laporan praktikum pencemaran acara toksisitas

Upload: juan-samuel-simbolon

Post on 14-Jan-2016

124 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Dari FKT UGM mata kuliah Praktikum Pencemaran Lingkungan tahun 2015.

TRANSCRIPT

  • ACARA IV

    TOKSISITAS

    I. TUJUAN

    1. Mengetahui kadar toksisitas suatu senyawa.

    2. Menghitung kadar batas aman suatu senyawa.

    II. CARA KERJA

    1. 4 liter air dan 4 ekor ikan dimasukkan ke dalam ember percobaan.

    2. Senyawa (detergen, pestisida, Pb, Cu, Minyak Goreng, desinfektan) dimasukkan ke dalam

    masing-masing ember dengan kadar yang berbeda.

    3. Kondisi ikan dipantau selama 96 jam (4 hari), setiap 24 jam diamati.

    4. Grafik toksisitas dibuat.

    5. LC50-96 dan LC50-48 dihitung.

  • III. HASIL PENGAMATAN

    A. Pengamatan Parameter Fisik-Kimia Air dan Kematian Ikan pada Berbagai Senyawa

    dan Kadar Senyawa

    pH DO Suhu salinitas

    1 8.2 14.4 28 0.02 0

    2 8.2 10.3 27 0.03 0

    3 6 11.5 27 0.02 1

    4 4.1 7.4 26.5 0.02 1

    1 8.2 15 30 0.04 0

    2 10.2 14.6 27 0.03 4

    3 4

    4 4

    1 8.2 16.5 28 0.03 0

    2 8.6 10.5 28 0.03 4

    3 4

    4 4

    1 8.2 18 29 0.06 0

    2 8.1 17.5 26 0.05 0

    3 6.6 8.6 26 0.02 1

    4 6.6 13.7 27 0.02 1

    1 8.1 16.5 29 0.05 0

    2 8.2 15.9 27 0.02 0

    3 7.5 6.2 27 0.02 0

    4 6.9 10.5 27 0.02 3

    1 8.2 12.5 27.5 0.06 0

    2 8 10 27 0.04 0

    3 4.4 6.4 26 0.02 0

    4 2.6 7.3 26 0.02 1

    1 8.2 13.6 28 0.03 0

    2 8.2 11.8 27 0.03 0

    3 3.5 4.4 26 0.02 2

    4 5.7 6.2 26 0.02 3

    Control

    Cu 10mg/L

    Cu 2mg/L

    Pb 20mg/L

    Pb 0.01mg/L

    Pestisida 50mg/L

    Pestisida 0.3mg/L

    Bahan Pencemar hari ke-Parameter Jumlah ikan

    mati

    1 8.1 12.5 29 0.05 0

    2 8.2 7.1 27 0.03 0

    3 7.5 6.5 26 0.02 0

    4 6 6.4 25 0.02 0

    1 8.2 14 29 0.06 0

    2 8.2 8.4 27 0.03 0

    3 6.7 7.5 27 0.02 0

    4 5.3 6.5 26 0.02 3

    1 8.2 18.1 29 0.02 0

    2 8 17 27 0.03 1

    3 7.7 13.8 27 0.02 1

    4 7.9 12.6 28 0.02 3

    1 8.2 15.2 28.5 0.02 0

    2 7.5 13.8 28 0.04 4

    3 4

    4 4

    Minyak goreng 1mg/L

    Desinfektan 50mg/L

    Desinfektan 0.7mg/L

    minyak goreng 10mg/L

  • 1 8.2 1.6 28 0.08 0

    2 8.1 11.3 27 0.03 0

    3 6.7 5.1 26 0.03 1

    4 1

    1 8.2 1.6 28 0.07 0

    2 8.1 9 28 0.04 0

    3 7 8.8 26 0.02 4

    4 6.5 4.8 26 0.01 4

    Detergen 2.5mg/L

    Detergen 0.05mg/L

    B. Grafik Perubahan Parameter Fisik-Kimia Air

  • C. Grafik LC50-48 dan LC50-96 Berbagai Senyawa Toksik

  • IV. PEMBAHASAN

    Air merupakan salah satu sumber kehidupan bagi umat manusia, sehingga apabila air telah

