laporan_akhir_pkm

Upload: wahyusulistio619

Post on 05-Jul-2015

581 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

LAPORAN AKHIR PKM-P

LAMA PENERAPAN KEJUT PANAS TERHADAP KEBERHASILAN TRIPLOIDISASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Oleh:

Frida Yunita Sari Wahyu Sulistiono Ika Nur Fitiyatun Indriawati Nungki Ayuningtyas

(B1J006094) (B1J006098) (B1J006002) (B1J007023) (B1J007017)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2010

1. Judul Kegiatan : Lama Penerapan Kejut Panas Terhadap Keberhasilan Triploidisasi Ikan Nila 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-P ( ) PKM-K (Pilih salah satu) ( ) PKM-T ( ) PKM-M 3. Bidang Ilmu : ( ) Kesehatan ( ) Pertanian (Pilih salah satu) : ( ) MIPA ( ) Teknologi dan Rekayasa ( ) Sosial Ekonomi ( ) Humaniora ( ) Pendidikan 4. Ketua Pelaksana Kegiatan a. Nama Lengkap : Wahyu Sulistiono b. NIM : B1J006098 c. Jurusan : Biologi d. Alamat Rumah : JL. Cendrawasih No. 14 Grendeng, Purwokerto 5. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis : 5 Orang 6. Dosen Pendamping a. Nama Lengkap dan Gelar : Dra. Farida Nur Rachmawati, M.Si b.NIP : 19630412 198803 2 001 c. Alamat Rumah dan No Tel/HP : 08122704965 7. Biaya Kegiatan Total: a. Dikti : Rp. 7.685.000,00 b. Sumber Lain (sebutkan) : 8. Jangka Waktu Pelaksana : 3 Bulan

Menyetujui Pembantu Dekan I Fakultas Biologi

Purwokerto, 21 Juni 2010 Ketua Pelaksana Kegiatan

(Drs. Agus Hery Susanto, M. S.) NIP. 19590814 198603 1 004 Pembantu Rektor III

( Wahyu Sulistiono ) NIM. B1J006098 Dosen Pendamping

( Prof.Drs. Imam Santosa, M. Si ) NIP . 19611001 198803 1 001

( Dra. Farida Nur Rachmawati, M.Si) NIP. 19630412 198803 2 001

ABSTRAKPenelitian berjudul Lama Penerapan Kejut Panas Terhadap Keberhasilan Triploidisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus ) bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan awal penerapan kejut panas terhadap keberhasilan triploidisasi. Penelitian dilakukan pada bulan Maret Juni 2010 di Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas Biologi UNSOED. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan berupa kontrol (P1,tanpa kejut panas), P2 (kejut panas dengan suhu 36oC selama 2 menit setelah 4,5 menit pasca fertilisasi), P3 (kejut panas dengan suhu 36oC selama 3 menit setelah 4,5 menit pasca fertilisasi). Parameter penelitian meliputi fertilisasi, daya tetas telur, viabilitas larva 15 hari, dan induksi ploidisasi. Hasil penelitian menunjukan kejut panas tidak efektif digunakan pada ikan nila, hal ini dikarenakan dari penelitian yang telah dilakukan tidak berhasil mendapatkan ikan hasil pemijahan secara buatan. Telur hasil fertilisasi tidak dapat berkembang ke stadia berikutnya atau mati. Kata kunci : Triploidisasi, Lama penerapan kejut panas, Ikan Nila.

KATA PENGANTAR

Rasa

syukur

beserta

ucap

alhamdulillah,

akhirnya

penulis

dapat

menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Lama Penerapan Kejut Panas Terhadap Keberhasilan Triploidisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus ) yang bermaterikan tentang pengaruh nilai fertilitas, daya tetas, viabilitas dan keberhasilan triplodisasi terhadap perbedaan waktu awal penerapan kejutan panas pada ikan nila. Triploidisasi dapat dilakukan dengan melakukan kejut panas sesaat setelah fertilisasi, kejut panas bertujuan untuk menghambat pelepasan polar body II sehingga individu tersebut memiliki 3 set kromosom, 2 dari telur dan 1 dari sperma. Tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan triploidisasi adalah waktu awal kejutan, lama waktu kejutan dan suhu kejutan. Triploidisasi dapat menghasilkan benih yang berkualitas, karena ikan triploid memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibanding ikan diploid. Penggunaan tehnik triploidisasi ini dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan pada kegiatan pembenihan.

