farmakoterapi stroke

38
STROKE Disusun Oleh : Achmad Fauzi Al’ Amrie (260112120033) PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN 1

Upload: achmad-fauzi-al-amrie

Post on 11-Aug-2015

888 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Farmakoterapi Stroke

STROKE

Disusun Oleh :

Achmad Fauzi Al’ Amrie (260112120033)

PROGRAM PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2012

1

Page 2: Farmakoterapi Stroke

STROKE

A. DEFINISI

Stroke merupakan cedera vaskular akut pada otak dimana terjadi suatu

cedera mendadak dan berat pada pembuluh – pembuluh darah otak. Cedera dapat

disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, atau

pecahnya pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan darah yang

memadai (Feigin, 2004).

B. PATOFISIOLOGI

1. Faktor Resiko Stroke

a. Faktor resiko tidak dapat dimodifikasi untuk stroke antara lain

peningkatan usia, laki – laki, ras (Amerika – afrika, Asia, Amerika

latin) dan turunan.

b. Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi antara lain hipertensi dan

penyakit jantung (penyakit jantung koroner, gagal jantung, hipertropi

ventrikel kiri, fibrilasi atrial).

c. Faktor resiko lainnya antara lain serangan iskemia sementara, diabetes

melitus, dislipidemia, dan merokok (Sukandar et al., 2008).

2

Page 3: Farmakoterapi Stroke

Secara umum stroke dibagi menjadi dua macam yakni stroke iskhemia

dan stroke hemoragik (pendarahan).

3

Page 4: Farmakoterapi Stroke

2. Stroke Iskhemia

Sejumlah 88% dari semua stroke adalah stroke iskhemia yang

disebabkan oleh pembentukan trombus atau emboli yang menghambat arteri

serebral. Aterosklerosis serebral adalah faktor penyebab dalam kebanyakan

masalah stroke iskhemia, walaupun 30% tidak diketahui etiologinya. Emboli

dapat muncul dari arteri intara dan ekstra kranial. 20% stroke emboli muncul

dari jantung (Rumantir, 2007).

Pada ateroslerosis karotid, plak dapat rusak karena paparan kolagen,

agregasi platelet, dan pembentukan thrombus. Bekuan dapat menyebabkan

hambatan sekitar atau terjadi pelepasan dan bergerak kearah distal, pada

akhirnya akan menghambat pembuluh serebral (Sukandar et al., 2008).

Dalam masa embolisme kardogen, aliran darah yang berhenti dalam

atrium atau ventrikelmengarah ke pembentukan bekuan local yang dapat

pelepasan dan bergerak melalui aorta menuju sirkulasi serebral. Hasil akhir

baik pembentukan thrombus dan embolisme adalah hambatan arteri,

penurunan aliran darah serebral dan penyebab ischemia dan akhirnya infark

distal mengarah hambatan (Sukandar et al., 2008).

Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Stroke Trombotik

Yaitu proses terbentuknya thrombus yang menyebabkan penggumpalan.

b. Stroke Embolik

Yaitu Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.

c. Hipoperfusion Sistemik

Yaitu Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya

gangguan denyut jantung (Feigin, 2004)

3. Stroke Pendarahan (Hemoragik)

Sejumlah 12% stroke adalah stroke pendarahan dan termasuk

pendarahan subarakhnoid, pendarahan intra serebral, dan hematomas

subdural. Pendarahan subarakhnoid dapat terjadi dari luka berat atau rusaknya

aneurisme intrakranial atau cacat arteriovena. Pendarahan intra serebral terjadi

ketika pembuluh darah rusak dalam parenkim otak menyebabkan

4

Page 5: Farmakoterapi Stroke

pembentukan hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena luka

berat (Chirztoper, 2007).

Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada

jaringan sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neurotoksik dan

produk urainya. Penekanan terhadap jaringan yang dikelilingi hematomas

dapat mengarah pada iskhemia sekunder. Kematian karena stroke pandarahan

kebanyakan disebabkan oleh peningkatan kerusakan dalam penekanan

intakranial yang mengarah pada herniasi dan kematian (Sukandar et al.,

2008).

4. Etiologi dari Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus

stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan

serebelum. Gejala klinisnya yaitu:

Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan

aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa

peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah,

gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan epistaksis.

Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai

hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum.

Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks

pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi

Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK),

misalnya papiledema dan perdarahan subhialoid (Chirztoper, 2007).

b. Perdarahan subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi

perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer (Chirztoper,

2007).

5

Page 6: Farmakoterapi Stroke

C. MANIFESTASI KLINIK STROKE

Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi

serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan

cepat, selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukan-

nya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama

maknanya dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke (Har-

sono, 1996, hal 67).

Gejala stroke secara umum, antara lain (Harsono, 1996, hal 67) :

muntah

penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma)

gangguan berbicara (afasia) atau bicara pelo (disastria)

wajah tidak simetris atau mencong

kelumpuhan wajah / anggota badan sebelah (hemiperase) yang timbul secara

mendadak.

gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.

gangguan penglihatan, penglihatan ganda (diplopia)

 vartigo, mual, muntah, dan nyeri kepala

Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,

monoparese, quidriparese (kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang

sama), hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, dan ataksia (berjalan

tidak mantap, tegak, tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang

luas). Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendirinya, namun umumnya

muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga

penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik (Hass-

mann, 2010).

