makalah toksisitas logam kel 6
DESCRIPTION
logam beratTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai massa jenis lebih besar
dari 5 g/cm3, antara lain Cd, Hg, Pb, Zn, dan Ni. Logam berat Cd, Hg, dan Pb
dinamakan sebagai logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam
beracun bagi makhluk hidup (Subowo dkk, 1999).
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat
didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan, air minum, atau udara. Logam berat seperti tembaga,
selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja
metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun jika konsentrasi
dalam tubuh berlebih. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem
bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi unsur kimia didalam tubuh mahluk
hidup (Anonimous, 2008).
Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam berat termasuk
dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang
tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi. Organisme pertama
yang terpengaruh akibat penambahan polutan logam berat ke tanah atau habitat
lainnya adalah organisme dan tanaman yang tumbuh ditanah atau habitat tersebut.
Dalam ekosistem alam terdapat interaksi antar organisme baik interaksi positif
maupun negatif yang menggambarkan bentuk transfer energi antar populasi dalam
komunitas tersebut. Dengan demikian pengaruh logam berat tersebut pada
akhirnya akan sampai pada hierarki rantai makanan tertinggi yaitu manusia.
Logam-logam berat diketahui dapat mengumpul didalam tubuh suatu organisme
dan tetap tinggal dalam tubuh untuk jangka waktu lama sebagai racun yang
terakumulasi (Saeni, 1997).
1
Pemasok logam berat dalam tanah pertanian antara lain bahan agrokimia
(pupuk dan pestisida), asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, pupuk
organik, buangan limbah rumah tangga, industri, dan pertambangan (Alloway,
1990).
Bahan organik (BO) adalah salah satu komponen terpenting didalam
tanah. Berperan dalam perkembangan struktur tanah dan mengatur perpindahan
polutan dan bahan pencemar didalam tanah, dan berperan penting didalam siklus
perputaran serta penyimpanan hara dan air (Taberima, 2004). Senyawa humat
juga berperan dalam membentuk ikatan kompleks dengan logam-logam. Adanya
pembentukan kompleks mempengaruhi kereaktifan dan efek toksik dari logam
(Matagi et al., 1998)
Misalnya pada logam timbal, Timbal adalah racun bagi lingkungan dan
kesehatan masyarakat global. Penyebab terjadinya keracunan timbal bersifat lokal,
bervariasi dalam komunitas dan negara yang berbeda. Penelitian menunjukkan
bahwa timbal yang banyak terserap oleh anak, walaupun dalam jumlah kecil,
dapat menyebabkan gangguan pada fase awal pertumbuhan fisik dan mental yang
kemudian berakibat pada fungsi kecerdasan dan kemampuan akademik. Dalam
jangka lama Pb terakumulasi pada gigi, gusi dan tulang. Jika konsentrasi Pb
meningkat, akan terjadi anemia dan kerusakan fungsi otak serta kegagalan fungsi
ginjal. Maka dari itu berdasarkan latar belakang tersebut kelompok penulis
bermaksud untuk membuat makalah yang berjudul “Toksisitas Logam Berat”.
1.2 Rumusan Masalah
Seperti yang telah diketahui bahwa logam berat memiliki toksisitas yang
cukup tinggi baik terhadap hewan, tumbuhan dan manusia. Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan logam berat ?
2. Bagaimana mekanisme toksisitas dari logam berat ?
3. Apa pengaruh toksik dari logam berat terhadap tubuh manusia ?
4. Bagaimana cara penanganan toksisitas logam berat ?
2
1.3 Tujuan Makalah
Banyak hal yang perlu kita ketahui tentang toksisitas dari logam berat.
Selain untuk menambah wawasan kita sebagai seorang mahasiswa, kita juga
mengetahui tentang mekanisme serta penanganan toksisitas logam tersebut.
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan
untuk:
1. Mengetahui yang dimaksud dengan logam berat
2. Mengetahui mekanisme toksisitas dari logam berat
3. Mengetahui pengaruh toksik dari logam berat terhadap tubuh manusia
4. Mengetahui cara penanganan toksisitas logam berat
1.4 Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan banyak kegunaan bagi
semua orang umumnya dan secara khusus bagi para pembaca makalah ini, baik
secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan tentang toksisitas logam berat dan secara praktis
makalah ini di harapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen mata kuliah
Farmakologi Toksikologi dan sebagai wahana penambah pengetahuan dan
konsep keilmuaan khususnya wawasan tentang toksisitas logam berat.
2. Dosen, sebagai media informasi tentang segala hal yang berhubungan
dengan toksisitas logam berat.
3. Pembaca, untuk memberikan segala informasi tentang segala hal yang
berhubungan dengan toksisitas logam berat.
.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Logam Berat
Logam berat adalah unsur yang memiliki berat lebih besar dari 4 atau 5
dengan jumlah atom 22-34 dan 40-52, serta unsur lantanida dan aklinida, serta
memiliki pengaruh spesifik biokimiawi di dalam hewan dan tumbuhan. Terdapat
80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai
jenis logam berat. Beberapa logam berat yang berbahaya dan sering mencemari
lingkungan terutama adalah merkuri (Hg), timbal (Pb), arsenik (As), kadmium
(Cd), chromium (Cr), dan nikel (Ni). Di alam logam sangat jarang ditemukan
dalam elemen tunggal, biasanya dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain
Logam berat ialah unsur logam dengan berat molekul tinggi. Dalam kadar
rendah logam berat pada umumnya sudah beracun bagi tumbuhan dan hewan,
termasuk manusia. Termasuk logam berat yang sering mencemari habitat ialah
Hg, Cr, Cd, As, dan Pb.
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat
didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan, air minum, atau udara. Logam berat seperti tembaga,
selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja
metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun jika konsentrasi
dalam tubuh berlebih. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem
bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi unsur kimia didalam tubuh mahluk
hidup.
Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam berat
termasuk dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam
berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi.
4
Organisme pertama yang terpengaruh akibat penambahan polutan logam
berat ke tanah atau habitat lainnya adalah organisme dan tanaman yang tumbuh di
tanah atau habitat tersebut. Dalam ekosistem alam terdapat interaksi antar
organisme baik interaksi positif maupun negatif yang menggambarkan bentuk
transfer energi antar populasi dalam komunitas tersebut. Dengan demikian
pengaruh logam berat tersebut pada akhirnya akan sampai pada hierarki rantai
makanan tertinggi yaitu manusia. Logam-logam berat diketahui dapat mengumpul
didalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh untuk jangka waktu
lama sebagai racun yang terakumulasi.
