laporan kasus obat anestesi sebagai terapi serial …...dan dirasakan hilang timbul. menurut pasien...
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
OBAT ANESTESI SEBAGAI TERAPI SERIAL EPILEPSI
TIDAK TERKONTROL
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc
Disusun oleh:
Lulu Arivista Raharjo 1820221090
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nomor RM : 175xxx-20xx
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : 04 November 1977
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Wora Wari, Jambu
Pekerjaan : Pedagang kambing
Pendidikan : SD
Status marital : Menikah
Tanggal periksa : 6 Agustus 2019
Ruangan : Mawar / Kelas III
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis dengan kakak pasien,
serta dari catatan rekam medik. Anamnesis dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2019 di
Bangsal Mawar RSUD Ambarawa.
a) Keluhan utama
Post kejang seluruh tubuh
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD pada tanggal 31 Juli 2019 dengan keluhan post kejang
sebanyak 2 kali beberapa jam sebelum masuk IGD. Kejang disertai gerakan di seluruh
tubuh, secara tiba-tiba, selama 5 menit. Saat kejang pasien tidak dalam keadaan sadar
dan setelah kejang pasien tidak ingat apa-apa. Diantara dua kejang, pasien kembali
sadar. Menurut pasien, tidak ada faktor yang mungkin mencetus terjadinya kejang
serta tidak ada faktor yang memperingan kejang. Pasien tidak pernah mengalami
kejang sebelumnya. Sebelum mengalami kejang, pasien mengaku merasakan pusing
cekot-cekot, pandangan terlihat kabur, dan demam. Keluhan tidak disertai mual,
2
muntah, kesulitan bicara, kesulitan bergerak atau berjalan, kesemutaan/baal, maupun
gangguan keseimbangan. BAB dan BAK normal.
Saat pasien merasakan pusing dan pandangan kabur, pasien mengaku terbentur
pohon di bagian bahunya namun tidak pingsan. Kemudian pasien diantar ke mantri
sekitar rumahnya dan diberikan obat. Nama obat tidak diketahui oleh pasien maupun
keluarganya. Beberapa saat setelah minum obat, pasien mengalami kejang 2 kali dan
langsung dibawa ke IGD.
1 minggu sebelum kejang, pasien mulai merasakan pusing cekot-cekot dan
pandangan kabur. Pusing dirasakan di sekitar kepala bagian depan, terasa cekot-cekot,
dan dirasakan hilang timbul. Menurut pasien tidak ada faktor pencetus terjadinya
pusing, memburuk saat berativitas, namun tidak ada faktor yang memperingan pusing.
Keluhan pusing tidak membaik setelah diberikan obat. Satu hari sebelum kejang,
pasien merasa kepalanya semakin pusing. Pandangan kabur dirasakan hilang timbul,
memburuk saat beraktivitas, dan tidak ada faktor yang memperingan pandangan
kabur. Beberapa jam sebelum kejang, pasien merasa pandangan kaburnya semakin
berat serta dirasakan secara terus menerus.
1 hari sebelum kejang, pasien juga merasa demam disertai pusing dan pandangan
kabur. Keluhan demam terjadi secara tiba-tiba, suhu tidak diukur oleh pasien maupun
keluarganya namun pasien merasa demamnya tidak terlalu tinggi, tidak membaik
dengan obat, dan tidak ada faktor memperburuk demam.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat kejang sebelumnya : disangkal
2. Riwayat demam : pasien mengaku beberapa kali mengalami
demam, namun hanya sebentar-sebentar, dan
sembuh sendiri
3. Riwayat trauma : pasien memiliki riwayat kecelakaan lalu
lintas 10 tahun yang lalu, kepala terbentur terlebih
dahulu, terjadi luka disekitar alis kanan, namun
pasien tidak melakukan pemeriksaan ke pelayanan
kesehatan setelah kecelakaan.
4. Riwayat nyeri kepala kronis : disangkal
3
5. Riwayat vertigo : disangkal
6. Riwayat stroke : disangkal
7. Riwayat hipertensi : sejak 5 tahun yang lalu. Pasien tidak rutin
mengonsumsi obat.
8. Riwayat diabetes melitus : sejak 3 tahun yang lalu. Pasien tidak rutin
mengonsumsi obat.
9. Riwayat paru : diakui menderita batuk lama 6 tahun yang
lalu. Mengaku konsumsi obat batuk lama selama 9
bulan hingga tuntas.
10. Riwayat jantung : disangkal
11. Riwayat alergi : alergi obat betahistin
12. Riwayat sesak nafas : disangkal
d) Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat kerjang : disangkal
2. Riwayat hipertensi : diakui, ibu kandung pasien
3. Riwayat diabetes melitus : diakui, ibu kandung pasien
4. Riwayat jantung : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
e) Riwayat Pengobatan
Saat pasien merasa pusing, penglihatan buram, dan demam, pasien dibawa ke
mantri dekat rumahnya dan diberikan 3 jenis obat. Namun pasien tidak tahu nama obat
yang diberikan. Saat ini pasien juga tidak dalam pengobatan rutin.
f) Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pasien sudah menikah dan
tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien tidak merokok, tidak minum alkohol, dan
tidak pernah olahraga. Pasien menggunakan biaya pribadi untuk pembiayaan rumah
sakit.
4
g) Anamnesis sistem
Sistem serebrospinal : pusing (+) cekot-cekot, riwayat kejang (+), kesulitan bicara
(-), perubahan tingkah laku (-), gangguan kognitif (-)
Sistem kardiovaskular : riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol, riwayat jantung (-),
riwayat nyeri dada (-)
Sistem respirasi : riwayat batuk lama (+), riwayat sesak nafas (-)
Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), makan minum (+), BAB (+)
Sistem urogenital : BAK (+), nyeri berkemih (-)
Sistem neurologi : kelemahan anggota gerak (-), kesemutan (-)
Resume Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Pasien berusia 42
tahun, berjenis kelamin laki-laki. Pasien datang ke IGD dengan keluhan post kejang
sebanyak 2 kali. Kejang disertai gerakan di seluruh tubuhnya, selama 5 menit. Saat kejang
pasien tidak sadar dan setelah kejang pasien tidak ingat apa-apa. Diantara kejang pasien
sadar. Keluhan disertai pusing cekot-cekot, pandangan kabur, dan demam. Pasien dibawa
ke mantri setelah kejang pertama dan diberikan obat, namun keluhan tidak membaik dan
terjadi kejang yang kedua kali. Nama obat tidak diketahui. Pasien tidak pernah mengalami
kejang sebelumnya.
