laporan kasus obat anestesi sebagai terapi serial …...dan dirasakan hilang timbul. menurut pasien...

38
LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL EPILEPSI TIDAK TERKONTROL Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc Disusun oleh: Lulu Arivista Raharjo 1820221090 KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2019

Upload: others

Post on 17-Jan-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

LAPORAN KASUS

OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL EPILEPSI

TIDAK TERKONTROL

Pembimbing:

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc

Disusun oleh:

Lulu Arivista Raharjo 1820221090

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2019

Page 2: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

1

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nomor RM : 175xxx-20xx

Nama : Tn. S

Tanggal lahir : 04 November 1977

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Wora Wari, Jambu

Pekerjaan : Pedagang kambing

Pendidikan : SD

Status marital : Menikah

Tanggal periksa : 6 Agustus 2019

Ruangan : Mawar / Kelas III

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis dengan kakak pasien,

serta dari catatan rekam medik. Anamnesis dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2019 di

Bangsal Mawar RSUD Ambarawa.

a) Keluhan utama

Post kejang seluruh tubuh

b) Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD pada tanggal 31 Juli 2019 dengan keluhan post kejang

sebanyak 2 kali beberapa jam sebelum masuk IGD. Kejang disertai gerakan di seluruh

tubuh, secara tiba-tiba, selama 5 menit. Saat kejang pasien tidak dalam keadaan sadar

dan setelah kejang pasien tidak ingat apa-apa. Diantara dua kejang, pasien kembali

sadar. Menurut pasien, tidak ada faktor yang mungkin mencetus terjadinya kejang

serta tidak ada faktor yang memperingan kejang. Pasien tidak pernah mengalami

kejang sebelumnya. Sebelum mengalami kejang, pasien mengaku merasakan pusing

cekot-cekot, pandangan terlihat kabur, dan demam. Keluhan tidak disertai mual,

Page 3: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

2

muntah, kesulitan bicara, kesulitan bergerak atau berjalan, kesemutaan/baal, maupun

gangguan keseimbangan. BAB dan BAK normal.

Saat pasien merasakan pusing dan pandangan kabur, pasien mengaku terbentur

pohon di bagian bahunya namun tidak pingsan. Kemudian pasien diantar ke mantri

sekitar rumahnya dan diberikan obat. Nama obat tidak diketahui oleh pasien maupun

keluarganya. Beberapa saat setelah minum obat, pasien mengalami kejang 2 kali dan

langsung dibawa ke IGD.

1 minggu sebelum kejang, pasien mulai merasakan pusing cekot-cekot dan

pandangan kabur. Pusing dirasakan di sekitar kepala bagian depan, terasa cekot-cekot,

dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya

pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak ada faktor yang memperingan pusing.

Keluhan pusing tidak membaik setelah diberikan obat. Satu hari sebelum kejang,

pasien merasa kepalanya semakin pusing. Pandangan kabur dirasakan hilang timbul,

memburuk saat beraktivitas, dan tidak ada faktor yang memperingan pandangan

kabur. Beberapa jam sebelum kejang, pasien merasa pandangan kaburnya semakin

berat serta dirasakan secara terus menerus.

1 hari sebelum kejang, pasien juga merasa demam disertai pusing dan pandangan

kabur. Keluhan demam terjadi secara tiba-tiba, suhu tidak diukur oleh pasien maupun

keluarganya namun pasien merasa demamnya tidak terlalu tinggi, tidak membaik

dengan obat, dan tidak ada faktor memperburuk demam.

c) Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat kejang sebelumnya : disangkal

2. Riwayat demam : pasien mengaku beberapa kali mengalami

demam, namun hanya sebentar-sebentar, dan

sembuh sendiri

3. Riwayat trauma : pasien memiliki riwayat kecelakaan lalu

lintas 10 tahun yang lalu, kepala terbentur terlebih

dahulu, terjadi luka disekitar alis kanan, namun

pasien tidak melakukan pemeriksaan ke pelayanan

kesehatan setelah kecelakaan.

4. Riwayat nyeri kepala kronis : disangkal

Page 4: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

3

5. Riwayat vertigo : disangkal

6. Riwayat stroke : disangkal

7. Riwayat hipertensi : sejak 5 tahun yang lalu. Pasien tidak rutin

mengonsumsi obat.

8. Riwayat diabetes melitus : sejak 3 tahun yang lalu. Pasien tidak rutin

mengonsumsi obat.

9. Riwayat paru : diakui menderita batuk lama 6 tahun yang

lalu. Mengaku konsumsi obat batuk lama selama 9

bulan hingga tuntas.

10. Riwayat jantung : disangkal

11. Riwayat alergi : alergi obat betahistin

12. Riwayat sesak nafas : disangkal

d) Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat kerjang : disangkal

2. Riwayat hipertensi : diakui, ibu kandung pasien

3. Riwayat diabetes melitus : diakui, ibu kandung pasien

4. Riwayat jantung : disangkal

5. Riwayat stroke : disangkal

e) Riwayat Pengobatan

Saat pasien merasa pusing, penglihatan buram, dan demam, pasien dibawa ke

mantri dekat rumahnya dan diberikan 3 jenis obat. Namun pasien tidak tahu nama obat

yang diberikan. Saat ini pasien juga tidak dalam pengobatan rutin.

f) Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi

Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pasien sudah menikah dan

tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien tidak merokok, tidak minum alkohol, dan

tidak pernah olahraga. Pasien menggunakan biaya pribadi untuk pembiayaan rumah

sakit.

Page 5: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

4

g) Anamnesis sistem

Sistem serebrospinal : pusing (+) cekot-cekot, riwayat kejang (+), kesulitan bicara

(-), perubahan tingkah laku (-), gangguan kognitif (-)

Sistem kardiovaskular : riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol, riwayat jantung (-),

riwayat nyeri dada (-)

Sistem respirasi : riwayat batuk lama (+), riwayat sesak nafas (-)

Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), makan minum (+), BAB (+)

Sistem urogenital : BAK (+), nyeri berkemih (-)

Sistem neurologi : kelemahan anggota gerak (-), kesemutan (-)

Resume Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Pasien berusia 42

tahun, berjenis kelamin laki-laki. Pasien datang ke IGD dengan keluhan post kejang

sebanyak 2 kali. Kejang disertai gerakan di seluruh tubuhnya, selama 5 menit. Saat kejang

pasien tidak sadar dan setelah kejang pasien tidak ingat apa-apa. Diantara kejang pasien

sadar. Keluhan disertai pusing cekot-cekot, pandangan kabur, dan demam. Pasien dibawa

ke mantri setelah kejang pertama dan diberikan obat, namun keluhan tidak membaik dan

terjadi kejang yang kedua kali. Nama obat tidak diketahui. Pasien tidak pernah mengalami

kejang sebelumnya.