Logam berat seperti kadmium (Cd), timbal (Pb), dan merkuri (Hg)
memiliki afinitas yang tinggi terhadap unsur S (sulfur) menyebabkan logam ini
menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi
tidak aktif. Selain sulfur logam berat juga dapat bereaksi terhadap gugus
karboksilat (COOH) dan amina (NH2). Kadmium, timbal, dan tembaga terikat
pada selsel membrane yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel.
Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis
penguraiannya. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau
mengkatalis penguraiannya.
Logam berat memiliki tingkat atau daya racun yang berbeda bergantung
pada jenis, sifat kimia dan fisik logam berat. Kementerian Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup 1990 membagi kelompok logam berat berdasarkan sifat
toksisitas dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri atas unsur-
unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn; bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr,
Ni, dan Co; dan bersifat toksik rendah yang terdiri atas unsur Mn dan Fe.
Adanya logam berat di perairan memiliki dampak yang berbahaya baik
secara langsung terhadap kehidupan organisme maupun efeknya secara tidak
langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam
berat, yaitu:
Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan
dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan);
5
Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan
membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut;
Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi
dari konsentrasi logam dalam air. Di samping itu sedimen mudah tersuspensi
karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang
dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar
potensial dalam skala waktu tertentu.
Berikut ini merupakan Tabel batas kritis logam berat dalam tanah, air, dan
tanaman :
Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat toksisitas logam berat antara lain
suhu, salinitas, pH, dan kesadahan. Penurunan pH dan salinitas perairan
menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Peningkatan suhu
menyebabkan toksisitas logam berat meningkat. Sedangkan kesadahan yang
tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air
dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam
air. Tingkat toksisitas logam berat untuk biota perairan dipengaruhi oleh jenis
logam, spesies biota, daya permeabilitas biota, dan mekanisme detoksikasi.
Logam berat dapat mengumpul (terakumulasi) di dalam tubuh suatu biota dan
tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun. Pada
6
batas dan kadar kadar tertentu semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh
yang negatif terhadap biota perairan.
Logam bersifat toksik karena logam tersebut terikat dengan ligan dari
struktur biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut dalam
beberapa jenis enzim dalam tubuh. Ikatan tersebut mengakibatkan tidak dapat
aktifnya enzim yang yang bersangkutan, hal inilah penyebab utama dari toksisitas
logam tersebut. tetapi cukup sulit mengidentifikasikan enzim yang mana menjadi
target dari ikatan logam tersebut. biasanya logam tertentu terikat dalam daerah
ikatan yang spesifik untuk setiap logam dan hal ini dapat dilihat dari gejala dan
tanda-tanda dari gangguan yang timbul. Pada keracunan dosis yang lebih besar,
jaringan lain mungkin akan terganggu juga karena logam menduduki ikatan pada
jenis enzim yang lebih banyak.
Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun
logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai
berikut merkuri (Hg),kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr),
nikel (Ni), dan kobalt (Co). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas
logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan
adalah sebagai berikutHg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+.
B. Toksikologi, Mekanisme dan Penanganan Keracunan Logam Berat
1. Merkuri (Hg)
Merkuri adalah logam berat berbentuk cair, berwarna putih perak, serta
mudah menguap pada suhu ruangan. Hg akan memadat pada tekanan 7.640 Atm.
Merkuri dapat larut dalam asam sulfat atau asam nitrit, tetapi tahan terhadap basa.
Hg memiliki nomor atom 80, berat atom 200,59 g/mol, titik lebur -38,90C, titik
didih 356,60C. Hg banyak digunakan dalam thermometer karena memiliki
koefesien yang konstan, yaitu tidak terjadi perubahan volume pada suhu tinggi
maupun rendah.
A. Kimia dan Mekanisme Kerja
Merkuri membentuk ikatan kovalen dengan sulfur dan sifat inilah yang
mendasari sebagian besar efek biologisnya. Apabila sulfur terdapat dalam bentuk
7
sulfhidril, maka merkuri divalent menggantikan atom hydrogen membentuk
merkaptida, X-Hg-SR dan Hg (SR)2; X menunjukan suatu radikal elektronegatif
dan R ialah protein. Hg organic membentuk merkaptida tipe RHg-SR’. Akibatnya
aktivitas enzim sulfhidril terhambat sehingga metabolism dan fungsi sel
terganggu. Afinitas merkuri terhadap tiol merupakan dasar pengobatan keracunan
merkuri dengan dimerkapol dan penisilamin. Merkuri mengikat ligan lain, yaitu
fosforil, karboksil, amida dan amin.
Berdasarkan sifat fisika-kimia, bahaya utama logam merkuri bagi
kesehatan terdiri dari :
a. Merkuri elemental (Hg)
a) Inhalasi: paling sering menyebabkan keracunan. Inhalasi gas merkuri dapat
menyebabkan bronkhitis korosif yang disertai febris, menggigil, dispnea,
hemoptisis, pneumonia, edema paru (Adult Respiratory Distress Syndrome),
sianosis bahkan fibrosisparu. Keluhan gastrointestinal berupa: mual, muntah,
ginggivitis, keram perut dan diare. Kerusakan sistim syaraf pusat berupa
kelainan neuropsikiatrik (erethism), tremor, iritabilitas,emosi yang labil,
hilang ingatan, cemas, depresi. sakit kepala, reflek abnormal dan
perubahanEEG. Rash kemerahan dengan deskuamasi kulit terutama pada
tangan dan kaki dijumpaiterutama pada anak-anak. Kelainan pada ginjal
dapat berupa proteinuria, kelainan elektroliturine, disuria dan sakit ejakulasi.
Efek psikiatri berupa depresi, perasaan malu, marah,iritabilitas, cemas, nafsu
makan menurun atau agresif.
b) Tertelan ternyata tidak menyebabkan efek toksik karena absorpsinya yang
rendah kecuali jika ada fistula atau penyakit inflamasi gastrointestinal atau
jika merkuri tersimpan untuk waktu lama di saluran gastrointestinal.
c) Intravena dapat menyebabkan emboli paru. Menimbulkan triad yang klasik,
yaitu: ginggivitis dan salivasi, tremor dan perubahan neuropsikiatri.