1 minggu sebelumnya, pasien mulai merasakan pusing cekot-cekot dan penglihatan
kabur. Pusing dirasakan di kepala bagian depan, hilang timbul, memburuk saat aktivitas,
membaik bila beristirahat, namun tidak membaik setelah diberikan obat. Pandangan kabur
juga dirasakan hilang timbul, dan memburuk dengan aktivitas.
1 hari sebelum kejang, keluhan pusing dan pandangan kabur dirasakan semakin
memburuk. Keluhan lainnya yang muncul yaitu pasien mengalami demam. Demam
dirasakan tidak terlalu tinggi, namun tidak diukur suhunya oleh pasien. Demam tidak
membaik dengan diberikannya obat.
Pasien sudah diberikan obat setelah kejang yang pertama namun terjadi kejang yang
kedua kali serta keluhan penyerta tidak membaik. Nama obat tidak diketahui. Riwayat
kejang sebelumnya disangkal. Riwayat darah tinggi diakui namun tidak terkontrol.
Riwayat kencing manis diakui namun tidak terkontrol. Riwayat trauma diakui, 10 tahun
yang lalu namun tidak dilakukan pengeceakan medis apapun. Riwayat stroke disangkal.
5
Riwayat batuk lama diakui, dan sudah konsumsi obat selama 9 bulan. Saat ini pasien
sedang tidak mengonsumsi obat rutin apapun.
Diskusi I
Dari hasil anamnesis didapatkan seorang laki-laki berusia 42 tahun mengalami
kejang diseluruh tubuh. Kejang adalah episode disfungsi otak sementara akibat adanya
aktivitas elektrik abnormal. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau fokal, berasal dari daerah
spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini
bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena.
A. Kejang
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara yang
menyebabkan aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang
ditandai oleh gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan oleh
lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Sidharta, 2003).
Lepas muatan listrik tersebut terjadi karena terganggunya fungsi neuron oleh gangguan
fisiologis, biokimia, anatomis, atau gabungan faktor-faktor tersebut. Setiap kelainan yang
mengganggu fungsi otak baik kelainan lokal maupun umum, dapat mengakibatkan
terjadinya bangkitan epilepsi (Lumbantobing, 2000).
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi terus-menerus selama paling
sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di
antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli
mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Pasien
dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit (Kustiowati, 2003).
Manifestasi ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum
tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang
berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial
dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
6
diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang (Kustiowati, 2003).
B. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat,
stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi
dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan
serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di Negara maju, sedangkan di negara
berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat
penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas. Etiologi status epileptikus antara lain
: alcohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal, penyakit, cerebrovascular, epilepsy kronis,
infeksi SSP, toksisitas obat, metabolic, trauma atau tumor (Basuki, 2010)
C. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang (PERDOSSI 2011).
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut (PERDOSSI 2011):
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
7
D. Klasifikasi Kejang (ILAE, 2017)
Gambar 1. Klasifikasi Kejang (Sumber: ILAE, 2017)
DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinis : cephalgia akut, kejang berulang akut, dengan progesifitas serial
epileptikus tonik-klonik umum
Diagnosis topis : intrakranial
Diagnosis etiologis : infeksi, misalnya bakteri, virus, parasit atau jamur; gangguan metabolik;
gangguan aliran darah; trauma; SOP intrakranial; hiperaktivitas
kelistrikan sel saraf otak
EPILEPSI
A. Definisi
Kejang adalah episode disfungsi otak sementara akibat adanya aktivitas elektrik
abnormal. Sekitar 25% kejang memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi secara
sementara. Kejang-kejang ini, yang disebut kejang simtomatik akut atau kejang
8
terprovokasi, tidak memiliki kecenderungan untuk kambuh, kecuali jika kondisi yang
mendasarinya kembali (Brust, 2012).
Sebaliknya, epilepsi didefinisikan sebagai dua atau lebih kejang yang tidak
diprovokasi (yaitu, tidak memiliki penyebab proksimal akut yang dapat diidentifikasi).
Individu dengan epilepsi memiliki peningkatan risiko kejang berulang yang signifikan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, epilepsi adalah gangguan utama otak yang paling
umum. Lebih dari 2,3 juta orang di Amerika Serikat menderita epilepsi, dan diperkirakan
181.000 orang Amerika didiagnosis menderita gangguan ini setiap tahun (Brust, 2012).
Kejang adalah jalur akhir umum dalam berbagai penyakit sistem saraf pusat (SSP);
Namun, tidak semua individu dengan cedera otak yang terbukti secara klinis mengalami
epilepsi. Banyak orang tanpa bukti klinis kelainan otak struktural atau fungsional
mengalami epilepsi. Epileptogenesis, yang didefinisikan sebagai proses di mana suatu
wilayah otak, dari waktu ke waktu, menjadi hiperexcitabel dan mengembangkan
kemampuan untuk secara spontan menghasilkan kejang, tidak dipahami dengan baik.
Beberapa daerah otak, misalnya, hippocampus, korteks entorhinal, dan amigdala (yang
merupakan lobus temporal mesial atau tengah), tampaknya lebih rentan terhadap proses
epileptogenik (Brust, 2012).
B. Epidemilogi
Kejadian keseluruhan epilepsi umumnya dianggap sekitar 50 per 100.000 populasi
per tahun (kisaran 40-70 per 100.000 populasi per tahun) sementara insiden epilepsi di
negara-negara berkembang umumnya lebih tinggi dalam kisaran 100-190 kasus per
100.000 populasi per tahun. Telah terbukti bahwa orang-orang dari latar belakang sosial
ekonomi kurang memiliki risiko lebih tinggi terkena epilepsi. Di negara-negara industri,
ada bukti penurunan kejadian pada anak-anak dan peningkatan lansia secara simultan
selama tiga dekade terakhir (Kennard, 2013).
Di negara-negara industri, epilepsi memiliki insiden spesifik usia, tertinggi pada usia
sangat muda dan sangat tua. Gangguan yang bermanifestasi pada orang yang sangat muda
(misalnya, cerebral palsy dan retardasi mental) dan penyakit pada orang tua (misalnya,
stroke yang terdeteksi secara klinis dan demensia Alzheimer) meningkatkan risiko
epilepsi individu hingga lebih dari 10 kali lipat (Brust, 2012).
