laporan praktikum farmakoterapi 3 …...laporan praktikum farmakoterapi 3 farmakoterapi pasien...
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 3
FARMAKOTERAPI PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2, ANEMIA, DAN ULKUS
PEDIS
Disusun Oleh:
Afifah Dwi Rahmatika (G1F014027)
Astriana Dian Wahdani (G1F014035)
Alim Wijaya (G1F013039)
Amyda Ayu Dian Ritami (G1F014053)
Alifah Itmi Mushoffa (G1F014073)
Nama Dosen Pembimbing : Ika Mustikaningtyas
Tanggal Diskusi Kelompok : 13 april 2017
Nama Asisten : Aliyah
Tanggal Diskusi Dosen : 18 Mei 2017
LABORATORIUM FARMASI KLINIK
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2017
FARMAKOTERAPI PASIEN STROKE NON HEMORRAGIK DENGAN DIABETES
MELITUS DAN DISLIPIDEMIA
A. REKAM KASUS FARMAKOTERAPI PASIEN RAWAT INAP
Identitas Pasien
Nama Pasien Tn YT Umur/TTL 57 th
No. Rekam Medik 00954291 BB -
Alamat Tambaksogra TB -
Status Jaminan - Jenis Kelamin L
Riwayat MRS
Tanggal MRS 03-01-15 Tanggal KRS
Riwayat MRS Lemas, Kaki kiri terasa sakit, terdapat luka di kaki kiri >1
bulan
Riwayat Penyakit DM
Riwayat Obat Metformin, Glimepirid
Riwayat Lifestyle -
Diagnosa DM II, Anemia, Ulkus Pedis
Parameter Penyakit
TTV Tanggal
3/1/15 4/1/15 5/1/15 6/1/15 7/1/15 8/1/15
TD 180/100 140/80 150/90 150/80 130/80 130/80
N 78 96 88 88 88 80
RR 16 20 22 21 22 21
Suhu 38,3 36 36 36 36 36,5
BAB Cair Cair
Data Laboratorium
Pemeriksaan Satuan Tanggal Pemeriksaan Satuan Tanggal
3/1/15 7/1
Hb / gr/dL 8 Segmen/ /mm3 85,1
Leukosit/ /mm3 15.890 Limfosit/ /mm3 8
HCT/ % 23 Monosit/ /mm3 5,2
Eritrosit/ 106 sel/mm3 2,3 Kreatinin/ mg/dL 1,17
Trombosit/ mm3 354.000 Ureum/ mmol/L 29,5
MCV/ fL 81 GDP mg/dL 162 (4/1/15) ;
151 (5/1/15)
MCH/ pg/sel 27,7 G2JPP mg/dL 164 (4/1/15)
MCHC/ gr/dL 34,2
RDW/ % 13,9
MPV/ /mm3 10,2
Basofil/ /mm3 0,1
GDS/ mg/dL 267
Eosinofil/ /mm3 1
Batang/ /mm3 0,6
Terapi Saat MRS
Obat Dosis Frek Tanggal
3 4 5 6 7 8
IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm v v v v v v
Inj.Ceftriaxon 1 gr 2 kali v v v v v v
Inj.Ketorolac 30 2 kali v v v v v v
Amlodipin 10 mg 1 kali v v v v v v
PCT 500 mg 2 tab v v v v v v
Diaform 2 tab 3 kali - v v v v v
Diazepam 2 mg 2 kali - - v v v v
Metformin 500 mg 1-0-1 v V v v v v
Glimepirid 2 mg 1-0-0 v V v v v v
Terapi Saat KRS
Nama Obat Dosis Frekuensi
Metformin 500 mg 1-0-1
Amlodipin 5 mg 1 x 5 mg
Clindamicin 150 mg 3 x 1
B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
(Kartika, 2017)
Gambar 1. Patofisiologi Ulcer dan Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan hiperglikemia
yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya
efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga
faktor yang sering disebut trias, yaitu: iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa
darah tidak terkendali akan menyebabkan komplikasikronik neuropati perifer berupa
neuropati sensorik, motorik, dan autonom(Kartika, 2017).
Neuropati sensorik biasanya cukup berathingga menghilangkan sensasi proteksi
yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga meningkatkan risiko
ulkus kaki.Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan
abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer toe
dan hallux rigidus.Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.Neuropati autonom
ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler
sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit.Hal ini mencetuskan timbulnya fisura,
kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap trauma minimal.Hal tersebut juga dapat
karena penimbunan sorbitol dan fruktosa yang mengakibatkan akson menghilang,
kecepatan induksi menurun, parestesia, serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot
(Kartika, 2017).
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini
disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang ditandai
oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan
arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal.
Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai
dari ujung kaki atau tungkai(Kartika, 2017).
2. Guideline Terapi
(Sumber: Garber et al , 2015)
Gambar 1. Guideline Terapi diabetes Melitus
(Sumber: Lipskyet al, 2012).
