laporan kasus case bedah kgd.gab
DESCRIPTION
csTRANSCRIPT
Laporan Kasus
TRAUMA LARING
Disusun oleh:
Hendra Afrilla / NIM.0808113522
Debi Astrini Sumarli / NIM.0808151226
Devi / NIM.0808151385
Pembimbing
Dr. Inzta Arbi, Sp.B, FINACS
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU KEGAWATDARURATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
2012
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi laring.........................................................................................................2
2.2. Trauma.....................................................................................................................6
2.3. Trauma laring...........................................................................................................7
2.4. Trauma tumpul laring..............................................................................................9
2.5. Penatalaksanaan trauma laring................................................................................12
BAB 3 ILUSTRASI KASUS.................................................................................................18
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA………………………………….…………………….......................26
2
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma laring merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada trauma kepala dan leher
setelah trauma intrakranial. Tiga perempat dari total kasus berupa trauma tumpul dan seperempat
sisanya trauma tembus laring. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat merusak struktur
laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan
seterusnya. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terpukul oleh
tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan mobil, tertendang atau
terpukul waktu berolahraga bela diri, berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan
menggantung diri (strangulasi) atau seorang pengendara motor terjerat tali yang terentang di
jalan (clothesline injury). Trauma tumpul laring ini memerlukan penanganan yang cepat dan tepat,
yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, serta untuk mencegah timbulnya komplikasi pasca trauma.
Kerusakan pada laring akibat trauma dapat sangat parah. Untungnya, trauma laring ini
sangat jarang ditemukan dan hanya ditemukan pada sebagian kecil dari keseluruhan kejadian
trauma. Penatalaksanaan yang terstandarisasi telah dikembangkan untuk membantu dalam
mengevaluasi dan mengidentifikasi kerusakan yang membutuhkan intervensi bedah.
Diagnosis dan perawatan dini sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
termasuk kematian.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang (pemeriksaan radiologis). Pemeriksaan laringoskopi dilakukan untuk menemukan
adanya keadaan patologi di dalam lumen laring. Prinsip penatalaksanaan dari trauma tumpul
laring adalah menjaga supaya jalan nafas (airway) tetap lancar dan memperbaiki atau
mengembalikan fungsi organ laring itu sendiri.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Laring2
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sphincter pelindung pada pintu masuk
jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara.Di atas laring terbuka ke dalam
laryngopharynx, dan di bawah laring berlanjut sebagai trachea.Kerangka laring dibentuk oleh
beberapa cartilago, yang dihubungkan oleh membrana dan ligamentum dan digerakkan oleh
otot.
Cartilago thyroidea terdiri atas dua lamina cartilago hyalin yang bertemu di garis
tengah pada tonjolan sudut V, yaitu jakun pinggir posterior dari setiap lamina menjorok ke
atas membentuk cornu inferior.Pada permukaan luar setiap lamina terdapat linea obliqua
sebagai tempat lekat m. sternothyroideus, m. thyroideus, dan m.constrictor pharyngis inferior.
Cartilago cricoidea berbentuk cincin cartilago yang utuh. Bentuknya mirip cincin cap
dan terletak di bawah cartilago thyroidea. Cartilago ini mempunyai arcus yang sempit dan
lamina posterior yang lebar. Pada masing-masing permukaan lateral terdapat facies articularis
sirkular untuk bersendi dengan cornu inferior cartilago thyroidea. Pada pinggir atas masing-
masing sisi terdapat facies articularis untuk bersendi dengan basis cartilago
arytenoideae.Semua sendi ini adalah sendi synovialis.
Cartilago arytrnoidea merupakan cartilago kecil, dua buah, dan berbentuk
pyramid.Keduanya terletak dibelakang laring, pada pinggir atas lamina cartilago
cricoidea.Masing-masing cartilago mempunyai apex di atas dan basis di bawah.Apex
menyangga cartilago corniculata.Basis bersendi dengan cartilago cricoidea.Dua tonjolan
menjorok dari basis. Processus vocalis menonjol horizontal ke depan dan merupakan tempat
lekat dari ligamentum vocale. Processus muscularis menonjol ke lateral dan menjadi tempat
lekat M. cricorutenoideus lateralis dan posterior.
Cartilago corniculata adalah dua buah nodulus kecil yang bersendi dengan apex
cartilaginis arytenoideae dan merupakan tempat lekat plica aryepiglottica.
Cartilago cuneiformis merupakan dua cartilago kecil berbentuk batang yang terletak
sedemikian rupa sehingga masing-masing terdapat di dalam satu plica
aryepiglottica.Cartilago ini berfungsi menyokong plic tersebut.
