laporan akhir mangrove 45

43
BAB IV ANALISA IV.1 Analisa Citra Satelit Satelit IV.1.1. Pemilihan Citra dan Spesifikasi Citra Berdasarkan katalog liputan citra yang ada dalam 1 hingga 2 tahun sebelumnya diperoleh data bahwa citra satelit dengan tutupan awan yang paling minim adalah liputan citra satelit pada bulan september tahun 2010. Pertimbangan penggunaan citra spot ini adalah bahwa data citra ini mempunyai kapasitas ataupun akurasi spasial yang sesuai/cocok untuk pemetaan dalam skala 1:25000 hingga 1:10000. Citra spot yang dipakai adalah citra spot berwarna dengan resolusi spasial 10 meter. Pemilihan ini didasarkan pula bahwa citra dengan kapasitas sejenis yaitu citra Landsat ETM7 dan ASTER mengalami kerusakan dalam peliputan data sehingga hasil rekaman juga mengalami gangguan. Citra Landsat ETM7 sejak 2006 mengalami kerusakan sebagian sensor sehingga hasil rekaman pada bagian tertentu membentuk pita hitam (tanpa rekama). Sedangkan data citra ASTER pada sensor Near Infra Red mengalami gangguan dengan demikian hasil rekaman data citra ASTER juga mengalami kekosongan data pada data Near Infra Red. Kerusakan instrumen sensor ASTER ini berlangsung kira-kira sejak tahun 2006. IV.1.2. Komposit Citra SPOT Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 51

Upload: nurul-huda

Post on 29-Jun-2015

728 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan akhir mangrove 45

BAB IVANALISA

IV.1 Analisa Citra Satelit Satelit

IV.1.1. Pemilihan Citra dan Spesifikasi Citra

Berdasarkan katalog liputan citra yang ada dalam 1 hingga 2 tahun

sebelumnya diperoleh data bahwa citra satelit dengan tutupan awan

yang paling minim adalah liputan citra satelit pada bulan september

tahun 2010. Pertimbangan penggunaan citra spot ini adalah bahwa

data citra ini mempunyai kapasitas ataupun akurasi spasial yang

sesuai/cocok untuk pemetaan dalam skala 1:25000 hingga 1:10000.

Citra spot yang dipakai adalah citra spot berwarna dengan resolusi

spasial 10 meter. Pemilihan ini didasarkan pula bahwa citra dengan

kapasitas sejenis yaitu citra Landsat ETM7 dan ASTER mengalami

kerusakan dalam peliputan data sehingga hasil rekaman juga

mengalami gangguan. Citra Landsat ETM7 sejak 2006 mengalami

kerusakan sebagian sensor sehingga hasil rekaman pada bagian

tertentu membentuk pita hitam (tanpa rekama). Sedangkan data citra

ASTER pada sensor Near Infra Red mengalami gangguan dengan

demikian hasil rekaman data citra ASTER juga mengalami

kekosongan data pada data Near Infra Red. Kerusakan instrumen

sensor ASTER ini berlangsung kira-kira sejak tahun 2006.

IV.1.2. Komposit Citra SPOT

Pembuatan komposit citra Spot dilakukan untuk mendapatkan

gambar citra satelit yang sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan

demikian hasil komposit citra tersebut dapat dipergunakan sebagai

dasar pengenalan kondisi lapangan. Gambar berikut adalah adalah

citra komposit RGB Spot hasil pengolahan citra dengan memadukan

antara saluran (band) warna merah, saluran warna hijau (green) dan

saluran warna biru (biru). Gambar citra hasil komposit tersebut

diperjelas dengan menghilangkan beberapa gangguan (noise)

perekaman sehingga gambar komposit citra lebih jelas.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 51

Page 2: laporan akhir mangrove 45

Gambar 4.1. Citra komposit RGB SPOT

IV.2. Digitasi Spasial Kawasan Pesisir

IV.2.1. Digitasi Obyek Tutupan Lahan Pesisir Kabupaten Sidoarjo

Digitasi dilakukan dalam kerangka sistem kordinat UTM. Berikut

adalah gambar atau vektor tutupan lahan kawasan pesisir hasil

digitasi dari citra Spot yang telah dilakukan.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 52

Page 3: laporan akhir mangrove 45

Gambar 4.2. hasil digitasi tutupan lahan pesisir

berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan dan digitasi tutupan lahan

maka lahan kawan pesisir di kelompokkan menjadi kelompok lahan

mangrove, belukar, permukiman, bangunan, tanah kosong, tegalan,

sawah, tambak, dan lumpur (lumpur porong).

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 53

Page 4: laporan akhir mangrove 45

IV.2.2. Digitasi Mangove Di Pesisir Kabupaten Sidoarjo

Berikut adalah hasil digitasi sebaran mangrove yang ada di wilayah

pesisir timur Kabupaten Sidoarjo.

Gambar 4.3. Peta sebaran mangrove di wilayah pesisir Kab. Sidoarjo

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 54

Page 5: laporan akhir mangrove 45

Pada umumnya populasi hutan mangrove hanya berada pada garis

pantai dengan ketebalan antara 15 meter hingga 300 meter. Populasi

mangrove di muara Sungai Porong cukup baik berkembang dengan

ketebalan antara 100 hingga 30m meter. Populasi mangrove di sekitar

kawasan sungai Kepetingan dan kalanganyar berkisar ketebalan antara

50 hingga 200 meter. Semakin kearah utara sepanjang garis pantai

populasi mangrove menurun. Kondisi ini disebabkan karena invasi

tambak udang dan bandeng yang dilakukan masyarakat.

IV.2. Analisis Identifikasi Mangove.

Mangrove merupakan tumbuhan tropik dan komunitas tumbuhnya di daerah

pasang surut sepanjang garis pantai seperti tepi pantai, muara, laguna, dan

tepi sungai sehingga pada waktu pasang sedang naik mudah tergenangi air

laut, itu sebabnya hutan ini di sebut hutan pasang atau mangrove. Hutan

mangrove yang terletak di Dusun Bromo, Sidoarjo adalah contoh hutan yang

berada di tepi pantai dan muara sungai. Hal ini sesuai dengan pernyataan

FAO (1982) dan Nontji (1993) yaitu mangrove tersusun atas jenis tumbuhan

atau komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove

hanya bisa ditemukan di pantai yang terlindung dan terletak diantara garis

pasang-surut pada daerah estuari, pulau tengah laut yang terlindung dan

beberapa pulau karang mangrove sangat jarang ditemukan di daerah yang

terbuka.