Gangguan psikiatri berupa depresi, perasaan malu, marah, cemas, iritabilitas,
agresif, hilang ingatan, hilangnya kepercayaan diri, sukar tidur, tidak nafsu
makan atau tremor ringan. Selain itu dapat dijumpai kelainan pada ginjal
berupa proteinuri. Karena bersifat larut dalam lemak, bentuk merkuri ini
8
mudah melalui sawar otak dan plasenta. Di otak ia akan berakumulasi di
korteks cerebrum dan cerebellum dimana ia akan teroksidasi menjadi bentuk
merkurik (Hg++) ion merkurik ini akan berikatan dengan sulfhidril dari
protein enzim dan protein seluler sehingga menggangu fungsi enzim
dantransport sel. Pemanasan logam merkuri membentuk uap merkuri oksida
yang bersifat korosif pada kulit, selaput mukosa mata, mulut, dan saluran
pernafasan.
b. Merkuri inorganik: Sering diabsorpsi melalui gastrointestinal, paru-paru dan
kulit. Pemaparan akut dan kadar tinggi dapat menyebabkan gagal ginjal
sedangkan pada pemaparan kronis dengan dosis rendah dapat menyebabkan
proteinuri, sindroma nefrotik dan nefropati yang berhubungan dengan
gangguan imunologis. Setelah menelan zat ini timbul gejala iritasi mukosa
berupa stomatitis, rasa logam, rasa panas,hipersalivasi, edema laring, erosi
oesofagus, mual, muntah, hematemesis, hematokhezia, keram perut, ARDS,
shock dan gangguan ginjal berupa proteinuri, hematuri dan glikosuri. Gagal
ginjal akut dapat terjadi dalam 24 jam. Perdarahan gastrointestinal dapat
menyebabkan anemia dan syok hipovolemi.
Kontak pada kulit akibat penggunaan krem yang mengandung garam merkuri
dapatmenimbulkan pigmentasi, rasa terbakar dan dapat menyebabkan toksisitas
sistemik. HgCl2dapat menyebabkan iritasi kulit sedangkan merkuri fulminat dan
merkuri sulfidamenyebabkan dermatitis kontak. Penggunaan calomel (HgCl) dapat
menyebabkan Pink’sdiseasepada anak-anak yang ditandai: rash eritematosus,
febris, splenomegali, iritabilitas danhipotonia. Menimbulkan triad yang klasik,
yaitu: ginggivitis dan salivasi, tremor dan perubahanneuropsikiatri Aplikasi
garam merkuri pada kulit dalam jangka waktu yang lama dapatmenyebabkan
neuropati perifer, nefropati, eritema, dan pigmentasi.
c. Merkuri organik : terutama bentuk rantai pendek alkil (metil merkuri) dapat
menimbulkan degenerasi neuron di korteks cerebri dan cerebellum dan
mengakibatkan parestesi distal, ataksia, disartria, tuli dan penyempitan lapang
pandang. Metil merkuri mudah pula melalui plasenta dan berakumulasi dalam
fetus yang mengakibatkan kematian dalam kandungan dan cerebral palsy.
9
B. Pengobatan keracunan Merkuri
Pengurangan kadar merkuri didalam darah harus dilakukan secepat
mungkin setelah adanya keracunan logam tersebut.
a. Uap unsur merkuri
Tindakan teurapeutik mencakup : segera mengakhiri pajanan dan memberi
perhatian khusus terhhadap fungsi paru. Bantuan napas mungkin diperlukan secra
akut. Terapi kelasi seprti pada keracunan Hg anorganik hendaknya dimulai segera
dan dilanjutkan sesuai dengan kondisi klinis dan kadar merkuri dalam darah/urin.
b. Merkuri anorganik
Tindakan segera terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit dan status
hematologis sangat penting dalam perjalanan oral moderat hingga berat. Emesis
harus dilakukan jika penderita sadar. Bilas lambung dapat dilakukan sebagai
alternative. Karbon aktif dan magnesium sulfat (katartik) diberikan untuk
membatasi absorpsi lebih lanjut.
Terapi kelasi dengan dimerkaprol digunakan secara rutin untuk mengobati
keracunan merkuri anorganik atau unsure Hg. Dosis dimerkaprol yang dianjurkan
ialah 5 mg/kg BB, yang disusul dengan 2,5 mg/kg BB IM setiap 12 jam selama 10
hari. Penisilamin 250 mg secara oral setiap 6 jam bisa digunakan sendiri atau
selanjutnya dikombinasikan dengan dimerkaprol. Kemajuan hasil terapi dapat
dipantau dengan mengukur kadar merkuri dalam urin dan darah.
Hemodialisis boleh jadi diperlukan pada pasien keracunan dengan
penurunan fungsi ginjal. Dalam hal ini kelator masih bisa digunakan karena
kompleks dimerkaprol-merkuri dapat dikeluarkan dengan cara dialisis.
c. Merkuri organic
Merkuri organic berantai pendek, terutama metil merkuri adalah bentuk
merkuri paling sulit untuk dikeluarkan dari tubuh, diduga karena sukar diikat oleh
kelator. Dimerkaprol dikontraindikasikan pada keracunan metilmerkuri karena
dimerkaprol terbukti meningkatkan kadar metilmerkuri pada hewan coba.
Penisilamin memudahkan ekskresi metilmerkuri dari dalam tubuh, tetapi hasil
terapi keracunan metilmerkuri dengan penisilamin tidak memuaskan. Penisilamin
dengan dosis yang biasa digunakan untuk mengobati keracunan Hg anorganik,
10
hanya menghasilkan sedikit penurunan kadar metilmerkuri dalam darah;
diperlukan dosis yang lebih besar (2 g/ hari) pada keracunan Hg organik.
Hemodialisis konvensional tak berani dalam pengobatan keracunan metilmerkuri,
karena metilmerkuri terkumpul dalam eritrosit dan hanya sejumlah kecil yang
terdapat dalam plasma.
2. Arsen (As)
Arsen (As) atau sering disebut arsenik sebagian besar terdapat di alam
dalam bentuk senyawa dasar yang berupa substansi inorganik. Arsen inorganik
dapat larut dalam air atau berbentuk gas dan terpapar pada manusia. Menurut
National Institute for Occupational Safety and Health (1975), arsen inorganik
bertanggung jawab terhadap berbagai gangguan kesehatan kronis, terutama
kanker . Arsen juga dapat merusak ginjal dan bersifat racun yang sangat kuat.
