laporan akhir mangrove 45
TRANSCRIPT
BAB IVANALISA
IV.1 Analisa Citra Satelit Satelit
IV.1.1. Pemilihan Citra dan Spesifikasi Citra
Berdasarkan katalog liputan citra yang ada dalam 1 hingga 2 tahun
sebelumnya diperoleh data bahwa citra satelit dengan tutupan awan
yang paling minim adalah liputan citra satelit pada bulan september
tahun 2010. Pertimbangan penggunaan citra spot ini adalah bahwa
data citra ini mempunyai kapasitas ataupun akurasi spasial yang
sesuai/cocok untuk pemetaan dalam skala 1:25000 hingga 1:10000.
Citra spot yang dipakai adalah citra spot berwarna dengan resolusi
spasial 10 meter. Pemilihan ini didasarkan pula bahwa citra dengan
kapasitas sejenis yaitu citra Landsat ETM7 dan ASTER mengalami
kerusakan dalam peliputan data sehingga hasil rekaman juga
mengalami gangguan. Citra Landsat ETM7 sejak 2006 mengalami
kerusakan sebagian sensor sehingga hasil rekaman pada bagian
tertentu membentuk pita hitam (tanpa rekama). Sedangkan data citra
ASTER pada sensor Near Infra Red mengalami gangguan dengan
demikian hasil rekaman data citra ASTER juga mengalami
kekosongan data pada data Near Infra Red. Kerusakan instrumen
sensor ASTER ini berlangsung kira-kira sejak tahun 2006.
IV.1.2. Komposit Citra SPOT
Pembuatan komposit citra Spot dilakukan untuk mendapatkan
gambar citra satelit yang sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan
demikian hasil komposit citra tersebut dapat dipergunakan sebagai
dasar pengenalan kondisi lapangan. Gambar berikut adalah adalah
citra komposit RGB Spot hasil pengolahan citra dengan memadukan
antara saluran (band) warna merah, saluran warna hijau (green) dan
saluran warna biru (biru). Gambar citra hasil komposit tersebut
diperjelas dengan menghilangkan beberapa gangguan (noise)
perekaman sehingga gambar komposit citra lebih jelas.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 51
Gambar 4.1. Citra komposit RGB SPOT
IV.2. Digitasi Spasial Kawasan Pesisir
IV.2.1. Digitasi Obyek Tutupan Lahan Pesisir Kabupaten Sidoarjo
Digitasi dilakukan dalam kerangka sistem kordinat UTM. Berikut
adalah gambar atau vektor tutupan lahan kawasan pesisir hasil
digitasi dari citra Spot yang telah dilakukan.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 52
Gambar 4.2. hasil digitasi tutupan lahan pesisir
berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan dan digitasi tutupan lahan
maka lahan kawan pesisir di kelompokkan menjadi kelompok lahan
mangrove, belukar, permukiman, bangunan, tanah kosong, tegalan,
sawah, tambak, dan lumpur (lumpur porong).
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 53
IV.2.2. Digitasi Mangove Di Pesisir Kabupaten Sidoarjo
Berikut adalah hasil digitasi sebaran mangrove yang ada di wilayah
pesisir timur Kabupaten Sidoarjo.
Gambar 4.3. Peta sebaran mangrove di wilayah pesisir Kab. Sidoarjo
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 54
Pada umumnya populasi hutan mangrove hanya berada pada garis
pantai dengan ketebalan antara 15 meter hingga 300 meter. Populasi
mangrove di muara Sungai Porong cukup baik berkembang dengan
ketebalan antara 100 hingga 30m meter. Populasi mangrove di sekitar
kawasan sungai Kepetingan dan kalanganyar berkisar ketebalan antara
50 hingga 200 meter. Semakin kearah utara sepanjang garis pantai
populasi mangrove menurun. Kondisi ini disebabkan karena invasi
tambak udang dan bandeng yang dilakukan masyarakat.
IV.2. Analisis Identifikasi Mangove.
Mangrove merupakan tumbuhan tropik dan komunitas tumbuhnya di daerah
pasang surut sepanjang garis pantai seperti tepi pantai, muara, laguna, dan
tepi sungai sehingga pada waktu pasang sedang naik mudah tergenangi air
laut, itu sebabnya hutan ini di sebut hutan pasang atau mangrove. Hutan
mangrove yang terletak di Dusun Bromo, Sidoarjo adalah contoh hutan yang
berada di tepi pantai dan muara sungai. Hal ini sesuai dengan pernyataan
FAO (1982) dan Nontji (1993) yaitu mangrove tersusun atas jenis tumbuhan
atau komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove
hanya bisa ditemukan di pantai yang terlindung dan terletak diantara garis
pasang-surut pada daerah estuari, pulau tengah laut yang terlindung dan
beberapa pulau karang mangrove sangat jarang ditemukan di daerah yang
terbuka.
Dari hasil pengamatan detil di Dusun Bromo Sungai Kepitingan terdapat 9
jenis mangrove yang ada dikawasan tersebut yaitu Avicennia alba,
Sonneratia alba, Rhizopora mucronata, Avicennia marina, Sonneratia
caseolaris, Acanthus illicifolius, Acanthus ebracteatus, Excoecaria agallocha,
dan Acrosticum speciosum. Plot I yang terletak di dekat muara kali alo di
dominasi oleh tegakan Sonneratia alba, tegakan lain yang ditemukan adalah
S. caseolaris dan Avicennia marina pada plot ini tidak dijumpai adanya
semai. Hal tersebut dikarenakan pengambilan data dilakukan dari arah laut
menuju ke darat dan pada saat itu kondisi sedang pasang dengan
kedalaman sekitar 1 meter, sehingga semai mangrove yang tingginya
kurang dari 1 meter menjadi tidak terlihat. Plot 2 terletak di jarak kurang
lebih 200 m dari plot 1, pengambilan data di lakukan dari darat ke arah laut.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 55
Tegakan mangrove yang dominan di plot ini adalah Avicennia alba,
sedangkan jenis lain yang ditemukan adalah Avicennia marina dan
Rhizopora mucronata. Pada plot ini jumlah semai dari tegakan mangrove
cukup banyak ditemukan yaitu untuk A. alba sebanyak 28 semai, dan A.
