laappoor raann eaakkhhiir...

58
PENGALAMAN KLIEN KONDISI TERMINAL: INFARK MIOKARD AKUT SELAMA DI RAWAT DI RUANG CARDIAC INTENSIF CARE UNIT (CICU) RSHS BANDUNG LAPORAN AKHIR PENELITIAN Penelitian Mandiri, Sumber Dana Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2011 Oleh : Ketua : Etika Emaliyawati, M.Kep Anggota I : Kusman Ibrahim, Ph.D Anggota II : Kurniawan Yudianto., M.Kep FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2011

Upload: buitu

Post on 08-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

PENGALAMAN KLIEN KONDISI TERMINAL:

INFARK MIOKARD AKUT SELAMA DI RAWAT

DI RUANG CARDIAC INTENSIF CARE UNIT (CICU) RSHS BANDUNG

LLAAPPOORRAANN AAKKHHIIRR PPEENNEELLIITTIIAANN

Penelitian Mandiri, Sumber Dana Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Tahun Anggaran 2011

Oleh :

Ketua : Etika Emaliyawati, M.Kep

Anggota I : Kusman Ibrahim, Ph.D

Anggota II : Kurniawan Yudianto., M.Kep

FFAAKKUULLTTAASS KKEEPPEERRAAWWAATTAANN UUNNIIVVEERRSSIITTAASS PPAADDJJAADDJJAARRAANN

TTAAHHUUNN 22001111

Page 2: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

ii

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN MANDIRI

SUMBER DANA : FAKULTAS KEPERAWATAN

TAHUN ANGGARAN 2011

1. a. Judul penelitian

:

Pengalaman Klien Kondisi Terminal: Infark

Miokard Akut Selama Di Rawat Di Ruang

Cardiac Intensif Care Unit (CICU) RSHS

Bandung

b. Bidang Ilmu : Kesehatan

c. Kategori : I

2. Ketua Peneliti

a. Nama lengkap & gelar

b. Jenis kelamin

c. Pangkat/Gol/NIP

d. Jabatan fungsional

e. Fakultas

f. Bidang ilmu yang diteliti

:

:

:

:

:

:

:

Etika Emaliyawati., M.Kep

Perempuan

IIIa/197707142007012002

Asisten Ahli

Keperawatan

Keperawatan

3. Jumlah anggota Peneliti : 2 orang

a. Nama anggota peneliti I : Kusman Ibrahim., Ph.D

b. Nama anggota peneliti II : Kurniawan Yudianto., M.Kep

4. Lokasi Penelitian : RSHS Bandung

5. Kerjasama dengan institusi lain:

a. Nama Instansi : -

b. Alamat : -

c. Telepon/Faks/E-mail : -

6. Lama penelitian : 3 (tiga) bulan

7. Biaya penelitian : Rp. 3.000.000,-

Bandung, 28 Desember 2011

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

Mamat Lukman, SKM, S.Kp, MSi.

NIP. 19630314 198603 1 001

Ketua Peneliti

Etika Emaliyawati, S.Kep.,Ners.,M.Kep

NIP. 197707142002012002

Menyetujui, Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran,

Neti Juniarti, S.Kp., M.Kes., MNurs

NIP. 19770619 200312 2 001

Page 3: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

iii

ABSTRAK

Meningkatnya jumlah klien dengan penyakit yang belum dapat

disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit

degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson,

gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti

HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan paliatif, disamping

kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (Kepmenkes, 2007)

Infark miokard merupakan salah satu penyakit kondisi terminal yang

memerlukan perawatan intensif. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung merupakan

Rumah Sakit rujukan dan pendidikan yang memiliki fasilitas intensif bagi

penyakit jantung koroner (salah satunya infark miokard) yang jumlahnya semakin

bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian karena

kecenderungan trend penyakit sekarang ini.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, dengan jumlah informan

klien 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi yaitu klien dengan infark miokard

akut, dirawat di ruang intensif dan kondisinya telah stabil yang dinyatakan dengan

klien diperkenankan pulang oleh dokter penanggungjawabnya. Pengumpulan data

dilakukan dengan wawancara mendalam setelah informan bersedia untuk ikut

serta dalam penelitian ini.

Hasil penelitian didapatkan tema-tema penelitian yang terbagi dalam 4

dimensi yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Untuk dimensi fisik

didapatkan tema selama perawatan di ruang intensif seluruh informan menyatakan

adanya nyeri dada dan sesak nafas. Pada dimensi psikologis didapatkan tema dari

10 orang informan seluruhnya menyatakan merasa tidak berdaya dan mengalami

ketidakpastian menghadapi masa depan. Pada dimensi sosial didapatkan tema dari

10 orang informan 9 diantaranya menyatakan tidak dapat ditemani oleh keluarga,

mengungkapkan pesan untuk kelangsungan hidup keluarga dan biaya yang besar

untuk pengobatan. Sedangkan untuk dimensi spiritual didapatkan tema dari 10

orang informan seluruhnya menyatakan adanya ketakutan akan kematian dan

kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat).

Hasil penelitian ini hendaknya menjadi rekomendasi dalam memberikan

layanan kesehatan bagi klien kondisi terminal; infark miokard akut yang sedang

menjalani perawatan intensif. Penting kiranya untuk dapat mengelola dan

mengintegrasikan pelayanan perawatan pada pasien infark miokard akut yang

sedang dirawat di unit intensif secara holistik meliputi fisik psikologis sosial dan

spiritual.

Kata kunci: klien kondisi terminal, infark miokard akut, pengalaman perawatan,

ruang intensif

Page 4: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Illahi

Rabbi, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan akhir penelitian dengan judul “Pengalaman Klien Kondisi

Terminal: Akut Miokard Infark Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care

Unit (CICU) RSHS Bandung”

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini tidak

terlepas dari peranan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Mamat Lukman, S.KM, S.Kp, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Padjadjaran.

2. Neti Juniarti, selaku Ketua Unit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.

3. Fakultas Keperawatan UNPAD, selaku sumber dana yang membiayai peneliti

dalam melaksanakan penelitian ini.

4. Direktur RSHS Bandung yang telah memberikan ijin dan memberikan

bantuan kepada peneliti dalam pelaksanaan penelitian.

5. Bidang Perawatan, Staf Bidang Keperawatan, dan Kepala Ruangan CICU

RSHS Bandung yang telah memfasilitasi peneliti dalam pelaksanaan

penelitian.

6. Alumni Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran di Ruang CICU RSHS

Bandung yang telah membantu peneliti dalam proses pelaksanaan penelitian.

Semoga amal baiknya mendapatkan pahala dan balasan dari Allah SWT.

Tidak lupa penulis memohon maaf atas segala kekurangan.

Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan

menambah wawasan pengetahuan kita semua, amien.....

Bandung, 28 Desember 2011

Penulis

Page 5: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

v

DAFTAR ISI

Lembar Identitas Dan Pengesahan …………………………………………….... i

Abstrak ……………………………………………………………………….…. ii

Abstract …………………………………………………………………….……. iii

Kata Pengantar ...........................................................................................……… iv

Daftar Isi …………………………………………………………………….....… v

Daftar Tabel …………………………………………………………….......…... vii

Daftar Lampiran ……………………………………………………………...….viii

1. PENDAHULUAN .............................................. Error! Bookmark not defined.

Latar Belakang ................................................. Error! Bookmark not defined.

Perumusan Masalah …………………………………………………………..3

Definisi Istilah …………………….. …………………………………………3

2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………4

Perawatan Klien Terminally Illness …………………………………………..4

Keluarga Klien Dengan Terminally Illness …………………………………...8

Perawatan Paliatif ……………………………………………………………12

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……………………………….15

Tujuan Penelitian ……………………………………………………………15

Kontribusi Penelitian ....................................................................................... 15

4. METODE PENELITIAN .............................................................................. 17

Design Penelitian ........................................... Error! Bookmark not defined.7

Populasi dan Sampel ...................................... Error! Bookmark not defined.7

Teknik Pengumpulan Data ............................. Error! Bookmark not defined.8

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................ Error! Bookmark not defined.9

Hasil Penelitian .............................................. Error! Bookmark not defined.9

Pembahasan………………………………………………………………..…23

6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................ Error! Bookmark not defined.5

Kesimpulan .................................................... Error! Bookmark not defined.5

Saran .............................................................. Error! Bookmark not defined.5

7. DAFTAR PUSTAKA ....................................... Error! Bookmark not defined.6

LAMPIRAN

Page 6: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ijin Penelitian

Lampiran 2 Instrumen Penelitian

Lampiran 3 Riwayat Hidup Ketua dan Anggota Peneliti

Page 7: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meningkatnya jumlah kasus klien dengan penyakit yang belum dapat

disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit penyakit terminal,

penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke,

Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi

seperti HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan yang

kompleks.

Penyakit terminal (terminally Ill) merupakan istilah yang mulai dikenal

pada abad ke-20. Penyakit ini untuk menjelaskan penyakit yang tidak bisa

disembuhkan yang dapat mengakibatkan kematian bagi seseorang yang

mengidapnya dalam waktu yang relatif singkat (Mc.Graw-Hill, 2002).

Menurut Albrecht (2006) penyebab kematian tertinggi di dunia disebabkan

karena penyakit jantung, kedua kanker, ketiga penyakit serebrovaskular dan ke

empat adalah pneumonia/influenza. Riskesdas (2007) menuturkan di Indonesia

sendiri penyebab kematian terbesar disebabkan karena penyakit jantung,

stroke/cerebrovaskular, tuberkulosis, penyakit pernafasan, hipertensi, trauma,

penyakit terminal, perinatal, diabetes melitus, dan diare. Dari beberapa penyebab

kematian tersebut diantaranya disebabkan karena penyakit terminal/ terminally ill.

Penyakit terminal ini merupakan salah satu penyakit yang termasuk ke

dalam masalah kesehatan nasional karena jumlahnya semakin bertambah dari

tahun ke tahun. Menurut Anthony, Dermot dan Stephen (2004) penyakit ini tidak

hanya merupakan ancaman terhadap masalah kesehatan, tetapi selalu menjadi

pertimbangan terhadap pembangunan khususnya pembangunan di bidang

kesehatan.

Adanya perubahan pola penyakit, tuntutan serta pengenalan teknologi di

bidang kesehatan mengakibatkan pemerintah di seluruh dunia saat ini sedang

menghadapi biaya pelayanan kesehatan yang sangat tinggi. Penyakit terminal

merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang

komplek, mulai dari penegakan diagnosa sampai dengan penanganan dan

Page 8: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

2

perawatannya. Oleh karena itu perlu adanya pengukuran kebutuhan pelayanan

kesehatan, biaya yang dikeluarkan, dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat

(Bradshaw, 2010). Semua hal tersebut sangat penting karena akan sangat

bermanfaat untuk membuat perencanaan dan pengembangan kebijakan kesehatan

Ketika seorang klien divonis menderita suatu penyakit yang tidak bisa

disembuhkan, seketika itu pula kematian sudah berada di pelupuk mata. Sebagai

petugas kesehatan dalam hal ini sebagai perawat mempunyai tanggung jawab

terhadap segala hal yang menyangkut diri klien, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan

begitu saja. Harus ada daya dan upaya untuk mengangkat klien dari kegelapan dan

memberikan harapan walau hanya sementara.

Harapan yang dimaksud disini bukanlah harapan untuk kesembuhan dari

penyakit yang diderita tetapi harapan untuk mendapatkan kenyamanan dan

dukungan dari lingkungan kepada diri klien dalam menghadapi penyakitnya.

Dukungan bisa berupa pemberian semangat dari keluarga, petugas kesehatan, atau

yang lainnya sehingga klien tidak merasa sendiri dalam menghadapi penyakitnya

yang dapat merenggut kehidupannya.

Kebanyakan penelitian dilakukan di rumah sakit terhadap orang-orang yang

mengidap penyakit terminal. Studi etnografi yang dilakukan pada klien penyakit

terminal ditemukan bahwa perawatan pada klien dengan penyakit terminal

kurang mendapat perhatian terhadap kebutuhan kultur, status kognitif dari

karakteristik klien dengan penyakit terminal (Jones, 2002).

Didapatkan pula jumlah staf perawatan yang kurang menyebabkan beban

kerja yang sangat tinggi bagi staf perawatan dan adanya anggapan bahwa staf

perawatan kurang pengalaman dalam memberikan perawatan kepada klien-klien

terminal yang sedang menghadapi akhir hidup, rumah sakit sering terlambat

membuat rujukan bahkan sama sekali tidak membuat rujukan untuk mencegah

kejadian yang tidak diharapkan. Komunikasi yang tidak pantas, dan tidak cukup

antara staf perawatan dan keluarganya merupakan faktor-faktor dominan yang

mempengaruhi pengalaman perawatan (Wetle .et.all, 2005).

Penelitian lain yang dilakukan pada klien dengan penyakit terminal yang

berusia di atas 65 tahun dilakukan oleh Hawkins, et.all (2005) didapatkan bahwa

sangat sedikit klien yang ingin menuliskan pilihan dan mandat perawatan medis

Page 9: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

3

spesifik yang akan diikuti, tidak terkecuali ketika sudah mendekati kematian.

Menurut Travis, et. all (2005) kebanyakan klien dengan penyakit terminal

terlambat mendapatkan perawatan yang disebabkan karena lambatnya keputusan

yang diambil oleh klien ataupun pengambil keputusan lainnya (seperti keluarga).

Di lain pihak juga karena sistem perawatan, aturan-aturan yang berlaku di tempat

perawatan memang tidak mendukung terlaksananya perawatan tersebut.

Dari faktor keagamanan/spiritual selama kehidupan didapatkan korelasi

positif antara tingkat spiritualitas dengan kenyataan dalam menghadapi akhir

hidup/ end of life terhadap klien terminal. Hal ini tidak berpengaruh terhadap

keadaan sakit klien saat ini. Klien yang mendapatkan dukungan sosial agama

selama hidup yang lebih tinggi menerima dukungan sosial yang lebih baik (Hays

et. all. 2005). Dari faktor hubungan sosial ternyata didapatkan bahwa survival

menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan

teman-teman dan saudara kembar (Rasulo, D et. all. (9).2005).