4
Epiglottis adalah sebuah cartilago elastik berbentuk daun yang terletak di belakang
radix linguae. Di depan berhubungan dengan corpus ossis hyoidei dan di belakang radix
linguae. Di depan berhubungan dengan corpus ossis hyoidei dan di belakang dengan cartilage
thyroidea melali tangkainya. Sisi epiglottis berhubungan dengan corpus ossis hyoidei dan di
belakang denga cartilage thyroidea melalui tangkainya.Sisi epiglottis berhubungan dengan
cartilage arytenoidea melalui plica aryepiglottica. Pinggir atas epiglottis bebas, dan
membrane mucosa yang melapisinya melipat ke depan melanjutkn dini meliputi permuakaan
posterior lidah. Di sini, terdapat plica glossoepiglottica mediana dan plica glossoepoglottica
lateralis.Valleculae adalah cekuangan pada membrane mucosa di kanan dan di kiri plica
glossoepiglottica.
Membrane thyrohyoidea menghubungkan pinggir atas cartilago thyroidea di sebelah
bawah dengan permukaan posterior corpus dan cornu majus ossis hyoidea di sebelah atas.
Pada garis tengah membrane ini menebal, membentuk ligamentum thyrohyoideum mediana;
pinggir posterior menebal ,membentuk ligamentum thyrohyoideum laterale. Pada kedua sisi,
membrane ini di tembus oleh a.v. laryngeal superior dan n. karyngeus internus.
Ligamentum cricotracheale menghubungkan pinggir bawah cartilage cricoidea
dengan cincin trachea pertama.Membrane fibroelastica laryngis terletak di bawah,membrana
mucosa yang melapisi laring. Bagian atas mebrana disebut membrane quadrangularis,yang
terbentang antara epiglotis dan cartilage arytenoidea. Pinggir bawahnya membentuk
ligamentum vestibulare.Bagian bawah membrane fibroelastica disebut ligamentum
cricothyroideum.Bagian anterior ligamentum cricothyroideum tebal dan menghubungkan
cartilage cricoidea dengan pinggir bawah cartilage thyroidea.Bagian lateral ligamentun ini
tiois dan melekat pada pinggir inferior cartilage thyroidea, tetapi berjalan terus ke atas pada
facies medialis cartilage thyroidea.Pinggir atasnya kanan dan kiri menebal dan membentuk
ligamentum vocale yang penting.Ujung anterio masing-masing ligamentum vocale melekat
pada permukaan dalam cartilage thyroidea.Ujung posterior melekat pada processus vocalis
cartilage arytenoidea.
5
Gambar 1.Anatomi laring
Aditus laryngis menghadap ke belakang dan atas ke arah laryngopharynx. Pintu ini
dibatasi di depan oleh pinggir atas epiglottis; dilateral oleh olica aryepiglottica, yaitu lipatan
membrane mucosa yang menghubungkan epiglottis dengan cartilage arytenoidea; dan di
posteriordan bawah oleh membrane mucosa yang terbentang antar kedua cartilage
arytenoidea. Cartilage corniculata cuneiformis yang berbentuk batang kecil, menyebabkan
pinggir atas plica arypiglottica kanan dan kiri sedikit meninggi.
Membrane mucosa laring melapisi cavitis laryngis dan ditutupi oleh epitel silindris
bersilia.Namun pada plica vocalis, tempat membrane mucosa sering mengalami trauma saat
fonasi, maka membrane mucosanya dilapisi oleh epitel berlapis gepeng.
Otot-otot dapat dibagi dalam dua kelompok : (1) ekstrinsik dan (2) intrinsik.Otot-otot
ekstrinsik dapat dibagi dalam dua kelompok yang berlawanan, yaitu kelompok elevator laring
dan depressor laring. Laring tertarik ke atas selama proses menelan dan ke bawah
sesudahnya. Karena os hyoideum melekat pada cartilage thyroidea melalui membrane
thyrohyoidea, gerakan os hyoideum akan diikuti oleh gerakan laring.Otot-oto elevator laring
meliputi m. digastricus, m.stylohyoideus, m.mylohyoideus, dan m.geniohyoideus.
m.stylopharyngeus, m.salphingopharyngeus, dan m. palatpharyngeus yang berinserio pada
pinggir posterior lamina cartilaginis thyroidea juga mengangkat laring.Otot-otot depressor
laring meliputi m.sternothyroideus, m. sternohyoideus, dan m. omohyoideus.Kerja otot-otot
ini dibantu oleh daya pegas trachea yang elastis.Otot-oto intrinsik dapat dibagi menjadi dua
kelompok: kelompok yang mengendalikan aditus laryngis dan kelompok yang menggerakkan
plica vocalis.
6
Saraf sensorik yang mempersarafi membrane mucosa laring di atas plica vocalis
berasa dari n. laryngeus internus, dari cabang n. laryngeus superior (cabang n. vagus).Di
bawah plica vocalis, membrane mucosa dipersarafi oleh nervus laryngeus reccurens.Saraf
motorik ke otot-ototintrinsik laring berasal dari n. karyngeus recucurens, kecuali m.
cricothyroideus yang sipersarafi oleh ramus laryngeus externus dari n. laryngeus superior (N.
vagus).
