laporan kasus peningkatan glasgow coma scale … · subdural hematoma adalah perdarahan yang...
TRANSCRIPT
-
i
LAPORAN KASUS
PENINGKATAN GLASGOW COMA SCALE YANG SIGNIFIKAN PADA
PASIEN EPIDURAL HEMATOME POST OPERASI
TREPANASI EVAKUASI KLOT
dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen,SpAn.KAR
PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2018
-
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Duramater ........................................................................................... 1
1.2 Arachnoidea ....................................................................................... 1
1.3 Piamater .............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA EPIDURAL DAN SUBDURAL
HEMATOM TRAUMATIK ........................................................... 3
2.1 Definisi ............................................................................................... 3
2.2 Etiologi ............................................................................................... 3
2.3 Patomekanisme................................................................................... 4
2.4 Gejala Klinis ....................................................................................... 6
2.5 Diagnosis ............................................................................................ 7
1. Foto Polos Kepala ......................................................................... 8
2. Computed Tomography (CT-Scan) .............................................. 8
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) ............................................ 8
2.6 Penatalaksanaan ................................................................................. 9
2.7 Indikasi ............................................................................................... 12
2.8 Subdural Hematom ............................................................................. 12
2.9 Komplikasi ......................................................................................... 13
2.10 Prognosis ............................................................................................ 14
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 15
3.1 Identitas Pasien ................................................................................... 15
3.2 Anamnesis .......................................................................................... 15
3.3 Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 16
3.4 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 16
3.5 Persiapan Pra Anestesia .................................................................... 17
3.6 Pengelolaan Anestesia ........................................................................ 18
3.7 Follow UP Pasien ............................................................................... 20
BAB IV DISKUSI KASUS ................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak
dapat diperbaiki lagi. Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu
jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak
dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila
robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.1,3
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya
adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi
menjadi arachnoidea dan piamater.2,5
-
2
1.1 Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat
dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus
(sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di
tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.2
1.2 Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia
menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum
subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa
yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang
saling berhubungan.
1.3 Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan sekitar pembuluh
darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di
bawah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari
ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-
pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-
ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk telah choroida di tempat itu.2
-
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EPIDURAL DAN SUBDURAL HEMATOM TRAUMATIK
2.1 Definisi
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena
fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan
duramater. Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera
kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural
paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea
media.1,2
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan
araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal. Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein”, karena
tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi 4 pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di
daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.1,2,4
2.2 Etiologi
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater
dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur. Akibat trauma kapitis,
tengkorak retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau
-
4
fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun
fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada
pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya
arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.
Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma
kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena
yang terjadi dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de
akselerasi bias menarik dan memutuskan vena-vena. Pada waktu akselerasi
berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan
pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer. Akselerasi
kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear. Maka dari itu lesi-
lesi yang bisa terjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak
disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di
namakan lesi kontusio “contercoup”.1,3,7
2.3 Patomekanisme
Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang
subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragik subdural) antara dura bagian
luar dan tengkorak (hemoragik ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.
Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura
mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
-
5
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang
tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah
frontal dan oksipital.8,10
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural
adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini
seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin
terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak (karena anak-anak
memiliki venavena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak (karena
memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih
besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena,
maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.
Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri.
Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan
dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan
hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi
timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh
dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya
berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.1,2,8
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
-
6
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik.6,10
2.4 Gejala Klinis
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran
menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini sering kali tampak
memar disekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang
keluar pada saluran hidung dan telingah. Setiap orang memiliki kumpulan gejala
yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul
akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak : 1,2,5
1. Penurunan kesadaran , bisa sampai koma
2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Keluar cairan dari hidung dan telinga
7. Mual
8. Pusing
9. Berkeringat
Gejala yang timbul pada subdural :
1. Subdural Hematoma Akut
a. Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma sampai
dengan hari ke tiga
b. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda vitalnya
c. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas
d. Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi
-
7
e. pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens
yang berupa bulan sabit
2. Subdural Hematoma Subakut
b. Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 – minggu ke 3
sesudah trauma
c. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya
d. adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.
e. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda
statusneurologik yang memburuk.
f. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
g. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan
respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
3. Subdural Hematoma Kronis
a. Biasanya terjadi setelah minggu ketiga
b. SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua
c. Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat
tersebut gejala yang terasa Cuma pusing.
d. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah
menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur.
e. Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah
ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang. Jika
volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun
cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat
pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau
lumpuh tiba-tiba.