Purwokerto, 23 Juni 2010

Penyusun

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu kegiatan budidaya ikan air tawar yang telah berhasil dilakukan adalah budidaya ikan nila. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penting dalam bisnis ikan air tawar dunia. Beberapa hal yang mendukung pentingnya komoditas ikan nila adalah a) memiliki resistensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit, b) memilliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan c) memiliki kemampuan yang efisien dalam membentuk protein kualitas tinggi dari bahan organik, limbah domestik dan pertanian, d) memiliki kemampuan tumbuh yang baik, dan e) mudah tumbuh dalam system budidaya intensif. Kegiatan usaha pembesaran ikan nila yang terus meningkat mengakibatkan naiknya permintaan terhadap benih yang bermutu (baik kuantitas maupun kualitas) harus tersedia setiap saat. Pada awalnya pemenuhan kebutuhan benih hanya berdasarkan pada kuantitas, namun saat ini dituntut untuk lebih banyak ke arah kualitas. Oleh karena itu, persyaratan benih sekarang ini lebih mengarah kepada kualitas pertumbuhan yang dapat dilakukan dengan cara penerapan teknologi pemijahan buatan yang memanfaatkan prinsip-prinsip bioteknologi. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi benih baik kualitas maupun kuantitasnya dapat diusahakan melalui beberapa pendekatan, yaitu manipulasi lingkungan, manipulasi genetik (kromosom) dan kombinasi antara keduanya. Manipulasi set kromosom, seperti poliploidisasi merupakan salah satu pendekatan manipulasi genetik yang dapat diterapkan. Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti kejut (shock) suhu panas maupun dingin, hydrostatic pressure atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar body II atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983). Perlakuan kejut suhu selain murah dan mudah, juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak (Rustidja, 1991). Komen (1990) menyatakan, benih-benih ikan poliploid yang memiliki tiga set kromosom disebut benih ikan tripoid. Ketiga set kromosom tersebut terdiri dari 1 set berasal dari ootid, 1 set berasal dari spermatozoa dan 1 set berasal dari polar bodi II yang ditahan pelepasannya melalui kejut temperatur (Purdom, 1993). Thorgaard (1983) menjelaskan, bahwa ikan triploid bersifat steril karena

jumlah set kromosomnya ganjil dan akan menyebabkan gangguan pada meiosis selama gametogenesis. Menurut Zohar (1989) bahwa gonad ikan triploid tidak berkembang sehingga meningkatkan laju pertumbuhan tubuh, dan kualitas dagingnya menjadi meningkat. Beaumont (1994) menambahkan, bahwa sterilitas dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi karena energi metabolisme yang biasanya digunakan untuk perkembangan gonad dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Beberapa penelitian mengenai proses terjadinya ikan triploid dengan perlakuan beberapa kejut suhu panas dan dingin telah dilakukan. Diantaranya adalah Don dan Avitalion (1988) melakukan kejut panas 39,5 C 0,2 C selama 3,5 sampai 4 menit setelah fertilisasi berlangsung 3 menit untuk jenis ikan Oreochromis aureus. Pada penelitian untuk memperoleh benih triploid hibrid dari 5 jenis ikan salmon, Bidwell et al (1985) melakukan pemberian kejut panas pada suhu 40 sampai 43 C selama 1 sampai 4 menit setelah fertilisasi berlangsung 80 sampai 90 menit. Lebih lanjut Malison et al (1993) melakukan kejut panas 28-30 C selama 10 dan 25 menit setelah fertilisasi berlangsung selama 5 menit untuk mendapatkan triploid dari jenis ikan Perca flavescens. Berdasarkan penelitian tersebut, ternyata penggunaan lama kejut suhu yang optimal dapat bervariasi dan diterapkan pada jenis ikan yang bermacam-macam. B. Perumusan Masalah Pada setiap species ikan, lama waktu untuk proses perkembangan telur bervariasi (Woynarovich dan Horvarth, 1980). Namun, fase-fase yang terjadi mulai dari telur atau terbentuknya zigot sampai menetas relatif sama. Perbedaannya hanya pada lama waktu yang dibutuhkan selama proses tersebut berlangsung. Hal ini menyebabkan perbedaan lamanya waktu penetasan pada setiap species ikan. Perbedaan lama penetasan pada setiap species ikan menyebabkan perbedaan dalam pemberian kejut. Thorgaard (1983) menyatakan bahwa waktu awal kejut, lama waktu kejut dan suhu yang digunakan untuk tiap species ikan berbeda. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan pembentukan triploid. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. 2. 3. Apakah perbedaan lama penerapan kejut panas menghasilkan persentase ikan nila triploid yang berbeda?. Apakah ikan nila triploid yang diperoleh dari hasil perbedaan lama penerapan kejut panas mempunyai fertilitas dan daya tetas yang berbeda?. Apakah ikan nila triploid yang diperoleh dari hasil perbedaan lama penerapan