1 minggu sebelumnya, pasien mulai merasakan pusing cekot-cekot dan penglihatan

kabur. Pusing dirasakan di kepala bagian depan, hilang timbul, memburuk saat aktivitas,

membaik bila beristirahat, namun tidak membaik setelah diberikan obat. Pandangan kabur

juga dirasakan hilang timbul, dan memburuk dengan aktivitas.

1 hari sebelum kejang, keluhan pusing dan pandangan kabur dirasakan semakin

memburuk. Keluhan lainnya yang muncul yaitu pasien mengalami demam. Demam

dirasakan tidak terlalu tinggi, namun tidak diukur suhunya oleh pasien. Demam tidak

membaik dengan diberikannya obat.

Pasien sudah diberikan obat setelah kejang yang pertama namun terjadi kejang yang

kedua kali serta keluhan penyerta tidak membaik. Nama obat tidak diketahui. Riwayat

kejang sebelumnya disangkal. Riwayat darah tinggi diakui namun tidak terkontrol.

Riwayat kencing manis diakui namun tidak terkontrol. Riwayat trauma diakui, 10 tahun

yang lalu namun tidak dilakukan pengeceakan medis apapun. Riwayat stroke disangkal.

Page 6: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

5

Riwayat batuk lama diakui, dan sudah konsumsi obat selama 9 bulan. Saat ini pasien

sedang tidak mengonsumsi obat rutin apapun.

Diskusi I

Dari hasil anamnesis didapatkan seorang laki-laki berusia 42 tahun mengalami

kejang diseluruh tubuh. Kejang adalah episode disfungsi otak sementara akibat adanya

aktivitas elektrik abnormal. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau fokal, berasal dari daerah

spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini

bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena.

A. Kejang

Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara yang

menyebabkan aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang

berlebihan. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang

ditandai oleh gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan oleh

lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Sidharta, 2003).

Lepas muatan listrik tersebut terjadi karena terganggunya fungsi neuron oleh gangguan

fisiologis, biokimia, anatomis, atau gabungan faktor-faktor tersebut. Setiap kelainan yang

mengganggu fungsi otak baik kelainan lokal maupun umum, dapat mengakibatkan

terjadinya bangkitan epilepsi (Lumbantobing, 2000).

Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi terus-menerus selama paling

sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di

antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli

mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Pasien

dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit (Kustiowati, 2003).

Manifestasi ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering

dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-

klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada

status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum

tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang

berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial

dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,

Page 7: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

6

diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,

hyperpireksia mungkin berkembang (Kustiowati, 2003).

B. Etiologi

SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat,

stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi

dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan

serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di Negara maju, sedangkan di negara

berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat

penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas. Etiologi status epileptikus antara lain

: alcohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal, penyakit, cerebrovascular, epilepsy kronis,

infeksi SSP, toksisitas obat, metabolic, trauma atau tumor (Basuki, 2010)

C. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus

kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.

Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut.

Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat

epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu

kejang (PERDOSSI 2011).

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena

biokimiawi, termasuk yang berikut (PERDOSSI 2011):

- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;

- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila

terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;

- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam

polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam

gama-aminobutirat (GABA);

- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang

mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi

neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan

neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Page 8: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

7

D. Klasifikasi Kejang (ILAE, 2017)

Gambar 1. Klasifikasi Kejang (Sumber: ILAE, 2017)

DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosis klinis : cephalgia akut, kejang berulang akut, dengan progesifitas serial

epileptikus tonik-klonik umum

Diagnosis topis : intrakranial

Diagnosis etiologis : infeksi, misalnya bakteri, virus, parasit atau jamur; gangguan metabolik;

gangguan aliran darah; trauma; SOP intrakranial; hiperaktivitas

kelistrikan sel saraf otak

EPILEPSI

A. Definisi

Kejang adalah episode disfungsi otak sementara akibat adanya aktivitas elektrik

abnormal. Sekitar 25% kejang memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi secara

sementara. Kejang-kejang ini, yang disebut kejang simtomatik akut atau kejang

Page 9: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

8

terprovokasi, tidak memiliki kecenderungan untuk kambuh, kecuali jika kondisi yang

mendasarinya kembali (Brust, 2012).

Sebaliknya, epilepsi didefinisikan sebagai dua atau lebih kejang yang tidak

diprovokasi (yaitu, tidak memiliki penyebab proksimal akut yang dapat diidentifikasi).

Individu dengan epilepsi memiliki peningkatan risiko kejang berulang yang signifikan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, epilepsi adalah gangguan utama otak yang paling

umum. Lebih dari 2,3 juta orang di Amerika Serikat menderita epilepsi, dan diperkirakan

181.000 orang Amerika didiagnosis menderita gangguan ini setiap tahun (Brust, 2012).

Kejang adalah jalur akhir umum dalam berbagai penyakit sistem saraf pusat (SSP);

Namun, tidak semua individu dengan cedera otak yang terbukti secara klinis mengalami

epilepsi. Banyak orang tanpa bukti klinis kelainan otak struktural atau fungsional

mengalami epilepsi. Epileptogenesis, yang didefinisikan sebagai proses di mana suatu

wilayah otak, dari waktu ke waktu, menjadi hiperexcitabel dan mengembangkan

kemampuan untuk secara spontan menghasilkan kejang, tidak dipahami dengan baik.

Beberapa daerah otak, misalnya, hippocampus, korteks entorhinal, dan amigdala (yang

merupakan lobus temporal mesial atau tengah), tampaknya lebih rentan terhadap proses

epileptogenik (Brust, 2012).

B. Epidemilogi

Kejadian keseluruhan epilepsi umumnya dianggap sekitar 50 per 100.000 populasi

per tahun (kisaran 40-70 per 100.000 populasi per tahun) sementara insiden epilepsi di

negara-negara berkembang umumnya lebih tinggi dalam kisaran 100-190 kasus per

100.000 populasi per tahun. Telah terbukti bahwa orang-orang dari latar belakang sosial

ekonomi kurang memiliki risiko lebih tinggi terkena epilepsi. Di negara-negara industri,

ada bukti penurunan kejadian pada anak-anak dan peningkatan lansia secara simultan

selama tiga dekade terakhir (Kennard, 2013).

Di negara-negara industri, epilepsi memiliki insiden spesifik usia, tertinggi pada usia

sangat muda dan sangat tua. Gangguan yang bermanifestasi pada orang yang sangat muda

(misalnya, cerebral palsy dan retardasi mental) dan penyakit pada orang tua (misalnya,

stroke yang terdeteksi secara klinis dan demensia Alzheimer) meningkatkan risiko

epilepsi individu hingga lebih dari 10 kali lipat (Brust, 2012).

