landasan teori yg bener
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
Dasar teori untuk menjawab pertanyaan mengenai gambaran disiplin
karyawan dalam menggunakan alat perlindungan diri adalah teori mengenai
disiplin, alat perlindungan diri dan karyawan. Di bawah ini akan diuraikan teori-
teori diatas.
A. DISIPLIN
Di dalam kehidupan sehari-hari, dimana pun manusia berada, dibutuhkan
ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang akan mengatur dan membatasi
setiap kegiatan dan perilakunya. Namun, peraturan-peraturan tersebut tidak akan ada
artinya bila tidak disertai dengan sanksi bagi para pelanggarnya.
Manusia sebagai individu kadang-kadang ingin hidup bebas, sehingga ia ingin
melepaskan diri dari segala ikatan dan peraturan yang membatasi kegiatan dan
perilakunya. Namun, tiap individu harus mampu menyesuaikan diri terhadap segala
sesuatu yang ditetapkan padanya sehingga tercipta masyarakat yang tertib dan bebas
dari kekacauan-kekacauan. Demikian juga kehidupan dalam suatu perusahaan.
Perusahaan membutuhkan ketaatan anggota-anggotanya pada peraturan dan
ketentuan perusahaan yang berlaku di perusahaan tersebut. Dengan kata lain,
diperlukan disiplin kerja pada karyawan sehingga apa yang menjadi
tujuan perusahaan dapat tercapai. Tujuan perusahaan akan sukar dicapai bila tidak ada
disiplin kerja dari karyawan.
1. Definisi Disiplin
Disiplin menurut Helmi (1996) merupakan suatu sikap dan perilaku yang
berniat untuk mentaati segala peraturan organisasi yang didasari atas kesadaran diri
untuk menyesuaikan dengan peraturan organisasi.
Disiplin adalah sikap kesediaan dan kerelaan seseorang untuk mematuhi
dan menaati norma-norma peraturan yang berlaku di sekitarnya (Singodimejo
dalam Edi Sutrisno, 2009).
Edi Sutrisno (2009) mengatakan disiplin menunjukkan suatu kondisi atau
sikap hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan-peraturan dan
ketetapan perusahaan. Disiplin adalah sikap hormat terhadap peraturan dan
ketetapan perusahaan yang ada di dalam diri karyawan yang menyebabkan ia
dapat menyesuaikan diri dengan sukarela pada peraturan dan ketetapan
perusahaan.
Disiplin menurut Darmodiharjo (1982) adalah sikap mental yang
mengandung kerelaan untuk mematuhi semua ketentuan, peraturan dan norma
yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggungjawab.
Disiplin sangat diperlukan karena dipandang sebagai faktor pengikat dan
integrasi serta merupakan kekuatan yang dapat memaksakan individu untuk
xxxii
mematuhi peraturan serta prosedur kerja yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Disiplin mengacu pada pola tingkah laku dengan ciri–ciri sebagai berikut:
a. Adanya hasrat yang kuat untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah
menjadi norma, etika, kaidah yang berlaku;
b. Adanya perilaku yang terkendali, dan c.
Adanya ketaatan.
Prijodarminto (1994) menyatakan disiplin adalah suatu kondisi yang
tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan
nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan disiplin adalah
perilaku seseorang yang sesuai dengan peraturan, prosedur kerja yang ada, taat
terhadap peraturan yang ada atau disiplin adalah sikap, tingkah laku dan perbuatan
yang sesuai dengan peraturan dari organisasi baik yang tertulis maupun secara
lisan.
Dengan demikian perilaku dalam kaitannya dengan penggunaan alat
pelindung diri ini adalah seberapa jauh sikap individu memberikan perhatian
secara optimal terhadap penggunaan alat pelindung diri.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disiplin
Menurut Singodimedjo (dalam Edi, 2009), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi disiplin karyawan, yaitu :
a. Besar kecilnya pemberian kompensasi.
Besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi tegaknya disiplin. Karyawan
akan mematuhi segala peraturan yang berlaku bilaia merasa mendapat jaminan
balas jasa yang setimpal dengan jerih payahnya yang telah dikontribusikan
kepada perusahaan.
b. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan.