marina sebanyak 13 semai. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat
regenarasi mangrove di plot ini baik. Pada plot ini juga ditemukan adanya
spesies Acanthus illicifolius dan Acanthus ebracteatus . Plot 3 terletak di
dekat muara kali alo lebih dekat dengan plot 1 , pengambilan data dilakukan
pada hari yang berbeda dengan pengambilan data plot 1 dan plot 2, dimulai
dari pantai ke arah darat dengan kondisi lingkungan sedang pasang. Pada
plot ini hanya ditemukan 2 jenis tegakan mangrove yaitu Sonneratia alba
dan Avicennia alba, dan tegakan yang dominan adalah mangrove jenis S.
alba. Semai yang banyak dijumpai adalah semai dari S. alba sedangkan
semai A. alba tidak dijumpai. Berikutnya plot 4 yang juga diambil dari batas
mangrove terluar ke arah darat, dengn kondisi lingkungan saat pengambilan
data sedang mengalami pasang ditemukan 4 jenis tegakan mangrove yaitu
Avicennia alba, Sonneratia alba, Rhizopora mucronata, Avicennia marina.
Spesies dominan R. mucronata, sedangkan spesies yang paling sedikit
ditemukan adalah A. marina namun, dari jumlah semai paling banyak
dijumpai semai dari jenis A. marina. Selanjutnya plot 5 dan plot 6,
pengambilan data untuk kedua plot ini dilakukan pada hari berikutnya
setelah pengambilan data pada plot 3 dan 4. Lokasi pengambilan data plot 5
dan 6 terletak di dekat muara kali afur dan dilakukan dari darat menuju ke
arah laut. Pada plot 5 dijumpai 4 jenis tegakan mangrove yaitu Avicennia
alba, Sonneratia alba, Rhizopora mucronata, dan Avicennia marina. A. alba
paling banyak dijumpai pada plot ini baik dalam ukuran pohon atau tegakan
maupun ukuran semai dimana jumlahnya paling banyak dari jumlah tegakan
A. alba pada plot lainnya. Untuk plot 6 dijumpai 4 jenis tegakan mangrove
yang sama dengan jenis pada plot 5.
Berdasarkan data di tiap-tiap plot nilai dominansi relative (Dr) paling
besar 51,8% dimiliki oleh A. alba, nilai tersebut menunjukkan bahwa
A. alba merupakan jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan
melaksanakan kontrol terhadap komunitas dan menjadi ekologi
dominan dari komunitas mangrove kawasan tersebut. Nilai frekuensi
keberadaan jenis tertinggi adalah 31,25% yang dimiliki oleh A. alba
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 56
dan S. alba. Nilai frekuensi ini menunjukkan tingkat sebaran spesies
A. alba dan S. alba dalam suatu ekosisitem adalah sama. Sedangkan
nilai kerapatan relative tertinggi dimiliki oleh A. alba sebesar 57,51% .
Hal ini menunjukkan bahwa spesies A. alba mempunyai pola
penyesuaian yang besar terhadap lingkungannya. dari hasil analisa
kerapatan, frekuensi, dan dominansi dapat dikatakan bahwa spesies
A. alba memiliki pengaruh terhadap kestabilan ekosistem mangrove di
kawasan tersebut karena A. alba mempunyai indeks nilai penting
terbesar dari spesies lainnya yaitu sebesar 140,57. Sedangkan dari
hasil analisa data, keranekaragaman jenis mangrove di kawasan
tersebut dalam posisi sedang melimpah karena bedasarkan
perhitungan di dapat nilai H’ sebesar 1,14. Keanekaragamn ini
menunjukkan bahwa vegetasi mangrove di kawasan sidoarjo keadaan
komunitasnya cukup stabil.
Berdasarkan pengamatan dari hasil penelitian didapat bahwa hutan
mangrove di sidoarjo jauh lebih baik keadaanya dari pada hutan
mangrove di daerah pantai timur surabaya dilihat dari komposisi
penyusun juga indeks diversitasnya. Satu hal yang cukup unik dari
hasil pengamatanhutan mangrove sidoarjo yaitu, struktur zonasinya
yang tidak dapat ditentukan melalui susunan dari garis pantai ke arah
daratan. Zonasi hutan mangrove sidoarjo berubah ubah berdasarkan
jalur yang dilalui pada saat survei. Dominansi mangrove ditiap pantai
pun berbeda untuk tiap desa, seperti contoh di hutan mangrove yang
dibatasi oleh kali alo kecamatan buduran, disebelah kanan kali alo
dari arah laut, hutan mangrovenya di dominasi oleh Avicenia Sp.,
sedang di sebelah kiri kali alo dari arah laut,dominansi hutan
mangrove berubah drastis menjadi soneratia sp.
Untuk kekayaan spesiesnya, pengamatan hutan mangrove juga kami
lakukan dengan metode observasi, jenis tegakan mangrove yang
menyusun daerah riparian sungai besar sidokare yang berhasil di
data dan di identifikasi berjumlahove 19:
a. Acrosticum speciosum
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 57
b. Aegiceras flororidum
c. Avicenia marina
d. Avicenia lanata
e. Avicenia officianalis
f. Avicenia alba
g. Excocaria agallocha
h. Nypa fruticans
i. Rhizophora mucronata
j. Soneratia alba
k. Soneratia caseolaris
l. Xylocarpus molucensis
m. Calotropis gigantea
n. Hibiscus tiliaceus
o. Ipomea pes-caprae
p. Morinda citrifolia
q. Passiflora foetida
r. Sesuvium portulacastrum
s. Terminalia catappa
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan di
hutan mangrove sidoarjo, maka dapat dikatakan bahwa mangrove
sidoarjo menyimpan banyak potensi. Baik potensi ekonomis maupun
potensinya sebagai penyangga alam karena letaknya yang
menghubungkan antara daratan dengan laut. Pengawasan lebih
lanjut perlu dilakukan dengan penjagaan dari penebangan liar, karena
melihat potensinya sebagai penghasil kayu juga cukup besar.