Page 10: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

9

C. Etiologi

Pada setiap individu, terjadinya kejang seringkali merupakan akibat dari pengaruh

genetik dan faktor yang didapat serta faktor-faktor pemicu. Terlepas dari sifat penyebab

multifaktorial ini, kasus dapat diklasifikasikan menurut penyebab utama (atau diduga

penyebabnya) menjadi empat kategori (Kennard, 2013):

a) Epilepsi idiopatik

Epilepsi idiopatik didefinisikan sebagai epilepsi yang sebagian besar berasal dari

genetik dan di mana tidak ada kelainan neuroanatomi atau neuropatologis. Istilah

idiopatik lebih disukai karena produksi epilepsi adalah campuran kompleks dari

mekanisme genetika dan non-genetik, dan mencakup mekanisme epigenetik dan

epistatik, dengan pengaruh lingkungan dan pengaruh yang beroperasi dari waktu ke

waktu seiring perkembangan otak. Etiologi pada kategori ini diantaranya:

1. Gangguan murni genetik tunggal: Benign familial neonatal convulsions;

autosomal dominant nocturnal frontal lobe epilepsy

2. Gangguan murni genetik kompleks: Idiopathic generalized epilepsy (and its

subtypes); benign partial epilepsies of childhood. (Kennard, 2013)

b) Epilepsi simtomatik

Didefinisikan sebagai epilepsi, penyebabnya didapat atau genetik, terkait dengan

kelainan neuroanatomik atau neuropatologis yang mengindikasikan penyakit atau

kondisi yang mendasarinya. Kategori ini mencakup (a) kondisi yang didapat dan (b)

gangguan perkembangan dan bawaan di mana ini terkait dengan perubahan patologis

otak, baik genetik atau didapat (atau memang kriptogenik) (Kennard, 2013).

1. Gangguan genetik atau perkembangan

Childhood epilepsy syndromes: west syndrome

Neurocutaneous syndromes: tubercose sklerosis

Gangguan fungsi kromosom:: down syndrome

Anomali perkembangan struktur serebri: Hemimegalencephaly, focal cortical

dysplasia, microcephaly, polymicrogyria;

2. Etiologi didapat

Sklerosis hipokampus

Penyebab neonatus: kejang neonatus, cerebral palsy, post vaksin

Trauma, tumor, infeksi

Page 11: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

10

Gangguan imunologi: SLE, rasmunssen ensefalitis, gangguan inflamasi

Degenerative disease: alzheimer, multiple sklerosis, hydrocephalus

c) Epilepsi terprovokasi

Didefinisikan sebagai: epilepsi di mana faktor sistemik atau lingkungan spesifik

merupakan penyebab utama kejang dan di mana tidak ada perubahan neuroanatomik

atau neuropatologis yang menyebabkan. Beberapa 'epilepsi terprovokasi' akan

memiliki dasar genetik dan sebagian lagi diperoleh (Kennard, 2013).

Siklus menstruasi

Catamenial epilepsy sleep

Endocrine and metabolic

induced seizures

Obat-obatan

Alkohol

Toxin

Refleks epilepsi: fotosensitif,

terkejut, suara, makan, dan air

panas.

D. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus

kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas

kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di

mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik,

sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.12

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena

biokimiawi, termasuk yang berikut (PERDOSSI, 2011):

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;

Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila

terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;

Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam

polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam

gama-aminobutirat (GABA);

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang

mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi

neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan

neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Page 12: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

11

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang

sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron.

Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel

saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat,

demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan

serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami

deplesi selama aktifitas kejang (PERDOSSI, 2011).

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik

yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan

struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal

pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang

tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-

fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin (PERDOSSI, 2011).

Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus

melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi

eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus

menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan

penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus

lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama (PERDOSSI, 2011).

Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti

hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan

homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen.

Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam

kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat

sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30

menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia,

hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai (PERDOSSI, 2011).

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak

cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral

Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya

terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan microglia yang mungkin

berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang

Page 13: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

12

menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja yang kemudian bereaksi

dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktivasi ini menyebabkan

pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah

sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated

excitotoxicity khususnya di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler

normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama

kejang, receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.

Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan

keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang

terjadi pun akan semakin besar (PERDOSSI, 2011).

E. Klasifikasi dan Manifestasi Kejang

Gambar 2. Klasifikasi Kejang (Sumber: ILAE, 2017)

F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang pertama kita

lakukan adalah (Kustiowati, 2003):

1. Anamnesis

Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit

serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang

Page 14: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

13

(fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang

sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh

kembang, dan penyakit yang sedang diderita.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan

pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat

peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu

parestesia, hipestesia, anestesia.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan

urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah

b. imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak

c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika

pasien mengalami gangguan mental

d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan

subarachnoid.

G. Diagnosis Banding

1. Bangkitan Psychogenik

2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl dystonia, benign

sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dll.)

3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention

deficit)

4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)

5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma

psikotik akut)

6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)

7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells,

cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dll

Page 15: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

14

H. Penatalaksanaan

Untuk keefektifan terapi epilepsi, diagnosis definitif sangatlah penting.

Karakterisasi jenis kejang spesifik (dan sindrom epilepsi bila memungkinkan) penting

karena memiliki pengaruh pada jenis pengobatan yang akan diberikan. Riwayat yang

baik, dikuatkan dengan catatan saksi adalah yang terpenting dan peninjauan kembali

mungkin diperlukan ketika ragu (Kawe Kenya, 2016).

Dianjurkan bahwa pengobatan harus dimulai setelah konfirmasi diagnosis epilepsi

aktif (dua atau lebih kejang yang tidak diprovokasi lebih dari 24 jam dalam setahun) dan

setelah konseling yang tepat. Namun, dalam keadaan khusus, obat anti-epilepsi dapat

digunakan bahkan setelah kejang tunggal. Situasi seperti itu meliputi:

Riwayat epilepsi keluarga

Defisit neurologis yang relevan

EEG abnormal yang menunjukkan aktivitas epileptiformis atau pelambatan fokus

di mana pasien, setelah konseling yang memadai, menginginkan perawatan

(Kawe Kenya, 2016).

a. Terapi Inisial

1. Mulai perawatan dengan satu obat.

2. Mulai pengobatan menggunakan takaran rekomendasi terendah yang kompatibel

dengan sediaan obat.

3. Secara bertahap sesuaikan dosis pada interval dua hingga enam minggu sampai

kontrol kejang lengkap atau dosis maksimum yang ditoleransi secara

farmakologis tercapai. Ini adalah dosis perawatan minimum pasien.

4. Jika tidak ada kontrol kejang yang dicapai setelah mencapai dosis maksimum

obat awal, obat kedua harus ditambahkan sambil mempertimbangkan secara

bertahap mengurangi atau mempertahankan obat awal tergantung pada respon

klinis. Jika monoterapi (obat tunggal) gagal, maka politerapi (banyak obat)

diindikasikan menggunakan obat dengan cara tindakan yang berbeda.

5. Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai dosis pemeliharaan terendah yang

menyediakan kontrol kejang lengkap dengan efek samping minimum.