Gambar 3. Guideline Terapi Ulkus Pedis
C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN SOAP
1. Subjective
Nama Pasien : Tn. YT
No. Rekam Medik : 00954291
Umur/TTL : 57 th
BB : -
TB : -
Jenis Kelamin : L
Alamat : Tambaksogra
Status Jaminan : -
Riwayat MRS : Lemas, Kaki kiri terasa sakit, terdapat luka di kaki
kiri >1 bulan
Riwayat Penyakit : DM
Riwayat Obat : Metformin, Glimepirid
Riwayat Lifestyle : -
Diagnosa : DM II, Anemia, Ulkus Pedis
2. Objective
Parameter Penyakit
TTV Tanggal Nilai
Normal Keterangan Interpretasi
3/1/15 4/1/15 5/1/15 6/1/15 7/1/15 8/1/15
TD 180/100 140/80 150/90 150/80 130/80 130/80 120/80 Meningkat Hipertensi
N 78 96 88 88 88 80 50-
80x/menit
Normal -
RR 16 20 22 21 22 21 16-20 Normal -
Suhu 38,3 36 36 36 36 36,5 37 Normal -
BAB Cair Cair - - Diare
Data Laboratorium
Pemeriksaan Tanggal
Normal Keterangan Interpretasi 3/1 4/1 5/1
GDS 267 - - 70-200 mg/dL Meningkat Diabetes Mellitus
GDP - 162 157 70 - 100 mg/dL Meningkat Diabetes Mellitus
G2JPP - 164 - 100-120 mg/dL Meningkat Diabetes Mellitus
HB 8 - - 12-16 g/dL Menurun Anemia
HCT 23 - - 40% - 50 % Menurun Anemia
MCH 27,7 - - 28– 34 pg/ sel Meningkat Anemia
Eritrosit 2,3 - - 4,4 - 5,6 x 106
sel/mm3
Menurun Anemia
Leukosit 15890 - - 3200-10000 / mm3 Meningkat Ulkus Pedis
Segmen 85,1 - - 36-73 % Meningkat Ulkus Pedis
Limfosit 8 - - 15-45 % Normal Ulkus Pedis
Eusinofil 1 - - 0-6 % Normal Ulkus pedis
Neutrofil adalah leukosit yang paling banyak. Neutrofil terutama berfungsi sebagai
pertahanan terhadap invasi mikroba melalui fagositosis. Sel ini memegang peranan
penting dalam kerusakan jaringan yang berkaitan dengan penyakit noninfeksi seperti
artritis reumatoid, asma dan radang perut. Peningkatan jumlah neutrofil berkaitan
dengan tingkat keganasaninfeksi (Kemenkes, 2011).
Limfosit merupakan sel darah putih yang kedua paling banyak jumlahnya. Sel ini
kecil dan bergerak ke daerah inflamasi pada tahap awal dan tahap akhir proses
inflamasi. Hanya 5% dari total limfosit yang beredar pada sirkulasi. Limfopenia dapat
terjadi pada penyakit Hodgkin, luka bakar dantrauma (Kemenkes, 2011).
Adanya penurunan nilai eritrosit, Hb, Hct dan MCH menunjukkan adanya anemia
pada pasien. Rendahnya nilai Hb membuat tubuh memproduksi eritrosit dalam jumlah
yang sedikit. Adanya nilai Hct yang rendah juga salah satu tanda adanya kelainan
pada darah. MCV merupakan parameter ukuran rata-rata eritrosit yang dapat
digunakan untuk mengetahui jenis anemia, MCV < normal menunjukkan anemia
defisiensi besi. MCH < normal menunjukkan sedikitnya jumlah Hb yang membawa
oksigen (NIH, 2011).
Menurut Singh et al (2009) anemia pada laki-laki ditandai apabila nilai Hb < 13 g/dL.
3. Assesment
Diagnosa Pasien : DM II, Anemia, Ulkus Pedis
Problem medik yang perlu diterapi : -
Terapi Pasien
Terapi yang telah diterima pasien
Obat Dosis Frek Tanggal
3 4 5 6 7 8
IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm v v v v v v
Inj.Ceftriaxon 1 gr 2 kali v v v v v v
Inj.Ketorolac 30 2 kali v v v v v v
Amlodipin 10 mg 1 kali v v v v v v
PCT 500 mg 2 tab v v v v v v
Diaform 2 tab 3 kali - v v v v v
Diazepam 2 mg 2 kali - - v v v v
Metformin 500 mg 1-0-1 v v v v v v
Glimepirid 2 mg 1-0-0 v v v v v v
Drug Therapy Problem (DTP)
Subjective Objective Assessment
-
GDS = 267 mg/dL;
GDP = 162 mg/dL;
G2JPP = 164 mg/dL;
HbA1c 10,9 %
DRP: Kebutuhan terapi tambahan (Glimepirid saat
KRS)
Pada saat KRS, pasien hanya diberikan terapi OHO
metformin saja. Padahal penggunaan terapi kombinasi 2
OHO (metformin dan glimepirid) seharusnya diberikan
selama minimal 3 bulan untuk kemudian di cek kadar
HbA1C dan GDS nya untuk menentukan langkah terapi
yang selanjutnya (Kim et al., 2014). Oleh karena itu,
seharusnya pasien tetap diberikan terapi kombinasi 2
obat tersebut saat KRS.
