laporan kasus smf mata: retinitis hiv

31
BAB 1 PENDAHULUAN Manifestasi okular dari sindrom defisiensi imun didapat (acquired immunodeficiency syndrome / AIDS) bermacam-macam, dapat berupa berbagai infeksi oportunistik pada retina, koroid dan adneksa mata lain serta neoplasma yang melibatkan struktur kelopak mata, konjungtiva, dan berbagai struktur orbita dan okular lainnya. Pada AIDS, walalupun segmen anterior dan posterior dapat terkena berbagai infeksi oportunistik dan neoplasma, yang paling sering menyebabkan komplikasi kebutaan adalah gangguan pada segmen posterior. Retinitis sitomegalovirus (CMV) adalah infeksi intraokular terbanyak pada pasien AIDS. Pengenalan terapi antriretroviral sangat aktif (highly active antiretroviral therapy / HAART) menagkibatkan penurunan drastis dari insidens retinitis CMV dan infeksi oportunistik okular lainnya. Seiring dengan bertambah banyaknya penderita HIV / AIDS di Indonesia, dapat dipastikan bahwa berbagai infeksi oportunistik pada mata terutama berupa retinitis akan bertambah jumlahnya. Oleh karena perlu adanya pengetahuan lebih lanjut mengenai entitas dari manifestasi okular ini sehingga dapat dideteksi dan diterapi lebih dini sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi yang dapat menyebabkan kebutaan. 1

Upload: andirius

Post on 11-Jun-2015

1.080 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Chung AndiriusI 111 05 009SMF MataRumah Sakit Umum Daerah dr. SoedarsoFakultas KedokteranUniversitas TanjungpuraPontianak

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

BAB 1

PENDAHULUAN

Manifestasi okular dari sindrom defisiensi imun didapat (acquired

immunodeficiency syndrome / AIDS) bermacam-macam, dapat berupa berbagai

infeksi oportunistik pada retina, koroid dan adneksa mata lain serta neoplasma yang

melibatkan struktur kelopak mata, konjungtiva, dan berbagai struktur orbita dan

okular lainnya. Pada AIDS, walalupun segmen anterior dan posterior dapat terkena

berbagai infeksi oportunistik dan neoplasma, yang paling sering menyebabkan

komplikasi kebutaan adalah gangguan pada segmen posterior. Retinitis

sitomegalovirus (CMV) adalah infeksi intraokular terbanyak pada pasien AIDS.

Pengenalan terapi antriretroviral sangat aktif (highly active antiretroviral therapy /

HAART) menagkibatkan penurunan drastis dari insidens retinitis CMV dan infeksi

oportunistik okular lainnya.

Seiring dengan bertambah banyaknya penderita HIV / AIDS di Indonesia,

dapat dipastikan bahwa berbagai infeksi oportunistik pada mata terutama berupa

retinitis akan bertambah jumlahnya. Oleh karena perlu adanya pengetahuan lebih

lanjut mengenai entitas dari manifestasi okular ini sehingga dapat dideteksi dan

diterapi lebih dini sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi yang dapat

menyebabkan kebutaan.

1

Page 2: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Retinitis Sitomegalovirus (Cytomegalovirus Retinits / CMVR)

Retinitis sitomegalovirus merupakan infeksi oportunistik terumum dan

paling sering mengakbatkan kebutaan pada pasien denagn AIDS. Walaupun

perjalanannya penyakitnya telah dikenali baik dan banyak penelitian yang

dilakukan mengenai pengobatan penyakit yang umum ini, bentuk baru dari

infeksi CMV yang dijelaskan sebagai pemulihan imun sekunder terhadap

berbagai kombinasi terapi obat menjadi lebih umum untuk ditemui. CMVR

pada banyak pasien masih merupakan tantangan diagnostik dan teraupetik.

1. Epidemiologi, Patogenesis dan Histopatologi

CMV adalah herpesvirus DNA untai ganda. Bukti serologis dari infeksi

dahulu dapat ditemukan pada 60-90% serum orang dewasa normal. Transmisi

terjadi lewat cairan tubuh, darah atau organ transplant yang terinfeksi. Infeksi

transplasenta dapat terjadi, namun sebagian besar ditularkan melalui kontak

cairan tubuh. Seropositif meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan lebih

tinggi pada pasien dengan status sosioekonomis rendah. Umumnya, infeksi

CMV didapat pada individu imunokompeten menyebabkan penyakit demam

mirip mononucleosis yang dapat sembuh sendiri. Banyak kasus asimptomatis.

Akan tetapi, virus tetap laten dandapat menaglami reaktivasi jika dan pada saat

status kekebalan selular terganggu seperti pada pasien yang sedang menjalani

transplantasi organ atau pada pasien dengan AIDS. Penyakit CMV ekstraokular

pada pasien imunodefisiensi dapat berupa pneumonitis, hepatitis, colitis dan

ensefalitis.

CMVR adalah penanda adanya defisiensi imun berat dan oleh akrena itu

termasuk infeksi yang dijadikan penanda keadaan imun pada AIDS. Umumnya,

CMVR timbul pada pasien AIDS dengan hitung CD4 <50 sel/mm3. Akan tetapi,

kehilangan selektif pada klon CD4 anti-CMV dapat terjadi dan menyebabkan

gambaran penyakit klinis walaupun terdapat hitung CD4 yang secara signifikan

cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi dengan atau tanpa penggunaan HAART

sebelumnya.