Gejala tersebut bisa muncul saat bangun tidur ataupun saat beraktivitas.

Pada penderita hipertensi dengan tekanan darah yang tidak terkontrol, lebih

beresiko untuk menderita stroke bleeding. Biasanya stroke jenis ini terjadi saat

sedang melakukan aktivitas. Sementara stroke infark lebih sering terjadi saat

penderita baru bangun tidur di pagi hari (Harsono, 1996, hal 67).

Gejala - gejala stroke muncul akibat daerah tertentu tidak berfungsi den-

gan baik, yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke daerah tersebut. Ge-

6

Page 7: Farmakoterapi Stroke

jala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu (Harsono,

1996, hal 67).

Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang

tersumbat (Hassmann, 2010 ; Chung, 1999) :

1. Arteri serebri media (MCA)

Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kon-

tralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA

memperdarahi motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wa-

jah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah

2. Arteri serebri anterior

Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan

bicara, timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan

tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari

pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia

uri.

3. Arteri serebri posterior

Menimbulkan gejala seperti hemianopsia homonymous kontralateral,

kebutaan kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese

kontralateral, gangguan memori.

4. Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)

Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan defisit nervus kranialis,

serebellar, batang otak yang luas. Gejala yang timbul antara lain vertigo,

nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babyn-

ski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah.

Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling berseberan-

gan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).

5. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)

Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering

adalah bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan ek-

sterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri oftalmika

(manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut amaurosis

7

Page 8: Farmakoterapi Stroke

fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media se-

hingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.

6. Lakunar stroke

Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil

di daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala

yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke

jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil

seperti diabetes dan hipertensi.

Terdapat beberapa gejala awal yang membedakan stroke hemoragik dan

non hemoragik (iskhemik) seperti gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan

hemiparesis atau hemiplegic sejak permulaan serangan lebih sering terjadi pada

stroke hemoragik. Serangan stroke hemoragik biasanya terjadi pada waktu

melakukan aktivitas, emosi atau marah, sedangkan stroke iskhemik terjadi

ketika waktu istirahat. Selain itu, pada stroke hemoragik kesadaran menurun

bahkan sampai koma, sedangkan stroke iskhemik, kesadaran tidak menurun

(Hassmann, 2010).

D. DIAGNOSIS

1. Computerized tomography (CT)

Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe stroke adalah

Computerized tomography atau CT (dulu dikenal cumputerised axial tomog-

raphy atau CAT) dan MRI pada kepala. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan

citra sinar X, pemindaian berlangsung selama 15-20 menit, tidak nyeri dan

menimbulkan radiasi minimal (kecuali bagi wanita hamil) (Feigin, 2006).

8

Page 9: Farmakoterapi Stroke

Setiap citra individul memperlihatkan irisan melintang otak, men-

gungkapkan daerah abnormal yang ada didalamnya. Pada CT, pasien diberi

sinar-X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala. Sinar-

X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan pa-

janan ke radiasi yang jauh lebih rendah (Feigin, 2006).

Computerized tomography sangat handal untuk mendeteksi perdara-

han intrakarnium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik ringan

(Feigin, 2006).

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan berdasarkan citra resonansi magnet, pemindaian

berlangsung selama 30 menit, pemeriksaan MRI aman, tidak invasive dan

tidak nyeri. Alat ini tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau

benda logam lainya misalnya pecahan logam atau klip bedah tertentu di

dalam tubuh. Selain itu, orang yang bertubuh besar mugkin tidak masuk ke

dalam mesin MRI ini, MRI lebih sensitif dibandingkan dengan CT dalam

mendeteksi stroke iskemik ringan bahkan pada stadium dini, namun kurang

peka dibandingkan dengan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakarnium

ringan (Feigin, 2006).

3. Ultrasonografi dan MRA

Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi

(menggunakan gelombang suara untuk menciptakan citra) atau MRA

(magnetic resonance angiography, suatu bentuk MRI). Pemindaian ini

digunakan untuk mencari kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan arteri

utama (Feigin, 2006).

Kedua prosedur ini aman, tidak meneimbulkan nyeri, dan relatif cepat

sektar 20-30 menit untuk pemindaian ultrasonografi dan sedikit lebih lama

untuk MRA. Magnetic resonance angiography khusunya bermanfaat untuk

mengidentifikasi aneurisma intrakanium dan malformasi pembuluh darah

otak (Feigin, 2006).

9

Page 10: Farmakoterapi Stroke

4. Angiografi otak

Angiografi otak merupakan suatu penyuntikan suatu bahan yang

tampak dalam citra sinar X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan

sinar-X kemudian dapat memperlihatkan pembuluhan-pembuluh darah di

leher dan kepala. Bahan yang digunakan disebut “bahan kontras”, dan

disuntikkan langsung ke dalam arteri karotis di leher atau melalui sebuah

kateter (selang) yang sangat panjang yang dimasukkan ke pembuluh itu

melalui arteri femoralis di lipatan paha. kedua prosedur ini dilakukan di

bawah pembiusan total (Feigin, 2006).

Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat mengenai arteri

dan vena selama semua fase aliran darah otak dan digunakan untuk mencari

penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma atau

malformasi vaskular. Namun, tindakan ini memiliki risiko, termasuk stroke

atau kematian pada 1 dari setiap 200 orang yang diperiksa (Feigin, 2006).

5. Pungsi Lumbal (Spinal tap)

Suatu pemeriksaan laboratorium yang kadang kala jika diagnosis

stroke belum jelas. Cara ini juga kadang dilakukan jika alat CT tidak tersedia,

untuk mendeteksi perdarahan subaraknoid. Prosedur memerlukan waktu

sekitar 10-20 menit dan dilakukan pembiasan total. Dilakukan pengambilan

sedikit sampel cairan serebrospinal (cairan yang merendam otak dan korda

spinalis ) untuk pemeriksaan laboratorium (Feigin, 2006).

6. EKG

Elektrokardiografi digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan

irama jantung atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke

pasien. Sensor listrik yang peka, yang disebut elektrosa, diletakkan pada kulit

di tempat-tempat tertentu. Elektroda-elektroda ini merekam perubahan siklis

arus listrik alami tubuh yang terjadi sewaktu jantung berdenyut. Hasilnya

dianalisis oleh komputer dan diperlihatkan dalam sebuah grafik yang disebut

elektrokardiogram (Feigin, 2006).

10

Page 11: Farmakoterapi Stroke

E. HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN

Hasil pengobatan stroke yang diinginkan :

(1) Peningkatkan jumlah oksigen otak yang sangat diperlukan untuk perbaikan

fungsi otak

(2) Penurunan sumbatan atau plak, sehingga aliran darah & nutrisi ke otak ber-

jalan baik

(3) Suplai nutrisi yang dibutuhkan otak dan hantaran syaraf

(4) Perbaikan profil lemak darah, sehingga mengurangi resiko stroke

(5) Menambah energi dan sistem imun penderita

(6) Untuk mereduksi kerusakan neurologis yang terjadi dan menurunkan mortali-

tas dan cacat jangka panjang

(7) Mencegah komplikasi sekunder terhadap imobilitas atau pergerakan dan dis-

fungsi neurologis

(8) Mencegah kambuhnya stroke (Adams et,al., 2007; Khaja and Grotta, 2007;

Goldstein, 2007).

(9) Pencegahan utama stroke diperiksa di tempat lain (Goldstein et,al., 2006).

a. Terapi Farmakologis

Ischemic Stroke

Terapi farmakologi stroke iskemik dapat dilakukan dengan reperfusi

dan neuroproteksi. Reperfusi yaitu mengembalikan aliran darah ke otak secara

adekuat sehingga perfusi meningkat, obat-obat yang dapat diberikan antara

lain : thrombolytic agent, inhibitor platelet dan antikoagulan (Junaidi, 2004).

Penggunaan antiplatelet adalah untuk melancarkan aliran darah,

menghindari terjadinya komplikasi, memelihara agar tekanan darah normal.

Pemberian antiplatelet bertujuan untuk mencegah terbentuknya platelet jika

suatu saat plak yang ada di pembuluh darah pecah dan mencegah terbentuknya

platelet langsung di dalam darah selain dari plak.

Memperbaiki aliran darah dengan mencegah terjadinya klot (penggumpalan

darah) kembali. Inhibitor platelet merupakan pilihan utama dalam penanganan

stroke iskemik. Inhibitor platelet mencegah terbentuknya trombus karena

penggumpalan trombosit darah. Beberapa contoh obat ini adalah asam asetil

11

Page 12: Farmakoterapi Stroke

salisilat (asetosal) atau aspirin, tiklopidin, pentoksiflin, clopidogrel, kombinasi

asetosal dengan dipiridamol, dan cilostazol.

Antikoagulan digunakan untuk mencegah perluasan trombus yang

menyebabkan bertambahnya defisit neurologik dan untuk mencegah

kambuhnya episode gangguan serebrovaskular.

Penggunaan trombolisis pada 3 jam pertama serangan diharapkan

menunjukkan ”excellent outcome” yaitu minimal disability dalam skala

neurologi.

Hemorrhagic Stroke

Saat ini belum ada study yang jelas mengenai standar strategi

farmakologi untuk penanganan stroke hemoragik intracerebral hemorrhage

(ICH). Penggunaan agen hemostatic (ex : faktor VII) pada tahap akut (<4 jam

onset) diharapkan dapat mengurangi pergerakan hematoma, tetapi tidak

menunjukkan peningkatan outcome terapeutik. Penanganan dapat dilakukan

dengan mengatasi hipertensi pada pasien.

b. Terapi Non Farmakologis

Kraniektomi adalah salah satu cara pembedahan untuk pengambilan

penggumpalan darah pada kasus-kasus edema serebral iskemik, sehingga aliran

darah kembali lancar. Dekompresi pembedahan pada infark serebelum bertujuan

untuk memperlancar aliran darah kembali dengan memperbaiki lesi yang

terbentuk pada serebelum karena infark serebelum terjadi akibat adanya

hipoperfusi darah sehingga terjadi lesi. Endarterektomi adalah prosedur

pembedahan yang menghilangkan plak dari lapisan arteri sehingga aliran darah ke

otak tidak terhambat. Rehabilitasi awal meliputi pengaturan posisi, perawatan

kulit, fisioterapi dada, fungsi menelan, fungsi berkemih dan gerakan psif pada

semua sendi ekstremitas dilakukan agar fungsi anggota tubuh tetap berjalan

normal.

Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang

iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel

yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik

12

Page 13: Farmakoterapi Stroke

dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka

berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun

pada manusia.

F. PENANGANAN FARMAKOLOGIS DAN NON FARMAKOLOGIS

Penanganan untuk stroke terdiri atas terapi farmakologis dan non

farmakologis.

1. Terapi Farmakologi

a. Ischemic Stroke

The Stroke Council of the American Stroke Association telah membuat

garis pedoman yang ditujukan untuk manajemen stroke iskemik akut. Secara

umum, dua obat yang sangat direkomendasikan (grade A recommendation)

adalah t-PA (tissue-Plasminogen Activator/Alteplase) intravena dalam onset 3

jam dan aspirin dalam onset 48 jam (DiPiro et al., 2008).

Reperfusi (<3 jam dari onset) dengan t-PA intravena telah

menunjukkan pengurangan cacat yang disebabkan oleh stroke iskemik. Harus

diperhatikan apabila menggunakan terapi ini, dan mengikuti protokol penting

untuk menghasilkan keluaran yang positif. Pentingnya protokol penanganan

dapat dirangkum menjadi (1) aktivasi tim stroke, (2) permulaan gejala dalam 3

jam, (3) CT scan menandai letak pendarahan, (4) menentukan kriteria inklusi

dan eksklusi, (5) memberikan t-PA 0.9 mg/kg selama 1 jam, dengan 10%

diberikan sebagai bolus awal selama 1 menit, (6) menghindari terapi

antitrombotik (antikoagulan atau antiplatelet) selama 24 jam, dan (7)

memantau pasien dari segi respon dan pendarahan (DiPiro et al., 2008).

Terapi aspirin terdahulu dapat mengurangi mortalitas jangka lama dan

cacat, namun pemberian t-PA tidak pernah dilakukan dalam 24 jam karena

dapat meningkatkan risiko pendarahan pada beberapa pasien. Garis pedoman

The American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA)

mengenai seluruh farmakoterapi dalam pencegahan sekunder untuk stroke

iskemik dan diperbarui setiap 3 tahun. Hal ini sangat jelas bahwa terapi

antiplatelet merupakan landasan terapi antitrombotik untuk pencegahan

sekunder untuk stroke iskemik dan harus digunakan pada stroke

13

Page 14: Farmakoterapi Stroke

nonkardioembolik. Tiga obat yang kini digunakan, yaitu aspirin, clopidogrel,

dan dipiridamole dengan pelepasan diperlambat disertai aspirin (ERDP-ASA),

merupakan antiplatelet first-line yang disetujui oleh the American College of

Chest Physicians (ACCP). Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan emboli,

warfarin merupakan antitrombotik pilihan pertama. Farmakoterapi lain yang

direkomendasikan untuk stroke adalah penurun tekanan darah dan statin.

Rekomendasi saat ini untuk penanganan stroke akut dan pencegahan sekunder

dapat dilihat di tabel berikut (DiPiro et al., 2008).

Tabel Rekomendasi Penanganan Stroke Akut dan Pencegahan Sekunder

Penanganan akut

Rekomendasi Bukti*

t-PA 0.9 mg/kg intravena

(maksimum 90 kg) selama 1

jam pada pasien-pasien

tertentu dalam onset 3 jam

IA

Aspirin 160 – 325 mg setiap

hari dimulai dalam onset 48

jam

IA

Pencegahan sekunder

Nonkardioembolik Terapi antiplatelet IA

Aspirin 50 – 325 mg IIa A

Clopidogrel 75 mg setiap hari IIb B

Aspirin 25 mg + dipiridamol

dengan pelepasan diperlambat

200 mg dua kali sehari

IIa A

Kardioembolik (terutama

fibrilasi atrium)

Warfarin (INR=2.5) IA

Semua Pengobatan antihipertensif IA

Hipertensi terdahulu ACE inhibitor + diuretic IA

Normotensif terdahulu ACE inhibitor + diuretic IIa B

Dislipidemia Statin IA

Lipid normal Statin IIa B

* Penggolongan kelas dan tingkatan bukti: I—bukti atau persetujuan umum yang berguna dan

efektif; II—bukti yang masih diperdebatkan kegunaannya; IIa—bobot bukti dalam mendukung

14

Page 15: Farmakoterapi Stroke

penanganan; IIb— kegunaan masih belum dibuktikan dengan baik; III—tidak berguna dan bahkan

merugikan. Tingkatan bukti: A— uji klinik secara acak banyak; B—percobaan acak tunggal atau

studi tanpa pengacakan; C—opini ahli atau studi kasus.