9
C. Etiologi
Pada setiap individu, terjadinya kejang seringkali merupakan akibat dari pengaruh
genetik dan faktor yang didapat serta faktor-faktor pemicu. Terlepas dari sifat penyebab
multifaktorial ini, kasus dapat diklasifikasikan menurut penyebab utama (atau diduga
penyebabnya) menjadi empat kategori (Kennard, 2013):
a) Epilepsi idiopatik
Epilepsi idiopatik didefinisikan sebagai epilepsi yang sebagian besar berasal dari
genetik dan di mana tidak ada kelainan neuroanatomi atau neuropatologis. Istilah
idiopatik lebih disukai karena produksi epilepsi adalah campuran kompleks dari
mekanisme genetika dan non-genetik, dan mencakup mekanisme epigenetik dan
epistatik, dengan pengaruh lingkungan dan pengaruh yang beroperasi dari waktu ke
waktu seiring perkembangan otak. Etiologi pada kategori ini diantaranya:
1. Gangguan murni genetik tunggal: Benign familial neonatal convulsions;
autosomal dominant nocturnal frontal lobe epilepsy
2. Gangguan murni genetik kompleks: Idiopathic generalized epilepsy (and its
subtypes); benign partial epilepsies of childhood. (Kennard, 2013)
b) Epilepsi simtomatik
Didefinisikan sebagai epilepsi, penyebabnya didapat atau genetik, terkait dengan
kelainan neuroanatomik atau neuropatologis yang mengindikasikan penyakit atau
kondisi yang mendasarinya. Kategori ini mencakup (a) kondisi yang didapat dan (b)
gangguan perkembangan dan bawaan di mana ini terkait dengan perubahan patologis
otak, baik genetik atau didapat (atau memang kriptogenik) (Kennard, 2013).
1. Gangguan genetik atau perkembangan
Childhood epilepsy syndromes: west syndrome
Neurocutaneous syndromes: tubercose sklerosis
Gangguan fungsi kromosom:: down syndrome
Anomali perkembangan struktur serebri: Hemimegalencephaly, focal cortical
dysplasia, microcephaly, polymicrogyria;
2. Etiologi didapat
Sklerosis hipokampus
Penyebab neonatus: kejang neonatus, cerebral palsy, post vaksin
Trauma, tumor, infeksi
10
Gangguan imunologi: SLE, rasmunssen ensefalitis, gangguan inflamasi
Degenerative disease: alzheimer, multiple sklerosis, hydrocephalus
c) Epilepsi terprovokasi
Didefinisikan sebagai: epilepsi di mana faktor sistemik atau lingkungan spesifik
merupakan penyebab utama kejang dan di mana tidak ada perubahan neuroanatomik
atau neuropatologis yang menyebabkan. Beberapa 'epilepsi terprovokasi' akan
memiliki dasar genetik dan sebagian lagi diperoleh (Kennard, 2013).
Siklus menstruasi
Catamenial epilepsy sleep
Endocrine and metabolic
induced seizures
Obat-obatan
Alkohol
Toxin
Refleks epilepsi: fotosensitif,
terkejut, suara, makan, dan air
panas.
D. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di
mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik,
sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.12
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut (PERDOSSI, 2011):
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA);
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
11
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron.
Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel
saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami
deplesi selama aktifitas kejang (PERDOSSI, 2011).
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal
pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang
tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-
fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin (PERDOSSI, 2011).
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus
melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi
eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus
menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus
lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama (PERDOSSI, 2011).
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti
hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan
homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen.
Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam
kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat
sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30
menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia,
hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai (PERDOSSI, 2011).
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak
cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral
Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya
terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan microglia yang mungkin
berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang
12
menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja yang kemudian bereaksi
dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktivasi ini menyebabkan
pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah
sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated
excitotoxicity khususnya di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler
normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama
kejang, receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang
terjadi pun akan semakin besar (PERDOSSI, 2011).
E. Klasifikasi dan Manifestasi Kejang
Gambar 2. Klasifikasi Kejang (Sumber: ILAE, 2017)
F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang pertama kita
lakukan adalah (Kustiowati, 2003):
1. Anamnesis
Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang
13
(fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang
sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh
kembang, dan penyakit yang sedang diderita.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan
urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah
b. imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika
pasien mengalami gangguan mental
d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subarachnoid.
G. Diagnosis Banding
1. Bangkitan Psychogenik
2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl dystonia, benign
sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dll.)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention
deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma
psikotik akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells,
cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dll
14
H. Penatalaksanaan
Untuk keefektifan terapi epilepsi, diagnosis definitif sangatlah penting.
Karakterisasi jenis kejang spesifik (dan sindrom epilepsi bila memungkinkan) penting
karena memiliki pengaruh pada jenis pengobatan yang akan diberikan. Riwayat yang
baik, dikuatkan dengan catatan saksi adalah yang terpenting dan peninjauan kembali
mungkin diperlukan ketika ragu (Kawe Kenya, 2016).
Dianjurkan bahwa pengobatan harus dimulai setelah konfirmasi diagnosis epilepsi
aktif (dua atau lebih kejang yang tidak diprovokasi lebih dari 24 jam dalam setahun) dan
setelah konseling yang tepat. Namun, dalam keadaan khusus, obat anti-epilepsi dapat
digunakan bahkan setelah kejang tunggal. Situasi seperti itu meliputi:
Riwayat epilepsi keluarga
Defisit neurologis yang relevan
EEG abnormal yang menunjukkan aktivitas epileptiformis atau pelambatan fokus
di mana pasien, setelah konseling yang memadai, menginginkan perawatan
(Kawe Kenya, 2016).
a. Terapi Inisial
1. Mulai perawatan dengan satu obat.
2. Mulai pengobatan menggunakan takaran rekomendasi terendah yang kompatibel
dengan sediaan obat.
3. Secara bertahap sesuaikan dosis pada interval dua hingga enam minggu sampai
kontrol kejang lengkap atau dosis maksimum yang ditoleransi secara
farmakologis tercapai. Ini adalah dosis perawatan minimum pasien.
4. Jika tidak ada kontrol kejang yang dicapai setelah mencapai dosis maksimum
obat awal, obat kedua harus ditambahkan sambil mempertimbangkan secara
bertahap mengurangi atau mempertahankan obat awal tergantung pada respon
klinis. Jika monoterapi (obat tunggal) gagal, maka politerapi (banyak obat)
diindikasikan menggunakan obat dengan cara tindakan yang berbeda.
5. Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai dosis pemeliharaan terendah yang
menyediakan kontrol kejang lengkap dengan efek samping minimum.
15
6. Pengenalan AED secara bertahap dapat menghasilkan efek terapeutik secepat
inisiasi dengan dosis besar, tetapi dengan efek samping yang lebih sedikit dan
karenanya direkomendasikan.
7. Efek samping “toksisitas” parah yang muncul di awal pengobatan, dapat
mengindikasikan peningkatan dosis yang terlalu cepat atau terlalu besar. Efek
samping yang harus diantisipasi. Ini termasuk kelelahan, kantuk yang berlebihan,
pusing atau kesulitan berjalan (ataksia).