Selain pengamatan pada populasi dan habitat mangrove, dilakukan
pula pengamatan keterdapatan insecta yang ada pada wilayah
penelitian (wilayah sampling) adapun hasil amatan jenis insecta yang
teramati terlampir pada tabel lampiran hasil amatan insecta.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 58
IV.3. Potensi Perikanan
IV.3.1. WPP Selat Madura
Berdasarkan data Statistik Perikanan Propinsi Jawa Timur
(2007) bahwa ikan pelagis di wilayah ini menduduki urutan
pertama di Jatim (73.352 ton) karena pada wilayah ini memiliki
kabupaten/kota pesisir dan nelayan terbanyak dibandingkan
dengan wilayah yang lain. Daerah penghasil ikan terbesar di
wilayah ini adalah Kota Probolinggo, diikuti daerah-daerah di
Pulau Madura. Kota Surabaya pada urutan ke-9 dari 10 daerah
di wilayah ini, sedangkan Sidoarjo pada urutan terakhir. Kota
Probolinggo memiliki produksi sebesar 34.981 ton karena
disumbang oleh produksi ikan lemuru yang sangat besar
(11.245 ton), kembung (7.489 ton), japuh (6.724 ton) dan
tembang (5.242 ton). Jenis japuh hanya dihasilkan oleh Kota
Probolinggo, sedangkan Surabaya hanya menghasilkan ikan
teri dengan jumlah kecil.
Berdasarkan jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap, ikan
lemuru menempati urutan pertama, diikuti ikan kembung,
tembang, japuh dan selar. Sedangkan jenis pelagis besar
didominasi ikan tongkol (7.606 ton), tengiri (4.172 ton) dan
cakalang (2.102 ton). Khusus cakalang dihasilkan dari daerah
Sampang, Pamekasan dan Kota Probolinggo.
Apabila ikan pelagis menduduki urutan pertama dibandingkan
dengan wilayah lain maka untuk ikan demersal menduduki
urutan ke-dua setelah wilayah utara. Di wilayah ini jenis ikan
demersal yang produksinya paling besar adalah ikan peperek,
diikuti ikan manyung, layur dan ikan-ikan dasar lain dengan
jumlah yang seimbang, masing-masing dengan volume sekitar
1.500-an ton. Daerah berkontribusi terbesar jenis ikan
demersal adalah Kota Probolinggo, Bangkalan, Sampang,
Pamekasan dan Probolinggo. Hampir semua daerah di Selat
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 59
Madura menghasilkan ikan dasar yang berarti di daerah ini
beroperasi alat tangkap dasar seperti dogol/cantrang. Di
daerah yang hasil ikan pelagisnya minim seperti Surabaya dan
Sidoarjo, hasil produksi ikan demersal seperti ikan pari, kakap
masing-masing lebih banyak daripada ikan pelagis.
Untuk daerah yang minim hasil tangkap ikan pelagis tetapi
memiliki hasil ikan demersal, seperti Surabaya menghasilkan
ikan belanak, dan Sidoarjo menghasilkan ikan beloso. Kecuali
ikan kakap dan layur yang memiliki pasar ekspor, jenis-jenis
ikan dasar umumnya jenis ikan kecil yang memiliki nilai
ekonomis rendah. Jenis manyung umumnya diolah lebih lanjut
menjadi ikan jambal, ikan pari diasap mejadi ikan panggang
dan ikan kurisi yang kini memiliki pasar ekspor dalam bentuk
filet.
IV.3.2. Alat tangkap ikan Selat Madura
Berdasarkaan sumber yang sama bahwa jumlah armada
perikanan menurut ukuran dan kabupaten/kota di Jatim tahun
2007 dari 10 jenis alat tangkap ikan penting dan dominan di
Selat Madura dapat dijabarkan sebagai berikut:
Bagian Selat Madura paling barat berada di daerah Gresik dan
Kota Surabaya yang merupakan alur pelayaran barat
Surabaya (APBS). Pada perairan yang relatif sempit ini terdiri
dari 2 kategori kedalaman, yaitu pada bagian tengah alur
memiliki kedalaman yang cukup untuk jalur pelayaran kapal
besar dari dan ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, dan
bagian pinggir yang dangkal karena sedimentasi sungai-sungai
yang bermuara di sana yang tidak aman untuk pelayaran kapal
besar. Pada bagian pinggir yang dangkal beroperasi beberapa
jenis alat tangkap menetap yang khas dan tidak terdapat di
daerah lain. Alat tangkap tersebut adalah jaring waring (toros)
yang termasuk set net yang dioperasikan dengan memasang
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 60
jaring berbentuk kantong pada 2 tonggak pohon kelapa yang
ditancapkan permanen di dasar perairan. Pada saat musim
udang gerago, bagian alat tangkap yang berupa jaring mulai
dipasang secara berjajar tegak lurus dengan arah arus selat
sepanjang pantai sisi Surabaya di Kenjeran/Sukolilo, dan sisi
Pulau Madura di Kwanyar dan Socah. Jenis alat tangkap lain
yang dioperasikan oleh masyarakat setempat adalah garit dan
cager. Garit dioperasikan oleh nelayan Sukolilo dengan cara
menggaruk dasar perairan dengan alat tangkap berupa
deretan besi runcing melengkung untuk mengait biota dasar
seperti teripang dan terung. Sedangkan di sisi barat banyak
beroperasi alat tangkap cager di perairan dangkal sekitar
Kalianak, Gresik dan Socah Bangkalan. Alat ini dipasang
berupa bentangan pagar krei bambu atau jaring waring yang
dipasang di perairan dangkal untuk menghalangi kembalinya
ikan berenang ke laut ketika air laut surut. Di samping itu juga
beroperasi sedikit alat tangkap sero di wilayah-wilayah
tersebut. Alat tangkap ini cara operasinya mirip dengan cager
namun dengan konstruksi yang lebih rumit, dengan tujuan
menjebak ikan yang bermigrasi harian mengikuti pasang surut
air laut.
Jenis alat tangkap penting dan dominan di Kota Surabaya
hanya didominasi oleh alat tangkap jaring klitik (1.028 unit).
Selain itu terdapat jenis alat tangkap lain-lain sebanyak 1.289
unit. Jenis alat tangkap lain-lain inilah yang merupakan jenis
alat tangkap khas di daerah tersebut di atas seperti waring,
cager dan garit.