2

Page 3: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

Pemeriksaan histopatologi pada retina dengan CMVR menunjukkan

adanya nekrosis pada semua lapisan retina (full-thickness). Dapat ditemukan sel

yang membesar dengan dua badan inklusi khas CMV, yakni inklusi sitoplasmik

basofilik dan inklusi intranuklear eosinofilik.

2. Gambaran Klinis

Tergantung dari lokasi anantomi dan faktor penyulitnya, CMVR dapat

asimtomatis atau memberikan gejala penglihatan yang bermacam-macam. Lesi

yang lebih posterior yang melibatkan makula atau saraf optik atau lesi yang

disertai dengan vitritis dapat mengakibatkan penurunan tajam penglihatan

secara perlahan dan mengakibatkan floaters, fotopobia, atau gangguan lapang

penglihatan. Ablasi retina regtmatogenosa sekunder dapat terjadi dan

mengakibatkan penurunan tajam penglihatan dan lapang penglihatan mendadak.

Diagnosis dari CMVR dapat dibuat secara klinis pada sebagai nbesar

pasien dan didukung dengan respon terhadap terapi anti-CMV. Akan tetapi,

diagnosis bandingnya luas dan leis atipikal atau lsi yang tidak merespon

terhadap terapi standar mungkin memerlukan diagnosis jaringan.

Pemeriksaan klinis umumnya menunjukkan retinitis ayng nekrosis, yang

pada stadium awal mungkin hanya sekecil cotton-wool spot. Hal ini dapat

terdapat pada darah retina mana saja dan dapat terdapat lebih dari satu fokus

aktif. Reaksi vitreus dan kamera okuli anterior umumnya minimal, tapi vitritis

dapat terjadi jika CMVR diderita oleh pasien yang mempunyai hitung CD4

yang tinggi atau jika area retinitisnya luas. Penyakit ini berkembang sepanjang

pembuluh darah retina, menyebabkan daerah retina memutih, yang sering

disertai dengan perdarahan intraretina dan eksudat keras (hard exudate). Lesi ini

berkembang dengan pola ”brushfire”, diikuti oleh daerah batas pinggir yang

aktif. Laju perkembangan umumnya lambat, berlawanan dengan retinitis infeksi

lainnya seperti nekrosis retina luar progresif, nekrosis retina akut, atau

retinokoroiditis toksoplasma. Tepi lesi umumnya maju sekitar 250-350 μm per

minggu. Papil saraf optik dapat terkena langsung memberikan gambaran

perdarahan papilitis dan retinitis di sekitranya. Penentuan perkembangan dan

progresivitas mungkin sulit dan sebaiknya didasarkan pada perbandingan

sistematis dari gambaran retina lama dan baru. Dengan ini, perubahan yang

3

Page 4: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

kecil dapat dideteksi dengan cara yang sensitif. CMVR pada pasien

imunodefisiensi berat tidak dapat sembuh sendiri melainkan terus berkembang

kecuali diterapi atau terjadi pemulihan sistem imunitas. Ketika peradangan

retina berhenti akan meninggalkan gambaran atrofi retina, terkadang disertai

dengan pigmentasi.

Dapat juga terjadi varian dari CMVR tanpa pemutihan retina atau

perdarahan, yang disebut dengan morfologi granular. Tipe ini dapat

memberikan kesulitan dalamdiagnosis. Varian morfologi lainnya adalah angiitis

”frosted branch”, di mana terdapat penyelubungan pembuluh darah difus. Ini

bukan morfologi spesifik dan juga dapat ditemukan pada toksoplasmosis dan

infeksi retina lainnya.

Daerah keterlibatan retina telah dibagi menjadi 3 zona konsentris: zona 1

adalah kutub posterior, didefinisikan sebagai daerah sekitar 3000 μm disekitar

pusat fovea atau 1500 μm sekitar papil nervus optikus. Zona 2 memanjang dari

tepi zona 1 ke ampula vena vorteks dan zona 3 adalah retina perifer dari zona 2.

Penyakit pada zona 1 mengancam makula, berkas papilomakular, atau

saraf optik dan oleh karena itu dapat segera menyebabkan gangguan

penglihatan. Kedekatan lesi dengan kutub posterior adalah penentu utama dari

jenis dan perlunya intervensi segera. Lesi perifer dan miopia tinggi mempunyai

resiko tinggi untuk ablasi retina regmatogenosa yang menurut satu penelitian

dapat terjadi pada 38% pasien dalam jangka waktu 1 tahun.

3. CMVR dalam era HAART

Setelah pengenalan HAART dalam manajemen AIDS, pemulihan imun

sekarang menjadi fenomena umum yang terus meningkat. HAART adalah

kombinasi dari 2 kategori obat: 2 atau lebih inhibitor transkriptase balik (reverse

transcriptase) seperti zidovudine (analog nukleosida) atau nevirapine (inhibitor

transkriptase balik nonnukleosida) bersama-sama dengan satu atau lebih

inhibitor protease virus, seperti indinavir atau ritonavir. HAART sering

mengakibatkan pemulihan hitung CD4 dan penurunana kadar RNA virus (RNA

viral load) serum HIV. Ini disertai dengan perbaikan fungsi kekebalan. Insidens

CMVR baru telah menurun lebih dari 50% sejak pengenalan HAART. CMVR

telah menjadi penyakit yang dapat berpotensi sembuh sendiri (self-limiting)

4

Page 5: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

setelah HAART yang berhasil. Walalupun pemulihan sistem imun

mengakibatkan kembalinya kemampuan utnuk mengendalikan CMVR dan

berbagai infeksi oportunistik lainnya, inflamasi berat baru yang timbul dpaat

menjadi permasalahan baru. Hal ini sering disebut dengan immune

reconstitution inflammation syndrome (IRIS). Mata dengan lesi retina yang

diam (tidak bergejala) yang sebelumnya telah sembuh dengan terapi anti-CMV

sekarang dapat menjadi uveitis. Sindrom ini, immune recovery uveitis (IRU),

termasuk vitritis, membran epiretina dan bermacam-macam uveitis anterior.

