laporan akhir - tnsebangau.files.wordpress.com · perubahan tingi muka air tanah stasiun bangah...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
KAJI-TINDAK PARTISIPATIF ATAS
METODE PENABATAN KANAL
DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU DAN
RELEVANSINYA TERHADAP PERIKANAN LOKAL
Disiapkan untuk
WWF INDONESIA – KALIMANTAN TENGAH
WWF INDONESIA – KALIMANTAN TENGAH
JANUARI 2018
iii
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan 5
1.4. Ruang Lingkup 6
2. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran 8
2.2. Lokasi dan Waktu 9
2.3. Metode Pengumpulan Data 10
2.3.1. Hidrologi (Kualitas Air dan Fluktuasi Muka Air) 10
2.3.2. Biota (Ikan dan Plankton) 10
2.3.3. Sosial Ekonomi 11
2.4. Metode Analisis 11
2.4.1. Fluktuasi Muka Air 11
2.4.2. Status Kualitas Air 12
2.4.3. Analisis Jenis Ikan dan Pola Adaptasi terhadap Fluktuasi Muka Air 12
2.4.4. Peran Ekonami Perikanan dalam Masyarakat 12
2.4.5. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Perairan Berbasis Masyarakat 13
3. HASIL KAJI TINDAK
3.1. Kondisi Hidrologi 14
3.1.1. Analisis Curah Hujan Adalan 14
3.1.2. Analisis Tinggi Muka Air Tanah 15
3.1.3. Neraca Air 20
3.2. Kualitas Air dan Lingkungan Perairan 21
3.2.1. DAS Sebangau 21
3.2.2. DAS Katingan 29
3.3. Sumberdaya Ikan 37
3.3.1. Keanekaragaman Jenis Ikan 37
3.3.1.1. DAS Sebangau 37
3.3.1.2. DAS Katingan 39
3.3.2. Karakteristik Bioekologis dan Tingkah Laku Ikan 40
3.3.3. Pola Pergerakan dan keberadaan tabat 42
3.4 Kondisi Sosial Ekonomi 43
3.4.1 DAS Sebangau 43
3.4.2 DAS Katingan 48
iv
4. ANALISIS PENGEMBANGAN PENGELOLAAN TABAT
4.1. Analisis Dampak Penabatan terhadap Sumberdaya Ikan 54
4.2. Analisis Mitigasi Dampak Negatif Penabatan 54
4.2.1. Jarak Antar Tabat 54
4.2.2. Lokasi Tabat 55
4.3. Pengembangan Skema Pemantauan Bersama (Participative Monitoring) 56
4.1. Analisis Kelembagaan Pengelolaan 59
4.1.1. Analisis Kelembagaan Sekarang Ini 59
4.1.2. Analisis Kelembagaan Terkait dengan Kepatuhan (compliance) 67
4.2. Analisis Alternatif Rancangan dan Skema Restorasi 69
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan 70
5.2. Rekomendasi 71
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 73
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Curah Hujan 2006-2015 (Stasiun Penakar Hujan Palangkaraya) 14
Tabel 2. Curah hujan 2006-2015 di Palangkaraya urut dengan metode Weibull 15
Tabel 3. Perhitungan neraca air di Taman Nasional Sebangau 20 Tabel 4. Kualitas air di sungai dan anak sungai Sebangau pada Januari
2017 24 Tabel 5. Kualitas air di sungai dan anak sungai Sebangau pada Juni 2017 25 Tabel 6. Kualitas air di sungai dan anak sungai Katingan pada Januari 2017 32 Tabel 7. Kualitas air di sungai dan anak sungai Katingan pada Juni 2017 33 Tabel 8. Nilai konsumsi ikan pada 3 desa di DAS Katingan 50 Tabel 9. Wilayah Penangkapan Ikan Nelayan di DAS Sebangau 60 Tabel 10. Lokasi Pemukiman Nelayan di DAS Sebangau Kalimantan Tengah 61 Tabel 11. Pola penetuan pemanfaat yang berhak memanfaatkan sungai kecil
di DAS Sungai Sebangau 64 Tabel 12. Hubungan antara Lokasi, Rejim Sumberdaya dan Rejim
Pengelolaan dan Asal Nelayan. 65
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proses hancurnya ekosistem lahan gambut akibat penggelontoran air dari dalam kubah gambut melalui kanal-kanal buatan (sebagian gambar adalah modifikasi dari www.aseanpeat.net) 2
Gambar 2. Kerangka pemikiran studi kaji-tindak partisipatif atas metode penabatan kanal di TNS dan relevansinya terhadap perikanan lokal. 8
Gambar 3. Lokasi penelitian dan pengambilan contoh dalam pelaksanaan studi di perairan sungai kawasan TNS. 9
Gambar 4. Curah hujan andalan 80% berdasarkan metode Weibull berdasarkan data 2006-2016 di Palangkaraya 15
Gambar 5. Hubungan curah hujan andalan 80% dan tinggi muka air tanah di lokasi Bangah, Sebangau (2011) 16
Gambar 6. Perubahan tinggi muka air tanah stasiun SSI (SSIC.1.A.L1) 17 Gambar 7. Perubahan tinggi muka air tanah Stasiun Bakung (BR1.25.A.L.3),
Sebangau 17 Gambar 8. Perubahan tinggi muka air tanah stasiun Rasau (R.10.A.L.1),
Sebangau 18 Gambar 9. Perubahan tingi muka air tanah stasiun Bangah (B.2.A.L.1) 19 Gambar 10. Perubahan tinggi muka air tanah di stasiun Bulan (BR1.25.A.L.1),
Katingan 19 Gambar 11. Surplus dan defisit air di kawasan Taman Nasional Sebangau
berdasarkan data curah hujan dan evapotranspirasi 2006-2015 21 Gambar 12. Nilai pH air sungai dan anak sungai Sebangau pada Januari (kiri)
dan Juni (kanan) 2017 22 Gambar 13. Kandungan oksigen (DO) dalam air sungai dan anak sungai
Sebangau pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017 22 Gambar 14. Nilai BOD dan COD air sungai dan anak sungai Sebangau pada
Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017 23 Gambar 15. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) fitoplankton di Sungai
Sebangau 26 Gambar 16. Kondisi struktur komunitas fitoplankton yang digambarkan oleh
indeks keragaman, indeks dominansi, dan jumlah taksa (genus) fitoplankton di Sungai Sebangau 26
Gambar 17. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) zooplankton di Sungai Sebangau 27
Gambar 18. Indeks keragaman, indeks dominansi, dan jumlah taksa (genus) zooplankton di Sungai Sebangau 27
Gambar 19. Tekstur sedimen Sungai Sebangau di beberapa lokasi yang dominan debu berliat 28
Gambar 20. Kandungan organik dan pH sedimen Sungai Sebangau di beberapa lokasi 29
Gambar 21. Nilai pH air sungai dan anak sungai Katingan pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017 30
Gambar 22. Kandungan oksigen (DO) dalam air sungai dan anak sungai Katingan pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017 30
Gambar 23. Nilai BOD dan COD air sungai dan anak sungai Katingan pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017 31
Gambar 24. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) fitoplankton di Sungai Katingan 34
vii
Gambar 25. Indeks keragaman dan indeks dominansi fitoplankton di Sungai Katingan 34
Gambar 26. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) zooplankton di Sungai Katingan 35
Gambar 27. Indeks keragaman dan indeks dominansi zooplankton di Sungai Katingan 35
Gambar 28. Tekstur sedimen Sungai Katingan di beberapa lokasi yang dominan debu 36
Gambar 29. Kandungan organik dan pH sedimen Sungai Katingan di beberapa lokasi 36
Gambar 30. Sebagian kondisi perairan sungai kawasan hutan gambut DAS Sebangau, dengan warna perairan coklat kehitaman dan vegetasi didominasi oleh rasau (Pandanu helico) dan bakung (Crinum asiaticum) (Foto: MM Kamal, 2017) 37
Gambar 31. Ikan tapah (Walago leeri) yang tertangkap dari stasiun Air Bangah berukuran 1,5 kg. 38
Gambar 32. Jenis-jenis ikan marga Channidae (kelompok gabus) yang cukup mendominasi perairan DAS Sebangau. 38
Gambar 33. Sebagian kondisi perairan DAS Katingan, di mana sungai utamanya sebagian merupakan transisi perairan gambut dan non-gambut (foto kiri), sedangkan anak sungainya masih merupakan perairan hutan gambut (foto kanan). 39
Gambar 34. Beberapa jenis ikan kelompok ikan putihan (white fishes) yang bernilai ekonomis penting yang ditemukan di sungai utama DAS Katingan. 40
Gambar 35. Alat pernafasan beberapa jenis ikan yang habitatnya di perairan gambut atau rawa yang memiliki alat pernafsan tambahan (air breathing fishes). 41
Gambar 36. Ilustrasi penempatan tabat dalam kanal (warna merah), kondisi permukaan air pada saat musim basah hingga kering (garis putus-putus) 42
Gambar 37. Distribusi Ikan dari DAS Katingan oleh Koperasi Perikanan Lauk Sumber Pambeuleum. 51
Gambar 38. Sebaran Pemukiman Nelayan di DAS Sebangau 63
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Sebangau (TNS) adalah bagian dari kubah gambut dengan
luasan + 734.700 ha yang merupakan sisa hutan rawa gambut Pulau Kalimantan
yang menyimpan sekitar 2,3 Gt karbon. Sebelum ditetapkan sebagai Taman
Nasional pada tahun 2004 (SK Menhut 423/Menhut-‐II/2004, 19 Oktober 2004),
area tersebut merupakan kawasan hutan dengan status Hutan Produksi yang
dikelola oleh 13 perusahaan kayu hingga pertengahan 1990-‐an. Selanjutnya
adalah era pembalakan liar (illegal logging) sampai 2006. Untuk kepentingan
pengangkutan kayu dari dalam hutan gambut hingga mencapai anak sungai dan
sungai di dalam dan sekitar kawasan tersebut, telah digali saluran/kanal yang
jumlahnya hampir 1.000 buah.
Keberadaan kanal-‐kanal buatan tersebut secara sengaja berfungsi
sebagai saluran air (drainase) dalam kubah gambut sehingga menyebabkan
terjadinya percepatan penggelontoran air dari lahan gambut. Pengeringan
kubah gambut melalui kanal dapat menimbulkan penurunan permukaan air
tanah, degradasi dan dekomposisi gambut. Pada saat musim kering, kondisi
lahan gambut yang kering dan terpapar panas matahari akan mudah terbakar.
Akibatnya hutan gambut terbakar yang pada gilirannya akan menghancurkan
ekosistem hutan TNS secara keseluruhan (Gambar 1). Kejadian terbakarnya
hutan gambut di Kalimantan Tengah, tidak hanya menimbulkan kerusakan
ekosistem, melainkan juga sangat mengganggu kesehatan manusia dan
menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
Untuk mencegah terjadinya bencana kekeringan dan kebakaran serta
kerusakan ekosistem lebih jauh, sejak tahun 2005 WWF-‐Indonesia telah
memprakarsai kegiatan penabatan saluran/parit di kawasan TNS. Penutupan
saluran air/penabatan adalah cara untuk menaikkan permukaan air bawah
tanah (ground water level), sehingga pada musim kemarau kelembaban tanah
tetap terjaga sehingga kebakaran dapat dihindari, sekaligus untuk memperbaiki
fungsi hidrologis hutan rawa gambut TNS (rewetting program).
2
Gambar 1. Proses hancurnya ekosistem lahan gambut akibat penggelontoran
air dari dalam kubah gambut melalui kanal-‐kanal buatan (sebagian gambar adalah modifikasi dari www.aseanpeat.net)
Kekayaan flora dan fauna kawasan TNS yang selama ini mendapat
perhatian lebih adalah tentang keanekaragaman jenis pohon dan asosiasinya
dengan hewan terestrial, termasuk mamalia, burung, dan serangga. Atau lebih
khusus banyak studi yang terkait dengan upaya penyelamatan orang utan
(Pongo pigmaeus). Sedikit sekali yang membahas tentang fauna akuatik,
khususnya ikan yang selama ini menjadi target penangkapan yang hasilnya
sangat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan protein serta meningkatkan
ekonomi lokal dari sub-‐sektor perikanan.
Kawasan TNS diapit oleh 2 sungai utama yaitu Sungai Sebangau di
bagian timur dan Sungai Katingan di bagian barat. Percabangan dari kedua
sungai yang berada dalam kawasan TNS terhubung langsung dengan kanal-‐
kanal buatan tersebut. Pada musim hujan, naiknya permukaan air pada sungai
utama, anak-‐anak sungai, dan air dalam kanal buatan meningkatkan dan
memperluas volume habitat bagi berbagai jenis ikan-‐ikan asli yang ada di
wilayah tersebut. Sebaliknya pada musim kemarau, penurunan muka air tanah
terjadi semakin cepat karena adanya kanal-‐kanal tersebut sehingga ruang
Kondisi'Alamiah:'Kubah&gambut&*dak&terganggu&selama&ribuan&tahun,&
menyimpan&karbon&yang&berasal&dari&hutan&gambut,&di&
atasnya&dan&membentuk&genangan&air&
dengan&diameter&5&–&50&km,&*nggi&muka&air&hampir&sama&dengan&air&
permukaan&&&
Drainase:'Pembangunan&saluran&drainase/kanal&akan&
menbimbulkan&percepatan&aliran&air&dari&kubah&gambut,&*nggi&air&akan&turun,&gambut&lebih&terpapar&matahari&sehingga&akan&mengering&dan&akan&mudah&terbakar&
Drainase'berlanjut:'Dekomposisi&
gambut&yang&kering&menyebabkan&tanah&turun.&&
Gambut&kering&yang&terpapar&sangat&berisiko&terbakar&
Akhirnya:&&Jika&*dak&ada&
*ndakan&restorasi,&maka&semua&gambut&akan&terbakar&habis,&dan&permukaan&tanah&akan&turun&
3
tempat hidup ikan dapat menyempit secara signifikan. Karenanya, keberadaan
tabat/kanal yang dibuat tidak hanya untuk mengontrol dengan cara
memperlambat arus air keluar, tetapi juga dapat mempertahankan muka air
sehingga masih memungkinkan untuk dihuni oleh berbagai jenis ikan. Hal ini
pada kondisi tertentu bermanfaat bagi nelayan untuk tetap dapat menangkap
ikan.
Baik Sungai Sebangau maupun Katingan, keduanya dicirikan oleh tipe
habitat sungai yang airnya bersumber dari kawasan rawa gambut. Kondisi
sungai seperti ini umumnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi (pH rendah)
dan warna perairan seperti air teh pekat, yang hanya dapat diadaptasi oleh
jenis-‐jenis ikan tertentu yang umumnya tahan dengan kondisi keasaman yang
tinggi dan sebagian juga memiliki alat pernafasan tambahan (air breathing
fishes).
Secara khusus, kelompok ikan yang dapat beradaptasi dengan kondisi
perairan pH rendah termasuk ke dalam kelompok ikan-‐ikan hitaman (black
fishes). Sungai Sebangau dan anak-‐anak sungainya umumnya dihuni oleh
kelompok ikan ini. Untuk Sungai Katingan, selain ikan-‐ikan hitaman yang
mendiami perairan sungai rawa gambut, juga berhubungan dengan aliran
sungai yang berbatasan dengan hutan non-‐gambut. Jenis ikan yang ada pada
perairan ini sering dikelompokkan sebagai ikan-‐ikan putihan (white fishes).
Oleh sebab itu dibandingkan dengan DAS Sebangau, DAS Katingan memiliki
keanekaragaman jenis ikan yang lebih tinggi.
Berbagai jenis ikan yang mendiami sungai dan anak-‐anak sungai dalam
kawasan TNS merupakan merupakan sumber utama bagi pemenuhan protein
hewani serta aktifitas perekonomian masyarakat nelayan khususnya dan
masyarakat lokal pada umumnya. Komunitas nelayan, baik nelayan asli
(nelayan lokal sekitar kawasan TNS) maupun nelayan pendatang (umumnya
berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan) setiap harinya melakukan
penangkapan ikan. Hasil tangkapan sebagian dikonsumsi untuk keperluan
rumah tangga nelayan (subsistence fisheries), dan sebagian lainnya dijual untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi masyakarat baik di sekitar maupun di luar
4
kawasan. Produksi ikan tangkapan di kawasan TNS ini selanjutnya dikirim ke
berbagai kota termasuk Kota Palangkaraya, Sampit, Banjarmasin, bahkan ke
Pulau Jawa. Salah satu produk awetan berupa ikan asin yang dijual ke Jawa
umumnya dikirim ke Cianjur dan Bogor, Jawa Barat.
Berdasarkan kondisi di atas, terdapat keterkaitan yang sangat antara
program penabatan dengan mempertahankan kondisi hidrologis hutan gambut,
dan berimplikasi langsung terhadap keutuhan flora dan fauna baik lingkungan
terrestrial (darat) maupun akuatik (perairan). Termasuk di dalamnya adalah
terlindunginya keberadaan habitat sumberdaya ikan. Atau dengan kata lain,
penabatan sangat menunjang bagi terjaganya volume air, mempertahankan
ruang hidup ikan, keberlanjutan aktifitas perikanan tangkap dan roda ekonomi
yang dapat berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.
Fokus studi yang dilaporkan dalam dokumen ini adalah untuk mengkaji
dampak penabatan terhadap aktifitas perikanan. Bahan dasar utama
pengkajian adalah sistem hidrologi sungai, asosiasi habitat sungai dengan
sumberdaya ikan, adaptasi dan pergerakan ikan terhadap keberadaan tabat, dan
pola pemanfaatan perikanan baik yang berbasis hak (right-‐based fishery)
maupun yang bersifat bebas (open access fishery).
1.2. Rumusan Masalah
Terdegradasinya ekosistem gambut TNS akibat pembangunan kanal dan
pembukaan hutan menyebabkan ekosistem ini peka terhadap kebakaran.
Kondisi ini telah dibuktikan pada tahun 1997 pada saat terjadi bencana
kekeringan El Niño, di mana pada tahun tersebut telah terjadi bencana
kebakaran yang sangat hebat dengan areal yang terbakar relatif sangat luas.
Sebagai akibatnya jumlah karbon (CO2) yang dilepaskan ke atmosfir sebesar
0,81 – 2,57 Gt, dimana hal ini setara dengan 13 – 40 % rata-‐rata emisi karbon
tahunan global yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, dan efek kebakaran
tersebut menghasilkan konsentrasi CO2 di atmosfir terbesar sejak awal
pengukuran konsentrasi karbon di atmosfir pada tahun 1957. Efek dari
5
kebakaran tersebut memberikan kontribusi nyata terhadap kabut asap yang
menutupi sebagian besar Asia Tenggara dan juga menyebabkan penurunan
kualitas udara dan peningkatan permasalahan-‐permasalahan yang terkait
dengan kesehatan manusia (Page et al., 2002).
Salah satu upaya untuk mempertahankan dan mencegah penurunan
permukaan air tanah di TNS adalah dengan pembuatan tabat/dam pada parit-‐
parit buatan tersebut yang dikenal sebagai canal blocking (WWF, 2005; 2013).
Program ini terbukti efektif dan sudah dikaji dari berbagai aspek termasuk
aspek khususnya dari kondisi alamiah permukaan air tanah. Sejak awal
kegiatan hingga sudah terbangunnya tabat yang sekarang mencapai ratusan,
dan proses sosialisasi berjalan terus.