Dari hasil pengamatan detil di Dusun Bromo Sungai Kepitingan terdapat 9

jenis mangrove yang ada dikawasan tersebut yaitu Avicennia alba,

Sonneratia alba, Rhizopora mucronata, Avicennia marina, Sonneratia

caseolaris, Acanthus illicifolius, Acanthus ebracteatus, Excoecaria agallocha,

dan Acrosticum speciosum. Plot I yang terletak di dekat muara kali alo di

dominasi oleh tegakan Sonneratia alba, tegakan lain yang ditemukan adalah

S. caseolaris dan Avicennia marina pada plot ini tidak dijumpai adanya

semai. Hal tersebut dikarenakan pengambilan data dilakukan dari arah laut

menuju ke darat dan pada saat itu kondisi sedang pasang dengan

kedalaman sekitar 1 meter, sehingga semai mangrove yang tingginya

kurang dari 1 meter menjadi tidak terlihat. Plot 2 terletak di jarak kurang

lebih 200 m dari plot 1, pengambilan data di lakukan dari darat ke arah laut.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 55

Page 6: laporan akhir mangrove 45

Tegakan mangrove yang dominan di plot ini adalah Avicennia alba,

sedangkan jenis lain yang ditemukan adalah Avicennia marina dan

Rhizopora mucronata. Pada plot ini jumlah semai dari tegakan mangrove

cukup banyak ditemukan yaitu untuk A. alba sebanyak 28 semai, dan A.

marina sebanyak 13 semai. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat

regenarasi mangrove di plot ini baik. Pada plot ini juga ditemukan adanya

spesies Acanthus illicifolius dan Acanthus ebracteatus . Plot 3 terletak di

dekat muara kali alo lebih dekat dengan plot 1 , pengambilan data dilakukan

pada hari yang berbeda dengan pengambilan data plot 1 dan plot 2, dimulai

dari pantai ke arah darat dengan kondisi lingkungan sedang pasang. Pada

plot ini hanya ditemukan 2 jenis tegakan mangrove yaitu Sonneratia alba

dan Avicennia alba, dan tegakan yang dominan adalah mangrove jenis S.

alba. Semai yang banyak dijumpai adalah semai dari S. alba sedangkan

semai A. alba tidak dijumpai. Berikutnya plot 4 yang juga diambil dari batas

mangrove terluar ke arah darat, dengn kondisi lingkungan saat pengambilan

data sedang mengalami pasang ditemukan 4 jenis tegakan mangrove yaitu

Avicennia alba, Sonneratia alba, Rhizopora mucronata, Avicennia marina.

Spesies dominan R. mucronata, sedangkan spesies yang paling sedikit

ditemukan adalah A. marina namun, dari jumlah semai paling banyak

dijumpai semai dari jenis A. marina. Selanjutnya plot 5 dan plot 6,

pengambilan data untuk kedua plot ini dilakukan pada hari berikutnya

setelah pengambilan data pada plot 3 dan 4. Lokasi pengambilan data plot 5

dan 6 terletak di dekat muara kali afur dan dilakukan dari darat menuju ke

arah laut. Pada plot 5 dijumpai 4 jenis tegakan mangrove yaitu Avicennia

alba, Sonneratia alba, Rhizopora mucronata, dan Avicennia marina. A. alba

paling banyak dijumpai pada plot ini baik dalam ukuran pohon atau tegakan

maupun ukuran semai dimana jumlahnya paling banyak dari jumlah tegakan

A. alba pada plot lainnya. Untuk plot 6 dijumpai 4 jenis tegakan mangrove

yang sama dengan jenis pada plot 5.

Berdasarkan data di tiap-tiap plot nilai dominansi relative (Dr) paling

besar 51,8% dimiliki oleh A. alba, nilai tersebut menunjukkan bahwa

A. alba merupakan jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan

melaksanakan kontrol terhadap komunitas dan menjadi ekologi

dominan dari komunitas mangrove kawasan tersebut. Nilai frekuensi

keberadaan jenis tertinggi adalah 31,25% yang dimiliki oleh A. alba

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 56

Page 7: laporan akhir mangrove 45

dan S. alba. Nilai frekuensi ini menunjukkan tingkat sebaran spesies

A. alba dan S. alba dalam suatu ekosisitem adalah sama. Sedangkan

nilai kerapatan relative tertinggi dimiliki oleh A. alba sebesar 57,51% .

Hal ini menunjukkan bahwa spesies A. alba mempunyai pola

penyesuaian yang besar terhadap lingkungannya. dari hasil analisa

kerapatan, frekuensi, dan dominansi dapat dikatakan bahwa spesies

A. alba memiliki pengaruh terhadap kestabilan ekosistem mangrove di

kawasan tersebut karena A. alba mempunyai indeks nilai penting

terbesar dari spesies lainnya yaitu sebesar 140,57. Sedangkan dari

hasil analisa data, keranekaragaman jenis mangrove di kawasan

tersebut dalam posisi sedang melimpah karena bedasarkan

perhitungan di dapat nilai H’ sebesar 1,14. Keanekaragamn ini

menunjukkan bahwa vegetasi mangrove di kawasan sidoarjo keadaan

komunitasnya cukup stabil.

Berdasarkan pengamatan dari hasil penelitian didapat bahwa hutan

mangrove di sidoarjo jauh lebih baik keadaanya dari pada hutan

mangrove di daerah pantai timur surabaya dilihat dari komposisi

penyusun juga indeks diversitasnya. Satu hal yang cukup unik dari

hasil pengamatanhutan mangrove sidoarjo yaitu, struktur zonasinya

yang tidak dapat ditentukan melalui susunan dari garis pantai ke arah

daratan. Zonasi hutan mangrove sidoarjo berubah ubah berdasarkan

jalur yang dilalui pada saat survei. Dominansi mangrove ditiap pantai

pun berbeda untuk tiap desa, seperti contoh di hutan mangrove yang

dibatasi oleh kali alo kecamatan buduran, disebelah kanan kali alo

dari arah laut, hutan mangrovenya di dominasi oleh Avicenia Sp.,

sedang di sebelah kiri kali alo dari arah laut,dominansi hutan

mangrove berubah drastis menjadi soneratia sp.