Suplai artei ke setengah bagian atas laring berasal dari ramus laryngeus superior
a.thyroidea superior.Setengah bagian bawa laring didarahi oleh ramus laryngeus inferior
a.thyroidea inferior.Pembuluh limfe bermuara ke dalam nodi lymphoidei cervicales profundo.
Gambar 2.Ilustrasi anatomi laring
2.2 Trauma
Trauma merupakan masalah kesehatan global yang banyak terjadi dan menjadi
penyebab morbiditas dan mortalitas diantara masyarakat, terutama yang berada di negara
berkembang.Trauma dipengaruhi poleh jenis kelamin, pekerjaan, dan keadaan sosial
pasien.Trauma merupakan penyebab terbanyak ketiga di dunia yang menyebabkan kematian
pada pasien laki-laki dan penyebab kematian kedelapan pada perempuan. Hal ini dikarenakan
laki-laki sering mengalami kecelakaan pada saat melakukan pekerjaan sehingga
meningkatkan angka kejadian trauma.3,4
Mekanisme terjadinya trauma dapat disebabkan oleh mekanik, termal, elektrik,
radiasi, dan ledakan.Untuk masing-masing mekanisme ini, terdapat keterlibatan dari masing-
masing agen atau vector yang menjadi sumber terjadinya trauma. Contoh trauma tumpul
terjadi pada tabrakan sepeda motor dan terjatuh dari ketinggian. Trauma tajam dapat terjadi
7
pada luka tembakan, penusukan, atau terkena pecahan bom.Trauma termal dapat terjadi
akibat kebakaran, penguapan atau reaksi kimia.Trauma elektrik dapat berasal dari penyebab
langsung terpapar sumber elektrik.Trauma ledakan terjadi akibat adanya bom, aktivitas
teroris, atau ledakan tempat industri. Trauma radiasi terjadi pada penyalahgunaan medis dan
penelitian, kecelakaan generator nuklir, ledakan bom nuklir dan serangan teroris.3,4
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,mencegah
kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh danmenyembuhkan.Seperti
diketahui dalam penanganan trauma dikenal adanya primarysurvey yang cepat dilanjutkan
resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnyaterapi definitif. Selama primary survey,
keadaan yang mengancam nyawa harusdikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu
juga.4
Pada primary survey dikenalsistem ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure/Environmental control) yang disusun berdasarkan urutan
prioritaspenanganan. Jadi prioritas utama penanganan adalah menjamin jalan nafas
terjagaadekuat, oleh karena itu trauma jalan nafas adalah keadaan yang
memerlukanpenanganan yang cepat dan efektif untuk menghindari akibat yang
tidakdiinginkan.3,4
2.3 Trauma Laring
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami kerusakan yang
dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya, sehingga
menyebabkan fungsi laring sebagai jalan nafas dan penghasil suara terganggu, sehingga
menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.3-5Penanganan awal yang tepat pada cedera
laring sangat penting untuk menjaga keselamatan jalan nafas dan suara pasien. Pada setiap
pasien dengan cedera laring harus diberikan perhatian dini pada keamanan jalan nafas.Fungsi
laring sebagai penghasil suara seringkali bergantung pada keberhasilan penanganan awal
pasien.4,5
Trauma laring jarang ditemukan, pada penelitian terhadap 54 juta pasien pada
11 pusat pelayanan kesehatan di Amerika serikat selama 5 tahun, hanya ditemukan 1
orang pasien dengan trauma laring dari 25.000 orang yang masuk Instalasi Gawat
Darurat. Pada penelitian lainnya dilaporkan hanya ada 1 kasus dari 30.000 kasus
trauma yang ada.5Jarangnya trauma ini ditemukan kemungkinan berkaitan dengan
struktur laring yang terlindungi oleh organ di sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis
8
di posterior dan mandibula yang tergantung di superior dan anteriornya serta oleh
mekanisme refleks fleksi dari leher. Proteksi ini lebih besar pada anak-anak dimana
laring anak-anak lebih superior dan sifatnya masih elastik.3,5,6
Kebanyakan kasus trauma laring berupa trauma tumpul dengan presentasi
berkisar 75% dari kasus yang ada dan 25% sisanya adalah trauma tembus laring,
dengan angka kematian mencapai 4 kasus tiap 10 kejadian trauma tumpul.3,5 Dikutip dari
Novialdi, 50% dari keseluruhan trauma laring diperkirakan adalah hasil dari trauma
krikoid. Angka kejadian trauma laring pada wanita lebih rendah dibandingkan pria.
Trauma yang sering menyertai trauma laring adalah trauma intrakranial (13%), trauma
leher terbuka (9%), fraktur tulang servikal (8%) dan trauma esofagus (3%).7
Penyebab trauma laring menurut Ballenger dapat dibagi menjadi 4 kelompok1,
yaitu:
1. Trauma mekanik
a. Eksternal:trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau
krikotirotomi.
b. Internal:Akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea dan pemasangan pipa
nasogaster.