Kajian dampak keberadaan tabat di kawasan TNS terhadap perikanan
tangkap belum pernah dilakukan. Padahal keberadaan DAS Sebangau dan DAS
Katingan dengan sumberdaya ikan yang dimilikinya merupakan lokasi
penangkapan ikan di perairan umum daratan yang sangat penting. Dampak
keberadaan tabat/dam terhadap kondisi hidrologi, pergerakan dan tingkah laku
ikan, serta aktifitas dan produktifitas perikanan tangkap. Melalui kajian yang
bersifat komprehensif antara lingkungan perairan, sumberdaya ikan, dan
interaksinya dengan sistem sosial ekonomi nelayan dan masyarakat sekitarnya,
maka kegiatan penabatan yang melibatkan masyarakat lokal akan semakin
diterima secara luas dan didukung keberlanjutannya di masa dating.
1.3. Tujuan
Studi yang dilakukan bertujuan untuk hal-‐hal sebagai berikut:
1. Menelaah kondisi hidrologis, kualitas air dan lingkungan perairan dalam
kawasan TNS membandingkan antara dengan dan tanpa penabatan.
2. Mengisvestigasi dampak positif maupun dampak negatif dari penabatan
kanal-‐kanal di TNS terhadap pola pergerakan dan tingkah laku ikan serta
perikanan tangkap dalam jangka pendek dan jangka panjang, dengan
pengetahuan atas kondisi awal perikanan lokal sebelum kanal-‐kanal
ditabat.
6
3. Menelaah dampak penabatan terhadap kondisi perikanan tangkap baik
secara aspek sosial maupun ekonomi masyarakat lokal (khususnya
nelayan).
4. Mengembangkan skema monitoring sumber daya perikanan di lokasi
penabatan kanal yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dan
berkompeten (Balai TNS, nelayan pemanfaat kanal, dan akademisi serta
para pemangku kepentingan lainnya yang relevan).
5. Mengembangkan rekomendasi rancangan dam dan skema restorasi lain
yang memberikan manfaat untuk mitigasi perubahan iklim,
keanekaragaman hayati, dan sosial-‐ekonomi masyarakat setempat.
1.4. Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup kajian ini mencakup beberapa kegiatan, antara lain:
1.4.1. Survei lapang dan pengumpulan data
Survei lapangan mencakup observasi lapangan pada beberapa lokasi penabatan.
Kegitan di lapangan meliputi pengukuran kualitas air dan pengambilan contoh
air dan sedimen. Informasi mengenai jenis-‐jenis ikan juga diperoleh saat ada
kegiatan penangkapan serta berdasarkan hasil wawancara di lapangan dengan
nelayan setempat. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data sekunder,
seperti data curah hujan, ketinggian muka air di lokasi tertentu, dan data
hidrologi lainnya dari instansi terkait. Data sekunder berikutnya adalah data
hasil tangkapan dan harga ikan.
1.4.2. Wawancara dengan stakeholder dan diskusi kelompok (FGD)
Wawancara secara mendalam dilakukan dengan individu yang mewakili
para pemangku kepentingan baik dari instiusi pemerintah (pusat, daerah,
oragnisasi masyarakat, masyarakat) utuk mendapatkan gambaran tentang topik
studi dalam perspektif yang luas. Wawancara digunakan sebagai informasi awal
untuk kegiatan verifikasi lapang dan juga sebagai konfirmasi atas hasil obervasi
lapang. Sedangkan diskusi kelompok dalam format diskusi kelompok terpilih
(FGD) dilakukan untuk mendapatkan gambaran topik-‐topik penelitian dalam
perspektif yang lebih beragam dan bersifat common sense serta untuk verifikasi
7
dan klarifikaasi masing-‐masing perspektif dalam satu forum sehingga
kesimpulan bersifat obyektif dan menjadi pemahaman dan kesepakatan
besama.
1.4.3. Analisis konektivitas sosial ekonomi DAS Sebangau dan DAS Katingan
Analisis konektivitas sosial ekologi dilakukan untuk melihat hubungan
antara sistem sosial dan sistem ekologi dalam DAS Sebangau dan DAS Katingan.
Analisis ini bersifat pola relasi resiprokal (baik sebanding maupun tidak
sebanding), sehingga didapatkan gambaran atau penjelasan dampak perubahan
ekologi pada perubahan sosial atau sebaliknya.
8
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Studi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya restorasi lahan
gambut dalam kawasan TNS, di mana penabatan merupakan tindakan
pengelolaannya (management measure) (Gambar 2). Pemangku kepentingan
yang terlibat dalam penabatan tersebut di antaranya adalah:
a. Balai Taman Nasional Sebangau sebagai pemilik otoritas pemangku
wilayah,
b. Nelayan lokal dan nelayan pendatang serta semua yang terlibat dalam
upaya perikanan tangkap dan tata niaganya baik di DAS Sebangau maupun
DAS Katingan,
c. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait yaitu Dinas Kehutanan,
Dinas Perikanan dan Kelautan serta Dinas Pariwisata,
d. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang wilayah operasi atau target area
kegiatannya di kawasan TNS, misalnya WWF,
e. Lembaga penelitian (LIPI) dan pendidikan tinggi (universitas),
f. Personal pemerhati dan peneliti hutan gambut.
Gambar 2. Kerangka pemikiran studi kaji-‐tindak partisipatif atas metode
penabatan kanal di TNS dan relevansinya terhadap perikanan lokal.
9
2.2. Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian adalah badan perairan DAS Sebangau dan DAS Katingan,
termasuk anak-‐anak sungai dan sungai serta kanal-‐kanal baik yang sudah
maupun yang belum ditabat (Gambar 3). Observasi lapangan dilakukan
sebanyak 2 kali selama tahun 2017, yaitu pada tanggal 24 -‐ 28 Januari 2017, dan
tanggal 2-‐5 Juni 2017. Pembagian waktu observasi awalnya untuk
membandingkan kondisi musim penghujan dengan musim kering. Namun
tahun 2017 merupakan tahun di mana terjadi musim kemarau basah, sehingga
ketinggian air antara kedua waktu pengamatan tidak berbeda nyata.
Gambar 3. Lokasi penelitian dan pengambilan contoh dalam pelaksanaan studi
di perairan sungai kawasan TNS.
10
2.3. Metode Pengumpulan Data
2.3.1. Kondisi Hidrologi, Kualitas Air dan Lingkungan Perairan
Data hidrologi yang digunakan untuk penentuan fluktuasi muka air
adalah data curah hujan selama 10 tahun (2006 – 2015) dari Stasiun BMKG
Palangkaraya. Data lain, seperti tinggi genangan pada tipologi lahan, dan data
debit anak-‐anak sungai di DAS Sebangau dan dan anak-‐anak sungai di DAS
Katingan tidak diperoleh, karena memang tidak ada atau belum ada pengukuran
selama ini.
Pengumpulan data kualitas air dilakukan dengan mengambil contoh air
di 7 titik pengamatan di Sungai Sebangau dan anak sungainya, serta 5 titik
pengamatan di Sungai Katingan. Ketujuh titik pengamatan di Sungai Sebangau
adalah di Kereng Bengkirai, muara Sungai Bakung, Muara Garung, muara
Sungai Rasau, Muara Bangah, muara Sungai Paduran Alam, dan Muara Lumpur.
Kelima titik pengamatan di Sungai Katingan adalah di Asem Kumbang (Sungai
Katingan), Baun Bango (Sungai Katingan), Telaga Sungai Klaru, hilir Sungai
Bulan (Tumbang Bulan), dan di Perigi (Sungai Katingan). Lokasi titik observasi
kualitas air dapat dilihat pada Gambar 3. Selain itu juga dikumpulkan data
kualitas air Sungai Sebangau dan Sungai Katingan yang telah diamati
sebelumnya (data sekunder).
Pada survei kedua, Juni 2017 pengamatan dan pengambilan sampel
kualitas air dilakukan pada lima lokasi atau stasiun di Sungai Sebangau, yaitu di
Kereng Bangkirai (SBG 1), Bakung (SBG 2), muara Sungai Rasau (SBG 3), Muara
Bangah (SBG 4), dan di Paduran Alam (SBG 5). Di sungai Katingan, pengamatan
dan pengambilan contoh kualitas air dan sedimen juga dilakukan pada lima
lokasi yaitu di Asem Kumbang (KTG 1), Baun Bango (KTG 2), Telaga atau muara
S. Klaru (KTG 3), Tumbang Bulan atau hilir Sungai Bulan (KTG 4), dan di Perigi
(KTG 5). Pengambilan contoh, pengukuran kualitas air di lapangan dan analisis
kualitas air di laboratorium mengacu pada metode standar (APHA, 2012).
2.3.2. Biota (Ikan dan Plankton)
Pengambilan data biota (ikan, udang, maupun plankton) dilakukan dengan
mengunjungi lokasi atau rumah nelayan di sepanjang Sungai Sebangau dan
11
Sungai Katingan. Informasi mengenai jenis-‐jenis ikan sebagian besar diperoleh
dari hasil wawancara dengan nelayan setempat. Hal ini dikarenakan saat studi
bukan merupakan musim puncak penangkapan. Bilamana ditemukan sampel
ikan, ikan difoto dan diidentifikasi untuk mengetahui nama spesiesnya. Selain
itu, dilakukan wawancara terhadap nelayan mengenai ikan jenis apa saja yang
pernah tertangkap di lokasi tersebut. Studi pustaka juga dilakukan terhadap
hasil penelitian dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi terkait dengan
studi serta sumber-‐sumber referensi secara online mengenai biota apa saja
yang pernah ditemukan di Sungai Sebangau dan Sungai Katingan.
Pengambilan sampel plankton dilakukan bersama dengan pengambilan
sampel kualitas air. Sampel plankton didapatkan 7 titik lokasi di Sungai
Sebangau dan 5 titik lokasi di Sungai Katingan pada survei pertama, dan
masing-‐masing di lima titik lokasi baik di S. Sebangau maupun S. Katingan,
sebagaimana titik lokasi pengambilan contoh air. Pada survei kedua, sampel
plankton diambil pada 5 stasiun pengamatan di S. Sebangau dan 5 stasiun di S.
Katingan sebagaimana stasiun pengambilan contoh kualitas air.
2.3.3. Sosial Ekonomi
Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan baik data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi (ground
check), wawancara mendalam dengan responden terpilih, dan FGD. Metode
pengambilan sampel adalah purposive sampling, dengan kriteria utama
responden mempunyai pengetahuan dan informasi yang cukup sesuai dengan
kapasitasnya, mempunyai kemampuan komunikasi dan bersedia memberikan
informasi sesuai dengan kebutuhan studi.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka pada
dokumen atau literatur dari lembaga-‐lembaga terkait di tingkat daerah, pusat,
maupun lembaga penelitian dan perguruan tinggi terkait dengan studi serta
sumber-‐sumber referensi secara dalam jaringan (on-‐line).
2.4. Metode Analisis
2.4.1. Fuktuasi Muka Air
12
Analisis fluktuasi muka air dilakukan dengan menggunakan data curah
hujan dan tinggi genangan. Hubungan antara ketinggian muka air dan curah
hujan dianalisis menggunakan analisis korelasi Spearman pada taraf nyata
p<0.05.
2.4.2. Status Kualitas Air
Data hasil pengamatan kualitas air disajikan dalam bentuk tabel dan
dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan dengan baku mutu air
Kelas II (peruntukan rekreasi air) dan Kelas III (peruntukan perikanan)
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Data sedimen disajikan
berupa grafik dan dianalisis secara deskriptif. Data hasil pencacahan
fitoplankton dan zooplankton dianalisis indeks keragaman (Krebs, 1999) dan
indeks dominansinya (Odum, 1993).
2.4.3. Analisis Jenis Ikan, Adaptasi dan Skenario Tingkah Laku Pergerakan Ikan Terhadap Keberadaan Tabat
Jenis ikan diidentifikasi dengan bantuan buku identifikasi ikan air tawar
(Kottelat dkk., 1993; www.fishbase.org). Berdasarkan hasil penelusuran
literatur, informasi tingkah laku ikan dan responnya terhadap fluktuasi muka
air diskenariokan terhadap keberadaan tabat. Kemudian berdasarkan hasil
skenario tersebut, secara spesifik (jika ada) jenis ikan yang terdampak dengan
pembangunan tabat. Tingkah laku ikan yang dianalisis meliputi pergerakan
(migrasi) dari hulu ke hilir dan sebaliknya, tingkah laku reproduksi, dan tingkah
laku terhadap aktifitas penangkapan ikan.
2.4.4. Peran Ekonomi Perikanan dalam Masyarakat
Metode analisis peran ekonomi perikanan dalam masyarakat dilakukan
dengan : (1) analisis kontribusi pendapatan penangkapan pada penerimaan
rumah tangga nelayan, (2) analisis nilai ekonomi konsumsi ikan oleh rumah
tangga, (3) analisis nilai hasil tangkapan ikan.
13
2.4.5. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Perairan Berbasis Masyarakat
• Analisis isi
(content analysis) adalah teknik penelitian yang digunakan untuk
menganalisis dokumen-‐dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip
wawancara, dan bentuk-‐bentuk tertulis lainnya (Krippendorf 1991).
Analisis isi dilakukan dengan melihat substansi peraturan-‐perundangan
yang telah ada kemudian ditabulasi dan dikompilasi sesuai variabel-‐
variabel yang telah ditentukan. Variabel-‐variabel yang dianalisis
meliputi:(1) bentuk-‐bentuk pemanfaatan sumberdaya TN,(2) mekanisme
pemanfaatan,(3) akses masyarakat setempat,(4) strata hak kepemilikan
yang diberikan, dan (5) konsistensi aturan perundangan pada berbagai
tingkatan. Dengan analisis isi diketahui kecukupan aturan-‐aturan yang ada
dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya taman nasional
• Analisis aktor
Analisis Aktor bertujuan mengidentifikasi dan memetakan aktor yang
terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS yang hasilnya berupa
informasim tentang kepentingan (interest), dan kekuatan (power), serta
potensi kerjasama atau konflik antar actor
• Analisis Hak Kepemilikan
Hak kepemilikan sangat menentukan tanggungjawab aktor-‐aktor
memanfaatkan sumberdaya, dan mempengaruhi keputusan aktor-‐aktor
dalam mengambil manfaat sumberdaya TNS secara lestari. Dalam analisis
ini akan diketahui interaksi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya
TNS.
14
III. HASIL KAJI TINDAK
3.1. Kondisi Hidrologi
3.1.1. Analisis Curah Hujan Andalan
Perhitungan curah hujan wilayah dilakukan untuk mengetahui berapa
besarnya curah hujan yang jatuh pada lokasi studi, yang dianalisa berdasarkan
data stasiun klimatologi terdekat. Data curah hujan selama sepuluh tahun
terakhir (2006-‐2015) diperoleh dari stasiun penakar hujan yang terdapat di
Palangkaraya, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Curah Hujan 2006-‐2015 (Stasiun Penakar Hujan Palangkaraya)
Analisis curah hujan andalan dianalisis dengan menggunakan metode
peluang Weibull. Metode Weibull merupakan suatu metode dalam
memperkirakan nilai probalitas berdasarkan data jumlah hujan. Hasil
perhitungan curah hujan dengan metode Weibull disajikan dalam Tabel 2.
Berdasarkan perhitungan peluang Weibull tersebut, maka diperoleh curah
hujan andalan 80% adalah 2733.78 mm/tahun. Sedangkan curah hujan andalan
80% perbulan yang dapat terjadi adalah seperti pada Gambar 4. Nampak bahwa
pada tingkat peluang 80%, curah hujan tergolong tinggi setiap bulannya, kecuali
di bulan-‐bulan Juli-‐Agustus-‐September yang berkisar 71,6 – 123,8 mm/bulan.
No Tahun Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember1 2006 189.60 207.30 168.80 248.60 114.80 141.00 119.10 8.00 32.00 3.00 37.50 407.102 2007 316.60 265.40 267.90 388.60 280.50 257.60 117.10 101.80 56.50 255.40 223.30 217.803 2008 266.00 66.30 357.00 156.69 82.50 124.50 66.80 152.20 23.40 199.90 317.10 418.004 2009 213.90 222.60 267.50 204.70 177.10 6.70 23.40 37.50 33.40 197.80 165.20 443.905 2010 370.10 347.50 305.00 424.10 255.60 208.50 210.40 283.70 279.50 453.80 253.30 239.706 2011 237.80 186.90 339.50 259.70 144.30 60.10 109.20 10.00 161.40 272.00 341.00 428.007 2012 258.50 200.00 295.40 209.50 190.10 72.90 257.90 63.60 33.60 170.10 274.60 300.108 2013 230.00 508.60 170.80 261.30 168.70 102.70 150.80 150.90 132.10 212.50 319.10 267.409 2014 160.60 111.40 191.30 337.00 406.40 219.60 86.00 58.30 0.00 236.70 233.00 406.40
10 2015 223.40 286.40 290.10 210.80 193.40 140.30 40.70 11.00 0.00 80.50 238.60 261.602466.50 2402.40 2653.30 2700.99 2013.40 1333.90 1181.40 877.00 751.90 2081.70 2402.70 3390.00246.65 240.24 265.33 270.10 201.34 133.39 118.14 87.70 75.19 208.17 240.27 339.00
JumlahRata-rata
15
Tabel 2. Curah hujan 2006-‐2015 di Palangkaraya urut dengan metode Weibull
Gambar 4. Curah hujan andalan 80% berdasarkan metode Weibull berdasarkan data 2006-‐2016 di Palangkaraya
3.1.2. Analisis Tinggi Muka Air Tanah
Analisisis perubahan tinggi muka air tanah dilakukan dengan
menggunakan data sekunder dari hasil pemantauan air tanah di Taman
Nasional Sebangau. Tinggi rendahnya muka air tanah sangat depengaruhi oleh
besar kecilnya curah hujan, semakin tinggi curah hujan maka air tanah akan
semakin tinggi dan sebaliknya, adapun hubungan antara curah hujan dan air
tanah di salah satu stasiun pemantauan air tanah di Bangah tahun 2011 tersaji
pada Gambar 5.
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Ch Urut P Weibull1 189.60 207.30 168.80 248.60 114.80 141.00 119.10 8.00 32.00 3.00 37.50 407.10 1676.80 0.092 223.40 286.40 290.10 210.80 193.40 140.30 40.70 11.00 0.00 80.50 238.60 261.60 1976.80 0.183 213.90 222.60 267.50 204.70 177.10 6.70 23.40 37.50 33.40 197.80 165.20 443.90 1993.70 0.274 266.00 66.30 357.00 156.69 82.50 124.50 66.80 152.20 23.40 199.90 317.10 418.00 2230.39 0.365 258.50 200.00 295.40 209.50 190.10 72.90 257.90 63.60 33.60 170.10 274.60 300.10 2326.30 0.456 160.60 111.40 191.30 337.00 406.40 219.60 86.00 58.30 0.00 236.70 233.00 406.40 2446.70 0.557 237.80 186.90 339.50 259.70 144.30 60.10 109.20 10.00 161.40 272.00 341.00 428.00 2549.90 0.648 230.00 508.60 170.80 261.30 168.70 102.70 150.80 150.90 132.10 212.50 319.10 267.40 2674.90 0.739 316.60 265.40 267.90 388.60 280.50 257.60 117.10 101.80 56.50 255.40 223.30 217.80 2748.50 0.82
10 370.10 347.50 305.00 424.10 255.60 208.50 210.40 283.70 279.50 453.80 253.30 239.70 3631.20 0.91
No Bulan
16
Gambar 5. Hubungan curah hujan andalan 80% dan tinggi muka air tanah di
lokasi Bangah, Sebangau (2011)
Gambar 5 menyajikan air tanah yang semakin menurun seiring dengan
menurunnya curah hujan pada setiap bulannya, sampai mencapai defisit mulai
Juli hingga Oktober. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan curah hujan
secara langsung akan berdampak pada penurunan tinggi muka air tanah dan
tinggi muka air tanah akan kembali mengalami kenaikan seiring dengan
meningkatnya curah hujan. Sebagaimana bisa dilihat pada bulan Oktober –
Desember, air tanah mengalami kenaikan dengan meningkatnya curah hujan
pada bulan tersebut.