Keteladanan pimpinan sangat penting karena dalam lingkungan peusahaan
dimana karyawan akan selalu memperhatikan bagaimana pimpinannya dalam
menegakkan disiplin dirinya dan bagaimana ia dapat mengendalikan dirinya
dari ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat merugikan aturan disiplin yang
sudah diterapkan.
c. Ada tidaknya aturan yang pasti yang dapat dijadikan pegangan.
Disiplin tidak mungkin diterapkan bila peraturan yang dibuat hanya
berdasarkan instruksi lisan yang dapat berubah-ubah. Oleh sebab itu, disiplin
dapat ditegakkan dalam suatu perusahaan jika ada aturan tertulis yang telah
disepakati antara pimpinan dan karyawan. Dengan demikian, karyawan
mendapat kepastian bahwa siapa saja dan perlu dilakukan sanksi bagi yang
melanggar tanpa pandang buluh.
d. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan.
Bila ada seorang karyawan yang melanggar disiplin, maka perlu ada
keberanian pimpinan untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dibuatnya. Dengan adanya tindakan terhadap pelanggar
disiplin sesuai dengan sanksi yang ada, maka semua
karyawan akan merasa terlindungi. Sebaliknya, jika pimpinan tidak
berani mengambil tindakan pada karyawan yang melanggar disiplin, hal
itu akan berpengaruh pada karyawan lainnya. Karyawan akan berkata
“untuk apa disiplin, sedangkan orang yang melanggar saja tidak
pernah kena sanksi”.
e. Ada tidaknya pengawasan pimpinan.
Dengan adanya pengawasan, maka sedikit banyaknya karyawan akan
terbiasa melaksanakan disiplin. Bagi sebagian karyawan yang sudah
menyadari arti disiplin, pengawasan tidak diperlukan lagi. Namun
untuk karyawan lainnya, menegakkan disiplin harus dilakukan dengan
dipaksa dan diawasi.
f. Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan.
Pimpinan yang berhasil memberi perhatian yang besar pada karyawan
akan dapat menciptakan disiplin kerja yang baik. Karena ia tidak
hanya dekat secara fisik, tetapi juga mempunyai jarak dekat dalam arti
batin. Pimpinan yang demikian selalu dihormati dan dihargai oleh
karyawan.
g. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin.
Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku.
Pembentukan perilaku jika dilihat dari formulasi Kurt Lewin adalah
interaksi antara faktor pribadi dan faktor lingkungan (situasional).
xxxv
a. Faktor Kepribadian.
Faktor kepribadian yang penting dalam kepribadian seseorang adalah
sistem nilai yang dianut. Sistem nilai yang dianut berkaitan langsung
dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung disiplin yang ditanamkan
oleh orang tua atau guru yang akan digunakan sebagai acuan dalam
disiplin di dunia kerja. Sistem nilai ini akan terlihat dari sikap seseorang.
Perubahan sikap ke dalam perilaku terdapat 3 tingkatan menurut Kelman
(dalam Brigham,1994), yaitu:
i. Disiplin karena kepatuhan.
Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan pada perasaan
takut. Disiplin kerja pada tingkatan ini dilakukan semata-mata untuk
mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang
berwenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat, disiplin
kerja tidak tampak.
ii. Disiplin karena identifikasi.
Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya
perasaan kagum pada pimpinan. Karyawan yang menunjukkan
disiplin terhadap aturan lebih disebabkan pada keseganan pada
atasannya. Karyawan merasa tidak enak jika tidak mematuhi aturan.
Jika pusat identifikasi ini tidak ada, maka disiplin kerja akan
menurun dan meningkatnya frekuensi pelanggaran.
iii. Disiplin karena internalisasi.
xxxvi
Disiplin ini terjadi karena karyawan memiliki sistem nilai pribadi
yang menjunjung tinggi disiplin.
b. Faktor Lingkungan
Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan
proses belajar yang terus menerus. Agar proses belajar ini dapat efektif, pimpinan
harus memperhatikan prinsip-prinsip konsistensi, adil, bersikap positif, dan
terbuka. Konsisten memberlakukan aturan secara konsistensi secara terus
menerus. Adil dalam memperlakukan seluruh karyawan, tidak membeda-bedakan
karyawan. Bersikap positif adalah setiap pelanggaran yang dibuat, dicari faktanya
dan dibuktikan terlebih dahulu. Komunikasi terbuka adalah kuncinya.
