laporan pratikum dosis respon.docx
DESCRIPTION
farmakologiTRANSCRIPT
LAPORAN PRATIKUM FARMAKOLOGI II
DOSIS RESPON
Nama Kelompok 2 :
1. Citra Cahyana
2. Nentri Sepianti
3. Silvy Febry Andini
4. Sri Pitasari
5. Tri Yuliani
6. Tuti Hardiyanti
7. Yohana Ayu Wisma
8. Yuli Syafitri
9. Yuliandani
PROGRAM STUDI ILMU FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
YAYASAN HARAPAN IBU JAMBI
TAHUN AJARAN 2013/2014
Judul Pratikum : Dosis Respon
Tujuan Pratikum :
Mahasiswa akan memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk
memperoleh DE50 dan DL50
Prinsip :
Intensitas efek obat pada makhluk hidup lainnya meningkat jika dosis obat yang di
berikan kepada nya juga meningkat. Prinsip ini memungkinkan untuk menggambarkan
kurva efek obat sebagai fungsi dari dosis yang di berikan, atau menggambarkan kurva
dosis respon. Dari kurva demikian dapat di turunkan ED50, artinya dosis yang
memberikan efek yang di teliti pada 50% dari hewan percobaan yang di gunakan. Prinsip
sama dapat di guna kan untuk LD50 atau dosis yang menimbulkan kematian pada 50%
dari hewan percobaan yang di gunakan.
Untuk dapat menentukan secara teliti DE50 dan LD50 lazim nya di gunakan
berbagai informasi untuk memperoleh garis lurus. Salah satu transformasi ini
menggunakan transformasi log-probit, dalam hal ini dosis yang di gunakan di
transformasi menjadi logaritma dan presentase hewan yang memberikan respon di
transformasi menjadi nilai probit.
Teori
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,
mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya
membuat seseorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan.
(Ganiswara et. .al, 2007).
Dalam farmakologi terfokus pada dua subdisiplin, yaitu farmakodinamik dan
farmakokinetik. farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni proses absorpsi (A),
distribusi (D), metabolism (M), dan ekskresi (E). Farmakodinamik menyangkut pengaruh
obat terhadap sel hidup, organ atau makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan
dengan fisiologi, biokimia, dan patologi. Obat farmakodinamik bekerja meningkatkan
atau menghambat fungsi suatu organ (Ganiswara et. al., 2007).
Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat tersebut
dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui
penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia
dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah reseptor (Katzung, 1989).
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif (Ganiswara et. al.,
2007).
Kebanyakan obat diubah di hati dalam hati, kadang-kadang dalam ginjal dan lain-
lain. Kalau fungsi hati tidak baik maka obat yang biasanya diubah dalam hati tidak
mengalami peubahan atau hanya sebagian yang diubah. Hal tesebut menyebabkan efek
obat berlangsung lebih lama dan obat menjadi lebih toxic. (Lamidi, 1995).
Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung
dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis peningkatan respon menurun. Pada
akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada system ideal
atau system in vitro hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat digambarkan dengan
kurva hiperbolik.
Gambar potensi dan efektifitas (Widjojo et. al., 2009)
Keterangan :
Dosis kecil → efek besar = potensi besar dan sebaliknya
Obat berpotensi besar → kurve semakin miring dan sebaliknya
Obat berefektifitas besar → kurve semakin tinggi dan sebaliknya (Widjojo et. al., 2009)
Konsentrasi dan Respon Obat
Gambar hubungan antara konsentrasi obat dan respon obat (Widjojo et. al., 2009)
Gambar profil kinetik satu dosis (Widjojo et. al., 2009)
Gambar profil kinetik berbagai dosis (Widjojo et. al., 2009)
Perbedaan formulasi dengan kop (kadar obat)
Formulasi F1 ,F2 ,F3 berbeda satu sama lain
Availabilitas Farmasi F1 > F2 > F3 ;Availabilitas sistemik dapat sama (Widjojo et. al., 2009)
Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung
dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis peningkatan respon menurun. Pada akhirnya,
tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada system ideal atau system in
vitro hubungan antara konsentrasi obat dan efek oabat digambarkan dengan kurva hiperbolik
menurut persamaan sebagi berikut:
E= Emax +[D ]
KD+[ D ],K D=
K2
K1 = konstanta disosiasi kompleks obat reseptor
Jika K D = [D], maka : E = Emax+[ D ][ D ]+[ D ]
= 12
Emax
di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C, Emaks adalah respons maksimal yang
dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah konsentrasi obat yang menghasilkan 50% efek
maksimal.
Gambar korelasi potensi dan efektifitas (Widjojo et. al., 2009)
Hubungan antara konsentrasi dan efek obat (panel A) atau obat yang terikat reseptor
(panel B). Konsentrasi obat yang efeknya separuh maksimum disebut EC50 dan konsentrasi obat
yang okupansi reseptornya separuh maksimum disebut KD. (Ganiswara et. al., 2007).
Hubungan dosis dan respons bertingkat
1.Efikasi (efficacy). Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi
tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang
diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja seluler
2.Potensi. Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran berapa bannyak
obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah dosis yang
dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat tersebut.Potensi paling sering
dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50% dari respon maksimal (ED50). Obat
dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan ED50 yang lebih besar.
3.Slope kurva dosis-respons. Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke obat
lainnya. Suatu slope yang curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil
menghasilkan suatu perubahan yang besar (Katzung, 1989).