Untuk kekayaan spesiesnya, pengamatan hutan mangrove juga kami

lakukan dengan metode observasi, jenis tegakan mangrove yang

menyusun daerah riparian sungai besar sidokare yang berhasil di

data dan di identifikasi berjumlahove 19:

a. Acrosticum speciosum

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 57

Page 8: laporan akhir mangrove 45

b. Aegiceras flororidum

c. Avicenia marina

d. Avicenia lanata

e. Avicenia officianalis

f. Avicenia alba

g. Excocaria agallocha

h. Nypa fruticans

i. Rhizophora mucronata

j. Soneratia alba

k. Soneratia caseolaris

l. Xylocarpus molucensis

m. Calotropis gigantea

n. Hibiscus tiliaceus

o. Ipomea pes-caprae

p. Morinda citrifolia

q. Passiflora foetida

r. Sesuvium portulacastrum

s. Terminalia catappa

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan di

hutan mangrove sidoarjo, maka dapat dikatakan bahwa mangrove

sidoarjo menyimpan banyak potensi. Baik potensi ekonomis maupun

potensinya sebagai penyangga alam karena letaknya yang

menghubungkan antara daratan dengan laut. Pengawasan lebih

lanjut perlu dilakukan dengan penjagaan dari penebangan liar, karena

melihat potensinya sebagai penghasil kayu juga cukup besar.

Selain pengamatan pada populasi dan habitat mangrove, dilakukan

pula pengamatan keterdapatan insecta yang ada pada wilayah

penelitian (wilayah sampling) adapun hasil amatan jenis insecta yang

teramati terlampir pada tabel lampiran hasil amatan insecta.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 58

Page 9: laporan akhir mangrove 45

IV.3. Potensi Perikanan

IV.3.1. WPP Selat Madura

Berdasarkan data Statistik Perikanan Propinsi Jawa Timur

(2007) bahwa ikan pelagis di wilayah ini menduduki urutan

pertama di Jatim (73.352 ton) karena pada wilayah ini memiliki

kabupaten/kota pesisir dan nelayan terbanyak dibandingkan

dengan wilayah yang lain. Daerah penghasil ikan terbesar di

wilayah ini adalah Kota Probolinggo, diikuti daerah-daerah di

Pulau Madura. Kota Surabaya pada urutan ke-9 dari 10 daerah

di wilayah ini, sedangkan Sidoarjo pada urutan terakhir. Kota

Probolinggo memiliki produksi sebesar 34.981 ton karena

disumbang oleh produksi ikan lemuru yang sangat besar

(11.245 ton), kembung (7.489 ton), japuh (6.724 ton) dan

tembang (5.242 ton). Jenis japuh hanya dihasilkan oleh Kota

Probolinggo, sedangkan Surabaya hanya menghasilkan ikan

teri dengan jumlah kecil.

Berdasarkan jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap, ikan

lemuru menempati urutan pertama, diikuti ikan kembung,

tembang, japuh dan selar. Sedangkan jenis pelagis besar

didominasi ikan tongkol (7.606 ton), tengiri (4.172 ton) dan

cakalang (2.102 ton). Khusus cakalang dihasilkan dari daerah

Sampang, Pamekasan dan Kota Probolinggo.

Apabila ikan pelagis menduduki urutan pertama dibandingkan

dengan wilayah lain maka untuk ikan demersal menduduki

urutan ke-dua setelah wilayah utara. Di wilayah ini jenis ikan

demersal yang produksinya paling besar adalah ikan peperek,

diikuti ikan manyung, layur dan ikan-ikan dasar lain dengan

jumlah yang seimbang, masing-masing dengan volume sekitar

1.500-an ton. Daerah berkontribusi terbesar jenis ikan

demersal adalah Kota Probolinggo, Bangkalan, Sampang,

Pamekasan dan Probolinggo. Hampir semua daerah di Selat

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 59

Page 10: laporan akhir mangrove 45

Madura menghasilkan ikan dasar yang berarti di daerah ini

beroperasi alat tangkap dasar seperti dogol/cantrang. Di

daerah yang hasil ikan pelagisnya minim seperti Surabaya dan

Sidoarjo, hasil produksi ikan demersal seperti ikan pari, kakap

masing-masing lebih banyak daripada ikan pelagis.

Untuk daerah yang minim hasil tangkap ikan pelagis tetapi

memiliki hasil ikan demersal, seperti Surabaya menghasilkan

ikan belanak, dan Sidoarjo menghasilkan ikan beloso. Kecuali

ikan kakap dan layur yang memiliki pasar ekspor, jenis-jenis

ikan dasar umumnya jenis ikan kecil yang memiliki nilai

ekonomis rendah. Jenis manyung umumnya diolah lebih lanjut

menjadi ikan jambal, ikan pari diasap mejadi ikan panggang

dan ikan kurisi yang kini memiliki pasar ekspor dalam bentuk

filet.

IV.3.2. Alat tangkap ikan Selat Madura

Berdasarkaan sumber yang sama bahwa jumlah armada

perikanan menurut ukuran dan kabupaten/kota di Jatim tahun

2007 dari 10 jenis alat tangkap ikan penting dan dominan di

Selat Madura dapat dijabarkan sebagai berikut:

Bagian Selat Madura paling barat berada di daerah Gresik dan

Kota Surabaya yang merupakan alur pelayaran barat

Surabaya (APBS). Pada perairan yang relatif sempit ini terdiri

dari 2 kategori kedalaman, yaitu pada bagian tengah alur

memiliki kedalaman yang cukup untuk jalur pelayaran kapal

besar dari dan ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, dan

bagian pinggir yang dangkal karena sedimentasi sungai-sungai

yang bermuara di sana yang tidak aman untuk pelayaran kapal

besar. Pada bagian pinggir yang dangkal beroperasi beberapa

jenis alat tangkap menetap yang khas dan tidak terdapat di

daerah lain. Alat tangkap tersebut adalah jaring waring (toros)

yang termasuk set net yang dioperasikan dengan memasang

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 60

Page 11: laporan akhir mangrove 45

jaring berbentuk kantong pada 2 tonggak pohon kelapa yang

ditancapkan permanen di dasar perairan. Pada saat musim

udang gerago, bagian alat tangkap yang berupa jaring mulai

dipasang secara berjajar tegak lurus dengan arah arus selat

sepanjang pantai sisi Surabaya di Kenjeran/Sukolilo, dan sisi

Pulau Madura di Kwanyar dan Socah. Jenis alat tangkap lain

yang dioperasikan oleh masyarakat setempat adalah garit dan

cager. Garit dioperasikan oleh nelayan Sukolilo dengan cara

menggaruk dasar perairan dengan alat tangkap berupa

deretan besi runcing melengkung untuk mengait biota dasar

seperti teripang dan terung. Sedangkan di sisi barat banyak

beroperasi alat tangkap cager di perairan dangkal sekitar

Kalianak, Gresik dan Socah Bangkalan. Alat ini dipasang

berupa bentangan pagar krei bambu atau jaring waring yang

dipasang di perairan dangkal untuk menghalangi kembalinya

ikan berenang ke laut ketika air laut surut. Di samping itu juga

beroperasi sedikit alat tangkap sero di wilayah-wilayah

tersebut. Alat tangkap ini cara operasinya mirip dengan cager

namun dengan konstruksi yang lebih rumit, dengan tujuan

menjebak ikan yang bermigrasi harian mengikuti pasang surut

air laut.

