landasan teori ekonomi makro

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Ekonomi Makro 2.1.1.1 Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro Makro ekonomi adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang membahas perilaku perekonomian secara agregat, misalnya kemakmuran dan resesi, output barang dan jasa, total perekonomian, laju pertumbuhan output, laju inflasi dan pengangguran, neraca pembayaran dan juga nilai kurs ( Dornbusch, Stanley, dan Mulyadi, 1996:3) Ekonomi makro terbentuk dari adanya kemerosotan ekonomi dunia yang berawal dari adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat tahun 1932. Pada saat itu hampir 25 % masyarakat Amerika kehilangan pekerjaannya dan berakibat pada merosotnya angka pendapatan nasional negara tersebut. Tentu saja hal ini menjalar dan meluas ke seluruh dunia. Pada saat itu tidak ada satu teori atau ajaran ekonomi yang mampu memecahkan masalah depresi ekonomi tersebut. Hal ini semakin menyadarkan para ahli ekonomi saat itu bahwa ekonomi tidak dapat hanya tergantung pada mekanisme pasar saja, karena mekanisme pasar tidak mampu menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan stabil. Seorang ahli ekonomi yang sekaligus pada saat itu bertugas sebagai Presiden World Bank mengemukakan pandangannya terhadap krisis ekonomi yang dihadapi dunia saat Universitas Sumatera Utara

Upload: rafa-consul

Post on 10-Apr-2016

48 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Ekonomi makro

TRANSCRIPT

Page 1: Landasan Teori Ekonomi Makro

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Ekonomi Makro

2.1.1.1 Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro

Makro ekonomi adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang membahas

perilaku perekonomian secara agregat, misalnya kemakmuran dan resesi, output

barang dan jasa, total perekonomian, laju pertumbuhan output, laju inflasi dan

pengangguran, neraca pembayaran dan juga nilai kurs ( Dornbusch, Stanley, dan

Mulyadi, 1996:3)

Ekonomi makro terbentuk dari adanya kemerosotan ekonomi dunia yang

berawal dari adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat tahun 1932. Pada saat itu

hampir 25 % masyarakat Amerika kehilangan pekerjaannya dan berakibat pada

merosotnya angka pendapatan nasional negara tersebut. Tentu saja hal ini

menjalar dan meluas ke seluruh dunia. Pada saat itu tidak ada satu teori atau

ajaran ekonomi yang mampu memecahkan masalah depresi ekonomi tersebut. Hal

ini semakin menyadarkan para ahli ekonomi saat itu bahwa ekonomi tidak dapat

hanya tergantung pada mekanisme pasar saja, karena mekanisme pasar tidak

mampu menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan stabil. Seorang ahli

ekonomi yang sekaligus pada saat itu bertugas sebagai Presiden World Bank

mengemukakan pandangannya terhadap krisis ekonomi yang dihadapi dunia saat

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Landasan Teori Ekonomi Makro

itu. Dalam buku yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and

Money, John Maynard Keynes mengatakan bahwa pada saat itu untuk

memecahkan masalah ekonomi suatu perekonomian tidak boleh hanya tergantung

pada mekanisme pasar saja tetapi membutuhkan juga campur tangan pemerintah

didalamnya. Pandangan John Maynard Keynes dalam bukunya tersebut menjadi

awal ataupun landasan lahirnya teori ekonomi makro modern.

2.1.1.2 Masalah dalam Ekonomi Makro

Di setiap negara di dunia ini tentu kegiatan perekonomiannya tidak selalu

stabil, apalagi dengan ruang lingkup yang sangat luas setiap negara pasti

mempunyai kendala ataupun masalah tersendiri. Namun bila diklasifikasikan lagi

masalah masalah yang dihadapi oleh tiap negara di dunia dapat dikelompokkan

menjadi 3 masalah pokok. Menurut Bakti, Rakhmat, dan Syahrir (2010:12)

kebijakan makro ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah sebagai keiikutsertaan

pemerintah dalam memacu kehidupan ekonomi selalu dihadapkan kepada masalah

pertumbuhan, inflasi, dan pengangguran sebagai central issues macroeconomic.

Dengan kata lain bahwa yang menjadi masalah pokok dalam ekonomi makro dan

mencakup keseluruhan variabel variabel dalam ekonomi makro adalah masalah

pertumbuhan, inflasi dan pengangguran.