Penyelesaian : Diberikan terapi glimepirid saat KRS.
Lemas
HB 8; Hct 23; MCH
27,7 (28-34)
Eritrosit 2,3 (4,4-5,6)
DRP : Indikasi tanpa Terapi ( Anemia )
Menurut Barbieri et al (2015) anemia dapat
disebabkan karena adanya hambatan saat
eritropoiesis terutama pada pasien DM. Hambatan
ini terjadi karena adanya pengaruh sitokin inflamasi
terutama IL-6. Sehingga terapi yang diberikan
adalah erythropoietin Stimulating Agent (ESA)
(Pavkovic et al., 2004).
Penyelesaian : Diberikan Darbepoetin Alfa (0,46 – 0,59
µg/Kg/minggu) secara subkutan selama 4 minggu.
Kaki kiri
terasa sakit,
terdapat luka
di kaki kiri >
Leukosit = 15.890
/mm3; Segmen =
85,1 %; Limfosit = 8
%
DRP: Obat tidak Efektif (Ulkus Pedis)
Menurut Lipsky (2012), ulkus pedis pasien termasuk ke
dalam Grade 4 (Severe), dapat dilihat dari suhu > 38oC,
1 bulan
RR > 20 kali per menit, dan leukosit > 12.000/mm3.
Ceftriaxon kurang di rekomendasikan sebagai terapi
pilihan untuk mengatasi Ulkus Pedis Grade 4 (Severe)
(Lipsky et al, 2012).
Piperacillin/Tazobactam merupakan antibiotik yang
direkomendasikan sebagai pilihan terapi untuk ulkus
pedis Grade 4 (Severe) (Modha, et al., 2007, Lipsky, et
al., 2012, Abbas, et al., 2015)
Penyelesaian : Injeksi Ceftriaxon diganti dengan
Piperacillin/Tazobactam.
- Suhu 38,5C (3/1/15)
DRP: Overdose ( Paracetamol)
Pada kasus pasien mengalami demam pada hari pertama
dan telah diatasi dengan parasetamol. Pada hari kedua
MRS suhu tubuh pasien kembali normal (36C). Namun
selama MRS pasien tetap diberikan parasetamol
meskipun suhu tubuhnya sudah normal. Menurut
Hammond & Boyle (2011), antipiretik tidak boleh
digunakan secara rutin karena dapat bersifat toksik.
Sehingga penggunaan parasetamol hanya digunakan saat
demam saja.
Penyelesaian : Parasetamol digunakan saat pasien
demam saja
- BAB Cair (3-4/1/15)
DRP : Overdose ( Diaform )
Pada kasus pasien mengalami BAB cair dan diberikan
terapi diaform sehingga pada tanggal 5/1 pasien tidak
lagi BAB cair. Namun pada kasus ini penggunaan
diaform tetap dilanjutkan selama MRS. Menurut
drugs.com, penggunaan kaolin tidak bolehlebih dari 2
hari, sehingga diaform sebaiknya diberikan saat diare
saja.
Penyelesaian : Diaform digunakan saat diare saja,
maksimal 2 hari. Apabila diare
Kaki kiri
terasa sakit -
DRP : Overdose (Inj Ketorolac)
Penggunaan ketorolak tidak disarankan untuk
penggunaan jangka panjang atau > 5 hari karena
dapat memberikan beberapa efek samping yaitu
koagulasi, gangguan gastointestinal, dan
nefrotokosisitas (Heo et al., 2015 dan Jusuf, 2008).
Sehingga jangka terapi yang disarankan untuk
pasien adalah injeksi ketorolac 30 mg IV 1 kali
sehari selama 5 hari.
Penyelesaian : Inj Ketorolac diberikan secara IV 1
kali sehari.
4. Plan
a. Tujuan Terapi
Menghilangkan keluhan dan tanda DM, mengontrol kadar glukosa darah pasien.
Mencegah dan menghambat progresivitas ulkus pedis.
Mengatasi Anemia.
b. Terapi Non-Farmakologis
Diet sehat atau perubahan gaya hidup, cukup istirahat, melakukan olahraga
ringan.
Menghindari faktor resiko seperti kelebihan berat badan, merokok, atau
konsumsi alcohol.
Melakukan diet, sehingga meminimalkan beban berat ulkus. Meliputi bedrest
atau kursi roda sehingga tidak terjadi trauma berulang di tempat yang sama.