Suatu kurva dari tiga obat yang berbeda yang menunjukkan potensi farmakologis yang
berbeda dan efikasi maksimal yang berbeda. (Aulia, 2009).
Obat A lebih poten dibanding obat B, tetapi keduanya memiliki efikasi yang yang sama,
sedangkan obat C memperlihatkan potensi dan efikasi yang lebih rendah daripada obat A dan B.
(Katzung, 1989).
Gambar hubungan dosis dan efek (Widjojo et. al., 2009)
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu (ED50) disebut juga dosis terapi
median. Dosis letal median adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu ,
sedangkan TD50 adalah dosis toksik 50%.(Ganiswara et. al., 2007).
Penentuan DL50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan bahan yang akan
digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang menyebabkan kematian 50% pada
hewan uji setelah pemberian dosis tunggal. DL50 bahan obat mutlak harus ditentukan karena
nilai ini digunakan dalam penilaian rasio manfaat (khasiat) dan daya racun yang dinyatakan
sebagai indeks terapi obat (DL50/ DE50). Makin besar indeks terapi, makin aman obat tersebut
jika digunakan (Ganiswara et. al., 2007).
Ada berbagai metode perhitungan DL50 yang umum digunakan antara lain metode
Miller-Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode Miller-Tainter
digunakan kertas grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang memiliki skala logaritmik
sebagai absis dan skala probit (skala ini tidak linier) sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik
antara persen mortalitas terhadap logaritma dosis. Metode Reed-Muench didasarkan pada nilai
kumulatif jumlah hewan yang hidup dan jumlah hewan yang mati. Diasumsikan bahwa hewan
yang mati dengan dosis tertentu akan mati dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup
akan hidup dengan dosis yang lebih kecil. Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan
interval jumlah kematian dalam masing-masing kelompok hewan dan selisih dosis pada interval
yang sama (Soemardji et. al., 2009).
Indeks terapeutik
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan toksisitas dengan
dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif dan diinginkan secara klinik dalam suatu
populasi individu(Katzung, 1989).
Indeks terapeutik = dosis toksik/dosis efektif(Katzung, 1989).
Indeks terapeutik bisa juga dituliskan sebagai berikut:
Indeks terapeutik = TD50ED50
atau LD 50ED50
(Ganiswara et. al., 2007).
Gambar indeks terapi (IT) (Widjojo et. al., 2009)
Jadi indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat, karena nilai yang besar
menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas/lebar diantara dosis-dosis yang efektif dan
dosis-dosis yang toksik (Katzung, 1989).
Indeks terapeutik ditentukan dengan mengukur frekuensi respons yang diinginkan dan
respons toksik pada berbagai dosis obat.Pada gambar berikut diperlihatkan indeks terapeutik
yang berbeda dari dua jenis obat (Katzung, 1989).
Warafarin, suatu obat dengan indeks terapeutik yang kecil. Pada saat dosis warfarin
ditingkatkan , terjadi suatu respon toksik, yaitu kadar anti koagulan yang tinggi yang
menyebabkan perdarahan. Variasi respon penderita mudah terjadi dengan obat yang mempunyai
indeks terapeutik yang sempit, karena konsentrasi efektif hamper sama dengan konsentrasi
toksik(Aulia, 2009).
Suatu obat dengan indeks terapeutik yang besar. Penisilin aman diberikan dalam dosis tinggi
jauh melebihi dosis minimal yang dibutuhkan untuk mendapatkan respon yang
diinginkan(Katzung, 1989).
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik
pada seorang pasienpun, oleh karena itu, (Ganiswara et. al., 2007).Pemberian Obat :
Sistemik : memasukkan obat kedalam sirkulasi darah
- suntikan : IM, IV, IC, SC , IA, IT
- oral : telan,isap,buccal,sublingual
- endus dan inhalasi
- “anus” (supositoria)
Transdermal : nitrogliserin (Nitodisc),tempel di kulit
Topikal : obat bekerja lokal tanpa masuk kedalam
sirkulasi sistemik : kulit, mata, telinga,
vagina, lambung, “anus” dll.
Variable : bioavailabilitas obat dan kondisi pasien (Widjojo et. al., 2009).
Alat dan Bahan
Alat: Alat suntik 1 ml, jarum suntik No.1,timbangan hewan
Hewan percobaan: mencit, bobot tubuh rata-rata 20-30 g
Obat yang di gunakan: Tiopental Natrium Larutan 0,35% dan 0,70%
Dosis yang di berikan: 35 mg/Kg i.p
Prosedur
Pershift di bagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok menggunakan 10 ekor
mencit
Tandai masing-masing mencit hingga mudah di kenali
Dosis yang di gunakan lazim nya meningkat dengan faktor perkalian2. Dosis yang di
berikan sebagai berikut:
Kelompok
Kelompok Dosis (mg/kg)
I 2,19
II 4,375
III 8,75
IV 17,5
V 35,0
VI 70,0
VII 140,0
VIII 280,0
IX 560,0
X
Kelompok X yang juga terdiri dari 10 ekor mencit berfungsi sebagai control dan di
suntikan dengan NaCL fisiologis
Pengamatan
Amati dan catat untuk setiap jumlah mencit yang kehilangan “righting reflex” dan
nyatakan angka ini dalam persen. Untuk seluruh kelas akan dapat di catat