Page 16: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

15

6. Pengenalan AED secara bertahap dapat menghasilkan efek terapeutik secepat

inisiasi dengan dosis besar, tetapi dengan efek samping yang lebih sedikit dan

karenanya direkomendasikan.

7. Efek samping “toksisitas” parah yang muncul di awal pengobatan, dapat

mengindikasikan peningkatan dosis yang terlalu cepat atau terlalu besar. Efek

samping yang harus diantisipasi. Ini termasuk kelelahan, kantuk yang berlebihan,

pusing atau kesulitan berjalan (ataksia).

(Kawe Kenya, 2016).

b. Pertolongan Pertama saat kejang kejang

1. Lakukan

Jauhkan pasien dari situasi berbahaya seperti kebakaran, lalu lintas, air dll

Mengambil benda apa pun yang dapat membahayakan pasien

Longgarkan pakaian ketat, lepaskan kacamata

Lindungi kepala menggunakan sesuatu yang lembut

Posisikan pasien dalam keadaan miring, sehingga air liur dan lendir dapat

mengalir keluar dari mulut

Tetap bersama pasien sampai dia sadar sepenuhnya

Kemudian biarkan pasien beristirahat dan membimbing mereka ke tempat

yang aman dan menghubungi pengasuh / wali mereka.

2. Jangan lakukan

JANGAN memasukkan apapun ke dalam mulut

JANGAN memberikan apa pun untuk diminum

JANGAN mencoba menghentikan menyentak, atau menahan gerakan.

(Kawe Kenya, 2016).

c. Penatalaksanaan Status Epileptikus (sumber: Carter & Adapa, 2016)

Status epileptikus adalah suatu keadaan darurat. Definisi status epileptikus

sebagai kejang yang menetap atau berulang tanpa mendapatkan kembali kesadaran

selama periode 30 menit. Dalam praktik klinis, sebagian besar kejang kejang mereda

dalam 2-3 menit dan kejang yang berlangsung selama lebih dari 5 menit memiliki

peluang rendah untuk berhenti secara spontan, sehingga harus diobati dengan obat

Page 17: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

16

antiepilepsi darurat. Penatalaksanaan status eppileptikus diberikan berdasarkan fase-

fase status epileptikus:

1) Fase pre-monitory (5 menit pertama)

Midazolam bukal atau diazepam dubur dapat diberikan oleh perawat pasien

atau petugas medis darurat.

2) Fase awal (5-10 menit pertama)

Manajemen awal kejang mendukung dengan perlindungan jalan napas,

oksigen tambahan, dan penilaian fungsi kardiorespirasi dengan pembentukan i.v.

mengakses. Jika diduga kejang hipoglikemik, glukosa (50 ml dekstrosa 50%)

harus diberikan segera. Pada pasien yang diduga mengalami gangguan nutrisi

atau penyalahgunaan alkohol, tiamin dosis tinggi (250 mg), harus diberikan

bersama glukosa.

Benzodiazepin digunakan sebagai lini pertama pada awal GCSE.

Lorazepam telah terbukti menghasilkan tingkat kontrol kejang yang lebih tinggi

dibandingkan dengan fenitoin, fenobarbital, dan fenitoin dengan diazepam, dan

merupakan agen pilihan. Jika lorazepam tidak tersedia, diazepam dapat

digunakan, tetapi risiko kejang kambuh lebih tinggi karena redistribusi yang

cepat. Ketika i.v. akses tertunda, dosis lanjut diazepam rektal atau midazolam

buccal atau nasal dapat dicoba. Midazolam IM dapat menjadi alternatif, dan uji

coba terkontrol secara acak saat ini sedang berlangsung membandingkannya

dengan lorazepam i.v.

3) Fase Lanjut CSE (5-30 menit)

Saat ini, empat agen dapat dianggap sebagai pilihan dalam pengobatan CSE

— fenitoin (atau prodrugnya, fosfenytoin), valproat, fenobarbital, dan

levetiracetam. Fenitoin mungkin merupakan obat yang paling banyak digunakan

untuk penatalaksanaan SE yang berlanjut setelah pemberian benzodiazepin.

Ritme jantung dan tekanan arteri harus dipantau karena hipotensi dan bradikardia

dapat terjadi, terutama pada orang tua. Fosphenytoin, prodrug fenitoin, dengan

cepat dikonversi menjadi fenitoin setelah pemberian i.v.

Phenobarbital telah digunakan sebagai AED selama hampir seabad dan tetap

menjadi AED yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Fenobarbital i.v.

adalah alternatif untuk fenitoin sebagai agen lini kedua untuk pengelolaan status

Page 18: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

17

epileptikus. Dosis tinggi sering diperlukan, dengan risiko sedasi. Hal ini tidak

umum digunakan, karena takut memicu depresi pernapasan ketika diberikan

kepada pasien yang telah menerima benzodiazepin.

Levetiracetam AED yang lebih baru telah dilaporkan efektif dalam beberapa

seri kasus kecil CSE. Ini memiliki karakteristik farmakokinetik yang sangat

menguntungkan, tanpa interaksi klinis yang signifikan atau sifat obat penenang.

Keberhasilannya sebagai agen lini kedua untuk pengobatan CSE masih harus

ditetapkan.

4) Refraktory CSE (dengan menggunakan anestesi)

CSE refraktori (RSE), di mana SE berlanjut meskipun pemberian dua AED

(mis. Benzodiazepin dan fenitoin), dikaitkan dengan risiko komplikasi yang

tinggi. Ini termasuk tachyarrhythmias, edema paru, hipertermia, rhabdomyolysis,

dan pneumonia aspirasi. RSE memiliki tingkat kematian yang tinggi.

Pada pasien yang tidak menanggapi tindakan lain, anestesi umum harus

diberikan dan dipertahankan dengan midazolam, propofol, atau barbiturat

(thiopental atau pentobarbital). Infus propofol dosis tinggi harus dipertimbangkan

dengan hati-hati karena risiko sindrom infus propofol, dan untuk alasan ini tidak

dianjurkan pada anak-anak. EEG diperlukan untuk menitrasi dosis dan untuk

memastikan bahwa kejang elektrografi telah dihapuskan. Terapi maksimal harus

dipertahankan sampai 12-24 jam setelah kejang klinis atau elektrografi terakhir,

setelah itu dosisnya harus diturunkan. Jika kejang berulang, terapi dapat

dilakukan kembali atau diubah.

d. Obat Antiepilepsi (Kawe Kenya, 2016)

a) Fenobarbitone

Obat ini adalah yang tertua dari AED saat ini dan sama efektifnya dengan

yang lain dalam mencapai kontrol kejang.

Indikasi utama adalah epilepsi umum idiopatik. Ini juga efektif pada kejang

umum lainnya dan kejang parsial.

Tidak efektif dalam kejang absen umum dan mungkin memperburuk

kejang nokturnal.