    tercemar maka kehidupan makhluk hidup akan terganggu (Wardhana, 1999). Pencemaran air

    dapat terjadi akibat masuknya atau dimasukkannya bahan pencemar dari berbagai kegiatan

    sehingga menyebabkan kualitas air dapat menurun dan dapat merubah struktur komunitas

    organisme akuatik yang hidup (Affandi, 1999). Organisme akuatik yang terkena bahan

    pencemar, yang sebagian besar adalah ikan yang biasa dikonsumsi oleh manusia, dapat

    meracuni manusia yang mengonsumsinya. Pada kadar tertentu, bahan pencemar tersebut tidak

    mengganggu kesehatan manusia, namun apabila terjadi penumpukan bahan pencemar dalam

    tubuh hingga melewati batas kadar aman, dapat menjadi bersifat racun bagi kesehatan manusia.

    Acara praktikum ini membahas mengenai toksisitas. Toksisitas dari suatu senyawa secara

    umum dapat diartikan sebagai potensi dari suatu senyawa kimia untuk dapat menyebabkan

    cedera ketika senyawa tersebut mengenai atau masuk ke dalam tubuh manusia (Poedjirahajoe,

    dkk., 2015). Yang menjadi perhatian utama dalam toksisitas adalah kuantitas atau dosis

    senyawa tersebut. Ukuran untuk dosis adalah ppm (part per million), dimana 1 ppm = 1 mg/L.

    Uji toksisitas dalam praktikum ini tidak dilakukan terhadap manusia, namun terhadap makhluk

    hidup lain, yaitu ikan. Hal-hal yang harus diketahui dalam melaksanakan percobaan tentang

    toksisitas, yaitu:

    Ukuran ikan yang paling baik, mempunyai panjang lebih dari 2 cm

    Panjang ikan yang paling panjang tidak boleh dua kalinya panjang ikan terpendek

    Jumlah ikan harus genap

    Tiap ikan yang beratnya 0,89 gram (panjang 2 cm), air yang dipakai adalah 1 liter.

    Ikan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Carassius auratus. Pemilihan jenis ini sebagai

    objek percobaan toksisitas dikarenakan beberapa alasan, seperti mudah untuk didapatkan,

    merupakan salah satu ikan yang dapat dikonsumsi di Cina (Ji, et. al., 2012), dan merupakan

    spesies yang sensitif terhadap perubahan lingkungan (Zhang, et. al., 2004; Lu, et. al., 2009

    dalam Lu, et. al., 2010). Pemilihan ikan ini sesuai dengan syarat dalam uji toksisitas menurut

    Price (1879), yaitu:

  • 1. Organisme harus sensitif terhadap material beracun dan perubahan lingkungan

    2. Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak

    3. Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun

    nasional

    4. Mudah dipelihara dalam laboratorium

    5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit

    6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati

    Menurut Afriyanto (2008), senyawa beracun dapat disebut sebagai racun akut dan racun

    kronis, yaitu:

    a. Racun akut

    Racun akut kebanyakan ditimbulkan oleh bahan-bahan racun yang larut air dan dapat

    menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam tubuh jasad hidup.

    Contoh yang paling nyata dari racun akut adalah Baygon yang terdiri dari senyawa

    organofosfat (insektisida atau racun serangga) yang seringkali disalahgunakan untuk

    meracuni manusia, yang efeknya telah terlihat hanya beberapa menit setelah racun masuk ke

    dalam tubuh. Walaupun semua racun akut ini dapat menyebabkan gejala sakit atau kematian

    hanya dalam waktu beberapa saat setelah masuk ke dalam tubuh, namun sifatnya yang sangat

    mudah dirombak oleh suhu yang tinggi, pencucian oleh air hujan dan sungai serta faktor-

    faktor fisik dan biologis lainnya menyebabkan racun ini tidak memegang peranan penting

    dalam pencemaran lingkungan.

    b. Racun kronis

    Racun kronis menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang relatif lama karena

    kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang terkandung dalam tubuh. Racun

    ini juga apabila mencemari lingkungan (air, tanah) akan meninggalkan residu yang sangat

    sulit untuk dirombak atau dirubah menjadi zat yang tidak beracun, karena kuatnya ikatan

    kimianya.