Transparansi mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan,
termasuk di dalamnya sanksi dan hadiah.
3. Aspek-aspek Disiplin
Disiplin membuat karyawan mampu membedakan hal-hal apa yang harus
dilakukan, yang wajib dilakukan, boleh dilakukan, yang sepatutnya dilakukan,
dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan karena dianggap melanggar peraturan
yang ada.
Prijodarminto (1994) mengemukakan bahwa disiplin memiliki 3 (tiga)
aspek, yaitu:
a. Sikap mental (mental attitude)
xxxvii
Seseorang memiliki sikap yang taat dalam mematuhi peraturan yang
berlaku di tempat ia bekerja. Mereka akan bertindak dengan tertib
terhadap aturan-aturan yang mengaturnya. Karyawan juga mampu
mengendalikan pikiran bahwa harus bersikap sesuai dengan aturan yang
ada di dalam perusahaan.
b. Pemahanan yang baik melalui sistem aturan perilaku, norma, kriteria
dan standar yang sedemikian rupa.
Pemahaman yang baik terhadap peraturan perusahaan menimbulkan
pengertian yang mendalam terhadap peraturan tersebut serta timbulnya
kesadaran dalam mematuhi dan melaksanakan aturan yang ada dalam
suatu perusahaan.
c. Sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati
untuk menaati segala hal secara cermat dan tertib.
Seseorang benar-benar menaati segala aturan yang ada dengan
sungguh-sungguh, mereka tidak melanggar aturan yang ada karena
mereka punya kesungguhan hati dalam menaati peraturan yang berlaku
dengan cermat.
4. Jenis- jenis Disiplin
1. Self dicipline.
Disiplin ini timbul karena seseorang merasa terpenuhi kebutuhannya dan
telah menjadi bagian dari organisasi, sehingga orang akan tergugah hatinya
untuk sadar dan secara sukarela mematuhi segala peraturan yang berlaku.
xxxviii
2. Command dicipline.
Disiplin ini tumbuh bukan dari perasaan ikhlas, akan tetapi timbul karena
adanya paksaan/ancaman orang lain. Dalam setiap organisasi, yang
diinginkan pastilah jenis disiplin yang pertama, yaitu datang karena
kesadaran dan keinsyafan. Akan tetapi kenyataan selalu menunjukkan
bahwa disiplin itu lebih banyak di sebabkan oleh adanyan semacam paksaan
dari luar.
B. ALAT PELINDUNG DIRI
1. Definisi Alat Pelindung Diri
Alat Pelindung Diri (APD) adalah peralatan keselamatan yang harus
digunakan oleh karyawan apabila berada pada suatu tempat kerja yang berbahaya.
Definisi menurut organisasi buruh International Labour Office APD adalah suatu
peralatan perlindungan perorangan sebagai garis pertahanan terakhir, peralatan ini
dirancang untuk mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh pekerja.
Habsari (2003) mengatakan bahwa APD adalah seperangkat alat yang digunakan
karyawan untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi
bahaya kecelakaan kerja.
Menurut Shahab (1997) APD adalah alat yang digunakan seseorang dalam
melakukan pekerjaan dengan maksud melindungi dirinya dari sumber bahaya
tertentu, baik yang berasal dari pekerjaan dan lingkungan kerja, dan berguna
dalam usaha mencegah atau mengurangi kemungkinan cedera atau sakit. Alat
xxxix
pelindung diri adalah alat yang dipergunakan untuk tujuan melindungi karyawan
dari risiko cedera yang disebabkan oleh bahaya-bahaya yang ada di tempat kerja.
APD merupakan peralatan yang harus disediakan oleh pengusaha oleh
karyawan. Kewajiban menggunakan APD itu sendiri telah disepakati oleh
pemerintah melalui departemen tenaga kerja Republik Indonesia.
APD yang diberikan kepada karyawan juga harus memenuhi persyaratan.
Menurut Suma’mur, APD yang baik adalah yang memenuhi persyaratan:
a. Enak dipakai,
b. Tidak mengganggu pekerjaan/kenyamanan, dan
c. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya.