Page 19: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

18

Phenobarbitone memiliki waktu paruh yang panjang dan karenanya

membutuhkan beberapa minggu sebelum mencapai kondisi stabil plasma.

Efek samping utama dari fenobarbiton adalah rasa kantuk dan perubahan

perilaku, seperti hiperaktif dan / atau agresivitas pada beberapa anak.

b) Fenitoin

Obat ini adalah obat anti-epilepsi tertua kedua.

Efektif untuk kejang parsial (dengan atau tanpa generalisasi), kejang tonik-

klonik umum primer dan kejang selama tidur pada beberapa pasien.

Tidak efektif jika tidak ada kejang dan kejang demam.

Memiliki waktu paruh yang panjang, yang juga tergantung pada dosis,

menjadi lebih lama pada dosis yang lebih tinggi, dan mungkin memerlukan

waktu hingga dua minggu sebelum menjadi efektif.

Obat ini dapat diberikan sebagai dosis sekali sehari. Ini sedikit mengiritasi

lambung dan karena itu, harus selalu diberikan setelah makan dan ketika

dosis tinggi, mungkin lebih baik untuk membaginya menjadi dua dosis.

Obat ini memiliki margin keamanan yang sempit (perbedaan antara dosis

terapi dan toksik). Oleh karena itu peningkatan tidak boleh lebih dari 50

mg untuk mencegah efek samping toksik.

Efek samping fenitoin banyak dan termasuk mengantuk, hipertrofi gusi,

hirsutisme, efek antifolat dan ketika dosisnya terlalu tinggi, ataksia dan

nistagmus.

Perhatian: kehati-hatian harus dilakukan ketika menggunakan fenotoin

sebagai terapi pemeliharaan.

c) Carbamazepine

Indikasi utama adalah kejang parsial dan beberapa kejang tonik klonik

umum.

Mungkin memperburuk kejang absen umum dan kejang mioklonik, serta

merupakan kontraindikasi untuk tipe kejang ini.

Page 20: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

19

Obat ini tidak memiliki paruh panjang dan karena itu tidak dapat diberikan

sekali sehari. Itu harus diberikan dua kali sehari dan ketika dikombinasikan

dengan obat lain itu harus diberikan tiga kali sehari.

Efek samping termasuk kantuk, bicara cadel dan pusing saat memulai

pengobatan atau ketika dosis menjadi terlalu tinggi. Penglihatan ganda dan

ataksia juga terjadi pada dosis tinggi.

d) Asam valproat

Indikasi utama adalah kejang umum, kejang absen, kejang mioklonik, dan

kejang atonik. Juga digunakan untuk Kejang Klonik Tonik Umum yang

terjadi setelah bangun. Asam valproate dapat digunakan sebagai profilaksis

untuk kejang demam atipikal ketika fenobarbiton tidak dapat digunakan.

Memiliki waktu paruh pendek dan harus diberikan tiga kali sehari untuk

menghindari konsentrasi puncak yang tinggi.

Efek samping spesifik termasuk peningkatan berat badan, rambut rontok,

dan iritasi lambung.

Asam valproate dikaitkan dengan tingkat efek teratogenik yang lebih tinggi

pada kehamilan seperti spina bifida. Sodium valproate merupakan

kontraindikasi pada wanita hamil dan tidak boleh dimulai selama

kehamilan. Perhatian harus dilakukan pada wanita yang berpotensi

mengandung anak.

e) Benzodiazepin

Diazepam hanya digunakan untuk perawatan darurat sebagai intravena atau

sebagai diazepam dubur. Tidak pernah diberikan suntikan intra muskular

(IM).

Diazepam intramuskuler membutuhkan waktu beberapa menit hingga

beberapa jam untuk dimobilisasi. Dosis multipel IM dapat menyebabkan

depresi pernafasan dengan hasil yang berpotensi fatal.

Page 21: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

20

Gambar 3. Penatalaksaan Darurat pada Kejang (sumber: Carter & Adapa, 2016)

Gambar 4. Dosis obat antiepilepsi (sumber: Perks et al, 2012)

Page 22: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

21

Gambar 5. Pilihan Obat Berdasarkan Jenis Kejang (Sumber: Carter & Adapa, 2016)

Page 23: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

22

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

1. Keadan Umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Compos mentis

3. GCS : E4V5M6

4. Tanda Vital

Tekanan Darah : 170/100 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Respiras : 20 x/menit

Suhu : 36.7 oC

5. Kepala : Normocephal

6. Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

7. Wajah : Simetris, deformitas (-)

8. Mata : Pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)

9. THT : Discharge dari telinga/hidung (-), faring hiperemis (-) tonsil

T1-T1 tenang

10. Mulut : Mukosa hiperemis (-)

11. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar, trachea

ditengah, jejas atau benjolan di leher (-)

12. Thorax

a. Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V LAA sinistra

Perkusi : batas jantung kanan atas: ICS II LPS dextra

batas jantung kanan bawah: ICS IV LPS detra

batas jantung kiri atas: ICS III LPS sinistra

batas jantung kiri bawah: ICS V LAA sinistra

Auskultasi: S1>S2, murmus (-), gallop (-)

Page 24: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

23

b. Pulmo :

Depan Dextra

I: Simetris,retraksi dinding dada (-)

Pal :vocal fremitus kanan = kiri

Per: sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronki (-)

Sinistra

I: Simetris,retraksi dinding dada (-)

Pal :vocal fremitus kanan = kiri

Per: sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronki (-)

Belakang I: Simetris,retraksi dinding dada (-)

Pal :Stem fremitus kanan = kiri

Per: Sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronchi(-)

I: Simetris,retraksi dinding dada (-)

Pal :Stem fremitus kanan = kiri

Per: Sonor (+/+)

A: suara dasar vesikuler, suara

tambahan : wheezing (-), ronchi(-)

13. Abdomen : Inspeksi : cembung, lesi (-), spider navi (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien ttb

Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen

14. Ekstremitas : Superior : akral hangat +/+/+/+, CRT <2 dtk, edema -/-

Inferior : akral hangat +/+/+/+, CRT <2 dtk, edema -/-

B. Status Neurologis

1. Sikap : Simetris dan lurus

2. Gerakan abnormal : Tidak ada gerakan abnormal

3. Cara berjalan : Tidak dilakukan

Page 25: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

24

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) :

Item Tes Nilai

Maksimal Nilai

1.

ORIENTASI

Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa?

5

5

2. Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar) 5 5

3.

REGISTRASI

Sebutkan 3 buah nama benda (jeruk, uang, mawar), tiap benda 1 detik,

pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama

benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar

dan catat jumlah pengulangan.

ATENSI DAN KALKULASI

3

3

4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan

setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (nilai

diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)

5 4

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3 2

BAHASA

6. Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, arloji) 2 2

7. Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan atau tetapi ” 3 3

8. Pasien diminta melakukan perintah: “Ambil kertas ini dengan tangan kanan,

lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”.