Menurut Kramer, et. all (2005) dari faktor ekonomi ternyata ada beberapa

tantangan dalam menjalani perawatan akhir-hidup yaitu sifat dari penyakit kronis

lanjut. Hal ini menimbulkan perlunya biaya yang besar dalam pengobatan,

ketidakmampuan dari sistem pendukung dimana asuransi kesehatan tidak

memenuhi semua kebutuhan klien dengan penyakit terminal.

Penelitian yang dilakukan terhadap layanan kesehatan yang diberikan

kepada klien dengan penyakit terminal diantaranya yang dilakukan oleh Wetle

.et.all (2005) menyatakan bahwa staf perawatan kurang memperhatikan gejala,

kebutuhan dan kesakitan pada waktu dying (proses end of life) dari klien,

perawatan yang diberikan tidak memadai, di sini termasuk oleh dokter dan

perawat. Staf profesional seperti dokter dan perawat tidak mengungkapkan tanda-

tanda dari akhir kehidupan kepada keluarga.

Wetle .et.all (2005) juga mengungkapkan bahwa ada perlakuan yang tidak

pantas, terlambat dalam mengambil keputusan sehingga menimbukan penderitaan

yang tidak perlu. Profesi dokter dilihat sebagai “missing in action”, tidak dan

kurang memberikan informasi tentang keadaan klien yang sebenarnya, dan juga

bermasalah dalam hal komunikasi sehingga menimbulkan banyak konflik,

Page 10: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

4

perbedaan persepsi yang akhirnya semakin menyulitkan keluarga dalam

pengambilan keputusan apa yang harus dilakukan terhadap anggota keluarganya.

Penelitian-penelitian tentang klien dengan penyakit terminal banyak

dilakukan di negara-negara lain umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan

USA. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia sendiri

karena perbedaan kultur, etnis/ras, kepercayaan, cara pandang dari nilai-nilai yang

dianut.

Di Indonesia sendiri penelitian terkait mengenai klien terminal belum

pernah ada yang melakukan. Baru ada kajian pustaka yang ditulis oleh Benyamin

Lumenta (1997), yang menulis bahwa seorang dokter sangat sulit menentukan

menyampaikan atau tidak mengenai kondisi penyakit klien yang tidak dapat

disembuhkan atau klien berada dalam kondisi menjelang akhir hayat.

Para dokter berpendapat klien dengan penyakit terminal ini harus ditangani

secara kasuistik tetapi sulit dilakukan dikarenakan mereka tidak atau kurang

mengenal setiap kliennya. Selain itu ada keterbatasan waktu untuk melakukan

semua kajian tersebut. Padahal ini terkait dengan bagaimana sebaiknya

memberikan perawatan pada klien dengan penyakit terminal yang akan

menghadapi akhir hidupnya untuk memilih perawatan dan cara kematiannya

secara terhormat dan bermartabat (Lumenta, 1997).

Salah satu penyakit dengan kondisi terminal adalah akut miokard infark,

penyakit yang disebabkan oleh adanya penyempitan pada lumen arteri koronoria

ini menimbulkan nyeri hebat dan dapat menimbulkan kematian secara cepat bila

tidak ditangani dengan segera. Penyakit ini menimbulkan kematian 400.000 –

500.000 orang/tahun di USA. Ketika klien telah melewati fase kritis dari

penyakitnya pada waktu serangan, akut miokard infark masih menimbulkan resiko

kematian khususnya pada 6 bulan pertama setelah serangan pertama. Penanganan

dari penyakit ini adalah menangani nyeri dan penanganan terhadap sumbatan dari

arteri koronaria, tetapi itu tidak mutlak menjadikan kondisi jantung klien menjadi

lebih baik.

Saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia terhadap klien dengan penyakit

terminal sudah ada tetapi belum tertata dengan baik, dimana belum ada standar

baku perawatan klien dengan penyakit terminal. Hal tersebut disebabkan karena

Page 11: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

5

pemahaman dan pengetahuan, fasilitas dan ilmu yang terkait serta data-data

mengenai perawatan klien penyakit terminal yang terbatas. Kebutuhan klien

penyakit terminal terutama pada stadium lanjut prioritas pelayanan tidak hanya

pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang

terbaik bagi klien dan keluarganya. Di sini pentingnya integrasi perawatan pada

klien dengan penyakit terminal, pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan

terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi agar masalah fisik, psikososial

dan spiritual dapat diatasi dengan baik, selain itu setiap klien berhak

mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.

Dari uraian di atas , maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai bagaimana pengalaman klien kondisi terminal; akut miokard infark

selama di rawat di ruang intensif, karena pengetahuan penulis tentang hal-hal

yang terkait dengan penyakit ini di Indonesia belum ada, maka peneliti melakukan

penelitian kualitatif.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana pengalaman klien

kondisi terminal; akut miokard infark selama di rawat di ruang cardiac intensif

care unit (CICU) RSHS Bandung?

C. Definisi Istilah

Penyakit terminal yaitu penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau

cukup dirawat dan yang dapat mengakibatkan kematian klien dalam waktu

yang relatif singkat dan dengan demikian memerlukan perawatan (Mc.Graw-

Hill, 2002). Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat

mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard

Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan

sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P,

Fraenkel L 2007).

Ruang perawatan intensif atau intensif care unit (ICU) adalah unit

perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis,

cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga

Page 12: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

6

kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus

(Depkes, 1997) dan Owen SA (2009)

Dalam penelitian ini, penyakit dengan kondisi terminal adalah penyakit

jantung koroner yaitu infark miokard akut killip II, III dan sedang dirawat di

ruang cardiac intensif care unit, yang telah mengalami perbaikan sehingga

telah diperbolehkan pulang oleh dokter penanggung jawabnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Penyakit Terminal

Konsep dari penyakit terminal ini akan di bahas dalam beberapa pokok

bahasan yang terdiri dari pengertian penyakit terminal (terminally ill), konsep

infark miokard itu sendiri dan karakteristik klien dengan kondisi terminal dari

berbagai dimensi.

- Pengertian Penyakit Terminal (Terminally Ill)

Terdapat beberapa definisi dari penyakit terminal diantaranya yaitu dari

American Cancer Society yang menyatakan bahwa penyakit terminal

merupakan penyakit yang aktif dan progresif yang tidak ada lagi obat untuk

mengatasinya dengan prognosis yang fatal. Hal ini didefinisikan sebagai

penyakit yang tidak dapat diubah, yang akan mengakibatkan kematian dalam

waktu dekat atau keadaan tidak sadarkan diri permanen dimana untuk

pemulihan dari penyakitnya tidak mungkin. Beberapa contoh, antara lain,

penyakit terminal termasuk penyakit terminal stadium lanjut, beberapa jenis

cedera kepala, dan sindrom kegagalan organ multiple. Panjang harapan hidup

dapat bervariasi dari entitas ke entitas.

Selain itu didapatkan pula definisi penyakit terminal yaitu penyakit

yang tidak bisa disembuhkan atau cukup dirawat dan yang dapat

mengakibatkan kematian klien dalam waktu yang relatif singkat dan dengan

demikian memerlukan perawatan (Mc.Graw-Hill, 2002). Definisi penyakit

terminal yang paling sesuai dalam penelitian ini adalah definisi tentang

penyakit terminal dimana penyakit yang lebih sering digunakan untuk

penyakit progresif seperti kanker atau penyakit jantung daripada untuk

Page 13: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

7

trauma. Dalam definisi lain, itu menunjukkan penyakit yang akan mengakhiri

hidup penderita. Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat

mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard

Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan

sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P,

Fraenkel L 2007).

- Konsep Infark Miokard Akut

Konsep infark miokard akut ini akan dibahas mulai dari definisi,

dan manifestasi klienis yang mungkin muncul.

Pengertian

Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot

jantung terganggu, umumnya hal ini disebabkan adanya atherosklerosis

pembuluh darah koroner. Area nekrosis akan menjadi jaringan parut yang

kaku sedangkan miokard yang sehat dapat mengalami hipertrofi dan

pemburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan atau

infark meluas.

Patofisiologi terjadinya infark pada otot jantung sangat ditentukan oleh

suplay oksigen yang adekuat. Dikatakan bahwa otot jantung merupakan organ

yang sangat tergantung pada oksigen untuk mendapatkan energi. Kekurangan

oksigen sedikit saja dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat

menimbulkan kerusakan miokard.

Menurut Soeparman (1993) akibat adanya kerusakan miokard akan

mengakibatkan disritmia terutama pada menit-menit atau jam-jam pertama

setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa

refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaan rangsangan.

Manifestasi klinis

Tanda dan gejala dari infark miokard menurut Smeltzer, dkk (2004)

adalah sebagai berikut:

1) Nyeri disebabkan oleh pengiriman oksigen yang tidak cukup ke

miokardium. Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar

ke leher, radang, lengan kiri, atau ke punggung dan terjadi ketika klien

Page 14: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

8

aktif atau istirahat. Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan

tidak hilang dengan istirahat atau pemberian terapi nitrat. Beberapa klien

tidak mengalami nyeri tetapi mungkin merasa tidak nyaman, lemah, sesak

napas.

2) Berkeringat dingin. Hal ini disebabkan karena stimulasi sistem syaraf

simpatis dimana terjadi vasokontriksi (vasoconstriction) dari pembuluh

darah. Pada pemerikasaan fisik, kulit klien pucat dan dingin.

3) Mual dan muntah. Diakibatkan dari stimulasi reflek dari pusat muntah

akibat nyeri. Mual dan muntah ini dapat juga berasal dari reflek fasofagal

yang berasal dari area miokardium infark.

4) Suhu meningkat dalam 24 jam pertama (38ºC dan terkadang 39ºC).

Berakhir selama 1 minggu. Peningkatan suhu ini merupakan manifestasi

klinis sistemik proses keadaan penyakit yang disebabkan oleh kematian sel

miokardium infark.

5) Manifestasi kardiovaskuler. Tekanan darah dan denyut jantung mungkin

meningkat pada awalnya. Kemudian tekanan darah karena cardiac out put

berkurang, urine output dan mungkin terjadi oedema paru, keadaan ini

berlangsung selama berjam-jam hingga beberapa hari.

6) Kecemasan dimana klien takut akan kematian. Klien sering ketakutan

setelah mengalami serangan, dimana klien sering merasakan adanya nyeri

dada yang hebat, khawatir penyakitnya tidak sembuh, dan mungkin juga

ketakutan dengan seting ruang perawatan.

Pada infark miokard, gangguan jantung telah dengan mudah dan

bermanfaat diklasifikasikan oleh Killip dalam empat kelas, yaitu:

I : Tidak ada kegagalan

II : Kegagalan ringan sampai sedang

III : Edema pulmonal akut

IV : Syok Kardiogenik

Pada awalnya, kegagalan ringan (Killip kelas II) dan kronik sering

dicirikan dengan S3, peningkatan frekwensi jantung (biasanya irama sinus),

dan kemungkinan crackles halus pasca batuk rejan (rale) pada dasar paru.

Selain itu, bukti kongesti vaskular pulmonal (sering tanpa edema pulmonal)

Page 15: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

9

sering terlihat pada rontenogram dada, peninggian tekanan vena jugularis dan

disritmia mungkin ada: kontraksi atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter

atrium, takikardi atrium paroksismal, dan irama pertemuan. Pasien mungkin

merasa nyaman pada istirahat atau mengalami gejala curah jantung rendah

atau kongesti vaskular pulmonal, gejala-gejala meningkat pada aktivitas.

Edema pulmonal akut (Killip kelas III) adalah situasi yang mengancam

hidup yang dicirikan oleh transudasi cairan dari kapilar pulmonal ke dalam

area alveolar, dengan akibat dispneu ekstrem dan ansietas. Perawatan segera

diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien.

Syok Kardiogenik (Killip kelas IV) adalah sindroma kegagalan

memompa yang paling mengancam dan dihubungkan dengan mortalitas paling

tinggi, meskipun dengan perawatan yang agresif. Syok kardiogenik diketahui

secara klinis melalui:

Tekanan sistolik darah kurang dari 80 mmHg (sering tidak dapat diukur)

Nadi lemah yang sering/cepat

Kulit pucat, dingin dan berkeringat yang sering kali sianosis

Gelisah, kekacauan mental, dan apatis

Kemungkinan perubahan status mental

Penurunan atau tak adanya haluaran urin

Manifestasi syok ini menunjukkan ketidakadekuatan jantung sebagai

pompa dan biasanya menunjukkan kerusakan dalam jumlah besar dari otot

jantung (40% atau lebih massa ventrikel kiri).

Pada beberapa pasien dengan hipertensi arteri jangka panjang bermakna

akan mempunyai manifestasi syok kardiogenik pada tekanan normal secara

relatif. Orang ini memerlukan tekanan tinggi untuk perfusi organ vital dan

mempertahankan viabilitas. Pengetahuan tentang riwayat tekanan darah

sebelumnya adalah pengenalan yang sangat penting terhadap orang ini. Tidak

semua situasi klinis syok kardiogenik dihubungkan dengan curah jantung

tidak adekuat. Tergantung pada perubahan situasi, seperti demam, curah

jantung kadang-kadang mungkin normal atau bahkan meningkat (Hudak

CM., Gallo BM, 1997a).

Page 16: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

10

- Karakteristik Klien dengan Infark Miokard Akut dalam Kondisi

Terminal

Karakteristik klien infark miokard akut dilihat dari sisi kebutuhan fisik,

psikologis, sosial, dan spiritual

1) Fisik

Karakteristik klien dengan akut miokard infark adalah adanya keluhan

sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum, bisa menjalar ke dada

kiri dan kanan, rahang, bahu kiri dan kanan pada satu atau kedua lengan.

Digambarkan sebagai rasa tertekan, terhimpit, diremas dan rasa berat atau

panas, kadang-kadang penderita melukiskannya hanya sebagai rasa tidak enak

di dada. Rasa sakit biasanya berlangsung lebih dari setengah jam, dan jarang

ada hubungannya dengan aktifitas, serta tidak hilang dengan istirahat atau

pemberian nitrat.

Jarang ada infark yang betul-betul tanpa rasa sakit. Bila sakit dada sudah

dapat dikontrol, klien dapat tanpa keluhan sama sekali sampai pemulihan,

tetapi pada sejumlah penderita dapat timbul berbagai penyulit. Penyulit yang

paling sering adalah disritmia, renjatan kardiogenik dan gagal jantung. Rasa

nyeri ini selanjutnya menyebabkan kecemasan atau stres pada klien terlihat

dari adanya ketegangan dan ketakutan, gelisah, wajah tegang, pucat, serta

berkeringat dingin. Padahal kecemasan atau stres itu, dapat memperberat

kondisi jantung.