Arsen banyak ditemukan di dalam air tanah. Hal ini disebabkan arsen
merupakan salah satu mineral yang memang terkandung dalam susunan batuan
bumi. Arsen dalam air tanah terbagi dalam dua bentuk, yaitu bentuk tereduksi,
terbentuk dalam kondisi anaerobik, sering disebut arsenit. Bentuk lainnya adalah
bentuk teroksidasi, terjadi pada kondisi aerobik, umum disebut sebagai arsenat.
A. Kimia dan Mekanisme Kerja
Arsenat adalah suatu uncoupler pada proses fosforilasi oksidatif
mitokondrian. Kerjanya dihubungkan dengan substitusi kompetitif arsenat dengan
fosfat anorganik sehingga terbentuk ester arsenat yang cepat dihidralisii. Proses
ini disebut arsenolisis.
Arsen trivalent, termasuk arsenit anorganik. Terutama mengikat gugus
sulfhidrl. Dengan demikian As trivalent menghambat enzim yang mengandung
gugus –SH. Sistem piruvat dehidrogenase terutama sensitif terhadap As trivalent
karena interaksi dengan dua kelompok sulfhidril dan asam lipoat akan membentuk
cincin stabil.
B. Pengobatan dan keracunan Arsen
Setelah pejanan akut terhadap As, maka tindakan suportif perlu diambil
untuk menstabilkan penderita dan mencegahnya penyerapan racun lebih lanjut.
11
Perhatian khususnya diarahkan untuk mengoreksi volume cairan intravascular,
karena efeknya terhadap saluran cerna dapat mengakibatkan syok hipovolemik
yang fatal. Untuk memperbaiki hipotensi diperlukan cairan infuse dengan obat
yang menaikan tekanan darah, misalnya dopamine. Terapi kelasi harus dimulai
dengan dimerkapol 3 mg/kg BB IM tiap 4 jam sampai gejala abnominal reda.
Pengobatan dilanjutkan dengan penisilamin 4×250 mg/hari secara oral selama 4
hari berikutnya. Jika gejala berulang kembali setelah dihentikannya terapi kelasi,
maka dapat dilakukan pemberian ualang penisilamin.
Keracunan As kronis dapat diobati dengan demerkaprol dan penisilamin,
tetapi penisilamin peroral saja biasanya sudah cukup. Dialysis ginjal mungkin
diperlukan pada nefropati arsen berat; keberhasilan dengan cara dialysis ini
pernah dilaporkan.
3. Timbal (Pb)
Pada awalnya adalah logam berat yang secara alami terdapat didalam
kerak bumi, Pb memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia
yang aktif, sehingga bisa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul
pengkaratan. Apabila tercamput dengan logam ini akan terbentuk logam
campuran yang lebih bagus, dari pada logam murninya. Pb adalah logam lunak
berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serta mudah dimurnikan dari
pertambangan. Timbal meleleh pada suhu 3280C, titik didih 1.7400C dan memiliki
gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20.
A. Keracunan Timbal Akut
Keracunan Pb akut yang ditandai dengan kadar lebih dari 0,72 ppm dalam
darah, jarang terjadi. Keracunan yang terjadi biasanya disebabkan oleh masuknya
senyawa Pb yang larut dalam asam atau inhalasi uap Pb. Efek astringen
menimbulkan rasa haus dan rasa logam. Gejala lain yang sering timbul ialah mual,
muntah dengan muntahan menyerupai susu karena Pb klorida, dan sakit perut
hebat. Tinja warna hitam karena Pb sulfida dapat disertai diare atau kosntipasi. Pb
yang diserap dengan cepat dapat menyebabkan sindrom syok yang juga
disebabkan oleh kehilangan cairan lewat saluran cerna. Terhadap susunan saraf,
12
Pb anorganik menyebabkan parestesia, nyeri dan kelemahan otot. Anemia berat
dan hemoglobinuria terjadi karena hemolisis darah. Dapat timbul kerusakan
ginjal, dan kematian dapat terjadi dalam 1-2 hari. Kalau keracunan akut teratasi,
umunya terlihat gejala keracunan Pb kronis.
B. Keracunan Timbal Kronis
Gejala keracunan Pb kronis (plumbism) dapat dibedakan atas enam macam
sindrom yaitu sindrom abdominal, neuromuskular, SSP, hematologi, renal dan
sndrom lain. Gejala ini biasa timbul sebagian atau semua sekaligus. Sindrom
neuromuskular dan sindrom SSP terjadi pada pemajanan hebat, sementara
sindrom abdominal merupakan manifestasi yang timbul perlahan-lahan. Timbal
pada konsentrasi rendah menurunkan sintetisheme pada beberapa tahap enzimatik.
Hal ini mengarahkan pada pembentukan substrat yang penting untuk diagnostic:
δ-ALA, koproporfirin (keduanya diukur dalam urine) dan zink protoporfirin
(diukur dalam sel darah merah sebagai protoporfirin eritrosit). Pada anak-anak
kadar protoporfirin dalam eritrosit tidak cukup sensitive untuk mengidentifikasi
anak dengan peningkatan kadar timbale dalam darah <25 μg/dL dan pilihan uji
skrining adalah pengukuran timbal dalam darah (Goodman & Gilman, 2010).
Sindrom abdominal dimulai dengan mual, malaise, sakit kepala.
Konstipasi biasanya merupakan gejala awal, terutama pada orang dewasa,
kadang-kadang terjadi diare. Rasa logam yang menetap merupakan gejala dini
dari sindrom ini. Dengan memberatnya intoksikasi, anoreksia dan konstipasi
menghebat. Spasme intestinal yang menyebabkan nyeri abdominal (kolik Pb)
merupakan gejala abdominal lanjut yang paling mengganggu dan berat.
Serangannya bersifat proksismal berupa kaku otot perut dan nyeri tekan daerah
pusar. Kalsium glukonas IV dianjurkan untuk mengurangi nyeri abdominal dan
baisanya lebih efektif dar pada morfin.
Sindrom neuromuskular yang disebut juga lead palsy lebih jarang
terlihat, gejala ini merupakan gejala keracunan subakut lanjut. Gejala
patognomonis ialah wrist drop dan kadang-kadang foot drop karena yang
terserang ialah otot aktif, teutama bagian ekstensor lengan bawah, pergelangan
13
tangan, jari serta otot ekstraokular. Kelemahan otot tidak terjadi kecuali setelah
aktivitas otot berlebihan. Sensoris umumnya tidak dipengaruhi.