kejut panas mempunyai viabilitas yang berbeda?. C. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Perbedaan persentase ikan nila triploid yang diperoleh dari hasil perbedaan lama penerapan kejut panas. 2. Perbedaan fertilitas dan daya tetas ikan nila triploid yang diperoleh dari hasil perbedaan waktu awal penerapan kejut panas. 3. Perbedaan viabilitas ikan nila triploid yang diperoleh dari hasil perbedaan waktu awal penerapan kejut panas. D. Luaran yang diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat dapat menjadi salah satu dasar (base data) yang penting untuk diketahui bagi kegiatan pembenihan Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang merupakan rantai awal kegiatan budidaya. E. Kegunaan Penelitian ini berguna memberikan informasi ilmiah tentang lama kejut suhu yang tepat terhadap keberhasilan triploidisasi Ikan nila (Oreochromis niloticus) dan dapat digunakan untuk meningkatkan benih yang berkualitas sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan pada budidaya ikan nila khususnya dalam kegiatan pembenihan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Ikan Nila 2.1.1. Klasiflkasi Ikan Nila Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang diintroduksi dari thailand pada tahun 1969. Pada saat ini terdapat 3 strain ikan yaitu nila gift (G-4), nila lokal (nila 69) dan nila G-6. Menurut Saanin (1984), genus Clarias mempunyai kedudukan sistematika sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Chordata : Pisces : Perciformes : Chiclidae : Oreochromis

Sub-filum : Vertebrata Sub-kelas : Teleostei

2.1.2. Morfologi Ikan Nila Genus Chiclidae mempunyai organ labyrinth berfungi sebagai pernafasan tambahan untuk mengatasi kondisi perairan berkadar oksigen rendah (Lagler et al, 1977). Berdasarkan jenis makanannya, ikan nila termasuk jenis ikan omnivora. Mereka memakan plankton, detritus, benthos seperti cacing dan larva serangga. (Suyanto, 1999). Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh nila antara lain adalah memiliki resistensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan, memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan dapat dipijahkan secara buatan (Suyanto, 1999). Jika sudah dewasa berat total ikan nila bisa mencapai ukuran 250-300 g dalam kurun waktu pemeliharan selama 3-4 bulan. 2.1.3. Reproduksi Ikan Nila Kedewasaan pertama dari ikan ini dicapai pada umur 5-6 bulan dengan jumlah telur yang dapat diproduksi antara 100-1500 butir/satu kali pemijahan, terganung kepada ukurannya. Induk yang berukuran kurang dari 100 g hanya mampu menghasilkan telur sebanyak 100 butir telur/ satu kali pemijahan, sedangkan yang berukuran antara 600-1000 g dapat menghasilkan telur antara 1000-1500 telur setiap kali memijah (Cholik, 2005). Pematangan kembali dapat terjadi selang 4-9 bulan dan

seekor induk betina dapat mengalami pematangan gonad selama hidupnya sebanyak 3-4 kali. Induk-induk nila yang sudah siap dipijahkan mempunyai ciri-ciri yang khusus. Induk betina nila yang matang gonad terlihat dari perutnya yang membesar, pergerakannya lamban. Perutnya terasa lembek bila diraba karena penuh dengan telur. Induk jantan yang siap memijah kulitnya berwarna lebih gelap dan bila dilakukan striping maka akan keluar cairan putih yang merupakan sperma (Hernowo dan Suyanto, 2007). Dijelaskan lebih lanjut bahwa penetasan telur (hatching rate) pada ikan nila yang mengalami pembuahan buatan berkisar antara 65-70%. 2.2. Perkembangan embrio Pada masa pengeraman atau inkubasi terjadi proses-proses embriologis seperti tahapan morula, blastula, grastula dan organogenesis hingga menetas. Setiap stadium proses embriogenesis tersebut memiliki ciri khas tersendiri (Effendie, 1997). Menurut Blaxter (1969) menyatakan bahwa tanda-tanda aktifitas embrio ikan terlihat dari seringkalinya pergerakan yang merupakan bagian terpenting dari penetasan. Penetasan merupakan proses akhir dari masa pengeraman sebagai hasil telah sempurnanya perkembangan embrio (Effendie 1997). Hal ini disebabkan oleh substansi enzim dan unsur kimia lain yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di daerah pharynx. Enzim ini dinamakan enzim chorionase, yang terdiri dari pseudokeratin, yang bersifat mereduksi chorion menjadi lunak. Sedangkan Blaxter (1969), berpendapat lain yaitu pelembutan chorion juga disebabkan oleh gerakan akibat peningkatan suhu, cahaya dan penurunan tekanan oksigen. Penetasan juga terjadi akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya dan pengurangan oksigen (Sutisna dan Sutarmanto, 1995). Penetasan berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (sekitar 3 detik) dan embrio bergerak terus agar dapat keluar dari cangkang. Umumnya embrio yang telah keluar dari cangkangnya masih memiliki kantung kuning telur yang dinamakan eleuteroembrio (Sumantadinata, 1981). Menurut Sutisna dan Sutarmanto (1995) penetasan biasanya tidak terjadi sekaligus pada seluruh telur melainkan bertahap sesuai dengan waktu pengeluaran telur. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 2-3 hari. Telur yang tidak terbuahi akan mati dan mudah dikenali karena kecerahannya hilang (Sumantadinata, 1981).