Persyaratan APD yang digunakan menurut Budiono (2006) perlu dipilih
secara hati-hati agar dapat memenuhi beberapa ketentuan yang diperlukan yaitu:
a. Harus memberikan perlindungan yang tepat terhadap potensi bahaya
yang ada,
b. APD seringan mungkin dan tidak menyebabkan rasa tidak nyaman
berlebihan,
c. Bentuknya harus cukup menarik dan dapat dipakai secara fleksibel,
d. Tahan untuk pemakaian yang lama, memenuhi standar yang telah ada
serta suku cadangnya mudah didapat, dan
e. Tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakaian yang
dikarenakan bentuk dan bahannya yang tidak tepat atau karena
penggunaan yang salah.
xl
2. Jenis-jenis Alat Pelindung Diri
Berikut beberapa alat perlindungan diri: a.
Kacamata
Salah satu masalah tersulit dalam pencegahan kecelakaan adalah
pencegahan kecelakaan yang menimpa mata. Jumlah kecelakaan demikian
besar. Orang-orang yang tidak terbiasa dengan kacamata biasanya tidak
memakai perlindungan tersebut dengan alasan mengganggu pelaksanaan
pekerjaan dan mengurangi kenikmatan kerja, sekalipun kacamata
pelindung yang memenuhi persyaratan. Memiliki kacamata pelindung
tidak cukup, tenaga kerja harus memakainya. Banyak upaya
diselenggarakan ke arah pembinaan disiplin, atau melalui pendidikan dan
penggairahan, agar tenaga kerja memakainya. Tenaga kerja yang
berpandangan bahwa resiko kecelakaan terhadap mata adalah besar akan
memakainya dengan kemauan sendiri. Sebaliknya, jika mereka merasa
bahwa bahaya itu kecil, mereka tidak akan mempergunakannya.
Kesukaran ini dapat di atas dengan berbagai cara. Pada beberapa
perusahaan, tempat-tempat kerja dengan bahaya kecelakaan mata hanya
boleh dimasuki jika kacamata pelindung digunakan. Sebagai akibatnya,
pada tempat-tempat tersebut tenaga kerja selalu memakai kacamata
pelindung selama jam kerja, dan siapa saja yang tidak menggunakan
kacamata pelindung akan merasa paling asing dari tenaga kerja lainnya.
Kecelakaan mata berbeda-beda dan aneka jenis kacamata
pelindung diperlukan. Misalnya, pekerjaan dengan kemungkinan adanya
xli
resiko benda yang melayang memerlukan kacamata dengan lensa yang
kokoh. Sedangkan untuk bagian pengelasan, diperlukan kacamata dengan
lensa penyaring sinar yang tepat.
b. Sepatu Pengaman
Sepatu pengaman harus dapat melindungi tenaga kerja dari
kecelakaan-kecelakaan yang disebabkan oleh beban-beban berat yang
menimpa kaki, paku-paku atau benda tajam lainnya yang mungkin
terinjak, logam pijar, asam-asam dan sebagainya. Biasanya sepatu kulit
yang buatannya kuat dan baik cukup memberikan perlindungan. Akan
tetapi untuk kemungkinan tertimpa benda berat masih diperlukan sepatu
dengan ujung tertutup baja dan lapisan baja di dalam solnya. Lapis baja di
dalam sol perlu untuk melindungi tenaga kerja dari tusukan benda-benda
runcing dan tajam khususnya pada pekerja bangunan.
Pekerja-pekerja lisrtik menggunakan sepatu pengaman jenis
lainnya, yaitu sepatu non-konduktor—sepatu tanpa paku-paku logam.
Tenaga kerja yang bekerja di tempat yang memungkin terjadinya ledakan
menggunakan sepatu yang tidak menimbulkan ledakan api.
c. Sarung Tangan
Sarung tangan harus diberikan kepada tenaga kerja dengan
pertimbangan akan bahaya-bahaya dan persyaratan yang diperlukan.
Antara lain syaratnya adalah bebasnya bergerak jari dan tangan.
Variasinya tergantung pada kecelakaan yang akan dicegah, misalnya
seperti tusukan, sayatan, terkena benda panas, terkena bahan kimia,
xlii
terkena aliran listrik, terkena radiasi dan sebagainya. Hal yang perlu diingat
bahwa ketika bekerja dengan mesin pengebor, mesin pengepres dan mesin-mesin
lainnya yang dapat menyebabkan tertariknya sarung tangan adalah bahaya.