2.5 Diagnosis
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali.
-
8
1. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan
sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang
yang memotong sulcus arteria meningea media.
2. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian
saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi
pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga
dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu
jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.6,7,11
-
9
Gambar 6. Subdural hematom6
2.6 Penatalaksanaan
EPIDURAL HEMATOME
Penanganan darurat :
1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma
Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/
orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka
jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100
mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.
-
10
b. Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk
“menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang
dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam
waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 10-30 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada
kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat
dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan
harinya.
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan
bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan
sawar darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason
pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd
4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6
dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d. Barbiturat.
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat
ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.1,12
3. Penatalaksanaan secara Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan
intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasien
datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan
bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini
-
11
mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine
injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang
stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun
prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial.
Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau
propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5
mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat
diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan
tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada
pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis
kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan
intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin
tetapi merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan
intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang
memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya
pada dinamika intrakranial.
Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat
dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya
pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming
terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh
kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg
diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan
intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum
laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan
pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir
secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal
disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan
masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.
-
12
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang
adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat
anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan
adanya multiple trauma.
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah
otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini
berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak
akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien
yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital
mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala,
iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin
efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled
Trial yang menunjukkan secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera
otak traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk
bila tekanan darah turun.
2.7 Indikasi
Operasi di lakukan bila terdapat :
a. Volume hamatom > 30 ml
b. Keadaan pasien memburuk
c. Pendorongan garis tengah > 5 mm
d. Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
e. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang
f. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
2.8 Subdural Hematom
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu
kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa
mempersiapkan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medika mentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial.
-
13
Seperti pemberian mannitol 0,25 gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena,
dihiperventilasikan. Tindakan operatif baik pada kasus akut maupun kronik,
apabila diketemukan ada gejala-gejala yang progresif maka jelas diperlukan
tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum diambil
kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway,
breathing, dan circulation.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
1. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran
midline shift >5 mm pada CT-Scan
2. Semua pasien SDH dengan GCS
-
14
2.10 Prognosis
:
1. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
2. Besarnya
3. Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk
ada pasien yang mengalami koma sebelum operasi. Prognosis dari penderita SDH
ditentukan dari:
1. GCS awal saat operasi
2. lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
3. lesi penyerta di jaringan otak
4. serta usia penderita pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya
50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin
jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.
-
15
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Shodikin
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 17 Tahun
Agama : Islam
No Cm : 17053901
Ruang : Triage Bedah
Alamat : Batu Yang Batu Bulan Sukawati Gianyar
Mrs : 15 Desember 2017
Diagnosis : Cedera Kepala Sedang dengan Epidural Hemoragik
temporoparietal dekstra dengan odema cerebri
dengan closed fraktur cruris dekstra dengan fraktur
basis cranii
Tindakan : Trepanasi evakuasi clot dan debridement elevasi dan
rekontruksi
3.2 Anamnesis
Penderita datang dengan keluhan gelisah dan penurunan kesadaran setelah
mengalami kecelakaan 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan tidak disertai
mual, muntah ataupun kejang. Selain itu pasien juga mengeluh kaki kanan
bengkok dan luka di kepala bagian kanan.
MOI : Pasien dibonceng menaiki sepeda motor tidak memakai helm terjatuh
setelah menabrak mobil.
Dari AMPLE :
1. (Allergic) pasien tidak ada riwayat alergi
2. (Medication) pasien tidak meminum obat-obatan rutin
3. (Past Illness) pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Riwayat
hipertensi tidak ada, riwayat diabetes mellitus disangkal dan riwayat
penyakit bawaan disangkal.