2) Sosial

Kecemasan yang dirasakan klien Akut Miokard Infark dapat

mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang terdekat untuk

mendapatkan dukungan. Menurut Ahmad N, et all. (2006) bahwa gejala-gejala

fisik dari klien dalam kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan

juga depresi dan kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktor-

faktor psikososial dan kultural yang beragam. Pengkajian gejala distres

dengan demikian merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis,

Cohen dan Mc Kay (1984) dalam Neil Niven (1994) menampilkan suatu

model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah

stres. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek

Page 17: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

11

penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Ada tiga tipe

mekanisme dukungan yang dapat mengurangi perasaan stres.

(1) Dukungan nyata. Dukungan nyata merupakan paling efektif jika

dihargai oleh penerima dengan tepat. Namun pemberian dukungan nyata yang

berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan berhutang akan benar – benar

menambah stres individu.

(2) Dukungan pengharapan. Kelompok dukungan dapat mempengaruhi

persepsi individu akan ancaman. Dukungan sosial penyangga orang – orang

untuk melawan stres dengan membantu mereka mendefinisikan kembali

situasi tersebut terhadap ancaman kecil. Arahkanlah pada orang yang sama

yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan

bantuan. Dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping

individu dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan

pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang – orang berfokus pada

aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.

(3) Dukungan emosional. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan

hal dimiliki dan dicintai, dukungan emosional dapat menghentikannya atau

menguatkan perasaan – perasaan ini. Stres yang tidak terkontrol dapat

berakibat pada hilangnya harga diri. Jika ini terjadi jaringan pendukung

memainkan peran yang berarti dalam meningkatkan pendapat yang rendah

terhadap diri sendiri.

3) Psikologis

Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard

infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon

pertama menurut Kubler & Ross (1970) adalah mereka mengalami mekanisme

berupa upaya untuk mengatasi keadaan tersebut. Klien hendak membela diri

terhadap informasi yang diterimanya tersebut, klien bersikap mengingkarinya

yang segera diikuti dengan sikap menutup diri terhadap semua komunikasi.

Klien tidak mau berhubungan lagi dengan dokter maupun perawat, menutup

dirinya terhadap keluarga dan orang-orang lain di sekelilingnya.

Sikap tadi dilanjutkan dengan menyatakan kemarahan terhadap orang-

orang yang ingin menemuinya. Akhirnya klien masuk ke fase tawar menawar,

Page 18: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

12

klien menunjukkan keinginan untuk dapat sembuh kembali dan melanjutkan

perannya dalam keluarga dan masyarakat. Tetapi keadaan penyakit yang

dideritanya mendesaknya terus untuk memahami keparahan penyakitnya. Hal

ini mengakibatkan akhirnya klien masuk ke fase depresi. Klien menjadi

murung, cemas, dan ketakutan, tetapi pada akhirnya klien dapat menerima

kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan kembali. Klien telah

memasuki proses yang tidak dapat dihindarinya menjelang akhir hayat.

Kelima fase ini selalu disertai dengan adanya harapan tentang kesembuhan

betapapun kecilnya.

Menurut Glaser G (1972) setelah seseorang diberitahukan tentang

penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya

semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat

berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama,

lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya. Setelah itu klien

dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan menerima

keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti oleh

perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan

dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di

samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap

berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan

untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya

dan menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi

ini orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat

dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien.

4) Spiritual

Klien akut miokard infark mengalami krisis yang berhubungan dengan

perubahan patofisiologi, pengobatan yang diperlukan atau situasi yang

mempengaruhi seseorang. Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan

pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan

pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk

sembahyang/berdoa lebih tinggi (Hamid, A.Y.S, 2000).

Page 19: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

13

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha

kuasa dan maha pencipta. Menurut Burkhardt (1993) dalam Hamid, A.Y.S

(2000) spiritualitas meliputi aspek-aspek (1) berhubungan dengan sesuatu

yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, (2) menemukan

arti dan tujuan hidup, (3) menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber

dan kekuatan dalam diri sendiri,(4) mempunyai perasaan keterikatan dengan

diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.

Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau

keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan

kekuatan ketika menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian.

Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais &

Wilkinsons, 1995; Murray & Zentner, 1993. dalam Hawari D, 2004).

Pentingnya agama dalam kesehatan dilihat dari batasan organisasi kesehatan

dunia (WHO, 1984) dalam Hawari D (2004) menyatakan bahwa aspek agama

merupakan salah satu unsur dari pengertian sehat seutuhnya, yang dikenal

dengan bio-psiko-sosial-spiritual.

Dalam agama Islam ada doa dan dzikir, dari segi kesehatan jiwa doa dan

dzikir mengandung unsur psikotherapeutik yang mendalam. Karena itu,

psikoreligius tidak kalah pentingnya dibanding psikoterapi psikiatrik, karena

ia mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian yang membangkitkan rasa

percaya diri dan optimisme. Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri dan optimisme

merupakan hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit

disamping obat – obatan dan tindakan medis lainnya (Hawari D, 2004).

Dalam stadium yang demikian, klien membutuhkan hal-hal yang bersifat

spiritual. Pemenuhan spiritual dan juga dorongan moril dari pihak keluarga

amat menambah memperkuat “ego-strength” dan ketenangan jiwa yang

bermanfaat bagi kesehatan jantung.

- Pasien Kritis

Pasien kritis adalah pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat

memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun

mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat

menyebabkan kematian (Rab T, 2007). Pasien kritis memiliki angka kesakitan

Page 20: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

14

(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) yang tinggi sehingga

membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat serta peralatan teknologi yang

tinggi (canggih) (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009)

Pasien yang dirawat di ruang intensif digolongkan dalam golongan

prioritas tinggi dan prioritas rendah. Golongan prioritas tinggi adalah pasien

kritis, tidak stabil, penyakitnya masih reversible, memerlukan perawatan

intensif seperti ventilator, obat inotropik dan hemodialisa segera. Golongan

prioritas rendah adalah pasien dengan kemungkinan memerlukan perawatan

intensif, dan pasien-pasien yang penyakitnya irreversible tetapi mengalami

kegawatan bukan karena penyakit dasarnya. (FK-UNHAS, Bagian

Anesthesiologi)

- Ruang Intensif

Keperawatan kritis adalah berkaitan dengan respon dan masalah yang

mengancam keselamatan pasien seperti trauma, pembedahan yang besar atau

komplikasi dari suatu penyakit (Marino PI, 2007). Ruang perawatan intensif

atau intensif care unit (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk

merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang

mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta

didukung dengan kelengkapan peralatan khusus (Depkes, 1997) dan Owen SA

(2009)

Ruang perawatan intensif memimiliki ciri yaitu tenaga yang terlatih

sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat dan cepat (agresif),

menggunakan peralatan dengan teknologi yang tinggi (canggih), tindakan

pemantauan invasif dan noninvasif serta penggunaan obat-obatan yang lebih

banyak (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009).

Perawatan intensif itu sendiri adalah bagian khusus dari sebuah rumah

sakit yang memiliki peralatan, staf medis dan keperawatan, dan perlunya

monitoring untuk memberikan perawatan intensif bagi pasien sakit kritis yang

dilengkapi peralatan pendukung kehidupan bagi pasien-pasien dalam keadaan

sakit parah dan bisa berakibat fatal termasuk termasuk sindrom gangguan

pernapasan dewasa, gagal ginjal, kegagalan organ multiple, dan sepsis

(Britannica Concise Encyclopedia).

Page 21: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

15

Perawat yang bekerja di unit perawatan intensif adalah perawat yang

mendapat pendidikan khusus sehingga memiliki skill dan dedikasi serta

motivasi yang tinggi. Perawat tersebut harus bisa melakukan interpretasi

keadaan pasien, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat

mengancam jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan

yang mengancam sebelum dokter datang (Owen SA, 2009).

Asuhan Keperawatan Intensif adalah kegiatan praktik keperawatan

intensif yang diberikan pada pasien kritis dan keluarganya. Asuhan

keperawatan kritis membutuhkan kemampuan dalam menyesuaikan situasi

kritis dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada

situasi keperawatan lain. Hal ini membutuhkan keahlian dalam penyatuan

informasi, membuat keputusan dan membuat prioritas yang tepat. Esensi

asuhan keperatan kritis tidak berdasarkan pada lingkungan atau alat-alat

khusus tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada

pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologi dan psikologi (Hudak

CM., Gallo BM, 1997b).

- Penggunaan Layanan Keperawatan Kritis pada Klien dengan Kondisi

Terminal

Pada tahun 1999, Angus et al dalam Vincent JL (2010) melakukan

penelitian berbasis populasi mengenai penggunaan perawatan intensif pada

klien dengan kondisi terminal di Amerika Serikat/USA.

1) Penggunaan Perawatan Intensif di Akhir Kehidupan pada Klien

Kondisi Terminal

Angka kematian yang masih tinggi di unit intensif memberikan

pandangan bahwa perawatan akhir kehidupan di unit intensif masih sangat

diperlukan. Persepsi dokter terhadap keinginan pasien dan prediksi survival

yang kecil di ICU dan kemungkinan fungsi kognitif yang rendah dari pasien

adalah determinan yang paling kuat dari pencabutan ventilasi mekanik dari

pasien kritis.

Keputusan untuk melanjutkan pengobatan penopang kehidupan bervariasi

diantara negara-negara Eropa, penelitian Ethicus dalam Vincent JL (2010)

memperlihatkan bahwa keputusan untuk mencabut pengobatan tidak biasa di

Page 22: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

16

negara- negara Eropa Selatan, dimana Cardio Pulmonal Resuscitation (CPR)

lebih sering digunakan, lama tinggal di ICU lebih lama daripada di negara-

negara Eropa Utara. Perbedaan ini disebabkan karena kasus-kasus yang

berbeda, perbedaan budaya dan agama, perbedaan nilai-nilai yang dianut

dokter dan praktek juga reliabilitas dalam praktek akhir kehidupan yang

sedang berjalan.

2) Manajemen Perawatan Akhir Kehidupan (End of Life) di Intensif

Care Unit (ICU)

Manajemen perawatan end of life di ICU merupakan sebuah phenomena

yang relatif baru. Penelitian di Amerika juga memperlihatkan bahwa diskusi

mengenai akhir kehidupan tidak biasa diantara pasien yang berpenyakit

serius. Sementara pengobatan penopang kehidupan yang tidak diinginkan dan

perawatan paliatif yang tidak cukup banyak terjadi. Dalam sepuluh tahun

terakhir masyarakat profesional Amerika dan Eropa, menyetujui bahwa, pada

kondisi – kondisi tertentu ketika pengobatan tidak mencapai hasil, keputusan

untuk meninggalkan therapi penopang kehidupan dan memulai perawatan

paliatif adalah etis. Sekarang sebagian besar kematian yang terjadi di ICU

diawali dengan keputusan untuk meninggalkan therapy penopang kehidupan

(Vincent JL, 2010).

Diskusi akhir kehidupan seringkali dilakukan oleh dokter, dan ada

keterkaitan antara diskusi akhir kehidupan dengan kualitas perawatan yang

diberikan. Proses pengambilan keputusan akhir kehidupan dapat didiskusikan

diantara penyedia perawatan, pasien dan keluarga pasien (ketika pasien telah

berada pada kondisi incapasity) mengenai apakah pengobatan penopang

kehidupan harus diteruskan atau dihentikan dan perawatan paliatif dimulai.

Diskusi dapat dilakukan di ward/ruangan umum, departemen Emergency,

atau ICU. Kurang dari 5 % dari pasien di ICU dapat berpartisipasi di akhir

kehidupan dan dengan demikian untuk memelihara otonomi pasien pedoman

saat ini untuk profesional merekomendasikan pengambilan keputusan

bersama dengan keluarga pasien atau teman dekat.

Secara umum harapan ditentukan oleh budaya, otonomi, dan penentuan

sendiri (self determination). Data mengenai harapan dari pasien ICU yang

Page 23: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

17

sadar mengenai akhir kehidupan sangat kurang, tetapi kemungkinan besar

berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Data dari pasien dengan penyakit serius

konsisten dengan keinginan untuk otonomi. Sebagai contoh, sebagian besar

dari mereka yang belum mendiskusikan keinginan akhir kehidupan dengan

dokter berkeinginan untuk melakukannya. Juga sangat mungkin bahwa peran

yang diinginkan dalam pengambilan keputusan adalah tidak konsensual.

Dalam penelitian diantara pasien dengan penyakit kronis pada tahap akhir

(Heyland dkk dalam Vincent JL, 2010), menemukan bahwa 40% dari

responden ingin membuat keputusan akhir, 32% ingin membagi tanggung

jawab mengenai keputusan akhir dengan dokternya, 19% ingin dokter

mengambil keputusan akhir dan 10% tidak punya opini/pendapat. Penelitian

ini juga memperlihatkan bahwa meskipun hanya 15 % dari dokter tidak

merasa mampu untuk mendefiniskan peran pasien yang diinginkan dalam

pengambilan keputusan, mereka memutuskan dengan tepat keinginan pasien

lebih sedikit dari 1 dalam 5 kasus.

Sebagian besar anggota keluarga pasien yang dirawat di ICU ingin

berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tetapi tidak ada konsensus

mengenai peran yang diinginkan. Dalam penelitian yang dilakukan di Kanada

terhadap 256 pengambil keputusan pengganti untuk pasien ICU , 33% dari

responden ingin membuat keputusan akhir (peran aktif), 43% ingin membagi

tanggungjawab mengenai keputusan akhir dengan dokter, dan 24% ingin

dokter membuat keputusan akhir (peran pasif). Sekitar 70% dari responden

melaporkan bahwa peran mereka saat ini tidak sesuai dengan keinginan dan

bahwa kepuasan terhadap perawatan akhir kehidupan itu tinggi. Penelitian di

Amerika di mana 48 keluarga dari pasien ICU diwawancara, 58%

menginginkan membagi tanggung jawab dengan dokter, 25% menginginkan

peran aktif.

Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan referensi

pengambilan keputusan: pendidikan tinggi berasosiasi dengan peran aktif atau

berbagi, peneliti tidak menemukan hubungan antara usia, jenis kelamin, suku,

agama atau hubungan dengan pasien dan preferensi pengambilan keputusan.

White dkk, dalam Vincent JL (2010), meneliti sikap keluarga dalam

Page 24: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

18

mengambil keputusan terhadap penerimaan rekomendasi dokter selama

diskusi perawatan akhir hidup. Peneliti mewawancara 169 keluarga dan

menemukan bahwa 56% ingin menerima rekomendasi, 42% tidak ingin

menerima rekomendasi, dan 2% menerima keduanya.

Alasan utama penolakan rekomendasi adalah bahwa responden percaya

bahwa pemberian rekomendasi bukan merupakan peran dari dokter.

Rekomendasi saat ini untuk perawatan akhir kehidupan di ICU dari ACCM

(American College Critical Care Medicine) menganjurkan dokter bertanya

kepada pasien dan keluarga mengenai peran mereka dalam proses

pengambilan keputusan sebelum memberikan rekomendasi apapun. Dua

penelitan observasi yang dilakukan sebelum publikasi dari pedoman tersebut

memperlihatkan bahwa preferensi keluarga dalam proses pengambilan

keputusan tidak pernah atau jarang didiskusikan. White dkk menemukan

bahwa setengah dari dokter yang diminta oleh keluarga untuk memberikan

rekomendasi menolak untuk melakukannya, membuktikan bahwa hal tersebut

bukan menjadi bagian dari perannya.

Data pengamatan ini memperlihatkan kesulitan dalam membakukan

proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Peran yang diinginkan dari

pasien atau keluarga di dalam proses pengambilan keputusan itu tidak

konsensual, yang membuat setiap percakapan dokter-keluarga menjadi unik.

Untuk mencapai kebutuhan keluarga, dokter boleh jadi perlu untuk

beradaptasi dengan peran tertentu, suatu tindakan dimana dokter boleh jadi

kurang memiliki keterampilan atau merasa tidak nyaman, terutama ketika

nilai-nilai dokter berbeda dengan harapan pasien atau keluarga.

Penelitian pada klien dengan kondisi terminal di Perancis pada awal abad

21 memperlihatkan bahwa 90% dari responden menginginkan keluarga untuk

mewakili mereka dalam proses pengambilan keputusan jika mereka menjadi

lumpuh/cacat/tidak berdaya. Penelitian Perancis yang lain dilakukan pada

waktu yang sama , mengevaluasi posisi dari profesional perawat kritis dan

keluarga pasien ICU dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya

menunjukan bahwa sebagian besar dari dokter dan petugas kesehatan yang

lain percaya partisipasi keluarga harus dipertimbangkan dalam proses

Page 25: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

19

pengambilan keputusan. Pada sisi lain kurang dari setengah keluarga

menginginkan berbagi dalam proses pengambilan keputusan.

Selama dekade terakhir peran keluarga, dan proses pengambilan

keputusan apakah pasien tidak berdaya , telah dibuat menjadi hukum di

beberapa negara Eropa Barat. Ada konsensus mengenai kapasitas

pengambilan keputusan dari pasien ketika mampu namun tidak ada konsensus

mengenai ketika pasien menjadi inkapasitas. Sekarang ada kecenderungan di

Eropa untuk memberikan banyak otonomi kepada pasien dan atau

keluarganya, tetapi tetap ada variasi di antara negara-negara terutama

mengenai peran keluarga. Variasi-variasi ini dapat dijelaskan oleh tradisi

paternalistik atau melindungi keluarga dari konsekwensi yang tidak

diharapkan terkait pengambilan keputusan akhir hidup (Vincent JL, 2010).

Penelitian di Kanada memperlihatkan bahwa sebagian keluarga dari

pasien ICU merasa puas dengan perawatan akhir hidup yang disediakan.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 15% dari responden merasa mereka

tidak dapat mengendalikan peralatan yang disediakan kepada keluarga

mereka, 11% percaya bahwa hidup diperpanjang secara tidak dibutuhkan, dan

9% melaporkan bahwa pasien tidak nyaman pada beberapa jam terakhir.

Komunikasi yang cukup (jumlah, kualitas, dan waktu kapan informasi

disediakan) dan peran dalam proses pengambilan keputusan dengan peran

yang diinginkan merupakan prediktor dari kepuasan. Evaluasi kepuasan pada

26 ICU di Swis dan Jerman menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai

dukungan selama pengambilan keputusan memiliki tingkat kepuasan yang

rendah. Konflik antara anggota keluarga dengan staf medis sangat umum

terjadi dalam diskusi akhir kehidupan. Abbott dkk dalam Vincent JL (2010)

melaporkan bahwa sebagian besar dari konflik disebabkan oleh kurangnya

komunikasi atau ketidakprofesionalan, perilaku tidak hormat oleh dokter dan

perawat. Azolay dkk dalam Vincent JL (2010) melaporkan sumber utama dari

konflik antara tim dan keluarga terjadi ketika keluarga/keinginan pasien

diabaikan, ketika keputusan akhir kehidupan dibuat terlalu lambat atau terlalu

awal, dan ketika komunikasi sangat buruk selama proses pengambilan

keputusan.

Page 26: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

20

Banyak penelitian memperlihatkan bahwa anggota keluarga dari pasien

ICU menderita kegelisahan dan gejala depresi. Penelitian di Perancis

memperlihatkan bahwa 3 bulan setelah pengalaman ICU sepertiga dari

anggota keluarga menderita stres post trauma yang berkaitan dengan tingkat

kegelisahan dan depresi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup. Kejadian

stres post trauma diantara keluarga pasien ICU lebih tinggi ketika kematian

pasien terjadi setelah keputusan untuk menghentikan therapy penopang

kehidupan atau ketika mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan

keputusan akhir kehidupan. Pada sisi lain penelitian di Amerika menunjukkan

bahwa peran yang pasif dari keluarga dalam proses pengambilan keputusan

berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap gejala kegelisahan dan

depresi. Dalam penelitian mengenai stress dalam pekerjaan proses

pengambilan keputusan akhir kehidupan yang banyak merupakan faktor resiko

dari sindrom kejenuhan.

Untuk saat ini praktek dalam pengambilan keputusan akhir kehidupan

membawa stres dan ketegangan untuk semua yang terlibat. Proses ini

memberikan stres tetapi ada kemungkinan untuk meningkatkan kualitas dari

pengambilan keputusan, termasuk pelatihan yang lebih baik terhadap pekerja

klinik untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Lauttre dkk dalam

Vincent JL (2010), memperlihatkan bahwa komunikasi pro aktif dan brosur

untuk keluarga dan pasien yang meninggal di ICU menurunkan beban

duka/kehilangan.

Perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika mengenai rekomendasi

perawatan akhir kehidupan merefleksikan keinginan masyarakat untuk

mendistribusikan hak dan tugas antara pasien, keluarga, dan petugas

kesehatan pada issue etika yang utama ini. Meningkatkan kualitas proses

pengambilan keputusan akhir kehidupan sangat penting untuk meningkatkan

kualitas perawatan akhir kehidupan dan untuk menurunkan konsekuensi yang

tidak diharapkan (ketidakpuasan, konflik, gejala, kegelisahan dan depresi,

sindrom kejenuhan). Dengan demikian proses pengambilan keputusan akhir

kehidupan bervariasi diantara negara-negara dalam bentuk harapan tetapi

Page 27: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

21

juga dalam bentuk peran (keputusan atau konsultasi) dari dokter atau keluarga

(Vincent JL, 2010)

Biaya perawatan kesehatan yang tidak seimbang terjadi pada akhir

kehidupan. Sekitar satu pertiga dari biaya pada tahun terakhir kehidupan

dihabiskan pada bulan terakhir, dan sebagian besar dari biaya ini untuk

perawatan penopang kehidupan (ventilasi mekanik , dan resusitasi).

Pengobatan terminal mengambil 7,5% dari biaya semua pasien per tahun dan

sebagian besar dari biaya ini adalah untuk pelayanan ICU (Vincent, J.L.,

2010).

Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis dalam Merawat Klien dengan

Kondisi Terminal

Tempat praktek keperawatan kritis bervariasi yang didalamnya terdapat

pengelolaan untuk mengkoordinasikan perawatan klien yang membutuhkan

penilaian yang mendalam, terapi intensitas tinggi dan intervensi, dan

kewaspadaan keperawatan berkelanjutan. Perawat di unit perawatan kritis juga

berfungsi dalam berbagai peran dan tingkat, yaitu sebagai staf perawatan,

pendidik, dan perawat praktek lanjutan. Selain itu perawat di unit perawatan kritis

dianggap sebagai advokat dari klien (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ,,

2009).

- Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis Sebagai Advokat :

1. Mendukung hak klien atau pengganti untuk otonomi klien,

menginformasikan dalam pengambilan keputusan.

2. Intervensi yang dilakukan untuk mendukung kepentingan klien yang

terbaik

3. Membantu klien untuk mendapatkan perawatan yang diperlukannya

4. Menghormati nilai-nilai, kepercayaan dan klien

5. Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu klien dalam

membuat keputusan perawatan

6. Mendukung keputusan yang dibuat oleh klien.

7. Memfasilitasi klien yang tidak dapat berbicara sendiri.

8. Memonitor dan menjaga kualitas pelayanan

Page 28: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

22

9. Bertindak sebagai penghubung antara klien, keluarga dan penyedia

layanan kesehatan.

- Kompetensi Perawat di Unit Perawatan Kritis

1. Memiliki penilaian, keterampilan dan penalaran klinis

2. Sebagai advokat dan moral agency ketika teridentifikasi ada masalah etik.

3. Perawatan yang diberikan dengan memperdulikan pada keunikan klien dan

keluarga

4. Kolaborasi dengan klien, anggota keluarga dan anggota tim perawatan

5. Sistem berpikir yang sesuai dengan perawatan holistik

6. Berespon terhadap keanekaragaman

7. Perawatan klinik dan adanya inovasi untuk mendapatkan hasil terbaik bagi

klien

8. Peran sebagai pendidik klien dan keluarga untuk memfasilitasi kebutuhan

belajar (Sole ,M.L, Klein, D.G, and Moseley, M.J., 2009).

Manajemen Kasus Klien Kondisi Terminal

Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, ikut

menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Keperawatan memberikan

konstribusi yang sangat besar terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai

satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif.

Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai “nursing services” dapat

diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari

sejak lahir sampai meningal dunia. Keperawatan kritis merupakan salah satu

spesialisasi dibidang keperawatan yang secara khusus menangani respon klien

terhadap masalah yang mengancam kehidupan.

Intensif care unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang

mandiri (instalansi tersendiri dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan

perlengkapan yang khusus, ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi

klien-klien yang menderita penyakit, cidera, atau penyulit-penyulit yang

mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. Saat ini pelayanan

intesif (ICU) di Rumah Sakit tidak terbatas pada pelayanan klien-klien pasca

Page 29: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

23

bedah, atau klien yang membutuhkan ventilasi mekanik saja. Pelayanan yang

diberikan mencakup pemberian dukungan terhadap fungsi organ-organ vital

tubuh. Seluruh kegiatan pelayanan terhadap klien-klien di ICU dilakukan oleh

multidisiplin dan multi profesi, yaitu melibatkan profesi medic, perawat dan

non medic.

Untuk memberikan pelayanan tersebut diperlukan suatu

pengorganisasian yang baik, dimana fungsi pengorganisasian merupakan

proses mencapai tujuan dengan koordinasi kegiatan dan usaha, melalui

penataan pola struktur, tugas, otoritas, tenaga kerja dan komunikasi. Salah satu

metode pengorganisasian yang dapat digunakan di ruang intensif dengan

kompleksitas kasus seperti pada klien dengan penyakit terminal adalah case

management adalah pelayanan dengan mengintegrasikan layanan kesehatan

untuk klien secara individu atau kelompok yang dilakukan oleh tim kesehatan

secara interdisiplin untuk tanggung jawab secara kolaboratif dalam kajian

kebutuhan klien , menetapkan rencana tindakan – implementasi – evaluasi,

dari saat klien diterima, dirujuk dan atau dipulangkan (Powell SK, 2000).

Untuk mengelola kasus dalam case manajemen diperlukan, pertama

seorang case manager untuk menjalankan fungsi koordinasi dan kolaborasi

yang diperlukan. Kedua Critical/clinical pathway sebagai panduan alur

penanganan klien secara terintegrasi dari mulai klien datang sampai dengan

klien pulang. Dan ketiga tak kalah pentingnya adalah diperlukannya forum

komunikasi-koordinasi yang melibatkan seluruh profesi kesehatan untuk

membahas kasus klien yang ditangani.

Pelaksanaan asuhan keperawatan yang menggunakan case management

diperlukan kolabolasi interdisiplin, protocol terstruktur dalam perencanaan

perawatan multidisipliner yang detail, langkah-langkah penting dalam

perawatan klien dengan masalah klinis tertentu dan menggambarkan kemajuan

yang diharapkan klien. Integrated Care Pathways/Clinical Pathways adalah

suatu outline atau rencana praktis klinis yang diantisipasi untuk sekelompok

klien dengan diagnosis tertentu atau berdasarkan kumpulan gejala yang

merupakan panduan multidisiplin dari rencana perawatan klien menuju tujuan

yang diinginkan (Powell, S.K; 2000, CMSA; 2010).

Page 30: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

24

Manajer Kasus/ Case Manajer di rumah sakit adalah seorang perawat

terdaftar (Registered Nurse) bertanggung jawab untuk mengawasi perawatan

klien di rumah sakit. Case manager ini dilatih khusus dalam mengevaluasi

dan merawat klien dengan penyakit kondisi terminal, dan keluarganya.

Perawat Case Manajer apakar dalam mengenali dan mengevaluasi gejala dan

bekerja sama dengan dokter, rumah sakit untuk mengobati gejala dan

meningkatkan kenyamanan klien

Seorang Case Manajer memberikan dukungan emosional dan praktis

baik untuk klien dan keluarga, memberikan pendidikan kesehatan. Perawat

manajer kasus harus memiliki komunikasi yang baik, keterampilan

manajemen waktu, dan nyaman dalam merawat klien yang menjalani proses

akhir hidup. Di sini mereka harus berbelas kasih dan sabar dan menghormati

perbedaan unik dari klien, mengawasi perawatan kesehatan di rumah sakit

atau di rumah dan mampu bekerja sama dengan tenaga sosial, pendeta, dan

relawan untuk mengkoordinasikan perawatan fisik, emosional, dan spiritual

klien dan keluarga (Morrow, A. 2010).