Kabupaten pantai yang memiliki jumlah alat tangkap paling
sedikit di wilayah Selat Madura maupun di seluruh Jatim
adalah Sidoarjo. Pada daerah ini hanya terdapat 95 unit jaring
insang hanyut dan 78 unit jaring klitik. Pada era sebelum
reformasi dan berlakunya otonomi daerah, banyak nelayan
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 61
andon dari Sedayu Lawas Lamongan yang datang ke Sedati
untuk menangkap rajungan dan ikan bawal. Namun karena
adanya kerusuhan yang diakibatkan salah persepsi tentang
otonomi daerah maka nelayan andon tersebut sekarang tidak
bisa lagi datang ke sana. Jenis alat tangkap yang khas di
daerah ini adalah jaring lowang, yaitu jaring yang ukuran mata
jaringnya besar, terbuat dari senar monofilamen, ditujukan
untuk menangkap ikan lowang (bawal/dorang).
Jumlah keseluruhan dari 10 jenis alat tangkap penting dan
dominan di wilayah Selat Madura adalah 20.484 unit (dari total
keseluruhan 64.675 unit), dalam urutan nomor dua setelah
wilayah utara. Jenis alat tangkap paling banyak dan ada pada
semua kabupaten/kota kecuali Sidoarjo adalah jaring klitik
(23,3%), trammel net (22,9%), dan payang (21,9%). Selain
Kota Surabaya, daerah lain yang tidak memiliki pukat cincin
dan dogol adalah Sidoarjo dan Pasuruan. Sementara dogol
hanya ada di 3 daerah, yaitu Sampang, Kota Pasuruan dan
Situbondo. Rawai tetap hanya ada di Kota Probolinggo dan
pancing tonda ada di Pamekasan.
IV.3.3. Kapal perikanan dan pelabuhan perikanan Selat Madura
Jumlah armada penangkapan ikan di wilayah ini adalah
terbesar kedua (19.502 unit) setelah wilayah utara, lebih tinggi
daripada wilayah selatan dan Selat Bali. Sama halnya dengan
di wilayah utara, jenis armada terbanyak 80% adalah dari jenis
jukung, diikuti perahu papan tanpa mesin ukuran sedang
sebanyak 1.823 unit (9,3%). Jumlah jukung terbanyak ada di
Kota Pasuruan, diikuti Kota Probolinggo dan Kabupaten
Probolingggo, sedangkan jumlah PP kecil terbanyak di
Pasuruan, diikuti Situbondo, dan PP sedang terbanyak ada di
Pasuruan (1.152 unit), diikuti Sampang (376 unit), serta 95 unit
PP besar ada di Kota Pasuruan. Jenis motor tempel
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 62
seluruhnya di wilayah ini adalah 15.607 unit. Sementara dari
jenis kapal motor, ukuran 6-10 GT terbanyak ada di Sampang
(283 unit), diikuti oleh Kota Probolinggo (85 unit) dan Kota
Pasuruan (35 unit). KM ukuran 11-20 GT hanya ada di Kota
Pasuruan. Sedangkan ukuran 21-30 GT terbanyak di
Probolinggo (183 unit), diikuti Kota Probolinggo (43 unit) dan
Siitubondo (12 unit). Kapal > 31 GT hanya ada di Kota
Probolinggo (158 unit) dan Pamekasan (81 unit) serta
Situbondo (8 unit). Jenis kapal ini yang berlabuh di Pelabuhan
Mayangan sebagian besar berupa kapal bubu. Jenis kapal ini
merupakan nelayan andon dari Sumatera yang mengangkut
ratusan bubu di atas dek, kemudian dibawa ke daerah
penangkapan di sekitar Madura Kepulauan dan Indonesia
Timur lainnya.
Di sekitar Selat Madura, PPP Mayangan (Kota Probolinggo)
adalah pelabuhan perikanan yang terbesar. Pelabuhan
perikanan lain adalah PPI Romokalisari (Kota Surabaya,
sampai saat ini belum dibangun), TPI Sedati (Sidoarjo), PPI
Lekok (Pasuruan), PPI Paiton (Probolinggo), PPI Besuki,
Jangkar, Panarukan dan Pondok Mimbo (Situbondo). Di sisi
Pulau Madura tempat pendaratan ikan yang ada antara lain
Kwanyar (Bangkalan), Sreseh, Prenduan, Tlanakan
(Sampang) dan Branta Pesisir (Pamekasan). Kondisi pantai
yang landai di selatan Madura akan menyulitkan kapal-kapal
yang berlabuh di pantai. Keadaan pantai ini dan volume
produksi yang kecil yang dihasilkan oleh nelayan selatan Pulau
Madura sehingga menyebabkan perikanan tangkap di daerah
ini kurang bisa berkembang.
IV.3.4. Perikanan Tangkap (Laut) di Kabupaten Sidoarjo
1. Wilayah Laut Sidoarjo
Berdasarkan data statistik Sidoarjo Dalam Angka (2010)
bahwa wilayah Kabupaten Sidoarjo yang menghasilkan
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 63
produksi perikanan tangkap ada 3 kecamatan, yaitu Waru,
Sedati dan Sidoarjo. Pada ketiga wilayah tersebut, lokasi
tempat/pangkalan pendaratan ikan (PPI) berada jauh masuk
dari muara sungai.
Salah satu contoh adalah PPI Gisik Cemandi di Kecamatan
Sedati yang berada di dekat jembatan jalan raya
Kalanganyar – Rungkut yang terletak jauh dari muara
sungai. Karena tempat tambat perahu berada di dalam
sungai maka pergerakan perahu ke luar masuk dari laut ke
pelabuhan dan sebaliknya sangat tergantung dari tinggi air
pasang surut laut. Artinya apabila air laut sedang surut
maka kapal ikan (perahu) yang sedang berlabuh di PPI
tidak bisa keluar karena ketinggian air sungai kurang untuk
bisa mengapungkan perahu menuju ke muara. Demikian
juga sebaliknya, perahu yang berada di muara sungai tidak
bisa masuk ke PPI apabila air laut sedang surut.
Gambar 4.4. PPI Gisik Cemandi, Sedati
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 64
Daerah penangkapan ikan pantai timur Sidoarjo merupakan
perairan yang relatif dangkal karena sedimentasi yang tinggi
dari beberapa sungai yang bermuara. Karena itu tingkat
kekeruhan perairan ini sangat tinggi dan jenis-jenis ikan
yang mendiaminya adalah jenis-jenis ikan muara yang
dapat beradaptasi di perairan yang keruh. Di sekitar muara
sungai yang disurvei tampak hutan mangrove yang semakin
lebat penyebarannya. Di beberapa lokasi hasil gerakan
penanaman bakau yang dilakukan masyarakat sudah
menampakkan hasilnya utamanya jenis Rhyzopora sp.