Alteplase (t-PA)

Alteplase adalah enzim serin-protease dari sel endotel pembuluh yang

dibentuk dengan teknik rekombinan DNA. Waktu paruhnya hanya 5 menit.

Alteplase bekerja sebagai fibrinolitik dengan cara mengikat pada fibrin dan

mengaktivasi plasminogen jaringan. Plasmin yang terbentuk kemudian

mendegradasi fibrin sehingga melarutkan trombus. Efektivitas intravena pada

pengobatan stroke iskemik dipublikasikan pada tahun 1995 oleh National

Institutes of Neurologic Disorders and Stroke (NINDS) pada uji Recombinant

Tissue-Type Plasminogen Activator (rt-PA) Stroke, dari 624 pasien yang diobati

dengan jumlah yang sama, baik t-PA 0.9 mg/kg IV atau plasebo dalam 3 jam pada

permulaan gejala neurologik, 39% dari pasien yang diobati memperoleh “keluaran

yang sangat bagus” pada 3 bulan dibandingkan dengan 26% pasien plasebo.

“Keluaran yang sangat bagus” didefinisikan tidak terdapat kesalahan atau

kesalahan minimal dengan beberapa skala neurologik yang berbeda (DiPiro et al.,

2008).

Aspirin

Penggunaan aspirin terdahulu untuk mengurangi kematian jangka panjang

dan cacat akibat stroke iskemik didukung oleh dua uji klinis acak besar. Pada

International Stroke Trial (IST), aspirin 300 mg/hari secara signifikan

menurunkan kekambuhan stroke dalam 2 minggu pertama, menghasilkan

penurunan signifikan kematian dan ketergantungan dalam 6 bulan. Pada Chinese

Acute Stroke Trial (CAST), aspirin 160 mg/hari mengurangi risiko kambuh dan

kematian dalam 28 hari pertama, namun kematian jangka panjang dan cacat tidak

berbeda dengan placebo. Pada kedua pengujian, terdapat peningkatan kecil namun

signifikan pada transformasi pendarahan dari infark. Untuk keseluruhan, efek

menguntungkan dari penggunaan aspirin telah diadopsi sebagai garis pedoman

klinis (DiPiro et al., 2008).

15

Page 16: Farmakoterapi Stroke

Antiplatelet

Semua pasien yang memiliki stroke iskemik akut akan menerima terapi

antitrombosis jangka panjang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien dengan

stroke nonkardioembolik, akan terdapat beberapa bentuk terapi antiplatelet.

Aspirin menunjukkan hasil studi yang paling baik, dan menjadi obat pilihan

utama. Akan tetapi, literatur yang telah dipublikasikan mendukung penggunaan

clopidogrel dan produk kombinasi sebagai obat pilihan pertama pada pencegahan

stroke sekunder (DiPiro et al., 2008).

Efikasi clopidogrel sebagai antiplatelet pada gangguan atherothrombosis

diperlihatkan dalam pengujian clopidogrel versus aspirin pada pasien dengan

risiko kejadian iskemik (CAPRIE). Dalam studi ini lebih dari 19,000 pasien

dengan riwayat infark myokard, stroke, atau penyakit arteri perifer, clopidogrel 75

mg/hari dibandingkan dengan aspirin 325 mg/hari dalam kemampuannya

menurunkan infark myokard, stroke, atau kematian kardiovaskular. Pada analisis

akhir, clopidogrel lebih efektif (8% relative risk reduction [RRR]) daripada

aspirin (P = 0.043) dan memiliki kemiripan efek samping. Pada European Stroke

Prevention Study 2 (ESPS-2), aspirin 25 mg dan dipyridamole dengan pelepasan

diperpanjang (ERDP) 200 mg dua kali sehari dibandingkan sendiri-sendiri dan

dalam kombinasi dengan plasebo untuk kemampuan mereka dalam menurunkan

stroke kambuhan selama 2 tahun. Dalam jumlah lebih dari 6,600 pasien, ketiga

kelompok perlakuan menunjukkan plasebo—aspirin, 18% RRR; ERDP, 16%

RRR; dan kombinasi, 37% RRR. Kombinasi aspirin 25 mg dan ERDP 200 mg

dua kali sehari merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk mencegah

kekambuhan pada pasien stroke. Kombinasi dipiridamole (83% pelepasen

diperpanjang) dan aspirin (30–325 mg sehari) lebih efektif daripada aspirin saja

dalam menurunkan stroke kambuhan (DiPiro et al., 2008).

Warfarin

Warfarin merupakan pengobatan paling efektif untuk pencegahan stroke

pada pasien dengan fibrilasi atrium. Dalam European Atrial Fibrillation Trial

16

Page 17: Farmakoterapi Stroke

(EAFT), 669 pasien dengan fibrilasi atrium nonvalvular (NVAF) dan stroke diberi

perlakuan acak terhadap warfarin (international normalized ratio [INR] = 2.5–4),

aspirin 300 mg/day, or placebo. Pasien di kelompok plasebo mengidap stroke,

infark myokard, atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun dibandingkan

dengan 8% per tahun untuk kelompok warfarin dan 15% per tahun untuk

kelompok aspirin. Hal ini mewakili 53% penurunan risiko dengan antikoagulan

(DiPiro et al., 2008).