-
16
4. (Last Meal) pasien telah direncanakan puasa sejak awal kejadian (kurang
lebih 6 jam )
5. (Environment) pasien memiliki kebiasaan merokok, pasien biasa
menghabiskan kurang lebih 5 batang sehari. Riwayat minum- minuman
beralkohol disangkal oleh pasien. Pasien adalah seorang siswa yang baru
tamat sekolah menengah atas yang dapat melakukan aktifitas sehari- hari
tanpa keluhan sesak nafas atau nyeri dada.
3.3 Pemeriksaan Fisik
BB = 55 Kg, TB= 155 cm,BMI= 22,5 kg/m2
SSP = GCS=E2V2M5, Reflek Pupil+/+ Isokor
RES = RR=16-18x/menit, Vesikuler, Rhonki-/-, Wheezing -/-, Mallampati II
KV = TD=110/80 mmHg, Nadi=75-85x/menit, S1S2 Tunggal, regular,
Murmur (-)
GI = Bising Usus (+) Normal, Distensi (-)
UG = BAK Dalam Batas Normal
MS = Fleksi/Defleksi Leher sulit di evaluasi, gigi geligi utuh, melampaui
sulit di evaluasi.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Lengkap (15 Desember 2017): WBC 19.10 103/mcgl; neutrofil
76,3%; Hb 12 g/dl; Ht 36 %; plt 213 x103/mcl
2. Faal Hemostasis (15 Desember 2017): PT 16,4 detik; APTT 26,3 detik; INR
1,4
3. Kimia Darah (15 Desember 2017): SGOT 33 U/L; SGPT 32 U/L; BUN 17,3
mg/dL; Sc 0,94 mg/dL; GDS 80 mg/dL; Na 137 mmol/L; K 4,5 mmol/L; Cl
98,7 mmol/L; Albumin 4,5 g/dL
4. Thorak Foto AP (16 Desember 2017): Cor dan pulmo tak tampak kelainan
5. CT Scan Kepala irisan Axial tanpa Kontras (16 Desember 2017)
Epidural hemorage di region temporoparietalis kanan yang menyebabkan
deviasi midline struktur ke kiri sejauh 1,3 cm, ICH lobus temporoparieta
kanan, edema cerebri, suspect mucocele dd/ sinusitis spenoidalis kanan,
-
17
depressed fracture pada os temporoparietalis kanan, SCALP hematoma
region temporoparietalis kanan.
6. Foto Cervical AP/Lateral (16 Desember 2017)
Paracervical muscle spasme , saat ini tak tampak kompresi/ fraktur/ listhesis
3.5 Persiapan Pra Anestesia
1. Persiapan Di Ruang Perawatan
a. Evaluasi identitas penderita
b. Psikis : Anamnesis umum & anamnesis khusus
c. Penjelasan tentang rencana anestesi yang akan dilakukan pada pasien
mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan.
d. Fisik : Perhiasan dilepaskan sebelum ke ruang operasi.
e. Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi.
f. Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang.
g. Memeriksa surat persetujuan tindakan medis.
2. Persiapan Di Ruang Persiapan Anestesi (OK Instalasi Gawat Darurat)
Pukul 04.10 WITA
a. Memeriksa ulang catatan medik pasien, identitas dan persetujuan
operasi.
b. Menanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan
c. Evaluasi ulang status present dan status fisik
d. Penjelasan ulang kepada pasien tentang rencana anestesi
e. Premedikasi : -
3. Persiapan di Kamar Operasi
a. Mempersiapkan mesin anestesi dan aliran gas
b. Mempersiapkan obat dan alat anestesia
c. Mempersiapkan obat dan alat resusitasi
d. Mempersiapkan monitor dan kartu anestesia
e. Evaluasi ulang status present penderita : GCS E1V1M3
RR 16 x/menit
TD 116 / 68 mmHg
Nadi 86 x / menit
-
18
3.6 Pengelolaan Anestesia
1. Jenis Anestesi : Anestesi Umum
2. Teknik Anestesi : Anestesi Umum pemasangan pipa endo trakeal kinking
a. Penderita tidur telentang dengan kepala diganjal bantal
b. Pasang monitor EKG, tensimeter dan saturasi oksigen
c. Evaluasi ulang terhadap status present
d. Preoksigenasi dengan O2 5 liter/menit selama 3-5 menit.