2.3. Poliploidisasi Pembentukan zigot merupakan hasil pembuahan dan proses penggabungan gamet jantan dan betina. Puncak dari pada proses pembuahan (karyogami) adalah penggabungan inti (nukleus), yaitu kromosom homolog yang dipecah pada fase meiosis (pada jantan dan betina) kemudian bergabung (Woynarovich dan Horvath, 1980). Manipulasi kromosom merupakan salah satu rekayasa genetika yang dilakukan pada waktu proses pembuahan, yakni dimulainya pembelahan sel secara mitosis dalam gonad betina dan jantan (oogenesis dan spermatogenesis). Pada saat ini kromosom yaitu 2n (diploid). Pada perkembangan telur, waktu meiosis I setengah bagian kromosom (1n) dikeluarkan berupa polar body I, peristiwa ini terjadi pada saat berlangsungnya pre-ovulasi. Oleh karena itu telur ikan yang diovulasikan adalah haploid (1n). Pada perkembangan sperma pembelahan meiosis I merupakan pembentukan spermatosit II yang selanjutnya melalui meiosis akan menjadi spermatozoa dengan kromosom 1n (haploid). Pada waktu spermatozoa memasuki telur melalui mikrofil, berlangsunglah pembelahan meiosis II pada telur. Pada meiosis II ini setengah bagian kromosom dilepas sebagai polar body II, yang tempatnya nanti akan digantikan oleh kromosom dari sprematozoa. Oleh karena itu telur yang telah dibuahi menjadi 2n (diploid) (Woynarovich dan Horvarth, 1980). Sumantadinata (1981) menyebutkan bahwa ikan yang pembuahannya terjadi diluar tubuh (external fertilization), manipulasi kromosom secara buatan dapat dilakukan pada saat gamet belum dibuahi, atau pada saat gamet telah dibuahi pada fase-fase tertentu selama proses pembentukan zigot. Poliploidisasi merupakan salah satu manipulasi kromosom untuk menghasilkan individu yang poliploid. Individu poliploid adalah individu yang sel somatiknya mempunyai tiga (triploid), empat (tetraploid), lima (pentaploid) set kromosom (Sumantadinata, 1981). Poliploidisasi buatan pada ikan dapat dilakukan dengan menggunakan dasar atau prinsip-prinsip ginogenesis buatan. Jadi aplikasi poliploidisasi buatan dilakukan setelah teori-teori ginogenesis buatan dipahami. Antara ginogenesis, perangsangan pembentukan diploid dan produksi organisme poliploid adalah fenomena yang saling berkaitan (Purdom, 1993).

2.4. Triploidisasi 2.4.1. Pembuatan Triploid Menurut Purdom (1993), pembuatan triploid dapat dilakukan dengan memberikan kejut (shock) pada telur yang dibuahi secara normal pada saat meiosis metafase II. Produksi ikan triploid relatif sama mudahnya dengan diploid normal. Viabilitas embrio, larva dan juvenilnya juga relatif sama dengan diploid normal. Diferensiasi seksual juga terjadi pada ikan triploid, tetapi perkembangan selanjutnya tidak normal sehingga mengakibatkan ikan triploid menjadi steril. Cassani dan Caton (1985), memperoleh benih triploid ikan Ctenopharyngodon idella Val., dengan melakukan kejut panas (40 C selama 1 menit setelah fertilisasi berlangsung 4,75 menit) dan juga dengan kejut dingin (5-7 C selama 25-30 menit setelah fertilisasi berlangsung 2,0 4,5 menit). Gervai et al (1980) mendapat benih triploid ikan mas (Cyprinus carpio L.) dengan melakukan pemberian kejut suhu dingin saja, yaitu 0 - 2 C selama 45 menit setelah fertilisasi berlangsung 40 menit. Sedangkan Henken et al (1987) memperoleh benih triploid ikan lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell) dengan perlakuan kejut suhu dingin yaitu 5 C selama 40 menit setelah fertilisasi berlangsung 3 menit. 2.4.2. Identifikasi Triploid Berbagai cara pendugaan terhadap perbedaan antara haploid dan diploid sudah berhasil dilakukan, karena perbedaan tersebut sudah dapat terdeteksi sejak perkembangan embrio. Untuk dapat mengadakan pendugaan terhadap poliploid tidak lebih mudah, namun sudah banyak cara yang pernah dilakukan. Menurut Cherfas et al (1994), cara-cara tersebut adalah : 1. Mengukur besarnya nukleus. 2. Menghitung kandungan DNA pada nukleus. 3. Menggunakan Coulters counter dengan alat Channelizer dan Flow Cytometer JCP-22. Penggunaan pengukuran besarnya nukleus sudah banyak dilakukan pada Amphibia (Purdom, 1993). Sedangkan Rustidja (1989) menghitung luas area nukleus dari sel epidermis larva Sturgeon (Acipencer sturio). Cara ini sulit diterapkan karena adanya berbagai variasi ukuran pada sel epidermis. Cara yang lebih tepat untuk mengidentifikasi poliploid adalah dengan pengukuran sel eritrosit. Hal yang penting diingat bahwa untuk studi eritrosit ini diperlukan ukuran organisme uji yang memadai sehingga diperoleh sample darah yang cukup.