Perubahan tinggi muka air tanah berdasarkan hasil pemantauan air tanah
di TNS pada beberapa stasiun pemantauan yaitu stasiun SSI (SSIC.1.A.L1),
stasiun Bakung (BR1.25.A.L.3), stasiun Bangah (B.2.A.L.1), dan stasiun Bulan
(BR1.25.A.L.1), disajikan pada Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9.
Stasiun SSI memiliki data paling lengkap dari tahun 2006 – 2015. Gambar
6 menunjukkan perubahan tinggi muka air tanah pada tahun 2006 hingga tahun
2015, kecuali tahun 2013 karena ketidakadaan data. Pada tahun 2006 tinggi
muka air tanah berada pada level terendah yaitu -‐154, sedangkan pada tahun-‐
tahun berikutnya level terendah muka air tanah berada pada level -‐50, hal ini
mengindikasikan bahwa dengan adanya penabatan yang di mulai sejak tahun
2006 terjadi peningkatan tinggi muka air tanah disekitar lokasi tersebut.
17
Gambar 6. Perubahan tinggi muka air tanah stasiun SSI (SSIC.1.A.L1)
Gambar 7. Perubahan tinggi muka air tanah Stasiun Bakung (BR1.25.A.L.3), Sebangau
Data perubahan tinggi muka air tanah yang tersedia di Stasiun Bakung,
Sebangau yaitu hanya pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun tersebut rata-‐rata
nilai tinggi muka air tanah bernilai negatif dengan titik terendah terjadi pada
September 2014 yaitu -‐52, sedangkan titik tertinggi terjadi pada Maret 2014
sebesar +9,5 (Gambar 7). Adanya perbedaan pola perubahan tinggi muka air
18
tanah antara di SSI dan Bakung bisa disebabkan karena perbedaan distribusi
curah hujan di kedua lokasi tersebut.
Data perubahan tinggi muka air tanah yang tersedia di stasiun Rasau
(R.10.A.L.1) yaitu pada tahun 2011, 2012 dan 2015 itupun tidak lengkap setiap
bulannya. Pada Gambar 8 terlihat tinggi muka air tanah bernilai positif tetapi
semakin menurun pada bulan-‐bulan berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
intesitas hujan diwilayah tersebut juga semakin menurun.
Gambar 8. Perubahan tinggi muka air tanah stasiun Rasau (R.10.A.L.1), Sebangau
Gambar 9 menyajikan perubahan tinggi muka air tanah di stasiun
Bangah (B.2.A.L.1), Sebangau. Level terendah tinggi muka air tanah terjadi pada
bulan April 2012 yaitu -‐93, sedangkan level tertinggi terjadi pada bulan Maret
2010 yaitu sebesar +170. Adanya perbedaan pola tinggi muka air di masing-‐
masing bulan walaupun pada lokasi yang sama dapat disebabkan karena adanya
perbedaan intensitas curah hujan pada tahun yang berbeda.
Perubahan tinggi muka air tanah di stasiun Bulan (BR1.25.A.L.1),
Katingan, dari tahun 2014-‐2015 bernilai negatif sedangkan nilai positif hanya
terjadi pada bulan Februari-‐Maret tahun 2013 (Gambar 10). Tinggi muka air
tanah di stasiun Bulan yang negatif memberikan indikasi bahwa pasokan air
diwilayah tersebut relatif kecil sehingga tidak mampu meningkatkan level muka
air hingga mencapai permukaan dan menjadi bernilai positif.
19
Gambar 9. Perubahan tingi muka air tanah stasiun Bangah (B.2.A.L.1)
Gambar 10. Perubahan tinggi muka air tanah di stasiun Bulan (BR1.25.A.L.1),
Katingan
Berdasarkan gambaran tinggi muka air tanah di beberapa stasiun
pemantauan di kawasan DAS Sebangau dan DAS Katingan tersebut terlihat
bahwa stasiun SSI memiliki data paling lengkap sejak tahun 2006 hingga tahun
2015. Berdasarkan data di stasiun SSI tersebut tergambarkan bahwa tinggi
muka air cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 tinggi
muka air tanah berada pada level terendah yaitu -‐154, tetapi pada tahun-‐tahun
berikutnya level terendah terus meningkat dari level -‐50 dan level yang lebih
tinggi lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya penabatan yang di
20
mulai sejak tahun 2006 telah terjadi peningkatan tinggi muka air tanah
sebagaimana diharapkan.
3.1.3. Neraca Air
Data curah hujan digunakan untuk menganalisis neraca air, sementara
data evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan perangkat lunak
(software) “cropwarth”. Persamaan neraca air menggambarkan prinsip bahwa
selama selang waktu tertentu, masukan air total pada suatu ruang tertentu
harus sama dengan keluaran total ditambah perubahan bersih cadangan. Dalam
perhitungan neraca air, penentuan jenis masukan dan keluaran air disesuaikan
dengan ruang lingkup dimana neraca air akan dianalisis, dalam hal ini pada
suatu daerah tangkapan (Thornthwaite and Mather, 1957). Adapun hasil
perhitungan neraca air di Taman Nasional Sebangau tersaji pada Tabel 3 dan
Gambar 11.
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa terjadi defisit air pada bulan Juli-‐
Agustus-‐September, sedangkan pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei,
Juni, Oktober, November, dan Desember terjadi surplus atau kelebihan air
(Gambar 11). Defisit air terjadi dikarenakan pada bulan-‐bulan tersebut curah
hujan relatif rendah. Adanya defisit air dapat berakibat pada penurunan air
tanah, sehingga diperlukan suatu upaya untuk mempertahankan tinggi muka air
selama mungkin. Pemasangan tabat (dam) pada kanal-‐kanal di beberapa sub-‐
cachment hulu Sungai Sebangau, Sungai Bakung, Sungai Rasau, Sungai Bangah
dan Sungai Bulan adalah merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan
tinggi muka air tersebut.
Tabel 3. Perhitungan neraca air di Taman Nasional Sebangau
21
Gambar 11. Surplus dan defisit air di kawasan Taman Nasional Sebangau berdasarkan data curah hujan dan evapotranspirasi 2006-‐2015
3.2. Kualitas Air dan Lingkungan Perairan
3.2.1. DAS Sebangau Kualitas Air
Hasil pengamatan kualitas air Sungai Sebangau pada survei pertama Januari
2017 dan survei kedua Juni 2017, disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Secara
umum dapat dikatakan bahwa kondisi kualitas air Sungai Sebangau dicirikan
oleh tingkat pH yang rendah (asam), kandungan oksigen terlarut rendah, dan
kandungan bahan organik (BOD dan COD) yang tinggi. Hal-‐hal tersebut adalah
karakteristik dari perairan di kawasan gambut, di samping warna air yang
coklat kehitaman (air hitam) tetapi cukup jernih. Selain itu, nampak beberapa
parameter yang melebihi baku mutu air kelas II (peruntukan rekreasi air) dan
kelas III (peruntukan perikanan), seperti boron (B), kadmium (Cd), tembaga
(Cu), timah hitam (Pb), kobalt (Co), krom heksavalen (Cr6+), dan seng (Zn). Juga
terdeteksi adanya khlorin bebas yang melebihi baku mutu di titik observasi
Kereng Bangkirai (Tabel 4).
Kondisi kualtas air Sungai Sebangau dan anak sungainya pada survei
kedua Juni 2017, dalam beberapa hal tidak jauh berbeda tetapi agak lebih baik
daripada pengamatan sebelumnya. Sebagaimana pengamatan sebelumnya, nilai
pH perairan tergolong rendah (asam) berkisar 3-‐3,6 (Gambar 12), demikian
22
juga kandungan oksigen yang rendah pada kisaran 2,3-‐4,3 mg/L (Gambar 13).
Selain itu, kandungan bahan organik tergolong tinggi yang digambarkan oleh
nilai BOD dan COD (Gambar 14) yang melebihi baku mutu, baik untuk
peruntukan wisata air (Kelas II) maupun peruntukan budidaya ikan (Kelas III).
Parameter-‐parameter kualitas air lainnya, baik di Sungai Sebangau maupun di
anak-‐anak sungainya (S. Rasau atau S. Bangah) tergolong baik atau memenuhi
baku air Kelas II dan Kelas III (Tabel 5). Dibanding pengamatan sebelumnya,
kondisi kualitas perairan S. Sebangau pada bulan Juni 2017 ini relatif lebih baik.
Hal ini kemungkinan karena kondisi sungai yang tergolong sedang “banjir”
karena tambahan dari hujan yang terjadi pada hari-‐hari sebelumnya, sehingga
cenderung mengencerkan kandungan bahan dalam air sungai.
Gambar 12. Nilai pH air sungai dan anak sungai Sebangau pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017
Gambar 13. Kandungan oksigen (DO) dalam air sungai dan anak sungai
Sebangau pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017
23
Gambar 14. Nilai BOD dan COD air sungai dan anak sungai Sebangau pada
Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017
Komposisi dan Keanekaragaman Biota Plankton
Komposisi fitoplankton di Sungai Sebangau terdiri atas kelompok
Chlorophyceae, Bacilariophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae dan
Dinophyceae dengan jumlah taksa mencapai 14 genera (Lampiran 1). Jumlah
taksa tertinggi di lokasi Kereng Bangkirai dan cenderung menurun ke arah hilir.
Kelimpahan tertinggi dijumpai di lokasi Muara Bangah sebelum bertemu
dengan sungai utama S. Sebangau yang mencapai 114.044 sel/m3 (Gambar 15).
Nilai keragaman (keanekaragaman) fitoplankton tergolong sedang (1,13 – 2,00)
dengan indeks dominansi yang rendah, berkisar 0,17 – 0,45 (Gambar 16). Hal
ini menunjukkan bahwa pada perairan gambut dengan warna air kehitaman
dan pH yang rendah, kondisi keanekaragaman fitoplankton tergolong cukup
baik tanpa adanya jenis atau genus tertentu yang mendominasi.
24
Tabel 4. Kualitas air di sungai dan anak sungai Sebangau pada Januari 2017
P.7486-5 P.7486-7 P.7486-6 P.7486-2 P.7486-1 P.7486-4 P.7486-3
Kls II Kls III
I FISIKASuhu Permukaan 28,1 29,1 29,2 33,0 28,9 29,8 29,6Suhu 1 meter 28,2 28,8 29,2 29,5 27,8 29,6 29,2DHL Permukaan 51,8 65,9 58,7 69,8 69,5 199,8 312,6DHL 1 meter 52,1 69,1 59,6 67,4 63,5 164,7 311,9
3 Kecerahan cm - 20 12 31 60 100 20 12 (-) (-)4 Kecepatan Arus m/dt - - 2,5 - - - 6,5 2,9 (-) (-)5 TSS mg/L 8 18 <8 10 8 <8 92 72 50 4006 TDS mg/L 10 24 32 28 32 32 92 144 1000 1000
II KIMIApH Permukaan 6,12 3,67 3,75 3,64 4,12 3,56 3,63pH 1 meter 6,12 3,64 3,74 3,65 4,11 3,66 3,67DO Permukaan 4,8 3,4 3,5 2,4 4,6 1,6 2,3DO 1 meter 4,8 1,9 3,1 1,9 3,2 1,4 2,2
3 BOD5 mg/L 0,79 8,00 10,40 10,80 4,80 8,00 12,40 12,00 3 64 COD mg/L 4,37/R 68,62 72,48 71,62 54,02 63,47 61,75 64,32 25 505 Total Fosfat mg/L 0,005 0,324 0,036 0,062 0,045 0,043 0,054 0,158 0,2 16 Amonia (NH3-N) mg/L 0,005 0,460 0,042 0,080 0,088 0,084 0,074 0,355 (-) (-)7 Nitrat (NO3-N) mg/L 0,050 0,366 0,452 0,368 0,132 0,352 0,433 0,092 10 208 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,005 0,047 0,028 0,048 0,036 0,037 <0,005 <0,005 0,06 0,069 Sulfat (SO4) mg/L 0,50/R 3,13 4,29 6,14 4,87 4,95 33,85 42,70 (-) (-)
10 Khlorida (Cl) mg/L 4,00 8,51 - - 11,34 15,60 0,0159 0,0106 (-) (-)11 Arsen (As) mg/L 0,0001 0,0128 0,0204 0,0156 0,0100 0,0132 0,028 <0,005 1 112 Kobalt (Co) mg/L 0,005 <0,005 0,058 0,035 0,046 <0,005 2,187 0,611 0,2 0,213 Barium (Ba) mg/L 0,007 1,617 1,273 2,035 0,520 1,029 1,875 2,346 (-) (-)14 Boron (B) mg/L 0,010 2,185 1,932 1,319 2,917 0,778 0,0019 0,0019 1 115 Selenium (Se) mg/L 0,0001 0,0026 0,0022 0,0020 0,0019 0,0012 0,026 0,021 0,05 0,0516 Kadmium (Cd) mg/L 0,002 0,019 0,025 0,021 0,018 0,020 0,040 0,020 0,01 0,0117 Khrom Heksavalen Cr6+) mg/L 0,001 <0,001 - - <0,001 <0,001 1,080 0,936 0,05 0,0518 Tembaga (Cu) mg/L 0,005 0,051 0,021 0,042 0,036 0,028 0,050 0,037 0,02 0,0219 Besi (Fe) mg/L 0,050 0,541 0,509 0,843 0,755 0,815 0,091 0,486 (-) (-)20 Timah Hitam (Pb) mg/L 0,008 0,042 0,039 0,040 0,031 0,035 0,0001 0,0001 0,03 0,0321 Mangan (Mn) mg/L 0,005 0,024 0,012 0,018 0,010 0,032 <0,005 0,017 (-) (-)22 Air Raksa (Hg) mg/L 0,0001 0,0001 0,0002 0,0001 <0,0001 <0,0001 0,247 0,615 0,002 0,00223 Seng (Zn) mg/L 0,005 0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,036 14,18 18,43 0,05 0,0524 Sianida (CN) mg/L 0,001 0,002 - - 0,002 0,002 - - 0,02 0,0225 Fluorida (F) mg/L 0,010 0,495 0,071 0,137 0,143 0,330 - - 1,5 1,526 Khlorin (Cl2) bebas mg/L 0,010 0,140 - - 0,020 0,020 - - 0,03 0,0327 Sulfida (H2S) mg/L 0,001 <0,001 - - <0,001 <0,001 - - 0,002 0,00228 Minyak dan Lemak mg/L 1 <1 - - <1 <1 - - 1 129 Deterjen mg/L 0,025 0,052 - - 0,050 0,050 - - 0,2 0,230 Fenol mg/L 0,0005 <0,0005 - - <0,0005 <0,0005 - - 0,001 0,001III MIKRO BIOLOGI
1 Total Coliform MPN/100mL 0 1600 120 27 1600 170 14 540 5000 100002 Fecal Coli MPN/100mL 0 920 94 22 350 170 14 47 1000 2000
*) Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
1 - - 6 - 9 6 - 9
2 mg/L - 4 3
dev. 3 dev. 3
2 µs/cm 0 (-) (-)
SBG 3Muara
S.Rasau
SBG 4Muara
Bangah
SBG 5Paduran
Alam
SBG 7Muara
Lumpur
1 oC -
No. Parameter Satuan DLBaku Mutu AirSBG 1
Kereng Bangkirai
SBG 2Bakung
SBG 6Garung
25
Tabel 5. Kualitas air di sungai dan anak sungai Sebangau pada Juni 2017
P.7666-1 P.7666-2 P.7666-3 P.7666-4 P.7666-5
Kls II Kls III
I FISIKASuhu Permukaan 29,4 29,7 29,7 29,2 28,3Suhu 1,5 meter 28,3 29,3 29,5 28,1 28,2DHL Permukaan 56,2 70,1 63,9 64,5 229,5DHL 1,5 meter 50,3 69,2 63,5 64,8 229,8
3 Kecerahan cm 49 78 56 58 13 (-) (-)
4 Kecepatan Arus m/dt - - lambat - - (-) (-)
5 TSS mg/L 50 <8 <8 <8 17 50 4006 TDS mg/L 32 30 30 32 112 1000 1000
II KIMIApH Permukaan 3,64 3,35 3,31 3,55 3,01pH 1,5 meter 3,17 3,41 3,56 3,44 3,02DO Permukaan 2,7 3,4 2,8 2,3 3,8DO 1,5 meter 4,3 3,7 3,2 2,3 3,5
3 BOD5 mg/L 10,40 9,60 10,20 8,80 6,20 3 6
4 COD mg/L 89,23 89,23 87,94 86,22 87,08 25 505 Total Fosfat mg/L 0,266 0,022 0,019 0,025 0,009 0,2 1
6 Amonia (NH3-N) mg/L 0,143 0,680 0,062 0,074 0,238 (-) (-)
7 Nitrat (NO3-N) mg/L 0,892 0,368 0,360 0,372 0,117 10 20
8 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,046 0,035 0,040 0,038 0,010 0,06 0,06
9 Sulfat (SO4) mg/L 4,78 6,82 7,71 7,74 9,95 (-) (-)
10 Khlorida (Cl) mg/L 6,00 5,00 5,40 6,00 4,00 (-) (-)11 Arsen (As) mg/L 0,0074 0,0162 0,0176 0,0190 0,0212 1 112 Kobalt (Co) mg/L 0,018 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,2 0,213 Barium (Ba) mg/L 0,165 0,157 0,155 0,185 0,185 (-) (-)14 Boron (B) mg/L 0,287 0,249 0,195 0,202 0,212 1 115 Selenium (Se) mg/L 0,0016 0,0016 0,0012 0,0016 0,0015 0,05 0,0516 Kadmium (Cd) mg/L <0,002 <0,002 <0,002 <0,002 <0,002 0,01 0,01
17 Khrom Heksavalen Cr6+) mg/L <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,05 0,05
18 Tembaga (Cu) mg/L <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,02 0,0219 Besi (Fe) mg/L 0,453 0,486 0,564 0,513 0,309 (-) (-)20 Timah Hitam (Pb) mg/L <0,008 <0,008 0,024 0,053 0,019 0,03 0,0321 Mangan (Mn) mg/L 0,007 0,006 <0,005 <0,005 0,075 (-) (-)22 Air Raksa (Hg) mg/L 0,0002 0,0004 0,0002 0,0003 0,0003 0,002 0,00223 Seng (Zn) mg/L 0,011 0,008 0,018 <0,005 0,080 0,05 0,0524 Sianida (CN) mg/L 0,008 0,006 0,007 0,007 0,008 0,02 0,0225 Fluorida (F) mg/L 0,132 0,473 0,159 0,044 0,522 1,5 1,5
26 Khlorin (Cl2) bebas mg/L 0,020 0,030 0,020 0,020 0,020 0,03 0,03
27 Sulfida (H2S) mg/L <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,002 0,002
28 Minyak dan Lemak mg/L <1 <1 <1 <1 <1 1 129 Deterjen mg/L 0,060 0,075 0,084 0,096 0,082 0,2 0,230 Fenol mg/L <0,0005 <0,0005 <0,0005 <0,0005 <0,0005 0,001 0,001
III MIKRO BIOLOGI1 Total Coliform MPN/100mL 220 7 0 23 350 5000 100002 Fecal Coli MPN/100mL 40 7 0 23 350 1000 2000
**) : Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
dev. 3
No. Parameter Satuan SBG 1 Kereng
Bangkirai
SBG 2 Bakung
SBG 3 Muara
S. Rasau
1 oC
SBG 4 Muara
Bangah
Baku Mutu AirSBG 5 Paduran
Alam
2 mg/L 4 3
1 - 6 - 9 6 - 9
dev. 3
2 µS/cm (-) (-)
26
Gambar 15. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) fitoplankton di Sungai
Sebangau
Gambar 16. Kondisi struktur komunitas fitoplankton yang digambarkan oleh indeks keragaman, indeks dominansi, dan jumlah taksa (genus) fitoplankton di Sungai Sebangau
Biota zooplankton terdiri atas kelompok protozoa, rotifer, dan crustacea
dengan jumlah taksa yang sangat terbatas. Di setiap lokasi pengamatan hanya
dijumpai 1-‐2 taksa saja, dengan kelimpahan yang juga tergolong rendah,
berkisar 90-‐376 ind/m3 (Gambar 17, Lampiran 2). Berkaitan dengan jumlah
jenis yang terbatas tersebut, maka keanekaragaman zooplankton tergolong
27
sangat rendah dan tidak terjadi dominansi spesies tertentu (Gambar 18).