    Dalam praktikum ini dilakukan pengujian toksisitas dari pestisida dengan kadar 0,3 mg/L

    dan 50 mg/L, Pb dengan kadar 0,01 mg/L dan 20 mg/L, Cu dengan kadar 2 mg/L dan 10 mg/L,

    minyak goreng (bekas pakai) dengan kadar 1 mg/L dan 10 mg/L, desinfektan dengan kadar 0,7

    mg/L dan 50 mg/L, dan detergen dengan kadar 0,05 mg/L dan 2,5 mg/L. Pengujian dilakukan

  • dengan bahan-bahan tersebut dikarenakan kehadiran bahan tersebut di sungai pada umumnya

    sebagai bahan pencemar. Pestisida merupakan bahan pencemar yang berasal dari kegiatan

    pertanian untuk membasmi hama, Pb dan Cu merupakan logam berat yang berasal dari kegiatan

    industri, minyak goreng dan detergen yang merupakan bahan pencemar yang berasal dari

    kegiatan rumah tangga, serta desinfektan yang biasa dipakai untuk kegiatan sanitasi di rumah

    sakit maupun rumah tangga. Pengamatan dilakukan terhadap parameter fisik kimia air seperti

    DO, suhu, pH, dan salinitas, serta jumlah ikan yang mati. Jumlah ikan yang mati digunakan

    untuk menentukan nilai Lethal Concentration (LC). Batas toksisitas diukur dalam ukuran LC50,

    yang menyatakan ukuran dosis dalam miligram per kilogram berat badan, artinya dalam dosis

    yang dinyatakan oleh LC50, maka akibat fatalnya adalah 50% dari populitas akan mengalami

    kematian jika terkena senyawa yang bersifat racun tersebut (Poedjirahajoe, 2015). Penentuan

    LC50 dilakukan pada LC50-48 dan LC50-96. Pada LC50-48 dilakukan pada hari kedua pengamatan

    (48 jam), sedangkan LC50-96 diketahui pada hari keempat pengamatan (96 jam). LC50-48

    menyatakan konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan 50% dari populitas dalam jangka

    waktu 48 jam, sedangkan LC50-96 menyatakan konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan

    50% dari populitas dalam jangka waktu 96 jam. Waktu 48 jam digunakan untuk organisme yang

    memiliki daur hidup yang singkat, sementara waktu 96 jam digunakan untuk organisme seperti

    ikan atau makroinvertebrata (Dhahiyat, 2012). Tetapi, dalam praktikum ini, waktu tersebut

    dipilih karena praktikum yang dilakukan merupakan praktikum yang memiliki keterbatasan

    waktu, baik dalam pengambilan data maupun pelaporannya. Selain itu, bahan pencemar

    membutuhkan waktu untuk memunculkan toksisitas terhadap makhluk hidup yang terkena.

    Berikut di bawah ini merupakan pemaparan dari setiap pengamatan, baik kontrol maupun

    bahan pencemar pada kadar senyawa tertentu.

    a. Kontrol

    Pada pengamatan terhadap kontrol, terdapat suatu hal yang seharusnya tidak

    ditemukan, yaitu kematian seekor ikan pada hari ke-3. Carassius auratus merupakan spesies

    yang mampu hidup pada perairan yang memiliki pH (toleran) 4,5 10,5 dengan pH

    preferensi pada 5,5 7,0, dengan fluktuasi suhu dalam rentang 0 41 oC (Nico, et. al.,

    2015). Berdasarkan fakta tersebut, terdapat beberapa kemungkinan yang dapat diambil.