(Kawe Kenya, 2016).
b. Pertolongan Pertama saat kejang kejang
1. Lakukan
Jauhkan pasien dari situasi berbahaya seperti kebakaran, lalu lintas, air dll
Mengambil benda apa pun yang dapat membahayakan pasien
Longgarkan pakaian ketat, lepaskan kacamata
Lindungi kepala menggunakan sesuatu yang lembut
Posisikan pasien dalam keadaan miring, sehingga air liur dan lendir dapat
mengalir keluar dari mulut
Tetap bersama pasien sampai dia sadar sepenuhnya
Kemudian biarkan pasien beristirahat dan membimbing mereka ke tempat
yang aman dan menghubungi pengasuh / wali mereka.
2. Jangan lakukan
JANGAN memasukkan apapun ke dalam mulut
JANGAN memberikan apa pun untuk diminum
JANGAN mencoba menghentikan menyentak, atau menahan gerakan.
(Kawe Kenya, 2016).
c. Penatalaksanaan Status Epileptikus (sumber: Carter & Adapa, 2016)
Status epileptikus adalah suatu keadaan darurat. Definisi status epileptikus
sebagai kejang yang menetap atau berulang tanpa mendapatkan kembali kesadaran
selama periode 30 menit. Dalam praktik klinis, sebagian besar kejang kejang mereda
dalam 2-3 menit dan kejang yang berlangsung selama lebih dari 5 menit memiliki
peluang rendah untuk berhenti secara spontan, sehingga harus diobati dengan obat
16
antiepilepsi darurat. Penatalaksanaan status eppileptikus diberikan berdasarkan fase-
fase status epileptikus:
1) Fase pre-monitory (5 menit pertama)
Midazolam bukal atau diazepam dubur dapat diberikan oleh perawat pasien
atau petugas medis darurat.
2) Fase awal (5-10 menit pertama)
Manajemen awal kejang mendukung dengan perlindungan jalan napas,
oksigen tambahan, dan penilaian fungsi kardiorespirasi dengan pembentukan i.v.
mengakses. Jika diduga kejang hipoglikemik, glukosa (50 ml dekstrosa 50%)
harus diberikan segera. Pada pasien yang diduga mengalami gangguan nutrisi
atau penyalahgunaan alkohol, tiamin dosis tinggi (250 mg), harus diberikan
bersama glukosa.
Benzodiazepin digunakan sebagai lini pertama pada awal GCSE.
Lorazepam telah terbukti menghasilkan tingkat kontrol kejang yang lebih tinggi
dibandingkan dengan fenitoin, fenobarbital, dan fenitoin dengan diazepam, dan
merupakan agen pilihan. Jika lorazepam tidak tersedia, diazepam dapat
digunakan, tetapi risiko kejang kambuh lebih tinggi karena redistribusi yang
cepat. Ketika i.v. akses tertunda, dosis lanjut diazepam rektal atau midazolam
buccal atau nasal dapat dicoba. Midazolam IM dapat menjadi alternatif, dan uji
coba terkontrol secara acak saat ini sedang berlangsung membandingkannya
dengan lorazepam i.v.
3) Fase Lanjut CSE (5-30 menit)
Saat ini, empat agen dapat dianggap sebagai pilihan dalam pengobatan CSE
— fenitoin (atau prodrugnya, fosfenytoin), valproat, fenobarbital, dan
levetiracetam. Fenitoin mungkin merupakan obat yang paling banyak digunakan
untuk penatalaksanaan SE yang berlanjut setelah pemberian benzodiazepin.
Ritme jantung dan tekanan arteri harus dipantau karena hipotensi dan bradikardia
dapat terjadi, terutama pada orang tua. Fosphenytoin, prodrug fenitoin, dengan
cepat dikonversi menjadi fenitoin setelah pemberian i.v.
Phenobarbital telah digunakan sebagai AED selama hampir seabad dan tetap
menjadi AED yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Fenobarbital i.v.
adalah alternatif untuk fenitoin sebagai agen lini kedua untuk pengelolaan status
17
epileptikus. Dosis tinggi sering diperlukan, dengan risiko sedasi. Hal ini tidak
umum digunakan, karena takut memicu depresi pernapasan ketika diberikan
kepada pasien yang telah menerima benzodiazepin.
Levetiracetam AED yang lebih baru telah dilaporkan efektif dalam beberapa
seri kasus kecil CSE. Ini memiliki karakteristik farmakokinetik yang sangat
menguntungkan, tanpa interaksi klinis yang signifikan atau sifat obat penenang.
Keberhasilannya sebagai agen lini kedua untuk pengobatan CSE masih harus
ditetapkan.
4) Refraktory CSE (dengan menggunakan anestesi)
CSE refraktori (RSE), di mana SE berlanjut meskipun pemberian dua AED
(mis. Benzodiazepin dan fenitoin), dikaitkan dengan risiko komplikasi yang
tinggi. Ini termasuk tachyarrhythmias, edema paru, hipertermia, rhabdomyolysis,
dan pneumonia aspirasi. RSE memiliki tingkat kematian yang tinggi.
Pada pasien yang tidak menanggapi tindakan lain, anestesi umum harus
diberikan dan dipertahankan dengan midazolam, propofol, atau barbiturat
(thiopental atau pentobarbital). Infus propofol dosis tinggi harus dipertimbangkan
dengan hati-hati karena risiko sindrom infus propofol, dan untuk alasan ini tidak
dianjurkan pada anak-anak. EEG diperlukan untuk menitrasi dosis dan untuk
memastikan bahwa kejang elektrografi telah dihapuskan. Terapi maksimal harus
dipertahankan sampai 12-24 jam setelah kejang klinis atau elektrografi terakhir,
setelah itu dosisnya harus diturunkan. Jika kejang berulang, terapi dapat
dilakukan kembali atau diubah.
d. Obat Antiepilepsi (Kawe Kenya, 2016)
a) Fenobarbitone
Obat ini adalah yang tertua dari AED saat ini dan sama efektifnya dengan
yang lain dalam mencapai kontrol kejang.
Indikasi utama adalah epilepsi umum idiopatik. Ini juga efektif pada kejang
umum lainnya dan kejang parsial.
Tidak efektif dalam kejang absen umum dan mungkin memperburuk
kejang nokturnal.
18
Phenobarbitone memiliki waktu paruh yang panjang dan karenanya
membutuhkan beberapa minggu sebelum mencapai kondisi stabil plasma.
Efek samping utama dari fenobarbiton adalah rasa kantuk dan perubahan
perilaku, seperti hiperaktif dan / atau agresivitas pada beberapa anak.
b) Fenitoin
Obat ini adalah obat anti-epilepsi tertua kedua.
