laporan skenario diskusi kelompok 3 fix

Upload: nurul-arsy-m

Post on 18-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

LAPORAN SKENARIO DISKUSI KELOMPOK 3

BLOK BIOETHICS & HEALTH LAW I(BLOK BHL I)SEMESTER II

Case of Mr. JB

Tutor: dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat,Sp.KF,Msi,Med

Kelompok II

ISTIANI DANU PURWANTIG1A009018PRASASTIE GITA W.G1A009023DANNIA RISKI ARIANIG1A009027DIAS ISNANTIG1A009034ALFIAN TAGAR A.P.G1A009064AKHMAD IKHSAN P. P.G1A009069ANDROMEDAG1A009074YANUAR FIRDAUSG1A009079KUNANGKUNANG P. BULANG1A009091FAWZIA MERDHIANAG1A009098NURUL ARSY M.G1A009120

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERANPURWOKERTO2010

SKENARIO DISKUSI KELOMPOK 3

Mr. JB adalah seorang pria berusia 52 tahun. Ia sudah menikah dan memiliki 2 anak berusia 12 dan 14 tahun. Ia dibawa ke rumah sakit seminggu yang lalu dengan trombosis akut pada arteri femoral kiri. Saat masuk RS, karena ia menolak tindakan invasif yang diusulkan oleh dokter, maka ia hanya diberi terapi heparin, streptokinase, dan obat-obat vasodilator. Terapi tersebut ternyata tidak membuahkan hasil dan terjadilah nekrosis di bagian distal tungkai kirinya. Ia dikonsulkan kepada dokter bedah dan disarankan untuk dilakukan amputasi pada tungkai kiri. Mr. JB menolak saran tersebut meskipun sudah diperingatkan akan risiko kematian bila tidak dilakukan amputasi. Istrinya meminta dokter agar tetap dilakukan amputasi meski tidak mendapat persetujuan pasien.

BAB ILATAR BELAKANG

Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Masing-masing pihak yaitu yang member pelayanan (medical providers) dan yang menerima pelayanan (medical receiversi) mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormat. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan Tindakan Medik (PTM) ini timbul. Artinya, disatu pihak dokter (tim dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan pertimbangan (mereka), tetapi dilain pihak pasien atau keluarga pasien mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik apa yang akan dipilihnya.Masalah yang muncul yaitu tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter akan sejalan dengan apa yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga pasien. Ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari segi lain yang tidak kalah pentingnya seperti keuangan, psikis, agama, pertimbangan keluarga dan lain-lain.

BAB IIPEMBAHASAN

Pertanyaan:

1. Permasalahan etik apa yang Anda lihat pada kasus tersebut?Permasalahan etik yang terjadi di dalam kasus ini adalah tentang persetujuan tindakan medik (PTM atau informed consent) yang dilakukan oleh pasien kepada dokternya, yaitu mengamputasi kaki Mr. JB. Dalam Permenkes No. 589 Tahun 1989 dijelaskan bahwa PTM ini adalah persetujuan yang diberikan pasien ataupun keluarganya atas dasar penjelasan tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Mr. JB menggunakan hak autonomy-nya untuk menolak tindakan medik yang akan dilakukan padanya. Jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter tidak sejalan dengan apa yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga pasien. Dokter ingin melakukan yang terbaik terhadap pasien (beneficence) dan mencegah prognosis yang lebih buruk (non-maleficence). Sedangkan pasien melihat dan mempertimbangkan dari segi lain seperti keuangan, psikis, sosial, dan lain-lain (justice).

2. Tindakan apakah yang sebaiknya dilakukan oleh dokter? Jelaskan alasan dan pertimbangannya?Tindakan yang seharusnya dilakukan oleh dokter tersebut adalah menjelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat memahami tindakan itu perlu dilakukan. Tetapi pasien dalam kasus ini menggunakan hak autonomy-nya yaitu menolak, meskipun keluarganya (istrinya) menyetujui prosedur amputasi ini. Adapun penolakan yang dilakukan Mr. JB ini bisa dibenarkan karena pasien mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan, yang disebut informed refusal.Sebaiknya dokter memberi waktu kepada pasien untuk diskusi dengan keluarga. Alternatif lain yakni merujuk pasien kepada psikiater untuk membicarakan manfaat(beneficence) dan resiko terhadap tindakan medik yang akan dilakukan (justice).Apabila Mr. JB tetap menolak, dokter tidak boleh memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan itu bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien (Amir, 1999). Dijelaskan pada Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA/88 pada pasal pertama yaitu manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak menentukan sepenuhnya apa yang hendak dilakukan tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri. Oleh karena itu, untuk keamanan di kemudian hari, sebaiknya dokter meminta pasien menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan. Pernyataan penolakan pasien ini dapat dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan demikian, apa yang terjadi di kemudian hari tidak menjadi tanggungjawab dari dokter lagi. Apabila dokter tetap melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien atau keluarganya, dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat ijin praktiknya, seperti yang tertulis pada Bab VI pada pasal ke 13 di Permenkes No. 585 Tahun 1989.