Sindrom SSP yang disebut juga ensefalopati timbal (lead encephalopathy)
lebih sering terjadi pada anak. Gejala permulaan berupa kekakuan, ataksia, vertigo
insomnia, gelisah dan iritabilitas. Dengan memberatnya ensefalopati pasien akan
terangsang dan bingung, delirium disertai konvulsi tonik-klonik, letargi disusul
koma. Sering terjadi muntah proyektil dan gangguan penglihatan.
Sindrom hematologi antara lain berupa basophilic stippling akibat
agregasi asam ribonukleat pada eritrosit, yang terjadi bila kadar Pb darah 0,80
ppm atau lebih. Hal ini dianggap merupakan akibat penghambatan enzim
pirimidin 5’-nukleotidase oleh Pb, tetapi basophilic stippling bukan tanda
patognomonik keracunan Pb. Gambaran hematologi intoksikasi Pb kronis yang
sering timbul pada anak ialah anemia hipokrom mikrositer. Anemia ini mirip
anemia defisisensi besi dan dianggap disebabkan oleh dua faktor yaitu
menurunnya umur eritrosit dan hambatan sintesis heme.
Sindrom renal terlihat dalam dua bentuk yaitu gangguan tubuli ginjal
yang reversibel (biasanya karena pajanan Pb akut pada anak) dan nefropati
interstisial yang ireversibel, akibat pemajanan Pb kronik di industri. Terlihat
kumpulan gejala yang mirip sindrom Fanconi dengan proteinuria , hematuria, dan
adanya silinder dalam urin. Pada beberapa pasien terjadi hiperurisemia
berhubungan dengan insufisiensi ginjal. Secara histologis, nefropati Pb ditandai
oleh adanya badan inklusi nuklear yang khas yaitu suatu kompleks Pb-protein.
Hal ini timbul dengan cepat dan menghilang setelah terapi dengan kelator. Badan
inklusi ini juga ditemukan dalam sedimen urin pekerja pabrik yang terpajan Pb.
Sindrom lain dari plumbismi alah muka warna kelabu dan bibir pucat,
bercak retina, tanda ketuaan dini (bungkuk, menurunnya tonus otot, kurus-kering)
dan adanya garis Pb yang merupakan pengendapan Pb sulfida berwarna hitam
keabu-abuan ditepi gusi. Gejala ini dapat dihindari dengan higiene gigi yang baik.
Pigmentasi serupa dapat diakibatkan oleh merkuri, bismut, perak, talium dan besi.
Telah dilaporkan beberapa kasus adenokarsinoma ginjal pada pekerja industri Pb,
tetapi bukti karsinogenisitas Pb belum mapan (Gunawan, Sulista Gan., 2011).
14
C. Keracunan Timbal Organik
Timbal tetraetil dan timbale tetrametil merupakan senyawa larut-lipid yang
diabsorpsi dengan mudah dari kulit, saluran GI dan paru-paru. Toksisitas timbale
tetraetil dipercaya disebabkan perubahan metaboliknya menjadi timbale trietil dan
timbale anorganik. Gejala utama keracunan akibat timbale tetraetil terjadi pada
SSP: sulit tidur, mimpi buruk, anoreksia, mual dan muntah, diare, sakit kepala,
lemah otot dan ketidak stabilan emosi. Gejala SSP yang bersifat subjektif
antaralain mudah tersinggung, gelisah dan cemas biasanya disertai dengan
hipotermia, bradikardia dan hipotensi. Dengan pemaparan yang kontinu atau pada
kasus pemaparan singkat, tetapi kuat, gejala SSP berkembang menjadi delusi,
ataksia, pergerakan otot berlebihan dan akhirnya kondisi maniak (Goodman &
Gilman, 2010).
Diagnosis keracunan timbale tetraetil ditetapkan dengan menghubungkan
tanda dan gejala-gejalanya dengan riwayat pemaparan. Peningkatan ekskresi
timbale melalui urine mungkin meningkat secara nyata, tetapi konsentrasi timbale
dalam darah tetap mendekati normal. Anemia dan bintik basofili keritrosit tidak
lazim terjadi pada keracunan timbale organik. Terdapat sedikit efek pada
metabolism porfirin dan konsentrasi protoporfirin eritrosit meningkat secara
konsisten. Pada kasus pemaparan yang parah, kematian dapat terjadi beberapa
minggu. Jika pasien dapat bertahan dari fase akut keracunan timbal organik,
penyembuhan biasanya sempurna akan tetapi dilaporkan terjadinya kerusakan
SSP residual (Goodman & Gilman, 2010).
D. Pengobatan Keracunan Timbal
Pengobatan awal fase akut intoksikasi Pb ialah secara suportif dan
selanjutnya harus dicegah pajanan lebih jauh. Serangan kejang diobati dengan
diazepam, keseimbangan cairan dan elektrolit harus dipertahankan, edema otak
diatasi dengan manitol dan deksametason. Kadar Pb darah harus ditentukan
sebelum pengobatan dengan kelator.
15
Kelator harus diberikan pada pasien dengan gejala atau pada pasien
dengan kadar Pb darah melebihi 0,5-0,6 ppm. Tiga kelator biasa digunakan dalam
pengobatan intoksikasi Pb yaitu, kalsium disodium edetat (CaNa2EDTA),
dimerkaprol (British antilewisite, BAL), dan D-penisilamin. Mula-mula
kombinasi, diikuti pemberian penisilamin untuk pengobatan jangka panjang.
CaNa2EDTA dengan dosis 50-75 mg/kg BB per hari dibagi dalam dua kali
pemberian, secara IM yang dalam, atau sebagai infus selama 5 hari berturut-turut.
Interval antara pemberian CaNa2EDTA dan pemberian BAL pertama ialah 4 jam.
Pengulangan pemberian CaNa2EDTA bisa diberikan setelah pengobatan
dihentikan 2 hari. Setiap rejimen terapi dengan CaNa2EDTA tidak boleh melebihi
jumlah dosis 500 mg/kg BB. Produksi urin harus dipantau, karena kompleks
logam-kelator bersifat nefrotoksik. Pengobatan dengan CaNa2EDTA dapat segera
mengurangi gejala. Kolik hilang dalam waktu 2 jam, parestesia dan tremor dalam
4 atau 5 hari, koproporfirinuria, bercak basofilik eritrosit, dan garis Pb pada gusi
cenderung berkurang dalam waktu 4-9 hari. Eliminasi Pb melalui urine biasanya
paling besar selama berlangsungnya infus awal.