Menjaga kelembaban di daerah yang luka, penggunaan balutan di lokasi ulkus
dengan kasa steril.
Menjaga kebersihan kaki.
c. Terapi farmakologis yang Diterima Pasien
1. IVFD NaCl 0,9 %
Infus NaCl diberikan dengan indikasi penggantian cairan plasma isotonik
yang hilang. Kebutuhan terapi cairan pasien diabetes bertujuan untuk perluasan
volume intravaskuler, interstisial, dan intraseluler. Pada pasien yang memiliki
kadar gula darah tinggi semua volume cairan tersebut mengalami penurunan
sehingga diberikan cairan isotonik. Infus 0.9% NaCl dengan kecepatan infus 20
tpm dapat diberikan pada pasien diabetes (Kitabachi et al., 2009).
(Kitabachi, 2009)
2. Tazosin (Piperacillin dan Tazobactam)
Menurut Lipsky (2012), ulkus pedis pasien termasuk ke dalam Grade 4
(Severe), dapat dilihat dari suhu > 38oC, RR > 20 kali per menit, dan leukosit >
12.000/mm3. Piperacillin/Tazobactam merupakan antibiotik yang
direkomendasikan sebagai pilihan terapi untuk ulkus pedis Grade 4 (Severe)
(Modhaet al., 2007, Lipskyet al., 2012, Abbaset al., 2015).
(Lipsky, 2012)
Piperacillin/Tazobactam merupakan antibiotik golongan penicillin anti-
pseudomonas yang memiliki aktivitas antibakteri spektrum luas dan sesuai untuk
pengobatan infeksi polimikrobial (aerob dan anaerob). Abbaset al(2015) telah
mereview perbandingan Piperacillin/Tazobactam dengan beberapa obat seperti
Ertepenem, Ampicillin/Sulbactam, dan Moxifloxacin. Piperacillin/Tazobactam
memiliki remisi klinik yang lebih baik apabila dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik oral seperti Amoxicillin/Clavulanate (Scharper, 2013).
Dosis Piperacillin/Tazobactam yang digunakan untuk mengatasi ulkus
pedis grade 4 (Severe) adalah 4,5 gram secara IV diberikan 3 kali sehari (Lipsky,
2012, MIMS, 2017).
3. Amoxicillin/Clavulanate
Amoxicillin/Calvulanate merupakan antibiotik golongan penicillin
dengan spektrum luas. Pasien ulkus pedis grade 4 (Severe) diberikan terapi
utama secara parenteral/IV kemudian diganti secara peroral secepatnya apabila
kondisi pasien telah stabil (Lipsky, 2012). Menurut Anti-Infective Subcommittee
(2004), Piperacilin/Tazobactam 4,5 gram IV 3 kali sehari diganti menggunakan
Amoxicillin/Clavulanate 875 mg PO 2 kali sehari ± Azithromycin 250 mg PO
setiap hari untuk mendapatkan remisi klinis yang lebih baik.Sehingga
Amoxicillin/Clavulanate dipilih sebagai terapi KRS pasien.
(Anti-Infective Subcommittee, 2004)
4. Injeksi Ketorolak
Ketorolak merupakan obat golongan antiiflamasi non steroid (NSAID)
yang mempunyai efek antiinflamasi dan antipiretik (Jusuf, 2008). Pada pasien
penderita ulkus pedis ketorolac digunakan untuk mengatasi nyeri yang
disebabkan dari ulkus pedis. Tingkat nyeri pada ulkus pedis berada diatas angka
5.6 atau berada pada tingkat sedang – parah (Davis et al., 2006; Haefeli dan
Elfering, 2006 dan Ministry of Health, 2012). Berdasarkan guidelinepain
management terapi farmakologi untuk nyeri dengan tingkat sedang – parah
adalah menggunakan opioid atau morfine. Lebih lanjut, pada guideline juga
menyebutkan bahwa penggunaan ketorolac 30 mg IV dianggap setara dengan 4
mg IV morfin. Sehingga penggunaan ketorolac 30 mg IV 2 kali sehari dinilai
tepat untuk mengatasi nyeri pada pasien ulkus pedis (Ministry of Health, 2012).
Penggunaan ketorolak tidak disarankan untuk penggunaan jangka
panjang atau > 5 hari karena dapat memberikan beberapa efek samping yaitu
koagulasi, gangguan gastointestinal, dan nefrotokosisitas (Heo et al., 2015 dan
Jusuf, 2008). Sehingga jangka terapi yang disarankan untuk pasien adalah
injeksi ketorolac 30 mg IV 1 kali sehari selama 5 hari.