    Kontrol merupakan objek yang diperlakukan sesuai dengan kondisi perairan yang sehat pada

    umumnya, yakni terkena sinar matahari. Kontrol yang digunakan dalam praktikum ini

    diletakkan tak menentu, pada daerah yang kurang sinar matahari dan pada daerah yang

  • cukup sinar matahari dengan jangka waktu yang tidak jelas. Hal ini dapat menghambat

    perkembangan mikroorganisme di dalamnya, yaitu plankton yang menjadi pakan bagi ikan

    tersebut. Plankton, terutama fitoplankton, merupakan mikroorganisme yang dapat

    memproduksi oksigen terlarut (DO) dalam air. Apabila tidak terkena sinar matahari yang

    cukup, maka fitoplankton tidak dapat melakukan produktivitas primer sebagaimana

    mestinya. Kadar DO hasil pengamatan membuktikan hal tersebut. DO yang naik dan turun

    menunjukkan bahwa kontrol terkena sinar matahari pada jangka waktu yang tak menentu dan

    pada waktu yang tak menentu pula, dimana seharusnya kontrol memiliki fluktuasi yang tidak

    berbeda jauh antara satu hari dan hari lainnya. Penyebab lain yang mungkin terjadi adalah

    kesehatan ikan yang tidak seragam antara satu dan lainnya. Apabila ikan tersebut sehat, maka

    tidak akan mati sepanjang pengamatan berlangsung. Tidak dilakukannya pengecekan

    kesehatan ikan dikarenakan keterbatasan waktu dan alat.

    b. Pestisida

    Pestisida adalah zat yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama.

    Selain digunakan untuk kegiatan pertanian maupun perkebunan, pestisida juga digunakan

    dalam kegiatan rumah tangga, seperti untuk membunuh nyamuk maupun lalat, walaupun

    pemakaiannya tidak seintensif apabila dalam kegiatan pertanian maupun perkebunan. WHO

    memperkirakan setidaknya setiap tahunnya terjadi 25 juta kasus keracunan pestisida (WHO,

    2007 dalam Raini, 2007). Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (dermal),

    pernafasan (inhalasi) atau mulut (oral). Pestisida akan segera diabsorpsi jika kontak melalui

    kulit atau mata. Absorpsi ini akan terus berlangsung selama pestisida masih ada pada kulit.

    Kecepatan absorpsi berbeda pada tiap bagian tubuh. Perpindahan residu pestisida dan suatu

    bagian tubuh ke bagian lain sangat mudah. Jika hal ini terjadi maka akan menambah potensi

    keracunan. Residu dapat pindah dari tangan ke dahi yang berkeringat atau daerah genital.

    Pada daerah ini kecepatan absorpsi sangat tinggi sehingga dapat lebih berbahaya dari pada

    tertelan. Paparan melalui oral dapat berakibat serius, luka berat atau bahkan kematian jika

    tertelan. Pestisida dapat tertelan karena kecelakaan, kelalaian atau dengan sengaja (Raini,

    2007).

    Pada praktikum ini, hasil yang didapatkan adalah LC50-48 adalah 0,15 mg/L,

    sedangkan LC50-96 adalah sebesar 0,1 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sedikit

    kadar yang terpapar pada ikan tersebut dalam jangka waktu yang semakin lama, dapat

  • menimbulkan kematian pada 50% populitas ikan tersebut. Oleh karena itu, pestisida

    termasuk ke dalam racun akut (Afriyanto, 2008).

    c. Pb dan Cu

    Pb dan Cu merupakan logam berat pencemar lingkungan perairan yang berasal dari

    kegiatan industri yang terdapat di sekitar perairan tersebut. Pada praktikum ini, digunakan

    Pb dengan kadar 0,01 mg/L dan 20 mg/L serta Cu dengan kadar 2 mg/L dan 10 mg/L. Hasil

    pengolahan data hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk Pb, LC50-48 tidak ditemukan

    karena pada kadar tersebut baik 0,01 mg/L dan 20 mg/L masih bisa ditoleransi dalam jangka

    waktu pemaparan 48 jam, sedangkan LC50-96 adalah 10,005 mg/L. Cu pun memiliki hasil

    yang serupa dengan Pb. LC50-48 tidak ditemukan pada Cu, sedangkan LC50-96 adalah sebesar

    6 mg/L. Pb dan Cu termasuk dalam racun akut.