Jenis-Jenis Safety Glove:
i. Sarung tangan Metak Mesh
Sarung metal mesh tahan terhadap ujung yang lancip dan menjaga
agar jari tidak terpotong.
ii. Sarung tangan kulit
Sarung tangan yang terbuat dari kulit ini akan melindungi tangan
dari permukaan kasar.
iii. Sarung tangan Vinyl dan neoprene
Melindungi tangan terhadap bahan kimia beracun iv.
Sarung tangan Padded Cloth
Melindungi tangan dari ujung yang tajam, pecahan gelas, kotoran
dan vibrasi.
v. Sarung tangan Heat resistant
Mencegah terkena panas dan api. vi.
Sarung tangan karet
Melindungi saat bekerja disekitar arus listrik karena karet
merupakan isolator (bukan penghantar listrik).
vii. Sarung tangan Latex disposable
xliii
Melindungi tangan dari kuman dan bakteri, sarung tangan ini
hanya untuk sekali pakai.
viii. Sarung tangan lead lined
Digunakan untuk melindungi tangan dari sumber radiasi. d.
Topi Pengaman
Topi pengaman harus dipakai oleh tenaga kerja yang mungkin
tertimpa di bagian kepala oleh benda jatuh atau melayang atau benda
lainnya yang bergerak. Topi demikian harus cukup keras dan kokoh, tetapi
tetap ringan. Bahan plastik dengan lapisan kain terbukti sangat cocok
untuk keperluan ini.
e. Sekor
Sekor sangat baik untuk perlindungan terhadap bahan kimia,
kemungkinan terkena panas, keadaan basah atau berminyak, tetapi tidak
boleh digunakan di dekat mesin.
f. Pelindung Telinga
Telinga harus dilindungi, misalnya seperti dari loncatan api,
percikan logam pijar, atau partikel-partikel yang melayang. Perlindungan
terhadap kebisingan dilakukan dengan sumbat atau tutup telinga.
g. Pelindung Paru-paru
Paru-paru harus dilindungi saat udara tercemar atau ada
kemungkinan kekurangan oksigen dalam udara. Pencemaran-pencemaran
mungkin berbentuk gas, uap logam, kabut, debu dan lain sebagainya.
Kekurangan oksigen mungkin terjadi di tempat-tempat yang
xliv
pengudaraannya buruk seperti tangki atau gudang di bawah tanah.
Pencemaran-pencemaran yang berbahaya mungkin beracun, korosif, atau
menjadi sebab rangsangan. Pengaruh lainnya termasuk dalam upaya
kesehatan kerja.
h. Fall Protection
Misalnya pakaian pengaman dan sabuk pengaman. i.
Pelindung Wajah
Pelindung wajah yang dikenal adalah :
i. Goggles
Goggles memberikan pelindungan lebih baik dari pada safety
glasses karena goggles terpasang dekat wajah. Karena goggles
mengitari area mata, maka goggles melindungi lebih baik pada
situasi yang mungkin tejadi percikan cairan, uap logam, uap,
serbuk, debu, dan kabut.
ii. Face shield
Face shield memberikan perlindungan wajah menyeluruh dan
sering digunakan pada operasi peleburan logam, percikan bahan
kimia ,atau partikel yang melayang. Banyak face shield yang dapat
digunakan bersamaan dengan pemakaian hard hat. Walaupun face
shield melindungi wajah, tetapi face shield bukan pelindung mata
yang memadai, sehingga pemakaian safety glasses harus dilakukan
dengan pemakaian Face Shield.
iii. Welding Helmets
xlv
Jenis pelindung wajah yang lain adalah Welding Helmets (Topeng
Las). Topeng las memberikan perlindungan pada wajah danmata.
Topeng las memakai lensa absorpsi khusus yang menyaring cahaya
yang terang dan energi radiasi yang dihasilkan selama operasi
pengelasan. Sebagaimana Face Shield, Safety Glasses atau
Goggles harus dipakai saat menggunakan helm las.
iv. Masker wajah.
Masker berfungsi untuk melindungi hidung dari zat zat berbau
menyengat dan dari debu yang merugikan.
j. Alat-alat Perlindungan Diri Lainnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 14C UU Keselamatan Kerja No. 1 Tahun
1970, pengusaha wajib menyediakan alat perlindungan diri secara cuma-cuma
sesuai dengan sifat bahayanya.