Kalaupun terdapat indeks dominansi yang bernilai 1, hal ini karena hanya satu
jenis (genus) zooplankton yang ditemukan di lokasi tersebut.
Gambar 17. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) zooplankton di Sungai
Sebangau
Gambar 18. Indeks keragaman, indeks dominansi, dan jumlah taksa (genus)
zooplankton di Sungai Sebangau
28
Kualitas sedimen
Tekstur sedimen S. Sebangau pada umumnya sangat halus sehingga debu sangat
dominan mencapai 84-‐94 %, sisanya berupa liat, pasir hanya dijumpai di lokasi
Bakung (1%) (Gambar 19). Kandungan bahan organik sedimen juga tergolong
rendah, berkisar 4,03-‐5,52 %. Sedimen tergolong asam, sebagaimana sedimen
perairan gambut pada umumnya, yakni dengan nilai pH berkisar 5,76-‐6,11
(Gambar 20).
Gambar 19. Tekstur sedimen Sungai Sebangau di beberapa lokasi yang dominan debu berliat
29
Gambar 20. Kandungan organik dan pH sedimen Sungai Sebangau di beberapa
lokasi
3.2.2. DAS Katingan
Kondisi kualitas air Sungai Katingan pada survei pertama (Januari 2017)
disajikan pada Tabel 6. Kualitas air Sungai Katingan nampak lebih keruh dengan
TSS yang tergolong tinggi di beberapa lokasi. Kandungan bahan organik (BOD
dan COD) pada umumnya juga masih tergolong tinggi. Sementara di badan
sungai Katingan pada umumnya kondisi pH mendekati netral dengan
kandungan oksigen terlarut yang cukup baik, kecuali di bagian anak sungai
yakni di S. Bulan (Tumbang Bulan) yang kadar oksigennya tergolong rendah
dengan pH yang juga rendah (asam). Terlihat juga kandungan boron (B) dan
timah hitam (Pb) yang melebihi baku mutu, juga khlorin bebas yang melebihi
baku mutu di lokasi Tumbang Bulan dan Perigi. Pada bagian hulu, yakni di Asem
Kumbang, Baun Bungo, dan Telaga, terdeteksi adanya bakteri coli yang cukup
tinggi yang mengindikasikan adanya kontaminasi dari pemukiman (Tabel 7).
Kualitas air S. Katingan pada survei kedua (Juni 2017) (Tabel 4) juga
nampak lebih baik daripada kondisi kualitas air sebelumnya (Januari 2017).
Pada umumnya kandungan beberapa parameter yang sebelumnya tergolong
tinggi, seperti boron, timah hitam (Pb), khlorin bebas, dan bakteri coli, pada
pengamatan ini tergolong baik atau memenuhi baku mutu, baik baku mutu air
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
Kr Bangkirai Bakung Rasau Mu Bangah Padr Alam
4,22 4,19 4,08 4,03
5,52 5,76 6,11
5,76 5,82 5,93
Kandungan organik dan pH sedimen
C-‐Organik (%) pH
30
Kelas II maupun Kelas III (Tabel 8). Tetapi pada sisi lain terjadi penurunan pH
(Gambar 21) dan kandungan oksigen perairan (Gambar 22) dan terjadi
peningkatan bahan organik yang digambarkan oleh meningkatnya nilai BOD
dan COD (Gambar 23). Hal ini diduga juga karena pengaruh tingginya curah
hujan pada hari atau minggu sebelumnya, yang membawa air hitam dari anak-‐
anak sungai di bagian hulunya, sehingga pH dan DO menurun dan BOD dan COD
meningkat, tetapi bersamaan dengan itu mengencerkan perairan secara
keseluruhan sehingga konsentrasinya menjadi rendah.
Gambar 21. Nilai pH air sungai dan anak sungai Katingan pada Januari (kiri)
dan Juni (kanan) 2017
Gambar 22. Kandungan oksigen (DO) dalam air sungai dan anak sungai Katingan pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017
Komposisi dan Keanekaragaman Biota Plankton
Komposisi fitoplankton di Sungai Katingan juga terdiri atas kelompok
Cyanophyceae, Chlorophyceae, dan Bacilariophyceae, juga dijumpai
Euglenophyceae dan Dinophyceae dengan jumlah taksa mencapai 23 genus
(Lampiran 3). Jumlah taksa berkisar 8-‐10 taksa di setiap stasiun, kecuali di
31
Stasiun Perigi di bagian hilir yang mencapai 13 genera. Kelimpahan fitoplankton
berkisar 3.211-‐114.044 sel/m3, kelimpahan tertinggi juga dijumpai di lokasi
Perigi (Gambar 24). Nilai keragaman (keanekaragaman) fitoplankton tergolong
sedang (0,83 – 1,89) dengan indeks dominansi yang rendah, berkisar 0,18 – 0,65
(Gambar 25). Keanekaragaman fitoplankton di S. Katingan ini tidak jauh
berbeda dengan di S. Sebangau, walaupun terlihat S. Katingan memiliki jumlah
taksa (genus) yang agak lebih banyak. Komposisi fitoplankton tergolong cukup
baik tanpa adanya jenis atau genus tertentu yang mendominasi.
Gambar 23. Nilai BOD dan COD air sungai dan anak sungai Katingan pada Januari (kiri) dan Juni (kanan) 2017
Zooplankton di S. Katingan terdiri atas kelompok rotifer, crustacea dan
protozoa dengan jumlah taksa yang sangat terbatas sebagaimana di S. Sebangau.
Di setiap lokasi pengamatan hanya dijumpai 1-‐2 taksa saja, dengan kelimpahan
yang juga tergolong rendah walaupun sedikit lebih besar daripada di S.
Sebangau, yaitu berkisar 180-‐692 ind/m3 (Gambar 26, Lampiran 4). Berkaitan
dengan jumlah jenis yang terbatas tersebut, maka keanekaragaman
zooplankton di S. Katingan juga tergolong sangat rendah dan tidak terjadi
dominansi spesies tertentu (Gambar 27). Kalaupun terdapat indeks dominansi
yang bernilai 1, hal ini karena hanya satu jenis (genus) zooplankton yang
ditemukan di lokasi tersebut.
32
Tabel 6. Kualitas air di sungai dan anak sungai Katingan pada Januari 2017
P.7486-12 P.7486-11 P.7486-10 P.7486-8 P.7486-9
Kls II Kls III
I FISIKASuhu Permukaan 27,3 27,3 28,3 29,1 29,1Suhu 1 meter 27,3 27,4 28,3 28,4 28,9DHL Permukaan 19,9 20,2 20,5 75,2 22,2DHL 1 meter 19,9 20,2 20,5 80,1 22,4
3 Kecerahan cm - 23 25 20 54 23 (-) (-)4 Kecepatan Arus m/dt - - - - 3,2 7,0 (-) (-)5 TSS mg/L 8 38 87 58 8 87 50 4006 TDS mg/L 10 10 22 12 40 10 1000 1000
II KIMIApH Permukaan 6,45 6,37 6,35 3,62 6,22pH 1 meter 6,46 6,32 6,3 3,61 6,25DO Permukaan 5,6 5,9 5,7 2,4 4,8DO 1 meter 5,5 5,6 5,6 1,2 4,7
3 BOD5 mg/L 0,79 6,20 6,00 6,40 10,00 7,00 3 64 COD mg/L 4,37/R 46,72 48,87 50,59 60,03 56,17 25 505 Total Fosfat mg/L 0,005 0,127 0,129 0,111 0,049 0,129 0,2 16 Amonia (NH3-N) mg/L 0,005 0,022 0,027 0,020 0,056 0,023 (-) (-)7 Nitrat (NO3-N) mg/L 0,050 0,118 0,144 0,370 0,123 0,132 10 208 Nitrit (NO2-N) mg/L 0,005 0,010 <0,005 0,006 0,047 0,006 0,06 0,069 Sulfat (SO4) mg/L 10,00/T 12,56 12,85 12,17 6,82 2,52 (-) (-)
10 Khlorida (Cl) mg/L 4,00 9,93 15,60 9,93 9,93 9,93 (-) (-)11 Arsen (As) mg/L 0,0001 0,0186 0,0222 0,0193 0,0184 0,0177 1 112 Kobalt (Co) mg/L 0,005 <0,005 0,007 0,022 0,035 0,042 0,2 0,213 Barium (Ba) mg/L 0,007 2,111 0,997 1,871 1,103 0,109 (-) (-)14 Boron (B) mg/L 0,010 2,726 1,477 2,592 1,428 0,587 1 115 Selenium (Se) mg/L 0,0001 0,0030 0,0028 0,0028 0,0028 0,0025 0,05 0,0516 Kadmium (Cd) mg/L 0,002 0,023 0,024 0,020 0,020 0,022 0,01 0,0117 Khrom Heksavalen (Cr6+) mg/L 0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,05 0,0518 Tembaga (Cu) mg/L 0,005 0,043 0,018 0,059 0,022 0,063 0,02 0,0219 Besi (Fe) mg/L 0,050 0,170 0,179 0,188 0,885 0,286 (-) (-)20 Timah Hitam (Pb) mg/L 0,008 0,041 0,039 0,038 0,036 0,040 0,03 0,0321 Mangan (Mn) mg/L 0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,020 (-) (-)22 Air Raksa (Hg) mg/L 0,0001 0,0001 0,0001 <0,0001 0,0001 0,0001 0,002 0,00223 Seng (Zn) mg/L 0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,008 <0,005 0,05 0,0524 Sianida (CN) mg/L 0,001 0,004 0,004 0,004 0,002 0,002 0,02 0,0225 Fluorida (F) mg/L 0,010 0,549 0,143 0,451 0,071 0,456 1,5 1,526 Khlorin (Cl2) bebas mg/L 0,010 0,020 0,030 0,030 0,110 0,040 0,03 0,0327 Sulfida (H2S) mg/L 0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,002 0,00228 Minyak dan Lemak mg/L 1 <1 <1 <1 <1 <1 1 129 Deterjen mg/L 0,025 0,080 0,084 0,085 0,050 0,060 0,2 0,230 Fenol mg/L 0,0005 <0,0005 <0,0005 <0,0005 <0,0005 <0,0005 0,001 0,001III MIKRO BIOLOGI
1 Total Coliform MPN/100mL 0 16000 3500 160000 350 140 5000 100002 Fecal Coli MPN/100mL 0 16000 3500 160000 280 110 1000 2000
*) Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
2 mg/L - 4 3
1 - - 6 - 9 6 - 9
2 µs/cm 0 (-) (-)
dev. 3
KTG 2Baun Bungo
KTG 3Telaga
(S.Klaru,Muara)
1 oC - dev. 3
No. Parameter Satuan DLKTG 4
Tumbang Bulan (Hilir
S.Bulan)
KTG 5S.Katingan
di Perigi
Baku Mutu AirKTG 1Asem
Kumbang
33
Tabel 7. Kualitas air di sungai dan anak sungai Katingan pada Juni 2017
P.7666-6 P.7666-7 P.7666-8 P.7666-9 P.7666-10
Kls II Kls III
FISIKASuhu Permukaan 28,2 27,6 27,9 28,1 28,3Suhu 1 meter 27 27,5 27,8 27,9 28,3DHL Permukaan 18,6 18,3 14,7 5,9 17,7DHL 1 meter 15,3 18,1 14,5 67,7 17,6Kecerahan cm 45 38 71 60 77 (-) (-)
Kecepatan Arus m/dt 21,2 6,9 - 1,8 10,4 (-) (-)
TSS mg/L <8 12 <8 <8 10 50 400
TDS mg/L 10 10 <10 30 10 1000 1000KIMIApH Permukaan 4,11 5,01 5,35 3,29 4,57pH 1 meter 4,86 5,11 5,31 3,05 5,07DO Permukaan 3,4 6,5 3,3 4 4,3DO 1 meter 4,2 7,4 2,9 3,3 5,6BOD5 mg/L 9,20 6,00 5,80 10,00 6,20 3 6
COD mg/L 82,36 50,16 53,16 85,79 62,61 25 50Total Fosfat mg/L 0,017 0,035 0,013 0,009 0,023 0,2 1
Amonia (NH3-N) mg/L 0,079 0,053 0,097 0,128 0,155 (-) (-)
Nitrat (NO3-N) mg/L 0,202 0,127 0,097 0,389 0,131 10 20
Nitrit (NO2-N) mg/L 0,020 0,013 0,011 0,044 0,012 0,06 0,06
Sulfat (SO4) mg/L 1,09 6,84 4,61 9,75 1,36 (-) (-)
Khlorida (Cl) mg/L 5,00 5,00 5,00 5,40 6,40 (-) (-)Arsen (As) mg/L 0,0225 0,0254 0,0284 0,0248 0,0252 1 1Kobalt (Co) mg/L <0,005 0,013 0,007 <0,005 0,022 0,2 0,2Barium (Ba) mg/L 0,156 0,186 0,169 0,135 0,156 (-) (-)Boron (B) mg/L 0,190 0,199 0,215 0,239 0,219 1 1Selenium (Se) mg/L 0,0016 0,0016 0,0019 0,0012 0,0018 0,05 0,05Kadmium (Cd) mg/L <0,002 <0,002 <0,002 <0,002 0,002 0,01 0,01
Khrom Heksavalen (Cr6+) mg/L <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,05 0,05
Tembaga (Cu) mg/L <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,02 0,02Besi (Fe) mg/L 0,425 0,128 0,616 0,657 0,216 (-) (-)Timah Hitam (Pb) mg/L 0,055 0,084 0,045 0,090 0,046 0,03 0,03Mangan (Mn) mg/L 0,008 <0,005 <0,005 <0,005 0,011 (-) (-)Air Raksa (Hg) mg/L 0,0003 0,0002 0,0002 0,0001 0,0002 0,002 0,002Seng (Zn) mg/L <0,005 <0,005 <0,005 0,074 0,008 0,05 0,05Sianida (CN) mg/L 0,006 0,006 0,006 0,005 0,005 0,02 0,02Fluorida (F) mg/L 0,995 1,192 0,049 0,423 0,500 1,5 1,5
Khlorin (Cl2) bebas mg/L 0,020 0,040 0,020 0,030 0,010 0,03 0,03
Sulfida (H2S) mg/L <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,002 0,002
Minyak dan Lemak mg/L <1 <1 <1 <1 <1 1 1Deterjen mg/L 0,094 0,096 0,082 0,084 0,080 0,2 0,2Fenol mg/L <0,0005 <0,0005 <0,0005 <0,0005 <0,0005 0,001 0,001MIKRO BIOLOGITotal Coliform MPN/100mL 0 9 2 0 2 5000 10000Fecal Coli MPN/100mL 0 9 2 0 2 1000 2000: Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Parameter Satuan KTG 5 S. Katingan
di Perigi
Baku MutuKTG 1 Asem
Kumbang
KTG 2 Baun Bango
KTG 3 Telaga (S.Klaru
muara)
oC dev. 3
µS/cm (-) (-)
dev. 3
mg/L 4 3
- 6 - 9 6 - 9
KTG 4 Tumbang Bulan (Hilir S. Bulan)
34
Gambar 24. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) fitoplankton di Sungai
Katingan
Gambar 25. Indeks keragaman dan indeks dominansi fitoplankton di Sungai Katingan
27.872
3.211
62.075
11.992
114.404 9 8
10
8
13
Asem Kumbang
Baun Bango Telaga -‐ S. Klaru
Tumbang Bulan
Perigi 0
2
4
6
8
10
12
14
0
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
Kelim
pahan (sel/m
3 )
Fitoplankton di S. KaPngan Kelimpahan (sel/m3) Jumlah Taksa
1,55
1,89
0,83
1,23 1,38
0,29 0,18
0,65 0,40 0,34
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
Asem Kumbang Baun Bango Telaga -‐ S. Klaru Tumbang Bulan Perigi Inde
ks keragam
an-‐dom
inansi
Fitoplankton di S. KaPngan
Indeks Keragaman Indeks Dominansi
35
Gambar 26. Kelimpahan dan jumlah taksa (genus) zooplankton di Sungai
Katingan
Gambar 27. Indeks keragaman dan indeks dominansi zooplankton di Sungai Katingan
Kualitas sedimen (S. Katingan)
Tekstur sedimen Sungai Katingan tidak berbeda dengan sedimen di S. Sebangau,
yakni dengan tekstur sangat halus sehingga debu sangat dominan mencapai 92-‐
96 %. Selebihnya tekstur sedimen berupa liat, tidak dijumpai tekstur pasir pada
contoh sedimen (Gambar 28). Kandungan bahan organik sedimen juga
401 401
180
692
180
0
1
2
3
4
5
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Asem Kumbang
Baun Bango Telaga -‐ S. Klaru
Tumbang Bulan
Perigi
Jumlah taksa
Kelim
pahan (in
d/m
3 )
zooplankton di S. KaPngan
Kelimpahan (Ind/m3) Jumlah Taksa
0,56 0,69
1,01
0,69 0,63
1,00
0,50 0,39
0,50
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
Asem Kumbang Baun Bango Telaga -‐ S. Klaru Tumbang Bulan Perigi
Inde
ks keragam
an-‐dom
inansi
zooplankton di S. KaPngan
Indeks Keragaman Indeks Dominansi
36
tergolong rendah, berkisar 3,09-‐4,35 %. Sedimen tergolong asam, sebagaimana
sedimen perairan gambut pada umumnya, yakni dengan nilai pH berkisar 5,44-‐
5,91 (Gambar 29).