Umumnya dianggap menggambarkan respon imun lanjut terhadap antigen virus

di retina dan vitreus dari pada infeksi akut. Ini dapat menjadi sumber utama

morbiditas viisual pada pasien AIDS dengan riwayat CMVR.

4. Diagnosis

Diagnosis dari CMVR umunya dibuat atas dasar gambaran klinis. Akan

tetapi, dalam beberapa kasus diagnosis harus ditegakkan dengan tes

laboratorium. Bukti serologis dari riwayat infeksi oleh CMV (IgG) umum

terdapat pada pasien AIDS sehingga hanya memiliki nilai diagnosis yang

terbatas. Kultur virus darah atau urin dapat mendukung diagnosis dan telah

ditunjukkan positif dalam 45% dan 71% kasus CMVR baru untuk darah dan

urin. Akan tetapi nilai prediktif dari tes tidka langsung ini terlalu rendah untuk

digunakan sebagai penentu keputusan terapi. Pada kasus atipikal yang sulit

dimana diagnosis mikroba segera diperlukan, tes PCR dari ambilan cairan

vitreus atau akueus dapat sangat erarti. PCR vitreus telah ditunjukkan 95%

sensitive dan sangat spesifik pada kasus CMVR yang tidak diobati. Demikian

juga, biopsy korioretina dapat diambil dan diperiksa secara histopatologi pada

kasus-kasus yang sulit.

5. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari retinitis nekrosis pada pasien AIDS termausk

infeksi lain, neoplasma, dan vaskulitis retina autoimun. Pendekatan untuk

pasien dengan retinitis nekrosis yang tidak diketahui penyebabnya memerlukan

pengetahuan mengenai beberapa prinsip dasar:

5

Page 6: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

1). CMVR dapat merupakan satu-satunya gejala yang tampak dari infeksi HIV.

Pasien dapat tidak sadar bahwa dirinya HIV positif. Oleh karena itu, lesi

atipikal dapat disalahartikan sebagai vaskulitis retina autoimun noninfeksi

kecuali dokter mempunyai kecurigaan yang tinggi mengenai adanya

penyakit ini.

2). Pada pasien AIDS, morfologi lesi infeksi fundus mungkin dapat

menjerumuskan. Retinitis virus dari virus herpes lain seperti virus herpes

simpleks dan virus varisela-zoster dapat memberikan gambaran yang sama

dengan CMVR, walaupun berkembang lebih cepat. Retinitis / koroiditis

bakteri dapat terjadi pada sifilis atau infeksi mikobakterium. Retinitis /

retinokoroiditis toksoplasma umumnya disertai dengan vitritis dan inflamasi

segmen anterior. Infeksi jamur seperti Aspergillus juga harus dipikirkan.

Terakhir, pasien AIDS mempunyai resiko untuk mengalami limfoma

sistemik atau limfoma sistem saraf pusat yang dapat memberikan gambaran

retinitis nekrosis dengan perdarahan yang mirip dengan CMVR.

3). Lebih dari satu infeksi oportunistik dapat sama-sama terjadi pada segmen

posterior pada mata yang sama pada pasien AIDS imonosupresi yang berat.

Walaupun berbagai petunjuk klinis telah disebutkan sebelumnya,

diagnosis pada kasus atipik resisten terhadap terapi sebaiknya didasarkan jika

mungkin pada PCR vitreus atau biopsi korioretinal.

6. Terapi

Terapi optimal untuk CMVR merupakan subyek penelitian klinis

ekstensif. Berbagai tes klinis telah menghasilkan berbagai rekomendasi terapi

berdasarkan bukti-bukti. Ini berhubungan dnegan jenis obat, kombinasi obat,

regimen terapi, rute administrasi dan sistem pengiriman obat. Akan tetapi

karena pengenalan HAART ke dalam manajemen rutin pasien AIDS diakhir

tahun 1990, beberapa rekomendasi terapi saat ini sedang dimodifikasi kembali.

Pada era pra-HAART, pada saat diagnosis CMVR pasien AIDS sedang dalam

keadaan imunosupresif berat. Penyakit ini praterminal, dengan kematian terjadi

dalam hitungan bulan. Oleh karena itu, direkomendasikan terapi anti-CMV

seumur hidup parenteral melalui kateter intravena permanent. Bahkan, relaps

dari penyakit terjadi pada 85% pasien yang diobati dengan gansiklovir sistemik

6

Page 7: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

atau foscarnet 120 hari setelah inisiasi terapi. Penyembuhan imun yang luar

biasa setelah HAART pada sebagian pasien AIDS mengubah arah terapi ini.