2. Trauma akibat luka bakar
a. Luka bakar termis misalnya oleh menelan atau makan cairan atau makanan panas,
inhalasi udara atau gas panas.
b. Luka bakar kimiawi (zat korosif) dapat disebabkan oleh cairan alkali, amoniak
dan lain-lain.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara berlebihan (vocal abuse) misalnya akibat
berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.
Penyebab tersering adalah trauma tumpul akibat benturan leher dengan setir atau
dashboard saat kecelakaan mobil. Insiden trauma akibat tindakan endoskopi dan pemasangan
pipa hidung-lambung saat ini berkurang, karena teknik dan peralatan yang lebih baik dan
kesadaran akan kemungkinan terjadinya trauma. Trauma penyinaran pada laring masih sering
terjadi terutama pada pemberian dosis penyinaran yang lebih besar dalam pengobatan
karsinoma. Trauma otogen pada laring biasanya akibat penyalahgunaan suara.1,5,7
Menurut Schaefer, trauma laring dibagi menjadi 4 kelompok, berdasarkan kerusakan
yang terjadi, yaitu6,7 :
9
Kelompok 1: Terdapat laserasi ringan, hematom ringan dan tidak ada tanda
fraktur.
Kelompok 2: Terdapat edema, hematom, kerusakan mukosa ringan tanpa disertai
kartilago yang terpapar dan fraktur tanpa adanya perubahan posisi.
Kelompok 3: Terdapat edema yang masif, robekan mukosa, kartilago terpapar,
fraktur dengan perubahan posisi dan immobilitas pita suara.
Kelompok 4: Terdapat tanda-tanda seperti pada kelompok 3, dengan adanya
fraktur lebih dari 2 atau trauma masif pada mukosa laring.
Ainsworth dan Le May membagi trauma akut laring dan trakea menurut lokasinya
menjadi7 :
1. Supraglotik: kerusakan yang terjadi mengenai os hioid, membran hioitiroidea dan
bagian di atas pita suara.
2. Transglotik: mengenai kartilago tiroidea dan melalui atau meluas ke pita suara.
3. Subglotik: mengenai laring di bawah pita suara sampai cincin trakea pertama.
4. Trakeal: mengenai cincin pertama terus ke bawah.
2.4 Trauma Tumpul Laring
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh
hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada.
Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian membentur kemudi, handle bars
atau dashboard. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan
terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.3-5,7 Hantaman langsung
paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring, sedangkan trauma
fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea atau laring.
Trauma tumpul laring terutama disebabkan kecelakaan sepeda motor, cedera
olahragaatau perkelahian. Walaupun mandibula dan sternum secara alami melindungi
laring,hiperekstensi leher dapat terjadi selama trauma, dimana rangka laring terjepit diantara
obyek dan vertebra cervical.Adanya Benturan sedang pada laring dapat menyebabkan
hentakan pada vocal folds yang mengakibatkan efek gesekan antara musculus vokalis dan
perikondriuminternal.Hal ini mengakibatkan cedera seperti edema dan hematom mukosa
endolaring.Trauma yg lebih berat menyebabkan fraktur kartilago kartilago laring dan
kerusakan ligament-ligament laring.3,7
10
Subluksasi atau dislokasi kartilago aritenoid dapat menyebabkan fixed vocal fold.
Cedera unilateral pada nervus rekuren laring sering dihubungkan dengan cedera
sendikrikoaritenoid sehubungan dengan kedekatan nervus rekuren laryng pada kartilago
krikoid. Fraktur fraktur dari kartilago tiroid dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan
cedera lain,terutama trauma cervical bawah. Keutuhan struktur kartilago tiroid penting dan
mendasar pada keutuhan jalan nafaskarena merupakan satu-satunya yangberupacincin
sempurna.7
Cedera yang disebut chothestline injury yang terjadi dalam hubungannya dengan
trauma laring tumpul membutuhkan perhatian khusus sehubungan dengan
keparahannya.Cedera ini biasanya terjadi pada pengendara motor.Adanya perpinadahan
energy yang besar ke area kecil pada leher mengakibabtkan hantaman pada kartilago laring
dan biasannya menyebabkan terpisahnya krikotrakeal. Cedera nervus rekuren
bilateral sering dikaitkandengan terpisahnya krikotrakeal.7
Fraktur tulang hyoid dan cedera epiglotis dapat meyebabkan obstruksi jalan nafas.