Jenis alat tangkap penting dan dominan di Kota Surabaya

hanya didominasi oleh alat tangkap jaring klitik (1.028 unit).

Selain itu terdapat jenis alat tangkap lain-lain sebanyak 1.289

unit. Jenis alat tangkap lain-lain inilah yang merupakan jenis

alat tangkap khas di daerah tersebut di atas seperti waring,

cager dan garit.

Kabupaten pantai yang memiliki jumlah alat tangkap paling

sedikit di wilayah Selat Madura maupun di seluruh Jatim

adalah Sidoarjo. Pada daerah ini hanya terdapat 95 unit jaring

insang hanyut dan 78 unit jaring klitik. Pada era sebelum

reformasi dan berlakunya otonomi daerah, banyak nelayan

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 61

Page 12: laporan akhir mangrove 45

andon dari Sedayu Lawas Lamongan yang datang ke Sedati

untuk menangkap rajungan dan ikan bawal. Namun karena

adanya kerusuhan yang diakibatkan salah persepsi tentang

otonomi daerah maka nelayan andon tersebut sekarang tidak

bisa lagi datang ke sana. Jenis alat tangkap yang khas di

daerah ini adalah jaring lowang, yaitu jaring yang ukuran mata

jaringnya besar, terbuat dari senar monofilamen, ditujukan

untuk menangkap ikan lowang (bawal/dorang).

Jumlah keseluruhan dari 10 jenis alat tangkap penting dan

dominan di wilayah Selat Madura adalah 20.484 unit (dari total

keseluruhan 64.675 unit), dalam urutan nomor dua setelah

wilayah utara. Jenis alat tangkap paling banyak dan ada pada

semua kabupaten/kota kecuali Sidoarjo adalah jaring klitik

(23,3%), trammel net (22,9%), dan payang (21,9%). Selain

Kota Surabaya, daerah lain yang tidak memiliki pukat cincin

dan dogol adalah Sidoarjo dan Pasuruan. Sementara dogol

hanya ada di 3 daerah, yaitu Sampang, Kota Pasuruan dan

Situbondo. Rawai tetap hanya ada di Kota Probolinggo dan

pancing tonda ada di Pamekasan.

IV.3.3. Kapal perikanan dan pelabuhan perikanan Selat Madura

Jumlah armada penangkapan ikan di wilayah ini adalah

terbesar kedua (19.502 unit) setelah wilayah utara, lebih tinggi

daripada wilayah selatan dan Selat Bali. Sama halnya dengan

di wilayah utara, jenis armada terbanyak 80% adalah dari jenis

jukung, diikuti perahu papan tanpa mesin ukuran sedang

sebanyak 1.823 unit (9,3%). Jumlah jukung terbanyak ada di

Kota Pasuruan, diikuti Kota Probolinggo dan Kabupaten

Probolingggo, sedangkan jumlah PP kecil terbanyak di

Pasuruan, diikuti Situbondo, dan PP sedang terbanyak ada di

Pasuruan (1.152 unit), diikuti Sampang (376 unit), serta 95 unit

PP besar ada di Kota Pasuruan. Jenis motor tempel

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 62

Page 13: laporan akhir mangrove 45

seluruhnya di wilayah ini adalah 15.607 unit. Sementara dari

jenis kapal motor, ukuran 6-10 GT terbanyak ada di Sampang

(283 unit), diikuti oleh Kota Probolinggo (85 unit) dan Kota

Pasuruan (35 unit). KM ukuran 11-20 GT hanya ada di Kota

Pasuruan. Sedangkan ukuran 21-30 GT terbanyak di

Probolinggo (183 unit), diikuti Kota Probolinggo (43 unit) dan

Siitubondo (12 unit). Kapal > 31 GT hanya ada di Kota

Probolinggo (158 unit) dan Pamekasan (81 unit) serta

Situbondo (8 unit). Jenis kapal ini yang berlabuh di Pelabuhan

Mayangan sebagian besar berupa kapal bubu. Jenis kapal ini

merupakan nelayan andon dari Sumatera yang mengangkut

ratusan bubu di atas dek, kemudian dibawa ke daerah

penangkapan di sekitar Madura Kepulauan dan Indonesia

Timur lainnya.

Di sekitar Selat Madura, PPP Mayangan (Kota Probolinggo)

adalah pelabuhan perikanan yang terbesar. Pelabuhan

perikanan lain adalah PPI Romokalisari (Kota Surabaya,

sampai saat ini belum dibangun), TPI Sedati (Sidoarjo), PPI

Lekok (Pasuruan), PPI Paiton (Probolinggo), PPI Besuki,

Jangkar, Panarukan dan Pondok Mimbo (Situbondo). Di sisi

Pulau Madura tempat pendaratan ikan yang ada antara lain

Kwanyar (Bangkalan), Sreseh, Prenduan, Tlanakan

(Sampang) dan Branta Pesisir (Pamekasan). Kondisi pantai

yang landai di selatan Madura akan menyulitkan kapal-kapal

yang berlabuh di pantai. Keadaan pantai ini dan volume

produksi yang kecil yang dihasilkan oleh nelayan selatan Pulau

Madura sehingga menyebabkan perikanan tangkap di daerah

ini kurang bisa berkembang.

IV.3.4. Perikanan Tangkap (Laut) di Kabupaten Sidoarjo

1. Wilayah Laut Sidoarjo

Berdasarkan data statistik Sidoarjo Dalam Angka (2010)

bahwa wilayah Kabupaten Sidoarjo yang menghasilkan

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 63

Page 14: laporan akhir mangrove 45

produksi perikanan tangkap ada 3 kecamatan, yaitu Waru,

Sedati dan Sidoarjo. Pada ketiga wilayah tersebut, lokasi

tempat/pangkalan pendaratan ikan (PPI) berada jauh masuk

dari muara sungai.

Salah satu contoh adalah PPI Gisik Cemandi di Kecamatan

Sedati yang berada di dekat jembatan jalan raya

Kalanganyar – Rungkut yang terletak jauh dari muara

sungai. Karena tempat tambat perahu berada di dalam

sungai maka pergerakan perahu ke luar masuk dari laut ke

pelabuhan dan sebaliknya sangat tergantung dari tinggi air

pasang surut laut. Artinya apabila air laut sedang surut

maka kapal ikan (perahu) yang sedang berlabuh di PPI

tidak bisa keluar karena ketinggian air sungai kurang untuk

bisa mengapungkan perahu menuju ke muara. Demikian

juga sebaliknya, perahu yang berada di muara sungai tidak

bisa masuk ke PPI apabila air laut sedang surut.