e. Obat-obat untuk melakukan induksi sudah disiapkan.
f. Pemberian analgesia dengan Fentanyl 150 mcg disuntikkan pelan-pelan
selama 2 menit.
g. Setelah menunggu 1 menit, induksi dengan Propofol TCI target effect 3
mcg/ml
h. Setelah 2-3 menit dilanjutkan dengan menyuntikkan obat Rokuronium
30 mg untuk fasilitas intubasi.
i. Setelah 2 menit, di berikan lidokain 120 mg intratrakea dan dilakukan
ventilasi lagi selama 2 menit. Setelah itu baru dilakukan laringoskopi
dan intubasi dengan memasukkan PET no 7,0.
j. Berikan tekanan pada pompa untuk memberikan ventilasi, sambil
mengecek apakah sudah simetris masuk pada paru-paru kanan kiri.
Setelah simetris, kembangkan balon cuff dan fiksasi PET menggunakan
plester hipafik.
k. Maintenance Compress air : O2, dan Propofol TCI dengan target effect
2-3 mcg/mL, sevoflurane , rocuronium intermitten, fentanyl intermitten
l. Setelah itu dilakukan setting Ventilator Mekanik dengan pressure
Control 15, rate 14 kali/menit
m. Memasang Dauer Kateter untuk memantau kebutuhan cairan durante
operasi
n. Dilakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah awal untuk mengetahui
keadaan metabolik penderita selama diberikan ventilasi mekanik.
o. Operasi mulai pukul 04.40 WITA selesai pukul 07.00 WITA, operasi
berlangsung selama 3 jam 40 menit.
p. Dosis total Fentanyl selama rumatan anestesia adalah 300 mcg.
q. Durante operasi perdarahan sekitar + 1500 cc
-
19
r. Setelah operasi pasien di ekstubasi dan di rawat di ruang intensif
sementara
s. Keadaan akhir Anestesia : TD 114/62 mmHg,Nadi 78x/menit,SaO2
100%.
t. Diberikan analgetik dengan drip Analgetika (Fentanyl 0,25 μg/kgBB/24
Jam) syringe pump dengan Paracetamol 1 gr tiap 8 jam
3. Lama operasi 3 jam 40 menit.
Lama anestesia : 3 jam 55 menit.
Produksi urine durante operasi : 200 cc.
4. Rekapitulasi Cairan masuk durante operasi:
BB=55 Kg
Kebutuhan Cairan Dasar 115 cc/jam
Defisit Cairan Puasa Puasa 5 Jam = 575 ml
Sequester 6 x 70 = 420 ml
EBV= 75 x 70 = 5250 ml
ABL = 20% x 5250 = 1050 ml
Jumlah Total Cairan yang masuk durante operasi:
Kristaloid = 2500 cc, koloid = 500 cc, PRC = 500 cc dengan jumlah
perdarahan ± 1500 cc, urine + 200 cc
5. Jumlah Medikasi yang diberikan selama pembedahan:
- Midazolam 2 mg
- Fentanyl 300 mcg
- Propofol 1200 mg
- Rocuronium 60 mg
- Manitol 250 cc (50 gram)
- Asam Traneksamat 1 Gram
- Lidokain 80 mg
6. Pukul 08.40 Wita Penderita dipindahkan ke ruang terapi intensif dengan
monitor
7. Pukul 08.50 Wita Penderita sampai di HCU dan dilakukan monitoring ketat
dan posisi kepala head up 30⁰ . Vital sign di HCU sbb:
TD=127/85 mmHg,Nadi=85x/menit,SaO2=99% on simple mask 5 L/menit
-
20
3.7 Follow UP Pasien
Hari I Post Operasi (16 Desember 2017):
1. Penderita masih dirawat di HCU
2. Vital sign dengan GCS E3 V5 M6, Tax 36,7 C, TD 122/76 mmHg,
Nadi 80-95x/menit, SaO2 99%
3. BPS 2 dengan Analgetika Fentanyl 300 mcg/kgBB/jam
4. Paracetamol IV 1 gr tiap 8 jam
5. Pasien dengan hasil pemeriksaan penunjang dari DL : WBC 19,04
10µ/µL, Hb 12,00 g/dL, HCT 36,04%, PLT 213,30 10µ/µL (Faal
hemostasis) PPT 16,4 detik, APTT 26,3 detik, INR 1,40 , (kimia darah)
SGOT 73,2 U/L, SGPT 32,60 U/L, Albumin 4,5 g/dL, GDS 80 mg/dL,
BUN 17,3 mg/dL, Kreatinin 0,89 mg/dL, K 4,19 mmol/L, Na 143
mmol/L.