2. Jenis Ikan
Di sekitar hutan bakau inilah merupakan daerah
pembesaran (nursery ground) beberapa jenis ikan
utamanya udang. Beberapa jenis biota khas penghuni hutan
bakau tampak masih cukup baik populasinya yaitu berbagai
jenis kepiting maupun ikan ‘gelodok’.
Gambar 4.5. Pasar Ikan, Kecamatan Kota Sidoarjo
Jenis ikan yang ada di perairan Sidoarjo berdasarkan
Sidoarjo dalam Angka (2010) adalah terdiri dari jenis ikan,
udang dan binatang berkulit keras. Jenis ikan dengan
volume produksi terbesar berturut-turut adalah teri (548,7)
ton, manyung (60,6 ton), cucut (42,3 ton), pari (37,4 ton),
belanak (32,1 ton), dan petek (20,1 ton). “Ikan lainnya”
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 65
karena tidak teridentifikasi secara jelas maka dimasukkan
ke dalam data bersama jenis binatang berkulit keras (Tabel
produksi penangkatan “ikan laut lainnya”).
Jumlah keseluruhan produksi ikan laut di Kabupaten
Sidoarjo pada tahun 2009 adalah 11.569,4 ton (diantaranya
adalah binatang berkulit keras seperti kupang, kerang, dan
kepiting sebanyak 9.806,2 ton). Sehingga volume produksi
ikan saja tanpa udang dan binatang berkulit keras adalah
1.447,6 ton.
Dari tabel rpoduksi penangkatan ikan laut menurut jenisnya,
tampak bahwa ke-6 jenis ikan yang ada (kecuali ikan teri)
adalah jenis-jenis ikan demersal yang umumnya berada di
sekitar muara sungai yang berair payau dan keruh. Jenis-
jenis ikan tersebut bersifat euryhaline, artinya mampu
beradaptasi terhadap perubahan yang besar pada salinitas.
Sedangkan ikan teri termasuk ikan pelagis yang ternyata
jumlah produksinya paling besar diantara jenis ikan yang
tertangkap di Sidoarjo. Volume produksi masing-masing
jenis ikan laut setiap bulan pada tahun 2009 tidak banyak
mengalami fluktuasi. Demikian juga volume produksi setiap
tahun dari 2005 – 2009 tidak banyak mengalami perubahan.
Dari tabel produksi penangkapan udang laut menuurt
jenisnya, tampak bahwa jenis udang yang tertangkap di
perairan Sidoarjo terdiri dari jenis udang laut (270 ton) dan
rebon (88,2 ton). Secara volume kedua jenis biota ini tidak
terlalu besar dan mendekati volume produksi ikan yang
lain.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 66
Tabel IV.1. Produksi Penangkapan ikan Laut Menurut Jenisnya Per-Bulan
No Bulan TeriManyun
gPetek Cucut Pari
Belanak
Jumlah
1 Januari 37.800 4.400 1.000 3.200 2.700 2.800 51.900
2 Februari 42.100 5.300 1.500 3.400 2.800 2.700 57.800
3 Maret 59.400 5.000 1.800 4.200 3.200 2.900 76.500
4 April 61.400 5.100 2.900 4.500 3.500 1.100 78.500
5 Mei 64.100 5.200 1.900 4.400 3.900 1.500 81.000
6 Juni 55.200 5.500 1.600 4.600 4.200 3.500 74.600
7 Juli 58.600 5.800 1.300 4.800 4.500 3.200 78.200
8 Agustus 25.200 5.500 1.100 3.500 3.700 3.100 42.100
9 September 27.100 5.700 1.900 3.200 2.200 3.500 43.600
10 Oktober 40.500 4.600 1.700 2.500 2.500 3.400 55.200
11 November 41.600 4.500 1.500 2.000 2.200 3.000 54.800
12 Desember 35.700 4.000 1.900 2.000 2.000 2.100 47.700
Jumlah (2009) 548.700 60.600 20.100 42.300 37.400 32.800 741.900
2008 557.000 68.600 24.900 44.300 40.400 34.700 769.900
2007 528.500 90.900 28.800 49.300 41.900 35.200 774.600
2006 530.000 93.700 30.600 50.100 10.200 35.300 749.900
2005 512.400 117.600 36.500 69.200 47.400 38.900 822.000
2004 493.050 114.400 33.650 66.300 53.500 37.900 798.800
2003 478.200 96.000 33.200 66.300 45.400 36.600 755.700
2002 469.800 93.300 32.500 64.200 44.500 35.900 740.200
Sumber : Kabupaten Sidoarjo dalam Angka 2010
Gambar 4.6. Grafik komposisi produksi ikan laut sidoarjo tahun 2009
Berdasarkan data pada tabel produksi penangkapan ikan
laut lainnya, tampak binatang berkulit keras seperti kerang,
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove
teri 548.700manyung 50.500tek 20.100cucut 42.300pari 37.400belanak 32800
67
kupang dan kepiting volumenya cukup tinggi utamanya
kupang yang merupakan biota khas pantai Sidoarjo yang
kemudian diolah menjadi makanan khas Sidoarjo yaitu
‘lontong kupang’. Sedangkan kerang juga menjadi
pelengkap kuliner khas kota ini yaitu sebagai ‘sate kerang’.
Volume produksi setiap bulan hampir sama yaitu sekitar
874,35 ton. Volume produksi per tahun juga tampak hampir
sama yaitu rata-rata 10.284,4 ton.