Penghitungan kandungan DNA dalam nukleus dapat dilakukan dengan peralatan seperti Fluorescence Associated Cell Sorter (FACStar). Analisis kromosom sebagai pelengkap dapat juga dilakukan untuk ikan poliploid, kendalanya adalah karena kromosom ikan memiliki ukuran yang seragam kecuali pada ikan dari genus Diretmus (n=24). Jenis ikan yang tersebut terakhir memiliki kromosom raksasa (giant chromosome), kromosom normal (normal chromosome) dan kromosom mikro (micro/tiny chromosome). Menurut Johnstone (1985), alat Coulters counter dengan Channelizer dan Flow Cytometer ICP-22 dapat digunakan untuk mengidentifikasi diploid dan triploid. Tetapi akurasi masing-masing alat-alat tersebut berbeda untuk individu yang sama. Flow Cytometer mengukur ploidi dengan pendaran (fluorescent) dari DNA nukleus sedangkan Coulters counter mengukur sel eritrosit. Adanya perbedaan akurasi dari kedua alat tersebut disebabkan karena perbedaan bentuk dan volume sel sehingga mengakibatkan integritas sel dibawah pengaruh perubahan osmose lingkungan sel dan kondisi penyimpanan. 2.4.3. Karakteristik Triploid Jenis ikan triploid diharapkan dapat tumbuh dengan cepat dibandingkan dari jenis ikan normal (diploid). Ikan jenis triploid menjadi steril karena memiliki sejumlah perangkat kromosom yang berbeda, hal ini diduga karena adanya gangguan pada saat meiosis sehingga mengakibatkan kegagalan pada saat perkembangan gonad (Rustidja, 1989). Ikan jenis triploid memiliki penampakan yang berbeda dari diploid. Untuk jenis ikan Stickleback (Gasteropteus aculeatus) memiliki tubuh yang lebih pendek dan ekor yang lebih panjang dari pada jenis diploidnya. Selain penampakan dari luar tubuh yang berbeda, ikan triploid dan diploid juga memiliki perbedaan pada sel darahnya. Rougeot et al (2003) menyatakan bahwa ukuran sel darah merah benih triploid Perca fluviatilis ternyata lebih besar dari pada benih diploid. Oleh karena itu poliploidi dapat dibedakan dengan diploid dari ukuran sel darah merah.

III. METODE PELAKSANAAN

3.1. Materi Penelitian 3.1.1. Objek Objek penelitian ini adalah telur Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang diperoleh dari pemijahan secara buatan menggunakan hormon ovaprim dan larva Ikan Patin berumur 1 bulan . 3.1.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Induk nila betina matang gonad, Ikan nila jantan matang gonad, hormone ovaprim yang diprodusen oleh Aqua Lif-Syndel International Jnc , larutan Fisiologis (larutan 7,98 g NaCl dan 0,02 g NaHCO3 dalam 1 L akuades), larutan Giemsa 10 % (komponen aktif berupa molekul eosin Y dan biru metilin), alkohol 95 %, Kalium Permanganat, artemia, pakan buatan Pokphand dan cacing tubifex. 3.1.3. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : bak fiber bervolume 20 L, akuarium ukuran 40cm x 20cm x 20cm dengan volume air 1 L, timbangan analitik (0,0001 g), jarum suntik ukuran 1 mL, alat aerasi, pisau bedah, termometer, bulu ayam, water bath, stop watch, micrometer okuler model UYCP-12 (0,01mm), mikroskop Olympus optical CH20B1MF200, object glass. 3.2. Metoda Penelitian 3.2.1. Perlakuan Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan. Secara rinci rancangan perlakuan tersebut adalah : Perlakuan 1 Perlakuan 2 : Penetasan Telur tanpa pemberian kejut panas (Control). : Penetasan Telur dengan pemberian kejut suhu panas 36oC selama 2 menit setelah fertilisasi 4,5 menit. (Sukarti et al, 2006). Perlakuan 3 : Penetasan Telur dengan pemberian kejut suhu panas 36oC selama 3 menit setelah fertilisasi 4,5 menit. 3.2.2. Parameter Yang Diamati Peubah yang diamati adalah sebagai berikut : 1. Derajat tetas telur

n Derajat tetas telur = F x 100

n = Jumlah telur yang menetas F = Jumlah total telur yang ditetaskan 2. Fertilitas telur

Nf x100% Fertilitas telur = No

Nf = Jumlah telur yang dibuahi No = Jumlah total telur yang dibuahkan 3. Viabilitas larva-15 hari

Viabilitas larva-15 hari = 4.