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengalaman

perawatan klien kondisi terminal akut miokard infark (killip II, III) yang dirawat

di unit intensif (CICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, dari dimensi fisik,

psikologis, sosial dan spiritual.

B. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini akan memberikan:

- Untuk Profesi

Memberikan informasi mengenai pengalaman klien dengan

penyakit dalam kondisi terminal khususnya akut miokard infark dari

dimensi fisik, psikologis, sosial ekonomi termasuk budaya dan dimensi

spiritual sehingga memberikan arah atau panduan dalam melakukan

Page 31: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

25

tindakan pengkajian dan perencanaan dari asuhan keperawatan pada klien

kondisi terminal akut miokard infark secara holistik di area keperawatan

kritis.

- Untuk Institusi Pendidikan

Memberikan informasi tambahan bagi dosen dan peserta didik

tentang kebutuhan asuhan keperawatan klien dengan penyakit dalam

kondisi terminal di lingkup area keperawatan kritis.

4. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif

phenomenologi. Penelitian kualitatif berkaitan dengan pengalaman, pendapat dan

perasaan individu (Hancock B, 2002). Tujuan dari metode deskriptif kualitatif

untuk mempelajari fenomena intensif, menemukan pola dan tema tentang

peristiwa hidup ketika peneliti memiliki pertanyaan spesifik mengenai fenomena.

Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk

menggali pengalaman individu selama dirawat di ruang intensif dimana diberikan

pelayanan intensif, seperti pemantauan hemodinamik secara ketat.

Teknik pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian kualitatif

ini adalah purposive yaitu pengambilan informan sumber data dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini informan adalah

seluruh klien kondisi terminal dimana penyakit yang tidak dapat

disembuhkan/pulih kembali dan dapat menyebabkan kematian.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah klien kondisi terminal infark

miokard, dengan kriteria

a. Klien kondisi terminal di sini adalah klien dengan penyakit jantung yaitu infark

miokard akut killip II dan III.

b. Di rawat di unit intensif: CICU dan HCCU

c. Telah diperkenankan untuk pulang ke rumah oleh dokter penanggung jawabnya

d. Mampu berkomunikasi dengan baik

e. Bersedia menjadi informan

f. Kooperatif

Page 32: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

26

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Klien kondisi terminal infark miokard akut Killip I ketika masuk dan Killip IV

ketika diwawancarai.

b. Klien yang tidak dirawat di unit intensif: CICU dan HCCU

c. Tidak mampu berkomunikasi; berbicara

Dalam penelitian ini jumlah informan yang diambil adalah 10 orang

informan klien.

Prosedur dan Cara Pengumpulan Data

- Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai setelah memperoleh ijin dari pihak yang

berwenang di tempat penelitian. Kemudian penentuan informan sesuai dengan

kriteria penelitian yaitu klien dengan infark miokard killip II, III dan telah

dinyatakan boleh pulang oleh dokter penanggung jawab. Sebelum memulai

wawancara peneliti melakukan pengamatan lingkungan dan perilaku informan.

Setelah meneliti perilakunya, peneliti membina hubungan saling percaya dengan

informan.

Peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan maksud

dan tujuan dari penelitian. Setelah calon informan memahami tujuan dari

penelitian yang akan dilakukan dan memahami hak-hak mereka sebagai informan,

selanjutnya peneliti meminta informan untuk menandatangi surat ketersediaan

berpartisipasi atau informed consent. Kemudian peneliti membuat kontrak waktu

pelaksanaan wawancara yang disesuaikan dengan kondisi dan kesediaan klien.

Peneliti menyiapkan panduan topik atau guidelinenya dan wawancara di

ruang rawat intensive (CICU). Wawancara dilakukan dengan lamanya waktu 1

jam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi klien, sesuai kontrak yang telah

disepakati. Hasil wawancara direkam dengan menggunakan MP4 dan digunakan

lembar observasi untuk memvalidasi kebutuhan klien dengan kondisi penyakit

terminal, dan bila ada kejadian-kejadian yang di luar kebiasaan dibuat dalam

catatan kronologis.

Page 33: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

27

- Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik

wawancara dan pengamatan. Lofland dan Lofland (1984) dalam Bagoes (2004)

mengatakan sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan

tindakan dari orang-orang yang diamati dan diwawancarai, jadi selain itu

dilakukan observasi atas perilaku, tindakan non verbal dari informan. Teknik ini

juga merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan

bertanya. Melalui teknik ini peneliti berusaha menggali informasi pada klien

dengan penyakit terminal tentang pengalaman perawatan selama di rawat di ruang

intensif.

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan alat bantu

yang berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis sebagai pedoman untuk wawancara,

buku catatan, dan MP4 untuk merekam wawancara antara peneliti dengan

informan.

Pengumpulan data dengan teknik wawancara yang digunakan dalam

wawancara ini adalah:

1) Membina hubungan baik.

Hal ini sangat penting dalam penelitian dan dapat terjalin bila telah ada

rasa saling percaya antara pewawancara dengan partisipan. Untuk menjalin

rasa percaya, peneliti mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan

menggunakan bahasa sederhana, mulai dari permasalahan yang sesuai dengan

kondisi informan/partisipan, menciptakan suasana yang dekat dan santai yang

tetap berpegang pada nilai dan kode etik.

2) Keterampilan Sosial

Wawancara didukung dengan keterampilan sosial yang memadai.

Peneliti bersikap sopan, ramah dan berpakaian yang pantas/rapi. Di sini peneliti

dituntut untuk responsif dan sensitif terhadap kebutuhan klien, perlu

keterbukaan dan mempertahankan kontak mata dengan partisipan.

3) Mencatat dan merekam dengan menggunakan alat recording

Sebelum proses wawancara peneliti sebelumnya mengobservasi kondisi

klien, memperkenalkan diri dan membuat kontrak untuk dilakukan wawancara.

Page 34: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

28

Wawancara informan klien dilakukan di tempat tidur klien, dengan posisi

duduk. Klien duduk bersandar pada bantal atau duduk dengan punggung tegak.

- Analisa Data dan Keandalan Hasil Penelitian

Untuk analisis data pada penelitian kualitatif adalah penentuan tema dari

hasil wawancara.

Menentukan Tema atau Interpretasi

1) Transkripsi/Menyalin data kualitatif

Transkripsi adalah prosedur untuk menghasilkan versi tertulis dari

wawancara. Ini adalah sebuah "script" penuh wawancara. Transkripsi

adalah proses yang memakan waktu. Hal ini juga menghasilkan banyak

teks yang ditulis sebagai hasil dari wawancara yang sudah dilakukan.

Untuk catatan hasil pengamatan/observasi dibuat catatan lapangan

(field note) sesuai dengan respon yang diperlihatkan dari setiap jawaban

pertanyaan atau pernyataan yang dibuat oleh klien. Kemudian catatan ini

dikelompokkan sesuai dengan pernyataan yang dibuat informan. Bila ada

catatan kronologis bisa disatukan untuk melengkapi data yang

dikumpulkan. (Hancock B, 2002., Maleong LJ, 2010)

Proses dasar untuk menganalisa data kualitatif adalah dimulai dengan

memberi label atau kode/coding dari setiap item informasi sehingga kita

dapat mengenal perbedaan dan persamaan antara semua item yang

berbeda. Peneliti kualitatif tidak memiliki sistem untuk pra coding

sehingga membutuhkan sebuah metode untuk mengidentifkasi dan

memberi label item-item data yang muncul di dalam teks dari transkrip

sehingga semua item-item data dalam 1 interview dapat dibandingkan

dengan data yang dikumpulkan dengan dari interview-interview yang

lain.Hal ini membutuhkan sebuah proses yang disebut analysis conten dan

prosedur dasarnya digambarkan di bawah ini. Prosedurnya sama apakah

data kualitatif telah dikumpulkan melalui interview, grup fokus, observasi

atau analisa dokumentary karena berkaitan dengan menganalisa teks.

Metode yang digunakan untuk menganalisis tema adalah dengan

melakukan content analysis. Data ditampilkan dalam bentuk narasi,

Page 35: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

29

informasi tersusun sesuai dengan urutan partisipan sehingga mudah untuk

diamati. Dari tema umum yang didapatkan selanjutnya dianalisis

berdasarkan teori dan konsep yang relevan dan diinterpretasikan.

Content Analysis

Analisis conten melibatkan coding dan mengelompokkan data. Hal ini

untuk mengidentifikasi dari transkrip data dan untuk memilah-milah pesan

penting yang tersembunyi di setiap wawancara. Prosedur ini melibatkan

serangkaian langkah, sebagai berikut:

(1) Mengambil salinan transkrip dan membacanya. Bila melihat sesuatu yang

berisi informasi yang menarik atau relevan, dibuat catatan singkat di marjin

tentang sifat informasi.

(2) Melihat melalui catatan margin dan membuat daftar berbagai jenis informasi

yang telah ditemukan. Jika transkrip tersebut diketik, cara yang lebih cepat

untuk melakukan ini adalah dengan menyorot setiap item data, menyalin dan

menyisipkan ke daftar (salinan asli dari seluruh transkrip dalam file

tersendiri)

(3) Sekarang telah ada daftar item yang disarikan dari teks. Membaca daftar item

data dan mengkategorikan masing-masing item dengan yang

menggambarkan tentang sesuatu. Disini akan digunakan beberapa kategori

karena beberapa item data mengacu pada topik yang sama. Pada tahap ini

dikategorikan sebanyak yang dibutuhkan dan jangan memasukkan sesuatu ke

dalam kategori yang sama dengan item sebelumnya, bahkan jika menduga

adanya kemungkinan mengidentifikasi kategori baru. Jumlah kategori dapat

dikurangi nanti.

(4) Sekarang melihat daftar kategori telah teridentifikasi dari transkrip dan

pertimbangkan apakah beberapa kategori yang mungkin dapat dihubungkan

dalam beberapa kategori saja. Jika demikian, bisa dibuat daftar sebagai

kategori utama kategori yang lebih kecil sebagai kategori kecil. Beberapa

buku teks mengacu pada kategori utama sebagai tema.

Page 36: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

30

(5) Melihat melalui daftar kategori besar dan kecil. Ketika melakukannya,

dibandingkan dan mungkin beberapa kategori kecil lebih baik masuk ke

dalam kategori alternatif.

(6) Untuk transkrip berikutnya, diulangi proses dari tahap 1 - 5. Ketika

mengidentifikasi transkrip kedua dan selanjutnya, akan terus teridentifikasi

kategori baru informasi tetapi akan menemukan kenyataan bahwa item data

yang ditemukan sebagai bagian dari sebuah kategori yang sebelumnya

diidentifikasi. Akhirnya, tidak akan ditemukan kategori baru dan menemukan

bahwa semua item informasi yang relevan dan menarik dapat ditampung

dalam kategori yang ada. Bisa menggunakan warna-warna tersendiri untuk

setiap kategori, tetapi penting untuk menyimpan transkrip asli yang masih

bersih.

(7) Mengumpulkan semua transkrip dari hasil wawancara, ambil satu kategori

yang memiliki beberapa hubungan satu sama lain. Periksa setiap kategori

apakah memiliki kesamaan atau ada kategori yang tampak seolah-olah tidak

cocok dan benar-benar termasuk dalam kategori yang berbeda.

(8) Ketika semua data transkrip relevan telah disortir ke dalam kategori kecil dan

besar, dilihat kembali data yang terdapat dalam setiap kategori. Ketika

meninjau data dalam sistem kategorisasi yang telah dikembangkan dapat

diputuskan untuk memindahkan beberapa item data dari satu kategori ke

kategori lain. Atau dapat diputuskan informasi yang ada di kategori yang

tepat, "tempat yang tepat", dalam hal ini istilah yang digunakan untuk nama

atau menggambarkan kategori tidak akurat.

(9) Setelah mengurutkan semua kategori dan yakin bahwa semua item data

dalam kategori yang tepat, lihat kisaran kategori untuk melihat apakah dua

atau lebih kategori tampaknya cocok. Jika demikian maka dapat membentuk

suatu tema yang penting dalam riset .

(10) Melihat kembali salinan asli dari transkrip, lihatlah teks yang tampaknya

tidak relevan pada saat itu. Sekarang telah memiliki tema, kategori utama

dan kategori kecil yang telah diurutkan, pertimbangkan apakah ada data

yang sebelumnya tidak relevan dan harus disertakan dalam hasil .

Page 37: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

31

Proses conten analisis melibatkan dan terus meninjau kembali data dan

meninjau kategorisasi data sampai peneliti yakin bahwa tema dan kategori yang

digunakan untuk meringkas dan menggambarkan penemuan adalah suatu refleksi

jujur dan akurat dari data. Setelah menentukan tema yang muncul dari hasil

wawancara dengan informan, peneliti kemudian melakukan validasi data kepada

informan untuk meminta klarifikasinya bila hal ini memungkinkan (pindah ruang

rawat atau klien telah meninggal). Hasil klarifikasi tersebut dikonsultasikan

dengan dosen pembimbing. Klarifikasi yang muncul dikatakan valid apabila tema

tersebut telah dianalisa dan disetujui oleh dosen pembimbing. Kemudian

melakukan sintesis terhadap pernyataan-pernyataan yang ada, agar data tidak

bertolak belakang dengan isi transkrip yang ada. Tahap terakhir adalah membuat

laporan tertulis.

- Keandalan Data (Trustworthiness)

Agar hasil penelitian mempunyai keabsahan dan kekuatan ilmiah, peneliti

berpatokan pada keandalan data (audability), dan kepastian atau konfirmasi ulang

data (confirmability). Secara operasional keandalan data dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan data yang akurat dan berulang.

Untuk mendapat keabsahan (trustworthness) diperlukan tehnik

pemeriksaan atas sejumlah kriteria tertentu. Credibility, Transferability,

Dependability serta Confirmability (Moleong, 2004).

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan data dilakukan pada 10 orang informan klien infark miokard

akut yang memenuhi kriteria penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan

mengajukan beberapa pertanyaan melalui wawancara mendalam (indepth

interview).