Dimerkaprol dengan dosis 4 mg/ kg berat badan diberikan secara
intramuskular setiap 4 jam selama 48 jam, kemudian setiap 6 jam selama 68 jam
berikutnya, dan akhirnya setiap 6-12 jam selama 17 hari terakhir. Kombinasi
kedua obat tersebut lebih efektif daripada penggunaan salah satu saja. Berbeda
dengan CaNa2EDTA dan dimerkaprol, penisilamin efektif secara oral, dan dapat
ditambahkan dalam regimen pengobatan dengan dosis 4 kali 250 mg sehari
selama 5 hari. Pada terapi jangka panjang dosis tidak boleh melebihi 40 mg/ kg
berat badan per hari.
Keracunan Pb pada anak lebih berbahaya daripada orang dewasa, terutama
karena tingginya frekuensi kejadian ensefalopati. Angka kematian Pb-ensefalopati
yang tidak diobati dan berat bisa mencapai 65%, dan pada pasien yang bertahan
hidup, umumnya ditemukan gejala sisa pada sistem saraf. Rawat inap dianjurkan
untuk setiap anak dengan gejala keracunan Pb atau anak dengan kadar Pb darah
0,8 ppm atau lebih. Dengan demikian pajanan dapat diakhiri, dan perhatian dapat
dicurahkan untuk memantau dengan cermat dan melakukan terapi suportif.
16
Terapi dengan kelator jangka panjang untuk pasien dengan residual
ensefalopati atau dengan kadar Pb darah melebihi 0,6 ppm dan dengan gambaran
deposit tulang pb yang jelas secara radiografis, paling prais dengan pemberian
penisilamin oral maksimum 40 mg/kg berat badan perhari. Harus diingat bahwa
penisilamin dapat meningkatkan absorpsi pb dari saluran cerna maka menghindari
pajanan Pb ialah sangat penting. Pengobatan keracunan Pb organik bersifat
simptomatik. Pemberian kelator akan meningkatkan sedikit eksresi Pb anorganik
yang dihasilkan dari metabolisme Pb organik (Gunawan, Sulista Gan., 2011).
4. Kromium (Cr)
Logam berat kromium (Cr) merupakan logam berat dengan berat atom
51,996 g/mol; berwarna abu-abu, tahan terhadap oksidasi meskipun pada suhu
tinggi, mengkilat, keras, memiliki titik cair 1.875°C dan titik didih 2.672°C,
bersifat paramagnetik, membentuk senyawa berwarna, memiliki bilangan oksidasi
dan stabil pada bilangan oksidasi +3. Kromium bisa membentuk berbagai macam
ion kompleks yang berfungsi sebagai katalisator.
Kromium (Cr) merupakan unsur yang melimpah terdapat di alam dalam
berbagai bentuk oksida yaitu Cr (0), Cr (III) atau Cr trivalent, Cr (VI) atau Cr
heksavalen. Kromium Cr (III) secara alami terjadi di alam, sedangkan Cr (0) dan
Cr (VI) pada umumnya berasal dari proses industri. Kromium (Cr) di kerak bumi
sebagian besar berbentuk Cr (VI) yang bersama dengan besi (Fe) dan oksigen (O)
membentuk kromit (FeCr2O4) sebagai sumber utama kromium. Logam Cr murni
tidak pernah ditemukan tetapi biasanya sudah berbentuk persenyawaan padat atau
mineral dengan unsur lain.
A. Efek Toksik
Logam Cr adalah bahan kimia yang bersifat persisten, bioakumulatif dan
toksik yagng tinggi serta tidak mampu terurai di dalam lingkungan, sulit diuraikan
dan akhirnya diakumulasi di dalam tubuh manusia melalui rantai makanan.
Kestabilan kromium akan mempengaruhi toksisitasnya terhadap manusia secara
berurutan, mulai dari tingkat toksisitas rendah yakni Cr (0), Cr (III), dan Cr (VI)
dimana Cr (VI) pada umumnya 1.000 kali lipat lebih toksik dibandingkan Cr (III).
17
Kromium Cr (III) bersifat kurang toksik dibandingkan Cr (VI), tidak bersifat
iritatif serta tidak korosi tetapi lebih toksik terhadap ikan dan binatang air lainnya.
LC50 Cr (III) pada ikan sebesar 2 – 7,5 mg/L, sedangkan LC50 Cr (VI) sebesar
35 – 75 mg/L. Toksisitas Cr pada ikan dipengaruhi oleh sifat fisiko-kimia
perairan, yaitu pH, kadar Ca, dan Mg.
Anak-anak berusia kurang dari 5 tahun yang tinggal di daerah limbah Cr
memiliki kemungkinan terpapar Cr melalui inhalasi, makanan yang
terkontaminasi Cr, serta kontak kulit, yang kemudian ditunjukkan dengan kadar
Cr pada urin anak-anak yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa.
B. Karsinogenitas
Sumber paparan Cr yang lain bisa berasal dari emisi peralatan yang
mengguanakan katalisator atau bahan Cr, pecahan puing asbes, debu, semen,
tembakau rokok yang mengandung Cr sebesar 0,24 – 14,6 mg/kg serta berbagai
bahan pangan yang tercemar oleh Cr. World Health Organzator (WHO), The
Department of Health and Human Service (DHHS) dan The Environmental
Protection Agency (EPA) telah menetapkan bahwa senyawa Cr (VI) bersifat
karsinogenik pada manusia.
EPA menggolongkan Cr (VI) yang bersifat karsinogen kelas A pada
manusoa melalui paparan inhalasi, sedangkan Cr (III) digolongkan sebagai
karsinogen kelas D tetapi tidak spesifim untuk manusia. Berdasarkan perhitungan
akan resiko timbulmnyua kanker apabila manusia menghirup udara yang
mengandung Cr 1,2 x 10-2 µg/m3, diperkirakan manusia setiap hari bernafas
dengan menghirup udara yang mengandung Cr (VI) 0,00008 µg/m3 (8 x 10-8
mg/m3) sepanjang hidupnya dan hanya satu di antara 1 juta penduduk yang
menderita kanker.