Gambar 28. Tekstur sedimen Sungai Katingan di beberapa lokasi yang dominan debu
Gambar 29. Kandungan organik dan pH sedimen Sungai Katingan di beberapa lokasi
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Asem Kumbang
Baun Bango Telaga -‐ S. Klaru
Tumbang Bulan
Perigi
3,09
4,12 4,35 3,92 4,21
5,61 5,69 5,88 5,91 5,44
Kandungan organik dan pH sedimen
C-‐Organik (%) pH
37
3.3. Sumberdaya Ikan
3.3.1. Keanekaragaman Jenis Ikan
3.3.1.1. DAS Sebangau
Ekosistem perairan DAS Sebangau karakteristiknya didominasi oleh perairan
rawa gambut, baik anak-‐anak sungainya maupun sungai utamanya. Warna
perairan berwarna coklat teh dengan vegetasi riparian (tanaman yang
berasosiasi dengan sistem sungai) yang khas (Gambar 30). Jenis ikan yang ada
mayoritas adalah ikan-‐ikan hitaman (black fishes).
Gambar 30. Sebagian kondisi perairan sungai kawasan hutan gambut DAS
Sebangau, dengan warna perairan coklat kehitaman dan vegetasi didominasi oleh rasau (Pandanu helico) dan bakung (Crinum asiaticum) (Foto: MM Kamal, 2017)
Jenis ikan yang nilai ekonomisnya tertinggi adalah ikan tapah (Wallago
leeri). Ikan anggota marga Siluridae ini, yakni golongan ikan-‐ikan yang tidak
bersisik dengan sirip dubur bersatu dengan sirip punggung dengan bentuk ekor
yang meruncing, termasuk ikan predator di sungai, yang dicirikan oleh gigi yang
tajam. Panjang tubuhnya dapat mencapai 1,5 m (www.fishbase.org), dan
ukuran yang besar antara 5-‐10 kg masih cukup sering tertangkap. Namun yang
paling sering ditemukan saat ini adalah ikan tapah ukuran antara 0,5 – 2,0 kg
(Gambar 31). Ukuran terbesar yang pernah ditangkap dalam 5 tahun terakhir
adalah antara 30-‐40 kg. Namun ikan tapah yang berukuran besar seperti ini
semakin jarang didapat.
Jenis-‐jenis ikan berikutnya yang tergolong ekonomis penting di DAS
Sebangau adalah ikan dari famili Channidae (kelompok gabus). Tercatat ada 6
jenis dari famili ini, terutama adalah toman (Channa micropeltes), gabus (C.
striata), kerandang (C. pleurophthalma), bujuk (C. lucius), mihau (C.
38
bankanensis), dan peyang (C. marulioides). Hal yang menarik adalah DAS
Sebangau masih memiliki anggota dari genus Channa ini cukup banyak
dibandingkan dengan ekosistem sejenis lainnya yang ada di Sumatera (Gambar
32). Hal ini menandakan kekayaan keanekaragaman jenis untuk marga ini pada
perairan rawa gambut sangat representatif untuk Indonesia.
Gambar 31. Ikan tapah (Walago leeri) yang tertangkap dari stasiun Air Bangah
berukuran 1,5 kg.
Gambar 32. Jenis-‐jenis ikan marga Channidae (kelompok gabus) yang cukup
mendominasi perairan DAS Sebangau.
Kelompok berikutnya adalah ikan-‐ikan yang kelimpahannya tinggi dan
nilai ekonomisnya lebih rendah adalah ikan keli/lele (Clarias meladerma), sepat
Mihau&(Channa%bankanensis)&
Bujuk&(Channa%lucius)&Toman&(Channa%micropeltes)&
Gabus/Haruan&(Channa%striata)&
Kerandang&(Channa%pleurophthalma)& Peyang&(Channa%marulioides)&
39
(Trichopodus trichopterus dan T. pectoralis), betok/papuyu (Anabas
testudineus), biawan (Helostoma temminckii), kepar (Belontia hasseltii), dan
patung (Prostolepis fasciatus). Beberapa jenis ikan lainnya adalah seluang
(Rasbora spp.), cupang rawa (Betta spp.), dan jenis udang air tawar
(Macrobrachium spp.). Hasil studi sebelumnya dilaporkan ada sekitar 35 jenis
ikan di DAS Sebangau, namun jika dieksplor lebih lanjut keanekaragaman ikan
di kawasan ini dapat mencapai 50 – 60 spesies.
3.3.1.2. DAS Katingan
Lingkungan perairan DAS Katingan lebih bervariasi dibandingkan dengan DAS
Sebangau. Anak-‐anak sungai yang alirannya berasal dari dalam kawasan
gambut, memiliki karakteristik lingkungan dan jenis-‐jenis ikan yang sama
dengan DAS Sebangau. Tetapi sungai utamanya yaitu Sungai Katingan yang
berada pada batas bagian barat/luar wilayah hutan gambut memiliki atau
dicirikan oleh vegetasi riparian yang didominasi oleh tanaman keras (Gambar
33).
Gambar 33. Sebagian kondisi perairan DAS Katingan, di mana sungai utamanya
sebagian merupakan transisi perairan gambut dan non-‐gambut (foto kiri), sedangkan anak sungainya masih merupakan perairan hutan gambut (foto kanan).
Jenis-‐jenis ikannya selain ikan hitaman, di DAS Katingan juga ditemukan
ikan-‐ikan putihan (white fishes) yang umumnya mendiami sungai utama.
Keanekaragaman ikan pada anak-‐anak sungai di DAS Katingan diduga lebih
tinggi dengan yang ada di DAS Katingan. Hal ini berdasarkan hasil wawancara
dengan melayan setempat. Beberapa jenis ikan-‐ikan putihan yang sering
ditemukan dan menjadi ikan yang nilai ekonomisnya tinggi adalah ikan belida
40
(Chitala lopis dan Notopterus notopterus), ikan betutu (Oxyeleotris marmorata),
Baung (Hemibagrus nemurus), dan ikan patin sungai (Pangasius spp.) (Gambar
34). Jenis ikan terakhir ini merupakan spesies asli Indonesia, dan statusnya
kalah populer oleh jenis ikan patin Siam/patin Thailand atau dikenal sebagai
patin kolam (Pangasionodon hypophthalmus).
Gambar 34. Beberapa jenis ikan kelompok ikan putihan (white fishes) yang
bernilai ekonomis penting yang ditemukan di sungai utama DAS Katingan.
3.3.2. Karakteristik Bioekologis dan Tingkah Laku Ikan
Ikan-‐ikan yang mendiami habitat sungai dan anak sungai di DAS Sebangau
merupakan ikan-‐ikan yang adaptif terhadap perairan dengan pH rendah. Oleh
sebab itu dibandingkan dengan perairan umum lainnya keanekaragaman jenis
ikan pada kondisi perairan seperti ini umumnya lebih rendah. Rentang wilayah
penyebaran dalam satu kawasan cenderung terbatas. Artinya semua siklus
hidupnya berlangsung dalam area yang berdekatan; dengan kata lain tidak
ditemukan pola migrasi yang jauh. Hal ini berbeda dengan ikan putihan yang
ditemukan di DAS Katingan, di mana mereka menyebar lebih luas.
Beberapa jenis ikan hitaman yang ditemukan pada kedua kawasan DAS
ini memiliki alat pernafasan tambahan (air breathing fishes). Ikan-‐ikan ini
mampu hidup pada kondisi konsentrasi oksigen perairan sangat rendah
dikarenakan mereka mampu menghirup oksigen dari udara langsung. Contoh
Bakut&(Oxyeleotris+marmorata)&Baung&(Hemibagrus+nemurus)&
Pa,n&(Pangasius+sutchi)&Belida&(Chitala+lopis)&
41
yang paling menonjol adalah ikan-‐ikan dari famili Channidae yang memiliki alat
pernafasan tambahan yang disebut diverticula. Adapun ikan keli/lele memiliki
arborescent organ yang berfunsi sama. Jenis ikan lainnya yang juga memiliki
alat pernafasan tambahan adalah ikan sepat, biawan, kaluy, dan cupang. Jenis-‐
jenis ikan anggota dari ordo Labyrinthici ini memiliki alat pernafasan tambahan
yang disebut labyrinth. Alat pernafasan tambahan ini berhubungan langsung
dengan insang dan penggunaannya bersifat opsional, yakni digunakan bilamana
diperlukan (Gambar 35).
Gambar 35. Alat pernafasan beberapa jenis ikan yang habitatnya di perairan
gambut atau rawa yang memiliki alat pernafsan tambahan (air breathing fishes).
Memiliki alat pernafasan tambahan bagi jenis-‐jenis ikan hitaman
merupakan cara untuk mempertahankan keberadaannya dalam menghadapi
kekurangan oksigen di air dan bertahan terhadap kekeringan. Pada saat air
surut hingga titik ekstrim, ikan-‐ikan ini selama badan dan insangnya basah atau
lembab, mereka akan bertahan hidup karena masih bisa bernafas dengan
oksigen dari udara. Selain itu mereka juga akan mampu berpindah dari satu
area yang sudah kering ke area lainnya yang masih ada airnya, dengan cara
“berjalan” dengan menggunakan sirip dadanya. Hal ini sering ditemukan pada
ikan papuyu (Anabas testudineus) dan ikan gabus (Channa spp.). Hal ini
42
menggambarkan bahwa kemampuan mempertahankan eksistensinya
(struggling) ikan-‐ikan yang hidup di kawasan gambut sangat tinggi.
Untuk jenis ikan putihan yang ditemukan di DAS Katingan, kemampuan
seperti di atas tidak ditemukan. Namun ikan-‐ikan tersebut hidup pada rentang
area habitat yang lebih luas dibandingkan dengan ikan hitaman, sehingga
mempertahankan hidup selain beradaptasi terhadap pH rendah juga dengan
memiliki daerah penyebaran dan pergerakan (ruaya) yang lebih luas.
3.3.3. Pola Pergerakan dan keberadaan tabat
Ikan berpindah tempat dengan menggunakan sirip-‐siripnya untuk memenuhi
salah satu siklus hidupnya. Pergerakan ini bisa dilakukan oleh ikan-‐ikan yang
sudah matang kelamin ke daerah pemijahannya (spawning ground), atau anak-‐
anak ikan menuju ke daerah asuhannya (nursery ground), atau menuju perairan
yang menyediakan makanan dan perlindungan yang sangat penting untuk
mempertahankan eksistensi, pertumbuhan, dan perkembangannya.
Skenario pergerakan ikan, khususnya ikan-‐ikan hitaman terkait dengan
keberadaan tabat dapat diilustrasikan pada Gambar 36 di bawah ini.
Gambar 36. Ilustrasi penempatan tabat dalam kanal (warna merah), kondisi permukaan air pada saat musim basah hingga kering (garis putus-‐putus)
- Saat air penuh, ikan dengan mudah berpindah dari satu tabat ke tabat
yang lain (saat musim hujan/banjir);
- Saat air mulai surut (S1), ikan masih memungkinkan untuk berpindah;
pada kondisi tertentu ikan-‐ikan hitaman bisa berpindah dengan cara
loncat atau merayap;
P"P"
S1"
S2"S3"
43
- Pada saat air surut minimal (S2), ikan-‐ikan hitaman akan tumbuh dan
berkembang dalam tabat.
- Saat musim kering ekstrim (S3), ikan-‐ikan hitaman masih dapat bertahan
hidup selama dasar perairan lembab, atau akan berpindah tempat
mencari area yang masih ada airnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keberadaan tabat tidak secara
signifikan menghalangi pola pergerakan ikan-‐ikan hitaman. Selain respon
pergerakan terhadap perbedaan tinggi muka air, alasannya lainnya adalah
sebagai berikut:
1) Daya adaptasi ikan ini terhadap perubahan fluktuasi muka air sangat
tinggi, bahkan pada kondisi kekeringan yang ekstrim dan oksigen yang
rendah, ikan ini masih mampu bertahan hidup;
2) Kemampuan untuk berpindah dari satu kolom air ke kolom air yang lain
sehingga adanya “penghalang” seperti tabat tidak akan mempengaruhi
perpindahannya;
3) Pada saat musim hujan, dimana umumnya ikan-‐ikan air tawar
melakukan pemijahan, permukaan air dalam kawasan gambut akan naik.
Seringkali seluruh kawasan tergenang, sehingga ikan-‐ikan akan dengan
mudah bergerak berpindah tempat sehingga reproduksi tidak akan
terganggu;
3.4. Kondisi Sosial Ekonomi
3.4.1. DAS Sebangau
Peran Sungai Sebangau dalam sistem sosial ekonomi masyarakat
Secara umum, peran sungai sangat penting bagia masyarakat khususnya
disekitar wilayah Sungai Sebangau. Peran ini baik dalam perspektif sosial
maupun ekonomis. Peran sungai bagi masyarakat di DAS Sebangau yang
menjadi wilayah studi, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Sungai menjadi identitas dan modal sosial masyarakat
44
Peran sosial dan ekonomi Sungai Sebangau dapat dibedakan menjadi sungai
utama (batang danum) dan anak sungai. Pada sisi kiri dan kanan batang danum
terdapat beberapa pemukiman penduduk. Pemukiman ini biasanya merupakan
tempat tinggal sementara bagi penduduk yang melakukan pencaharian utama
sebagai nelayan sungai.
Secara sosial, pemukiman ini menjadi penanda dan identitas. Pemukiman
biasanya berada pada persimpangan antara sungai utama (batang danum)
dengan sungai kecil. Pada satu sistem Sungai Sebangau, terdapat 12 titik
pemukiman, 3 wilayah termasuk dalam wilayah Kota Palangka Raya dan 9 titik
termasuk wilayah Kabupaten Tulang Pisau.
Pola pemberian nama didasarkan pada karakteristik lokasi yang dominan dan
mudah dikenal, sehingga menjadi identitas wilayah. Adanya pemukiman
sekaligus juga telah menjadi penanda bahwa wilayah tersebut sudah menjadi
bagian dari hak pengelolaan bagi masyarakat tertentu. Sistem sungai menjadi
modal sosial, dimana dalam penand sungai tersebut juga mengandung identitas
menjadi sistem pemukiman tersendiri dan menjadikan bahwa masyarakat
nelayan di Sungai Sebangau menjadi satu identitas sosial tersendiri.
2. Menggambarkan keterikatan kultural dalam sistem adat dan kekerabatan.
Sebanyak 12 pemukiman sepanjang Sungai Sebangau, merefleksikan
pengelolaan sumberdaya perairan baik untuk sungai utama (batang danum)
maupun anak sungai (sungei) dalam sistem Sungai Sebangau. Setiap satu unit
pengelolaan anak sungai, mempunyai sistem sosial dan kekerabatan sendiri.
Setiap unit pengelola yang berbasis keluarga dan bersifat turun-‐temurun,
mempunyai batas-‐batas wilayah yang telah disepakati. Sebagai penanda adanya
sitem pengelolaan sungai dengan otoritasnya, maka pada setiap pintu masuk
sungai kecil dari batang danum terdapat pemukiman yang menunjukan jumlah
keluarga yang diijinkan untuk memanfaatkan sumberdaya dalam anak sungai
tersebut. Secara sosial, pola ini juga menunjukan adanya sistem adat lokal
berupa kelembagaan lokal Demang yang bersifat non-‐formal dan bersifat pre-‐
emptive system.
45
Secara kultural, sungai mempunyai peran yang penting sehingga zona perairan
yang terdapat dalam sistem DAS Sebangau. Sehingga masyarakar setempat telah
mempunyai terminologi yang khas terkait dengan setiap wilayah dalam
perairan DAS Sebangau, yang secara umum terbagi dalam sistem sungai dan
daerah rendah (rawa). Penamaan ini diduga kuat terkait dengan luas area dan
produktivitas, sehingga sebenarnya bukan hanya menggambarkan nilai kultural
tetapi juga merepresentasikan nilai ekonomis. Nilai kultural ini juga menjadi
asset ekonomi bagi masyarakat setempat.
3. Menjadi penyangga ekonomi masyarakat untuk tidak masuk mengeksploitasi hutan dalam TN Sebangau.
Peran ekonomi sungai bagi masyarakat di sekitar Sungai Sebangau cukup
penting. Walaupun belum terdapat nilai pasti, hasil wawancara dan diskusi
menunjukan peran ini secara signifikan. Hal ini menjadi salah satu penyangga
bagi ekonomi masyarakat, baik masyarakat lokal maupun pendatang yang
melakukan penangkapan sehingga tidak melakukan perambahan hutan di TN
Sebangau. Tingkat ketertarikan pada wilayah Sungai Sebangau tinggi karena
dari sisi ekonomis ikan hasil tangkapan S Sebangau mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan mempunyai nilai kultural yang kuat. Sejalan dengan perkembangan
ekonomi masyarakat, sumber nilai ekonomi ini tidak hanya bertumpu pada pola
eksploitasi sumberdaya yang konvensional seperti penangkapan ikan, tetapi
juga pada jasa-‐jasa lingkungan.
4. Menyerap tenaga kerja dan sumber ekonomi utama keluarga
Penyerapan tenaga kerja baik melalui kegiatan langsung primer (on-‐farm) yaitu
penangkapan, maupun kegiatan sekunder (off-‐farm) sebagai turunan dari
kegiatan primer yaitu pengolahan, distribusi dan pemasaran. Kegiatan
pengolahan ikan, dilakukan oleh nelayan secara langsung oleh nelayan di lokasi
penangkapan (di wilayah hunian/pemukiman yang berdekatan dengan wilayah
penangkapan). Kegiatan distribusi dan pemasaran melibatkan masyarakat
diluar sector on-‐farm. Distribusi hasil penangkapan ikan di sungai bervariasi
mulai dari wilayah pemukiman sekitar sampai dengan distribusi antar kota dan
antar propinsi. Distribusi hasil tangkapan nelayan di Sungai Sebangau
46
memasarkan di wilayah sekitar Kota Palangka Raya dan Kabupaten Pulang
Pisau. Tetapi distribusi hasil tangkapan nelayan di Sungai Katingan bahkan
sampai wilayah Kalimantan Selatan seperti Banjarbaru dan Banjarmasing.
Semua proses bisnis baik dalam kegiatan primer (hulu) maupun pengolahan,
distribusi dan pemasaran (hilir) melibatkan tenaga kerja baik langsung maupun
tidak langsung.
5. Memberikan kontribusi pada Ketahanan dan Kemandirian Pangan sebagai sumber protein yang murah dan mudah diakses.
Ikan termasuk ikan sungai, menjadi salah satu sumber potein hewani yang
mudah dan murah adalah ikan. Bagi masyarakat di sekitar Sebangau, konsumsi
sumber protein yang utama adalah ikan sungai. Hal ini bukan hanya terkait
preferensi konsumsi, tetapi juga faktor ekonomis dan ketersediaan. Sebagian
besar responden menyatakan bahwa konsumsi ikan pada keluarga dilakukan
setiap hari, dengan tingkat konsumsi 1-‐2 kilogram tergantung dengan besaran
keluarga. Sumber protein hewani lainnya seperti ayam dan daging, disamping
lebih mahal juga ketersediaannya yang terbatas. Hal ini karena faktor
transportasi, terutama pada wilayah-‐wilayah dengan akses transportasi darat
yang belum memungkinkan.
6. Berpotensi menggerakan aktivitas ekonomi yang diturunkan dari jasa lingkungan Sungai Sebangau ekowisata berbasis sungai.