Gambar 4.4. PPI Gisik Cemandi, Sedati

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 64

Page 15: laporan akhir mangrove 45

Daerah penangkapan ikan pantai timur Sidoarjo merupakan

perairan yang relatif dangkal karena sedimentasi yang tinggi

dari beberapa sungai yang bermuara. Karena itu tingkat

kekeruhan perairan ini sangat tinggi dan jenis-jenis ikan

yang mendiaminya adalah jenis-jenis ikan muara yang

dapat beradaptasi di perairan yang keruh. Di sekitar muara

sungai yang disurvei tampak hutan mangrove yang semakin

lebat penyebarannya. Di beberapa lokasi hasil gerakan

penanaman bakau yang dilakukan masyarakat sudah

menampakkan hasilnya utamanya jenis Rhyzopora sp.

2. Jenis Ikan

Di sekitar hutan bakau inilah merupakan daerah

pembesaran (nursery ground) beberapa jenis ikan

utamanya udang. Beberapa jenis biota khas penghuni hutan

bakau tampak masih cukup baik populasinya yaitu berbagai

jenis kepiting maupun ikan ‘gelodok’.

Gambar 4.5. Pasar Ikan, Kecamatan Kota Sidoarjo

Jenis ikan yang ada di perairan Sidoarjo berdasarkan

Sidoarjo dalam Angka (2010) adalah terdiri dari jenis ikan,

udang dan binatang berkulit keras. Jenis ikan dengan

volume produksi terbesar berturut-turut adalah teri (548,7)

ton, manyung (60,6 ton), cucut (42,3 ton), pari (37,4 ton),

belanak (32,1 ton), dan petek (20,1 ton). “Ikan lainnya”

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 65

Page 16: laporan akhir mangrove 45

karena tidak teridentifikasi secara jelas maka dimasukkan

ke dalam data bersama jenis binatang berkulit keras (Tabel

produksi penangkatan “ikan laut lainnya”).

Jumlah keseluruhan produksi ikan laut di Kabupaten

Sidoarjo pada tahun 2009 adalah 11.569,4 ton (diantaranya

adalah binatang berkulit keras seperti kupang, kerang, dan

kepiting sebanyak 9.806,2 ton). Sehingga volume produksi

ikan saja tanpa udang dan binatang berkulit keras adalah

1.447,6 ton.

Dari tabel rpoduksi penangkatan ikan laut menurut jenisnya,

tampak bahwa ke-6 jenis ikan yang ada (kecuali ikan teri)

adalah jenis-jenis ikan demersal yang umumnya berada di

sekitar muara sungai yang berair payau dan keruh. Jenis-

jenis ikan tersebut bersifat euryhaline, artinya mampu

beradaptasi terhadap perubahan yang besar pada salinitas.

Sedangkan ikan teri termasuk ikan pelagis yang ternyata

jumlah produksinya paling besar diantara jenis ikan yang

tertangkap di Sidoarjo. Volume produksi masing-masing

jenis ikan laut setiap bulan pada tahun 2009 tidak banyak

mengalami fluktuasi. Demikian juga volume produksi setiap

tahun dari 2005 – 2009 tidak banyak mengalami perubahan.

Dari tabel produksi penangkapan udang laut menuurt

jenisnya, tampak bahwa jenis udang yang tertangkap di

perairan Sidoarjo terdiri dari jenis udang laut (270 ton) dan

rebon (88,2 ton). Secara volume kedua jenis biota ini tidak

terlalu besar dan mendekati volume produksi ikan yang

lain.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 66

Page 17: laporan akhir mangrove 45

Tabel IV.1. Produksi Penangkapan ikan Laut Menurut Jenisnya Per-Bulan

No Bulan TeriManyun

gPetek Cucut Pari

Belanak

Jumlah

1 Januari 37.800 4.400 1.000 3.200 2.700 2.800 51.900

2 Februari 42.100 5.300 1.500 3.400 2.800 2.700 57.800

3 Maret 59.400 5.000 1.800 4.200 3.200 2.900 76.500

4 April 61.400 5.100 2.900 4.500 3.500 1.100 78.500

5 Mei 64.100 5.200 1.900 4.400 3.900 1.500 81.000

6 Juni 55.200 5.500 1.600 4.600 4.200 3.500 74.600

7 Juli 58.600 5.800 1.300 4.800 4.500 3.200 78.200

8 Agustus 25.200 5.500 1.100 3.500 3.700 3.100 42.100

9 September 27.100 5.700 1.900 3.200 2.200 3.500 43.600

10 Oktober 40.500 4.600 1.700 2.500 2.500 3.400 55.200

11 November 41.600 4.500 1.500 2.000 2.200 3.000 54.800

12 Desember 35.700 4.000 1.900 2.000 2.000 2.100 47.700

Jumlah (2009) 548.700 60.600 20.100 42.300 37.400 32.800 741.900

2008 557.000 68.600 24.900 44.300 40.400 34.700 769.900

2007 528.500 90.900 28.800 49.300 41.900 35.200 774.600

2006 530.000 93.700 30.600 50.100 10.200 35.300 749.900

2005 512.400 117.600 36.500 69.200 47.400 38.900 822.000

2004 493.050 114.400 33.650 66.300 53.500 37.900 798.800

2003 478.200 96.000 33.200 66.300 45.400 36.600 755.700

2002 469.800 93.300 32.500 64.200 44.500 35.900 740.200

Sumber : Kabupaten Sidoarjo dalam Angka 2010

Gambar 4.6. Grafik komposisi produksi ikan laut sidoarjo tahun 2009

Berdasarkan data pada tabel produksi penangkapan ikan

laut lainnya, tampak binatang berkulit keras seperti kerang,

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove

teri 548.700manyung 50.500tek 20.100cucut 42.300pari 37.400belanak 32800

67

Page 18: laporan akhir mangrove 45

kupang dan kepiting volumenya cukup tinggi utamanya

kupang yang merupakan biota khas pantai Sidoarjo yang

kemudian diolah menjadi makanan khas Sidoarjo yaitu

‘lontong kupang’. Sedangkan kerang juga menjadi

pelengkap kuliner khas kota ini yaitu sebagai ‘sate kerang’.

Volume produksi setiap bulan hampir sama yaitu sekitar

874,35 ton. Volume produksi per tahun juga tampak hampir

sama yaitu rata-rata 10.284,4 ton.