5. Inj Diazepam
Diazepam merupakan obat golongan benzodiazepin yang mempengaruhi
sitem saraf otak dan memberikan efek penenang. Penggunaan diazepam dapat
memberikan efek analgesik (Pramod et al., 2011). Selain itu, penggunaan secara
bersamaan antara diazepam dan ketorolac tidak menimbulkan interaksi obat
sehingga injeksi diazepam secara IV dengan dosis 2 mg 2 kali sehari dinilai
tepat untuk diberikan pada pasien (Drug, 2017 dan Medscape, 2017).
6. Amlodipin
Pada kasus ini pasien mengalami peningkatan tekanan darah padah hari
pertama MRS, dan diberikan terapi Amlodipin (antihipertensi golongan CCB).
Menurut JNC 8, pasien hipertensi dengan DM dapat diberikan terapi thiazide,
ACEi, ARB, atau CCB baik monoterapi maupun kombinasi dengan algoritma
terapi sebagai berikut:
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seccia ela al. (1995)
mengkonfirmasi efikasi antihipertensi amlodipin pada pasien diabetes dengan
hipertensi, dan menyarankan penggunaannya pada pasien DM dengan hipertensi
karena adanya pengaruh yang menguntungkan dari obat ini pada kontrol
glikemik dan lipid. Penelitian menunjukkan adanya penurunan nilai SBP dan
DBP yang signifikan setelah 2 minggu pengobatan dan bahkan lebih terasa
setelah 4 minggu. Penurunan TD terjadi 3 sampai 8 dan 24 jam setelah asupan
obat di pagi hari.
Menurut Ko et al. (2001), baik amlodipin dan nifedipine relatif aman dan
berguna dalam pengobatan hipertensi pada pasien diabetes tipe 2 di China.
Namun, nifedipine bila dibandingkan dengan amlodipin menunjukkan efek
samping yang jauh lebih buruk dan hal ini dapat menghambat kepatuhan jangka
panjang. Sehingga lebih dipilih amlodipin. Dari bukti-bukti tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian amlodipin dengan dosis 5-10 mg 1 x sehari (JNC
8) pada pasien ini sudah sesuai.
7. Paracetamol
Pada kasus pasien mengalami demam pada hari pertama dan telah diatasi
dengan parasetamol. Pada hari kedua MRS suhu tubuh pasien kembali normal
(36C). Namun selama MRS pasien tetap diberikan parasetamol meskipun suhu
tubuhnya sudah normal. Menurut Hammond & Boyle (2011), antipiretik tidak
boleh digunakan secara rutin karena dapat bersifat toksik. Sehingga penggunaan
parasetamol hanya digunakan saat demam saja.
Selain digunakan sebagai antipiretik saat MRS, terapi parasetamol
diberikan kembali pada saat KRS untuk mengatasi nyeri kaki yang dialami oleh
pasien karena adanya ulkus pedis. Pemberian PCT ini diberikan sebagai terapi
alternatif karena ketorolac yang diberikan saat MRS hanya dapat diberikan
maksimal 5 hari, sehingga untuk menangani nyeri digunakan PCT. Menurut
Toft (2014) untuk neuropati diabetes paracetamol yang merupakan obat
penghilang rasa sakit, juga dikenal sebagai analgesic akan memblokir pesan
nyeri ke otak Sehingga otak tidak tahu bahwa seharusnya merasakan rasa sakit.
Menurut Hall et al. (2013), penggunaan parasetamol, baik dosis tunggal
maupun kombinasi dengan kodein atau dihydrocodeine merupakan salah satu
pengobatan lini pertama yang paling umum digunakan untuk kondisi nyeri
neuropati seperti PHN, PDN, nyeri punggung bawah neuropati, atau nyeri
tungkai phantom. Sehingga untuk mengatasi nyeri pada kaki setelah KRS dapat
diberikan PCT.
8. Diaform
Pada kasus pasien mengalami BAB cair dan diberikan terapi diaform
sehingga pada tanggal 5/1 pasien tidak lagi BAB cair. Namun pada kasus ini
penggunaan diaform tetap dilanjutkan selama MRS. Menurut drugs.com,
penggunaan kaolin tidak boleh lebih dari 2 hari, sehingga diaform sebaiknya
diberikan saat diare saja.
9. Metformin dan Glimepirid
Nilai GDS pasien 267 mg/dL atau ketika dikonversi didapatkan nilai
HbA1C sebesar 10,9 % yang artinya pasien ini mengalami diabetes mellitus.
Menurut Garber et al (2015), terapi utama pasien DM adalah perubahan gaya
hidup. Pasien DM dengan nilai HbA1C lebih dari 9%, kemudian dilihat ada atau
tidaknya symptom pada pasien. Pasien belum mengalami symptom seperti
poliuri, polifagi dan polidipsi sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien belum
mengalami symptom sehingga pasien diberi dual terapi. Pada kasus, pasien
diberikan kombinasi metformin dan glimepirid selama di rumah sakit.