LarvaMampuHidupHinggaHariKe 15 x100% LarvaSampel

Induksi ploidisasi (IP)

Jumlah Ikan Triploid x100% jumlah Ikan Sampel IP =

3.2.3. Pelaksanaan Penelitian 3.2.3.1. Persiapan Bak Pembuahan, Penetasan Telur dan Peralatan Kultur Bak pembuahan dan bak penetasan dicuci bersih pada air yang mengalir, didesinfektan dengan kalium permanganat (PK) selama 24 jam. Bak penetasan diisi dengan air dan diberi aerasi menggunakan aerator untuk suplai oksigen. 3.2.3.2. Pemijahan dan Stripping Induk Ikan Nila Induk ikan nila betina (berat 150-250 g) dan jantan (berat 100-200 g), masing-masing sebanyak 1 ekor dimasukkan ke bak pemijahan. Pemijahan dilakukan secara buatan dengan menggunakan hormon LHRH Analog (ovaprim berupa GTH-I dan GTH-II, diproduksi Aqua Lif-Syndel International Jnc). Induk betina disuntik larutan Ovaprim 0,3 mL dan induk jantan 0,2 mL, suntikan ini berguna untuk merangsang proses pemijahan. Telur didapatkan dengan melakukan stripping terhadap induk betina 12 jam setelah penyuntikan. Sperma ikan nila diperoleh dengan melakukan pembedahan untuk mengambil testisnya 12 jam setelah penyuntikan. Testis dipotong-potong dan digerus sehingga sperma keluar dari kantong sperma. Sperma ditambah larutan

fisiologis untuk mengencerkan sperma. Pembuahan buatan dilakukan dengan cara mencampurkan telur dan sperma dengan diaduk menggunakan bulu ayam. 3.2.3.3. Perlakuan Triploidisasi Perlakuan triploidisasi dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : Setelah mendapatkan sel telur dan sperma, keduanya direndam terlebih dahulu dengan menggunakan larutan fisiologis. Kemudian sperma dan ovum dicampur dalam mangkuk dan dikocok pelan menggunakan bulu ayam. Kemudian sebanyak 100 butir telur dimasukkan dalam seser yang diletakkan kedalam akuarium pertama sebagai perlakuan kontrol tanpa kejut suhu (perlakuan 1). Setelah 4,5 menit dari awal fertilisasi (pembuahan), lalu telur tersebut dimasukkan ke dalam waterbath yang telah di set suhu nya sebesar 36C dengan lama kejut sesuai perlakuan yakni 2 menit (perlakuan 2) dan 3 menit (perlakuan 3). Setelah itu, telur dipindahkan kedalam akuarium yang mempunyai suhu air yaitu 27C. Selanjutnya dipindahkan kedalam akuarium pemeliharaan yang telah diberi aerasi. Obyek telur dipelihara hingga menjadi larva atau benih dan siap diamati tingkat keberhasilannya. 3.2.3.4. Pemeliharaan Larva Pemeliharaan larva dilakukan dalam akuarium 40 cm x 20 cm x 20 cm yang diisi air 1 L. Kepadatan larva di akuarium pemeliharaan 20 ekor/L. Setelah kantung kuning telur habis terserap, pada umur 4 hari larva diberi makan artemia yang telah disaring dengan frekuensi tiga kali sehari sampai larva berumur 12 hari. Pada saat larva berumur 13 hari diberi pakan buatan Pokphand HI-Pro-Vite 781 dan cacing tubifex dengan frekuensi pemberian tiga kali sehari secara ad-libitum sampai larva berumur 45 hari. 3.2.3.5. Analisis Ploidisasi Analisis ploidisasi dilakukan dengan mengukur diameter sel darah merah dari preparat apus darah larva dengan pewarnaan giemsa. Pengambilan darah untuk preparat apus darah didapatkan dari pemotongan ekor larva yang berumur 45 hari. Setiap preparat darah diukur diameter sel darah merah nya dengan menggunakan mikrometer yang terdapat pada mikroskop. Pembuatan apus darah melalui berbagai tahapan sebagai berikut : darah yang diambil diteteskan ke dalam objek glass, kemudian menggunakan objek glass lain dilakukan ulas dengan sudut kemiringan 45 ke samping, setelah itu ditetesi dengan