Tabel IV.2. Produksi Penangkapan udang Laut Menurut Jenisnya Per-Bulan
No Bulan Udang Rebon Jumlah
1 Januari 20.800 6.200 27.000
2 Februari 21.900 7.500 29.400
3 Maret 22.500 8.300 30.800
4 April 22.900 8.900 31.800
5 Mei 24.500 9.400 33.900
6 Juni 25.300 7.100 32.400
7 Juli 23.700 8.200 31.900
8 Agustus 23.500 6.300 29.800
9 September 21.700 6.600 28.300
10 Oktober 21.900 7.100 29.000
11 November 20.500 6.200 26.700
12 Desember 20.800 6.400 27.200
Jumlah (2009) 270.000 88.200 358.200
2008 237.600 94.800 332.400
2007 226.900 103.500 330.400
2006 225.800 105.600 331.400
2005 235.800 87.100 322.900
2004 224.100 84.150 308.250
2003 221.600 82.002 303.602
2002 217.300 80.400 297.700
Tabel IV.3. Produksi Penangkapan 'Ikan Laut lainnya' Menurut Jenisnya Per-Bulan
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 68
No Bulan
Binatang Berkulit Keras
(Kupang, Kerang,
Kepiting)
Lainnya Jumlah
1 Januari 847.100 52.100 899.200
2 Februari 860.300 54.100 914.400
3 Maret 866.400 51.800 918.200
4 April 894.100 54.100 948.200
5 Mei 963.500 57.600 1.021.100
6 Juni 995.200 54.300 1.049.500
7 Juli 983.100 59.200 1.042.300
8 Agustus 904.700 57.300 962.000
9 September 821.200 59.100 880.300
10 Oktober 814.100 56.400 870.500
11 November 817.400 54.000 871.400
12 Desember 725.100 53.100 778.200
Jumlah 2009 10.492.200 663.100 11.155.300
2008 10.440.000 671.500 11.111.500
2007 10.130.000 695.900 10.825.900
2006 10.100.300 698.901 10.799.201
2005 10.260.200 698.800 10.959.000
2004 688.850 688.850
2003 685.850 685.850
2002 672.400 672.400
Dari tabel produksi penangkan “ikan laut lainnya”. di atas
tampak bahwa volume produksi dari hewan berkulit keras
sangat dominan dibandingkan dengan dari jenis ikan laut
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 69
dan udang laut. Berdasarkan data di lapangan tampak
bahwa banyak jenis ikan laut yang dijual di sekitar PPI
seperti di Pasar Ikan Sidoarjo maupun di PPI Gisik Cemandi
adalah jenis-jenis ikan dari luar Sidorjo. Jenis ikan laut
seperti kerapu, kakap merah adalah ikan dari luar yang
dibawa oleh pedagang ikan untuk dijual di stan-stan ikan
segar sekitar PPI. Hal ini karena pada hari-hari libur sangat
ramai dengan pengunjung yang akan membeli ikan di sini
(PPI Gisik Cemandi). Jenis ikan tersebut bukan merupakan
penghuni perairan Sidoarjo yang dangkal dan keruh.
Gambar 4.7. Jenis ikan laut yang dijual di PPI Gisik Cemandi Sedati
Dari gambar di atas tampak bahwa ada beberapa jenis ikan
yang tidak ditangkap dari perairan Sidoarjo. Jenis-jenis ikan
tersebut dianataranya didatangkan oleh pedagang ikan dari
daerah lain. Alasan jenis ikan tersebut dijual di PPI ini
adalah karena pada saat hari libur banyak masyarakat yang
datang ke PPI ini untuk membeli ikan.
3. Jenis Alat Tangkap
Beberapa jenis alat tangkap dioperasikan di sungai seperti
‘waring’ (gambar dibawah) maupun jaring insang (gill net).
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 70
Jenis alat tangkap waring bersifat menyaring ikan yang
beruaya ke hulu sungai dan bersifat eurihalin. Sedangkan
jaring insang bersifat menjerat ikan. Jenis-jenis ikan yang
tertangkap pada kedua jenis alat tersebut diantaranya
adalah ikan belanak. Jenis alat tangkap garit dioperasikan di
Sedati untuk mencari kerang di pantai Sidoarjo yang relatif
dangkal dan berlumpur.
Gambar 4.8. Jenis alat tangkap ikan dan perahu nelayan
Jenis kepiting ditangkap dengan pancing kepiting (krakad)
maupun dengan bubu. Ada juga nelayan yang
menangkapnya dengan ‘menyuluh” yaitu dengan
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 71
menggunakan lampu pada malam hari dan dibantu dengan
serok.
IV.3.5. Perikanan Air Tawar
1. Produksi Ikan dari Tambak
Lokasi pertambakan di wilayah Kabupaten Sidoarjo berada
di sebelah pantai timur yang air asinnya berasal dari Selat
Madura. Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh sampai di
mana air laut masih bisa naik ke tambak dengan sifatnya
yang didorong oleh pasang naik air laut. Sistem pemasukan
air adalah air sungai yang sudah bersifat payau ketika air
naik karena pasang dimasukkan ke dalam tambak dengan
cara membuka pintu air tambak. Setelah itu pintu tersebut
ditutup agar air tidak kembali keluar pada saat air pasang
turun. Dengan demikian biota air yang dipelihara (budidaya)
di tambak-tambak Sidoarjo adalah jenis sumberdaya ikan
yang memiliki sifat dapat beradaptasi pada air payau. Jenis-
jenis biota tersebut adalah seperti bandeng, dan udang.
Diantara 18 kecamatan di Sidoarjo, 8 kecamatan
diantaranya memiliki wilayah pantai yaitu wilayah yang
berada di sisi timur yang menghadap Selat Madura. Ke-8
kecamatan tersebut dan luas tambak yang dimilikinya
adalah sebagai berikut: 1) Jabon (4.144,07 ha), 2) Sedati
(4.100,50 ha), 3) Sidoarjo (3.127,87 ha), 4) Buduran
(1.731,16 ha), 5) Candi (1.031,66 ha), 6) Porong (496,32
ha), 7) Tanggulangin (496,32 ha), dan 8) Waru (402,20 ha).
Berdasarkan jenis ikan tambak, data tahun 2002 – 2009
menunjukkan bahwa ikan bandeng mendominasi produksi
ikan tambak . Sebagai contoh data Tahun 2010
menunjukkan produksi ikan bandeng sebesar 16.026.800 kg
(70,5%). Sedangkan peringkat kedua adalah udang windu
yang jumlahnya jauh lebih kecil yaitu 3.465.500 kg
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 72
(15,24%). Jenis lainnya adalah udang campur (1.500.300
kg; 6,6%), dan udang putih (187.900 kg). Wilayah penghasil
ikan bandeng secara berurutan adalah: 1) Sedati (4.781.600
kg), 2) Jabon (3.500.700 kg), 3) Sidoarjo (3.150.200 kg), 4)
Buduran (2.200.100 kg), 5) Candi (1.100.100 kg), 6)
Tanggulangin (458.200 kg), Porong (425.500 kg), dan Waru
(410.400 kg).