Hari II Post Operasi (17 Desember 2017):
1. Penderita masih dirawat di HCU
2. Vital sign dengan GCS E4 V5 M6, Tax 36,8 C, TD 118/66 mmHg,
Nadi 83-92 x/menit, SaO2 100%
3. VAS 1-2 dengan Analgetika Fentanyl 300 mcg/kgBB/jam
4. Paracetamol IV 1 gr tiap 8 jam
5. Dengan hasil laboratorium DL : WBC 9,51 10µ/µL, Hb 9,57 g/dL, HCT
29,20%, PLT 101,90 10µ/µL
Hari III Post Operasi (18 Desember 2017):
1. Penderita sudah pindah ke Ruang Perawatan (Angsoka 1)
2. Vital Sign TD 117/62 mmHg, Nadi 80-95x/menit
3. VAS 1-2 dengan Analgetika Fentanyl 200 mcg/kgBB/jam
4. Paracetamol 500 mg tiap 6 jam peroral
-
21
BAB IV
DISKUSI KASUS
¨Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
usia muda. Di Inggris dan Wales, 1,4 juta pasien datang ke Unit Gawat Darurat
karena cedera kepala, 200.000 di antaranya harus mendapatkan perawatan intensif
di rumah sakit dan seperlimanya mengalami fraktur tulang tengkorak dan
kerusakan otak. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera
kepala.12
Epidural Hemorrhage biasanya terjadi karena robeknya arteri meningea
media (paling sering), sinus duramatis dan arteri atau vena diploica sehingga
menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dengan tulang tengkorak.13
Epidural Hemorrhage terjadi pada 2,7 hingga 4% kasus dari seluruh kasus cedera
kepala dan sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Penelitian menyatakan bahwa EDH sering terjadi pada usia di antara 2 tahun
sampai 60 tahun.14,15
Gejala klasik EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti dengan
periode sadar kembali (lucid interval) yang dapat berlangsung beberapa jam
sebelum fungsi otak memburuk, bahkan menyebabkan koma. Gejala lain termasuk
nyeri kepala, muntah dan kejang. Jika kondisi ini tidak ditatalaksana dengan cepat
dan baik, EDH dapat menyebabkan herniasi transtentorial progresif dengan tanda
klinis seperti extensor posturing atau tidak adanya repons, pupil dilatasi, pupil
tidak simetris, perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari 2 dari
GCS terbaik sebelumnya pada pasien dengan permulaan GCS < 9) dan
kematian.13,14,16
Pengelolaan perioperatif pasien dengan cedera kepala seperti ini difokuskan
pada stabilisasi pasien dan mengendalikan tekanan intrakranial, serta
mempertahankan oksigenasi dan perfusi otak, diikuti dengan dekompresi dengan
pembedahan. Waktu sangatlah penting pada pembedahan EDH, evakuasi dan
kontrol perdarahan dalam waktu yang singkat sangat esensial untuk menghindari
cedera.1,16
-
22
Pada kasus ini, Seorang laki-laki berusia 17 tahun dengan diagnosa Cedera
Kepala Sedang dengan Epidural Hemoragik temporoparietal dekstra dengan
odema cerebri dengan fraktur cruris dekstra tertutup dengan fraktur basis cranii
dibawa ke RSUP Sanglah Denpasar dengan penurunan kesadaran. Enam
jam sebelum masuk RS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, pasien
mengalami penurunan kesadaran, tidak kejang, muntah sekali. Lalu pasien di
bawa oleh keluarga ke RSUP Sanglah. Tidak ada riwayat penyakit lain
sebelumnya.