Tabel IV.2. Produksi Penangkapan udang Laut Menurut Jenisnya Per-Bulan

No Bulan Udang Rebon Jumlah

1 Januari 20.800 6.200 27.000

2 Februari 21.900 7.500 29.400

3 Maret 22.500 8.300 30.800

4 April 22.900 8.900 31.800

5 Mei 24.500 9.400 33.900

6 Juni 25.300 7.100 32.400

7 Juli 23.700 8.200 31.900

8 Agustus 23.500 6.300 29.800

9 September 21.700 6.600 28.300

10 Oktober 21.900 7.100 29.000

11 November 20.500 6.200 26.700

12 Desember 20.800 6.400 27.200

Jumlah (2009) 270.000 88.200 358.200

2008 237.600 94.800 332.400

2007 226.900 103.500 330.400

2006 225.800 105.600 331.400

2005 235.800 87.100 322.900

2004 224.100 84.150 308.250

2003 221.600 82.002 303.602

2002 217.300 80.400 297.700

Tabel IV.3. Produksi Penangkapan 'Ikan Laut lainnya' Menurut Jenisnya Per-Bulan

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 68

Page 19: laporan akhir mangrove 45

No Bulan

Binatang Berkulit Keras

(Kupang, Kerang,

Kepiting)

Lainnya Jumlah

1 Januari 847.100 52.100 899.200

2 Februari 860.300 54.100 914.400

3 Maret 866.400 51.800 918.200

4 April 894.100 54.100 948.200

5 Mei 963.500 57.600 1.021.100

6 Juni 995.200 54.300 1.049.500

7 Juli 983.100 59.200 1.042.300

8 Agustus 904.700 57.300 962.000

9 September 821.200 59.100 880.300

10 Oktober 814.100 56.400 870.500

11 November 817.400 54.000 871.400

12 Desember 725.100 53.100 778.200

Jumlah 2009 10.492.200 663.100 11.155.300

2008 10.440.000 671.500 11.111.500

2007 10.130.000 695.900 10.825.900

2006 10.100.300 698.901 10.799.201

2005 10.260.200 698.800 10.959.000

2004 688.850 688.850

2003 685.850 685.850

2002 672.400 672.400

Dari tabel produksi penangkan “ikan laut lainnya”. di atas

tampak bahwa volume produksi dari hewan berkulit keras

sangat dominan dibandingkan dengan dari jenis ikan laut

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 69

Page 20: laporan akhir mangrove 45

dan udang laut. Berdasarkan data di lapangan tampak

bahwa banyak jenis ikan laut yang dijual di sekitar PPI

seperti di Pasar Ikan Sidoarjo maupun di PPI Gisik Cemandi

adalah jenis-jenis ikan dari luar Sidorjo. Jenis ikan laut

seperti kerapu, kakap merah adalah ikan dari luar yang

dibawa oleh pedagang ikan untuk dijual di stan-stan ikan

segar sekitar PPI. Hal ini karena pada hari-hari libur sangat

ramai dengan pengunjung yang akan membeli ikan di sini

(PPI Gisik Cemandi). Jenis ikan tersebut bukan merupakan

penghuni perairan Sidoarjo yang dangkal dan keruh.

Gambar 4.7. Jenis ikan laut yang dijual di PPI Gisik Cemandi Sedati

Dari gambar di atas tampak bahwa ada beberapa jenis ikan

yang tidak ditangkap dari perairan Sidoarjo. Jenis-jenis ikan

tersebut dianataranya didatangkan oleh pedagang ikan dari

daerah lain. Alasan jenis ikan tersebut dijual di PPI ini

adalah karena pada saat hari libur banyak masyarakat yang

datang ke PPI ini untuk membeli ikan.

3. Jenis Alat Tangkap

Beberapa jenis alat tangkap dioperasikan di sungai seperti

‘waring’ (gambar dibawah) maupun jaring insang (gill net).

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 70

Page 21: laporan akhir mangrove 45

Jenis alat tangkap waring bersifat menyaring ikan yang

beruaya ke hulu sungai dan bersifat eurihalin. Sedangkan

jaring insang bersifat menjerat ikan. Jenis-jenis ikan yang

tertangkap pada kedua jenis alat tersebut diantaranya

adalah ikan belanak. Jenis alat tangkap garit dioperasikan di

Sedati untuk mencari kerang di pantai Sidoarjo yang relatif

dangkal dan berlumpur.

Gambar 4.8. Jenis alat tangkap ikan dan perahu nelayan

Jenis kepiting ditangkap dengan pancing kepiting (krakad)

maupun dengan bubu. Ada juga nelayan yang

menangkapnya dengan ‘menyuluh” yaitu dengan

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 71

Page 22: laporan akhir mangrove 45

menggunakan lampu pada malam hari dan dibantu dengan

serok.

IV.3.5. Perikanan Air Tawar

1. Produksi Ikan dari Tambak

Lokasi pertambakan di wilayah Kabupaten Sidoarjo berada

di sebelah pantai timur yang air asinnya berasal dari Selat

Madura. Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh sampai di

mana air laut masih bisa naik ke tambak dengan sifatnya

yang didorong oleh pasang naik air laut. Sistem pemasukan

air adalah air sungai yang sudah bersifat payau ketika air

naik karena pasang dimasukkan ke dalam tambak dengan

cara membuka pintu air tambak. Setelah itu pintu tersebut

ditutup agar air tidak kembali keluar pada saat air pasang

turun. Dengan demikian biota air yang dipelihara (budidaya)

di tambak-tambak Sidoarjo adalah jenis sumberdaya ikan

yang memiliki sifat dapat beradaptasi pada air payau. Jenis-

jenis biota tersebut adalah seperti bandeng, dan udang.

Diantara 18 kecamatan di Sidoarjo, 8 kecamatan

diantaranya memiliki wilayah pantai yaitu wilayah yang

berada di sisi timur yang menghadap Selat Madura. Ke-8

kecamatan tersebut dan luas tambak yang dimilikinya

adalah sebagai berikut: 1) Jabon (4.144,07 ha), 2) Sedati

(4.100,50 ha), 3) Sidoarjo (3.127,87 ha), 4) Buduran

(1.731,16 ha), 5) Candi (1.031,66 ha), 6) Porong (496,32

ha), 7) Tanggulangin (496,32 ha), dan 8) Waru (402,20 ha).