Disamping pola pemanfaatan sumberdaya yang bersifat ekstraktif, pemanfaatan
sumberdaya juga bisa dilakukan yang bersifat berkelanjutan dalam bentuk
pemanfaatan jasa lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan ini dapat
dikembangkan pola ekowisata. Beragam pola ekowisata dapat dikembangkan
baik dengan pola hardcore ecotourism, mainstream ecotourism, casual
ecotourism dan recreation tourism. Pola pemanfaatan ini didasarkan pada
kekhasan ekosistem yang bisa bersifat sinergis bagi pengelolaan lahan gambut
di TN Sebangau.
Pola pengelolaan anak sungai
Rejim pengelolaan sumberdaya di wilayah DAS Sebangau secara prinsip dapat
dibedakan menjadi dua jenis rejim pengolahan yaitu : (a) akses terbuka (open
47
accecss) dan (b) akses terbuka semu (quasi open access). pada wilayah yang
anak sungai (sungei) di DAS Sungai Sebangau, sebagian didasarkan pada sistem
yang didasarkan pada kelembagaan lokal dimana dimana pengelola
mendapatkan mandate secara turun temurun yang dikuatkan oleh kelembagaan
adat Sistem Demang. Berdasarkan informasi dalam studi ini, pada awalnya
otoritas pengelolaan bersifat pencapaian (achievement) dan penugasan dari
yang berwenang (assignment), tetapi pola ini kemudian berubah menjadi garis
keturunan (ascribed).
Pada faktanya, pola sistem warisan (legasi) berbeda-‐beda walaupun dalam
sistem sungai dalam DAS Sebangau. Pengelolaan anak sungai Rasau,
pengelolaan anya dilakukan oleh keluarga inti yaitu Bapak/Ibu dan anak yang
ditunjuk da mendapatkan hak pengelolaan. tetapi pengelolaan anak Sungai
Kereng dan anak Sungai Bangah dilakukan oleh keluarga besar yang
mendapatkan didasarkan pada salah satu keluarga dalam keluarga besar yang
ditunjuk (kemenakan) tetapi atas ijin dari kepala keluarga yang diberikan hak
pengelolaan melalui packlaring. Bahkan pada pengelolaan anak sungai Bangah,
pengelolaan (termasuk pemanfaatannya) dilakukan oleh keluarga besar yang
masih dalam satu kekerabatan dengan garis keturunan dan anggota
keluaarganya. Sehingga julah pemanfaat anak Sungai Bangah jauh lebih banyak
dibandingkan dengan pengelola anak sungai Rasau dan Kereng. Secara umum
pengelolaan ini dilakukan baik pada kontek sumberdaya maupun jasa
lingkungannya.
Isu Pengelolaan
Isu pengelolaan wilayah perairan dalam DAS Sebangau dalam studi dalam
perspektif sosial ekonomi adalah sebagai berikut.
1. Kualitas otoritas pengelolaan sungai dan anak sungai oleh masyarakat.
2. Integrasi dan pengakuan sistem pengelolaan sungai dan anak sungai secara
adat tersebut dengan sistem hukum formal, terkait dengan kewenangan
kelembagaan TN Nasional dan kelembgaan lokal.
48
3. Isu penggunaan metode dan alat penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan.
4. Rancang bangun dan penempatan tabat yang secara sosial dapat diterima,
bagi bagi pengelolaan sistem adat pada anak sungai dan kanal.
3.4.2. DAS Katingan
Peran Sungai Katingan dalam sistem sosial ekonomi masyarakat.
Seperti halnya pada DAS Sebangau, peran sungai bagi masyarakat DAS Katingan
juga penting, baik baik dalam perspektif sosial maupun ekonomis. Peran sungai
bagi masyarakat di DAS Sebangau yang menjadi wilayah studi, diantaranya
adalah sebagai berikut.
1. Sungai menjadi identitas dan modal sosial masyarakat
Tidak seperti dalam DAS Sebangau, pada wilayah DAS Katingan dalam studi ini
pemukiman penduduk yang berada pada sisi kiri dan kanan Sungai Katingan
pada umumnya merupakan pemukiman permanen, baik oleh masyarakat lokal
maupun pendatang. Sedangkan pemukiman pada anak sungai pada umumnya
adalah pemukiman sementara yang bagi penduduk pendatang yang melakukan
penangkapan dalam wilayah sungai.
Secara sosial, Sungai Katingan menjadi penanda dan identitas bagi penduduk
lokal asli maupun pendatang. Bagi masyarakat lokal yang asli, sungai menjadi
identitas sebagai penduduk yang bergantung pada sungai. Sedangkan secara
historis, penduduk pendatang yang bermukim pada umumnya terkait dengan
usaha eksploitasi kayu pada masa-‐masa sebelumnya. Pendatang ini berasal dari
daerah lain di Pulau Kalimantan, maupun dari wilayah diluar Pulau Kalimantan.
Identitas pendatang tersebut sekarang ini telah melekat sebagai masyarakat
sungai Katingan. Identitas ini juga tercermin pada sebagian pendatang yang
sekarang menetap di wilayah Sungai Katingan menjadi nelayan, dimana pada
wilayah asal mereka bukan menjadi nelayan.
2. Menggambarkan keterikatan kultural
49
Walaupun tidak sekuat pada DAS Sebangau, tetapi identitas kultural juga
tergambarkan pada wilayah DAS Katingan, walaupun tidak sekuat pada DAS
Sebangau. Walaupun sekarang ini tidak terdapat pengelolaan wilayah DAS
Katingan dengan berbasis hak masyarakat lokal secara spesifik, tetapi kultur
masyarakat sungai sangat terlihat pada penduduk yang bermukin di sisi Sungai
Katingan. Di wilayah studi pada DAS Katingan, pengelolaan anak sungai di
wilayah Sungai Katingan pada awalnya adalah pengelolaan kanal dan anak
sungai untuk pengelolaan untuk transportasi dan distribusi hasil hutan berupa
kayu (log). Sehingga bersifat formal, dan menjadi asset desa; bukan lagi tradisi
yang turun temurun. Oleh karenanya sistem keterikatan kultural menjadi lebih
rendah, dan keterikatan bersifat transaksional.
3. Menjadi penyangga ekonomi masyarakat, untuk tidak masuk mengeksploitasi hutan
Sama halnya dengan peran sungai bagi masayarakat Sungai Sebangau, peran
ekonomi sungai bagi masyarakat di sekitar Sungai Katingan cukup penting.
Walaupun belum terdapat nilai pasti, hasil wawancara dan diskusi menunjukan
peran ini secara signifikan dan menjadi salah satu penyangga bagi ekonomi
masyarakat, sehingga tidak melakukan perambahan hutan di TN Sebangau.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi masyarakat, sumber nilai ekonomi ini
tidak hanya bertumpu pada pola eksploitasi sumberdaya yang konvensional
seperti penangkapan ikan, tetapi juga pada jasa-‐jasa lingkungan.
Tabel 8 di bawah ini memberikan gambaran nilai konsumsi (dalam Rupiah per
tahun) untuk 3 wilayah desa di sekitar DAS Katingan. Nilainya hamper
mancapai 2 milyar rupiah per tahun. Nilai ini akan bertambah besar lagi
bilamana makin banyak tersedia data di desa-‐desa lainnya. Untuk DAS
Sebangau tidak dapat dilakukan perhitungan seperti ini karena tidak ada data.
Perhitungan pada Tabel 8, menggunakan asumsi konsumsi/KK, asumsi
prosentase jumlah KK yang mengkonsumsi, serta asumsi jumlah hari konsumsi
ikan. Tingkat konsumsi ikan per kapita dihitung dengan asumsi jumlah KK dan
Penduduk berdasarkan data tahun 2016 (BPS Katingan, 2017).
50
Tabel 8. Nilai konsumsi ikan pada 3 desa di DAS Katingan
4. Memberikan kontribusi pada ketahanan dan kemandirian sumber pangan hewani yang murah dan mudah diakses.
Pada wilayah sungai Katingan di sekitar TN. Sebangau, ikan menjadi salah satu
sumber potein hewani yang utama karena mudah dan murah. Hal ini bukan
hanya terkait preferensi konsumsi, tetapi juga faktor ekonomis dan
ketersediaan. Kondisi ini semakin terasa pada wilayah studi di DAS Katingan di
sekitar TN Sebangau yang mempunyai keterbatasan aksesibilitas darat yang
semakin nyata. Sebagian besar responden menyatakan bahwa konsumsi ikan
pada keluarga dilakukan setiap hari, dengan tingkat konsumsi 1-‐2 kilogram
tergantung dengan besaran keluarga. Sumber protein hewani lainnya seperti
ayam dan daging, disamping lebih mahal juga ketersediaannya yang terbatas.
Hal ini karena faktor transportasi, terutama pada wilayah-‐wilayah dengan akses
transportasi darat yang belum memungkinkan.
5. Menyerap tenaga kerja dan sumber ekonomi utama keluarga
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang terkait dengan DAS Katingan menjadi
penting terkait dengan penyerapan tenaga kerja baik melalui kegiatan langsung
primer (on-‐farm) yaitu penangkapan, maupun kegiatan sekunder (off-‐farm)
sebagai turunan dari kegiatan primer yaitu pengolahan, distribusi dan
pemasaran. Kegiatan pengolahan ikan, dilakukan oleh nelayan secara langsung
oleh nelayan di lokasi penangkapan, baik oleh nelayan lokal maupun
pendatang.
Distribusi hasil tangkapan nelayan di DAS Katingan, dari lokasi sampai dengan
luar wilayah DAS Katingan. Sudah terdapat aktivitas distribusi yang sudah
cukup terorganisir dengan cukup baik oleh Koperasi Lauk Sumber Pambeluem
(LSPS) di Tumbang Runen. Distribusi hasil perikanan dari wilayah DAS Katingan
51
dari koperasi ini dapat dilihat dalam gambar berikut. Semua proses bisnis baik
dalam kegiatan primer (hulu) maupun pengolahan, distribusi dan pemasaran
(hilir) melibatkan tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung.
Gambar 37. Distribusi Ikan dari DAS Katingan oleh Koperasi Perikanan Lauk Sumber Pambeuleum.
6. Media transportasi yang penting.
Sungai menjadi prasarana penting bagi transportasi masyarakat, baik di wilayah
Sebangau maupun Katingan. Pada wilayah DAS Katingan yang berbatasan
dengan wilayah TN Sebangau, sungai menjadi prasarana transportasi penting
baik untuk aktivitas sosial maupun komersial. Hal ini disebabkan oleh kondisi
geografis dan topografi wilayah yang bersifat gambut dan rawa banjiran
sehingga tidak memungkinkan dikembangkan prasarana jalan darat, maupun
oleh terbatasnya prasarana jalan darat yang telah dikembangkan. Sehingga
sungai menjadi salah satu media transportasi penting, bahkan pada beberapa
52
wilayah menjadi satu-‐satunya prasarana transportasi baik penumpang maupun
barang.
7. Berpotensi menggerakan aktivitas ekonomi yang diturunkan dari kekayaan sumberdaya : ekowisata berbasis sungai.
Disamping pola pemanfaatan sumberdaya yang bersifat ekstraktif, pemanfaatan
sumberdaya DAS Katingan juga bisa dilakukan yang bersifat berkelanjutan
dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan ini
dapat dikembangkan pola ekowisata. Beragam pola ekowisata dapat
dikembangkan baik dengan pola hardcore ecotourism, mainstream ecotourism,
casual ecotourism dan recreation tourism. Pola pemanfaatan ini didasarkan
pada kekhasan ekosistem yang bisa bersifat sinergis bagi pengelolaan lahan
gambut di TN Sebangau. Kegiatan wisata ini telah mulai dilakukan terutama
pada desa Tumbang Bulan.
Pola pengelolaan anak sungai
Berbeda dengan pola pengelolaan sumberdaya di DAS Sebangau, pola otoritas
pengelolaan wilayah Sungai Katingan berdasarkan achievement, baik untuk
pada wilayah sungai maupun anak sungai, bukan sebagai otoritas yang
diwariskan. Berbeda dengan pola pekelembagaan wilayah perairan pada DAS
Sebangau, kelembagaan pengelolaan anak sungai DAS Katingan sekarang ini
lebih umum, tidak ada pola pengelolaan untuk area khusus dalam wilayah
perairan sungai.
Ketika aktivitas pemanfaatan hutan (kayu) tinggi, pola pengelolaan anak sungai
dan anak awalnya dititik beratkan pada jasa lingkungan, yaitu manfaat adanya
sumberdaya air untuk transportasi dan distrbusi kayu (log). Setiap anak sungai
dank anal yang dibangun, menjadi otoritas pengelolaan dengan kelembagaan
yang spesifik, yang ditunjuk oleh desa karena wilayah tersebut secara
administrative menjadi asset desa. Setiap pihak yang memanfaatkan wilayah
kanal tersebut harus membayar biaya penggunaan kanal. Sehingga pengelola
kanal ditugaskan (assigned by) pimpinan desa setempat. Setelah kegiatan loging
tidak lagi berjalan, pola ini tidak berjalan sehingga pengelola sungai tidak ada.
53
Kanal dan sebagian anak sungai menjadi tertimbun, dan menjadi habitat ikan
sungai baik sebagai daerah pemijahan, pengasuhan maupun ruaya ikan.
Secara umum, perubahan ekosistem hutan menjadi menjadi ekosistem rawa
banjiran Tetapi karena perubahan ekosistem yang mendorong perubahan mata
pencaharian penduduk, maka pemanfaatan anak sungai utamanya untuk
kegiatan penangkapan ikan. Pola pemanfaatan harus seijin kepala desa, baik
jenis alat tangkap dan pola operasinya maupun “ijin” dalam bentuk
pemberitahuannya. Pihak yang memanfaatkan juga menjadi siapa saja asalkan
mendapatkan otorisasi dari kepala desa.
54
IV. ANALISIS PENGEMBANGAN PENGELOLAAN TABAT
4.1. Analisis Dampak Penabatan terhadap Sumberdaya Ikan
Secara umum analisis dampak penabatan terhadap sumberdaya ikan dilakukan
baik didasarkan dari pengamatan secara kuantitatif maupun kualitatif. Dampak
positip penabatan adalah tersedianya habitat ikan yang memadai (terutama
pada musim kering), mendorong kelestarian sumberdaya ikan-‐ikan asli,
meningkatkan ketahanan dan kemandirian sumber pangan protein hewani bagi
masyarakat, dan mengurangi potensi perambahan kawasan TN Sebangau dan
penebangan kayu liar (illegal logging).
Dampak positip ini belum dapat divaluasi dengan baik karena ketersediaan data
yang memadai. Untuk mendukung preposisi ini, diperlukan upaya-‐upaya terkait
dengan pendataan jumlah penduduk yang mengkonsumsi ikan dari ikan sungai,
tingkat konsumsi ikan sungai serta produksi dan produktivitas (ikan) setiap
perairan.
Disamping dampak positip, penabatan juga berpotensi memberikan dampak
negatif masyarakat sekitar karena adanya klaim mengurangi akses
penangkapan. Pembangunan tabat menghambat mobilitas nelayan dari satu
lokasi ke lokasi lainnya dalam satu anak sungai atau kanal yang ditabat. Klaim
lain adalah pada wilayah pengelolaan dengan sistem customary property right,
penabatan berdampak pada aksesibilitas danau atau wilayah perairan yang
terhubung dengan anak sungai yang dikelola. Sehingga menurunkan hasil
tangkapan.
4.2. Analisis Mitigasi Dampak Negatif Penabatan
4.2.1. Jarak antar tabat
Pada umumnya penabatan yang telah dilakukan di kanal-‐kanal sub-‐DAS (sub-‐
catchment) Sungai Sebangau cukup berhasil mempertahankan ketinggian muka
air tanah lebih lama, sebagaimana terlihat dari gambaran ketinggian muka air
tanah sejak tahun 2006 hingga 2015. Berbagai model tabat yang diaplikasikan
juga sudah disesuaikan dengan kondisi ukuran (lebar, kedalaman dan debit)
55
sungai, sehingga masih memberikan jalan (tidak menghambat) ruaya ikan yang
ada (Lampiran T3). Konstruksi tabat juga sudah mengakomodasi kebutuhan
transportasi nelayan, dalam arti memungkinkan untuk dilewati perahu,
khususnya pada kondisi banjir (muka air tinggi). Walaupun demikian, memang
terdapat keluhan nelayan, khususnya di wilayah S. Rasau, Sebangau yang
merasa bahwa adanya penabatan mengganggu aksesibilitas penangkapan
mereka ke arah sungai bagian hulu. Mereka juga mengeluhkan adanya ikan-‐ikan
yang mati karena tidak bisa diambil dan terperangkap dalam tabat pada saat air
terus surut di musim kering. Hal ini, menurut mereka, karena jarak antar tabat
yang terlalu dekat. Kemungkinan ini memang bisa saja terjadi di lokasi-‐lokasi
tabat tertentu. Walaupun demikian, pada dasarnya ikan-‐ikan pada dasarnya
mempunyai insting untuk selalu mengikuti kemana air berkumpul (pada saat
bergerak surut pada musim kering). Dengan adanya tabat yang sedikit banyak
mengubah pola genangan air, ikan-‐ikan juga akan beradaptasi dengan kondisi
adanya tabat tersebut.
Mengenai tabat mengganggu aksesiblitas perahu ke arah hulu, hal ini memang
akan terjadi bila air sudah mulai surut dan kondisi sungai menjadi semakin
dangkal pada saat awal musim kering (kemarau). Untuk itu, untuk lokasi-‐lokasi
tertentu, mungkin dapat dipertimbangkan untuk memperpanjang jarak antar
tabat yang satu dengan tabat yang lain dalam satu aliran sungai. Jarak antar
tabat ini perlu ditentukan dengan mempertimbangkan:
a. Kemiringan (elevasi) lahan;
b. Ketinggian muka air
c. Aksesibilitas perahu untuk pengkapan ikan
d. Komunikasi dengan nelayan setempat.
4.2.2. Lokasi tabat
Lokasi tabat yang menjadi daerah penangkapan sebaiknya dikurangi untuk
proses penabatan selanjutnya. Karena dari sisi habitat ikan sebenarnya tidak
ada pengaruh yang cukup berarti, tetapi adanya tabat mengurangi aksesibilitas
perahu untuk penangkapan ikan di bagian yang lebih hulu. Pengelolaan tabat ini
dapat mengurangi klaim dampak negatif dari penabatan.
56
4.3. Pengembangan Skema Pemantauan Bersama (Participative Monitoring)
Sumberdaya perairan baik berupa sungai maupun rawa banjiran sebenarnya
sebagian besar masih bersifat sebagai sumberdaya yang pemanfaatannya
bersifat dibagi bersama (common pool resources). Karakteristik ini
menggambarkan bahwa dari sisi dinamika sumberdaya, bersifat dapat
berkurang (substractable) bila terdapat individu yang memanfaatkannya. Pada
sisi lain, dari sisi sitim sosial maka individu yang memanfaatkan sumberdaya
tersebut sullit untuk dicegah pemanfaatannya (exclude) antara yang berhak
untuk memanfaatkan atau tidak berhak. Sehingga bersifat low excludability.