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 110/80 mmHg, laju nadi 78
x/menit (reguler), laju napas 12 kali/menit reguler), suhu tubuh 37,2 °C. Jalan
napas bebas, suara napas vesikuler, tidak didapatkan ronki maupun wheezing.
Pada awal pemeriksaan status neurologis GCS 2M2V5 (9), pupil isokor 3 mm/ 3
mm, refleks cahaya (+/+). Lalu saat dilakukan evaluasi ulang sebelum pasien
masuk ke dalam ruang operasi didapatkan status neurologis pasien GCS E1V1M3.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Darah lengkap : WBC 19.10
103/mcgl; neutrofil 76,3%; Hb 12 g/dl; Ht 36 %; plt 213 x103/mcl, dengan faal
hemostasis PT 16,4 detik; APTT 26,3 detik; INR 1,4, dan pemeriksaan kimia
darah: SGOT 33 U/L; SGPT 32 U/L; BUN 17,3 mg/dL; Sc 0,94 mg/dL; GDS 80
mg/dL; Na 137 mmol/L; K 4,5 mmol/L; Cl 98,7 mmol/L; Albumin 4,5 g/dL . dari
hasil CT scan kepala: Epidural hemorage di region temporoparietalis kanan yang
menyebabkan deviasi midline struktur ke kiri sejauh 1,3 cm, ICH lobus
temporoparieta kanan, edema cerebri, suspect mucocele dd/ sinusitis spenoidalis
kanan, depressed fracture pada os temporoparietalis kanan, SCALP hematoma
region temporoparietalis kanan. Pasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan
kepala head up 15–30° netral. Pasien dipasang alat monitor non-invasif (tekanan
darah, denyut jantung, EKG, SaO2). Pasien diintubasi dengan menggunakan
laringoskop Macintosh dengan pipa endotrakheal non-kinking ukuran 7,5 dan
dilakukan pemasangan kateter urine. Pasien diberikan manitol dengan dosis 1
gr/kgBB dan dilakukan resusitasi cairan dengan NaCl 0,9%.
Pengelolaan Anestesi Di kamar operasi, pasien diposisikan dalam posisi
supinasi dengan kepala head up 15–30° netral. Pasien dipasang alat-alat monitor
non-invasif (tekanan darah, denyut jantung, EKG, SaO2), telah dilakukan intubasi
-
23
dan telah terpasang kateter urine. Pasien diinduksi dengan 150 mcg fentanyl,
pasien di induksi menggunakan propofol dengan alat TCI ( Target Controlled
Infusions) dan 40 mg rocuronium. Rumatan anestesi dengan sevoflurane dengan
O2 : udara (50:50), propofol kontinu dengan TCI dan rocuronium kontinu.
Operasi berlangsung selama 1,5 jam dengan jumlah pendarahan 500 ml d an
diuresis 750 ml. Pemberian cairan intraoperatif menggunakan ringerfundin
sebanyak 1000 ml, NaCl 0,9% 500 ml. Tanda-tanda vital selama operasi stabil.
Pada Pengelolaan Pasca bedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif
(High care Unit/ ICU) selama 2 hari sebelum dipindahkan ke ruangan. Pasien
dirawat dengan respirasi spontan, dengan pemberian analgetik fentanyl 25 μg/jam.
Posisi kepala head up 30–45°. Cairan rumatan diberikan ringerfundin 1.500 ml
dan NaCl 0,9% 500 ml serta omeprazole selama 24 jam pertama. Pemeriksaan
darah lengkap, elektrolit, gula darah acak 12 jam pascaoperasi. Hari pertama di
ICU, hemodinamik pasien stabil dengan tekanan darah rerata 100 mmHg, laju
nadi 75–80 kali/ menit, saturasi O2 99%, temperatur 36-36,5°C. Hasil
laboratorium pascaoperasi WBC 19,04 10µ/µL, Hb 12,00 g/dL, HCT 36,04%,
PLT 213,30 10µ/µL (Faal hemostasis) PPT 16,4 detik, APTT 26,3 detik, INR 1,40
, (kimia darah) SGOT 73,2 U/L, SGPT 32,60 U/L, Albumin 4,5 g/dL, GDS 80
mg/dL, BUN 17,3 mg/dL, Kreatinin 0,89 mg/dL, K 4,19 mmol/L, Na 143
mmol/L. Setelah 2 hari di rawat ri ruang HCU (High Care Unit) pasien
dikembalikan ke ruang perawatan biasa, dan pasien dirawat dalam kondisi saat itu
kesadaran komposmentis, GCS E4M6V5.