Blood Pressure Lowering

Kenaikan tekanan darah sudah umum terjadi pada stroke iskemik, dan

pengobatan hipertensi pada pasien tersebut berhubungan dengan penurunan risiko

stroke kambuhan. Populasi stroke multinasional (40% orang Asia) diberi

perlakuan secara acak, yaitu penurun tekanan darah dengan angiotensin-

converting enzyme (ACE) inhibitor perindopril (dengan atau tanpa indaimid

diuretik tiazida) atau plasebo. Pasien yang diobati menunjukkan penurunan

tekanan darah, 9 poin sistolik dan 4 poin diastolik mm Hg, dan ini berhubungan

dengan penurunan stroke kambuhan 28%. Pasien yang diberi obat kombinasi,

rata-rata penurunan tekanan darah adalah 12 sistolik dan 5 diastolik mm Hg

sehingga terjadi penurunan stroke kambuhan yang lebih besar (43%). Pasien

dengan atau tanpa hipertensi direkomendasikan menggunakan ACE inhibitor dan

diuretik untuk penurunan tekanan darah pasien stroke. Periode penurun tekanan

darah untuk stroke akut (7 hari pertama) menghasilkan penurunan aliran darah

otak dan memperparah gejala; oleh karena itu, rekomendasi terbatas pada pasien

di luar stroke akut (DiPiro et al., 2008).

Statin

Golongan statin dapat menurunkan risiko stroke sebesar 30% pada pasien

dengan penyakit jantung koroner dan dislipidimia. Stroke iskemik

direkomendasikan menjadi “ekuivalen” koroner dan menggunakan obat golongan

statin untuk memperoleh konsentrasi low density lipoprotein (LDL) kurang dari

100 mg/dL (DiPiro et al., 2008).

17

Page 18: Farmakoterapi Stroke

Terdapat bukti bahwa simvastatin 40 mg/hari mengurangi risiko stroke

pada individu berisiko tinggi (termasuk pasien dengan stroke awal) sebesar 25%

(P < 0.0001) meskipun pada pasien dengan konsentrasi LDL kurang dari 116

mg/dL. Terapi statin merupakan cara efektif untuk mengurangi risiko stroke dan

dijalani pada semua pasien stroke iskemik (DiPiro et al., 2008).

Heparin untuk Profilaksis dari Deep-Vein Thrombosis (DVT)

Penggunaan heparin dengan bobot molekul rendah atau heparin subkutan

dosis rendah (5,000 unit dua kali sehari) dapat direkomendasikan untuk mencegah

DVT pada pasien rumah sakit dengan menurunkan mobilitas akibat stroke dan

digunakan pada semua namun paling banyak stroke minor (DiPiro et al., 2008).

Aspirin Plus Clopidogrel

Clopidogrel dalam kombinasi dengan aspirin 75 mg setiap hari tidak lebih

baik daripada clopidogrel sendiri pada pencegahan stroke sekunder. Akan tetapi,

kombinasi ini telah dipelajari pada pasien dengan sindrom koroner akut dan

pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan dan menunjukkan lebih efektif

secara signifikan dibanding aspirin sendiri dalam menurunkan infark myokard,

stroke, dan kematian kardiovaskular. Ketika clopidogrel digunakan dengan

aspirin, risiko pendarahan meningjkat dari 1.3% menjadi 2.6%. Kombinasi

tersebut ditemukan juga meningkatkan pendarahan serius pada populasi

atherosklerosis berisiko tinggi dibandingkan dengan penggunaan aspirin saja.

Kombinasi ini hanya direkomendasikan pada pasien dengan riwayat infark

myokard atau coronary stent placement dan hanya menggunakan aspirin dosis

rendah untuk meminimalkan risiko pendarahan (DiPiro et al., 2008).

Penghambat Reseptor Angiotensin II

18

Page 19: Farmakoterapi Stroke

Pengahambat reseptor Angiotensin II dapat mengurangi risiko stroke.

Losartan dan metoprolol dibandingkan kmampuannya untuk menurunkan tekanan

darah dan mencegah penyakit kardiovaskular pada kelompok pasien hipertensi.

Penurunan tekanan darah mirip, yaitu mendekati 30/16 mm Hg, kelompok

losartan mengurangi risiko stroke sebesar 24%. Penghambat reseptor Angiotensin

II digunakan pada pasien yang tidak dapat menoleransi ACE inhibitor untuk efek

penurunan tekanan darah setelah stroke iskemik akut (DiPiro et al., 2008).

Hemorrhagic Stroke

Tidak terdapat standar strategi pengobatan untuk pendarahan intraserebral

(ICH). Penggunaan obat hemostatik (misal, faktor VII) pada fase hiperakut (<4

jam dari onset) dapat mengurangi pertumbuhan hematoma. Garis pedoman medis

untuk manajemen tekanan darah, tekanan intrakranial meningkat, dan komplikasi

medis lain untuk ICH dibutuhkan untuk manajemen pasien akut lain di unit

perawatan neurointensif (DiPiro et al., 2008).