Obat Anti-CMV dan rute pemberiannya

Obat antivirus utama yang digunakan pada pengobatan CMVR adalah

gansiklovir, foskarnet dan cidofovir. Ketiganya adalah inhibor polimerase DNA

virostatik.

1). Ganciclovir (DHPG / GCV) adalah analog nukleosida yang tersedia untuk

infuse intravena, terapi oral, dan sebagai implant intraviteral. Bersifat

virostatik terhadap CMV. Resistensi terhadap GCV jarang ditemuakn apda

isolat CMV dari darah atau urin dari pasien yang baru terdiagnosa. Oleh

karena itu, sebagian besar pasien dengan CMVR merespon baik terhadap

terapi obat ini. GCV diberikan dalam bentuk infus intravena dua kali sehari

selama masa terapi awal / induksi 2-3 minggu (5 mg/kg berat badan 2 kali

sehari), lalusehari sekali untuk dosis pemeliharaan 5mg/kgbb/hari. Efek

samping utama adalah toksisitas terhadap sumsum tulang terutama

neutropenia. GCV juga dapat diberikan secara injeksi intravitreal dengan

dosis 200-2000 μg dalam volume 0,05-0,1 mL sekali hingga dua kali

seminggu. GCV oral tersedia tapi karena bioavaibilatsnya rendah harus

diambil dalam dosis tinggi (3000-4500 mg sehari). Kegunaannya sebagai

profilaksis CMV tetap kontroversial. Oral Ganciclovir European and

Australian Cooperative Study Group dan Syntex Cooperative Oral

Ganciclovir Study Group telah membandingkan efikasi dari dosis

pemeliharaan oral GCV 500mg enam kali sehari dengan dosis pemeliharaan

GCV intravena. Hasilnya menunjukkan efikasi lebih tinggi pada pemberian

secara intravena, walaupun perbedaan dalam waktu untuk perkembangan

dari retinitis tetap tidak berubah signifikan secara statistik. Sejak tahun 1996

implan intravitreal GCV lepas lambat telah tersedia secara luas untuk

pengobatan CMVR. Alat ini dimasukkan melalui insisi pars plana dan

melepaskan obat dengan laju 1 μg per jam. Ini sangat efektif dan

menghasilkan konsentrasi intravitreal 4 kali lebih besar dari pada yang

dicapai melalui pemberian intravena. Pembandingan secara acak / random

menunjukkan median periode bebas penyakit pada pasien dengan implan

7

Page 8: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

adalah 221 hari dibanding dengan 71 hari pada pasien dengn pemberian

intravena. Implan memberikan kadar GCV vitreus efektif selama 6-12 bulan.

Akan tetapi walalupun sangat efektif secara lokal, in itidak menyediakan

proteksi terhadap infeksi CMV untuk mata yang lain atau organ tuuh lain.

Kekurangan ini dapat ditanggulangi dengan penggunaan bersamaan dengan

GCV oral, 3-4,5 g sehari. Pada pasien yang tidak menerima HAART,

kombinasi ini efektif mengurangi insidens penyakit CMV baru juga

mengurangi resiko dari sarkoma Kaposi. Komplikasi yang dihubungan

dengan penggunaan implan adalah endoftalmitis infeksi, ablasi retina,

katarak, perdarahan vitreus, dan penurunan tajam penglihatan postoperasi

sementara.

2). Foscarnet (natrium fosfonoformat) adalah analog pirofosfat ayng seperti

gansiklovir harus diberikan seara intravena dengan periode induksi 2 minggu

lalu sekali sehari untuk dosis pemeliharaan. Dosis induksi bervariasi dari 60

mg/kgbb 3 kali sehari hingga 90 mg/kgbb 2 kali sehari dan dosis

pemeliharaan 90-120 mg/kgbb/hari. Dosis 120mg/kgbb/hari ditemukan lebih

efektif untuk mengurangi perkembangan retinitis dan untuk memperpanjang

harapan hidup daripada 90 mg/kgbb/hari ketika digunakan untuk mengobati

retinitis yang belum pernah diterapi. Efek samping utama foscarnet adalah

nefrotoksisitas dan hidrasi intravena direkomendasikan untuk mengurangi

resiko ini. Seperti gansiklovir, foskarnet dapat disuntikkan secara intravitreal

dengan dosis 1,2-2,4 mg dalam 0,05-0,1 mL sekali atau dua kali seminggu.

Terapi gansiklovir dan foskarnet telah dibandingkan dalam pengobatan

CMVR yang belum pernah diobati sebelumnya untuk menilai efek mereka

pada tajam penglihatan akhir dan tingkat harapan hidup pasien. Kombinasi

terapi dengan kedua agen ini dinilai pada kasus relaps atau persisten.

Walaupun mortalitas pada grup foscarnet lebih rendah dari grup gansiklovir,

foskarnet dihubungakan dengan efek samping ayng lebih besar dan lebih

sulit untuk ditoleransi daripada gansiklovir. Kedua obat mempunyai efikasi

yang sama. Terapi kombinasi merupaka regimen terefektif untuk mengontrol

retinitis persisten atau berulang. Akan tetapi jadwal pemberian dosis dari

terapi kombinasi ini sangat tidak nyaman bagi pasien.