C. Efek toksik terhadap alat pencernaan
Bukti Cr (VI) bisa menyebabkan kanker alat pencernaan yang masih
sangat sedikit. Pekerja yang bekerja di industri kromium sangat sedikit yang
menderita kanker alat pencrnaan. Toksisitas akut Cr melalui alat pencernaan bisa
menyebabkian nekrosis tubulus renalis. Para pekerja di lingkunagn kerja industri
18
krom menunjukkan tingginya kadar Cr dalam darah, terutama dalam sel darah
merah.
Mencerna makanan yang mengandung kadar Cr (VI) tinggi bisa
menyebabkan gangguan pencernaan, berupa sakit lambung, muntah dan
pendarahan, luka pada lambung, konvulsi, kerusakan ginjal, hepar bahkan
menyebabkan kematian.
D. Efek toksik terhadap alat pernafasan
Alat pernafasan merupakan organ target utama dari Cr (VI), baik akut
maupun kronis, melalui paparan inhalsi. Gejala tosisitas akut Cr (VI) meliputi
nafas pendek, batuk-batuk serta kesulitan bernafas. Sementara, toksisitas kronis
Cr (VI) beupa lubang dan ulserasi septum nasal, bronkitis, penurunan fungsi paru-
paru dan berbagai gejala pada alat pernafasan. Ulserasi kronis permukaan kulit
bisa menyebabkan kanker paru-paru. Apabila terinhalasi Cr lewat saluran
pernafasan maka akibatnya iritasi dan kanker paru-paru.
Toksisitas kronis dari Cr (VI) pada manusia menunjukkan beberapa gejala,
yaitu gangguan alat pernafasan berupa perforasi dan gangguan pada spektrum
nasal, bronkitis, penurunan fungsi paru, asma dan nasal itching. Toksisitas kronis
Cr (VI) melalui paparan inhalasi atau per oral bisa mengakibatkan gangguan pada
hati, ginjal, alat pencernaan dan sistem imunitas.
E. Efek toksik terhadap kulit dan mata
Kulit yang alergi terhadap Cr akan bereaksi dengan adanya paparan Cr
meskipun dalam dosis rendah. Kromium (Cr) Bisa menyebabkan kulit gatal dan
luka yang tidak lekas sembuh. Paparan Cr melalui kulit bisa berasal dari berbagai
produk yang mengandung Cr seperti kayu yang diawetkan menggunakan Cr
dikromat, produk kulit yang diawetkan menggunakan kromat sulfat serta bahan
bangunan seperti semen dan tekstil.
Senyawa Cr (VI) bisa menyebabkan iritasi mata, luka pada mata, iritasi
kulit dan membran mukosa. Cr (VI) lebih toksik dibandingkan Cr (III) baik
paparan akut maupun kronis. Paparan akut melalui kulit bisa menyebabkan
terbakarnya kulit.
F. Efek toksik melalui plasenta
19
Mencit Swiss webster diberi kromium klorida secara intraperitonial
dengan dosis tunggal 15; 225; dan 30 mg Cr/kg berat yang diberika pada hari
kehamilan ke-18, 10 dan 12. Hasil pengamatan terhadap kehamilan di hari ke 18
menunjukkan bahwa Cr menyebabkan meningkatnya jumlah embrio yang
diresorpsi secara nyata, berkurangnya berat fetus, terjadinya kelambatan
penulangan badan vertebra servikalis dan badan vertebra sakrokaudalis,
kelambatan penulangan pada tulang tarsal dan falang proksimal anggota belakang
serta kelainan sternebra berupa sternebra terbelah dan asimetris.
G. Kadar Batas Aman
The Environmental Protection Agency (EPA) menetapkan batas aman
kadar Cr (III) dan Cr (IV) dalam air minum sebesar 100 µg/L. The Occupational
Safety and Health Administration (OSHA) menetapkan batas kadar Cr (III) larut
air di udara tempat kerja sebesar 500 µg/m3, kadar logam Cr (0) dan Cr tidak larut
air di udara tempat kerja sebesar 1.000 µg/m3, kadar logam Cr (VI) sebesar 52
µg/m3 bagi pekerja dengan lama kerja 8 jam/hari atau 40 jam kerja/minggu.
Menurut EPA, konsentrasi Cr (VI) di udara yang aman bagi manusia sebesar
0,000008 mg/m3, paparan per oral Cr (VI) sebesar 0,003 mg/kg/hari aman bagi
manusia.
H. Pencegahan dan Penanggulangan Toksisitas
Berbagai usaha untuk menghindari atau mengurangi resiko terpapar Cr
antara lain :
1. Menghindarkan anak-anak bermain tanah yang tercemar limbah
2. Mengurangi konsumsi suplemen Cr secara berlebihan
3. Mengetahui kadar Cr pada rambut, urin dan darah, serum, sel darah merah
maupun whole blood.
4. Menghindari makanan yang kotor dan tidak higienis dan mencuci tangan
sebelum makan.
5. Kadmium (Cd)
Kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena
elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Kadmium berpengaruh
20
terhadap manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh
khususnya hati dan ginjal. Secara prinsipil pada konsentrasi rendah berefek
terhadap gangguan pada paru-paru, emphysema dan renal turbular disease yang
kronis. Jumlah normal kadmium di tanah berada di bawah 1 ppm, tetapi angka
tertinggi (1.700 ppm) dijumpai pada permukaan sample tanah yang diambil di
dekat pertambangan biji seng (Zn). Kadmium lebih mudah diakumulasi oleh
tanaman dibandingkan dengan ion logam berat lainnya seperti timbal. Logam
berat ini bergabung bersama timbal dan merkuri sebagai the big three heavy metal
yang memiliki tingkat bahaya tertinggi pada kesehatan manusia. Menurut badan
dunia FAO/WHO, konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi manusia adalah
400-500 μg per orang atau 7 μg per kg berat badan. Kadmium dapat disebut
sebagai zat anti metabolic untuk seng karena dapat melawan partukaran seng (Zn)
dalam proses metabolisme dalam jumlah yang diperlukan untuk merangsang
pertumbuhan, fungsi hematology dan kontrol suhu badan. Hal tersebut
memungkinkan kadmium (Cd) merupakan penyebab penyakit kakurangan zat
seng yang karakteristik itu walaupun sesungguhnya makanannya mengandung
cukup zat seng (Zn).