Selain masalah pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan masalah inflasi,

masalah yang sering dihadapi oleh setiap negara di dunia adalah masalah

ketidakstabilan kegiatan ekonomi dan masalah neraca perdagangan dan neraca

pembayaran”.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Landasan Teori Ekonomi Makro

Untuk lebih jelas mengenai masalah masalah yang akan dihadapi oleh

perekonomian suatu negara dapat terlihat jelas dari gambar berikut ini:

Gambar 2.1. Masalah dalam Ekonomi Makro

Sumber: Bakti, Rakhmat, dan Syahrir (2010:13)

Investasi

Pengangguran

Interest rate

Money supply

Inflasi

a. GNP b. Konsumsi

Masyarakat c. Konsumsi

pemerintah d. Investasi e. Ekspor f. Impor

Interest Rate Wages Employment

Pertumbuhan

1. Neraca Pembayaran

2. Current Account 3. Capital account 4. Exchange rate

system Fixed

Floating

Devaluasi

Revaluasi

Appresiasi

Depresiasi

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Landasan Teori Ekonomi Makro

2.1.1.3 Tujuan Kebijakan Ekonomi Makro

Kebijakan ekonomi yang dirumuskan oleh pemerintah tentu harus

disesuaikan dengan tujuan ataupun target apa yang harus dicapai dengan

kebijakan yang akan dibuat tersebut. Oleh karena itu sebelum memutuskan

kebijakan apa yang harus digunakan dalam perekonomian harus terlebih dahulu

ditentukan target dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Kelana

(1996:7) secara umum ada beberapa aspek yang menjadi tujuan kebijakan

makroekonomi dan merupakan pilihan tersendiri bagi setiap Negara. Hal ini

diakibatkan oleh berbedanya tujuan dan sasaran ekonomi suatu Negara tergantung

pada kondisi dan keadaan ekonomi di Negara tersebut. Tujuan yang dimaksudkan

antara lain:

1. Menciptakan Tingkat Harga yang Stabil.

Banyak orang mengartikan harga yang stabil sebagai harga yang selalu

konstan (constant price). Namun bila dilihat lebih jauh, harga yang stabil

bukan berarti harga selalu konstan namun tingkat fluktuasinya lebih kecil

atau jarang. Stabilitas harga merupakan tujuan yang penting. Fluktuasi

harga yang tinggi tentu akan meningkatkan risiko pada dunia usaha.

Sebagai contoh di bidang properti (perumahan). Untuk membangun suatu

perumahan tentu dibutuhkan bahan baku dan tenaga kerja. Tentu harga

bahan baku dan tenaga kerja tidak akan selalu sama pada berbagai periode

waktu. Kontrak yang dilakukan pengembang dengan tenaga kerja tentu

dipengaruhi oleh perubahan harga. Demikian juga dengan bahan baku,

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Landasan Teori Ekonomi Makro

harga dari bahan bahan bangunan akan sangat dipengaruhi oleh kestabilan

perubahan harga dari waktu ke waktu. Kestabilan harga akan memudahkan

pengembang merencanakan pembangunan perumahan sesuai dengan yang

diharapkannya. Dan dengan demikian akan semakin meningkatkan gairah

dunia usaha perumahan kedepannya.

2. Memaksimalkan Tenaga Kerja dan Output

Mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment)

merupakan cita cita setiap negara di dunia . Namun pada umumnya tidak

ada satu negara pun didunia yang mampu mewujudkan adanya

penggunaan tenaga kerja penuh. Walaupun memaksimalkan output

cenderung mendorong tercapainya tujuan penggunaan tenaga kerja

kapasitas penuh (full employment) namun kebijakan kebijakan yang

dirumuskan oleh pemerintah dengan menambah pengeluaran aggregat

(output) hanya mampu mengurangi jumlah pengangguran tetapi tetap tidak

mampu untuk menciptakan perekonomian dengan penggunaan tenaga

kerja penuh.

3. Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan dambaan bagi setiap Negara di dunia.