Pengelolaan CPR apapun bentuk pengelolaannya harus mengatasi persoalan
pokok dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat CPR yaitu : (1) terjadi
potensi pemanfaatan yang berlebihan (ovesuse) karena sifat substractibility dan
low exclusion, dan (2) potensi terjadi free rider karena sulit atau mahalnya
proses exclusion. Sehingga bentuk pengelolaannya adalah bagaimana mengatasi
hal tersebut.
Cara paling efektif untuk bisa menjamin bahwa sumberdaya tersebut dapat
lestari adalah mendorong adanya aksi bersama (collective action), untuk
mencegah atau mengurangi free rider. Mendorong aksi bersama dapat dilakukan
ketika setiap pihak (appropriator) mempunyai kepentingan yang sama sehingga
mempunyai tujuan pengelolaan yang sama. Salah satunya adalah dengan
mengembangkan pola pengelolaan (monitoring) bersama (participative
monitoring). Pemantauan dilakukan pada wilayah-‐wilayah sungai, terutama
yang mempunyai hak pengelolaan secara ekslusif (exclusive management right).
Pemantauan bersama sekaligus menjadi usaha meningkatkan rasa kepemilikan
dan kepedulian terhadap wilayah sungai yang ada, terutama pada wilayah-‐
wilayah sungai yang dilakukan penabatan (canal blocking), sekaligus
membangun kesamaan persepsi atas fenomena yang ada.
Ostrom (1990) menyusun 8 Prinsip-‐prinsip Rancangan (Design Principles)
untuk pengelolaan CPR yang telah dihasilkan dari sejumlah penelitian terkait
dengan pengelolaan sumberdaya yang bersifat CPR terutama untuk sumberdaya
57
skala kecil. Prinsip ke-‐4 dari konsep prinsip-‐prinsip ini adalah pemantauan
(monitoring). Secara prinsip, hasil pemantauan harus bisa bisa disepakati oleh
para individu yang berhak atas sumberdaya tersebut atau para stakeholder
yang terkait. Terkait dengan pemantauan, pertama pemantauan harus ada dan
menilai kondisi sumberdaya dan para pihak yang memanfaatkan (appropriator)
sumberdaya tersebut. Kedua proses pemantauan harus dilakukan oleh
masyarakat atau pihak-‐pihak yang dipercaya oleh mereka. Karena pemantauan
harus memperlihatkan orang yang tidak mentaati peraturan pemanfaatan
sumberdaya dan kedua memberikan sarana untuk saling mengawasi tingkah
laku pemanfaatan sumberdaya tersebut (Cox et al., 2010).
Skema pemantauan bersama merupakan bentuk pemantauan partisipatif, untuk
mendapatkan gambaran kondisi sungai yang ditabat dan perilaku
pemanfaatannya oleh seluruh pemangku kepentingan sehingga pemantauan
bersifat akuntabel dan transparan. Pada akhirnya hasil pemantauan ini dapat
disepakati hasilnya oleh semua stakeholder. Kegiatan ini mendapatkan
masukan dari seluruh hasil pengamatan, analisis peran, diskusi/wawancara
mendalam dan FGD serta diskusi dari tim. Hasil dari analisis ini adalah pola atau
hubungan antar stakeholder.
Sistem dalam pemantauan bersama setidaknya mengidentifikasi beberapa
elemen penting yaitu (1) pemangku kepentingan yang terlibat, (2) objek dan
cara pemantauannya, (3) Waktu monitoring, (4) lokasi monitoring dan (5)
kebutuhan infrastruktur untuk kegiatan pemantauan.
1. Pemangku Kepentingan Pemantauan Bersama
Pemangku kepentingan untuk melakukan pemantauan bersama adalah para
pihak yang berkepntingan untuk ikut dalam pengelolaan sumberdaya perairan
di wilayah TN Sebangau, khususnya pada wilayah sungai yang dilakukan
penabatan. Para pemangku kepentingan itu sekurang-‐kurangnya meliputi :
a. Pihak Taman nasional
b. Dinas teknis terkait perikanan wilayah administrasi setempat
58
c. Dinas teknis terkait kehutanan dan lingkungan hidup wilayah
administrasi setempat.
d. Nelayan
e. Peneliti/perguruan tinggi atau LSM
2. Objek dan Cara Pemantauan
Obyek pemantauan bersama yang penting terutama pada wilayah sungai yang
ditabat dan menjadi hak pengelolaan secara eksklusive di antaranya meliputi :
a. Tingkat ketinggian muka air
b. Produksi dan komposisi hasil penangkapan ikan
c. Ukuran hasil tangkapan khususnya ukuran minimum dan maksimum
dari setiap spesies.
3. Waktu Pemantauan
Ekosistem di wilayah perairan TN Sebangau secara umum mempunyai
dinamika yang tinggi sesuai dengan pola musim yang secara alamiah
berkembang di lokasi. Sehingga secara prinsip proses pemantauan dilakukan
pada setiap musim tersebut.
a. Pemantauan tingkat muka air dilakukan setiap musim termasuk
musim peralihan.
b. Pemantauan hasil produksi perikanan tangkap dilakukan setiap bulan
pada waktu-‐waktu yang tetap misal awal bulan secara kosisten setiap
bulannya.
4. Lokasi monitoring
Lokasi pemantauan sebaiknya dilakukan pada setiap anak sungai yang
mengalami penabatan yang berhubungan dengan kanal dalam kawasan TN
Sebangau. Pada wilayah DAS Katingan, peantauan setidaknya dilakukan di
Sungai Kamipang, Sungai Bulan, Sungai Landabung dan Sungai Rasau Gunung.
Sedangkan pada DAS Sebangau meliputi sungai-‐sungai yang berada pada
wilayah Kota Palangka Raya atau Kabupaten Pulang Pisau. Meliputi wilayah
hulu di Kereng Bangkirei, S Bakung, S. Rasau, S. Bangah dan S. Paduran Alam.
5. Kebutuhan infrastruktur
59
Kebutuhan infrastruktur pemantauan disesuaikan dengan metode pemantauan
yang dilakukan. Namun demikian, perlu dibangun stasiun klimatologi dalam
wilayah Taman Nasional Sebangau yang mewakili DAS Sebangau dan DAS
Katingan.
4.4. Analisis Kelembagaan Pengelolaan
4.4.1. Analisis Kelembagaan Sekarang Ini
1. DAS Sebangau
Pengelolaan sungai di DAS Sebangau yang mencakup Kota Palangkaraya dan
Kabupaten Pulang Pisang, pada wilayah anak sungai pada umumnya merupakan
wilayah pengolalaan berbasis hak pengelolaan ekslusif. Pengelola mempunyai
hak untuk melakukan exclusion pada individu yang tidak berhak untuk
memanfaatkan sumberdaya perairan terutama adalah ikan.
Masyarakat di DAS Sebangau secara sosiologis merupakan masyarakat yang
sangat bergantung pada wilayah sungai dan perairan umum. Sehingga
terminology atau istilah dari wilayah perairan tersebut juga sudah sangat rinci.
Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perairan di DAS Sebangau sudah cukup
rinci menguraikan hak-‐hak pada setiapklasifikasi wiayah perairan tersebut.
Menurut masyarakat Dayak Ngajo sungai diklasifikasikan dengan beberapa
tingkatan (Mahin, 2011) yaitu :
a. Sungai Utama (Batang Danum),
b. Sungai kecil (sungei atau batang/bapang sungei)
c. Anak Sungei (Ampang Sungei)
d. Cucu sungai (esun sungei)
e. Tatas dan parit
Sedangkan bagian perairan yang terkait dengan sungai tetapi dibuat oleh
manusia (man made) disebut sebagai kanal. Secara umum, wilayah
penangkapan ikan (fishing ground) dapat dikategorikan menjadi wilayah
perairan yang terkait/terkoneksi dengan : a. Sungai utama (batang danum) dan
b. Rawa (petak randah)
Bagian-‐bagian dari wilayah perairan yang menjadi area penangkapan dapat
dilihat dari Tabel 9 berikut.
60
Tabel 9. Wilayah Penangkapan Ikan Nelayan di DAS Sebangau No. Nama Wilayah dan Bagian-‐bagiannya 1. Sungai Utama (Batang Danum) a.Bagian Pinggir (saran batang danum) b.Bagian Tengah (bentuk batang danum) c. Bagian Dasar Sungai (pelempang) d. Teluk (luwuk) e. Tanjung (Bereng) f. Anak Sungai Utama (Sungei) g. Cucu Sungai Utama (Saka) h. Tatas 2. Rawa (Petak Randah) a. Pinggir Sungai Utama/sungai kecil/danau (Saran
batang danum/sungei/danau) b. Rawa Terbuka (Padang Napu, Padang Nayap) c. Rawa Tertutup (Datah) d. Baruh e. Ruak Sumber : Mahin (2011) Hal yang perlu untuk dipahami adalah bahwa pola pembagian tersebut sangat
besar diduga terkait dengan nilai ekonomi dari eksosistem tersebut yang
menunjukn luas area dan produktivitas wilayah perairan tersebut.
Nelayan yang menangkap ikan di wilayah DAS Sebangau dapat diklasifikasi
menjadi nelayan lokal dan nelayan pendatang. Nelayan lokal adalah nelayan
yang berasal dari wilayah Kota Palangkaraya atau Kabupaten Pulang Pisau.
Sedangkan nelayan pendatan menurut Mahin (2011) dapat dibedakan menjadi :
(a) oloh Banjar yaitu nelayan pendatang dari Kalimantan Selatan khususnya
Nagara, (b). oloh Halalak yaitu nelayan pendatang dari Kalimantan yang tidak
memakai Bahasa Banjar, awalnya mereka menggunakan Bahasa Barangas
sehingga disebut oloh Barangas, (c) Oloh Jawa yaitu nelayan pendatang yang
berasal dari Pulau Jawa. Mahin (2011) menyatakan Oloh Jawa adalah dari Suku
Jawa, tetapi faktanya bisa juga bukan hanya dari Suku Jawa, tetapi bisa jadi Suku
Sunda.
Menurut orang Dayak Ngaju, Sungai Sebangau dikategorikan sebagai Sungai
Utama (batang daum) tetapi klasifikasi sebagai Sungai Utama Kecil (Batang
61
Danum Urik), dimana Sungai Utama Besar misalnya Sungai Barito, Sungai
Kahayan, atau Sungai Katingan. Dalam wilayah Sungai Sebangau sebagai sungai
besar, terdapat terdapat 4 anak sungai yang terkoneksi ke Sungai Sebangau
yaitu Sungai Bakung, Sungai Rasau, Sungai Bangah dan Sungai Paduran Alam.
Menurut Mahin (2011) di sepanjang Sungai Sebangau, terdapat 12 pemukiman
masyarakat yang dominan sebagai nelayan baik dari nelayan lokal maupun
nelayan pendatang. Akan tetapi hasil survei tahun 2017 menunjukan bahwa
sebagian dari pemukiman nelayan tersebut sebagian masih tetap bertahan dan
sebagian telah tidak aktif seperti terlihat dalam Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Lokasi Pemukiman Nelayan di DAS Sebangau Kalimantan Tengah No. Nama Pemukiman Kelurahan/Desa, Kecamatan,
Kabupaten Keterangan *
1. Bakung Desa Bantanan, Kec. Sebanagai Kota Palangka Raya
Aktif
2. Ules Desa Bantanan, Kec. Sebanagai Kota Palangka Raya
Tidak Aktif
3. Rasau Desa Bantanan, Kec. Sebanagai Kota Palangka Raya
Aktif
4. Timba Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Tidak Aktif
5. Karanen Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Tidak Aktif
6. Mangkok Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Tidak Aktif
7. Selowati Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Aktif
8. Pakuyah (Uyah) Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Tidak Aktif
9. Sungei Bendera Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Tidak Aktif
10. Bangah Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Aktif
11 Galam Raya Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Tidak Aktif
12 Baluh Desa…., Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau
Tidak Aktif
Sumber : Mahin, 2011. Keterangan : * berdasarkan survei tim, tahun 2017
62
Secara spasial, sebaran pemukiman nelayan di DAS Sebangau dapat dilihat
dalam gambar berikut.
Pemukiman nelayan dibangun bukan sebagai tempat tinggal utama, tetapi
sebagai tempat sementara untuk mencari penghidupan (dalam Bahasa Dayak
Ngaju disebut eka satiar malauk) (Mahin, 2011). Sehingga pemukiman juga
merupakan pemukiman non permanen yang dibangun dari kayu dan berada
diatas air. Pemukiman ini berada pada sisi sungai utama yaitu Sungai Sebangau.
Pada umumnya tempat tinggal ini menunjukan area atau wilayah menangkap
ikan di perairan Sungai Sebanagu bagi nelayan yang tinggal dipemukiman.
Pola pemanfaatan sumberdaya perairan (sungai) bervariasi tergantung pada
area perairan yang sudah didefinisikan seperti diatas. Khusus untuk wilayah
perairan yang terkoneksi dengan sungai batang danum urik (Sungai Sebangau).
Pada sungai kecil (sungei atau bapang sungei) tertentu tidak semua orang dapat
memanfaatkan sumberdaya tersebut, tetapi hanya orang-‐orang yang berhak
mengelola saja. Sehingga rejim sumberdaya pada anak sungei ini tidak common
pool resource, tetapi sudah bersifat privat. Sehingga pengelolaan dilakukan oleh
appropriator yang telah disepakati untuk berhak mengelola. Sungai kecil
dengan pola pengelolaan ini adalah sungai Bakung, Sungai Rasau, dan Sungai
Bangah.
Walaupun terdapat pemukiman nelayan berada di wilayah tersebut, tetapi
mereka tidak diijinkan untuk menangkap ikan pada wilayah sungai tersebut.
Secara umum, pada wilayah perairan di Sungai Sebangau wilayah yang bersifat
common pool resource adalah wilayah peraian di batang danum baik ditengah
maupun dipinggir. Tetapi begitu masuk perairan pada ketiga sungai kecil
(sungei atau bapang sungei) maka rejim sumberdaya bersifat privat atau grup.
Nelayan appropriator dari ketiga sungei kecil tersebut membuat pondok
pemukiman di muara sungai masing-‐masing. Hak pengelolaan secara ekslusif
pada ketiga sungai-‐sungai kecil tersebut secara turun temurun diberikan
kepada kelompok keluarga tertentu yang secara adat diberikan hak melalui pola
pemberian hak pengelolaan berdasarkan surat paklaring. Surat paklaring ini
dikeluarkan oleh kepala adat kepada kelompok keluarga tertentu, dan bisa
diturunkan kepada pewaris yang ditunjuk oleh pengelola sebelumnya. Akan
63
tetapi pada implementasinya, penentuan siapa yang berhak untuk mengelola
dan memanfaatkan sungai kecil diantara tiga pengelolaan sungai tersebut juga
bervariasi. Variasi ini terdiri dari : (1) keluarga inti (batih) yaitu suami, istri
dan anak, (2) keluarga besar (kekerabatan). Hasil survei pada studi ini (2017)
menunjukan variasi seperti terlihat dalam Tabel 11.
Sumber : Mahin, 2011. Gambar 38. Sebaran Pemukiman Nelayan di DAS Sebangau
64
Tabel 11. Pola penetuan pemanfaat yang berhak memanfaatkan sungai kecil di DAS Sungai Sebangau
No. Nama Sungai Kecil Pengelola
1. Sungai Bakung Keluarga inti (batih)
2. Sungai Rasau Keluarga inti (batih)
3. Sungai Bangah Keluarga besar (kekerabatan)
Keterangan : keluarga inti : ayah, ibu, anak Keluarga besar (kekerabatan) : ayah, ibu, anak, saudara ayah, keponakan Apropriator pada Sungai Bakung dan Sungai Rasau adalah ayah, ibu dan anak
dari satu keluarga yang diberikan hak untuk mengelola termasuk sekarang ini
adalah menangkap ikan. Anak yang berhak termasuk anak yang sudah
berkeluarga. Tetapi hasil tangkapan tetap menjadi bagian dari hasil yang
dikumpulkan sebagai hasil tangkapan. Pola operasi penangkapannya bisa
dilakukan dengan bergantian (dalam hari yang berbeda) atau bersamaan. Hasil
tangkapan kemudian dibawa ke pasar di Kereng Bengkirai, Kota Palangka Raya.
Sedangkan pada Sungai Bangah, Kabupaten Pulang Pisau, yang berhak untuk
memanfaatkan adalah keluarga besar yang terdiri dari individu yang berhak
dan dianggap sebagai pemimpin, ditambah dengan saudara kandung atau yang
masih kerabat. Sehingga di Sungai Bangah terdiri dari 14 kepala keluarga yang
menangkap dan mementuk pemukiman dengan rumah-‐rumah pondok kayu
sederhana. Hasil tangkapan tidak dikumpulkan, tetapi hasil tangkapan masing-‐
masing nelayan menjadi milik pribadi dan kemudian dijual kepada pembeli
yang sama. Pembeli ini akan dating pada waktu tertentu baik dari wilayah Kab.
Pulang Pisau maupun dari Kota Palangka Raya, sambil membawa perbekalan
yang dibutuhkan oleh nelayan yang berada di pondok mereka.
Berdasarkan asalnya nelayan yang menangkap di Sungai Sebagau dapat
dibedakan menjadi nelayan lokal dan nelayan pendatang. Hubungan antara
rejim sumberdaya, rejim pengelolaan dan nelayan pada wilayah lokasi perairan
dapat dilihat dalam Tabel 12 berikut.
65
Tabel 12. Hubungan antara Lokasi, Rejim Sumberdaya dan Rejim Pengelolaan dan Asal Nelayan.
No. Jenis
Perairan Lokasi Perairan
Rejim Sumberdaya
Rejim Pengelolaan
Asal Nelayan
Pola Nelayan
1. Sungai Batang danum Sungai Sebangau
Common Pool Resource
open access Pendatang, lokal
Sungei kecil Bakung, Rasau, Bangah
Private/toll resource
(Quasi) Privat) Property, close to semi close access
Lokal
2. Rawa (Patak Randah)
Diluar rawa yang terkoneksi dengan sungai kecil Bakung, rasau dan Bangah
Common Pool Resource
open access Pendatang, lokal
Terkoneksi dengan sungai kecil Bakung, rasau dan Bangah
Privat and toll resource
(quasi) property right, close to semi close access
Lokal
Secara umum badan perairan yang terhubung dengan sungai kecil yang dikelola
secara ekslusif juga menjadi bagian dari sistem tersebut sehingga menjadi
bagian dari sumberdaya yang dikelola oleh invidu atau kumpulan individu
tertentu. Termasuk didalamnya adalah danau atau parit (tatas kecil) yang
mengalir ke sungai kecil tersebut. Sehingga pengelola berhak melakuka ekslusi
terhdapa pihak lain yang dianggap tidak berhak.
66
Secara teoritis, pengelolaan ddengan sistem properytertentu (private atau
kelompk (toll) mempunyai potensi keberhasilan (lestari) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pada kondisi yang bersifat open access. Kondisi open
access dimana sistem property tidak terdefinikasn (ill-‐defined) akan lestari
selama tingkat pemanfaataanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan daya
dukungnya.
Akan tetapi tesis ini belum bisa dibuktikan, karena beberapa hal diantaranya
adalah :
a. pengukuran daya dukung dan produksi penangkapan belum dilakukan.
b. adanya konektivitas secara ekosistem antara rejim sumberdaya yang bersifat
common pool resources dengan private/group resources yang memungkinkan
keterkaitan (linked) diantara keduanya.