Pendarahan subarachnoid (SAH) akibat rupture aneurism berhubungan

dengan insiden tinggi iskemia otak tertunda (DCI) dalam 2 minggu mengikuti

periode pendarahan. Vasospasm dari vaskulatur otak bertanggung jawab untuk

DCI dan terjadi antara 4 dan 21 hari setelah pendarahan, pucak pada hari 5 hingga

9. Penghambat kanal kalsium nimodipin direkomendasikan untuk mengurangi

insiden dan keparahan dari defisit neurologik akibat DCI. Nimodipin pada dosis

60 mg setiap 4 jam harus diawali dengan diagnosis dan dilanjutkan selama 21 hari

pada semua pasien. Pemberian terapi nimodipin dibingungkan dengan insiden

hipotensi yang cukup tinggi. Hal ini bisa ditata dengan pengurangan interval dosis

hingga 30 mg setiap 2 jam (dosis harian sama), pengurangan dosis harian total (30

mg setiap 4 hours), serta menjaga volume intravascular (DiPiro et al., 2008).

2. Terapi Non Farmakologis

a. Ischemic Stroke

Intervensi pembedahan pada pasien stroke iskemik akut bersifat

terbatas. Pada kasus-kasus edema serebral iskemik tertentu yang menunjukkan

infark yang besar, kraniektomi untuk memunculkan peningkatan tekanan telah

diuji. Beberapa kasus lain, seperti infark serebelum, dekompresi pembedahan

19

Page 20: Farmakoterapi Stroke

dapat menyelamatkan pasien. Selain intervensi pembedahan, pendekatan

multidisipliner untuk penanganan stroke seperti rehabilitasi sangat efektif

dalam mengurangi stroke iskemik. Pada kenyataannya, penggunaan “unit

stroke” telah berhasil menyamai keluaran trombolisis ketika dibandingkan

dengan penanganan biasa (DiPiro et al., 2008).

Dalam pencegahan sekunder, endarterektomi karotid pada arteri

karotid stenosis dan/atau ulser merupakan cara yang sangat efektif untuk

mengurangi insiden stroke dan kambuhan pada pasien yang tepat. Sebenarnya,

pada pasien stroke iskemik dengan arteri karotid stenosis 70% hingga 99%,

stroke kambuhan dapat dikurangi hingga 48% ketika dikombinasikan dengan

aspirin 325 mg setiap hari dibandingkan dengan terapi medis tunggal. Pada

pasien yang berpikir bahwa risiko endarterektomi sangat tinggi, carotid

stenting menjadi lebih efektif dalam penurunan risiko stroke, namun sedikit

invasif (menyakitkan/mengganggu) (DiPiro et al., 2008).

b. Hemorrhagic Stroke

Pada pasien dengan pendarahan subarachnoid yang menunjukkan

rupture aneurism intrakranial, intervensi pembedahan dapat mengurangi

mortalitas. Pada kasus pendarahan intraserebral primer, keuntungan

pembedahan tidak terdokumentasi dengan baik. Meskipun banyak pasien yang

menjalani operasi bedah hematoma intraserebral, belum ada studi yang cukup

mengenai uji klinis. Pedoman telah ditegakkan untuk menggunakan intervensi

pembedahan dalam penanganan pendarahan intraserebral, namun masih

terdapat kekurangan data uji klinis yang mendukung (DiPiro et al., 2008).

G. EVALUASI HASIL TERAPI

20

Page 21: Farmakoterapi Stroke

Pasien dengan stroke akut harus dimonitor secara intens untuk

perkembangan neurologis yang memburuk (kambuh atau berkepanjangan),

komplikasi (infeksi atau tromboembolisme), dan efek samping dari perawatan

(intervensi terapi farmakologis dan non-farmakologis). Alasan paling banyak pada

memburuknya keadaan klinik pasien stroke adalah (Dipiro et al., 2008):

1. Perpanjangan lesi semula dalam otak (iskemik maupun hemoragik);

2. Perkembangan edema serebral dan meningkatkan tekanan intracranial;

3. Hipertensi darurat;

4. Infeksi (paling banyak pada saluran kemih dan pernafasan);

5. Tromboembolisme vena (trombosis vena dalam dan emboli paru);

6. Abnormalitas/kelainan elektrolit dan gangguan ritme/irama (dapat dikaitkan

dengan cedera otak); dan

7. Stroke berulang

Pendekatan untuk pemantauan pasien stroke diringkas dalam tabel di

bawah ini:

Pemantauan Pasien Stroke Akut Rawat Inap

Perawatan Parameter Frekuensi

Stroke iskemik

Alteplase

TD, fungsi

neurologis,

pendarahan

Setiap 15 menit x 1 jam

Setiap 0,5 jam x 0,6 jam

Setiap 1 jam x 17 jam

Setiap setelah pergantian

(shift)

Aspirin Pendarahan Harian

Clopidogrel Pendarahan Harian

ERDP/ASASakit kepala,

pendarahanHarian

WarfarinPendarahan,

INR, Hb/Hct

INR harian x 3 hari

INR mingguan hingga stabil

INR bulanan

Stroke hemoragik Nimodipin

(untuk SAH)