Namun pertumbuhan ekonomi yang diharapkan biasanya harus diikuti

dengan adanya stabilitas, keadilan ekonomi (economic equality) serta

distribusi pendapatan yang merata di setiap wilayah yang ada di Negara

tersebut. Disamping itu, adanya peningkatan populasi manusia dan

kebutuhan yang tidak terbatas mendorong perekonomian untuk selalu

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Landasan Teori Ekonomi Makro

meningkatkan produksi barang dan jasanya dan akan semakin

memungkinkan penambahan jumlah tenaga kerja yang terserap dalam

memproduksi barang tersebut. Sehingga pertumbuhan ekonomi akan

terjadi di Negara tersebut dan akan lebih baik jika diikuti dengan distribusi

pertumbuhan yang merata.

4. Mengukuhkan Neraca Pembayaran (Stabilitas Neraca Pembayaran)

Stabilitas neraca pembayaran dianggap sangat penting dikarenakan hal ini

berkenaan dengan hubungan luar negeri dan cadangan devisa suatu

Negara. Neraca pembayaran yang tidak kukuh akan mengurangi

kemampuan suatu negara dalam menghadapi masalah pengaliran dana

keluar negeri yang melebihi dari keadaan yang biasanya berlaku. Sebagai

akibatnya cadangan mata uang asing akan merosot dan kurs mata uang

asing meningkat. Hal ini akan menimbulkan efek buruk ke perekonomian

suatu negara seperti inflasi, biaya produksi meningkat akan tetapi

sebaliknya daya beli masyarakat merosot. Hal ini menunjukkan bahwa

kebijakan ekonomi makro perlu memperhatikan kedudukan neraca

pembayaran dan kurs valuta asing selalu tetap teguh keadaannya.

2.1.1.4 Kebijakan Ekonomi Makro

Untuk mencapai tujuan tujuan yang telah ditetapkan, maka perlu adanya

kebijakan kebijakan ekonomi yang tepat dan sesuai dengan apa yang akan dicapai.

Secara garis besar terdapat 3 bentuk kebijakan ekonomi makro:

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Landasan Teori Ekonomi Makro

1. Kebijakan fiskal

Menurut Pracoyo dan Antyo (2005:22) kebijakan fiskal merupakan

kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

Adapun sumber penerimaan Negara adalah penerimaan dari pajak,

penerimaan bukan pajak, dan juga dari bantuan ataupun pinjaman yang

berasal dari luar negeri, sedangkan pengeluaran dapat dibagi menjadi 2

bagian secara umum yakni pengeluaran rutin dan pengeluaran

pembangunan. Sehingga dengan kata lain kebijakan fiskal merupakan

kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan Negara yang

bersumber dari penerimaan serta alokasi pengeluaran Negara yang

tercantum dalam APBN. Menurut Sukirno (2004:188) Ada 2 instrumen

yang digunakan dalam kebijakan fiskal ini antara lain:

a. Automatic instrument

Adalah suatu instrumen yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara

menaikkan persentase beban pajak sehingga memunculkan kenaikan

harga barang secara umum dan lebih jauh laju inflasi akan meningkat.

Adapun kebijakan ini bertujuan untuk dapat mengurangi defisit

anggaran pemerintah. Hal ini tentu akan memberatkan bagi masyarakat

karna harus menambah bebannya untuk pajak, namun ternyata

kebijakan ini cukup berhasil karena peningkatan penerimaan pajak yang

diterima dari masyarakat dikelola dengan baik dengan menujukannya

ke pengeluaran yang dapat mendorong investasi pada sektor sektor

yang produktif.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Landasan Teori Ekonomi Makro

b. Instrumen diskreasi

Instrumen diskreasi adalah langkah langkah pemerintah untuk

mengubah pengeluarannya atau pemungutan pajaknya dengan tujuan

untuk mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatn ekonomi dari

waktu ke waktu, menciptakan suatu tingkat kegiatan ekonomi yang

mencapai tingkat konsumsi tenaga kerja yang tinggi, tidak menghadapi

masalah inflasi, dan selalu mengalami pertumbuhan yang memuaskan.

Langkah langkah pemerintah di dalam melakukan perubahan terhadap

pengeluaran pemerintah dan juga perubahan system perpajakan harus

terlebih dahulu disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Sebagai

contoh untuk mengatasi masalah inflasi pemerintah dapat melakukan

perubahan terhadap sistem pajaknya dengan menaikkan jumlah pajak

yang dipungut dari masyrakat. Sehingga dengan demikian jumlah uang

yang beredar dapat dikurangi jumlahnya.

2. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter meliputi langkah langkah pemerintah yang

dilaksanakan oleh bank sentral atau Bank Indonesia untuk mempengaruhi

(mengubah) Jumlah uang yang beredar di masyarakat (Boediono,

2001:85). Mempengaruhi Jumlah uang yang beredar di masyarakat berarti

mempengaruhi situasi makro ekonomi secara umum. Dengan kata lain

dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang

diambil oleh Bank Indonesia sebagai bank Sentral Indonesia untuk

mempengaruhi Jumlah Uang yang beredar di masyarakat yang bertujuan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Landasan Teori Ekonomi Makro

untuk dapat menjaga stabilitas moneter di suatu Negara. Menurut Kelana

(1996:6) kebijakan moneter pada prinsipnya sebagai upaya yang

dilakukan oleh Bank Indonesia selaku otoritas keuangan Indonesia dalam

mengontrol penawaran uang yang dimaksudkan untuk mencapai

perekonomian yang lebih stabil. Untuk dapat mencapai tujuan kebijakan

moneter tersebut, bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia

mempunyai beberapa instrumen, baik itu instrumen kuantitatif maupun

instrument kualitatif. Menurut Pracoyo dan Antyo (2005:171) instrumen

kuantitatif dan instrumen kualitatif dari kebijakan moneter adalah sebagai

berikut:

a. Discount Policy

Discount policy adalah instrumen yang digunakan oleh bank sentral

dengan mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga bank yang berlaku

umum dan kemudian operasionalnya dilakukan oleh bank umum.

Untuk mengatasi masalah inflasi, bank sentral akan menaikkan suku

bunga dalam kerangka mengurangi jumlah uang yang beredar dan

sebaliknya untuk meredakan deflasi maka bank sentral menurunkan

suku bunga yang berpengaruh kepada kenaikan jumlah uang yang

beredar.

b. Open market policy

Open market policy adalah kebijakan yang digunakan oleh bank sentarl

dengan mengeluarkan obligasi dan surat surat berharga yang dimiliki

oleh pemerintah untuk diperjualbelikan kepada masyarakat. Dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Landasan Teori Ekonomi Makro

kerangka menekan laju inflasi maka bank sentral menjual obligasi dan

surat surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah kepada masyarakat

sekaligus sebagai upaya mengurangi jumlah uang yang beredar.

Sebaliknya untuk meredakan deflasi maka pemerintah membeli

obligasi dan surat surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah.

c. Kebijakan Cash ratio reserve requirement policy (CRR)

Kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk menetapkan rasio

uang kas dan cadangan yang akan digunakan oleh bank umum sebagai

dana pinjaman. Persentase CRR dinaikkan dengan tujuan agar bank

umum mengurangi penyaluran dana pinjaman sebagai upaya

mengurangi jumlah uang yang beredar dan sebaliknya.

d. Pengaturan sistem pembelian angsuran

Yaitu kebijakan dari bank sentral yang dilakukan dengan mengawasi

aliran pinjaman terhadap pembelian barang oleh perusahaan kepada

para konsumen. Tindakan ini dilakukan oleh bank sentral untuk

mengatur sistem pembayaran secara angsuran sebagai upaya mencegah

inflasi.

e. Selective Credit Control

adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk mencegah

inflasi terhadap kredit untuk membiayai proyek proyek yang dilakukan

oleh mayarakat sekaligus sebagai upaya untuk mencegah kegiatan

spekulasi yang dilakukan oleh para pedagang.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Landasan Teori Ekonomi Makro

f. Moral Suasion

Moral suasion dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan

himbauan baik menggunakan tulisan ataupun dengan ajakan untuk

tidak melakukan suatu tindakan tertentu. Sebagai contoh, Bank

Indonesia mengajak bank bank nasional maupun bank asing

mengusahakan penurunan tingkat bunga.

3. Kebijakan Segi penawaran

Menurut Sukirno (2004:25) kebijakan segi penawaran bertujuan untuk

mempertinggi efisiensi kegiatan perusahaan perusahaan sehingga dapat

menawarkan barang barangnya dengan harga yang lebih murah atau dengan

mutu yang lebih baik. Salah satu kebijakan segi penawaran adalah kebiajkan

pendapatan yaitu langkah pemerintah yang bertujuan mengendalikan tuntutan

kenaikan pendapatan pekerja. Kebijakan segi penawaran dapat dijalankan

melalui cara mengembangkan infrastruktur dan peningkatan pelayanan

pemerintah dalam mengembangkan kegiatan usaha sektor swasta.