3. Menurut Anda apakah Mr. JB dapat dianggap kompeten untuk memberikan persetujuan/penolakan pada kasus tersebut?Menurut Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik pada Bab IV di pasal ke delapan Mr. JB dianggap kompeten karena :a. Cukup Umur umur Mr.JB 52 tahunb. Sudah menikah Mr. JB telah menikah dan memiliki 2 orang anakc. Sehat secara mental dalam kasus Mr. JB tidak gila dan Mr.JB masih dalam keadaan sadar( Amir, 1999).

Serta dijelaskan dalam Manual Persetujuan Tindakan Medik yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, seseorang dianggap kompeten membuat persetujuan apabila memiliki syarat:a. Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis.b. Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan.c. Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas.

4. Jika Anda adalah istri Mr. JB, apakah Anda akan bersikap sama? Jelaskan alasannya?Iya, saya akan bersikap sama yaitu meminta kepada dokter untuk mengamputasi kaki suami saya. Saya akan memberi motivasi bahwa tidak akan meninggalkannya. Selain itu, saya akan memberi penjelasan apabila tidak diamputasi akan berakibat fatal yaitu kematian. Serta memberikan gambaran bagaimana nasib kedepan bila tanpa suami, karena anak-anak pun masih kecil.

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Seorang dokter dalam mengambil keputusan harus mempertimbangkan four basic moral principles, yaitu autonomy, beneficence, nonmaleficence, dan justice.2. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.3. Pasien berhak mendapat informasi tentang penyakitnya dan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya dan dokter wajib memberikan informasi yang jelas sehingga pasien dapat mengambil keputusan dengan sadar (autonomy).4. Dokter semestinya melihat pasien sebagai individu yang utuh, melihat secara keseluruhan termasuk mempertimbangkan berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, agama, budaya, dan psikiatri.5. Etik dan budaya merupakan dua hal yang saling berhubungan dan selalu muncul dalam menjawab isu-isu etik.

B. SaranSeorang dokter sering dihadapkan pada sebuah masalah (dilema) untuk memutuskan apakah suatu tindakan medis akan dilakukan untuk pasiennya. Seringkali, dokter hanya memperhatikan prinsip autonomy dan beneficence-do no harm saja bahkan mungkin hanya memperhatikan dari sisi hukum (health law). Semestinya, keempat prinsip dasar moral yaitu autonomy, beneficence, nonmaleficence, dan justice ini semuanya menjadi pertimbangan-pertimbangan sehingga keputusan tersebut akan terasa lebih etis. DAFTAR PUSTAKA

Asai, Atsushi. 1996. Barriers to Informed Consent in Japan. Eubios Journal of Asian and International Bioethics, vol.6 : 160-2Asai, Atsushi. 1996. Clinical Ethical Discussion 2: Should a physician withdraw ventilation support from a patient with respiratory failure when the patient prefers not to undergo tracheotomy?. Eubios Journal of Asian and International Bioethics,vol.6 : 91-3Cendika, Rini. 2004.Rujukan Cepat Psikiatri.Jakarta : EGC.hal: 182Dudzinski, Denise M et al. 2006. Competent Patients Refusal of Nursing Care. Journal Article Competent Patients Refusal of Nursing Care,vol. 13: 608 21.Gross, M.L. 2005. Treating competent patients by force: the limits and lessons of Israels Patients Rights Act. The Journal of Medical Ethics,vol.31: 29 - 34.Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC.Samil, Ratna Suprapti. 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Utja, Adang Sudjana, dkk. 2006. Manual Persetujuan Tindakan Medik. Jakarta : Konsil Kedokteran Indonesia.Weinstein, James N et al. 2007. Informed Patient Choice: Patient-Centered Valuing Of Surgical Risks And Benefits. Health Affairs,vol. 26: 72630.