1 0

9. Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Angkatlah tangan kiri

anda”

1 0

10. Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 0

11. Pasien diminta meniru gambar di bawah ini

1 0

Skor Total 30 24

Pedoman Skor kognitif global (secara umum):

Nilai 24 -30: normal

Nilai 17-23 : probable gangguan kognitif

Nilai 0-16:definite gangguan kognitif

Page 26: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

25

4. Kognitif : normal (skor NMSE : 24)

5. Rangsang Meningeal : Kaku kuduk : (-)

Kernig sign : >1350 | >135

0

Brudzinsky I : (-)

Brudzinsky II : (-)

Brudzinsky III : (-)

Brudzinsky IV : (-)

6. Saraf kranial :

Saraf Kranialis Kanan Kiri

N.I Olfactorius

Hidung Tersumbat

Polip

Penghidu

(-)

(-)

Baik

(-)

(-)

Baik

N. II Optikus

Daya Penglihatan

Lapang Penglihatan

Nistagmus

Melihat Warna

normal

normal

(-)

normal

normal

normal

(-)

normal

N. III Okulomotorius

Ptosis

Gerakan mata ke medial

Gerakan mata ke atas

Gerakan mata ke bawah

Nistagmus

Eksoftalmus

Enoftalmus

Pupil - Besar

- Bentuk

Refleks cahaya

Melihat ganda

(-)

Baik

Baik

Baik

(-)

(-)

(-)

3mm

Bulat, isokor, sentral

(+)

(-)

(-)

Baik

Baik

Baik

(-)

(-)

(-)

3mm

Bulat, isokor, sentral

(+)

(-)

N.IV Trokhlearis

Pergerakan mata (ke bawah-lateral)

Srabismus konvergen

Menggigit

Membuka mulut

Baik

(-)

Normal

Normal

Baik

(-)

Normal

Normal

Page 27: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

26

N.V Trigeminus

Sensibilitas muka

Reflek kornea

Trismus

Normal

(+)

(-)

Normal

(+)

(-)

N.VI Abducen

Gerakan mata ke lateral

Strabismus konvergen

Normal

(-)

Normal

(-)

N.VII Fasialis

Sulcus nasolabialis

Kedipan mata

Sudut Mulut

Mengerutkan dahi

Menutup mata

Meringis

Mengembungkan pipi

Daya Kecap 2/3 anterior

datar

Baik

Simetris

(+)

(+)

(+)

(+)

Tidak dilakukan

Baik

Baik

Simetris

(+)

(+)

(+)

(+)

Tidak dilakukan

N.VIII Vestibulokoklearis

Ketajaman pendengaran

Weber

Rinne

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

N.IX Glossofaringeus dan N.X Vagus

Daya kecap 1/3 belakang

Refleks Muntah

Arcus pharynx

Uvula di tengah

Tersedak

Sengau

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Simetris

(+)

(-)

(-)

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Simetris

(+)

(-)

(-)

N.XI Accecorius

Mengangkat bahu

Memalingkan kepala

Baik

Baik

Baik

Baik

N.XII Hypoglossus

Sikap lidah

Artikulasi

Menjulurkan lidah

Tremor lidah

Fasikulasi

Trofi otot lidah

Deviasi (-)

Baik

Lateralisasi (-)

(-)

(-)

Eutrofi

Deviasi (-)

Baik

Lateralisasi (-)

(-)

(-)

Eutrofi

Page 28: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

27

7. Badan dan anggota gerak

a. Motorik :

G

+ +

K

5/5/5 5/5/5

Tn

N N

Tr

Eu Eu

+ +

5/5/5 5/5/5 N N Eu Eu

b. Sensorik : Kanan Kiri

Eksteroseptif

Taktil + +

Nyeri + +

Suhu + +

Propioseptif

Gerak + +

Getar + +

Diskriminatif

Gramestesia + +

Barognosia + +

Topognisia + +

8. Koordinasi, gait, dan keseimbangan

a. Cara berjalan : Tidak dilakukan

b. Tes Romberg : Tidak dilakukan

c. Tes Romberg dipertajam : Tidak dilakukan

9. Sistem otonom

a. Miksi : Dalam Batas Normal

b. Defekasi : Dalam Batas Normal

Page 29: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

28

10. Refleks

Refleks Kanan Kiri

Fisiologis

Biseps

Triseps

Patella

Achilles

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)

Patologis

Hoffman Tromer

Babinski

Chaddock

Openheim

Gordon

Schaeffer

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

11. Fungsi koordinasi dan keseimbangan

Pemeriksaan Kanan Kiri

Jari tangan – jari tangan

Jari tangan – hidung Pronasi

– supinasi

Romberg test

Baik

Baik

Baik

Tidak dilakukan

Baik

Baik

Baik

Tidak dilakukan

Page 30: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

29

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Hemoglobin 16.4 13,2 – 17,3 g/dl

Leukosit 13.6 3,8-10,5 Ribu

Eritrosit 5.32 4,5-5,8 Juta

Hematokrit 43.4 37-47 %

Trombosit 252 150-400 Ribu

MCV 81.6 (L) 82-95 fL

MCH 30.9 >27 Pg

MCHC 37.9 (H) 32-37 g/dl

RDW 10.7 10-15 %

MPV 8.03 7-11 mikro m3

Limfosit 2.78 1,0-4,5 103/mikro m

3

Monosit 0.44 0,2-1,0 103/mikro m

3

Eosinophil 0.01 0,04 – 0,8 103/mikro m

3

Basophil 0.03 0 – 0,2 103/mikro m

3

Neutrophil 9.94 (H) 1,8 – 2,5 103/mikro m

3

Limfosit% 21 (H) 25 – 40 %

Monosit% 4.5 2 – 8 %

Granulosit% 74.5 50- 80 %

PCT 0.299 0,2 – 0,5 %

PDW 11.2 10 – 18 %

SGOT 26 0 – 50 U/L

SGPT 23 0 – 50 IU/L

Ureum 31 10 – 50 mg/dL

Kreatinin 1.06 0,62 – 1,1 mg/dL

GDS 290 (H) 74-106 mg/dL

Natrium 141 136-146 mmol/L

Kalium 3.9 3.5-5.1 mmol/L

Chloride 98 98-106 mmol/L

Asam urat 5.46 2-7 mg/dL

Kolesterol 256 (H) <245 mg/dL

Trigliserida 202 (H) 70-140 mg/dL

HbA1C 10.70 (H)

Normal: 4-6%

DM terkontrol <7%

DM terkontrol kurang

baik: 7-8%

DM tidak terkontrol: >8%

%

Page 31: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

30

B. Pemeriksaan Radiologi

a) Pemeriksaan CT scan axial tanpa kontras (2 Agustus 2019)

Hasil pemeriksaan:

Tidak tampak lesi hipodens pada parenkim

Suici corticalis dan fissure sylvii normal

Differensiasi white-grey matter jelas

Tidak tampak midline shifting

Sisterna perimesensefalic normal

Tidak tampak kesuraman/penebalan mukosa sinus paranasal

Kesan : - Tidak tampak infark, perdarahan, maupun SOL

- Tidak tampak peningkatan tekanan intrakranial

Usul : MRI

Page 32: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

31

DISUKSI II

Pada gambaran CT scan axial tanpa kontras ditemukan gambaran normal.