Berdasarkan jenis ikan tambak, data tahun 2002 – 2009

menunjukkan bahwa ikan bandeng mendominasi produksi

ikan tambak . Sebagai contoh data Tahun 2010

menunjukkan produksi ikan bandeng sebesar 16.026.800 kg

(70,5%). Sedangkan peringkat kedua adalah udang windu

yang jumlahnya jauh lebih kecil yaitu 3.465.500 kg

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 72

Page 23: laporan akhir mangrove 45

(15,24%). Jenis lainnya adalah udang campur (1.500.300

kg; 6,6%), dan udang putih (187.900 kg). Wilayah penghasil

ikan bandeng secara berurutan adalah: 1) Sedati (4.781.600

kg), 2) Jabon (3.500.700 kg), 3) Sidoarjo (3.150.200 kg), 4)

Buduran (2.200.100 kg), 5) Candi (1.100.100 kg), 6)

Tanggulangin (458.200 kg), Porong (425.500 kg), dan Waru

(410.400 kg).

Letak pertambakan rakyat yang berada jauh di hulu sungai

mengakibatkan transportasi hasil panen ikan tambak lebih

mudah diangkut dengan perahu misalnya ke Pasar Ikan

Sidoarjo daripada diangkut dengan transportasi darat

seperti mobil dan seped motor. Apalagi jalan darat menuju

pertambakan tersebut masih berupa tanah liat yang ketika

hujan menjadi lembek dan licin.

Gambar 4.9. Ikan tambak dan udang

Kabupaten Sidoarjo dikenal sebagai penghasil ikan

bandeng. Ikan bandeng Sidoarjo dikenal lebih enak karena

tidak ‘bau tanah’ karena dipelihara dalam tambak yang diisi

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 73

Page 24: laporan akhir mangrove 45

dengan air payau (campuran air laut dan air tawar).

Sedangkan di beberapa daerah lain ikan bandeng dipelihara

di kolam yang berisi air hujan yang tawar sehingga dikenal

rasa bandengnya ‘bau tanah’.

Gambar 4.10.. Bandeng Asap Sidoarjo

Produk pengolahan hasil perikanan di Sidoarjo terkenal

sampai ke luar daerah. Bandeng asap, krupuk ikan dan

udang, bandeng krispi tanpa duri adalah produk andalan

Sidoarjo sebagai bahan oleh-oleh bagi pendatang yang

datang ke kota ini.

2. Produksi Ikan dari Perairan Umum

Berdasarkan data Kabupaten Sidoarjo dalam Angka (2010)

bahwa yang dimaksud perairan umum pada kenyataannya

adalah budidaya kolam air tawar. Oleh karena itu jenis-jenis ikan

tawar seperti tawes, mujair dan lele masuk dalam data ikan

perairan umum. Demikian juga jenis udang adalah jenis udang

tawar. Dari jenis ikan tawar ini maka produksi ikan lele jauh

melebihi produksi ikan tawar lain yaitu sebesar 3.174.700 kg

(3.174,7 ton). Sedangkan urutan kedua adalah ikan mujair yang

hanya 82.000 kg, diikuti dengan ikan tawes (31.500 kg), dan

udang sebesar 65.900 kg.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 74

Page 25: laporan akhir mangrove 45

Gambar 4.11. ikan air tawar

Beradasarkan kecamatan penghasil ikan air tawar maka 5

kecamatan yang paling besar produksinya adalah Kecamatan

Sedati (963.200 kg), diikuti oleh Kecamatan Jabon (832.500 kg),

Kecamatan Sidoarjo (546.800). Sedangkan 13 kecamatan lain

memiliki produksi kurang dari 100.000 kg kecuali Waru (144.900

kg) dan Porong (106.300 kg).

IV.4. Kawasan Konservasi Mangrove

Kawasan konservasi mangrove ditentukan berdasarkan pada

kesesuaian kondisi geofisik kimia kawasan pesisir, kondisi sebaran

eksisting mangrove dan faktor pendukung lainnya.

Berdasarkan ketentuan Perda Kabupaten Sidoarjo No.6 Tahun 2009

tentang Rencatan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun

2009-2029 bahwa area sempadan pantai mencakup area luasan 100

meter dari daris pantai ke arah daratan dan 400 meter keaah laut.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 75

Page 26: laporan akhir mangrove 45

Gambar 4.12. Isu ancaman hutan mangrove di pesisir Sidoarjo.

Kawasan pesisir Kecamatan Waru dan Sedati merupakan kawasan

dengan ancaman bersumber pada kebutuhan lahan untuk mendukung

kegiatan perkembangan wilayah, perdagangan dan jasa. Penetapan

kawasan timu Kecamatan Sedati sebagai Rencana Kawasan Strategis

akan memberikan konsekuensi bagi tekanan terhadap keberadaan

hutan mengrove yang ada di wilayah tersebut. Tekanan tersebut antara

lain adalah;

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 76

Page 27: laporan akhir mangrove 45

Terganggunya ekosistem mangrove akibat peningkatan aktifitas

kegiatan manusia,

Konversi lahan hutan mangrove guna memenuhi kebutuhan

lahan untuk lahan kegiatan perdagangan, jasa, industri dan

permukiman sebagai akibat ditetapkaannya sebagai kawasan

strategis,

Berkurangnya keragaman hayati yang ada pada kawasan

tersebut karena menurunnya daya dukung lingkungan atau

habitat hutan mangrove.

Berkurangya produksi perikanan terutama perikanan budidaya

pada kawasan tersebut.

Kawasan bagian tengah atau kawasan pantai timur Kecamatan Sidoarjo

dengan konsentrasi pada muara sungai/kali Kepitingan Kawasan ini

merupakan muara dari beberapa alur/sungai yang berasal dari

Kecamatan Gedangan, Kecamatan Sidoarjo, Kecamatan Candi, dan

Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Porong dan Kecamatan Jabon.

Banyaknya alur/sungai yang bermuara pada kawasan tersebut

menjadikan kawasan Muara Sungai Kepitingan sanga dinamis baik

berasal dari daratan maupun proses-proses yang berasal dari laut.

Ancaman utama kelestarian hutan mangrove yang ada pada kawasan

ini terutama adalah akibat dari invasi tambak yang berlangsung cepat.

Kawasan bagian selatan didominsasi oleh sistem muara Sungai Porong.

Pembentukan delta yang cepat pada beberapa tempat diikuti oleh

suksesi mangrove. Namun demikian ancaman invasi tambak menjadi

potensi ancaman bagi kelangsungan ekosistem hutan mangrove yang

ada. Peningkatan sedimentasi akibat suplesi dari pengaliran lumpur

porong perlu dikaji lebih lanjut serta pola dan model interaksi dengan

ekosistem hutan mangrove yang ada memerlukan pengkajian tersendiri.

Adapun peta kawasan konservasi hutan mangrove pada kawasan

pesisir disajikan dalam peta terlampir.

