meninggal akibat berbagai kekerasan meninggal akibat keracunan meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan.Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan. (Herkutanto, 2007)

6. Jenis-Jenis RS dan Alur Rujukan RS

Gambar 1. Alur Pelayanan kesehatan (BPJS, 2014)

Gambar 2. Sistem rujukan berjenjang (BPJS, 2014)Pasien dengan kegawatdaruratan tidak menerapkan sistem rujukan untuk pertolonganpertamanya sehingga dapat ditolong meskipun pada rumah sakit (RS) tipe A (Gambar 1). Sistemrujukan pada era BPJS secara umum terbagi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat pertama, kedua,dan ketiga. Tingkat pertama merupakan pelayanan primer, atau dokter umum. Tingkat kedua olehtenaga kesehatan spesialistik pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan pertama. Kemudian tingkatketiga adalah pelayanan oleh tenaga kesehatan spesialistik pada rujukan tingkat kedua.Sedangkan pada kasus yang sudah ditegakkan diagnosisnya dapat langsung menuju ke tingkatketiga (BPJS, 2014). Untuk alur rujukan rumah sakit yaitu sebagai berikut, RS tipe C dan D serta puskesmas memberikan rujukan ke RS tipe B. RS tipe B akan memberikan rujukan ke RS tipe A. Rujukan langsung ke RS tipe A juga diperkenankan untuk daerah yang memiliki kondisi geografis yang tidak baik (Kemenkes, 2014).

Gambar 3. Sistem rujukan regional (Kemenkes, 2014)