CT scan merupakan metode diagnostik yang terpilih untuk melokalisasi dan

menemukan perluasan infark sererbal, perdarahan serebral, maupun SOL. Wilayah yang

paling sering terkena adalah nucleus lentikular, khususnya globus palidus internal dimana

girus cerebellum, batang otak, sentrum semiovale, dan white matter subkorteks juga

terpengaruh.

RESUME

Dari hasil pemeriksaan fisik, didaptan kesadaran CM, GCS 15, tekanan darah 170/100

mmHg, nadi 82x/menit, nafas 20 x/menit. Pada pemeriksaan jantung, didaptkan pergeseran

apeks jantung ke ICS V linea axilaris anterior. Pada pemeriksaan kognitif didapatkan score

normal. Pada pemeriksaan neurologis, tidak ditemukan adanya defisit neurologis baik pada

sistem motorik maupun sensorik, serta tidak ditemukan adanya tanda meningeal. Hasil

pemeriksaan lab menunjukan adanya peningkatan GDS 290, HbA1c 10.7%, kolesterol 256,

dan tirgliseria 202. Pada pemeriksaan CT scan axial tanpa kontras tidak ditemukan adanya

perdarahan, infark, SOL, maupun peningkatan tekanan intrakranial.

V. DIAGNOSIS AKHIR

Diagnosis Klinis : serial epilepsi general tonik- klonik umum

Diagnosis Topis : intracranial

Diagnosis Etiologi : hiperaktivitas kelistrikan sel saraf otak dd metabolik induced-

seizures, hipertensi ensfalopati, infeksi tuberkulosis ekstraparu

DISKUSI III

Pada kasus ini pasien laki-laki usia 42 tahun di diagnosa awal dengan serial epileptikus

tonik-klonik umum berdasarkan hasil anamnesis yang telah dilakukan secara allo- dan

autoanamnesis. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik mulai dari vital sign sampai dengan

Head to Toe. Pada pemeriksaan kekuatan motorik, sensorik dan reflek fisiologis serta

pemeriksaan psikiatrik didapatkan hasil normal. Menurut literatur, CT Scan kepala

merupakan salah satu alat diagnostic tumor intracranial yang aman dan tidak invasive.

Page 33: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

32

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain MRI, arteriografi

dan EEG.

Pasien sempat dikonsulkan kepada dokter spesialis anestesi karena pasien mengalami

status epileptikus dan tidak membaik dengan obat anti kejang, serta dikonsulkan ke dokter

spesialis penyakit dalam karena hipertensi emergensi.

Konsul dokter spesialis anestesi

- Permasalahan konsultasi : serial epileptikus, pro rawat ICU

- Jawaban konsultasi : acc ICU

Propofol 10 mg/jam

Konsul dokter spesialis peyakit dalam

- Permasalahan konsultasi : hipertensi emergensi

- Jawaban konsultasi : Candesartan 1x16 mg

Cek HbA1c

VI. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Non-Medikamentosa

1) Rawat di bangsal

2) IVFD NaCL 20 TPM

3) Mobilisasi bertahap

4) Bed rest

2. Terapi Medikamentosa

1) Inj. Citicolin 2 x 500 mg

2) Inj. Ranitidn 2 x 1 amp

3) Inj. Meticobalamin 1 x 1 amp

4) Inj. ketorolac 2 x 1 amp

5) PO candesartan 1 x 16 mg

6) PO fenitoin 2 x 100 mg

3. Edukasi

a. Menjelaskan kepada keluarga pasien, meliputi definisi, etiologi, gejala, dan terapi

b. Motivasi keluarga tentang prognosis pasien

c. Minum obat dan kontrol ke dokter secara rutin

4. Monitoring

a. Keadaan umum serta GCS

b. Tanda vital

c. Tanda kejang dan defisit neuron

d. Pemeriksaan penunjang

Page 34: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

33

Planning

1. CT scan head axial dengan kontras

2. MRI

3. EEG

4. Cek gula darah rutin

VII. PROGNOSIS

Death : Dubia

Desease : Dubia

Dissability : Dubia

Discomfort : Dubia ad malam

Dissatisfaction : Dubia ad malam

Distitution : Dubia

DISKUSI IV

Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini antaralain terapi farmakologi dan non

farmakologi. Terapi farmakologi pada kasus ini adalah :

1. Infus RL 20 tpm

2. Inj. Citicolin 2 x 500 mg

Citicolin merupakan prekusor phospholipid yang bekerja menghambat deposisi

beta amyloid di otak, membentuk acetylcoline sehingga meningkatkan

neurotransmitter norepinefrin, dopamine, dan serotonin serta menghambat aktivitas

fosfolipase dan sfingomielinase dan memberikan efek neuriproteksi. Citicolin akan

didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk sel otak.

3. Inj. Ranitidn 2 x 1 amp

Antagonis respetor H2 yang bekerja menghambat sekresi asam lambung. Pada

pemberian im/iv kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50%

perangsangan sekresi asam lambung adalah 36094 mg/ml. kadar tersebut bertahan

selama 6-8 jam. Ranitidine diabsorbsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi

puncak plasma dicapai 2-3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. absorpsi tidak

dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2,5 – 3jam pada

pemberian oral dan disekresi melalui urin.

Page 35: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

34

4. Inj. Meticobalamin 1 x 1 amp

Berfungsi untuk memfasilitasi proses metilasi t-RNA yang merupakan proses

pening dalam sintesis protein dan perubahan homosistein menjadi metionin. Sehingga

dapat meningkatkan penyembuhan pada kelemahan otot dan menunjukkan efek

perbaikan kerusakan jaringan saraf. Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel

saraf.

5. Inj. ketorolac 2 x 1 amp

Ketorolac merupakan obat yang efeknya menghambat biosintesis prostaglandin

dengan cara menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain

menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. Ketorolac

tromethamine memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pelekatan

granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan

menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan.

6. PO candesartan 1 x 16 mg

Candesartan memberi efek penurunan tekanan darah dengan cara melawan

efek hipertensi angiotensin II melalui renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS)

yang merupakan mekanisme homeostatik untuk mengatur hemodinamika,

keseimbangan air dan elektrolit. Candesartan secara selektif menghambat pengikatan

angiotensin II terhadap AT1 di banyak jaringan termasuk otot polos pembuluh darah

dan kelenjar adrenal. Keadaan ini menghambat efek mediasi vasokonstriksi dan

aldosteron AT1 yang disekresikan dari angiotensin II dan menghasilkan penurunan

tekanan darah secara keseluruhan.