TD, fungsi

neurologis,

ICP

Setiap 2 jam dalam ICU

TD, fungsi

neurologis,

status cairan

Setiap 2 jam dalam ICU

21

Page 22: Farmakoterapi Stroke

All patients

Temperatur,

CBC

Temperatur, setiap 8 jam

CBC, harian

Nyeri (betis

atau dada)Setiap 8 jam

Elektrolit dan

ECGUp to daily

Heparins

untuk

profilaksis

DVT

Pendarahan,

trombosit

Pendarahan, harian

Trombosit, jika dimungkinkan

terdapat trombositopenia

Keterangan:

TD, tekanan darah;

CBC (complete blood count), keseluruhan darah yang terhitung;

DVT (deep vein thrombosis), thrombosis vena dalam;

ECG, elektrokardiogram;

ERDP/ASA, extended-release dipyridamole plus aspirin;

Hb, hemoglobin;

Hct, hematokrit;

ICP (intracranial pressure), tekanan intrakranial;

ICU, intensive care unit;

INR, international normalized ratio;

SAH, subarachnoid hemorrhage (Wells et al., 2009).

Pemilihan rencana pengobatan harus dibuat untuk masing-masing pasien

berdasarkan komorbiditas dan penyakit yang dideritanya.

H. CONTOH KASUS DAN SOLUSI

Seorang wanita berusia 55 tahun mengeluh mengalami serangan

kecanggungan atau kelemahan pada tangan kanannya, yang dimulai sejak sebulan

sebelumnya. Pada awalnya, setiap episode berlangsung beberapa detik dan

kemudian hilang sama sekali, biasanya secara spontan, tetapi kadang-kadang

setelah ia menggosok tangannya. Ia adalah perokok, tetapi secara umum sehat-

sehat saja. Ia beranggapan bahwa serangan ini disebabkan oleh kerja terlalu keras

dan kelelahan, dan awalnya tidak pergi berobat. Namun, ia mengamati bahwa

serangan tersebut mulai bertambah lama, dan serangan yang terakhir

22

Page 23: Farmakoterapi Stroke

menimbulkan keluhan yang tidak hilang hingga dua hari. Pemeriksaan klinis

memastikan bahwa wanita tersebut menderita stroke iskemik ringan di sirkulasi

arteri serebrum kiri akibat penyempitan (stenosis) arteri karotis kiri di lehernya

(Feigin, 2006).

Subjektif

Pasien mengalami kecanggungan atau kelemahan pada tangan kanannya.

Objektif

Pemeriksaan klinis

Assesment

Pasien menderita stroke iskemik ringan di sirkulasi arteri serebrum kiri akibat

penyempitan (stenosis) arteri karotis kiri di lehernya.

Plan

1. Tujuan Terapi : Meringankan gejala dan menyembuhkan penyakit

2. Terapi :

Terapi Farmakologi : Antitrombolitik (antikoagulan atau antiplatelet) pal-

ing aman adalah aspirin (antiplatelet) karena terbukti aman. Aspirin 150-

300 mg/day selanjutnya 75mg/day. Untuk yang mungkin menelan ada se-

diaan rectal 300mg/day.

Terapi Non Farmakologi : dikompres dengan air panas

3. KIE : berhenti merokok, terapi gerak tangan (latihan menulis atau menggam-

bar), tidak boleh mengangkat berat-berat, tidak boleh kedinginan, posis tidur

jangan memberatkan pada tangan kanan.

4. DRP’S : -

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Farmakoterapi Stroke

Adams H.P Jr, del Zoppo G, Alberts M.J, et al. 2007. Guidelines for the early

managment of adults with ischemic stroke. A guideline from the American

Heart Association ;38:1655–1711.

Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical

Neurology. 3rd Edition. Philadelphia : Saunders.

Chung, Chin-Sang. 1999. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical

Neurology editor  Christopher G. Goetz. W.B. New York : Saunders

Company. p 10-3.

DiPiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey.

2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition.

McGraw-Hill Companies. New York. p. 376 – 379.

Feigin, V. 2004. Stroke. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.

Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. 2006. Primary prevention of ischemic

stroke. A Guideline from the American Heart Association/American Stroke

Association Stroke Council ;37:1583–1633.

Goldstein LB. 2007. Acute ischemic stroke treatment in 2007. Circulation

2007;116:1504–1514.

Harsono. 1996. Buku Ajar : Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gajah Mada. 67.

Hassmann, K.A. 2010. Ischemic Stroke. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview [Diakses 16

September 2011].

Junaidi, I., 2004, Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. Jakarta :

PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

Khaja AM, Grotta JC. 2007. Established treatments for acute ischemic stroke.

Lancet 2007;369:319–330.

Rumantir C.U. Gangguan Peredaran Darah Otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD

Arifin.

Sukandar, E.Y.,R. Andrajati, J.I. Sigit, I.K.Adnyana, dan A.A.P.Setiadi. 2008.

ISO Farmakoterapi. Jakarta : ISFI Penerbitan.

24

Page 25: Farmakoterapi Stroke

Wells, B. G., Dipiro, J. T., Schwinghammer, T. L., Dipiro, C. V. 2009.

Pharmacotherapy Handbook. Edisi ke 7. New York: The McGraw-Hill

Companies, Inc.

25