Epidural Hemorrhage terjadi sebagai akibat benturan hebat yang dapat
merobek pembuluh darah meningen dan mengakibatkan perdarahan. Perdarahan
yang terjadi biasanya berasal dari arteri sehingga keadaan neurologi dapat
memburuk dengan cepat. Karena itu, penanganan difokuskan pada waktu.
Evakuasi dan kontrol perdarahan dengan segera sangat penting untuk keselamatan
pasien, meningkatkan status neurologis dan menghindari cedera neurologis yang
permanen pada pasien.17,18
Tindakan operatif pada trauma kepala, terutama trauma kepala yang
menyebabkan cedera otak traumatik (COT), diindikasikan bila terjadi efek masa
yang bermakna. Hal ini didefinisikan pada danya herniasi serebral atau pergeseran
-
24
garis tengah (midline shift) 5 mm atau lebih. Midline shift diukur pada CT-scan
aksial dengan melihat pergeseran septum pellucidum dari garis tengah setinggi
foramen level foramen monroe. Epidural Hemorrhage dengan volume lebih dari
30 cc harus dievakuasi, walaupun pasiennya asimptomatik. Pasien EDH dengan
GCS kurang dari 9, disertai dengan pupil yang dilatasi harus dilakukan tindakan
evakuasi perdarahan dan dekompresi segera. Perdarahan akut pada EDH dapat
dievakuasi dengan kraniotomi ataupun kraniektomi.19,20
Penanganan Cedera Otak Traumatik (COT) memiliki kaitan erat dengan
tugas ahli anestesi. Sesuai dengan prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah
saraf, ahli anestesi harus mengatur ABCDE neuroanestesi (airway, breathing,
circulation, drugs dan environment). Airway, jalan nafas harus selalu bebas
sepanjang waktu. Breathing, ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi yang
adekuat. Circulation, hindari lonjakan tekanan darah untuk mencegah terjadinya
edema berat dan kenaikan tekanan intrakranial dan hindari faktor-faktor mekanis
yang meningkatkan tekanan vena serebral. Drugs, gunakan obat- obatan anestesi
yang memberikan efek neuroprotektif. Environment, pertahankan suhu hipotermia
ringan (35°C, core temperature).16,17
Teknik dan pemilihan obat anestesi yang ideal didasarkan pada sasaran
pelaksanaan anestesi tersebut. Penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan mengganggu hemodinamik seperti ketamin dan narkotik
analgesi harus dihindari. Obat-obat yang digunakan harus dapat menurunkan
tekanan intrakranial dengan meningkatkan resistensi vaskular serebral,
menurunkan aliran darah otak, menurunkan volume darah otak dan menurunkan
metabolisme otak. Mekanisme-mekanisme seperti ini yang pada akhirnya akan
memberikan efek neuroprotektif terhadap otak.16.24
Anestesi intravena seperti propofol dan fentanyl secara signifikan
menurunkan aliran darah otak, metabolisme otak dan menurunkan tekanan
intrakranial. Selain itu kombinasi keduanya dapat mengurangi respon stres selama
intubasi dan mempercepat proses pemulihan pasca bedah. Anestesi inhalasi,
meskipun pada umumnya menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah serebral dan
meningkatkan tekanan intrakranial, sevofluran dapat dipilih karena efek
vasodilatasinya paling kecil dibandingkan dengan jenis anestesi inhalasi lainnya.