8

Page 9: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

3). Cidofovir (HPMPC) adalah analog nukleosida. Diberikan secara intravena

dengan dosis 5 mg/kgbb sekali seminggu dan sekali setiap 2 minggu untuk

induksi dan pemeliharaan. Oleh karena itu, tidak memerlukan kateter

intravena permanent. Penggunaannya terbatas pada tingginya resiko

nefrotoksisitas sebagai mana kecenderungannya untuk mengakibatkan

uveitis yang berpotensi fatal dan hipotonia pada 40% pasien. Resiko untuk

uveitis berat dan hipotonia kronik sekitar 3% pada injeksi intravitreal dari

cidofovir. Untuk meminimalisasi resiko nefrotoksisitas, probenesid oral dan

hidrasi intravena yang cukup diberikan bersamaan dengan pemberian obat.

Juga fungsi ginjal harus dimonitor secara teliti selama terapi. Efikasi

cidofovir ekuivalen dengan implan intravitreal gansiklovir plus gansiklovir

oral, sebagaimana ditunjukkan oleh Ganciclovir Cidofovir Cytomegalovirus

Retinitis Trial.

4). Valganciclovir (VGCV) adalah prodrug ester valin dari gansiklovir.

Diabsorbsi dengan cepat dan dihidrolisis menjadi gansiklovir.

Bioavaibilitasnya sekitar 10 kali lebih tinggi dari gansiklovir oral. Dosis

sekali sehari 900 mg menghasilkan kadar serum yang sama dengan

pemberian gansiklovir intravena 5 mg/kgbb. Efek samping obat ini sama

dengan gansiklovir terutama neutropenia.

5). Fomivirsen adalah inhibitor antisense dari CMV, yang diberikan secara

bulanan melalui injeksi intravitreal. Walalupiu ntelah disetujui

penggunaannya dalam CMVR, namun saat ini hanya ada sedikit informasi

mengenai efikasi relatifnya dalam kepustakaan oftalmologi.

7. Strategi Terapi yang Disarankan dalam Era HAART

Pilihan terapi pada pasien dengan AIDS tergantung pada apakah

perbaikan imun diharapkan atau tidak. Pada pasien yang belum pernah diberi

HAART terdapat kemungkinan tinggi bahawa akan ada respon yang baik

terhadap HAART. Pada kasus seperti ini, terapi sistemik umumnya tepat karena

sistem imun dapat membaik dalam hitungan bulan, kecuali ada indikasi untuk

bedah intraocular. Jika terdapat penyakit zona 1 yang berat, implant gansiklovir

adalah pilihan utama karena efikasinya yang sangat baik. Injeksi intravitreal dari

gansiklovir atau foscarnet dapat digunakan bersama-sama dengan terapi

9

Page 10: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

sistemik. Implant sebaiknya digunakan pada pasien dengan kontraindikasi

terhadap terpai sistemik atau pada pasien yang sulit untuk dilakukan akses

terhadap sistem vena. Baik implant yang disulementasi dengan gansiklovir oral

atau terapi sistemik parenteral adalah pilihan yang tepat pada pasien dimana

penyembuhan imun tidak diharapkan karena adanya resiko IRIS yang tinggi.

Pada kasus relaps selama masa pengobatan dengan gansiklovir atau

foscarnet, terapi dapat diganti atau dikombinasikan dengan obat lain. Walaupun

sangat tidak nyaman bagi pasien, kombinasi gansiklovir dan foscarnet telah

ditunjukkan lebih efektof daripada pemberian secara terpisah.

8. Pemeliharaan Terapi setelah Perbaikan Imun

Perubahan pola penyakit yang dihubungkan dengan perbaikan imun

telah menimbulkan pertanyaan mengenai terpai baru. Pasien yang sebelumnya

memerlukan terapi seumur hidup sekarang menunjukkan resistensi terhadap

CMVR. Oleh karena itu, perlunya terapi seumur hidup kini dipertanyakan.

Reaktivasi dari CMVR jarang terjadi pada pasien yang merespon terhadap

HAART dengan terapi pemeliharaan anti-CMV dan cenderung untuk terjadi

pada 100 hari pertama setelah pemberian HAART. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa terapi kronik anti-CMV dapat dihentikan setelah terjadi

perbaikan imun setelah beberapa bulan. Rekomendasi terapi pemeliharaan saat

ini untuk CMVR tidak bergejala yang menerima HAART menyarankan

penghentian terapi apabila memenuhi 2 syarat berikut:

1). Pasien merespon terhadap HAART yang ditandai dengan peningkatan CD4

lebih dari 50 sel/mm3 dan lebih tinggi dari 100-150 sel/mm3.

2). Respon ini bertahan setidaknya selama 3-6 bulan, oleh karena ini kecil

kemungkinan terjadi reaktivasi dini.

Pertanyaan mengenai apakah terapi anti-CMV memainkan peranan dalam

mempengaruhi insiden atau oerjalanan IRU tetap belum terjawab. IRU

ditangani dengan kortikosteroid topical dan atau injeksi sub-Tenon.

10

Page 11: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

2.2. Progressive Outer Retinal Necrosis (PORN)

1. Epidemiologi dan Patogenesis

Walaupun PORN lebih jarang ditemui dari CMVR, PORN

menyebabkan kerusakan yang kebih ceoat dari retina dan mempunyai prognosis

yang buruk. Penelitian mikroskopi elektron dari biopsi spesimen retina dan PCR

menunjukkan virus herpes zoster sebagai agen penyebab dari nekrosis retina.