Secara umum, peneliti menyediakan ruang bagi jawaban informan selama

wawancara, pertanyaan juga disesuaikan dengan karakter, situasi dan kondisi

informan yang berbeda-beda. Pada umumnya wawancara berlangsung selama 60

menit, dengan pembagian waktu yaitu 5 menit pertama membuka percakapan dan

Page 38: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

32

mengungkapkan maksud dan tujuan wawancara. Untuk proses wawancara

dibutuhkan rata-rata sekitar 45 - 55 menit untuk mengungkapkan apa yang

dirasakan dan dibutuhkan oleh klien dan keluarga selama di rawat di Ruang

Intensif Khusus Jantung. Pada 5 menit terakhir untuk mengakhiri proses

wawancara dan ditutup dengan ucapan terima kasih atas kesediaan informan

untuk diwawancarai dan melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya.

Selama wawancara, peneliti berusaha menggali data sesuai topik yang

telah ditentukan dengan tetap memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi

proses wawancara. Hal ini diantisipasi dengan memberikan informasi sebelumnya

mengenai maksud dan tujuan penelitian. Saat wawancara berlangsung peneliti

bersikap empati, akrab dan profesional, tidak mempengaruhi jawaban informan

dan mencatat waktu dan respon non verbal yang ditunjukan oleh informan.

Meskipun pada saat wawancara masing-masing informan menceritakan kjadian

dengan berbagai gaya bahasa, ekspresi wajah dan intonasi suara yang berbeda-

beda, namun secara mendasar, hasil wawancara telah mencakup apa yang menjadi

tujuan penelitian ini.

Kemudian setelah data terkumpul, data dianalisa dengan menghubungkan

pernyataan informan dalam bentuk matriks dan diinterpretasikan untuk masing-

masing data. Selama proses analisa, peneliti mereduksi data yang terkumpul tanpa

mengurangi makna yang terkandung.

A. Karakteristik Informan

1) Informan I

Tn. E berusia 42 tahun, beragama Islam, tinggal di Bandung. Beliau

bekerja di perusahaan MLM sebagai marketing yang tidak mempunyai gaji tetap

setiap bulannya. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Menengah Atas (SMA),

memiliki dua orang anak yang pertama baru kelas 6 SD, yang kedua baru 2 tahun.

Klien sedang menjalani perawatan di Ruang Intensif Khusus Jantung dan

ini merupakan serangan pertama. Klien masuk ke RS melalui Unit Gawat

Darurat (UGD) kemudian di rawat di Cardiac Intensif Care Unit (CICU) dengan

diagnosa medis CAD Stemi Inferior, Posterior, Anterior luas Killip III, setelah 5

hari di rawat dan kondisinya sudah mulai stabil klien dipindahkan ke ruang rawat

Page 39: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

33

inap High Care Cardiac Unit (HCCU) dan telah dirawat selama 3 hari. Selama

sakit klien menggunakan fasilitas GAKINDA, saat ini klien dalam proses

mengurus kepulangannya dari rumah sakit.

Riwayat kesehatan klien diketahui telah menderita hipertensi selama 10

tahun dengan angka tertinggi di 160/? mmHg, tidak pernah kontrol, riwayat

merokok 2 bungkus/hari sudah dijalani dari 20 tahun yang lalu. Selama

wawancara berlangsung Tn. E sangat terbuka dalam menjawab semua pertanyaan

yang diberikan dan selama proses wawancara Tn. E tampak menitikkan air mata

mengingat kondisi kesehatannya saat ini.

2) Informan II

Tn. N berusia 51 tahun, beragama Islam, dari suku Jawa, pendidikan

terakhir Strata I, klien tinggal di Purwakarta dan klien memiliki 2 orang anak,

sudah selesai kuliah tetapi belum bekerja dan ada yang masih kuliah.. Ini

merupakan pengalaman dan serangan pertama. Klien bekerja sebagai karyawan

swasta dan menggunakan fasilitas Jamsostek sebagai asuransi kesehatannya.

Klien di rawat di ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) selama 5 hari,

klien masuk rumah sakit melalui UGD dan di diagnosa STEMI Anteroseptal

Killip III. Saat ini klien dirawat di ruang rawat biasa (penyakit dalam) dan sudah

diperbolehkan pulang.

Riwayat Kesehatan klien menderita hipertensi sejak 15 tahun yang lalu,

terkontrol, dan tidak merokok serta minum kopi, tidak pernah makan daging-

dagingan. Klien menyadari bahwa dirinya mempunyai resiko terkena penyakit

jantung koroner sehingga menjaganya jangan sampai terjadi. Ketika wawancara

klien menjawab semua pertanyaan dengan terbuka dan penyakit ini menjadi bahan

introspeksi dirinya menjalani kehidupan, sehingga menyebabkan dirinya lebih

dekat pada sang Pencipta.

3) Informan III

Tn. A seorang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) golongan II, berusia

66 tahun, beragama Islam dari suku Sunda. Selama sakit klien menggunakan

asuransi kesehatan (ASKES PNS). Klien memiliki 4 orang anak, 3 orang telah

menikah dan 1 orang anak masih sekolah di tingkat SMA. Walaupun telah

Page 40: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

34

pensiun, klien memiliki kegiatan lain di paguyuban seni sunda dan aktif dalam

organisasi masyarakat di desa.

Sakit ini merupakan serangan dan pengalaman pertama bagi klien. Klien

masuk melalui UGD dan di rawat di HCCU dan telah dirawat 4 hari. Klien

didiagnosa CAD NSTEMI, Interior Inferior Killip II. Klien tidak merokok, tidak

memilki riwayat hipertensi, relatif sehat dan baru pertama ini dirawat di RS.

Dalam proses wawancara klien menjadikan ini ajang mencurahkan

masalah yang dihadapinya, klien menangis karena masalah yang dihadapinya,

meratapi nasibnya setelah klien tenang baru proses wawancara dimulai dan klien

terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan.

4) Informan IV

Tn.C, usia 41tahun, beragama Islam, besar di tatar sunda, pendidikan

terakhir SMA dan bekerja di Kebun Binatang Bandung, klien bertanggung jawab

mengurus harimau. Hal ini menimbulkan stres tersendiri bagi Tn.C. Selama di

rawat klien menggunakan fisilitas asuransi kesehatan GAKINDA.

Klien masuk rumah sakit melalui UGD dan dirawat di Cardiac Intensif

Care Unit (CICU). Klien didiagnosa CAD STEMI Anterior luas Killip II, klien di

rawat di CICU selama 5 hari dan pindah ke ruang rawat inap biasa.

Riwayat kesehatan klien hanya mengalami sakit ringan seperti ISPA dan

tidak pernah di rawat di RS. Klien merokok 2 bungkus sehari , merokok sejak 20

tahun yang lalu, klien tidak pernah memeriksakan kesehatannya sehingga ini

merupakan pengalaman dan serangan pertama klien dan harus dirawat di unit

intensif. Selama sakit klien menggunakan fasilitias GAKINDA. Selama

wawancara klien terbuka menjawab pertanyaan yang diajukan.

5) Informan V

Klien Ny. E, seorang pensiunan Kepala Sekolah, berusia 71 tahun,

beragama Islam, suku Sunda. Suaminya telah meninggal 3 tahun yang lalu.

Memiliki 4 orang anak yang telah dewasa. Klien menggunakan fasilitas ASKES

selama perawatan di RS.

Klien sudah 16 tahun mempunyai penyakit jantung koroner. Klien masuk

ke rumah sakit melalui UGD dan di rawat di unit intensif Cardiac Intensif Care

Page 41: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

35

Unit (CICU), dengan diagnosa medis CAD recent STEMI Anterior Killip II, AMI

Inferior, dengan hipertensi.

Riwayat kesehatan menurut penuturan klien, pertama kali di rawat tahun

1995 dan baru diketahui klien memiliki hipertensi, kemudian kambuh kembali

tahun 2009. Di tahun 2009 klien dinyatakan harus dilakukan tindakan

pemasangan stent tetapi klien menolak baru tahun 2011 akhirnya klien bersedia

dilakukan pemasangan stent. Selama di rawat klien menggunakan ASKES PNS.

Selama proses wawancara Ny.E sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang

diajukan terhadap dirinya. Ny.E telah mempersiapkan segala sesuatunya bila

meninggal karena penyakitnya.

6) Informan VI

Ny. H, usia 68 tahun, beragama Islam, suku Jawa, seorang ibu rumah

tangga. Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis dan dinyatakan harus

dirawat dengan diagnosa medis CAD STEMI Anterior, Inferior Killip II

kemudian di rawat di ruang HCCU. Ini merupakan pengalaman pertama klien di

rawat di unit intensif khusus jantung.

Riwayat kesehatan menurut penuturan klien, memiliki penyakit hipertensi

sudah lebih dari 25 tahun, rutin kontrol, tidak merokok. Selain itu klien juga

memilki penyakit gastritis, dan rutin berobat. Selama sakit klien menggunakan

ASKES PNS. Selama wawancara klien kooperatif dan terbuka menjawab semua

pertanyaan yang diajukan terhadapnya.

7) Informan VII

Tn.J berumur 51 tahun, beragama Islam, suku Sunda, seorang PNS di

Departemen Kehutanan, pendidikan terakhir Strata I. Memiliki 2 orang anak, yang

pertama perempuan telah menikah, yang kedua laki-laki masih sekolah di SMP.

Selama sakit menggunakan fasilitas ASKES PNS.

Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis dan telah menderita

penyakit jantung koroner selama 7 tahun. Klien di rawat di Cardiac Intensif Care

Unit (CICU) dengan diagnosa medis adalah CAD STEMI Anterior Inferior

Killip II. Klien akan dipasang ring tetapi ternyata kondisinya tidak

memungkinkan dan mengharuskan klien untuk operasi dan klien dirujuk ke rumah

sakit yang lebih besar.

Page 42: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

36

Riwayat kesehatan dari penuturan klien diketahui klien menderita diabetes

melitus sejak 3 tahun yang lalu, tetapi klien tidak meminum obat, pernah diberi

insulin 1 tahun tetapi kemudian berhenti dan tidak pernah kontrol. Selama

wawancara klien sangat terbuka dan menjawab pertanyaan yang diajukan, klien

tampak kesal dan mengaku bosan menunggu dokter memeriksa hanya untuk

mengatakan dirinya boleh pulang.

8) Informan VIII

Tn. E berumur 48 tahun, beragama Islam, dari suku Sunda. Pendidikan

klien dari SMA dan tidak memilki pekerjaan tetap. Klien memilki 5 orang anak,

yang pertama perempuan masih kuliah, yang kedua laki-laki telah bekerja, yang

ketiga masih SMP, ke empat SD dan yang ke lima masih di 4 Tahun.

Klien masuk ke rumah sakit melalui UGD dan diharuskan dirawat dengan

diagnosa medis CAD STEMI LBBB Killip II. Sebelumnya klien di rawat di ruang

Cardiac Intensif Care Unit selama 5 hari kemudian pindah ke ruang HCCU. Klien

menggunakan fasilitas GAKINDA selama dirawat di RS.

Sebelumnya terdapat riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, tetapi

tidak pernah kontrol, tekanan darah paling tinggi yang dialami adalah 180/??

mmHg. Selama ini klien tidak pernah sakit dan dirawat, ini merupakan serangan

dan pengalaman pertama klien di rawat di ruang intensif khusus jantung. Selama

proses wawancara klien terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan pada

dirinya, dan berulang kali mengatakan bahwa penyakit ini harus diterima tidak

ada yang menginginkannya, harus diterima bagaimana lagi.

9) Informan IX

Tn. S (54 tahun), beragama Islam dari suku Sunda, pendidikan terakhir

Strata I, bekerja sebagai guru di SMK Negeri di Bandung. Klien memilki 4 orang

anak, 2 orang telah dewasa dan menikah, yang satu masih SMA dan yang paling

kecil masih kelas 5 di SD. Selama sakit klien menggunakan fasilitas ASKES PNS.

Ini adalah sakitnya yang kedua di rawat di unit intensif khusus jantung

karena serangan pertama terjadi di bulan November 2010 dan baru sekarang

kambuh lagi. Sebelumnya klien telah dipasang ring di pembuluh darah jantung

Page 43: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

37

kanan 3 buah, dan 3 buah di pembuluh darah jantung kiri. Klien masuk karena

nyeri dada berulang dan di rawat di ruang HCCU.

Ketika wawancara klien masih tampak cemas terutama bila ada suara

bising, baik suara orang ataupun suara barang jatuh membuat klien menjadi

cemas, klien juga selalu berpegangan tangan dengan istrinya. Tetapi klien sangat

terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan terhadap dirinya.

10) Informan X

Tn. Tj berusia 59 tahun seorang pensiunan PNS, pendidikan terakhir

Strata I, beragama Islam, dari suku Jawa. Memiliki 3 orang anak, yang pertama

mengalami retardasi mental, yang kedua sudah bekerja dan yang ketiga masih

kuliah.

Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis kemudian di rawat di

ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) dengan diagnosa medis CAD NSTEMI

Anterior Killip II. Klien memakai fasilitas asuransi kesehatan ASKES PNS.

Klien telah di pasang stent 3 buah, dan berharap penyakitnya bisa sembuh total.

Selama proses wawancara klien sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang

diajukan terhadap dirinya.

HASIL

Berikut adalah hasil dari wawancara dari 10 orang informan klien dengan

kondisi terminal ; infark miokard akut yang dirawat di unit intensif RSHS

Bandung dan keluarganya

A. Dimensi Fisik

Untuk dimensi fisik, pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang

informan meliputi nyeri dada dan sesak nafas,

- Nyeri dada

Seluruh informan menyatakan merasakan nyeri dada seperti ditindih benda berat

di area sebelah kiri menjalar ke leher dan tangan kiri. Beberapa informan

Page 44: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

38

menyatakan nyeri yang dirasakan tidak tertahankan, nyeri berat, rasa nyeri ini

disertai rasa sesak. Dari 10 informan yang diwawancara seluruh informan

menyatakan nyeri dada yang disertai sesak. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan

informan sebagai berikut:

Informan I:

“Nyeri dada yang sangat, rasanya panas seperti minum air mendidih, panas,

dada seperti mau meledak…..”

Informan II:

“Sakit (sambil meraba dada) menjalar ke leher, punggung,…..”