Efektif untuk kejang parsial (dengan atau tanpa generalisasi), kejang tonik-
klonik umum primer dan kejang selama tidur pada beberapa pasien.
Tidak efektif jika tidak ada kejang dan kejang demam.
Memiliki waktu paruh yang panjang, yang juga tergantung pada dosis,
menjadi lebih lama pada dosis yang lebih tinggi, dan mungkin memerlukan
waktu hingga dua minggu sebelum menjadi efektif.
Obat ini dapat diberikan sebagai dosis sekali sehari. Ini sedikit mengiritasi
lambung dan karena itu, harus selalu diberikan setelah makan dan ketika
dosis tinggi, mungkin lebih baik untuk membaginya menjadi dua dosis.
Obat ini memiliki margin keamanan yang sempit (perbedaan antara dosis
terapi dan toksik). Oleh karena itu peningkatan tidak boleh lebih dari 50
mg untuk mencegah efek samping toksik.
Efek samping fenitoin banyak dan termasuk mengantuk, hipertrofi gusi,
hirsutisme, efek antifolat dan ketika dosisnya terlalu tinggi, ataksia dan
nistagmus.
Perhatian: kehati-hatian harus dilakukan ketika menggunakan fenotoin
sebagai terapi pemeliharaan.
c) Carbamazepine
Indikasi utama adalah kejang parsial dan beberapa kejang tonik klonik
umum.
Mungkin memperburuk kejang absen umum dan kejang mioklonik, serta
merupakan kontraindikasi untuk tipe kejang ini.
19
Obat ini tidak memiliki paruh panjang dan karena itu tidak dapat diberikan
sekali sehari. Itu harus diberikan dua kali sehari dan ketika dikombinasikan
dengan obat lain itu harus diberikan tiga kali sehari.
Efek samping termasuk kantuk, bicara cadel dan pusing saat memulai
pengobatan atau ketika dosis menjadi terlalu tinggi. Penglihatan ganda dan
ataksia juga terjadi pada dosis tinggi.
d) Asam valproat
Indikasi utama adalah kejang umum, kejang absen, kejang mioklonik, dan
kejang atonik. Juga digunakan untuk Kejang Klonik Tonik Umum yang
terjadi setelah bangun. Asam valproate dapat digunakan sebagai profilaksis
untuk kejang demam atipikal ketika fenobarbiton tidak dapat digunakan.
Memiliki waktu paruh pendek dan harus diberikan tiga kali sehari untuk
menghindari konsentrasi puncak yang tinggi.
Efek samping spesifik termasuk peningkatan berat badan, rambut rontok,
dan iritasi lambung.
Asam valproate dikaitkan dengan tingkat efek teratogenik yang lebih tinggi
pada kehamilan seperti spina bifida. Sodium valproate merupakan
kontraindikasi pada wanita hamil dan tidak boleh dimulai selama
kehamilan. Perhatian harus dilakukan pada wanita yang berpotensi
mengandung anak.
e) Benzodiazepin
Diazepam hanya digunakan untuk perawatan darurat sebagai intravena atau
sebagai diazepam dubur. Tidak pernah diberikan suntikan intra muskular
(IM).
Diazepam intramuskuler membutuhkan waktu beberapa menit hingga
beberapa jam untuk dimobilisasi. Dosis multipel IM dapat menyebabkan
depresi pernafasan dengan hasil yang berpotensi fatal.
20
Gambar 3. Penatalaksaan Darurat pada Kejang (sumber: Carter & Adapa, 2016)
Gambar 4. Dosis obat antiepilepsi (sumber: Perks et al, 2012)
21
Gambar 5. Pilihan Obat Berdasarkan Jenis Kejang (Sumber: Carter & Adapa, 2016)
22
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : E4V5M6
4. Tanda Vital
Tekanan Darah : 170/100 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respiras : 20 x/menit
Suhu : 36.7 oC
5. Kepala : Normocephal
6. Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
7. Wajah : Simetris, deformitas (-)
8. Mata : Pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
9. THT : Discharge dari telinga/hidung (-), faring hiperemis (-) tonsil
T1-T1 tenang
10. Mulut : Mukosa hiperemis (-)
11. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar, trachea
ditengah, jejas atau benjolan di leher (-)
12. Thorax
a. Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V LAA sinistra
Perkusi : batas jantung kanan atas: ICS II LPS dextra
batas jantung kanan bawah: ICS IV LPS detra
batas jantung kiri atas: ICS III LPS sinistra
batas jantung kiri bawah: ICS V LAA sinistra
Auskultasi: S1>S2, murmus (-), gallop (-)
23
b. Pulmo :
Depan Dextra
I: Simetris,retraksi dinding dada (-)
Pal :vocal fremitus kanan = kiri
Per: sonor (+/+)
A: suara dasar vesikuler, suara
tambahan : wheezing (-), ronki (-)
Sinistra
I: Simetris,retraksi dinding dada (-)
Pal :vocal fremitus kanan = kiri
Per: sonor (+/+)
A: suara dasar vesikuler, suara
tambahan : wheezing (-), ronki (-)
Belakang I: Simetris,retraksi dinding dada (-)
Pal :Stem fremitus kanan = kiri
Per: Sonor (+/+)
A: suara dasar vesikuler, suara
tambahan : wheezing (-), ronchi(-)
I: Simetris,retraksi dinding dada (-)
Pal :Stem fremitus kanan = kiri
Per: Sonor (+/+)
A: suara dasar vesikuler, suara
tambahan : wheezing (-), ronchi(-)
13. Abdomen : Inspeksi : cembung, lesi (-), spider navi (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien ttb
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
14. Ekstremitas : Superior : akral hangat +/+/+/+, CRT <2 dtk, edema -/-
Inferior : akral hangat +/+/+/+, CRT <2 dtk, edema -/-
B. Status Neurologis
1. Sikap : Simetris dan lurus
2. Gerakan abnormal : Tidak ada gerakan abnormal
3. Cara berjalan : Tidak dilakukan
24
MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) :
Item Tes Nilai
Maksimal Nilai
1.
ORIENTASI
Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa?
5
5
2. Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar) 5 5
3.
REGISTRASI
Sebutkan 3 buah nama benda (jeruk, uang, mawar), tiap benda 1 detik,
pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama
benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar
dan catat jumlah pengulangan.
ATENSI DAN KALKULASI
3
3
4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan
setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)
5 4
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3 2
BAHASA
6. Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, arloji) 2 2
7. Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan atau tetapi ” 3 3
8. Pasien diminta melakukan perintah: “Ambil kertas ini dengan tangan kanan,
lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”.