2. Manifestasi Okular

Pada pasien dengan AIDS, PORN beruoa lesi retina dalam luar dengan

pola sirkumferensial (melingkar) pada retina perifer. Lesi ini cenderung untuk

menjalar cepat dan berkembang menjadi nekrosis seluruh lapisan retina dalam

hitungan hari, dan terus berkembang kea rah posterior dengan disertai

peradangan yang minimal. Ciri unik dari keadaan ini adalah ketidakterlibatan

retina paravaskular. Dalam hitungan minggu, tajam penglihatan dapat

memburuk dari 6/6 menjadi tanpa persepsi cahaya. Seringkali penyakit bermula

pada satu mata dan mata sebelahnya terkena setelah beberapa minggu atau

bulan. Pada varian PORN, retinitis dimulai dari kutub posterior dengan sedikit

atau tanpa bukti klinis dari vaskulitis.

3. Diagnosis

Diagnosis dari PORN dibuat secara klinis pada pasien dengan infeksi

HIV. Riwayat infeksi herpes zoster pada kulit atau tempat lain sangat membantu

dalam diagnosis. Perkembangan cepat dan ketidakterlibatan dari pembuluh

darah retina dan retina di sekitarnya adalah cirri khas PORN. Pemeriksaan

histopatologi dan imunohistokimia, hibridisasi in situ dan PCR yang

mengunakan primer virus varisela-zoster dapat menunjukkan adanya proses

virus herpes zoster.

4. Diagnosis Banding

PORN harus dibedakan dari CMV retinitis perifer dan toksoplasmosis

okuler. Ciri pembeda pada PORN antara lain perkembangan yang cepat dan

luas, keterlibatan sirkumferensial dari retina luar diikuti nekrosis seluruh bagian

retina dan ketidakterlibatan awal dari retina paravaskular. Pada CMV retinitis

semua lapoisan retina terkena secara granular pada perifer. Pembuluh darah

retina terkena dan bahkan sering mengalami vaskulitis segmen. Perkembangan

umumnya bergerak ke arah posterior secara radial bukan sirkumferensial seperti

11

Page 12: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

PORN. Toksoplasmosis cenderung mengakibatkan vitritis dan reaksi nekrosis

yang signifikan pada retina. Pembuluh darah terkena dan perkembangan

umumnya tidak mengambil pola sirkumferensial.

.

5. Asosiasi Sistemik

Beberapa individu terinfeksi HIV yang mengalami PORN umumnya

mengalami infeksi herpes zoster sebelum perkembangannya. Terkadang,

perkembangan bersamaan zoster kutaneus dan PORN dapat terjadi. Umumnya,

hitung limfosit CD4+ rendah (hitung limfosit CD4+ perifer lebih rendah dari 50

sel/mm3). Pasien dapat mengalami manifestasi lain dari infeksi HIV lanjut.

6. Patologi

Secara histopatologi, kasus lanjut dari PORN menunjukkan nekrosis

total dari retina dengan nekrosis baik retina dalam dan luar. Akan tetapi,

ketidakterlibatan venula retina juga terjadi pada kasus tersebut. Epitel pigmen

retina dapat terlibat. Inklusi viral dapat ditemukan pada sel retina. Secara

imunohistokimia atau hibridisasi in situ yang menggunakan probe virus varisela

zoster dapat menunjukkan imunostaining positif atau hibridisasi dari sel ayng

terinfeksi.

7. Terapi

Tidak ada terpai yang berhasil secara universal. Terapi dengan satu atau

lebih agen antiviral (misalnya gansiklovir dan foscarnet, gansiklovir dan

asiklovir, foskarnet atau asiklovir atau ketiganya bersamaan) dapat

meningkatkan respon dan tajam penglihatan akhir. Sorivudine, sebuah agen

antiviral oral, dapat efektif. Injeksi intravitreal dari gansiklovir dan foskarnet

telah dicoba dengan keberhasilan terbatas.

8. Prognosis

PORN cenderung berkembang sangat cepat dan sering berakibat pada

ablasi retina dalam hitungan hari atau minggu. Perkembangan umumnya

mengarah pada kutub posterior pada kasus dengan retinitis perifer. Ablasi retina

tampaknya disebabkan proses regmatogenosa.

12

Page 13: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

2.3. Toxoplasmic Retinochoroiditis

Insidens dari toksoplasmosis ocular pada pasien dengan HIV bervariasi,

tampaknya relative lebih umum pada negara seperti brazil. Toksoplasmosis

okular pada banyak pasien dengan AIDS tampaknya berasal dari infeksi didapat

Toxoplasma gondii karena bersifat multifocal, bilateral dan tidak adanya

jaringan parut sebelumnya.

Toksoplasmosis okular yang dihubungkan dengan AIDS sering tamopak

dengan tidak adanya parut korioretinal sebelumnya dan cenderung bilateral dan

multifocal. Peradangan vitreus adalah temuan klinis yang umum. Pada beberapa

pasien gambaran klinis hapir sama dengan toksoplasmosis okular yang ditemui

pada pasien imunokompeten. Akan tetapi, beberapa pasien HIV memiliki

retinitis yang mirip dengan infeksi CMV, akan tetapi perdarahan retina tidak

ditemukan pada toksoplasmosis. Gambaran funduskopik tipikal “headlight in a

fog” (lampu dalam kabut) juga dapat ditemukan. Secara mengejutkan ada reaksi

inflamasi yang cukup signifikan yang muncuk secara normal walaupun ada

imunosupresi. Hampir 25% pasien yang mengalami toksoplasmosis okular

mempunyai infeksi intrakranial. Bahkan, toksoplasmosis adalah sebab terumum,

infeksi intrakranial nonviral pada pasien AIDS. Oleh karena itu semua pasien

AIDS dengan toksoplasmosis okular sebaiknya menjalani pemeriksaan radiologi

intrakranial (CT atau MRI-kontras).