- Sesak nafas

Nyeri dada yang dirasakan disertai rasa sesak yang dirasakan seperti terputus-

putus, tersengal-sengal.

Informan I:

“ …….dada seperti ditindih benda berat, dan susah bernafas.”

Informan II:

“…….tarik nafas biasa tidak terlalu sakit, tapi kalau tarik nafas dalam sakit

sekali, keluar keringat dingin, sesak nafas….”

Dari 10 orang informan yang diwawancarai, 3 diantaranya menyatakan

bahwa gejala fisik yang timbul disertai munculnya keringat dingin. 2 orang

informan menyatakan disertai rasa lemas dan 1 orang informan disertai dengan

muntah-muntah.

B. Dimensi Psikologis

Page 45: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

39

Hasil wawancara yang didapatkan untuk dimensi psikologis pengalaman

perawatan yang terungkap dari 10 orang informan meliputi ketidakpastian

menghadapi masa depan dan tidak berdaya

- Tidak berdaya

Dari 10 orang informan yang diwawancarai, seluruhnya menyatakan adanya rasa

tidak berdaya, seperti yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut:

Informan II:

“ nyawa saya seperti sudah di leher, sudah tidak berdaya.”

Informan IV:

“saya tidak bisa apa-apa, mau berteriak juga suaranya tidak keluar.”

- Ketidakpastian menghadapi masa depan

Dari 10 orang informan, 9 diantaranya menyatakan bahwa dengan kondisinya

seperti sekarang ini mereka merasakan adanya ketidakpastian dalam menghadapi

masa depan. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan informan berikut ini:

Informan I:

“saya menangis bila ingat diri saya, di usia sekarang ini, harapan ke depan

sepertinya jauh, benar-benar jauh. Bila saya tidak hati-hati, tidak menjaga

mungkin saya tidak akan bertemu anak saya yang ke dua lulus SD, setiap saat

nyawa bisa menjemput saya, karena saya sudah punya faktornya.”

“………fisik, pribadi saya sudah tidak kuat, apakah saya mampu membahagiakan

mereka.”

Informan VI:

“katanya ini penyakit berat, pembunuh sekaligus…..saya belum tau mau

ngapain.”

Page 46: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

40

C. Dimensi Sosial

Untuk dimensi sosial, pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang

informan terdapat beberapa tema yaitu: tidak dapat ditemani keluarga, pesan

kelangsungan hidup keluarga, biaya besar untuk berobat.

- Tidak dapat ditemani keluarga

Dari 10 orang informan yang diwawancara 8 orang informan menyatakan

bahwa dirinya ingin berada di dekat keluarganya seperti anak, istri dan orangtua.

Berikut adalah pernyataan informan

Informan I:

“saya merasa terbebani, batin saya menderita tidak dapat bertemu dengan

anak…..”

“ keluarga tidak boleh menunggu, saya hanya bisa menangis…”

Informan IX:

“saya inginnya ditemani sama istri tapi tidak boleh, tadinya biar ada

ketenangan kalau ada istri di sini, memberikan dorongan, ketenangan batin.”

- Pesan kelangsungan hidup keluarga

Dari 10 orang informan yang diwawancarai, 9 orang informan menyatakan

bahwa mereka berpesan pada keluarganya untuk kelangsungan hidup anak dan

istrinya. Berikut pernyataan informan

Informan I:

“Pada saat kejadian saya sudah nitipin anak, istri saya ke adik sya,

karena saya umur nggak panjang….”

Informan II:

Saya sudah berpesan titip anak-anak sama ibunya, tidak inget apa-apa

yang diinget anak-anak jaga.”

- Biaya besar untuk berobat

Dari 10 orang informan yang diwawancarai 9 diantaranya menyatakan bahwa

mereka memerlukan biaya besar untuk berobat. Hal ini dapat terlihat dari

pernyataan informan berikut ini.

Page 47: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

41

Informan I:

“Saya membutuhkan biaya besar untuk berobat padahal anak-anak harus

sekolah”

Informan VII:

“Sebetulnya saya paling pikirkan itu biaya, walaupun pake askes, tetep aja

biayanya besar, udah 2 rumah sakit juga sudah habis berapa.”

D. Dimensi Spiritual

Hasil wawancara yang didapatkan untuk dimensi spiritual pengalaman perawatan

yang terungkap dari 10 orang informan meliputi ketakutan akan kematian,

kesulitan melaksanakan ibadah (sholat).

- Ketakutan akan kematian

Hasil wawancara yang dilakukan pada 10 orang informan, seluruhnya

menyatakan akan ketakutannya dalam menghadapi kematian. Hal ini dapat terlihat

dari beberapa pernyataan di bawah ini:

Informan XI:

“saya ada kecemasan bila ditinggal sendirian, suka takut pas lagi kambuh gak

ada orang, takut meninggal gak ada orang di samping sa

Informan X:

” Pasti, pasti ada ketakutan ingatnya ke hal yang jelek, takut terjadi kambuh lagi

karena kan manusia biasa, bukan kita tidak mau berumur panjang tapi kalau

allah sudah berkehendak apa daya.”

- Kesulitan melaksanakan ibadah (sholat)

Hasil wawancara dengan 10 orang informan yang diwawancarai, seluruhnya

menyatakan bahwa mereka kesulitan melaksanakan ibadah sholat. Hal ini terlihat

dari pernyataan informan berikut.

Informan 6:

“gimana ya saya sih ya begini aja sholatnya, susah juga, soalnya gak pakai

mukena, ya akhirnya cuma bisa berdoa aja.”

Informan 7:

“saya sendiri bingung, waktu sholat gak tahu, mau tayamum gimana kalau gak

tau waktu sholat….”

Page 48: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

42

PEMBAHASAN

Pada sub bab ini akan dibahas hasil dari penelitian ini berdasarkan pada

literature penelitian-penelitian sebelumnya dan evidence base berdasarkan pada

hasil penelitian dilihat dari dimensi fisik, psikologis, sosial dan spiritual.

Dimensi fisik

Pada dimensi fisik ini pengalaman perawatan klien kondisi terminal akut

miokard infark yang sedang di rawat di ruang intensif dari seluruh informan yang

diwawancara didapatkan tema penelitian nyeri dada dan sesak nafas. Nyeri dada

yang dirasakan tidak tertahan sehingga menyebabkan mereka mencari

pertolongan. Nyeri dada diakibatkan oleh kurangnya suplay oksigen ke Koroner

akibat Aterosklerosis atau penyumbatan total pada arteri oleh emboli atau

trombus, sehingga terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan terjadinya

peningkatan asam laktat. Hal ini kemudian akan meningkatkan produksi hormon

prostatglandin dan bradikinin, ini akan merangsang aktifitas reseptor nyeri pada

ujung-ujung saraf bebas, kemudian dihantarkan ke cornuposterior medula spinalis

dan diteruskan ke cortek cerebri, sehingga nyeri dirasakan.

Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar ke leher,

rahang, lengan kiri, atau ke punggung dan terjadi ketika klien aktif atau istirahat.

Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan tidak hilang dengan

istirahat atau pemberian terapi nitrat (Brunner dan Suddath, 2001).

Rasa nyeri yang timbul akibat adanya nekrosis di jaringan miokard bila tidak

ditangani dengan segera akan menyebabkan jaringan miokard yang rusak akan

luas, hal ini akan berpengaruh terhadap stroke volume, cardiac output, hearth rate,

yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan hemodinamik.

Bila semakin luas jaringan miokard yang mengalami infark, akan

menyebabkan terjadinya bendungan di vena pulmonal. Hal ini mengakibatkan

tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan osmotik koloid, sehingga

akhirnya cairan shift ke interstitial, yang dimanifestasikan dengan adanya edema

pulmonal yang ditandai dengan adanya bunyi ronchi di area paru-paru, hal ini

telah dinyatakan dengan jelas dalam Killip. Pada kondisi ini pasien akan

Page 49: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

43

merasakan sesak ditambah dengan adanya nyeri menyebabkan pasien menjadi

sulit bernafas.

Dimensi Psikologis

Pada dimensi ini dari hasil wawancara dengan informan, didapatkan 2

tema penelitian yaitu rasa tidak berdaya dan ketidakpastian menghadapi masa

depan. Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard

infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon

pertama menurut Glaser (1972) setelah seseorang diberitahukan tentang

penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya

semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Bila melihat dari hasil

wawancara mereka mengungkapkan rasa tidak berdaya dan ketidakpastian pada

masa depan, hal ini mencirikan bahwa mereka di fase depresi. Di sini seluruh

pasien ketergantungan pada orang lain, baik itu keluarganya maupun petugas

kesehatan.

Fase ini dapat berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia,

pendidikan, agama, lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya.

Setelah itu klien dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan

menerima keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti

oleh perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan

dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di

samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap

berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan

untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan

menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi ini

orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat dan

dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien.

Dimensi Sosial

Dari hasil wawancara dengan informan didapatkan 3 tema penelitian pada

dimensi sosial meliputi: tidak dapat ditemani keluarga, pesan kelangsungan hidup

keluarga, dan biaya besar untuk berobat. Kecemasan yang dirasakan klien Akut

Page 50: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

44

Miokard Infark dapat mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang

terdekat untuk mendapatkan dukungan.

Menurut Ahmad., et all. (2006) bahwa gejala-gejala fisik dari klien dalam

kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan juga depresi dan

kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial

dan kultural yang beragam. Pengkajian gejala distres dengan demikian

merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis,

Cohen dan Mc Kay (1984) dalam Neil Niven (1994) menampilkan suatu

model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah

stres. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek

penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Pada saat klien dirawat

karena penyakit infark miokard akut, mereka membutuhkan dukungan, dan

mekanisme dukungan yang paling tepat adalah dukungan pengharapan

Dukungan pengharapan merupakan dukungan yang diberikan secara

kelompok. Kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi individu akan

ancaman. Dukungan social penyangga orang – orang untuk melawan stres dengan

membantu mereka mendefinisikan kembali situasi tersebut terhadap ancaman

kecil. Di sini diperlukan kehadiran keluarga yang mendampingi klien di saat

kritis, tetapi aturan perawatan menyebabkan mereka tidak dapat ditemani oleh

keluarganya, padahal menurut Rasulo, D et. all. (9) (2005) faktor hubungan sosial

dapat meningkatkan survival menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan

dan ikatan yang dekat dengan teman-teman dan saudara kembar

Sebagian besar informan yaitu 8 dari 10 orang informan memiliki pikiran

negatif dimana mereka seluruhnya telah menitipkan keluarga dekatnya (istri dan

anak-anaknya) kepada keluarga besarnya. Hal ini menunjuikkan bahwa dukungan

sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping individu. Selain itu

dapat dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan pada

pengalaman sebelumnya. Dapat pula dengan mengarahkan pada orang yang sama

yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan

bantuan.dan mengajak orang – orang berfokus pada aspek yang lebih positif dari

situasi tersebut.

Page 51: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

45

Dari faktor ekonomi menurut Kramer, et. al (2005) menyebabkan perlunya

biaya yang besar dalam pengobatan, ketidakmampuan dari sistem pendukung

dimana asuransi kesehatan tidak memenuhi semua kebutuhan klien dengan

penyakit terminal. Hal ini ditemukan pula pada penelitian ini, dimana dari 10

orang informan 9 diantaranya menyebutkan bahwa mereka memerlukan biaya

yang besar untuk pengobatan.

Dimensi Spiritual

Dari hasil wawancara pada dimensi spiritual didapatkan 2 tema penelitian

yaitu ketakutan akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat).

Klien Infark Miokard Akut mengalami krisis yang berhubungan dengan

perubahan patofisiologi, dimana rasa nyeri yang hebat dan disertai sesak nafas

membuat klien berpikir bahwa sekaranglah akhir kehidupannya, selain itu

pengobatan yang diperlukan dan atau situasi yang mempengaruhi seseorang

sehingga pikiran negatif itu timbul.

Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang

sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan pada kematian, maka

keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang / berdoa lebih tinggi (Achir

Yani, 2000). Pada penelitian ini seluruh informan menyatakan bahwa dirinya

merasa dihadapkan pada kematian dan menyatakan bahwa mereka sulit

melakukan ibadah sholat untuk semakin mendekatkan diri mereka pada Tuhan.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian pengalaman klien kondisi terminal: infark

miokard akut selama di rawat di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) Rumah

Sakit Hasan Sadikin Bandung dilihat dari 4 dimensi yaitu dimens fisik, dimensi

psikologis, dimensi sosial dan dimensi spiritual. Untuk dimensi fisik didapatkan

tema penelitian nyeri dada dan sesak nafas. Untuk dimensi psikologis didapatkan

Page 52: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

46

tema penelitian tidak berdaya dan ketidakpastian menghadapi masa depan.

Sedangkan untuk dimensi sosial didapatkan tema penelitian yaitu tidak dapat

ditemani keluarga, pesan kelangsungan hidup keluarga, dan biaya besar untuk

berobat. Sedangkan untuk dimensi spiritual didapatkan tema penelitian ketakutan

akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat).

Saran dari penelitian ini adalah pentingnya dapat mengelola dan

mengintegrasikan pelayanan perawatan pada pasien infark miokard akut yang

sedang dirawat di unit intensif secara holistik; bio psiko sosial dan spiritual.

7. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, N., Kamal, M., Anwar, A.H.M.M., and Rahman, A.K.M.S. (2006).

Needs Of Terminally Ill Patients And Their Families: An Experience With

Fifty Three Patients Attending A Newly Organized Palliative Care Service

In Bangladesh. Journal of BSA, Volume 19, No. 1 – 2 .

Albrecht, C. (2006). Overview of The South African Cancer Research

Environment As A Basis For Discussions Concerning The Activation of

CARISA ( Cancer Research Initiative of South Africa). Independent

Medical Research Consultant

Allen, R.S., Burgio, L.D., Fisher, S., Hardin, J.M., and Shuster, Jr. J.L. (2005).

Behavioral Characteristics of Agitated Nursing Home Residents, with

Dementia at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol

45, No.5, 661 – 666.

Anthony, H., Dermot, M., and Stephen, G. (2004), TB/HIV A Clinical Manual

(Second Edition ed). China, WHO Library Cataloguing.

Berger, A., Pereira, D., Baker, K., O’Mara, A., and Bolle, J. (2002). A

Commentary: Social and Cultural Determinants of End of Life Care for

Elderly Persons. The Gerontological Society of America Vol 42, Special

Issue III, 49 – 53.