Cornu mayor atau minor karitilago tiroid dapat menyebabkan laserasi mukosa pharing
karena penekanan oleh vertebra cervical.Perbedaan umur dan jenis kelamin pada orang
dewasa telahdihipotesiskan sebagai penyebab perbedaan tipe dari cedera karena trauma
tumpul.Wanitadisebut lebih mungkin menderita cedera supraglotis daripada laki laki karena
wanita memilikileher yang pamjang dan kurus. Orang ang lebih tua disebut memiliki resiko
lebih tinggimenderita fraktur laringcommunited daripada yang berusia lebih muda, karena
orang tuacenderung mengalami kalsifikasi laring.3,5,7
Trauma tumpul cenderung mengakibatkan efek yang berbeda antara anak
denganorang dewasa.Laring pada anak anak terletak lebih tinggi dan terlindung mandibula
lebih baik daripada orang dewasa.Fraktur laring lebih jarang terjadi pada anak dan cedera
cenderunglebih ringan.Hal ini kemungkinan karena elastisitas kartilago anak. Walaupun
begitu,kurangnya jaringan penyokong fibrous dan perlekatan longgar membrane
mukosameningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan lunak pada anak dan menyebabkan
prognosisyang lebih buruk, terutama pada cedera yang lebih berat.Membrane krikotirohioid
padaanak anak cenderung sempit dan hal tersebut menurunkan kemungkinan
separasilaringotrakeal.3,5,7
2.5 Penatalaksanaan Trauma Laring
11
Gambar 3. Algoritma penanganan pasien trauma laring 1,6
a. Primary survey dan resusitasi
Airway
Pada airway dilakukan penilaian patensi jalan nafas.Penilaian ini dilakukan untuk
mengetahui ada atau tidaknya sumbatan pada jalan nafas oleh benda asing, cairan, atau lidah
dengan melakukan kontrol pada garis lurus servikal (C-Spine Control).Pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran dapat dilakukan penilaian dengan Look, Listen, and Feel.
Tindakan stabilisasi airway adalah menjaga jalan nafas, dan diberikan tambahan oksigenasi.
Manajemen pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat yang dapat
dilakukan pada pasien trauma laring, meliputi:
1. Trakeostomi
12
Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke
trakea untuk mengatasi asfiksia apabila ada gangguan pertukaran udara
pernafasan. Trakeostomi diindikasikan pada pasien yang mnegalami obstruksi
jalan nafas bagian atas. Tindakan ini bertujuan melindungi trakea serta
cabang-caangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya discharge bronkus, serta
penanganan terhadap penyakit (keadaan) yang mengakibatkan indufisiensi
respirasi. Trakeostomi akan menurunkan jumlah udara residu anatomis paru
hingga 50 persennya, sehingga pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang
dibuthkan untuk bernafas dan meningkatkan ventilasi alveolar. Setelah
trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan
mengikat pembuluh darah yang cidera serta menjahit mukosa
dan tulang rawan yang robek. Indikasi untuk melakukan
eksplorasi ialah :
Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
Emfisema subkutis yang progresif.
Laserasi mukosa yang luas
Tulang rawan krikoid yang terbuka.
Paralisis bilateral pita suara
2. Montgomery T-Tube
Tube ini merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya dalam
pembedahan di bagian kepala dan leher. Alat ini memiliki 2 cabang, cabang
utama dimasukkan ke dalam trakea berukuran lebih panjang, sedangkan
cabang yang berukuran lebih pendek diproyeksi melalui stoma trakeostomi.
Diameter eksternal T-tube berukuran mulai dari 4,5 – 16 mm,
sedangkan diameter internal dan ketebalannya bervariasi.
Alat ini terbuat dari bahan silicon sehingga dapat mengurangi
pembentukan mucus yang berlebihan.
3. Laryngeal Mask Airway (LMA) Laryngeal mask airway (LMA) atau
dikenal pula dengan sebutan sungkup laring, merupakan
suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon pada
pipa trakhea. Tangkai pipa LMA dapat berupa pipa keras dari
13
polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya
lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat
dipergunakan, yaitu:
LMA standar dengan satu pipa napas.
LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya
berhubungan dengan esofagus.
Breathing
Pada breathing dilakukan penilaian untuk mengetahui ventilasi pasien.Penilaian
dilakukan dengan mengamati pergerakan dinding dada, ada atau tidaknya jejas pada dinding
dada, pengukuran frekuensi nafas, penialian suara nafas pada semua lapangan paru, penilaian
bunyi perkusi pada dinding dada, dan penilaian vocal fremitus pada semua lapangan
paru.Setiap penderita trauma diberikan oksigen.Bila tanpa intubasi sebaiknya diberikan
dengan menggunakan face-mask. Tindakan stabilisasi breathing bersamaan dengan stabilisasi
pada airway.
Circulation
Pada circulation dilakukan juga tindakan untuk mengontrol perdarahan.Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian pada kasus trauma. Penilaian kecukupan perfusi ke
jaringan perifer dan organ vital dapat dilakukan dengan menilai tingkat kesadaran, warna
kulit, dan nadi.Apabila terdapat perdarahan luar maka dilakukan balut tekan untuk
mengatasinya.Bila terdapat gangguan sirkulasi maka diresusitasi dengan kristaloid sesuai
dengan derajat perdarahan. Waspadai perdarahan yang ridak diketahui sumbernya (ongoing
bleeding), jika terdapat ongoing bleeding, kontrol perdarahan dilakukan secara surgikal.