Gambar 1. Alat Pelindung Diri
xlvi
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan APD
Menurut Setyawati (2008), faktor yang mempengaruhi penggunaan APD
antara lain: usia, pengalaman kerja, persepsi, lingkungan kerja, jam kerja, shift
kerja, beban kerja, sifat pekerjaan, komunikasi, dan manajemen.
Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan APD adalah :
1. Faktor lingkungan kerja.
2. Beban kerja yang dirasakan saat bekerja.
3. Faktor pekerja, seperti pendidikan, masa kerja, sikap, pengetahuan,
kenyamanan, usia.
4. Pengawasan. Perusahaan mengawasi karyawan dalam menggunakan
APD. Adanya pemberian reward-punishment kepada karyawan, serta
pujian kepada karyawan yang taat terhadap peraturan perusahaan.
C. KARYAWAN
Buruh merupakan suatu istilah yang sangat populer dalam dunia
ketenagakerjaan. Bahkan istilah ini telah digunakan pada zaman penjajahan
Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda, buruh (Blue Collar) adalah pekerja
kasar, kuli, tukang mandor dan sebagainya. Sedangkan buruh yang melakukan
pekerjaannya di kantor disebut dengan karyawan (White Collar) (Husni, 2005).
Setelah Indonesia merdeka, tidak ada lagi perbedaan antara Blue Collar dan White
Collar, semua orang yang bekerja disebut dengan buruh. Seiring dengan
perkembangan UU, istilah buruh diganti dengan pekerja. Alasannya karena istilah
xlvii
buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa dan cenderung merujuk pada
golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain.
Istilah pekerja secara yuridis ditemukan dalam UU No. 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan yang membedakannya dengan pengertian tenaga kerja.
Dalam UU ini dinyatakan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang laki-laki atau
wanita yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini jelas bahwa
pengertian tenaga kerja sangat luas yakni mencakup semua penduduk dalam usia
kerja. Sedangkan menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 Ayat 4 menyatakan pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun. Jadi,
pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja.
Dalam penelitian ini, penulis menyebutkan pekerja sebagai karyawan
sebagaimana sesuai dengan penamaan yang ada di PT PP Lonsum, Tbk.
D. PROFIL PT PP LONSUM, Tbk
Sejarah PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk
berawal lebih dari satu abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1906. Dengan kiprah
Harrisons & Crossfield Plc, perusahaan perkebunan dan perdagangan yang
berbasis di London. Perkebunan London-Sumatra, yang kemudian lebih dikenal
dengan nama “Lonsum”, berkembang menjadi salah satu perusahaan perkebunan
xlviii
terkemuka di dunia, memiliki hampir 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit,
karet, teh, dan kakao yang tertanam di empat pulau terbesar di Indonesia.
Pada awal berdirinya, perusahaan menggolongkan tanamannya menjadi
tanaman karet, teh, dan kakao. Di awal Indonesia merdeka, Lonsum lebih
memfokuskan usahanya kepada tanaman karet, yang kemudian diubah menjadi
kelapa sawit di tahun 1980. Pada akhir dekade ini, kelapa sawit menggantikan
karet sebagai komoditas utama Perseroan.
Pada tahun 1994, Harrisons & Crossfield menjual seluruh saham Lonsum
kepada PT Pan London Sumatra Plantations (PPLS), yang membawa Lonsum go
public melalui pencatatan saham di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada tahun
1996. Pada bulan Oktober 2007, Indofood Agri Resources Ltd, anak perusahan PT
Indofood Sukses Makmur Tbk, menjadi pemegang saham mayoritas Perseroan
melalui anak perusahaannya di Indonesia, yaitu PT Salim Ivomas Pratama.
Lonsum memiliki 38 perkebunan inti dan 14 perkebunan plasma di
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Pengelolaan kebun dilakukan dengan
menerapkan kemajuan penelitian dan pengembangan, keahlian di bidang agro-
manajemen dan tenaga kerja yang terampil serta professional. Bidang bisnis
Lonsum mencakup pemuliaan tanaman, penanaman, pemanenan, pengolahan,
pemrosesan dan penjualan produk-produk kelapa sawit, karet, kakao dan teh.