A. Kandungan kadmium (Cd) dalam darah.
Konsentrasi kadmium yang normal dalam darah adalah 10 g/l, yaitu pada
orang yang tinggal di daerah dengan udaranya bersih, dimana kandungan debu
kadmiumnya tidak lebih dari 20 g/m3.
B. Kandungan kadmium (Cd) dalam rambut.
Dengan menggunakan autoradiography seluruh badan sesudah injeksi
intravenous 109 Cd (isotop 109) pada tikus, diketahui bahwa kandungan kadmium
didalam rambut dapat digunakan untuk menentukan berapa besar akumulasi
kadmium dalam seluruh tubuh tikus. Tetapi teknik ini tidak dapat diterapkan pada
manusia karena terbentur pada masalah perbedaan tingkat kemampuan
penyerapan kadmium oleh berbagai jenis rambut yang berbeda warnanya,
perbedaan karena usia serta kontaminasi rambut dari luar (pemakaian bahan
kosmetik).
21
Cadmium menurunkan sifat beracunnya dari kesamaan sifat kimia nya
dengan Zinc yang merupakan micronutrient yg esensial untuk tumbuh-tumbuhan,
binatang, dan manusia. Cadmium bersifat biopersistent dan sekali diserap oleh
organisma, akan menetap selama bertahun-tahun (lebih dari 1 dekade untuk
manusia) meskipun sebagian akan juga terbuang melalui sistem pembuangan
mahluk hidup.
Pada manusia, terpaan jangka panjang (long term) berakibat pada
disfungsi ginjal. Terpaan pada tingkat yang tinggi bahkan dapat menyebabkan
penyakit paru-paru dan dihubungkan dengan kasus-kasus kanker paru-paru,
meskipun data-data terkait ini masih sulit diinterpretasikan. Cadmium juga dapat
mengakibatkan kerusakan tulang (osteomalacia, osteoporosis) pada manusia dan
binatang. Selain itu, juga terbukti menyebabkan tekanan darah tinggi dan
myocardium pada binatang, meskipun untuk manusia data-data yang ada belum
menunjukkan bukti yang cukup. Rata-rata manusia diperkirakan kemasukan
sekitar 0.15/g cadmium dari udara dan 1/g dari air. Disamping itu, merokok 1
pack berisi 20 rokok dapat berarti menghirup sekitar 2 – 4/g cadmium.
Kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran Kadmium (Cd)
Kadnium terutama dalam bentuk oksida adalah logam yang toksisitasnya tinggi.
Sebagian besar kontaminasi oleh kadnium pada manusia melalui makanan dan
rokok. Waktu paruh kadnium kira-kira 10-30 tahun. Akumulasi pada ginjal dan
hati 10-100 kali konsentrasi pada jaringan yang lain.
Dalam tubuh manusia kadnium terutama dieleminasi melalui urine. Hanya
sedikit kadnium yang diabsorbsi yaitu sekitar 5-10%. Absorbsi dipengaruhi faktor
diet sep erti intake protein, calcium, vitamin D dan trace logam seperti seng (Zn).
Proporsi yang besar adalah absorbsi malalui pernafasan yaitu antara 10 -40%
tergantung keadaan fisik wilayah. Uap kadnium sangat toksis dengan lethal dose
melalui pernafasan diperkirakan 10 menit terpapar sampai dengan 190 mg/m3
atau sekitar 8 mg/m3 selama 240 menit akan dapat menimbulkan kematian. Gejala
umum keracunan Cd adalah sakit di dada, nafas sesak (pendek), batuk -batuk dan
lemah. Terpapar akut oleh kadnium (Cd) menyebabkan gejala nausea (mual),
22
muntah, diare, kram, otot, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat, kerusakan
ginjal dan hati, gangguan kardiovaskuler, empisema dan degenerasi testicular.
C. Pengaruh Cd terhadap hipertensi.
Kadnium sebagai penyebab hipertensi atau penyebab penyakit jantung
pada manusia (aterosclerotic heart disease) mungkin masih diragukan, tetapi
percobaan dengan binatng untuk mengetahui hubungan tersebut telah dilakukan.
Binatang percobaan kelinci dibuat hipertensi dengan memberikan injeksi intra
peritoneal kadnium asetat seminggu sekali sampai beberapa bulan lamanya. Suatu
endapan kadnium terbentuk beberapa waktu kemudian dalam jaringan hati dan
ginjal (batu ginjal merupakan salah satu penyebab hipertensi dan hipertensi
merupakan salah satu penyebab penyakit jantung).
D. Pengaruh Cd terhadap kerapuhan tulang.
Penyakit kerapuhan tulang seperti didapatkan pada penyakit itai itai
diketemukan pula pada percobaan pada tikus jantan yang diberi diet makanan
yang mengandung kadnium serta kadar protein dan kalsiumnya rendah.
Bardasarkan percobaan ini orang menduga bahwa makanan yang bergizi rendah
menyebabkan orang mudah terkena keracunan kadnium (kadnium intoxication).
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Logam berat adalah unsur yang memiliki berat lebih besar dari 4 atau 5
dengan jumlah atom 22-34 dan 40-52, serta unsur lantanida dan aklinida, serta
memiliki pengaruh spesifik biokimiawi di dalam hewan dan tumbuhan. Beberapa
logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan terutama adalah
merkuri (Hg), timbal (Pb), arsenik (As), kadmium (Cd), chromium (Cr), dan nikel
(Ni). Logam bersifat toksik karena logam tersebut terikat dengan ligan dari
struktur biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut dalam
beberapa jenis enzim dalam tubuh. Ikatan tersebut mengakibatkan tidak dapat
aktifnya enzim yang yang bersangkutan, hal inilah penyebab utama dari toksisitas
logam tersebut.
3.2 Saran
Sejalan dengan apa yang telah penulis bahas di atas, penulis merumuskan
saran yaitu agar pengawasan terhadap penggunaan logam berat perlu lebih
diperhatikan melihat bahaya atau dampak yang diberikan dari logam tersebut.
24
DAFTAR PUSTAKA
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Jakarta : UI
Press.
Lestari, S. 2010. Sifat dan Karaktristik Logam Berat. Tersedia :
http://srilestari.pdf/2010/12/sifat-dan-karakteristik-logam-berat.pdf , [diakse
s tanggal 6 Mei 2015].
Sudarmaji, J. Mukono, dan Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3
danDampaknya terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2,No. 2.
Goodman A. and Gilman L. 2006. The Pharmacological Basis of Therapeutics.
New York: The McGraw-Hill Company.
25