2.1.2 Loan to Value

2.1.2.1. Defenisi Loan to Value

Rasio Loan to value (LTV) adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat

diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian suatu kredit

(Surat edaran Bank Indonesia no 14/10/DPNP). Kebijakan ini merupakan

kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Landasan Teori Ekonomi Makro

mengantisipasi atau meminimalisir adanya gejolak dalam perekonomian sebagai

akibat dari pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kepemilikan atas

kendaraan bermotor yang terlalu berlebihan. Sehingga Bank Indonesia selaku

penguasa moneter di Indonesia merasa perlu untuk memberikan batasan batasan

yang jelas terhadap jumlah uang muka yang harus dimiliki seseorang jika ingin

memiliki suatu perumahan ataupun kendaraan bermotor. Konsep Loan to value

sebenarnya sama dengan Down Payment. Hanya saja istilah Loan to value lebih

condong digunakan pada Properti (KPR) sedangkan down payment pada

kendaraan bermotor. Terkhusus untuk Loan to value, tidak semua jenis KPR yang

akan dikenakan kebijakan tersebut. Menurut Surat edaran no.14/10/DPNP ruang

lingkup KPR yang diatur dalam surat edaran tersebut adalah mencakup kredit

konsumsi pemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun

tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe lebih dari 70 meter

persegi. Adapun dalam surat edaran ini juga telah ditetapkan rasio Loan to value

(LTV) sebesar 70%. Itu berarti bila seseorang ingin menikmati suatu fasilitas KPR

harus memiliki uang muka setidaknya 30% dari harga jual KPR tersebut. Ada

beberapa alasan yang dikemukakan oleh Bank Indonesia yang mendasari terbitnya

aturan ataupun kebijakan Loan to value ini (surat edaran Bank Indonesia no

14/10/DPNP):

a. Semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan

kredit kendaran bermotor (KKB) serta mengingat pertumbuhan KPR dan

KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai risiko maka

bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Landasan Teori Ekonomi Makro

b. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan

harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble)

sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank bank dengan

eksposur kredit properti yang besar.

c. Untuk menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi

tantangan sektor keuangan di masa yang akan datang, perlu adanya

kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk

meminimalisir sumber sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk

pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit kendaraan bermotor

yang berlebihan. Dan kebijakan yang dimaksudkan adalah melalui

penetapan besaran Loan to value (LTV) untuk KPR dan Down Payment

untuk Kredit kendaraan bermotor.

2.1.2.2. Perbandingan Penerapan Loan to Value di Berbagai Negara

Sebelum dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 10/ DPNP , di

Indonesia belum pernah ada ketetapan yang mengatur secara jelas mengenai

batasan batasan dalam kebijakan Loan to Value ataupun Down Payment.

Sebelumnya memang telah ada peraturan Bank Indonesia yang mengatur prinsip

prinsip pemberian kredit yang sehat. Namun peraturan yang disusun lewat

Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) ini tidak secara

spesifik mengatur tingkat Loan to Value atau tingkat Down Payment. Namun

kebijakan Loan to value ini bukan kebijakan yang baru digunakan di Indonesia.

Sebelumnya beberapa negara di dunia telah diterapkan kebijakan yang sama

walaupun harus tetap dipertimbangkan besarnya angka Loan to value di negara

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Landasan Teori Ekonomi Makro

tersebut. Besar kecilnya angka Loan to value di setiap negara akan berbeda beda

disesuaikan dengan karakteristik masalah yang dihadapi oleh masing masing

negara.Berikut ini ditampilkan beberapa negara yang pernah menetapkan

kebijakan yang sama di negara masing masing dengan batasan nilai Loan to Value

yang berbeda beda.