7. Hubungan Tidak Suntik 2 Hari dengan KeluhanAdanya penghentian pemberian insulin akan memicu terjadinya KAD, kemudian sedikit makan juga mengakibatkan peningkatan kadar glucagon dalam darah yang mengakibatkan penurunan sekresi insulin. Kemudian juga adanya tanda tanda infeksi yang mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh sehingga kebutuhan insulin juga meningkat (Mansjoer et al., 2000).8. Kaitan Riwayat Penyakit DahuluKetoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan kompleks gangguan metabolik yang memiliki karakteristik hiperglikemi, ketoasidosis, dan ketonuri. KAD biasanya terjadi sebagai konsekuensi dari defisiensi insulin absolut atau relatif yang diikuti dengan peningkatan hormon kontra regulasi seperti glukagon, kortisol, growth hormone, dan epinefrin). Hormon yang tidak seimbang memperbesar glukoneogenesis hepar, glikogenolisis, dan lipolisis. Glukoneogenesis hepar, glikogenolisis sekunder sampai defisiensi insulin dan hormon kontra regulasi yang berlebih mengakibatkan hiperglikemi yang sangat buruk, sementara lipolisis meningkatkan serum asam lemak bebas. Metabolisme asam lemak bebas pada hepar sebagai sumber tenaga alternatif (ketogenesis) menyebabkan akumulasi dari asam intermediet dan metabolit akhir (seperti keton dan asam keton). Keton termasuk aseton, beta-hidroksibutirat, dan asetoasetat.Glukoneogenesis hepar, glikogenolisis sekunder sampai defisiensi insulin, dan hormon kontra regulasi yang berlebih menyebabkan hiperglikemi yang sangat buruk, sementara lipolisis meningkatkan serum asam lemak bebas. Badan keton diproduksi dari asetil koenzim A terutama pada mitokondria dengan hepatosit ketika penggunaan karbohidrat terganggu karena defisiensi insulin relatif atau absolut, seperti energi yang didapat dari metabolisme asam lemak.Tingginya kadar asetil koenzim A pada sel menghambat dehidrogenase pituvat kompleks, tetapi karboksilasi piruvat telah aktif. Sehingga, oksaloasetat dihasilkan melalui glukoneogenesis daripada siklus asam sitrat, akhirnya juga dihambat oleh kadar nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) yang tinggi yang dihasilkan dari beta-oksidasi berlebih dari asam lemak, yang merupakan konsekuensi lain dari resistensi insulin/defisiensi insulin.Asetil koenzim A yang berlebih akan masuk ke jalur ketogenesis. Ketoon termasuk aseton, beta-hidroksibutirat, dan asetoasetat. Peningkatan konsentrasi darah yang progresif dari subtansi asam organik ini menyebabkan keadaan awal dari ketonemi, walaupun ekstraselular dan intraselular penyangga tubuh dapat membatasi ketonemi pada tahap awal, yang direfleksikan oleh pH arteri normal berhubungan dengan defisit dasar dan gap anion ringan. Ketika akumulasi keton berlebih pada kapasitas tubuh untuk ekstraksi, mereka mengalir melalui urin (seperti ketonuri). Jika situasi tidak diobati secara tepat, akumulasi dari asam organik semakin besar yang menyebabkan asidosis metabolik (seperti ketoasidosis), dengan tanda penurunan pH dan kadar serum bikarbonat.Kompensasi pernafasan dari kondisi asidosis menyeabkan pernafasan dangkal (pernafasan Kussmaul). Beta-hidroksibutirat meningkatkan nausea dan muntah yang menyebabkan perburukan cairan dan kehilangan elektrolit yang terjadi pada KAD. Selain itu, aseton memproduksi fruity breath odor yang merupakan karakteristik dari pasien ketotik. Hiperglikemi, diuresis osmotik, serum hiperosmolaritas, dan metabolik asidosis menyebabkan gangguan berat elektrolit. Hal ini dikarakteristikkan sebagai kehilangan cairan kalium. Kehilangan ini tidak berpengaruh pada kadar serum kalium, mungkin rendah atau mungkin tinggi. Kehilangan kalium dikarenakan berpindahnya kalium dari intraselular ke ruang ekstraselular dan bertukar dengan ion hidrogen sehingga terakumulasi pada ekstraselular pada asidosis. Kalium yang terdapat pada ekstraselular hilang dan terdapat pada urin akibat diuresis osmotik. Pasien dengan hipokalemi biasanya memiliki kadar kalium tubuh yang buruk dan mengalami deplesi kalium.Tingginya osmolaritas serum juga menyebabkan air berpindah dari intraselular ke ruang ekstraselular, sehingga terjadi hiponatremi dilusional. Sodium juga hilang dan terkandung pada urin selama diuresis osmotik. Secara keseluruhan elektrolit hilang, termasuk 200-500 mEq/L dari kalium, 300-700 mEq/L dari sodium dan 350-500 mEq/L dari klorida. Kombinasi efek dari dehidrasi hiperosmolaritas serum dan asidosis menyebabkan peningkatan osmolaritas pada sel otak sehingga terjadi manifestasi klinis seperti perubahan tingkat kesadaran. Beberapa gangguan patofisiologi pada KAD biasanya dapat langsung terdeteksi oleh klinisi dan perlu pengobatannya perlu diawasi. Perhatian yang mendalam pada data laboratorium dapat mendeteksi asidosis dan hiperglikemi, sama seperti pencehajan dari komplikasi potensial letal seperti hipoglikemi, hiponatremi, dan hipokalemi (Raghavan et al., 2014).9. Fungsi Pemeriksaan Gas Darah dan Urin rutinPemeriksaan gas darah meliputi PO2, PCO2, pH, HCO3, dan saturasi O2. Pemeriksaan ini dapat berguna untuk mengevaluasi fungsi pernapasan, seperti adanya hipoksia dan keseimbangan asam-basa pada darah. Pemeriksaan urin rutin meliputi pemeriksaan kimia (berat jenis, pH, leukosit esterase, nitrit, albumin, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, darah), sedimen mikroskopis (eritrosit, leukosit, silinder, epitel sel, bakteri, kristal), dan makroskopis (warna dan kejernihan. Pemeriksaan ini dapat membantu mengetahui adanya keadaan ketosis, kelebihan glukosa, dan adanya infeksi saluran kemih (OCallaghan, 2009).10. Tatalaksana KasusPrinsip pengobatan KAD dan HONK:1. Penggantian cairan tubuh dan garam yang hilangCairan yang digunakan adalah garam fisiologi berdasarkan perkiraan hilangnya cairan, yaitu mencapai 100ml / kgBB. Ada dua keuntungan rehidrasi pada pasien KAD, yaitu memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin, sehingga glukosa darah bisa segera dikontrol dengan baik. 2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin. Tujuan pemberian insulin di sini bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal, teapi juga untuk mengatasi keadaan ketonemia.3. Pemberian glukosaDiberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%) apabila didapatkan kadar glukosa darah kurang dari 200 mg/dl. Setelah rehidrasi 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun.4. Mengatasi stres sebagai pencetus KAD5. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemanatauan serta penyesuaian pengobatan(Setyohadi et al., 2012)11. Komplikasi dan PrognosisDalam pengobatan KAD dapat timbul keadaan hipoksia dan sindrom gawat nafas dewasa (ARDS), hipertrigliseridimia yang dapat menyebabkan pancreatitis akut, dan dapat mengalami infark miokard akut pada proses pengobtan pada lansia. Juga ada komplikasi iatrogenic seperti hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan hipokalsemia (Mansjoer et al., 2000).Prognosis dari HONK angka kematiannya lebih besar dari KAD, dan lebih sering pada usia lanjut, angka kematiannya berkisar 30 50 % (Mansjoer et al., 2000).12. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat dalam SkenarioCaptopril FarmakodinamikKaptopril merupakan antihipertensiva yang bekerja dengan cara menghambat angiotensin converting enzyme (ACE) yang membantu perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Atas kerja ini, kaptopril mampu menyebabkan vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron, serta mampu menghambat degradasi bradikinin yang nantinya juga menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. FarmakokinetikKaptopril diabsorbsi baik pada pemberian oral, dimetabolisme di hati, dan dieliminasi melalui ginjal. Efek Sampinga. Hipotensib. Batuk keringc. Hiperkalemiad. Ruame. Edema angioneurogenikf. Gagal ginjal akutg. Proteinuriah. Teratogenik