1 0
9. Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Angkatlah tangan kiri
anda”
1 0
10. Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 0
11. Pasien diminta meniru gambar di bawah ini
1 0
Skor Total 30 24
Pedoman Skor kognitif global (secara umum):
Nilai 24 -30: normal
Nilai 17-23 : probable gangguan kognitif
Nilai 0-16:definite gangguan kognitif
25
4. Kognitif : normal (skor NMSE : 24)
5. Rangsang Meningeal : Kaku kuduk : (-)
Kernig sign : >1350 | >135
0
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Brudzinsky III : (-)
Brudzinsky IV : (-)
6. Saraf kranial :
Saraf Kranialis Kanan Kiri
N.I Olfactorius
Hidung Tersumbat
Polip
Penghidu
(-)
(-)
Baik
(-)
(-)
Baik
N. II Optikus
Daya Penglihatan
Lapang Penglihatan
Nistagmus
Melihat Warna
normal
normal
(-)
normal
normal
normal
(-)
normal
N. III Okulomotorius
Ptosis
Gerakan mata ke medial
Gerakan mata ke atas
Gerakan mata ke bawah
Nistagmus
Eksoftalmus
Enoftalmus
Pupil - Besar
- Bentuk
Refleks cahaya
Melihat ganda
(-)
Baik
Baik
Baik
(-)
(-)
(-)
3mm
Bulat, isokor, sentral
(+)
(-)
(-)
Baik
Baik
Baik
(-)
(-)
(-)
3mm
Bulat, isokor, sentral
(+)
(-)
N.IV Trokhlearis
Pergerakan mata (ke bawah-lateral)
Srabismus konvergen
Menggigit
Membuka mulut
Baik
(-)
Normal
Normal
Baik
(-)
Normal
Normal
26
N.V Trigeminus
Sensibilitas muka
Reflek kornea
Trismus
Normal
(+)
(-)
Normal
(+)
(-)
N.VI Abducen
Gerakan mata ke lateral
Strabismus konvergen
Normal
(-)
Normal
(-)
N.VII Fasialis
Sulcus nasolabialis
Kedipan mata
Sudut Mulut
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Meringis
Mengembungkan pipi
Daya Kecap 2/3 anterior
datar
Baik
Simetris
(+)
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
Baik
Baik
Simetris
(+)
(+)
(+)
(+)
Tidak dilakukan
N.VIII Vestibulokoklearis
Ketajaman pendengaran
Weber
Rinne
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
N.IX Glossofaringeus dan N.X Vagus
Daya kecap 1/3 belakang
Refleks Muntah
Arcus pharynx
Uvula di tengah
Tersedak
Sengau
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Simetris
(+)
(-)
(-)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Simetris
(+)
(-)
(-)
N.XI Accecorius
Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
Baik
Baik
Baik
Baik
N.XII Hypoglossus
Sikap lidah
Artikulasi
Menjulurkan lidah
Tremor lidah
Fasikulasi
Trofi otot lidah
Deviasi (-)
Baik
Lateralisasi (-)
(-)
(-)
Eutrofi
Deviasi (-)
Baik
Lateralisasi (-)
(-)
(-)
Eutrofi
27
7. Badan dan anggota gerak
a. Motorik :
G
+ +
K
5/5/5 5/5/5
Tn
N N
Tr
Eu Eu
+ +
5/5/5 5/5/5 N N Eu Eu
b. Sensorik : Kanan Kiri
Eksteroseptif
Taktil + +
Nyeri + +
Suhu + +
Propioseptif
Gerak + +
Getar + +
Diskriminatif
Gramestesia + +
Barognosia + +
Topognisia + +
8. Koordinasi, gait, dan keseimbangan
a. Cara berjalan : Tidak dilakukan
b. Tes Romberg : Tidak dilakukan
c. Tes Romberg dipertajam : Tidak dilakukan
9. Sistem otonom
a. Miksi : Dalam Batas Normal
b. Defekasi : Dalam Batas Normal
28
10. Refleks
Refleks Kanan Kiri
Fisiologis
Biseps
Triseps
Patella
Achilles
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Patologis
Hoffman Tromer
Babinski
Chaddock
Openheim
Gordon
Schaeffer
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
11. Fungsi koordinasi dan keseimbangan
Pemeriksaan Kanan Kiri
Jari tangan – jari tangan
Jari tangan – hidung Pronasi
– supinasi
Romberg test
Baik
Baik
Baik
Tidak dilakukan
Baik
Baik
Baik
Tidak dilakukan
29
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hemoglobin 16.4 13,2 – 17,3 g/dl
Leukosit 13.6 3,8-10,5 Ribu
Eritrosit 5.32 4,5-5,8 Juta
Hematokrit 43.4 37-47 %
Trombosit 252 150-400 Ribu
MCV 81.6 (L) 82-95 fL
MCH 30.9 >27 Pg
MCHC 37.9 (H) 32-37 g/dl
RDW 10.7 10-15 %
MPV 8.03 7-11 mikro m3
Limfosit 2.78 1,0-4,5 103/mikro m
3
Monosit 0.44 0,2-1,0 103/mikro m
3
Eosinophil 0.01 0,04 – 0,8 103/mikro m
3
Basophil 0.03 0 – 0,2 103/mikro m
3
Neutrophil 9.94 (H) 1,8 – 2,5 103/mikro m
3
Limfosit% 21 (H) 25 – 40 %
Monosit% 4.5 2 – 8 %
Granulosit% 74.5 50- 80 %
PCT 0.299 0,2 – 0,5 %
PDW 11.2 10 – 18 %
SGOT 26 0 – 50 U/L
SGPT 23 0 – 50 IU/L
Ureum 31 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 1.06 0,62 – 1,1 mg/dL
GDS 290 (H) 74-106 mg/dL
Natrium 141 136-146 mmol/L
Kalium 3.9 3.5-5.1 mmol/L
Chloride 98 98-106 mmol/L
Asam urat 5.46 2-7 mg/dL
Kolesterol 256 (H) <245 mg/dL
Trigliserida 202 (H) 70-140 mg/dL
HbA1C 10.70 (H)
Normal: 4-6%
DM terkontrol <7%
DM terkontrol kurang
baik: 7-8%
DM tidak terkontrol: >8%
%
30
B. Pemeriksaan Radiologi
a) Pemeriksaan CT scan axial tanpa kontras (2 Agustus 2019)
Hasil pemeriksaan:
Tidak tampak lesi hipodens pada parenkim
Suici corticalis dan fissure sylvii normal
Differensiasi white-grey matter jelas
Tidak tampak midline shifting
Sisterna perimesensefalic normal
Tidak tampak kesuraman/penebalan mukosa sinus paranasal
Kesan : - Tidak tampak infark, perdarahan, maupun SOL
- Tidak tampak peningkatan tekanan intrakranial
Usul : MRI
31
DISUKSI II
Pada gambaran CT scan axial tanpa kontras ditemukan gambaran normal.