Biasanya, toksoplasmosis okular didiagnosis berdasarkan temuan klinis.

Tes serologis dan PCR dilakukan pada cairan intraokular dapat membantu dan

terkadang biopsi retina atau koroid mungkin diperlukan untuk menetapkan

diagnosis jaringan. Toksoplasmosis okular harus dapat dibedakan dari CMVR

dan PORN. Ciri unik dari toksoplasmosis okular pada AIDS termasuk

peradangan termasuk peradangan yang signifikan walaupun imunodefisien,

multifokal dan terkadang lesi bilateral, dan jarang terdapat parut korioretinal

sebelumnya. Tidak seperti temuan pada PORN, tidak ada pola perkembangan

sirkumferensial dengan retina paravaskular yang tidak terkena. Tidak seperti

temuan pada CMVR, ada peradangan yang cukup besar tanpa perdarahan retina

yang signifikan.

Histopatologi, beberapa kista Toxoplasma terdapat pada retinitis.

Sebagai tambahan, bentuk bebas dari organism dapat ditemukan. Retina hampir

13

Page 14: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

selalu nekrotik, dan koroid di sekitarnya cenderung mempunyai infiltrate sel

inflamasi kronik.

Terapi antitoksoplasma sama seperti dengan yang diberikan pada pasien

imunokompenmpeten sama efektifnya pada pasien AIDS. Terapi ini terdiri dari

kombiansi pirimetamin, sulfadiazine, dan asam folinat. Akan tetapi klindamisin,

tetramisin, atovaquone dan spiramisin juga efektif. Pasien dengan AIDS yang

tidak boleh diberikan dosis tinggi kortikosteroid sistemik. Imunosupresi

tambahan pada pasien yang imunodefisien dapat mengakibatkan infeksi

oportunistik berat, yang dapat mengancam jiwa sebagaimana mengancam

penglihatan.

2.4. Fungal Chorioretinitis

Pada individu dengan HIV, berbagai fungi dapat menyebabkan

korioretinitis dan selulitis orbita. Ini termasuk Candida albicans, Aspergillus,

Histoplasma capsulatum, dan lainnya.

Histoplasmosis okular adalah infeksi oportunistik yang tidak umum pada

pasien AIDS. Secara klinis ditandai dengan adanya lesi berwarna putih pada

koroid dengan infiltrate subretina dengan diameter satu perempat dari diameter

disk, lesi dapat bilateral. Perdarahan intraretina yang tersebar juga dapat

ditemukan. Semua infiltrat retina mempunyai batas tegas.

Diagnosis dari histoplasmosis okular sering dibuat berdasarkan adanya

bukti infeksi yang luas. Gambvaran klinis seringkali tidak spesifik tapi dapat

berperan untuk menjadi permulaan dari infeksi sistemik. Sebagai hasil dari

penilaian secara sistemik ini, diagnosis banding lain seperti toksoplasmosis

okular, endoftalmitis fungal dan infeksi ooportunistik lainnya yang dapat

menyebabakan retinokoroiditis dapat disingkirkan. Dalam diagnosis banding

histoplasmosis okular beberapa penyakit seperti retinitis kandida,

retinokoroiditis toksoplasma dan koroiditis mikobakterial atau pnaumosistik

harus dipikirkan.

Sebagian besar pasien dengan histoplasmosis okular juga mengalami

sepsis dan oleh karena itu temuan pada mata cenderung bersifat lanjut dalam

proses perjalanan penyakit ini. Akan tetapi jika temuan pada mata terjadi lebih

14

Page 15: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

dahulu, oftalmologis harus melakukan evaluasi sistemik untuk infeksi

oportunistik agar dapat menegakkan diagnosis ini.

Pada pemeriksaan patologi, pada retina terdapat lesi multipel berwarna

putih yang dapat berdiameter 1 mm – banyak diantaranya dikelilingi halo

berwarna lebih terang. Lesi ini terletak superfisial dan dalam pada retina,

seringkali perivaskular, dan mengandung organisme histoplasma pada semua

lapisan. Organisme bebas atau terfagosit dalam sel histiosit yang dapat terdapat

dikelilingi oleh limfosit.

Histoplasma okular umumnya diobati dengan antifungal intravena

namun jika diperlukan injeksi intravitreal tambahan dapat diberikan.

15

Page 16: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

BAB III

PENYAJIAN KASUS

Anamnesis

Identitas

Nama : Tn. J

Usia : 26 tahun

Alamat : Beting, Pontianak

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Status : Duda

Masuk RS : 12 Februari 2009

Keluhan utama

Penglihatan pada kedua mata menurun

Riwayat penyakit sekarang

Penglihatan kabur pertama kali dirasakan pada mata kanan 2 bulan yang lalu, keluhan

tidak disertai dengan rasa nyeri, mata merah atau sakit kepala. OS merasa kaburnya

penglihatan pada mata kanan semakin lama semakin bertambah berat. Keluhan

kemudian juga dirasakan OS terjadi pada mata kiri sekitar 1 bulan yang lalu. Kabur

pada mata kiri juga dirasakan semakin lama semakin berat. OS tidak mengeluh nyeri

pada mata namun OS merasa sakit jika memandang cahaya terang, OS juga mengaku

mata menjadi berair jika memandang fokus terlalu lama.