Kemudian dilakukan pengecekan GDP pada tanggal 4 dan 5, hasilnya
kombinasi tersebut dapat menurunkan kadar GDP, sehingga dapat diasumsikan
bahwa kombinasi obat tersebut efektif untuk digunakan pada pasien DM kasus
ini. Dosis glimepiride saat MRS diberikan 2 mg sekali sehari dan dosis
metformin 500 mg dua kali sehari. Menurut MIMS (2017) dosis metformin 500
mg dan glimepirid 2 mg yang diberikan kepada pasien sudah sesuai.
(Sumber: Garber et al, 2015).
(MIMS, 2017).
Pasien diberikan metformin 500 mg 2 kali sehari dalam sediaan tablet
metformin dan diberikan tablet glimepirid 2 mg 1 kali sehari sebelum makan
atau bersama makanan. Menurut Shimpi (2009), kombinasi metformin dan
glimepirid dapat mengontrol kadar glukosa lebih baik daripada kombinasi
metformin dan glibenklamid, karena dapat menurunkan kadar HbA1C, GDP
dan GDS lebih signifikan. Pada saat KRS, pasien hanya diberikan terapi OHO
metformin saja. Padahal penggunaan terapi kombinasi 2 OHO (metformin dan
glimepirid) seharusnya diberikan selama minimal 3 bulan untuk kemudian di
cek kadar HbA1C dan GDS nya untuk menentukan langkah terapi yang
selanjutnya (Kim et al, 2014). Oleh karena itu, seharusnya pasien tetap
diberikan terapi kombinasi 2 obat tersebut saat KRS.
(Sumber: Kim et al, 2014).
10. Darbopoetin Alfa
Menurut Pavkovic et al. (2004) pasien DM2 disertai anemia diberikan
terapi erithropoetin stimulating agent (ESA). ESA bekerja pada semua agen
yang meningkatkan eritropoiesis baik melalui aksi langsung maupun tidak
langsung pada reseptor erythropoietin. Ada 3 jenis ESA yang tersedia pada saat
ini yaitu epoetin alfa, epoetin beta, dan darbepoetin. Epoetin alfa dan beta telah
dirancang menyerupai eritropoetin endogen secara molekuler dan memiliki
farmakokinetik yang sama. Epoetin alfa dan beta merupakan short acting ESA,
sedangkan darbepoetin merupakan ESA generasi kedua yang memiliki aksi
long acting (KDOQI, 2006).
Menurut Can et al., (2013) dan Loughnan et al. (2011), Epoetin Alfa,
Epoetin Beta, dan Darbepoetin alfa memiliki efek yang tidak jauh berbeda.
Namun menurut Carerra et al., (2009) pengunaan darbepotein alfa lebih efisien
dari segi harga dan frekuensi. Sehingga terapi anemia yang dipilih adalah
darbepoetin alfa berhubung usia pasien 57 tahun dan untuk meningkatkan
kepatuhan pasien. Dosis darbepoetin yang diberikan adalah (0,46 – 0,59
µg/Kg/minggu) secara subkutan. Terapi dilakukan selama 4 minggu karena
pada pasien anemia dengan tingkat Hb awal kurang dari target, Hb meningkat
sebesar ±1 g/dL pada 4 minggu awal pemberian. Pemberian melalui subkutan
lebih efektif pada pasien non dialisis karena pada pmeberian subkutan resiko
terjadinya aplasia sel darah merah lebih kecil dan pemberian secara subkutan
lebih mudah jika dibandingkan intravena.
Jadi, saran terapi untuk Ny. Wa:
Obat Dosis Frekuensi Tanggal
3/1 4/1 5/1 6/1 7/1 8/1
IVFD NaCl 0.9% 20 tpm - V V V V V V
Tazocin 4,5 gr IV 3X V V V V V V
Injeksi Ketorolak 30 mg 1X V V V V V -
Amlodipin 10 mg 1X V V V V V V
PCT 500 mg 3X V - - - - -
Diaform 2 tab 3X - V - - - -
Inj Diazepam IV 2 mg 2X V V V V V -
Metformin 500 mg 1-0-1 V V V V V V
Glimepirid 1 mg 1-0-0 V V V V V V
Darbepoetin Alfa 0,59
µg/Kg/mgg
- V - - - - -
Terapi yang disarankan saat KRS
Obat Dosis Frekuensi
Amlodipin 5 mg 1X sehari selama 5 hari
Metformin 500 mg 1-0-1 (2X sehari)
Glimepirid 1 mg 1-0-0 (1X sehari)
Darbepoetin Alfa
(Aranesp)
0,59 µg/Kg/mgg 1X seminggu selama 3
minggu
Amoxicillin/Clavulanate
(Augmentin)
875 mg PO 2 x 1 sehari (06.00, 18.00)
Dengan durasi 7 -10 hari
d. Konseling Informasi dan Edukasi (KIE)
Tenaga Kesehatan
Perlu dilakukan pengecekan kadar ferritin dan saturasi transferin pada pasien
untuk memutuskan perlu digunakan suplementasi besi sebagai terapi adjuvant
atau tidak.