alkohol 95% dan dikering-anginkan. Larutan giemsa 10% diteteskan pada objek glass dan ditunggu 20 menit. Kemudian preparat tersebut dibilas dengan akuades dan dikeringkan. 3.3. Analisis Data Data hasil pengamatan daya tetas, fertilitas dan viabilitas larva-15 hari yang berupa persentase ditransformasi data kedalam bentuk arc sin. Data yang sudah ditansformasi kemudian dianalisis menggunakan analisis keragaman dengan uji F (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan hasil yang didapatkan tidak mencapai target/tidak berhasil. Hal ini dikarenakan adanya permasalahan yang di hadapi, yaitu sulitnya mendapatkan induk ikan nila (Oreochromis niloticus) yang benar-benar matang gonad, disamping itu ikan nila juga merupakan ikan yang sulit untuk dipijahkan secara buatan sehingga setelah melakukan percobaan sebanyak 6 kali dengan jumlah 22 pasang ikan nila menunjukan hasil yang negatif atau tidak berhasil. Ketidakberhasilan penelitian banyak terjadi pada tahap pemijahan atau fertilisasi secara buatan. Hal ini mungkin terjadi karena beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Kondisi tempat atau lingkungan yang kurang sesuai dapat mengakibatkan ikan mengalami stress, sehingga pemberian hormone sebagai pemicu tidak berpengaruh secara signifikan yang mengakibatkan ikan tidak menghasilkan sel sperma maupun sel telur. Ikan nila juga merupakan ikan yang lebih mudah untuk dipijahkan secara alami. Ketidakberhasilan penelitian juga terjadi pada tahap pasca fertilisasi atau pasca pemberian kejut panas. Perlakuan dengan pemberian kejut panas cenderung menurunkan fertlitas telur. Hal ini sesuai dengan Lagler et al (1977), Telur periode awal perkembangannya sangat sensitif terhadap goncangan, kejut, dan perubahan ng menyebabkan zigot menjadi sangat lemah dan dapat mengakibatkan berhentinya proses perkembangan pembentukan stadia berikutnya sehingga menyebabkan kematian telur. Telur yang terbuahi sperma akan tampak transparan (jernih), sedangkan telur yang tidak terbuahi sperma akan tampak keruh. Telur yang tidak terbuahi segera kehilangan transparasinya dan menjadi keputih-putihan karena

struktur oolemanya tidak kompak lagi, sehingga yolk merembes ke dalam ruang previtelin dan akhirnya telur tersebut akan mati. Beamount (1994), menerangkan lebih lanjut bahwa Protein-protein sitoplasma yang terkena dampak suhu yang tinggi akan terkoagulasi sehingga

menghambat proses fertilisasi. Pendedahan telur dengan suhu tinggi dapat merusak protein-protein sitoplasma sehingga berpengaruh terhadap perkembangan telur (Purdom,1993). Keberhasilan embrio hingga penetasan dipengaruhi juga oleh faktor eksternal seperti oksigen dan kondisi tempat telur diinkubasi (Soesono, 1988). Menurut purdom (1993), telur-telur yang telah dikejut panas pada fase premitosis pertama menyebabkan kerusakan-kerusakan dan berpengaruh terhadap sintesis berikutnya. Hal ini diperkuat lagi oleh hasil penelitian Setiadi (2000), yang menyatakan proses pelipatan kromosom dapat terjadi bila pemberian kejut panas dilakukan pada saat yang tepat.

Gambar 1. Telur Ikan Nila yang mengalami kematian

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pemberian kejut panas suhu 36oC dengan berbeda lama penerapan pada ikan nila (Oreochromis niloticus) memberikan hasil yang negatif terhadap keberhasilan fertilitas ikan nila. 2. Penerapan kejut panas tidak efetif digunakan pada ikan nila sebagai salah satu sulosi dalam peningkatan kualitas dan mutu ikan nila. 5.2 Saran Penerapan teknik triploidisasi dengan kejut panas hendaknya dilakukan pada spesies ikan yang dapat dengan mudah dipijahkan secara buatan dan memungkinkan untuk diberi perlakuan efek kejut panas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Program Kreatifitas Mahasiswa yang berjudul Penentuan waktu awal penerapan kejut panas terhadap keberhasilan triploidisasi ikan nila. (Oreochromis niloticus) Terlaksananya penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini tidak lepas berkat doa, dorongan, dukungan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga segala kesulitan dan hambatan bagi penulis dapat teratasi dengan baik. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : Dra. Farida Nur Rachmawati, M.Si selaku sebagai pembimbing yang telah memberi petunjuk serta arahannya sehingga pisau yang tumpul ini dapat selalu tajam dalam penyusunan Proram Kreatifitas Mahasiswa ini. Ibu Farida Nur Rachmawati dan mas Kirno, selaku ketua loboratoium Fisiolgi hewan Fakultas Biologi terima kasih atas bantuannya selama penelitian. Kedua orang tua yang telah memberi dukungan moril doa yang tiada henti......Untuk bapak dan mama terimakasih buat doanya... Team four Muskentirr triploid,...Huffhhpenantian berabad-abad melaksanaan penelitian susah senang diaboratorium akhirnya larva yang di tunggu2 muncul juga yah.... Semua Yang sudah mau bantuin dan doain kita...matur nuwun...