Letak pertambakan rakyat yang berada jauh di hulu sungai
mengakibatkan transportasi hasil panen ikan tambak lebih
mudah diangkut dengan perahu misalnya ke Pasar Ikan
Sidoarjo daripada diangkut dengan transportasi darat
seperti mobil dan seped motor. Apalagi jalan darat menuju
pertambakan tersebut masih berupa tanah liat yang ketika
hujan menjadi lembek dan licin.
Gambar 4.9. Ikan tambak dan udang
Kabupaten Sidoarjo dikenal sebagai penghasil ikan
bandeng. Ikan bandeng Sidoarjo dikenal lebih enak karena
tidak ‘bau tanah’ karena dipelihara dalam tambak yang diisi
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 73
dengan air payau (campuran air laut dan air tawar).
Sedangkan di beberapa daerah lain ikan bandeng dipelihara
di kolam yang berisi air hujan yang tawar sehingga dikenal
rasa bandengnya ‘bau tanah’.
Gambar 4.10.. Bandeng Asap Sidoarjo
Produk pengolahan hasil perikanan di Sidoarjo terkenal
sampai ke luar daerah. Bandeng asap, krupuk ikan dan
udang, bandeng krispi tanpa duri adalah produk andalan
Sidoarjo sebagai bahan oleh-oleh bagi pendatang yang
datang ke kota ini.
2. Produksi Ikan dari Perairan Umum
Berdasarkan data Kabupaten Sidoarjo dalam Angka (2010)
bahwa yang dimaksud perairan umum pada kenyataannya
adalah budidaya kolam air tawar. Oleh karena itu jenis-jenis ikan
tawar seperti tawes, mujair dan lele masuk dalam data ikan
perairan umum. Demikian juga jenis udang adalah jenis udang
tawar. Dari jenis ikan tawar ini maka produksi ikan lele jauh
melebihi produksi ikan tawar lain yaitu sebesar 3.174.700 kg
(3.174,7 ton). Sedangkan urutan kedua adalah ikan mujair yang
hanya 82.000 kg, diikuti dengan ikan tawes (31.500 kg), dan
udang sebesar 65.900 kg.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 74
Gambar 4.11. ikan air tawar
Beradasarkan kecamatan penghasil ikan air tawar maka 5
kecamatan yang paling besar produksinya adalah Kecamatan
Sedati (963.200 kg), diikuti oleh Kecamatan Jabon (832.500 kg),
Kecamatan Sidoarjo (546.800). Sedangkan 13 kecamatan lain
memiliki produksi kurang dari 100.000 kg kecuali Waru (144.900
kg) dan Porong (106.300 kg).
IV.4. Kawasan Konservasi Mangrove
Kawasan konservasi mangrove ditentukan berdasarkan pada
kesesuaian kondisi geofisik kimia kawasan pesisir, kondisi sebaran
eksisting mangrove dan faktor pendukung lainnya.
Berdasarkan ketentuan Perda Kabupaten Sidoarjo No.6 Tahun 2009
tentang Rencatan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun
2009-2029 bahwa area sempadan pantai mencakup area luasan 100
meter dari daris pantai ke arah daratan dan 400 meter keaah laut.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 75
Gambar 4.12. Isu ancaman hutan mangrove di pesisir Sidoarjo.
Kawasan pesisir Kecamatan Waru dan Sedati merupakan kawasan
dengan ancaman bersumber pada kebutuhan lahan untuk mendukung
kegiatan perkembangan wilayah, perdagangan dan jasa. Penetapan
kawasan timu Kecamatan Sedati sebagai Rencana Kawasan Strategis
akan memberikan konsekuensi bagi tekanan terhadap keberadaan
hutan mengrove yang ada di wilayah tersebut. Tekanan tersebut antara
lain adalah;
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 76
Terganggunya ekosistem mangrove akibat peningkatan aktifitas
kegiatan manusia,
Konversi lahan hutan mangrove guna memenuhi kebutuhan
lahan untuk lahan kegiatan perdagangan, jasa, industri dan
permukiman sebagai akibat ditetapkaannya sebagai kawasan
strategis,
Berkurangnya keragaman hayati yang ada pada kawasan
tersebut karena menurunnya daya dukung lingkungan atau
habitat hutan mangrove.
Berkurangya produksi perikanan terutama perikanan budidaya
pada kawasan tersebut.
Kawasan bagian tengah atau kawasan pantai timur Kecamatan Sidoarjo
dengan konsentrasi pada muara sungai/kali Kepitingan Kawasan ini
merupakan muara dari beberapa alur/sungai yang berasal dari
Kecamatan Gedangan, Kecamatan Sidoarjo, Kecamatan Candi, dan
Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Porong dan Kecamatan Jabon.
Banyaknya alur/sungai yang bermuara pada kawasan tersebut
menjadikan kawasan Muara Sungai Kepitingan sanga dinamis baik
berasal dari daratan maupun proses-proses yang berasal dari laut.
Ancaman utama kelestarian hutan mangrove yang ada pada kawasan
ini terutama adalah akibat dari invasi tambak yang berlangsung cepat.
Kawasan bagian selatan didominsasi oleh sistem muara Sungai Porong.
Pembentukan delta yang cepat pada beberapa tempat diikuti oleh
suksesi mangrove. Namun demikian ancaman invasi tambak menjadi
potensi ancaman bagi kelangsungan ekosistem hutan mangrove yang
ada. Peningkatan sedimentasi akibat suplesi dari pengaliran lumpur
porong perlu dikaji lebih lanjut serta pola dan model interaksi dengan
ekosistem hutan mangrove yang ada memerlukan pengkajian tersendiri.
Adapun peta kawasan konservasi hutan mangrove pada kawasan
pesisir disajikan dalam peta terlampir.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 77
V.1 Keragaman Mangrove dan Kondisi Mangrove
Keberadaan mangrove di Pesisir Kabupaten Sidoarjo menarik untuk dikaji.