Pemberian darbopoetin alfa dengan dosis 0,46 – 0,59 µg/Kg/minggu secara sc
yaitu pada tanggal 3/1 ; 10/1 ; 17/1
Perlu dilakukan monitoring gejala dan tanda anemia (Hb, Hct, eritrosit) setiap
1 minggu sekali.
Mengecek HbA1c dan GDS 3 bulan setelah pemberian OHO.
Memonitoring tanda dan gejala terjadinya hipoglikemi seperti menggigil, sakit
kepala, lapar dll.
Mengkonfirmasi kepada dokter terkait terapi yang disarankan.
Piperacillin/Tazobactam tidak bisa dicampur dengan obat lain dalam 1 syringe.
Dilakukan monitoring leukosit setiap 3 hari
Dokter
Mengkonfirmasi apabila target keberhasilan nilai GDS belum tercapai untuk
penggantian terapi atau penggunaan triple terapi.
Segera dilakukan monitoring mengenai jenis luka yang dialami pasien.
Pasien
Memotivasi pasien untuk melakukan diet dan merubah gaya hidup.
Memotivasi kepatuhan minum obat pasien.
Mengingatkan jadwal minum obat setelah KRS
e. Monitoring
Obat Monitoring Target
Keberhasilan Keberhasilan ESO
Tazocin Menurunkan kadar
leukosit sehingga
mengatasi infeksi yang
terjadi
Diare, mual, muntah,
kemerahan.
Kadar Leukosit
normal = 10.000
/mm3
Tidak terjadi
infeksi pada kaki.
Amlodipin TD Pasien Normal Pembengkakan
pergelangan kaki atau
kaki.
TD 130/80 mmHg
monitoring setiap
hari
PCT Suhu Normal Feses hitam, Urin
keruh
Nyeri di punggung
bagian bawah dan /
atau samping
Suhu 36-37C,
monitoring setiap
hari.
Diaform BAB normal kembung, penurunan
nafsu makan.
BAB tidak caiir,
monitoring setiap
hari.
Metformin Kadar glukosa darah Hipoglikemi, Pusing, Nilai GDS 140-
Glimepirid terkontrol. sakit kepala, mual,
muntah.
Gangguan GI.
180 mg/dL
Nilai GDP 90-130
mg/dL
(ADA, American
Diabetes
Association).
Dilakukan
monitoring
HbA1C tiap 3
bulan sekali.
Darbepoetin
Alfa
(Aranesp)
Nilai Hb, Hct, Eritrosit,
MCH
Hyper/Hypotension
(20%)
Spasm (17%), Upper
respiratory infection,
Headache (15%) , dll.
Hb: 10.5-12.5 g/dL
Setiap 1 kali/
minggu selama 4
minggu. (Singh et
al, 2009)
IVFD NaCl
0.9%
Mencukupi kebutuhan
cairan pasien, tidak
terjadi dehidrasi.
Kemerahan, nyeri,
atau bengkak saat
disuntikkan
Elektrolit normal.
Inj
Ketorolac
Rasa nyeri pada ulkus
pedis
Sakit kepala,
dispepsia, gangguan
pencernaan
Rasa nyeri yang
dairasakan pasien
berkurang setelah
5 hari pemberian
Diazepam Rasa nyeri pada ulkus
pedis
Diare, euforia Rasa nyeri yang
dairasakan pasien
berkurang setelah
5 hari pemberian
D. KESIMPULAN
Problem medik pasien sesuai dengan diagnosa adalah DM dengan anemia dan ulkus
pedis. Terdapat beberapa DRP pada pengobatan pasien Tn. YT yaitu adanya overdose pada
glimepirid, PCT, inj ketorolac, dan diaform, obat yang tidak efektif pada injeksi ceftriaxon,
serta dibutuhkannya terapi tambahan darbepoetin alfa dan gimepirid KRS. Penatalaksanaan
terapi farmakologis sebaiknya diberikan yaitu NaCl 0,9%, tazozin, inj. ketorolak, almodipin,
PCT, diaform, diazepam, glimepirid, metformin, dan darbepoetin alfa.
E. DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M., Uckay I., Lipsky B. A., 2015, In diabetic foot infections antibiotics are to treat
infection, not to heal wounds, Expert Opinion Pharmacother, 16(6).
Bader, Mazen S., 2008, Diabetic Foot Infection, American Family Physician, 78 (1) : 71 - 79.
Can, C., Emre, S., Bilge, I., Yilmaz, A., and Sirin, A., 2013. Comparison of recombinant human
erythropoietin and darbepoetinalpha in children. Pediatrics International (2013) 55,
296–299.
Carrera, F., and Burnier, M., 2009. Use of darbepoetin alfa in the treatment of anaemia of
chronic kidneydisease: clinical andpharmacoeconomic considerations. NDT Plus
(2009) 2 [Suppl 1]: i9–i17.