Pemasangan kateter urin diperlukan untuk menilai sirkulasi.
Disability
Penilaian pada tahap ini dilakukan untuk mengetahui status neurologis minor pasien
sacara cepat.Pada disability yang dinilai adalah tingkat kesadaran dengan menggunakan
metode AVPU, menilai reaksi pupil terhadap pemberian rangsangan cahaya, dan penilaian
ukuran pupil.
Exposure
14
Untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian pasien harus dilepas, dan pasien
diselimuti unutk menghindari terjadinya hipotermia.
b. Secondary Survey
Pada secondary survey dilakukan penilaian dari kepala sampai ke kaki. Dimulai dari
anamnesis dengan metode AMPLE (Allergic, Medication, Past illness, Last meal,
Enviroment). Pada kasus trauma dilakukan juga anamnesis lengkap utnuk mengetahui
kejadian trauma tersebut. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki,
dan lakukan pemeriksaan lebih detil pada bagian yang mengalami trauma. Pada kasus trauma
muskuloskeletal dilakukan pemeriksaan untuk menilai ada tidaknya fraktur dengan melihat
tanda-tanda fraktur seperti deformitas, bengkak, kemerahan, nyeri bila ditekan atau
digerakkan, ada krepitasi pada saat palpasi, gangguan pergerakan pada bagian
tersebut.Dinilai juga vaskularisasi pada daerah tersebut dengan menilai kuatnya nadi,
frekuensi nadi, perabaan akral.Penilaian untuk melihat ada tidaknya gangguan saraf juga
diperlukan.
c. Penatalaksanaan Trauma Tumpul Laring
Penatalaksanaan trauma tumpul laring dapat berupa terapi konservatif, endoskopik
dan operasi terbuka.7Tujuan penatalaksanaan trauma tumpul laring, secara umum sama
dengan trauma laring. Prinsip adalah menjaga kestabilan jalan nafas, mencegah infeksi dan
mencegah komplikasi berupa stenosis laring.3, 5-1
1. Terapi konservatif diberikan pada pasien trauma tumpul laring yang pada
pemeriksaan laringoskopi langsung atau esofagoskopi didapatkan hematom
serta laserasi minimal, tetapi bagian endolaring tidak edema, meliputi:
Istirahat suara,
Kortikosteroid sistemik,
Elevasi kepala,
Humidifikasi udara,
Antibiotika,
Antirefluks,
15
Flexible fiberoptic serial.
Pasien diobservasi minimal 24 jam untuk melihat apakah terdapat perburukan
jalan nafas, misalnya karena edema yang ditimbulkan.6,7
2. Tindakan operatif pada pasien trauma tumpul laring bergantung pada waktu
yang tepat. Beberapa ahli berpendapat tindakan dapat dilakukan beberapa hari
setelah trauma, sehingga edema sudah berkurang dan laserasi mukosa dapat
dievaluasi dengan jelas. Ahli lain menyatakan eksplorasi segera merupakan
tindakan yang digunakan untuk mendiagnosis seberapa besar kerusakan yang
terjadi dan memperbaiki kerusakan segera, sehingga dapat mempercepat
proses penyembuhan.7
Indikasi eksplorasi pada trauma laring adalah untuk mempertahankan jalan nafas tetap
lancar. Indikasi eksplorasi trauma laring adalah:
1. sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
2. emfisema yang progresif.
3. laserasi mukosa yang luas.
4. tulang rawan krikoid yang terbuka.
5. paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi pada trauma laring paling baik dilakukan dengan insisi horizontal, menurut
garis kulit, setinggi lubang trakeostomi untuk mengurangi jaringan parut di leher bagian
depan. Disamping itu tujuan insisi horizontal ini adalah, untuk melakukan reposisi pada
tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek
dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan jabir (flap) atau tandur alih (graft) kulit.
Fraktur kartilago diperbaiki dengan menggunakan wire, benang yang tidak diserap,
miniplate yang diserap dan miniplate permanen.Untuk menyangga lumen laring dapat
digunakan bidai yang terbuat dari silastik, porteks atau silikon. Penyangga tersebut biasanya
berbentuk seperti huruf T sehingga disebut T-tube. Pipa T dipasang melalui lubang
trakeostomi.Penderita diberikan antibiotika profilakis selama 5-7 hari.Tidak ada batasan yang
mutlak mengenai lamanya pemasangan pipa T ini.
16
BAB III
Ilustrasi kasus
Tn. S pasien post trauma jatuh dari ketinggan ± 3 meter pada posisi kepala dan leher bagian
depan dibawa ke IGD RSUDAA dirujuk dari puskesmas Kampar kiri. Pasien tampak gelisah,
terlihat darah keluar melalui mulut dan hidung. Pada saat diterima pasien telah dipasang
IVFD Ringer Laktat 20 gtt/menit.