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 77

Page 28: laporan akhir mangrove 45

V.1 Keragaman Mangrove dan Kondisi Mangrove

Keberadaan mangrove di Pesisir Kabupaten Sidoarjo menarik untuk dikaji.

Baik menarik dari aspek kelimpahan jenis maupun model zonasinya.

Berdasarkan amatan ssepanjang garis pantai dan arah daratan zonasi

mangrove sangat sulit untuk ditentukan. Hal ini karena sepanjang garis

pantai terdapat berbagai jenis yang berbeda-beda antar lokasi (desa

sepanjang garis pantai). Demikian pula ke arah daratan zonasi mangrove

sulit untuk dilakukan pengelolmpokan.

Berdasar data amatan dari plot yang yang dilakukan di Dusun Bromo pada

Muara sungai Kepitingan diketahui terdapat kurang lebih 19 spesies

mangrove tegakan yaitu ; Acrosticum speciosum, Aegiceras flororidum,

Avicenia marina, Avicenia lanata, Avicenia officianalis, Avicenia alba,

Excocaria agallocha, Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, Soneratia

alba, Soneratia caseolaris, Xylocarpus molucensis, Calotropis gigantea,

Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Morinda citrifolia, Passiflora foetida,

Sesuvium portulacastrum, Terminalia catappa.

Avicennia Alba merupakan mangrove yang dominan pada kawasan

tersebut, hal ini ditunjukkan dari nilai Dominasi relatif yang tertinggi

dibanding dengan jenis mangrove yang ada lainnya. Dengan demikian

mangrove A.Alba merupakan jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi

dan mengkontrol komunitas pada kawasan tersebut.

Avicennia Alba dan Sonneratia Alba menunjukkan sebaran dengan

frekuensi tertinggi pada akawasan tersebut. Avicennia Alba juga merupakan

mangorove yang paling adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat

dibanding dengan mangrove lainnya.

Berdasarkan amatan plot lapangan diketahui bahwa keragaman mangrove

pada wilayah kajian pada kategori “sedang melimpah” dengan arti bahwa

kondisi seragaman mangrove di wilayah pesisir sidoarjo cukup stabil secara

komunitas.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 78

Page 29: laporan akhir mangrove 45

Hasil perhitungan luasan hutan mangrove berdasarkan citra satelit Spot

september 2010 adalah sebagaimana tabel berikut berikut.

Kecamatan Luas MangroveBuduran 68,844Candi 136,240Jabon 1006,722Porong 15,461Sedati 472,690Sidoarjo 221,575Tanggulangin 10,838

Waru 53,875

Sedangkan jumlah perbandingan antara hutan mangrove di kawsan

pesisir/garis pantai (langsung berbatasan dengan laut) yang masih alamiah

dengan lahan bekas hutan mangrove yang telah terkonversi (lahan bekas

hutan mangrove dan lahan hutan mangrove yang telah rusak) adalah

sebagaimana tabel berikut.

Kecamatan BuduranTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 17637,006 1,764Terkoversi/rusak 15062,908 1,506

Kecamatan CandiTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 162511,758 16,251Terkoversi/rusak 6088,900 0,609

Kecamatan JabonTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 2144539,424 214,454Terkoversi/rusak 751407,708 75,141

Kecamatan SedatiTutupan Lahan Luas (m2) Luas (Ha)Mangrove 2727577,050 272,758Terkoversi/rusak 2230946,544 223,095

V.2 Ancaman Komunitas Hutan Mangrove

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 79

Page 30: laporan akhir mangrove 45

Ancaman terbesar komunitas hutan mangrove di pesisir Kabupaten

Sidoarjo adalah berupa perubahan fungsi hutan mangrove menjadi tambak

yang sebelumnya dilakukan penebangan vegetasi/kayu mangrove.

Ancaman kedepan terkait dengan lahan hutan mangrove adalah

perkembangan kawasan yang membutuhkan lahan sebagai tempat

beraktifitas seperti industri, pergudangan, perdagangan, dan permukiman.

Kondisi ini akan semakin meningkat dengan ditetapkannya kawasan timur

Kecamatan Sedati sebagai kawasan strategis yang pada akhirnya akan

merubah kondisi lingkungan setempat.

Penebangan vegetasi mangrove oleh masyarakat masih sering dijumpai

mengingat kayu mangrove mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik.

Sebagian kelompok masyarakat sudah memahani peran dan fungsi hutan

mangrove bagi kelangsungan ekosistem dipesisir. Hal ini ditunjukkan

dengan kesadaran untuk penanaman mangrove secara swadaya.

V.3 Arahan Konservasi Mangrove

Secara kewilayahan seluruh wilayah pesisir di Kabupaten Sidoarjo

merupakan lahan pesisir yang bisa ditumbuhi mengrove dengan

menyesuaikan dengan kondisi geofisik kimia dan hidrooceanografi. Guna

menjaga kelestarian hutan mangrove maka perlu adanya kawasan khusus

yang diperuntukkan bagi koservasi mangrove. Lahan yang terpilih adalah

muara sungai kepitingan. Hal ini dengan pertimbangan kawasan tersebut

mempunyai keragaman flora dan fauna serta khususnya vegetasi mangrove

yang beragam.

Wilayah tersebut berdekatan dengan permukiman pesisir yang

masyarakatnya telah mulai memahami pentingnya kelestarian hutan

mangrove. Dengan demikian model sosial partisipatif dapat dikembangkan

pada pelaksanaan program-program konservasi hutan mangrove dengan

menitik beratkan pada peran partisipasi masyarakat pesisir setempat.

Sejalan dengan program konservasi hutan mangrove sosialisasi dan

pendidikan nonformasl menyangkut pendidikan lingkungan pesisir perlu

terus dikembangkan di kelompok masyarakat pesisir di Kabupaten Sidoarjo.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 80

Page 31: laporan akhir mangrove 45

Secara keagrariaan perlu adanya penetapan batas terkini garis pantai guna

menetapkan kawaan lindung pantai atau kawasan sempadan pantai

(seratus meter ke arah darat dam 400 meter kearah laut) guna sebagai

kawasan konservasi hutan mangrove. Penetapan garis sempadan pantai

perlu disertai dengan tanda fisik di lapangan (patok) sehingga memudahkan

bagi masyarakat, pihak-pihak terkait guna menentukan garis sempadan

pantai yang merupakan kawasan perlindungan bagi kelestarian hutan

mangrove.

Secara luasan lahan hasil arahan guna konservasi hutan mangrove di

kawasan muara Sungai Kepitingan mencakup area dengan luas kurang

lebih 500 hektar (ha). Adapun peta arahan rencana lahan guna konservasi

hutan mangrove terlampir.

Laporan Akhir Kajian Konservasi Hutan Mangrove 81