CT scan merupakan metode diagnostik yang terpilih untuk melokalisasi dan
menemukan perluasan infark sererbal, perdarahan serebral, maupun SOL. Wilayah yang
paling sering terkena adalah nucleus lentikular, khususnya globus palidus internal dimana
girus cerebellum, batang otak, sentrum semiovale, dan white matter subkorteks juga
terpengaruh.
RESUME
Dari hasil pemeriksaan fisik, didaptan kesadaran CM, GCS 15, tekanan darah 170/100
mmHg, nadi 82x/menit, nafas 20 x/menit. Pada pemeriksaan jantung, didaptkan pergeseran
apeks jantung ke ICS V linea axilaris anterior. Pada pemeriksaan kognitif didapatkan score
normal. Pada pemeriksaan neurologis, tidak ditemukan adanya defisit neurologis baik pada
sistem motorik maupun sensorik, serta tidak ditemukan adanya tanda meningeal. Hasil
pemeriksaan lab menunjukan adanya peningkatan GDS 290, HbA1c 10.7%, kolesterol 256,
dan tirgliseria 202. Pada pemeriksaan CT scan axial tanpa kontras tidak ditemukan adanya
perdarahan, infark, SOL, maupun peningkatan tekanan intrakranial.
V. DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : serial epilepsi general tonik- klonik umum
Diagnosis Topis : intracranial
Diagnosis Etiologi : hiperaktivitas kelistrikan sel saraf otak dd metabolik induced-
seizures, hipertensi ensfalopati, infeksi tuberkulosis ekstraparu
DISKUSI III
Pada kasus ini pasien laki-laki usia 42 tahun di diagnosa awal dengan serial epileptikus
tonik-klonik umum berdasarkan hasil anamnesis yang telah dilakukan secara allo- dan
autoanamnesis. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik mulai dari vital sign sampai dengan
Head to Toe. Pada pemeriksaan kekuatan motorik, sensorik dan reflek fisiologis serta
pemeriksaan psikiatrik didapatkan hasil normal. Menurut literatur, CT Scan kepala
merupakan salah satu alat diagnostic tumor intracranial yang aman dan tidak invasive.
32
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain MRI, arteriografi
dan EEG.
Pasien sempat dikonsulkan kepada dokter spesialis anestesi karena pasien mengalami
status epileptikus dan tidak membaik dengan obat anti kejang, serta dikonsulkan ke dokter
spesialis penyakit dalam karena hipertensi emergensi.
Konsul dokter spesialis anestesi
- Permasalahan konsultasi : serial epileptikus, pro rawat ICU
- Jawaban konsultasi : acc ICU
Propofol 10 mg/jam
Konsul dokter spesialis peyakit dalam
- Permasalahan konsultasi : hipertensi emergensi
- Jawaban konsultasi : Candesartan 1x16 mg
Cek HbA1c
VI. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Non-Medikamentosa
1) Rawat di bangsal
2) IVFD NaCL 20 TPM
3) Mobilisasi bertahap
4) Bed rest
2. Terapi Medikamentosa
1) Inj. Citicolin 2 x 500 mg
2) Inj. Ranitidn 2 x 1 amp
3) Inj. Meticobalamin 1 x 1 amp
4) Inj. ketorolac 2 x 1 amp
5) PO candesartan 1 x 16 mg
6) PO fenitoin 2 x 100 mg
3. Edukasi
a. Menjelaskan kepada keluarga pasien, meliputi definisi, etiologi, gejala, dan terapi
b. Motivasi keluarga tentang prognosis pasien
c. Minum obat dan kontrol ke dokter secara rutin
4. Monitoring
a. Keadaan umum serta GCS
b. Tanda vital
c. Tanda kejang dan defisit neuron
d. Pemeriksaan penunjang
33
Planning
1. CT scan head axial dengan kontras
2. MRI
3. EEG
4. Cek gula darah rutin
VII. PROGNOSIS
Death : Dubia
Desease : Dubia
Dissability : Dubia
Discomfort : Dubia ad malam
Dissatisfaction : Dubia ad malam
Distitution : Dubia
DISKUSI IV
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini antaralain terapi farmakologi dan non
farmakologi. Terapi farmakologi pada kasus ini adalah :
1. Infus RL 20 tpm
2. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
Citicolin merupakan prekusor phospholipid yang bekerja menghambat deposisi
beta amyloid di otak, membentuk acetylcoline sehingga meningkatkan
neurotransmitter norepinefrin, dopamine, dan serotonin serta menghambat aktivitas
fosfolipase dan sfingomielinase dan memberikan efek neuriproteksi. Citicolin akan
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk sel otak.
3. Inj. Ranitidn 2 x 1 amp
Antagonis respetor H2 yang bekerja menghambat sekresi asam lambung. Pada
pemberian im/iv kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50%
perangsangan sekresi asam lambung adalah 36094 mg/ml. kadar tersebut bertahan
selama 6-8 jam. Ranitidine diabsorbsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak plasma dicapai 2-3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. absorpsi tidak
dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2,5 – 3jam pada
pemberian oral dan disekresi melalui urin.
34
4. Inj. Meticobalamin 1 x 1 amp
Berfungsi untuk memfasilitasi proses metilasi t-RNA yang merupakan proses
pening dalam sintesis protein dan perubahan homosistein menjadi metionin. Sehingga
dapat meningkatkan penyembuhan pada kelemahan otot dan menunjukkan efek
perbaikan kerusakan jaringan saraf. Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel
saraf.
5. Inj. ketorolac 2 x 1 amp
Ketorolac merupakan obat yang efeknya menghambat biosintesis prostaglandin
dengan cara menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain
menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. Ketorolac
tromethamine memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pelekatan
granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan
menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan.
6. PO candesartan 1 x 16 mg
Candesartan memberi efek penurunan tekanan darah dengan cara melawan
efek hipertensi angiotensin II melalui renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS)
yang merupakan mekanisme homeostatik untuk mengatur hemodinamika,
keseimbangan air dan elektrolit. Candesartan secara selektif menghambat pengikatan
angiotensin II terhadap AT1 di banyak jaringan termasuk otot polos pembuluh darah
dan kelenjar adrenal. Keadaan ini menghambat efek mediasi vasokonstriksi dan
aldosteron AT1 yang disekresikan dari angiotensin II dan menghasilkan penurunan
tekanan darah secara keseluruhan.