BAB IIIKESIMPULAN

Pada kasus kegawatdaruratan diperlukan penanganan yang cepat dan tepat karena pasien dapat terancam jiwanya. Sebagai dokter umum, sudah seharusnya mengetahui dan dapat melaksanakan pertolongan pada pasien kegawatdaruratan medik. Selain itu penilaian kondisi pasien yang tepat dan teratur juga merupakan hal yang tak kalah penting. Setelah kondisi pasien stabil, dokter umum juga diharuskan mengetahui bagaimana alur rujukan yang tepat.Pada kasus dalam skenario pasien diperkirakan menderita kegawatdaruratan medik yang berhubungan dengan proses metabolik tubuh. Sambil menunggu hasil pemeriksaan lanjutan untuk memperoleh diagnosis lebih pasti, diperlukan penilaian dan penanganan yang cepat dan tepat. Pada kasus diperlukan pemberian cairan kristaloid dan insulin dengan cepat.

BAB IVSARAN

Materi dalam skenario cukup baik. Keterangan pada kasus di skenario sudah cukup lengkap dengan adanya hasil pemeriksaan fisik ataupun pemeriksaan lain sehingga mahasiswa dapat belajar lebih terarah.Kegiatan diskusi tutorial kelompok kami telah berjalan cukup lancar. Mahasiswa telah berperan aktif dalam diskusi ini. Tutor juga mengarahkan diskusi sehingga LO atau tujuan pembelajaran dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2010. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122:S640-S656.Arifin AL, Natalia N, Kariadi SHKS (2011). Krisis Hiperglikemia pada Diabetes Melitus. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 2014. Panduan praktis system rujukan berjenjangGaniswara SG (Eds) (1995). Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi UIHanafiah MJ, Amir A (2009). Etika kedokteran & hukum kesehatan. Jakarta: EGC.Hardin, Eugene. 1996. Emergency Medicine and the Laboratory. Journal Of The National Medical Association. 88(5): 279-282.Hemphill RR (2014). Hyperosmolar hyperglycemic state. MedscapeHerkutanto. 2007. Aspek medikolegal pelayanan gawat darurat. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. MajKedoktIndon, Volum: 57, Nomor: 2Kementrian Kesehatan Nasional. 2014. Sistem Rujukan terstruktur dan berjenjang.Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta : Media Aeusculapius FK UINafrialdi (2011). Antihipertensi. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth (ed). Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta:Badan Penerbit FKUI, pp:355-6.OCallaghan CA (2009). At a glance sistem ginjal. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit ErlanggaPowers AC. 2008. Diabetes Mellitus. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E. Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J (eds.) Harrisons Principles of Internal Medicine. New York: Mc Graw Hill Medical, pp: 2275-2304. Raghavan V.A., Hamdy O.,Khardori R., Bessen H.A.,Brenner B.E.,Schade D.S.,Schalch D.S. 2014. Diabetic Ketoacidosis. http://emedicine.medscape.com/article/118361-overview. Diakses pada 11 Mei 2014.Rehmani R. and Amanullah S. 1999. Analysis of blood tests in the emergency department of a tertiary care hospital. Postgrad Med J. 75:662666.Setyohadi B, Arsana PM, Soeroto AY, Suryanto A, Abdullah M (2012). Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta : Internal PublishingWulandari DS (2011). Penurunan Kesadaran. Serang: SMF Neurologi RSUD Serang, Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi.

27