    Cu termasuk kedalam kelompok logam esensial, di mana dalam kadar yang rendah

    dibutuhkan oleh organisme sebagai koenzim dalam proses metabolisme tubuh, sifat

    racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Biota perairan sangat peka terhadap

    kelebihan Cu dalam badan perairan di mana ia hidup. Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut

    sebesar 0,01 ppm dapat mengakibatkan kematian fitoplankton. Kematian tersebut

    disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel

    fitoplankton. Jenis-jenis yang termasuk dalam keluarga Crustasea akan mengalami kematian

    dalam tenggang waktu 96 jam, bila konsentrasi Cu berada dalam kisaran 0.17-100 ppm.

    Dalam tenggang waktu yang sama, biota yang tergolong ke dalam keluarga moluska akan

    mengalami kematian bila kadar Cu yang terlarut dalam badan perairan di mana biota

    tersebut hidup berkisar antara 0.16-0.5 ppm, dan kadar Cu sebesar 2.5-3.0 ppm dalam badan

    perairan telah dapat membunuh ikan-ikan (Bryan dalam Lestari dan Edward, 2004).

    Pb bersifat toksis terhadap biota laut, kadar Pb sebesar 0.1 0.2 ppm telah dapat

    menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu, dan pada kadar 188 ppm dapat membunuh

    ikan-ikan. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh diketahui bahwa biota-biota

    perairan seperti crustacea akan mengalami kematian setelah 245 jam, bila pada badan

    perairan di mana biota itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2.75-49 ppm. Sedangkan biota

    perairan lainnya, yang dikelompokkan dalam golongan insecta akan mengalami kematian

    dalam rentang waktu yang lebih panjang yaitu antara 168-336 jam, bila pada badan perairan

    tempat hidupnya terlarut 3.5-64 ppm Pb (Lestari dan Edward, 2004). Menurut Yulaipi dan

    Aunurohim (2013), semakin besar konsentrasi dan semakin lama paparan akan

  • menyebabkan konsentrasi timbal (Pb) dalam daging ikan Nila meningkat. Selain itu, dari

    penelitian tersebut, semakin besar konsentrasi timbal (Pb) pada air dan semakin lama

    paparan akan menurunkan laju pertumbuhan walaupun tidak terkait oleh bioakumulasi Pb

    dalam daging ikan tersebut.

    d. Minyak Goreng (bekas pakai)

    Minyak Goreng (bekas pakai atau biasa disebut minyak jelantah) merupakan bahan

    pencemar yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan industri. Minyak tersebut biasanya

    langsung dibuang dan tidak dipakai lagi. Apabila dikonsumsi kembali, dapat mengakibatkan

    penyakit bagi manusia, diantaranya kanker dan penyempitan pembuluh darah. Hal ini

    disebabkan asam lemak tak jenuh bersifat mudah mengikat oksigen dalam darah. Minyak

    goreng bekas pakai yang dibuang ke lingkungan perairan akan mencemari perairan tersebut

    dengan turunnya kadar COD dan BOD dan dapat menimbulkan bau yang busuk jika

    dibuang di tempat terbuka yang disebabkan degradasi secara biologis (Djaeni dalam

    Rahmawati, 2008). Dari hasil analisis pengamatan toksisitas, tidak ditemukan LC50-48 untuk

    minyak goreng (bekas pakai) sementara LC50-96 untuk minyak goreng (bekas pakai) adalah 7

    mg/L.

    e. Desinfektan

    Desinfektan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mencegah terjadinya

    infeksi dengan membunuh jasad renik (bakterisid), terutama pada benda mati. Proses

    desinfeksi dapat menghilangkan 60% - 90% jasad renik. Desinfektan digunakan secara luas

    untuk sanitasi baik di rumah tangga, laboratorium, dan rumah sakit (Shaffer, 1965 dalam