Bradshaw, D. (2010). Burden of Disease. Medical Research Council, Tygerberg.

South Africa

Brockopp, D.Y., and Tolsma MTH. (2000). Dasar-Dasar Riset Keperawatan. Y.

Asih dan Maryunani A, Trans. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Campbell, H., Hotchkiss, R., Bradshaw, N., Porteous, M. (1998). Integrated care

pathways. BMJ. Jan 10;316(7125):133-7.

Case Management Society of America (CMSA). (2010). Standards Of Practice

For Case Management. USA

Clayton, J.M., Hancock, K., Parker, S., Butow, P.N., Walder, S., Carrick, S., et

all. (2008). Sustaining hope when communicating with terminally ill

patients and their families: a systematic review. Psycho-Oncology 17:

641–659

Page 53: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

47

Clark, C.C. (2004). The Holistic Nursing Approach to Chronic Disease. New

York Springer Publishing Company.

Cullen, L., Titler, M., & Drahozal, R. (2003). Family and Pet Visitation in the

Critical Care Unit. American Association of Critical-Care Nurses. 23 (5) :

62-67

Damiani, M.E., Cattaneo, M.T., Tansini, G., Dedor, B., Gabris, A, Galimberti,

A., Piazza, E. (2009). Care of The Terminally Ill Cancer Patient. J. Med Pers

7:27 – 33

Denisson, R.D, (1996). Pass CCRN. Nancy Coon: USA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Keputusan Menteri

Kesehatan tentang Perawatan Paliatif. Jakarta

Dossey, B.M., Keegan, L., Guzzeta, C.E. (2005). Holistic Nursing A Handbook

for Practice. 4 Ed. Jones and Bartlett Publisher Inc.

Drought, T.S. (2005) .Choice in End-of-Life Decision Making: Researching Fact

or Fiction. The Gerontological Society of America Vol 42

Emanuel, L., Librach, L. (2007). Palliative Care: Core Skills and Clinical

Compentencies. Saunders Elsevier. Philadelphia

Syukrudin, E. (2000). Pedoman Tatalaksana Infark miokard . ITB : Bandung.

Folit, D.F., and Beck, C.T. (2006). Nursing Research: Methods Appraisal and

Utilization (6 ed). Philadelphia: Lipincott Williams and Wilkins.

Friedman, M., Bowden, V.R., & Jones, E. (2003). Family Nursing: Research,

Theory, and Practice. 5th ed. Stamford, CT : Appleton & Lange

Fried, T.R., O'leary, J., Van Ness, P., Fraenkel, L. (2007). "Inconsistency over

time in the preferences of older persons with advanced illness for life-

sustaining treatment". Journal of the American Geriatrics Society 55 (7):

1007–14.

Gillis, A. & Jackson, W. (2002). Research for nurses methods and interpretation.

Philadelphia : F.A. Davis Company.

Glaser, G. (1972). Disclosure of Terminal Illness In: Patient, Phisician and

Illness. Free Press New York.

George, L.K. (2002). Research Design in End of Life Research: State of Science.

The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 86 – 98.

Govender, M. (2008). Death Anxiety and Attitude of Nurses towards Dying. The

Gerontological Society of America Vol 45.

Hamid, A.Y.S S. Hamid. (2000). Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Widya

Medika : Jakarta.

Hancock, B. (2002). Trent Focus for Research and Development in Primary

Health Care An Introduction to Qualitative Research. Trent Focus Group;

University of Nottingham

Harun dan Idrus. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat penerbit FKUI :

Jakarta.

Hawari, D. (2004). Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap. PT. Dana Bhakti Prima

Yasa : Jakarta

Hawari, D. (1996). Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa.dan Kesehatan Jiwa PT.

Dana Bhakti Prima Yasa : Jakarta

Hawkins, N.A., Ditto, P.H., Duks, J.H., and Smucker, W.D. (2005).

Micromanaging Death: Process Preferences, Valus, and Goals in End of

Page 54: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

48

Life Medical Decision Making. The Gerontological Society of America

Vol 45, No 1, 107 – 117 .

Hawker, S., Payne, S., Kerr, C., Hardey, M., and Powell, J. (2002). Appraising the

evidence : reviewing disparate data systimatically Qualitative health

reserach, 12, 1284-1299.

Hidayat, A. (2004). Pengantar Konsep Dasar Keprawatan. Selemba Medika :

Jakarta.

Hays, M. et. al. (7). (2005) The Spiritual History Scale in Four Dimensions (SHS-

4): Validity and Reliability. The Gerontological Society of America Vol

45.

Hebert, R.S., Schulz, R., Copeland, V.C., and Arnold, R.M. (2009) Preparing

Family Caregivers for Death and Bereavement. Insights from Caregivers

of Terminally Ill Patients. Journal of Pain and Symptom Management,

Vol. 37 No. 1.

Hudak, C.M., Gallo, B.M. (1994)a. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik

(Allenidekania, B. Susanto, Teresa dan Yasmin, Trans. Edisi VI ed. Vol.

I). Jakarta : EGC

Hudak, C.M., Gallo, B.M. (1994)b. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik

(M.E.Adiyanti, M Kariasa, M. Sumarwati dan E. Afifah, Trans. ed VI.

Volume I). Jakarta : EGC

Hill, M. (1998). The development of care management systems to achieve clinical

integration. Adv Pract Nurs. Q. Summer;4(1):33-9.

Instalasi Diklat RSUP.DR. Wahidin Sudirohusodo, FK-UNHAS. Materi

Pendidikan – Pelatihan Perawat Intensif Care Unit (ICU). Makassar

Jones, J.K. (2002). The Experience of Dying: An Ethnographic Nursing Home

Study. The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 651 – 660.

Keliat, B.A. (1999). Penatalaksanaan Stress. EGC : Jakarta.

Kaiser, K. (1992). assessment and management of pain in the critically ill trauma

patient. Critical Care Nursing Quaterly, 15, 14-34.

Kish. S.K. (2000). "Advance Directives in Critically Ill Cancer Patients." In

Critical Care Nursing Clinics. North America .

Kirkchoff, L.T. Beckstrand, R.L. (2000). Critical care nurse perceptions of

obstacles and helpful behaviours in providing end of life care to dying

patients. Am J Crit Care, 9, 96.

Kollef, M.H., Bedient, T.J., Isakow, W., Witt, C.A. (2008). The Washington

Manual of Critical Care. Lippincott. Washington.

Kozier, B., Erb, G., Blais, K. & Wilkinson J.M. (1995). Fundamentals of

nursingconcepts, process and practice. California : Addison Wesley

Nursing.

Koenig, H.G. (2002). A Commentary: The Role of Religion and Spirituality at the

End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue

III, 20 – 23.

Kubler, R. E. (1970). On Death and Dying. New York. Mc Millan Publication

Kramer, B.J, and Auer, C. (2005). Challenges to Providing End of Life Care to

Low Income Elders With Advanced Chronic Disease: Lessons Learned

From a Model Program The Gerontological Society of America Vol 42,

Special Issue III, 71 80.

Page 55: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

49

Krause, R.S. (2010). Palliative Care in the Acute Care Setting. State University of

New York

Kwak, J., and Haley, W.E. (2005). Current Research Finding on End of Life

Decision Making Among Racially or Ethnically Diverse Groups. The

Gerontological Society of America Vol 45, No 5, 634 – 641.

Lumenta, B. (1997). Tanatologi tentang Perilaku Pasien Terminal. Ebers Papirus-

Vol 3. No.1

Lawrence, M. (1995). The Unconscious Experience. Am J Crit Care, 4, 227

Leske, J.S. (2002). Interventions to Decrease Family Anxiety. American

Association of Critical-Care Nurses. 22 (6) : 61-65

Liewellyn, K. (2003). Cultural Diversity and Pain Management. from

http://www.cahq.org/docs/2003/culturaldiversitypainmanagement.pdf

Matousek, M. (2000). "Start the Conversation: The Modern Maturity Guide to

End-of-Life Care." and "The Last Taboo." Modern Maturity/AARP.

Marino, P.I. (2007). The ICU Book (Third ed). New York: Lippincott Williams

and Wilkins.

Mc.Graw-Hill concise Dictionary of Modern Medicine. (2002). By The Mc.Graw

Hill Companies.Inc

Macnee, C.L.(2004). Understanding nursing research : reading and using research

in practice. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins.

McPhee, R., Markowitz, P., (2000). “Death is inevitable, and while there is no

way out, there is a way through” The Dialectics of Care: Communicative

Choices at the End of Life. P 2513

Mezey, M., Dubler, N.N., Mitty, E., and Brody, A.A. (2009). What Impact Do

Setting and Transitions Have on the Quality of Life at the End of Life and

the Quality of the Dying Process. The Gerontological Society of America

Vol 42, Special Issue III, 54 - 67.

Middleton, A. (2003). Integrated Care Pathways; A Practical Approach To

Implementation. Butterworth – Heinemann

Michiels, E., Deschepper, R., Kelen, G.V.D, Bernheim, J.L., Mortier, F., Stichele,

R.V., Deliensand, L. (2007). The role of general practitioners in continuity

of care at the end of life: a qualitative study of terminally ill patients and

their next of kin. http://pmj.sagepub.com/content/21/5/409

Moleong, L.J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi ed.).

bandung: Remaja Rosdakarya

Morgan, D.L. (1997). Focus Group as Qualitative Research Method Series. 2 ed.

Sage Publication.

Morrow, A. (2010). Paliatif Care Guide: Hospice Case Manager Nurse. Melalui

<http//:www.about.com.palliative care> [2/2/11]

Morsse, S.D, Shugarman, L.R., Karl, A.L., Mularski, R.A., and Lynn, J. (2008). A

Systematic Review of Satisfaction with Care at the End of Life. California

Evidence-Based Practice Center

Munn, J.C., Dobbs, D., Meier, A., Williams, C., Biola, H., and Zimmerman, S.

(2008). The End of Life Experience in Long Term Care: Five Themes

Identified From Focus Groups With Residents, Family Members, and

Staff. The Gerontological Society of America Vol 48, No. 4, 485 – 494.

Page 56: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

50

Natan, M.B., Garfinkel, D., Shachar, I. (2010). End-of-life needs as perceived by

terminally ill older adult patients, family and staff. European Journal of

Oncology Nursing. 299 - 303

Niven, P. (2003). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional

Kesehatan Lain. Edisi 2. EGC, Jakarta

Nawawi, F. (2000). Nilai Troponin pada Penderita Sindrom Koroner Akut (SKA)

: http;//www. Journal.unair.ac.id. Diperoleh tanggal:2 Oktober 2007.

Osse, B.H.P., Dassen, M.J.F.J.V., Schade, E., Grol, R.P.T.M. (2007). A Practical

Instrument to Explore Patients Needs In Palliative Care: The Problems and

Needs In Palliative Care Questionnaire-Short Version. Palliative

Medicine; 21: 391 – 399.

Owen, S.A., Sterk, C., & McCarty, F. (2009). Development and Avaluation of a

Complementary and Alternative Medicine Use Survey in African-

Americans wit AIDS. The Journal of Alternative and Complementary

Medicine, 16(569-577)

Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods. Sage

Publication, Inc.

Parse, R.R. (2001). Qualitative Inquiry: The Path of Sciencing. Jones and Bartlett

Publishers. Canada.

Price, S.A., & Wilson, l. M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Jakarta: EGC.

Pollit, D.F & Hungler, B.P. (1999). Nursing research : principles and methods .

(6thed.). Philadelphia : Lippincott William & Wilkins.

Polit, D.F. & Beck, C.T. (2006). Essentials of nursing research

methods,aAppraisal, and utilization. (6th ed.). Philadelphia : Lippincott

Williams & Wilkins.

Powell, S.K. (2000). Case Management; A Practical Guide To Succeess in

Managed Care. Lippincott. Philadelphia.

Rasulo, D., Christensen, K., and Tomassini, C. (2005). The Influence of Social

Relations on Mortality in Later Life: A Study on Elderly Danish Twins.

The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 601 – 608.

Schroepfer, T.A. (2008). Social Relationships and Their Role in the Consideration

to Hasten Death. The Gerontological Society of America Vol 48, No.5,

612 – 621.

Sloane, P.D, Zimmerma, S., Williams, C., and Hanson, L.C. (2008). Dying With

Dementia in Long Term Care. The Gerontological Society of America Vol

48, No.6, 741 – 751.

Smeltzer, dkk (2004). Brunner & Suddarth’s texbook of medical surgical nursing.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Sole, M.L., Klein, D.G., and Moseley M.J. 2009. Critical Care Nursing. By

Saunders 5 th ed.

Stemler, S. (2001). An overview of content analysis. Practical Assessment,

Research & Evaluation, 7(17). Retrieved March 10, 2011 from

http://PAREonline.net/getvn.asp.

Streubert, H.J. and Carpenter, D.R. (2003). Qualitatif Researcht in Nursing;

advancing the Humanistic Imperative (3nd). Lippicoth : Phladelphia.

Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung :

CVAlfabeta.

Page 57: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

51

Sulmasy, D.P. (2002). A Biopsychosocial-Spiritual Model for the Care of Patien

at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special

Issue III, 24 – 33.

Travis, S., et. al. (6). (2005). Hospitalization Patterns and Palliation in the Last

Year of Life Among Residents in Long-Term Care . The Gerontological

Society of America Vol 42

USA Health System). Case Management. Melalui <http//:www.wikipedia.org>

[12/12/10]

Urden, L.D., Stacy, K.M., Lough, M.E. (2006). Critical Care Nursing Diagnosis

and Management. St Louis. Missouri: MOSBY

Vincent, J.L. (2010). Yearbook Of Intensive Care And Emergency Medicine. Pub.

Springer – Verlag Berlin, Heilelberg New York

Virginia, T.P., Tolle., Drach., and Hickman. (2002). Measurment of Quality of

Life at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42,

Special Issue III, 71- 80.

Wetle, T., Shield, R., Teno, J., Miller, S.C., and Welch, L. (2005). Family

Perspectives on End-of-Life Care Experiences in Nursing Homes. The

Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 642 – 650.

Page 58: LAAPPOOR RAANN EAAKKHHIIR PPENNEELLIITTIIANNpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/Laplit-pengalaman... · Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit

52