Davies, M., Brophy, S., Williams, R., dan Taylor, A., 2006. The Prevalence, Severity, and
Impact of Painful Diabetic Peripheral Neuropathy in Type 2 Diabetes. Diabetes Care Vol.
2.
Haefeli, M., dan Elfering, A., 2006. Pain Assessment. Eur Spine J 15: S17-S24.
Hall GC, Morant SV, Carroll D, Gabriel ZL, McQuay HJ. 2013. An observational descriptive
study of the epidemiology and treatment of neuropathic pain in a UK general population.
BMC Family Practice. 14:28. [DOI: 10.1186/ 1471-2296-14-28].
Hammond NE, Boyle M. 2011. Pharmacological versus non-pharmacological antipyretic
treatments in febrile critically ill adult patients: a systematic review and meta-
analysis. Australian Critical Care. 24(1): 4-17.
Heo, B.H., Park, J.H., Choi, J.I., Kim, W. M., Lee, H. G., Cho, S. Y., dan Yoon, M. H., 2015. A
Comparative Effect of Proparacetamol and Ketorolac in Postoperative Patient Controlled
Analgesia. Korean J Pain Vol. 28 No. 3: 203-209.
James PA, Ortiz E, et al. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults: (JNC8). JAMA. 5;311(5):507-20.
Jusuf, Jenny, 2008. Efektivitas dan Efek Samping ketorolac Sebagai Tokolitik pada Ancaman
Persalinan Prematur Tinjauan Perbandingan dengan Nifedipin. Tesis. Program
Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri
Ginekologi UNDIP. Semarang.
Kartika, Ronald, W., 2017, Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik, CDK-248,44 (1) : 18 – 22.
KDOQI, 2006, Anemia In Chronic Kidney Disease In Adults, American Journal of Kidney
Diseases, 47(5):S54-S57.
Ko GT, Chan HC, Chan CH. 2001. Blood pressure reduction and tolerability of amlodipine
versus nifedipine retard in Chinese patients with type 2 diabetes mellitus and
hypertension: a randomized 1-year clinical trial. Int J Clin Pharmacol Ther. (8):331-5.
Lipsky, B. A., Berendt A. R., Cornia P. B., et al., 2012, 2012 Infectious Diseases Society of
America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot
Infections, CID 2012, 54 : 132 - 173.
Loughnan, A., Ali, G. R., Abeygunasekara, S. C., 2011, Comparison of the Therapeutic
Efficacy of Epoetin Beta and Epoetin Alfa in Maintenance Phase Hemodialysis
Patients, Renal Failure, 33(3):373-375.
Medscape, 2017. Darbepoetin alfa. http://reference.medscape.com/drug/aranesp-darbepoetin-
alfa-342150#4 diakses pada tanggal 1 Mei 2017.
MIMS, 2017, Tazocin, http://www.mims.com/indonesia/ drug/info/tazocin/?type=full diakses
tanggal 17 Mei 2017.
Ministry of Health, 2012. Pain Management Guideline. Republic of Rwanda.
Modha, D., Bukhari S., Swann A., Kong M., Dawson K., 2007, Antimicrobial Guidelines for
the Empirical Management of Diabetic Foot Infections, UHL Policies and Guidelines
Committee.
NIH, 2011, Your Guide To Anemia, US Department of Health and Human Services : United
State.
Pramod, G.V., Shambulingappa, P., Shashikanth, M.C., dan Lee, S., 2011. Analgesic Efficacy
od Diazepam and Placebo in Patients with Temporomandibular Disorders: A double blind
Randomized Clinical Trial. Indian J Dent Res 2011; 22:404-9.
Scharper, N. C., Dryrden M., Kujath P., et al., 2013, Efficacy and safety of IV/PO moxifloxacin
and IV piperacillin/tazobactam followed by PO amoxicillin/clavulanic acid in the
treatment of diabetic foot infections: results of the RELIEF study, Infection, 41:175–186.
Singh, D.K., Peter, W., and Ken, F., 2009. Erythropoietic stress and anemia in diabetes mellitus.
Nat. Rev. Endocrinol. 5, 204–210 (2009).
T.M. Seccia, V Vulpis, S. Ricci and A. Pirrelli. 1995. Antihypertensive and Metabolic Effects
of Amlodipine in Patients with Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus. Clin. Drug
Invest. 9 (1): 16-21.
Toft, D.J. 2014. Medications to Treat Diabetic Peripheral Neuropathy.
https://www.endocrineweb.com/guides/diabetic-neuropathy/medications-treat-diabetic-
peripheral-neuropathy. Diakses pada tanggal 22 Mei 2017.
F. LAMPIRAN
(Heo, et al. 2015)
(Davies, et al, 2006)
Haefeli, M., dan Elfering, A., 2006
Ministry of Health, 2012