    Marbun, 2014; Larson, 2013 dalam Marbun, 2014). Desinfektan dapat menambah kadar

    fenol apabila dimasukkan ke dalam perairan tersebut karena terdapat desinfektan yang

    memiliki fenol sebagai bahan utamanya. Desinfektan lainnya yang biasa digunakan di

    rumah tangga adalah sabun. Berdasarkan analisis hasil pengamatan toksisitas desinfektan

    terhadap Cassiatus auratus yang digunakan dalam praktikum ini, LC50-48 adalah 17,1333

    mg/L dan LC50-96 adalah sebesar 0,35 mg/L. Dari hasil tersebut, bahwa desinfektan dapat

    mematikan 50% dari populitas dalam jangka waktu kurang dari 48 jam dan 96 jam dengan

    kadar tertentu, maka termasuk dalam racun akut.

  • f. Detergen

    Detergen merupakan salah satu bahan pencemar yang berasal dari kegiatan rumah

    tangga. Detergen digunakan dalam mencuci pakaian. Semakin padat suatu pemukiman yang

    berada di sekitar perairan, maka terdapat kemungkinan bahwa semakin banyak pula

    detergen yang digunakan dan dapat mencemari perairan tersebut apabila detergen hasil dari

    kegiatan rumah tangga dibuang langsung ke perairan tanpa adanya mekanisme tertentu yang

    dapat mengurangi sifat pencemar dari detergen tersebut. Detergen dengan konsentrasi

    tertentu dapat menurunkan nilai pH, walaupun penurunan yang dihasilkan tidak jauh

    berbeda. Hal ini diduga disebabkan oleh terbentuknya asam lemak bebas dan senyawa

    sulfonat dari hidrolisis deterjen (Halang, 2004). Pada praktikum ini, penurunan pH yang ada

    tidak terlihat, hal ini mungkin disebabkan oleh pengukuran yang kurang tepat, seperti durasi

    dalam menentukan nilai pH yang tidak seragam setiap kali dilakukan pengamatan. Dari

    hasil pengamatan dan pengolahannya, didapatkan LC50-96 adalah 0,8667 mg/L sedangkan

    tidak ditemukan LC50-48 untuk senyawa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kadar

    0,8667 mg/L dapat mematikan 50% dari populitas ikan dalam jangka waktu 96 jam. Oleh

    karena itu, detergen termasuk ke dalam racun akut. Definisi racun akut menurut

    Mangkoediharjo (1999 dalam Halang, 2004) adalah racun yang dapat mematikan populitas

    tertentu dalam jangka waktu kurang dari 14 hari.

    V. KESIMPULAN

    1. Kadar toksisitas dari:

    a. Pestisida: LC50-48 adalah 0,15 mg/L dan LC50-96 adalah sebesar 0,1 mg/L.

    b. Pb: LC50-96 adalah 10,005 mg/L sedangkan tidak ditemukan LC50-48 untuk senyawa

    tersebut.

    c. Cu: LC50-96 adalah 6 mg/L sedangkan tidak ditemukan LC50-48 untuk senyawa tersebut.

    d. Minyak Goreng (bekas pakai): LC50-96 adalah 7 mg/L sedangkan tidak ditemukan LC50-

    48 untuk senyawa tersebut.

    e. Desinfektan: LC50-48 adalah 17,1333 mg/L dan LC50-96 adalah sebesar 0,35 mg/L.

    f. Detergen: LC50-96 adalah 0,8667 mg/L sedangkan tidak ditemukan LC50-48 untuk

    senyawa tersebut.

  • 2. Kadar batas aman senyawa tersebut di atas adalah di bawah dari kadar LC50-48 masing-

    masing senyawa, terkecuali untuk senyawa Pb, Cu, Minyak Goreng (bekas pakai), dan

    Detergen, dimana untuk senyawa tersebut kadar batas amannya adalah di bawah dari kadar

    LC50-96.

    DAFTAR PUSTAKA

    Affandi, 1976. Studi Penentuan Kualitas Lingkungan Perairan dan Biotik. Laporan Ekologi DAS

    Citarum PPL IPB dan Proyek Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup.

    Afriyanto. 2008. Kajian Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi

    Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Program Pascasarjana Magister Kesehatan.

    Universitas Diponegoro. Semarang.