PRIMARY SURVEY
Airway
- Look : Pada rongga mulut pasien terdapat sumbatan berupa cairan, yaitu
darah.
Deviasi trakea (-),
- Listen : gurgling (+), stridor (-), snoring (-)
- Feel : terasa adanya aliran udara
- Kesan : airway tersumbat
- Tindakan : suction cairan dalam rongga mulut untuk membebaskan jalan nafas.
- Evaluasi : tidak terdapat darah dalam rongga mulut, gurgling (-) : airway clear
Breathing
- Inspeksi : Pasien dapat bernafas spontan, terlihat pergerakan dinding dada
simetris kiri dan kanan. Tidak terlihat adanya jejas pada dada pasien.
Tampak gelembung-gelembung udara dibawah permukaan kulit dada
pasien. Frekuensi pernafasan 40x/menit
- Palpasi : Tidak terdapat tanda tanda fraktur pada dinding dada pasien, teraba
krepitasi dibawah kulit pada seluruh lapang dada pasien.
- Perkusi : di dapatkan suara hipersonor pada kedua lapang paru.
17
- Auskultasi : di dapatkan suara nafas dan suara jantung menjauh, terdengar adanya
krepitasi.
- Kesan : breathing terganggu
- Tindakan : pemberian oksigen 10L/menit melalui NRM
- Evaluasi : frekuensi nafas turun menjadi 32x/menit, pasien tetap tampak sesak.
Circulation
Pada pemeriksaan pasien ini didapatkan:
- Tekanan darah : 200/100
- Denyut nadi : 114x/menit
- Akral : dingin
- CRT : < 2 detik
- Kesan : tidak ada gangguan perfusi
- Tindakan : pemberian IVFD RL 20gtt/menit, pemasangan DC
- Evaluasi : Setelah resusitasi Tekanan darah menjadi 120/70 dan nadi
92x/menit
Disability
- Pada saat pasien diterima di IGD GCS 14 (E3V5M6)
- Pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+)
- Kekuatan motorik ekstremitas baik
- Tanda tanda lateralisasi (-)
Exposure
Pasien diberikan selimut untuk mencegah hipotermi
SECONDARY SURVEY
Identitas
Nama: Tn. S
Umur: 41 tahun
Jenis kelamin: laki-laki
Alamat: Lipat Kain, Desa Cengkeh
Anamnesis
18
- Keluhan utama : pasien merasa sesak nafas setelah jatuh dari ketinggian ± 2
meter pada posisi leher bagian depan menghantam kayu ketika sedang mengecat.
- Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasa sesak, suara parau, nyeri pada leher, kesulitan bicara, mengeluhkan
banyak ludah yang menumpuk di tenggorokan, kesulitan menelan dan kesulitan
melihat akibat adanya pembengkakan pada kelopak mata.
- Riwayat Penyakit dahulu
Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan asma. Pasien tidak memliki riwayat
penyakit diabetes.
- Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit yg berhubungan.
Pemeriksaan Head to toe
1. Kepala dan leher
- Rambut hitam tidak mudah dicabut, tidak terdapat hematom pada kepala.
- Wajah tidak pucat, pada dagu tercapat ekskoriasi.
- Kelopak mata membengkak
- Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor dengan diameter (2
mm/2 mm), reflek cahaya (+/+)
- Pada hidung dan bibir tidak terlihat perdarahan aktif ataupun jejas.
- Pada leher tampak adanya jejas.
2. Thorax
Paru
o Inspeksi : bentuk dada simetris kiri dan kanan, gerakan dinding simetris
kiri
dan kanan, tidak terdapat jeja pada dinding dada.
o Palpasi : krepitasi (+), nyeri (-).
o Perkusi : hipersonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : suara paru kiri dan kanan terdengar menjauh, ronkhi (+),
wheezing (-).
Jantung
o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
19
o Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS 5
o Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : suara jantung dalam batas normal namun menjauh
3. Abdomen
o Inspeksi: tidak distensi, jejas (-)
o Palpasi: teraba krepitasi, tidak teraba masa.
o Perkusi: timpani
o Auskultasi: bising usus (+)
4. Extremitas
o Inspeksi: tidak ada jejas
o Palpasi: krepitasi (+), akral dingin, CRT <2
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah rutin
o Leukosit : 22,9 x 103/mm3
o Eritrosit : 455 x 106 /mm3
o Hb : 13,8 g%
o Hematokrit : 39,5 %
o Trombosit : 319 x 103/mm3
2. CT dan BT
o FIB (PT PLUS) : 5.061g/L
o PT HS PLUS : 14,5 S
o APTT SP : 27,2 S
3. Foto Thorax
20
4. Foto Cervical
5. Scanning Kepala dan Leher
Diagnosis
Diagnosis IGD : suspect rupture trachea + emphysema subkutan
Penatalaksanaan
1. Non-farmakologis
o Pemasangan IVFD Ringer Laktat 30gtt/menit
21
o Pemasangan DC
o Pemberian Oksigen 10 L dengan NRM
o suction
o Punksi
o Multiple incision
2. Farmakologis
o Injeksi ketorolac
o Injeksi ranitidine
o Injeksi ceftriaxone
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Penanganan awal dari kasus ini adalah initial assessment dengan primary survey.