7. PO Fenitoin 2 x 100 mg
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-
klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Mekanisme
kerja obat ini dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya
potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Prognosis pasien ini dubia. Karena telah dilaksanakan terapi yang sesuai dan tergantung
pada keadaan pasien serta perkembangan pasien dari hari ke hari.
35
FOLLOW UP
Hari/
Tanggal S O A P
Kamis, 1
Agustus
2019
(Anyelir)
Kejang (-), nyeri
kepala (+) cekot-
cekot, pandangan
kabur (+), mual (-),
muntah (-), demam
(-), BAB (-), BAK
(+)
KU/Kes: TSS/CM
GCS: E4 V5 M6
TD: 170/100
HR: 85
RR: 20
T: 36.7
Serial
epilepsy (II)
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Ketorolac 2x1 amp
Inj mecobalamin 1x1
Inj. Metiprednisolon extra
PO betahistin 3x2 tab
alergi
PO citicolin 2x1 tab
Jumat, 2
Agustus
2019
(Anyelir)
Kejang (+) 1x
pukul 04.00 selama
3 menit, nyeri
kepala (+) cekot-
cekot, pandangan
kabur (+), mual (-),
muntah (-), demam
(-), BAB (-), BAK
(+)
KU/Kes: TSS/CM
GCS: E4 V5 M6
TD: 190/110
HR: 98
RR: 22
T: 36.2
Serial
epilepsy (III)
Inj Citcolin 2 x 500 mg
Inj ranitidn 2x1 amp
Inj meticobalamin 1x1
PO ikapen 2x100 mg
Sabtu, 3
Agustus
2019
(Anyelir)
Kejang (+) >5x
masing-masing
selama 3 menit,
nyeri kepala (+)
cekot-cekot,
pandangan kabur
(+), mual (+),
muntah (-), demam
(-), BAB (-), BAK
(+)
KU/Kes: TSS/apatis
GCS: E4 V5 M6
TD: 180/120
HR: 96
RR: 20
T: 36.6
CT Scan: tidak
tampak infark,
perdarahan, SOL,
maupun peningkatan
TIK
Serial
epilepsy (IV)
Inj Citcolin 2 x 500 mg
Inj ranitidn 2x1 amp
Inj meticobalamin 1x1
PO ikapen 2x100 mg
PO candesartan 1x16 mg
PO herbeser 2x100 mg
PO fenitoin 2x200 mg
Rencanakan masuk ICU
Minggu, 4
Agustus
2019
(ICU)
Kejang (+) 2x
masing-masing
selama 30 detik,
nyeri kepala (+)
cekot-cekot,
pandangan kabur
KU/Kes: TSS/CM
GCS: E4 V5 M6
TD: 195/113
HR: 122
RR: 30
T: 36.3
Serial
epilepsy (V)
Drip fenitoin 2 amp/500 cc
NaCL 24 tpm
Drip propofol 1 amp/jam
Inj Citcolin 2 x 500 mg
Inj ranitidn 2x1 amp
Inj meticobalamin 1x1
36
(+), mual (-),
muntah (-), demam
(-), BAB (-), BAK
(+)
Inj midazolam 1x2.5 mg
PO ikapen 2x100 mg
PO candesartan 1x16 mg
Senin, 5
Agustus
2019
(ICU)
Kejang (-) selama
24 jam, nyeri
kepala (+) cekot-
cekot, pandangan
kabur (+) membaik,
mual (-), muntah (-
), demam (-), BAB
(-), BAK (+)
KU/Kes: TSS/CM
GCS: E4 V5 M6
TD: 176/90
HR: 102
RR: 20
T: 36.6
Serial
epilepsy (VI)
Inj fenitoin 2 amp/500 cc
NaCl 10 tpm
Inj Citcolin 2 x 500 mg
Inj ranitidn 2x1 amp
Inj meticobalamin 1x1
Inj midazolam 1x2.5 mg
PO depacote ER 2x500 mg
PO candesartan 1x16 mg
PO nifedipin 1x10 mg
Selasa, 6
Agustus
2019
(Mawar)
Kejang (-) selama
48 jam, nyeri
kepala (-),
pandangan kabur (-)
mual (-), muntah(-),
demam (-), BAB(-),
BAK (+)
KU/Kes: TSS/CM
GCS: E4 V5 M6
TD: 170/100
HR: 92
RR: 20
T: 36.5
Serial
epilepsy (VII)
Inj fenitoin 2 amp/500 cc
NaCl 10 tpm
Inj Citcolin 2 x 500 mg
Inj ranitidn 2x1 amp
Inj meticobalamin 1x1
Inj midazolam 1x2.5 mg
PO depacote ER 2x500 mg
PO candesartan 1x16 mg
PO herbeser 1x200 mg
Rabu, 7
Agustus
2019
(Mawar)
Kejang (-) selama
62 jam, nyeri
kepala (-),
pandangan kabur (-)
mual (-), muntah(-),
demam (-),
BAB(+), BAK (+)
KU/Kes: TSS/CM
GCS: E4 V5 M6
TD: 170/110
HR: 92
RR: 20
T: 36.5
Serial
epilepsy (IX)
Inj Citcolin 2 x 500 mg
Inj ranitidn 2x1 amp
Inj meticobalamin 1x1
Inj midazolam 1x2.5 mg
PO depacote ER 2x500 mg
PO candesartan 1x16 mg
PO herbeser 1x200 mg
PO ikapen 2x100 mg
PO clorpromazin 2x25 mg
Rencana pulang
37
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, A., Dian, S. 2010. Neurology in daily practice. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Universitas Padjajaran.
Brust, John C. M. 2012. Current Diagnosis and Treatment Neurology, Second Edition. New
york: McGraw Hill
Carter EL & Adapa RM. 2014. ‘Adult Epilepsy and Anaesthesia’. Continuing Education in
Anaesthesia.
Drislane FW, Kaplan PW. 2018. Status Epilepticus, A Clinical Perspective, Second Edition.
Boston: Humana Press
Fisher RS. 2017. ‘Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure
types’. International League Against Epilepsy. Vol 58(04)
Kawe Kenya. 2016. National Guidelines for the Management of Epilepsy. Kenya.
Kennard, Christoper. 2013. Epilepsy and epileptic seizures. United Kingdom: Oxford
University Press
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003. Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Kelompok Studi Epilepsi Perdossi
Lumbantobing SM. 2000. Buku ajar neurologi anak. Edisi kedua. Jakarta: BPIDAI.H:179203.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi Dari Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2011
Perks A, Cheema S, Mohanraj R. 2012. ‘Anaesthesia and Epilepsy’. British Journal of
Anaesthesia. Vol 108(04): 562-571