    Dhahiyat, Y. 2012. Uji Toksisitas Akut LC-50 dan Khronis terhadap

    Daphnia carinata King. Diakses dan diunduh dari

    https://nuaryhanifah.files.wordpress.com/2012/11/5a_bahankuliah_ujitoksisitas_profyayat.pptx

    pada tanggal 29 April 2015.

    Halang, B. 2004. Toksisitas Air Limbah Deterjen Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carprio).

    BIOSCIENTIAE Vol. 1, No. 1, Januari 2004: 39-49. Diakses dan diunduh dari

    http://bioscientiae.tripod.com/v1n1/v1_n1_halang.PDF pada tanggal 29 April 2015.

    Ji, Y., G. Lu, C. Wang, and J. Zhang. 2012. Biochemical Responses of Freshwater Fish Carassius

    auratus to Polycyclic Aromatic Hydrocarbons and Pesticides. Water Science and Engineering,

    2012, 5(2): 145-154. Accessed and downloaded from

    http://www.waterjournal.cn:8080/water/EN/article/downloadArticleFile.do?attachType=PDF&id

    =208 on 29 April 2015.

    Lestari dan Edward. 2004. Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut dan

    Sumberdaya Perikanan (Studi Kasus Kematian Massal Ikan-Ikan di Teluk Jakarta). Makara,

    Sains, Vol. 8, No. 2, Agustus 2004: 52-58. Diakses dan diunduh dari

    http://journal.ui.ac.id/index.php/science/article/download/414/410 pada tanggal 23 April 2015.

    Lu, G. H. Y. Ji, H.Z. Zhang, H. Wu, J. Qin, and C. Wang. 2010. Active Biomonitoring of Complex

    Pollution in Taihu Lake with Carassius auratus. Chemosphere 79 (2010): 588594. Accessed

    and downloaded from http://ac.els-cdn.com/S0045653510001177/1-s2.0-S0045653510001177-

  • main.pdf?_tid=bbf6748e-ee16-11e4-9e35-

    00000aab0f6c&acdnat=1430274393_240c8c4d2fe66925ab1040220ba2cfda on 29 April 2015.

    Marbun, R. A. T. 2014. Penentuan Koefesien Fenol Produk Desinfektan Yang Di Pasarkan Di

    Beberapa Supermarket Kota Medan. Universitas Sumatera Utara. Diakses dan diunduh dari

    http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/41055 pada tanggal 29 April 2015.

    Nico, L.G., P.J. Schofield, J. Larson, T.H. Makled and A. Fusaro. 2015. Carassius auratus. USGS

    Nonindigenous Aquatic Species Database, Gainesville, FL. Accessed and downloaded from

    http://nas.er.usgs.gov/queries/FactSheet.aspx?SpeciesID=508 on 29 April 2015 Revision Date:

    8/2/2013.

    Poedjirahajoe, E., N. P. D. Mahayani, dan F. K. Wardhani. 2015. Petunjuk Praktikum Pencemaran

    Lingkungan. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

    Yogyakarta.

    Price, D.R.H. 1879. Fish as Indicators of Water Quality. John Wiley and Sons. Chicester. Toronto.

    Rahmawati. 2008. Ekotoksisitas Biodiesel Dari Minyak Jelantah (Sumber: Rumah Makan Cepat Saji)

    dengan Bioindikator Daphnia magna Linn. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

    Diakses dan diunduh dari

    http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/15697/1/RAHMAWATI-FST.pdf pada

    tanggal 29 April 2015.

    Raini. 2007. Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan Pestisida. Media Litbang

    Kesehatan Volume XVII Nomor 3 Tahun 2007. Diakses dan diunduh dari

    http://bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/viewFile/815/1660 pada tanggal 29 April

    2015.

    Wardhana, W. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta.

    Yulaipi, S., dan Aunurohim. 2013. Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Hubungannya dengan

    Laju Pertumbuhan Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus). Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol.

    2, No.2, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print). Diakses dan diunduh dari

    http://ejurnal.its.ac.id/index.php/sains_seni/article/viewFile/3965/1424 pada tanggal 29 April

    2015.