OS menyangkal adanya riwayat penyakit mata yang sama sebelumnya. OS

menyangkal adanya riwayat trauma pada mata dan kepala sebelumnya. OS

menyangkal adanya riwayat hipertensi, diabetes maupun penyakit sistemik lainnya.

OS menyangkal adanya riwayat penyakit yang sama pada keluarga atau orang lain di

lingkungannya. OS menyangkal adanya riwayat tindakan invasif diagnostik atau

teraupetik pada mata sebelumnya.

OS mengaku mengkonsumsi obat antiretroviral sejal 5 bulan yang lalu, karena

didiagnosis oleh dokter VCT terinfeksi HIV. OS mengaku merupakan pengguna

narkoba jenis suntik

16

Page 17: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

Status Oftalmologi

Visus OD : 6/15 tidak dapat dikoreksi PH tetap

OS : 6/6 f1

PD : 62/60

TIO : tidak dilakukan

Posisi bola mata : ortoforia

Pergerakan bola mata :

Palpebra : Ptosis (-), lagioftalmos (-)

Konjungtiva : Injeksi (-), folikel (-)

Kornea : Leukoma (-), ulkus (-)

Bilik mata depan: Sudut mata dalam, hipopion (-), hifema (-)

Iris : Sinekia (-)

Pupil : Leukokoria (-), reflek kornea baik

Lensa : Kekeruhan (-), subluksasi (-)

Vitreus : Tidak ada floater, jernih, perdarahan (-)

Fundus :

Tes Isihara : Tidak dilakukan

Tes Konfrontasi: Tidak dilakukan

Ringkasan

17

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Page 18: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

Os mengalami penurunan penglihatan pada kedua belah mata dengan keadaan mata

kanan lebih berat dari mata kiri. Penurunan bersifat progresif sejak 2 bulan yang lalu

tanpa disertai nyeri atau mata merah. Tidak ada riwayat trauma dan riwayat penyakit

yang sama sebelumnya atau pada keluarga dan lingkungan sekitar. Tidak ditemui

kelainan pada mata bagian depan. Pada fundus ditemukan bercak-bercak kekuningan

di jaringan sekitar pembuluh darah

Diagnosis

OD : Infeksi oportunistik HIV : retinitis CMV

OS : Infeksi oportunistik HIV : retinitis CMV

Diagnosis banding :

Toxoplasmosis

PORN

IRU

Neuropati optik

Gangguan jaras penglihatan

Usul Pemeriksaan Lanjutan

Perimetri dan Tonometri

Tes serologi IgG terhadap CMV

Tes kadar CD4

Tes viral load

Tatalaksana

HAART

Valgansiklovir 900 mg bdd, maintenance 900mg

Prognosis

Ad vitam : malam

Ad functionam : malam

Ad sanactionam : malam

18

Page 19: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien mengalami tanda-tanda adanya korioretinitis pada kedua mata. Dari

riwayat pasien sebagai ODHA dan pemakai obat-obatan suntik serta berdasarkan studi

epidemiologi besar kemungkinan pasien mengalami retinitis CMV. Selain itu dalam

temuan klinis perkembangan penyakit berlangsung cukup lambat sekitar 2 bulan

dengan penurunan tajam penglihatan yang tidak terlalau besar. Pada funduskopi lesi

cenderung terletak secara perifer mengelilingi pembuluh darah. Sehingga

kemungkinan sebagai retinitis CMV semakin besar.

Karena prognosis CMVR yang cenderung jelek serta mahalnya pengobatan

untuk terapi anti-CMV mengakibatkan terapi yang disarankan cenderung sulit untuk

dilakukan. Akan tetapi perbaikan sistem imun melalui terapi HAART diharapkan

dapat memberikan kemungkinan CMVR dapat sembuh secara spontan, walalu besar

kemungkinan akan memberikan sekuele akibat jaringan parut yang tercipta. Namun

perbaikan sistem imun bukan tanpa hal yang buruk. IRU dapat timbul sebagai akibat

meningkatnya respon inflamasi terhadap antigen di mata walalupun etiologinya telah

lama hilang.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: Laporan Kasus SMF Mata: Retinitis HIV

Goldman L. Cecil’s Textbook of Medicine, 21st Edition. 2000. W.B. Saunders

Company.

Kanski, JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 5th Edition. 2008.

McGraw-Hill

Kasper, DL. Fauci, AS. Longo, DL. Braunwald, E. Hauser, SL. Jameson, JL.

Harrison’s Principle of Internal Medicine, 16th Edition. 2005. McGraw-Hill.

Pavan-Langston, D. Manual of Ocular Diagnosisand Therapy, 5th Edition. 2002.

Lippincott, William & Wilkins

Warrell, DA. Cox, TM. Firth, JD. Edward, J., JR. Benz, MD. Oxford Textbook of

Medicine, 4th Edition. 2003. Oxford Press.

Yanoff, M. et al. Ophthalmology, 2nd Edition. 2004. Mosby Inc.

20