Tabel 2.1. Perbandingan Penerapan LTV di Berbagai Negara

Negara LTV

Thailand Max 90% untuk pembelian apartemen seharga < Rp.2,8 M/ Unit Max 95% untuk pembelian rumah lainnya *tidak berlaku bagi Pegawai negeri atau pegawai BUMN karna resiko kredit dianggap lebih rendah

China LTV properti 1: 70 %, LTV properti 2: 50% sedangkan pembelian properti 3 dilarang

India Maksimal 80 % untuk housing loans

Malaysia Maksimal 70 % untuk pembelian properti ke 3

Hongkong Max 60 % untuk Luxury properti senilai di atas HK$12 juta Max 70 % untuk properti di bawah HK$12 juta dengan maksimum property value sebesar HK$ 7.2 juta

Korea Antara 40-50% tergantung daerah properti yang mengalami excessive growth

Philipina Maximal 60 % untuk kredit real estate

Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan No19, Edisi September 2012

Singapura Maximal 90 % untuk housing loans

Australia Max 80 %. Kalau diatas 80% perlu ada mortage insurance

Canada Max 75 % untuk housing loans

Jerman Max 60 % untuk mortage bonds

Spanyol Max 80 % untuk housing loans

Prancis Max 80 % untuk housing loans

Belanda Max 90 % untuk housing loans

Finlandia Max 75 %, untuk mortage bonds sebesar 60 %

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Landasan Teori Ekonomi Makro

2.1.2.3 Hasil yang Diharapkan dari Kebijakan Loan to Value

Setiap Kebijakan yang dikeluarkan pasti diharapkan mampu mengatasi

masalah yang hendak dipecahkan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan

menggunakan suatu kebijakan telah dipelajari terlebih dahulu efek apa yang akan

ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Begitu juga dengan penerapan Loan to Value

ini, Bank Indonesia mengharapkan dengan adanya pembatasan Maksimum Loan

to Value suatu Bank dapat lebih berhati hati dalam menyalurkan Kredit Pemilikan

Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor yang selama ini dinilai telah melebihi

ambang batas kenormalan. Diharapkan Batasan Maksimum Loan to Value akan

mempertemukan Bank dengan pihak pembeli yang potensial. Artinya pembeli

tersebut memang sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal serta

mempunyai kemampuan untuk membayarakannya. Atau setidaknya batasan yang

tinggi terhadap uang muka pembelian sutu properti dapat mengurangi angsuran

konsumen setiap bulannya sehingga kemungkinan kredit bermasalah semakin

berkurang dan membuat angka Non performing Loan (NPL) semakin membaik

(Kajian stabilitas Keuangan No. 19, September 2012). Selain itu cara ini dianggap

akan mampu mengurangi para spekulan yang memang menginginkan keuntungan

dari kenaikan harga properti terutama di tipe diatas 70 m2. Para spekulan harus

berpikir ulang karena membutuhkan uang yang banyak untuk dapat membeli

suatu jenis properti tertentu. Untuk itu diharapkan Industri Properti dan otomotif

ini dapat menawarkan produk otomotif ataupun rumah dengan harga terjangkau

bagi setiap segmen dalam masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain,

bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Landasan Teori Ekonomi Makro

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam pemenuhan

kebutuhan papan yang memang dianggap essensial kepentingannya.

2.1.3 Properti

2.1.3.1 Pengertian Properti

Secara umum properti dapat dikelompokkkan menjadi 2 kategori, yaitu:

a. Properti Riil (Real Property)

Properti riil adalah hak perorangan atau badan untuk memiliki/ menguasai

tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya. Dalam beberapa kasus

seringkali seseorang menyamakan istilah real property dengan real estate,

namun ternyata kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Menurut

Supardi, Heri, dan Mohammad Luthfi (2010:2) real estate secara

terminologi adalah penguasaan secara fisik atas tanah dan bangunan

sedangkan real property diartikan sebagai penguasaan secara hukum yang

dilandasi dengan hak atas tanah dan bangunan tersebut. Sementara

menurut Hidayati dan Harjanto (2001:10) istilah real estate adalah untuk

bentuk fisik dari tanah beserta pengolahan dan pembangunannya dan real

property merujuk pada kumpulan hak (bunndle of rights) untuk

menggunakan, menyewa, memindahkan,dan sebagainya dari tanah beserta

pengolahan dan pembangunannya.

b. Personal Properti

Menurut Supardi, Heri dan Mohammad Luthfi (2010:2) personal property

adalah segala jenis properti yang bersifat tidak permanen, baik berupa

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Landasan Teori Ekonomi Makro

properti berwujud seperti mesin, peralatan, dan furniture; maupun properti

yang tidak berwujud seperti goodwill, merk, trademark, dan sebagainya.