DAFTAR PUSTAKA Beaumont, A. R. 1994. Genetics and evolution of aquatic organisme. Chapman and hall. London. P. 467-485. Bidwell, C. A., Chrisman, C. L., Libely, G. S. 1985. Poliploidy induced by heat shock in channel catfish. Aquaculture 51, 2532. Blaxter, 1969. Development of egg and larvae in Fish Fisiology. W.S. Hoar and Randall (eds) Vol. III. Reproduction adan Growth. Academic Press. New York. 178-253 p. Cassani, J. R., Caton, W. E. 1985. Induced triploidy in nila, Ctenopharyngodon idella Val. Aquaculture 46, 37-44. Cherfas, N. B., Gomelsky, B., Ben-Doom, N., Peretz, Y., Hulata, G. 1994. Assessment of triploid common carp (Cyprinus carpio L.) for culture. Aquaculture 127, 11-18. Don, J., Avitalion, R. R., 1988. Comparative study on the induction of triploidy in tilapias, using cold-and heat-shock techniques. J. Fish Biology. 32, 665-672. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka nusantara, Yogyakarta. Gervai, J., Peter, S., Nagy, A., Horvarth, L., Csanyi, V. 1980. Induced triploidy in carp, Cyprinus carpio. J. Fish Biol. 17, 667-671. Henken, A. M., Brunink, A. M., Richter, C. J. J. 1987. Differences in growth rate and feed utilization between diploid and triploid African catfish Clarias gariepinus Burchell. Aquaculture 63, 233-242. Hernowo, A., dan Suyanto, S. R. 2007. Pembenihan dan Pembesaran lele di pekarangan, sawah, dan longyam. Penebar Swadaya, Jakarta. Johnstone, R. 1985. Induction of triploidy in atlantic salmon by heat shock. Aquaculture, 49: 133-139. Komen, J. 1990. Clones of common carp (Cyprinus carpio L) New persepectives in fish research. PhD Thesis, Agricultural University Wageningen, Netherlands. Pp. 1-44 Lagler, K. E; J.E. Bardach and R.R. Miller. 1977. Ichtyology. John Wiley and Sonc Inc. New York. 129-170 p. Malison, J. A., Procarione, L. S., Held, J. A., Kayes, T. B., Amundson, C. H. 1993. The influence of triploidy and heat and hydrostatic pressure shocks on the growth and reproductive development of juvenile yellow perch (Perca flavescens). Aquaculture 116, 121 133.

Mukti, A. T. 2005. Perbedaan keberhasilan tingkat poliploidisasi ikan mas (Cyprinus carpio Linn.) melalui kejut panas. Berk. Penel. Hayati: 10, 133138. Mukti, A. T., Rustidja., Sumitro, S. B., dan Djati, M. S. 2001. Poliploidisasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Biosain, 1 (1): 111-123 Purdom, C. E. 1993. Genetics and fish breeding. Chapman dan hall, London Fish and Fisheries Series 8. Richter, C. J. J. dan Rustidja (1985) Pengantar Ilmu Reproduksi Ikan. Nuffic/ Unibraw/Luw/Fish, Malang. 83 hal. Rougeot, C., Minet, L., Prignon, C., Vanderplasschen, A., Derty, B., Pastoret, P. P., Melard, C. 2003. Induce triploidy by heat shock in eurasian perch, Perca fluviatilis. Aquatic Living Resources 16, 90-94 Rustidja. 1989. Artificial induced breeding and triploidy in the asian catfish (Clarias batrachus). Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80h. -----------. 1991. Aplikasi manipulasi kromosom pada program pembenihan ikan. Makalah dalam kongres ilmu pengetahuan nasional V, Jakarta. 23 hal. Saanin, H.1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta, Bandung. Setiadi, I. 2000. Perkembangan Telur Ikan Nilem (Osteochilus hasselti. C.V.) Yang Dikejutpanaskan Sebagai Upaya Pengadaan Ikan Nilem Triploid. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto Soesono, S. 1988. Dasar-dasar Perikanan Umum. CV Yasa guna, Jakarta. Sukarti, K., Djawad, I., Fujaya, Y. 2006. Pengaruh Lama Kejut Panas Terhadap Keberhasilan Tripolidisasi Ikan Lele (Clarias batrachus). Jurnal Sains & teknologi Vol. 6 No. 3 : 135-142. Sumantadinata, K. 1981. Pengembangan Ikan-ikan Peliharaan di Indonesia. Sastra Huday, Bogor. Sutisna, D. H. dan Sutarmanto, R. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius. Yogyakarta. Suyanto, S. R. 1999. Budi daya ikan nila. Penebar Swadaya, Jakarta. Thorgaard, G. H. 1983. Chromosome set manipulation and sex kontrol in fish. In fish physiology, volume IX, part B (Eds. W. S. Hoar, D. J. Randall dan E. M. Donaldson), pp. 405-434. Academic Press Inc, New York, USA. Woynarovich, E, and L. Hovarth. 1980. The Artificial Propagation Of Warm Water Fin Fishes : A manual for Extension. FAO. Rome. Italy. 183 p.