Perseroan saat ini memiliki 20 pabrik pengolahan yang sudah beroperasi di
Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Dalam dunia industri perkebunan Lonsum dikenal
sebagai produsen bibit kelapa sawit dan kakao yang berkualitas baik. Lonsum
xlix
memiliki 2 buah pabrik, 10 estate (kebun), 4 POM (Palm Oil Mill) dan 1 tempat
riset yang tersebar di 12 daerah di wilayah Sumatera Utara.
Tenaga kerja yang bekerja di Lonsum terdiri dari MRP, DRP dan PW.
MRP dan DRP adalah karyawan tetap Lonsum dan merupakan tanggungan
Lonsum. Mulai dari gaji, tunjangan, jaminan kesehatan, biaya berobat dan
sebagainya ditanggung oleh Lonsum. Sedangkan PW adalah buruh harian lepas.
Sekarang ini, PW sudah dimasukkan ke dalam karyawan tanggung Lonsum,
artinya mereka juga menerima fasilitas yang sama dengan MRP dan DRP, hanya
saja jumlahnya tidak sebesar MRP dan DRP. Sebelumnya PW adalah tanggungan
kontraktor, artinya Lonsum tidak bertanggungjawab langsung terhadap mereka.
Jika terjadi kecelakaan, maka yang bertanggungjawab adalah kontraktor. Namun,
seiring dengan perubahan UU Tenaga Kerja, maka PW menjadi tanggungan
Lonsum. Untuk wilayah Sumatera Utara, Lonsum memiliki 2.867 orang pekerja
yang terdiri dari 44 staff dan 2.823 non-staff. Staff di sini maksudnya adalah
karyawan yang bekerja di kantor, sedangkan non-staff maksudnya adalah
karyawan yang bekerja di lapangan. Para pekerja ini memiliki berbagai jenis
pekerjaan seperti clerk, mandor, kenek, tukang kayu, bagian pemupukan, bagian
establishment, bagian pemanen dan lainnya.
Lonsum memiliki berbagai program K3 yang terus berjalan, misalnya
Hiperkes, Bencana Alam, Penanggulang Kebakaran, P3K, Pemeriksaan Berkala,
Pemeriksaan Berkala Khusus, Noise, Pelatihan-pelatihan, misalnya untuk bagian
alat angkut berat. Ada juga penyediaan alat pelindung diri (APD) serta
l
pengurusan izin-izin misalnya untuk turbin, genset, boiler dan semacamnya.
Menurut bagian Health dan Safety Lonsum, APD yang mereka sediakan sudah
memenuhi standar baku, baik secara kualitas maupun kuantitas. APD yang
disediakan juga lengkap, mulai dari APD kepala, APD kaki, APD tangan dan
sebagainya. Lonsum juga merupakan salah satu perusahaan yang memiliki
Sertifikat OSHAS, Bendera Emas, dan Zero Accident. Demikian pun, bukan
berarti tidak ada kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja terjadi oleh berbagai macam
penyebab, mulai dari pelanggaran SOP kerja sampai tidak menggunakan APD.
Setiap perusahaan memiliki visi dan misi, tak elak juga dengan Lonsum.
Visi dan misi Lonsum adalah sebagai berikut :
1. Visi Perusahaan
Visi yang hendak dicapai oleh PT PP London Sumatra Indonesia Tbk
adalah “to be leading 3C (crops, cost, condition) and research driven
sustainable agribusiness”. Dengan kata lain, visi perusahaan PT Lonsum adalah
untuk menjadi perusahaan Agribisnis terkemuka yang berkelanjutan dalam hal
tanaman-biaya-lingkungan (3C) yang berbasis penelitian dan pengembangan.
2. Misi Perusahaan
Misi yang dikembangkan oleh PT PP London Sumatra Indonesia Tbk
adalah “to add value for stakeholders in agribusiness”. Dengan kata lain, misi
perusahaan adalah menambah nilai bagi “stakeholders” di bidang Agribisnis.
li
E. KAITAN DISIPLIN KARYAWAN DALAM MENGGUNAKAN
ALAT PELINDUNG DIRI
Keselamatan dan kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia dan
menjadi naluri dari setiap makhluk hidup. Sejak manusia bermukim di muka bumi ini,
secara tidak sadar mereka berusaha melindungi diri dari segala bahaya yang ada di
sekitar hidupnya. Berbagai macam potensi bahaya tersebut bisa juga dijumpai
dalam lingkungan tempat kerja.
Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja yang menimbulkan
korban jiwa, kerusakan materi dan gangguan produksi. Tahun 2007, menurut
Jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang
meninggal, 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera. Hasil penelitian
yang diadakan ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) mengenai
standar kecelakaan kerja menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-
152 dari 153 negara yang ditelitinya. Ini berarti, begitu buruknya
masalah kecelakaan kerja di Indonesia.
Kecelakaan kerja terjadi paling banyak disebabkan oleh kesalahan
manusia (human error). Hal senada juga dikemukakan oleh Suma’mur yang
menyatakan bahwa 85% penyebab kecelakaan adalah faktor manusia. Beberapa
faktor penyebab terjadi kecelakaan baik yang telah menimbulkan korban jiwa
maupun luka-luka sebagai terjadinya kegagalan konstruksi yang antara lain
disebabkan tidak dilibatkannya ahli teknik konstruksi, penggunaan metode
pelaksanaan yang kurang tepat, lemahnya pengawasan pelaksanaan konstruksi di
lapangan, belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan atau peraturan-
lii
peraturan yang menyangkut K3 yang telah ada, lemahnya pengawasan
penyelenggaraan K3, kurang memadainya baik dalam kualitas dan kuantitas
ketersediaan peralatan pelindung diri (APD) dan kurang disiplinnya para tenaga
kerja di dalam mematuhi ketentuan mengenai K3 yang antara lain pemakaian alat
pelindung diri kecelakaan kerja.
Tingginya angka kecelakaan pekerja mendorong berbagai kalangan
berupaya meningkatkan perlindungan bagi pekerja. Salah satu perlindungan
kepada karyawan adalah perlindungan secara fisik. Tenaga kerja harus
memperoleh perlindungan dari berbagai hal di lingkungan sekitarnya yang dapat
menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Salah satu
cara cara pencegahan kecelakaan yang terbaik adalah karyawan perlu diberikan
alat perlindungan diri.
Saat teknologi mulai berkembang, desain alat-alat proteksi diri sama
sekali tidak memadai atau tenaga kerja tidak memakainya sama sekali oleh karena
mereka lebih senang tanpa perlindungan. Hal ini bisa berakibat terjadinya
kecelakaan pada kepala, mata, kaki dan sebagainya. Sekarang pun, alat-alat
perlindungan diri masih dianggap oleh tenaga kerja sebagai mengganggu
pelaksanaan kerja sehingga menyebabkan karyawan tidak disiplin dalam
menggunakannya.
Banyak faktor yang mempengaruhi disiplin karyawan dalam
menggunakan APD. Disimpulkan bahwa faktor-faktornya antara lain seperti
karakteristik individu, manajemen perusahaan dan desain APD yang digunakan
mempengaruhi disiplin karyawan dalam menggunakan APD. Karakteristik
liii
liv
individu meliputi usia, masa kerja, pendidikan. Faktor yang berasal dari
manajemen perusahaan seperti pemberian reward dan punishment, adanya
pengawasan dari perusahaan terhadap karyawan, pemberian sanksi dan
sebagainya. Sedangkan faktor desain meliputi ukuran APD yang digunakan,
bahan APD yang digunakan, kenyamanan dalam penggunaan APD dan
kefleksibelitasan APD yang digunakan.
Prijodarminto (1994) menyatakan disiplin adalah suatu kondisi yang
tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-
nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Dengan demikian
perilaku dalam kaitannya dengan penggunaan alat perlindungan diri ini adalah
seberapa jauh sikap individu memberikan perhatian secara optimal terhadap
penggunaan alat perlindungan diri.
Perusahaan membutuhkan ketaatan anggota-anggotanya pada peraturan dan
ketentuan perusahaan yang berlaku di perusahaan tersebut. Dengan kata lain,
diperlukan disiplin kerja pada karyawan sehingga apa yang menjadi tujuan
perusahaan dapat tercapai. Tujuan perusahaan akan sukar dicapai bila tidak ada
disiplin kerja dari karyawan.