Pola pengelolaan yang berbasis packlaring, merefleksikan bukan hanya
penangkapan ikan, tetapi mengarah kepada spasial dengan pola territorial use
right dan termasuk territorial use right of fishing (TURF). Pola berbasis teritori
ini ditunjukan bahwa pada saat kegiatan loging tinggi, pengangkutan hasil
tebangan (log) yang melalui sungei atau bapang sungei harus membayar jasa
dengan uang tertentu kepada pengelola.
2. DAS Katingan
Pada wilayah DAS Katingan, pengelolaan sungai kecil sekarang ini tidak ada
sistem ekslusif seperti halnya pada DAS Sebangau. Sungai kecil sekarang ini
menjadi asset desa, dimana pengelolaannya bersifat akses terbuka. Tidak ada
property right secara khusus. Secara prinsip siapa saja boleh menangkap,
dengan syarat meminta ijin kepada kepala desa. Sehingga sekarang ini, nelayan
yang menangkap di Sungai Katingan (batang danum) maupun sungai kecil dapat
dikelompokan menjadi nelayan lokal (setempat) dan nelayan pendatang.
Nelayan pendatang berasal dari wilayah lain di Kalimantan maupun dari luar
Kalimantan. Beberapa nelayan pendatang yang ditemui pada saat survei
kegiatan ini (2017) berasal dari Banjar, Jawa Timur, Jawa Barat. Sebagian besar
bahkan bukan berasal dari nelayan di lokasi asal mereka. Sebagian besar
67
nelayan pendatang ini adalah tenaga kerja industri logging yang tidak kembali
ke tempat asal mereka dan menetap di wilayah ini dan menjadi nelayan.
Seperti halnya pada DAS Sebangau, peran sungai kecil sangat signifikan ketika
kegiatan industri penebangan kayu (logging) berjalan dengan intensitas yang
tinggi. Sebagai asset desa, pengelolaan sungai kecil pada waktu itu diserahkan
kepada satu individu untuk mendapatkan fee penggunaan badan air sebagai
prasarana angkutan kayu tebangan (log) dari dalam hutan ke Sungai Katingan.
Bahkan untuk proses ini, banyak dibangun kanal (parit buatan), dimana kanal
tersebut menjadi rejim privat (milik individu). Tetapi sejalan dengan kegiatan
industri pemanfaatan kayu hutan yang makin rendah intensitasnya, maka
kanal-‐kanal yang telah dibangun tersebut sekarang ini menjadi rusak dan
banyak tertimbun tanah karena tidak terpelihara.
Sebagian kanal-‐kanal tersebut menjadi daerah pemijahan (spawning ground)
dan pengasuhan (nursery ground) anak ikan, terutama pada musim air pasang
(besar) atau sulung layap.
Pada sebagian sungai kecil, karena menjadi asset desa, sekarang ini dikelola
oleh masyarakat desa tersebut terutama terkait dengan pengawasan kegiatan
penangkapan yang tidak diijinkan seperti penggunaan bahan racun atau
penyetruman. Akan tetapi pengelolaan sumberdaya masih berbasis access yaitu
dengan pola akses terbuka. Sehingga rejim sumberdaya yang terjadi cenderung
mengarah kepada common pool resource, dengan pola rejim pengelolaan
adalah open access (non-‐property right). beberapa diskusi yang dilakukan
dengan masyarakat termasuk dengan tokoh-‐tokohnya seperti kepala desa, juga
tidak mengindikasikan adanya pola pengelolaan yang berbasis hak kepemilikan
(property right) walaupun tidak sampai menjadi kepemilikan penuh (fully
ownership). Hal ini juga menjadi salah satu poin penting, ketika akan dilakukan
proses terkait dengan pemanfaatan sungai atau anak sungai termasuk kegiatan
penabatan. Sehingga pendekatan kepada dua sistem DAS juga akan berbeda.
4.4.2. Analisis Kelembagaan Terkait dengan Kepatuhan (compliance)
Penting untuk diperhatikan bahwa kelembagaan yang dikembangkan harus
diikuti oleh proses kepatuhan dari semua pemanfaat (user), baik yang berbasis
68
kepemilikan (property) maupun berbasis akses. Kelembagaan yang otoratif,
pasti akan diikuti oleh tingkat kepatuhan yang tinggi. Pada prespektif ini,
kelembagaan yang otorartif merupakan kelembagaan yang legitimatif. Konsepsi
kelembagaan yang legitimatif adalah kelembagaan yang kehadirannya
diharapkan, sehingga tindakannya ditunggu atau diharapkan dan dianggap
benar melakukan tindakan tersebut oleh setiap pemangku kepentingan.
Dalam DAS Sebangau, beberapa pola pengelolaan anak sungai (sungei atau
bapang sungei), dengan pengelolaan sistem hak kepemilikan (property right)
untuk beberapa sungai sudah bisa dianggap legitimatif. Pertama, karena para
pemanfaat (appropriator) terutama dalam sisitem lokal telah menerima sistem
itu yang dinyatakan bahwa selain yang mendapat hak kepemilikan tidak berani
melakukan pemanfaatan terhadap sumberdaya sungai tersebut. Kedua, ketika
pemegang hak (appropriator) melakukan eksekusi terhadap hak
kepemilikannya dengan melarang atau melakukan ekslusi terhadap pihak lain
yang dianggap tidak berhak menyatakan tindakan tersebut benar dan memang
diperlukan. Sehingga pemanfaat (pengguna) lain tidak melakukan protes
terhadap kegiatan tersebut.
Hal ini akan berbeda pada kasus DAS Katingan, dimana pola pengelolaan
berdasarkan akses terbuka. Pola pengelolaan akses terbuka atau akses terbuka
semu (quasi open access) menjadi bentuk kelembagaan yang dianggap
legitimatif. Pada kondisi ini, tindakan ekslusi pemanfaatan wilayah sungai oleh
satu pengguna akan ditentang oleh pemanfaat lainnya dan pola eksklusi ini
tidak efektif.
Persoalan kepatuhan salah satu pilar penting dalam kelembagaan pengelolaan
sumberdaya termasuk pada sumberdaya perairan di DAS di sekitar TN
Sebangau. Untuk mendapatkan kepatuhan, setidaknya terdapat tiga unsur
penting yaitu : a. unsur sosial, b. unsur pembagian kekuatan (power sharing)
dan c. unsur ekonomis. Unsur sosial menunjukan bahwa dinamika sosial
masyarakat telah bisa menerima kelembagaan tersebut. Pola TURF di DAS
Sebangau sudah diterima secara sosial oleh masyarakat tetapi tidak diterima
oleh masyarakat di DAS Katingan. Sehingga pengembangan TURF di DAS
Katingan perlu rekayasa untuk membangun dinamika sosial yang dibutuhkan.
69
Pembagian kekuatan (power sharing) menggambarkan bahwa secara sosial,
para actor yang terlibat dalam pengelolaan harus saling bernteraksi untuk
bersepakat dengan memetakan kembali power yang dimilikinya sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa pengelolaan perlu dilakukan dengan
melibatkan semua actor yang terlibat. Kegagalan mengidenifikasi actor dan
kekuatannya, akan mempengaruhi efektivitas kelembagaan pengelolaan.
Sedangkan unsur ekonomis, memberikan arahan bahwa kelembagaan
pengelolaan yang dibangun harus memberikan manfaat (baik langsung maupun
tidak langsung) terhadap aktor yang terlibat.
4.5. Analisis Alternatif Rancangan dan Skema Restorasi
Alternatif rancangan dan skema restorasi habitat ikan adalah dengan tetap
meningkatkan pengelolaan tabat khususnya pemeliharaan tabat. Sebab, pada
faktanya hasil studi baik dengan data kualitatif maupun kuantitatif, proses
penabatan telah memberikan dampak positip terhadap habitat ikan. Tabat
dapat mempertahankan ketinggian muka air tanah, sehingga mengurangi
proses pengeringan hutan gambut dan segala konsekuensinya. Pada sisi lain,
mempertahankan ketinggian muka air tanah juga dapat memertahanka
ekosistem hutan TN Sebangau dan sistem kanalnya sebagai habitat ikan.
Untuk menjamin bahwa proses restorasi habitat berjalan dengan baik,
diperlukan pemantauan baik pemantauan terhadap ekosistem maupun
produksi dan produktivitas ikan pada anak sungai (kanal), maupun pada
wilayah sungai utama (batang danum). Proses pemantauan produksi dapat
dilakukan dengan bekerja sama dengan nelayan yang melakukan penangkapan
pada wilayah perairan DAS tersebut, baik pada DAS Katingan dan DAS
Sebangau.
Hasil pemantauan produksi secara intertemporal maupun spasial (wilayah)
dapat menjadi bahan untuk analisis produktivitas musiman per wilayah, yang
dapat menjadi salah input untuk pengelolaan jenis dan habitat sumberdaya
ikan.
70
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dapat disusun kesimpulan sebagai berikut.
1. Kondisi hidrologis kawasan TNS dan sekitarnya, yang terlihat dari tinggi air
tanah dan neraca air, secara alamiah sangat dipengaruhi oleh musim, yaitu
musim basah dan musim kering.
2. Kualitas air kawasan TNS baik pada DAS Sebangau maupun DAS Katingan,
secara umum masih baik dan memenuhi baku mutu air. Konsentrasi
pencemaran yang lebih tinggi pada musim kemarau mengalami oengenceran
pada musim hujan.
3. Berdasarkan fluktuasi tinggi muka air tanah selama 2006 – 2015, ada
indikasi bahwa penabatan telah berhasil meningkatkan tinggi muka air tanah
selama periode tersebut.
4. Jenis-‐jenis ikan pada DAS Sebangau didominasi oleh kelompok ikan hitaman,
sedangkan pada DAS Katingan selain ikan hitaman juga ditemukan ikan-‐ikan
putihan; Tingkat keanekaragaman jenis ikan di DAS Katingan lebih tinggi
dibandingkan dengan DAS Sebangau.
5. Ikan-‐ikan yang ditemukan pada kedua DAS tersebut di atas, khususnya ikan-‐
ikan hitaman memiliki daya tahan dan pola adaptasi yang baik terhadap
tingkat keasaman perairan serta mampu bertahan pada kondisi surut serta
mampu bernafas pada saat konsentrasi oksigen rendah.
6. Berdasarkan kemampuan tersebut, maka keberadaan tabat tidak
mempengaruhi siklus hidup ikan-‐ikan hitaman.
7. DAS Sebangau dan DAS Katingan mempunyai peran sosial dan ekonomi yang
sangat signifikan bagi masyarakat.
8. Potensi ekonomi perikanan, berdasarkan tingkat konsumsi yang ada di 3
desa di DAS Katingan menunjukkan angka yang cukup tinggi.
9. Dampak positip penabatan mencakup terjaganya hutan gambut dan habitat
ikan, terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan, mendukung ketahanan dan
kemandirian sumber protein hewani dan mengurangi potensi perambahan
kawasan TN Sebangau.
71
10. Dampak negatif penabatan adalah klaim mengurangi aksisibilitas wilayah
penangkapan baik wilayah anak sungai/kanal maupun danau.
11. Penabatan adalah metode restorasi hutan gambut dan habitat ikan yang
efektif sehingga perlu tetap dilakukan pemeliharaan. Penabatan baru perlu
memperhatikan jarak penabatan, lokasi dan proses komunikasi dengan
masyarakat.
12. Untuk proses pemantauan dampak yang akuntabel, kelembagaan struktur
koordinasi untuk pemantauan bersama perlu dilakukan.
5.2. Rekomendasi
Studi ini merekomendasikan hal-‐hal sebagai berikut.
1. Untuk melakukan pemantauan bersama perlu dirumuskan kelembagaan
partisipatif yang mendorong proses pemantauan bersama yang akuntabel
dan partisipatif.
2. Untuk melakukan pemantauan dampak penabatan dan pengelolaan
berdasarkan karakteristik pola pengelolaan perlu dilakukan monitoring :
ketinggian muka air, produksi dan produktivitas perikanan per wilayah
sungai atau anak sungai serta ukuran hasil tangkapan.
3. Perlu didorong pengembangan usaha pemanfaatan jasa lingkungan untuk
meningkatkan nilai tambah DAS Sebangau dan DAS Katingan bagi
kesejahteraan masyarakat.
72
DAFTAR PUSTAKA
APHA. 2012. Standard Method for Examination of water and WasteWater. 22nd Edition. American Public Health Association (APHA), American Water Work Association (AWWA), Water Environment Federation (WEF). New York. US.
Kottelat
Thornthwaite and Mather, 1957. (ATEP ini perlu dilengkapi)
Krebs, CJ. 1999. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher, New York, USA.
Odum, EP. 1993. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders Company. USA.
73
Lampiran 1. Kelimpahan dan keragaman fitoplankton DAS Sebangau (Juni 2017)
SBG -1 SBG -2 SBG -3 SBG -4 SBG -5Kr Bangkirai Bakung Rasau Mu Bangah Padr Alam
CYANOPHYCEAEOscillatoria sp. 3.789 2.767 0 0 0Anabaena sp. 0 0 1.684 72.902 8.020Phormidium sp. 0 0 0 0 0EUGLENOPHYCEAEEuglena sp. 0 0 140 180 0CHLOROPHYCEAEScenedesmus sp. 561 0 0 0 0Mougeotia sp. 281 241 0 3.429 4.261Rhizoclonium sp. 0 1.564 0 0 0Ankistrodesmus sp. 140 0 281 0 0Closterium sp. 0 0 140 0 0Ulothrix sp. 3.228 0 1.123 0 0Zygnemopsis sp. 0 0 0 15.338 0Spirogyra sp. 1.965 2.165 5.053 3.068 3.008Crucigenia sp. 0 0 0 0 0Desmidium sp. 0 0 0 0 0BACILLARIOPHYCEAENavicula sp. 3.368 361 421 541 251Epithemia sp. 140 0 140 180 0Pinnularia sp. 702 0 0 0 0Fragilaria sp. 6.737 241 0 361 0Eunotia sp. 1.825 962 1.544 17.684 1.253Gomphonema sp. 140 0 0 0 0Nitzschia sp. 140 120 702 361 251Surirella sp. 0 0 0 0 0Cymbella sp. 0 0 0 0 0Achnanthes sp. 0 0 0 0 0Hantzschia sp. 140 0 0 0 0DINOPHYCEAEPeridinium sp. 0 0 0 0 0
Jumlah Taksa 14 8 10 10 6 Kelimpahan (sel/m3) 23.156 8.421 11.228 114.044 17.044 Indeks Keragaman 2,02 1,67 1,70 1,13 1,32 Indeks Keseragaman 0,77 0,81 0,74 0,49 0,74 Indeks Dominansi 0,17 0,23 0,26 0,45 0,32Ctt.: Perhitungan Plankton menggunakan Ln. Metode pencacahan sensus dengan SRC.
ORGANISME (Fitoplankton)
74
Lampiran 2. Kelimpahan dan keragaman zooplankton DAS Sebangau (Juni 2017)
SBG -1 SBG -2 SBG -3 SBG -4 SBG -5
Kr Bangkirai Bakung Rasau Mu Bangah Padr Alam
PROTOZOAArcella sp. 0 0 0 0 251Difflugia sp. 70 0 0 0 0
ROTIFERABrachionus sp. 0 0 0 0 125Filinia sp. 70 60 0 0 0Lecane sp. 0 0 0 0 0Lepadella sp. 0 0 0 0 0Monostylla sp. 0 60 140 0 0
CRUSTACEAENauplius (stadia) 0 0 211 90 0Alonella sp. 0 0 0 0 0Daphnia sp. 0 0 0 0 0
Jumlah Taksa 2 2 2 1 2 Kelimpahan (Ind/m3) 140 120 351 90 376
Indeks Keragaman 0,69 0,69 0,67 0,00 0,64
Indeks Keseragaman 1,00 1,00 0,97 - 0,92
Indeks Dominansi 0,50 0,50 0,52 1,00 0,56
Ctt.: Perhitungan Plankton menggunakan Ln. Metode pencacahan sensus dengan SRC.
ORGANISME (Zooplankton)
75
Lampiran 3. Kelimpahan dan keragaman fitoplankton DAS Katingan (Juni 2017)
KTG -1 KTG -2 KTG -3 KTG -4 KTG -5Asem Kumbang Baun Bango Telaga - S. Klaru Tumbang Bulan Perigi
CYANOPHYCEAEOscillatoria sp. 7.820 0 49.624 6.687 56.662Anabaena sp. 0 0 1.805 0 5.774Phormidium sp. 12.431 0 0 0 0EUGLENOPHYCEAEEuglena sp. 0 0 0 230 0CHLOROPHYCEAEScenedesmus sp. 0 0 0 0 0Mougeotia sp. 2.206 1.003 2.526 3.459 3.609Rhizoclonium sp. 0 0 0 0 0Ankistrodesmus sp. 0 201 180 231 180Closterium sp. 0 0 0 231 31.038Ulothrix sp. 0 0 5.414 692 0Zygnemopsis sp. 2.005 0 0 0 0Spirogyra sp. 602 0 180 0 1.985Crucigenia sp. 0 0 722 0 0Desmidium sp. 0 0 1.083 0 13.534BACILLARIOPHYCEAENavicula sp. 1.203 602 0 231 361Epithemia sp. 0 0 0 0 0Pinnularia sp. 0 201 0 0 0Fragilaria sp. 602 401 0 0 180Eunotia sp. 802 401 0 0 180Gomphonema sp. 0 0 0 0 541Nitzschia sp. 0 201 361 231 180Surirella sp. 0 201 0 0 0Cymbella sp. 0 0 180 0 0Achnanthes sp. 0 0 0 0 180Hantzschia sp. 0 0 0 0 0DINOPHYCEAEPeridinium sp. 201 0 0 0 0
Jumlah Taksa 9 8 10 8 13 Kelimpahan (sel/m3) 27.872 3.211 62.075 11.992 114.404 Indeks Keragaman 1,55 1,89 0,83 1,23 1,38 Indeks Keseragaman 0,70 0,91 0,36 0,59 0,54 Indeks Dominansi 0,29 0,18 0,65 0,40 0,34Ctt.: Perhitungan Plankton menggunakan Ln. Metode pencacahan sensus dengan SRC.
ORGANISME (fitoplankton)
76
Lampiran 4. Kelimpahan dan keragaman zooplankton DAS Katingan (Juni 2017)
KTG -1 KTG -2 KTG -3 KTG -4 KTG -5
Asem Kumbang Baun Bango Telaga - S. Klaru Tumbang Bulan Perigi
PROTOZOAArcella sp. 0 0 0 0 0Difflugia sp. 0 0 0 0 0
ROTIFERABrachionus sp. 0 0 0 0 0Filinia sp. 0 0 0 346 0Lecane sp. 301 0 0 0 0Lepadella sp. 0 0 0 231 0Monostylla sp. 0 0 0 0 0
CRUSTACEAENauplius (stadia) 100 401 90 0 90Alonella sp. 0 0 90 0 0Daphnia sp. 0 0 0 115 90
Jumlah Taksa 2 1 2 3 2 Kelimpahan (Ind/m3) 401 401 180 692 180
Indeks Keragaman 0,56 0,00 0,69 1,01 0,69
Indeks Keseragaman 0,81 - 1,00 0,92 1,00
Indeks Dominansi 0,63 1,00 0,50 0,39 0,50
Ctt.: Perhitungan Plankton menggunakan Ln. Metode pencacahan sensus dengan SRC.
ORGANISME (Zooplankton)