Pada pemeriksaan jalan nafas pasien ketika diterima di IGD terlihat adanya darah didalam
rongga mulut, terdengar suara berkumur, dan terasa adanya aliran udara dari jalan nafas.
Tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan literatur adalah membebaskan jalan nafas dari
darah dengan melakukan suction dengan menggunakan suction rigid. Setelah dilakukan
resusitasi jalan nafas, tidak terlihat lagi adanya darah dalam rongga mulut pasien, tidak
terdengar adanya suara nafas tambahan sehingga didapatkan kesan tidak ada sumbatan pada
jalan nafas. Pada resusitasi jalan nafas ini seharusnya dilakukan pemasangan neck collar
sebagai proteksi cervical.
Pada pemeriksaan ventilasi, pada pasien didapatkan kesan terjadi gangguan ventilasi.
Resusitasi yang dilakukan adalah dengan memberi oksigen sebanyak 10 L/menit mengguna
non-rebreating mask (NRM), hal ini bertujuan untuk meningkatkan saturasi O2 pasien. Selain
itu pada resusitasi ventilasi menurut literatur seharusnya dipasang pulse oximetry untuk
memantau saturasi O2 pada pasien.
Pada pemeriksaan hemodinamik didapati nadi dan tekanan darah yang meningkat, hal
ini menunjukkan adanya kompensasi dari tubuh untuk mempertahankan perfusi oksigen ke
sel tubuh pasien. Pada pasien ini tetap diberikan resusitasi cairan berupa pemberian cairan
Ringer laktat 20 gtt/menit dan pemasangan dower catheter untuk mengontrol pengeluaran
cairan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kestabilan hemodinamik pasien serta
mempermudah dalam akses pemberian obat-obatan yang diperlukan.
23
Pemeriksaan disability pada pasien ini tidak ditemukan adanya kelainan pada status
neurologis mini. Pada exposure pakaian pasien dilepaskan dan pasien diselimuti untuk
mencegah hipotermi.
Secondary survey dilakukan untuk mencari kelainan-kelainan lainnya yang dapat
berkembang menjadi lebih gawat dengan melakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki.
Pada pemeriksaan Isecondary survey pada pasien ini didapatkan adanya emfisema subkutis
yang cukup luas meliputi daerah wajah, dinding dada, ekstremitas atas dan ekstremitas
bawah. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan insisi pada kulit pasien hingga lapisan sub-
kutan kemudian tubuh pasien diurut-urut dari bagian yang terjauh menuju arah lubang insisi.
Biasanya
Pemberian injeksi ketorolac bertujuan sebagai analgetik. Ketorolac bekerja pada
daerah perifer. Dosis yang yang biasa diberikan adalah 30mg/6 jam dan dosis maksimal
adalah 120mg/hari. Pemberian ketorolac secara parenteral15mg/ml dan 30mg/ml. Pemberian
antibiotik ceftriaxone bertujuan untuh mencegah aktivitas mikroorganisme anaerob.
Pemberian ranitidine berguna untuk mengurangi sekresi asam lambung sehingga stress ulcer
bisa dihindari.
Diagnosis di IGD dari pasien ini adalah trauma suspek ruptur trakhea, akan tetapi
berdasarkan gejala klinisnya seperti ditemukannya suara parau, hilangnya petanda laring,
kesulitan berbicara, nyeri saat menelan dan adanya emfisema subkutis diagnosis dari pasien
ini dapat diarahkan kepada suspek trauma tumpul laring.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar HN (edit). Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok kepala leher. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2007.p.208-11.
2. Snell WC. Anatomi Klinik. Jakarta : EGC; 2008
3. Heman-Acakah YD, Sataloff RT. Blunt Trauma to the Larynx and Trachea: Considerations for the Professional Voice User. Journal of Singing: September/October 2002; 59(1), pp. 41-47
4. Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB, ed. TRAUMA.: Emergency resuscitation perioperative anesthesia surgical management Vol.1. New York: Informa Healthcare; 2002.
5. Sarafraz1 M, Hekmat-Shoar M, Khadari M. Blunt Neck and Laryngeal Trauma Evaluation: An 11-Year Study. Iranian Journal of Otorhinolaryngology. Autumn 2010;22(61).
6. Quinn FB, Ryan MW. Laryngeal trauma. September 2003. Online [cited July 2009] available from URL http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Laryng-Trauma-2003-0903/Laryng-trauma-2003-0902.htm.
7. Novialdi, Al Hafiz. Terapi Konservatif pada Trauma Tumpul Laring dengan Fraktur Kartilago Tiroid. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang.
25
26