Baik menarik dari aspek kelimpahan jenis maupun model zonasinya.
Berdasarkan amatan ssepanjang garis pantai dan arah daratan zonasi
mangrove sangat sulit untuk ditentukan. Hal ini karena sepanjang garis
pantai terdapat berbagai jenis yang berbeda-beda antar lokasi (desa
sepanjang garis pantai). Demikian pula ke arah daratan zonasi mangrove
sulit untuk dilakukan pengelolmpokan.
Berdasar data amatan dari plot yang yang dilakukan di Dusun Bromo pada
Muara sungai Kepitingan diketahui terdapat kurang lebih 19 spesies
mangrove tegakan yaitu ; Acrosticum speciosum, Aegiceras flororidum,
Avicenia marina, Avicenia lanata, Avicenia officianalis, Avicenia alba,
Excocaria agallocha, Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, Soneratia
alba, Soneratia caseolaris, Xylocarpus molucensis, Calotropis gigantea,
Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Morinda citrifolia, Passiflora foetida,
Sesuvium portulacastrum, Terminalia catappa.
Avicennia Alba merupakan mangrove yang dominan pada kawasan
tersebut, hal ini ditunjukkan dari nilai Dominasi relatif yang tertinggi
dibanding dengan jenis mangrove yang ada lainnya. Dengan demikian
mangrove A.Alba merupakan jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi
dan mengkontrol komunitas pada kawasan tersebut.
Avicennia Alba dan Sonneratia Alba menunjukkan sebaran dengan
frekuensi tertinggi pada akawasan tersebut. Avicennia Alba juga merupakan
mangorove yang paling adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat
dibanding dengan mangrove lainnya.
Berdasarkan amatan plot lapangan diketahui bahwa keragaman mangrove
pada wilayah kajian pada kategori “sedang melimpah” dengan arti bahwa
kondisi seragaman mangrove di wilayah pesisir sidoarjo cukup stabil secara
komunitas.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 78
Hasil perhitungan luasan hutan mangrove berdasarkan citra satelit Spot
september 2010 adalah sebagaimana tabel berikut berikut.
Kecamatan Luas MangroveBuduran 68,844Candi 136,240Jabon 1006,722Porong 15,461Sedati 472,690Sidoarjo 221,575Tanggulangin 10,838
Waru 53,875
Sedangkan jumlah perbandingan antara hutan mangrove di kawsan
pesisir/garis pantai (langsung berbatasan dengan laut) yang masih alamiah
dengan lahan bekas hutan mangrove yang telah terkonversi (lahan bekas
hutan mangrove dan lahan hutan mangrove yang telah rusak) adalah
sebagaimana tabel berikut.
Kecamatan BuduranTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 17637,006 1,764Terkoversi/rusak 15062,908 1,506
Kecamatan CandiTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 162511,758 16,251Terkoversi/rusak 6088,900 0,609
Kecamatan JabonTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 2144539,424 214,454Terkoversi/rusak 751407,708 75,141
Kecamatan SedatiTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 2727577,050 272,758Terkoversi/rusak 2230946,544 223,095
V.2 Ancaman Komunitas Hutan Mangrove
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 79
Ancaman terbesar komunitas hutan mangrove di pesisir Kabupaten
Sidoarjo adalah berupa perubahan fungsi hutan mangrove menjadi tambak
yang sebelumnya dilakukan penebangan vegetasi/kayu mangrove.
Ancaman kedepan terkait dengan lahan hutan mangrove adalah
perkembangan kawasan yang membutuhkan lahan sebagai tempat
beraktifitas seperti industri, pergudangan, perdagangan, dan permukiman.
Kondisi ini akan semakin meningkat dengan ditetapkannya kawasan timur
Kecamatan Sedati sebagai kawasan strategis yang pada akhirnya akan
merubah kondisi lingkungan setempat.
Penebangan vegetasi mangrove oleh masyarakat masih sering dijumpai
mengingat kayu mangrove mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik.
Sebagian kelompok masyarakat sudah memahani peran dan fungsi hutan
mangrove bagi kelangsungan ekosistem dipesisir. Hal ini ditunjukkan
dengan kesadaran untuk penanaman mangrove secara swadaya.
V.3 Arahan Konservasi Mangrove
Secara kewilayahan seluruh wilayah pesisir di Kabupaten Sidoarjo
merupakan lahan pesisir yang bisa ditumbuhi mengrove dengan
menyesuaikan dengan kondisi geofisik kimia dan hidrooceanografi. Guna
menjaga kelestarian hutan mangrove maka perlu adanya kawasan khusus
yang diperuntukkan bagi koservasi mangrove. Lahan yang terpilih adalah
muara sungai kepitingan. Hal ini dengan pertimbangan kawasan tersebut
mempunyai keragaman flora dan fauna serta khususnya vegetasi mangrove
yang beragam.
Wilayah tersebut berdekatan dengan permukiman pesisir yang
masyarakatnya telah mulai memahami pentingnya kelestarian hutan
mangrove. Dengan demikian model sosial partisipatif dapat dikembangkan
pada pelaksanaan program-program konservasi hutan mangrove dengan
menitik beratkan pada peran partisipasi masyarakat pesisir setempat.
Sejalan dengan program konservasi hutan mangrove sosialisasi dan
pendidikan nonformasl menyangkut pendidikan lingkungan pesisir perlu
terus dikembangkan di kelompok masyarakat pesisir di Kabupaten Sidoarjo.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 80
Secara keagrariaan perlu adanya penetapan batas terkini garis pantai guna
menetapkan kawaan lindung pantai atau kawasan sempadan pantai
(seratus meter ke arah darat dam 400 meter kearah laut) guna sebagai
kawasan konservasi hutan mangrove. Penetapan garis sempadan pantai
perlu disertai dengan tanda fisik di lapangan (patok) sehingga memudahkan
bagi masyarakat, pihak-pihak terkait guna menentukan garis sempadan
pantai yang merupakan kawasan perlindungan bagi kelestarian hutan
mangrove.
Secara luasan lahan hasil arahan guna konservasi hutan mangrove di
kawasan muara Sungai Kepitingan mencakup area dengan luas kurang
lebih 500 hektar (ha). Adapun peta arahan rencana lahan guna konservasi
hutan mangrove terlampir.
Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 81