7. PO Fenitoin 2 x 100 mg

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-

klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Mekanisme

kerja obat ini dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk

(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya

potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.

Prognosis pasien ini dubia. Karena telah dilaksanakan terapi yang sesuai dan tergantung

pada keadaan pasien serta perkembangan pasien dari hari ke hari.

Page 36: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

35

FOLLOW UP

Hari/

Tanggal S O A P

Kamis, 1

Agustus

2019

(Anyelir)

Kejang (-), nyeri

kepala (+) cekot-

cekot, pandangan

kabur (+), mual (-),

muntah (-), demam

(-), BAB (-), BAK

(+)

KU/Kes: TSS/CM

GCS: E4 V5 M6

TD: 170/100

HR: 85

RR: 20

T: 36.7

Serial

epilepsy (II)

Inj. Ranitidin 2x1 amp

Inj. Ketorolac 2x1 amp

Inj mecobalamin 1x1

Inj. Metiprednisolon extra

PO betahistin 3x2 tab

alergi

PO citicolin 2x1 tab

Jumat, 2

Agustus

2019

(Anyelir)

Kejang (+) 1x

pukul 04.00 selama

3 menit, nyeri

kepala (+) cekot-

cekot, pandangan

kabur (+), mual (-),

muntah (-), demam

(-), BAB (-), BAK

(+)

KU/Kes: TSS/CM

GCS: E4 V5 M6

TD: 190/110

HR: 98

RR: 22

T: 36.2

Serial

epilepsy (III)

Inj Citcolin 2 x 500 mg

Inj ranitidn 2x1 amp

Inj meticobalamin 1x1

PO ikapen 2x100 mg

Sabtu, 3

Agustus

2019

(Anyelir)

Kejang (+) >5x

masing-masing

selama 3 menit,

nyeri kepala (+)

cekot-cekot,

pandangan kabur

(+), mual (+),

muntah (-), demam

(-), BAB (-), BAK

(+)

KU/Kes: TSS/apatis

GCS: E4 V5 M6

TD: 180/120

HR: 96

RR: 20

T: 36.6

CT Scan: tidak

tampak infark,

perdarahan, SOL,

maupun peningkatan

TIK

Serial

epilepsy (IV)

Inj Citcolin 2 x 500 mg

Inj ranitidn 2x1 amp

Inj meticobalamin 1x1

PO ikapen 2x100 mg

PO candesartan 1x16 mg

PO herbeser 2x100 mg

PO fenitoin 2x200 mg

Rencanakan masuk ICU

Minggu, 4

Agustus

2019

(ICU)

Kejang (+) 2x

masing-masing

selama 30 detik,

nyeri kepala (+)

cekot-cekot,

pandangan kabur

KU/Kes: TSS/CM

GCS: E4 V5 M6

TD: 195/113

HR: 122

RR: 30

T: 36.3

Serial

epilepsy (V)

Drip fenitoin 2 amp/500 cc

NaCL 24 tpm

Drip propofol 1 amp/jam

Inj Citcolin 2 x 500 mg

Inj ranitidn 2x1 amp

Inj meticobalamin 1x1

Page 37: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

36

(+), mual (-),

muntah (-), demam

(-), BAB (-), BAK

(+)

Inj midazolam 1x2.5 mg

PO ikapen 2x100 mg

PO candesartan 1x16 mg

Senin, 5

Agustus

2019

(ICU)

Kejang (-) selama

24 jam, nyeri

kepala (+) cekot-

cekot, pandangan

kabur (+) membaik,

mual (-), muntah (-

), demam (-), BAB

(-), BAK (+)

KU/Kes: TSS/CM

GCS: E4 V5 M6

TD: 176/90

HR: 102

RR: 20

T: 36.6

Serial

epilepsy (VI)

Inj fenitoin 2 amp/500 cc

NaCl 10 tpm

Inj Citcolin 2 x 500 mg

Inj ranitidn 2x1 amp

Inj meticobalamin 1x1

Inj midazolam 1x2.5 mg

PO depacote ER 2x500 mg

PO candesartan 1x16 mg

PO nifedipin 1x10 mg

Selasa, 6

Agustus

2019

(Mawar)

Kejang (-) selama

48 jam, nyeri

kepala (-),

pandangan kabur (-)

mual (-), muntah(-),

demam (-), BAB(-),

BAK (+)

KU/Kes: TSS/CM

GCS: E4 V5 M6

TD: 170/100

HR: 92

RR: 20

T: 36.5

Serial

epilepsy (VII)

Inj fenitoin 2 amp/500 cc

NaCl 10 tpm

Inj Citcolin 2 x 500 mg

Inj ranitidn 2x1 amp

Inj meticobalamin 1x1

Inj midazolam 1x2.5 mg

PO depacote ER 2x500 mg

PO candesartan 1x16 mg

PO herbeser 1x200 mg

Rabu, 7

Agustus

2019

(Mawar)

Kejang (-) selama

62 jam, nyeri

kepala (-),

pandangan kabur (-)

mual (-), muntah(-),

demam (-),

BAB(+), BAK (+)

KU/Kes: TSS/CM

GCS: E4 V5 M6

TD: 170/110

HR: 92

RR: 20

T: 36.5

Serial

epilepsy (IX)

Inj Citcolin 2 x 500 mg

Inj ranitidn 2x1 amp

Inj meticobalamin 1x1

Inj midazolam 1x2.5 mg

PO depacote ER 2x500 mg

PO candesartan 1x16 mg

PO herbeser 1x200 mg

PO ikapen 2x100 mg

PO clorpromazin 2x25 mg

Rencana pulang

Page 38: LAPORAN KASUS OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL …...dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak

37

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, A., Dian, S. 2010. Neurology in daily practice. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Universitas Padjajaran.

Brust, John C. M. 2012. Current Diagnosis and Treatment Neurology, Second Edition. New

york: McGraw Hill

Carter EL & Adapa RM. 2014. ‘Adult Epilepsy and Anaesthesia’. Continuing Education in

Anaesthesia.

Drislane FW, Kaplan PW. 2018. Status Epilepticus, A Clinical Perspective, Second Edition.

Boston: Humana Press

Fisher RS. 2017. ‘Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure

types’. International League Against Epilepsy. Vol 58(04)

Kawe Kenya. 2016. National Guidelines for the Management of Epilepsy. Kenya.

Kennard, Christoper. 2013. Epilepsy and epileptic seizures. United Kingdom: Oxford

University Press

Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003. Pedoman Tatalaksana Epilepsi,

Kelompok Studi Epilepsi Perdossi

Lumbantobing SM. 2000. Buku ajar neurologi anak. Edisi kedua. Jakarta: BPIDAI.H:179203.

Pedoman Tatalaksana Epilepsi Dari Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis

Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2011

Perks A, Cheema S, Mohanraj R. 2012. ‘Anaesthesia and Epilepsy’. British Journal of

Anaesthesia. Vol 108(04): 562-571