2.1.3.2 Faktor faktor yang Mempengaruhi Nilai Properti

Sama dengan barang barang lain pada umumnya nilai suatu properti juga

dipengaruhi oleh beberapa karakteristik. Menurut Hidayati dan Harjanto

(2001:22) secara garis besar ada 4 faktor yang mempengaruhi nilai suatu properti

yaitu:

a. Faktor permintaan dan penawaran

Relatif sama dengan barang lain pada umumnya, faktor ini merupakan

faktor yang sangat luas dampaknya. Jika penawaran properti di pasar tetap

sedangkan permintaan terus mengalami peningkatan maka nilai properti

akan mengalami peningkatan, cateris paribus. Sebaliknya, jika permintaan

tetap sedangkan jumlah penawaran bertambah maka harga properti akan .

mengalami penurunan, cateris paribus.

b. Faktor fisik properti

Faktor fisik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap nilai

suatu properti. Faktor faktor yang mempengaruhi penilaian fisik suatu

bangunan antara lain dilihat dari jenis dan kegunaan properti, ukuran dan

bentuk, serta desain dan kontruksi bangunan. Pada intinya, jika kondisi

fisik properti banyak membantu atau memudahkan penggunanya atau jika

kondisi properti sesuai dengan yang diharapkan oleh penggunanya maka

semakin tinggi pula nilai properti tersebut. Sebaliknya semakin tidak

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Landasan Teori Ekonomi Makro

sesuai dengan selera dan harapan pemiliknya maka nilai properti tersebut

akan mengalami kemerosotan

c. Faktor perletakan dan lokasi properti

Lokasi dapat dianggap sebagai faktor terkuat dalam menentukan nilai

properti. Dua buah properti yang memiliki bentuk fisik sama tetapi bila

lokasinya berbeda, maka nilainya akan berbeda pula. Sebagai contoh

dalam kehidupan sehari hari, properti dengan bentuk yang sama namun

satu terletak di pedesaan dengan akses yang sulit, dan satu berada di kota

dengan akses yang sangat baik tentu properti yang terletak di daerah

perkotaan akan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan properti yang

terletak di pedesaaan.

d. Faktor Politik dan Kenegaraan

Faktor kenegaraan maksudnya adalah faktor ekonomi, sosial, dan politik

di suatu negara, dimana hal hal tersebut secara tidak langsung akan

mempengaruhi nilai properti. Menurut Supardi, Heri dan Mohammad

Luthfi (2010:11) campur tangan pemerintah dalam peruntukan (zoning)

dan perencanaan kota berpengaruh terhadap nilai properti. Sebagai contoh,

permintaan akan suatu properti mungkin akan mengalami penurunan jika

sistem perundangan yang mengatur properti tersebut terlalu ketat dan akan

mempengaruhi nilai properti secara umum. Keadaan ekonomi dan sistem

perpolitikan yang cenderung nyaman bagi para investor tentu akan

menjadi daya tarik dan akan berdampak baik bagi nilai properti.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Landasan Teori Ekonomi Makro

Berkaitan dengan hal ini, kebijakan pengetatan batasan Loan to value

adalah salah satu sistem kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh bank

Indonesia sebagai otoritas moneter untuk melindungi nilai properti di

Indonesia.

2.1.3.3 Hubungan Loan to Value dengan Permintaan Properti

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya Loan to value adalah Rasio

antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada awal

pemberian kredit (Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP). Kebijakan

Loan to value adalah kebijakan Bank Indonesia dalam upayanya melakukan

pembatasan terhadap jumlah dana yang dapat diberikan bank penyedia jasa

pembiayaan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Aturan yang dikeluarkan

tanggal 15 Maret 2012 dan aktif mulai tanggal 15 Juni 2012 ini, menetapkan

besarnya Loan to Value terhadap properti sebesar 70%, artinya penerima KPR

paling tidak harus mempunyai uang muka sebesar 30% dari nilai KPR tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentu saja kebijakan ini akan berdampak

buat nilai dan permintaan properti. Menurut Hidayati dan Harjanto (2001:22)

sistem perundangan yang terlalu ketat mungkin akan menyebabkan permintaan

properti turun dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai tanah. Menurut Supardi,

Heri, dan Mohammad Luthfi (2010:12) Kebijakan pemerintah dalam menentukan

suku bunga juga berpengaruh terhadap nilai properti dari segi ekonomi. Sehingga

jelas terlihat bahwa kebijakan Loan to value akan berpengaruh terhadap

permintaan properti.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Landasan Teori Ekonomi Makro

2.2. Kerangka konseptual

Kerangka konseptual menurut Erlina (2008:34) merupakan suatu model yang

menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor faktor penting yang

telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.

Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka maka kerangka

konseptual dalam Penelitian ini dapat dilihat dari Gambar berikut ini:

Gambar 2.2. Kerangka Konseptual

*down payment tidak dibahas dalam skripsi ini

Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/ DPNP

Kebijakan Loan to Value / Down Payment

LTV : Properti /Perumahan Diatas Tipe 70 m2

Maksimal Pembiayaan Oleh Bank 70 % dari harga Jual

*DP: Kendaraan Bermotor

Minimal 30% dari Harga Jual

Permintaan Rumah Tipe 70 + Sebelum Kebijakan

(Januari2012 – Mei 2012)

Permintaan Rumah Tipe 70 + Sesudah Kebijakan

(Juni 2012 – Desember 2012)

Dampak Kebijakan

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Landasan Teori Ekonomi Makro

Surat Edaran per tanggal 15 maret 2012 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia

tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum telah melahirkan satu

kebijakan Loan to value yang memberikan batasan yang jelas berapa besar batas

minimal uang muka yang harus disediakan oleh peminat KPR untuk dapat

melakukan pembelian secara kredit. Kebijakan ini diyakini mempunyai dampak

terhadap jumlah permintaan properti terkhusus bagi jenis atau tipe rumah diatas

70 m2. Skripsi ini akan mengukur dampak kebijakan Loan to value terhadap

permintaan properti di kota Pematangsiantar.

2.3. Penelitian Terdahulu

Joshua Bangun Gunanta (2012) melakukan penelitian dengan judul “Dampak

Aturan Pembatasan Loan to Value Terhadap Harga Saham Properti”. Joshua

dalam penelitiannya mengukur apakah ada pengaruh kebijakan Loan to value

terhadap laba perusahaan yang kemudian akan berpengaruh terhadap harga saham

perusahaan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Loan to

Value yang ditetapkan melalui surat edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP

berpengaruh terhadap perubahan saham perusahaan properti di Indonesia.

Mayoritas harga saham perusahaan sektor properti dan real estate mengalami

penurunan harga dibandingkan dengan sebelum aturan pembatasan tersebut

efektif ditetapkan.

Dwi Yulianti (2009) dalam penelitiannya berjudul “analisis pengaruh suku

bunga, inflasi, dan nilai tukar terhadap tingkat pengembalian saham sektor

industri barang konsumsi dan sektor properti dan real estate” mencoba

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Landasan Teori Ekonomi Makro

memperbandingkan sektor mana yang paling berpengaruh terhadap perubahan

(gejolak) ekonomi yang terjadi di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa perubahan suku bunga, terjadinya inflasi, dan perubahan nilai tukar akan

lebih mempengaruhi kinerja perusahaan sektor properti dan real estate

dibandingkan dengan perusahaan sektor konsumsi. Hal ini dikarenakan real estate

masih dianggap masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai barang sekunder

yang kepentingannya tidak harus segera diwujudkan. Sehingga dengan terjadinya

Inflasi masyarakat akan lebih memilih mendahulukan konsumsi terutama barang

pokok.

Tak chuen Wong, Tom Fong, Ka fai Li dan Henry Choi (2011) dalam

penelitiannya berjudul “Loan to value ratio as a macroprudential tool Hong

Kong’s experience and cross-country evidence” menggambarkan pengalaman

Negara Hongkong dalam menerapkan kebijakan Loan to Value di negaranya.

Banyak pengamat meragukan kebijakan Loan to Value memang efektif digunakan

sebagai alat mencegah terjadinya Bubble di sektor properti. Namun penelitian ini

menunjukkan dari pengalaman Hongkong melaksanakan kebijakan Loan to Value

kebijakan ini memang cukup efektif mengatasi (mengurangi) risiko kredit di pasar

Properti.

2.4. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoritis, rumusan masalah dan penelitian terdahulu

maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah Kebijakan Loan to Value

akan berdampak negatif terhadap permintaan properti di Kota Pematangsiantar.

Universitas Sumatera Utara