-
25
Tidak berbeda dengan anestesi inhalasi, obat pelumpuh otot juga pada umumnya
dapat meningkatkan aliran darah otak. Ringerfundin digunakan sebagai cairan
intraoperatif untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial dengan sifatnya
yang sedikit hiperosmolar. Sifatnya ini akan membantu menarik cairan dari
interstitial otak masuk ke dalam pembuluh darah otak. Meskipun memiliki sifat
yang hampir sama dengan NaCl 0,9%, ringerfundin lebih dipilih untuk
menghindari terjadinya hiperkloremik asidosis saat resusitasi cairan. Pascabedah,
tindakan-tindakan umum seperti perpindahan posisi pasien suctioning, fisioterapi
dan usaha pencegahan infeksi tetap dilakukan untuk mengurangi resiko dan
komplikasi yang dapat memperburuk keadaan pasien.16,17,25,26
-
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
2. Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-infrared Device for detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal of
Neurotrauma.
3. Bigler E.D,William L, 2012, Neuropathology of Mild traumatic brain Injury.
Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171.
4. Wilkins, Williams L, 2008, Contralateralb Acute Epidural Hematoma After Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.
5. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma, Turkish journal of trauma & emergency surgey. Vol 87
6. Gupta R, Mohindra S, 2008, Traumatic Ipsilateral acute extradural and subdural hematoma, Indian Journal of Neurotrauma, Vol.5, No.2.
7. Gillet J, What’s the difference Between a subdural and Epidural Hematoma, Brainline.org.
Leon J, Maria J, 2010, The Infrascanner, a handheld device for screening in
situ for the presence of brain Haematoms.
8. Mansjoer A, Suprohaita, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 3, Jilid 2, UI.
9. Tito.R.T, 2011, Subdural hematoma and epidural hematoma, Brain and spain injury law blog, Titolooffice.com
10. National Institute for Health and care excellence. Head Injury: Triage, Assessment, Investigation and Early Management of Head Injury in
Children, Young People and Adults. NICE Clinical Guideline. 2014.
11. Ul Haq, MI. Traumatic extradural hematoma. Professional Med J. 2014; 21(3): 540–43.
12. University of California Los Angeles Neurosurgery. Epidural Hematoma. Diakses dari: http://neurosurgery.ucla.edu/body.cfm.id=1123&ref=41&
action=detail pada tanggal 1 September 2016.
13. Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung:KORPS Sukarela PMIUNPAD. xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+
Pembidaian.pptx (10 Desember 2012)
-
27
14. Polinsky S, Muck K. Increased intracranial pressure and monitoring. Diakses dari : http://faculty.ksu.edu.sa/73717/Documents/Increased_
Intracranial_ Pressure_and_ Monitoring_site.pdf pada tanggal 30 Desember
2014.
15. Saleh SC. Neuroanestesia Klinik. Surabaya: Zifatama Publisher. 2013; 47–162.
16. Hawthorne G, Gruen RL, Kaye AH. Traumatic brain injury and long-term quality of life: findings from an Australian study. J Neurotrauma. 2009; 26:
1623–33.
17. Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of head injury. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, editors. Neurotrauma. New
York: McGraw- Hill. 1996;61–69.
18. Baron EM, Jallo JI. Traumatic brain injury: pathology, pathophysiology, acute care and surgical management, critical care principles and outcome.
Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte RD, editors. Brain Injury Medicine:
Principles and Practice. New York: Demos Medical Publishing. 2007; 265–
82.
19. Woods M. Aspect of perioperative neuroscience practice. Dalam: Smith B, Rawling P, Wicker P, Jones C, editors. Core Topics in Operating
Departement Anaesthesia and Critical Care. Cambridge: Cambridge
University Press. 2007;61–76.
20. RichardBuckley2012. TreatmentFracturehttp://emedicine. medscape.com/ article/1270717 treatment#showall Diakses tanggal 29 Agustus 2016
21. Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone. Makassar: 2007, 352–489
22. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetics agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism and intracranial pressure. Dalam: Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010,
317–26.
23. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: FK Unpad. 2012; 83–124, 143-68, 187–208.
24. Ertmer C, Aken HV. Fluid therapy in patients with brain injury: what does physiology tell us. Critical Care. 2014; 18: 199.