kv.docx
DESCRIPTION
geodesiTRANSCRIPT
Kata Pengantar
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Hidayahnya sehingga
terselesaikan Laporan Praktek Kerja Lapang tepat pada waktunya.
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) dan pembuatan laporan ini merupakan
salah satu syarat akademik bagi mahasiswa program DIV Pertanahan Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional.
Pelaksanaan PKL ini bermaksud menyiapkan mahasiswa menjadi pegawai pertanahan
yang profesional di bidang pengukuran di masa mendatang. Pengukuran Titik Dasar Teknik
(TDT) yang menjadi fokus pembelajaran merupakan pilar dasar pengukuran dan pemetaan di
Badan Pertanahan Nasional RI. Sedangkan pemetaan sendiri menjadi syarat mutlak tertib
administrasi pertanahan untuk menjamin tertib hukum pertanahan dan mengupayakan tertib
penggunaan tanah demi tercapainya catur tertib pertanahan dan empat prinsip pertanahan.
Selain berguna bagi diri mahasiswa PKL ini sebagai bagian dari tri dharma
pengabdian STPN kepada Lab Desa. Hasil Praktek Kerja Lapang dapat digunakan PKL
Pengukuran bidang dan Kantor Pertanahan dalam pelayanan pertanahan.
Adapun laporan PKL ini bermanfaat bagi mahasiswa peserta PKL dalam
menginventaris berbagai permasalahan dalam pengukuran TDT dan alternatif penyelesaian
dan pencegahannya. Masalah- masalah ataupun kesulitan yang ada harapannya tidak dialami
peserta PKL berikutnya. Lebih dari itu laporan ini dapat memberikan gambaran bagi
instruktur untuk menilai kinerja dan kemampuan mahasiswa. Laporan ini juga dapat menjadi
bagian dari evaluasi panitia penyelenggara demi perbaikan PKL mendatang.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing- masing unsur, penyusun
mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih kepada:
1. Prof. ,Dr. Endriatmo Soetarto, MA.
2. Tanjung Nugroho, ST., M.Si.
3. Tullus Subroto,S.Si., M.Si.
4. Bambang Suyudi, ST., M.T.
5. Ir. Antonius Sriyono
6. Ir. Paimin alias Suryanto
7. Drs. Slamet Wiyono,M.Pd.
8. Instruktur, Pendamping dan Panitia Penyelenggara PKL 2
9. Bapak Riwayat ( base camp)
10. Masyarakat dan Pemerintah Desa Hargobinangun.
Harapan penyusun laporan ini mendapat perhatian berbagai pihak. Saran dan kritik
untuk perbaikan laporan ini sungguh dinantikan hingga laporan ini layak untuk disimpan di
perpustakaan STPN.
Yogyakarta, Desember 2009
Penyusun
Agus DhanangPurnomo
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktek Kerja Lapang (PKL) II ini diselenggarakan sebagai upaya Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (STPN) dalam mendidik mahasiswa semester III untuk memiliki
kompetensi dalam pemasangan TDT dan pembuatan Peta Titik Dasar Teknik yang dilengkapi
dengan informasi ketinggian (desa atau bagian desa). Pembuatan yang dimaksud disini
meliputi tahapan perencanaan, pengukuran dan pemetaan, serta administrasinya. Berbeda
dengan praktikum di kampus yang parsial dari mata kuliah Dasar-Dasar Pengukuran dan
Kerangka Dasar Pemetaan, melalui PKL ini mahasiswa dibawa pada pemahaman sistematis
dan komprehensif terhadap pembuatan peta pada cakupan desa atau bagian dari desa. Sebagai
pegawai Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), diharapkan pendidikan
yang diselenggarakan STPN aplikatif. Oleh sebab itu, dalam PKL ini tidak lepas aplikasinya
terutama berdasar pada (1). Petunjuk Teknis PMNA/KBPN No. 3/ 1997, (2). Standarisasi
Pendaftaran Tanah Secara Sistematik dan, (3). Buku Pegangan Petugas Ukur.
Untuk memiliki kompetensi dalam pembuatan Peta Dasar Teknik, para mahasiswa
baik sebagai individu-individu maupun kelompok-kelompok, dilibatkan padafield
problem mulai dari tahap perencanaan, pendistribusian tugu TDT sampai pada pengeplotan
hasil-hasil ukurannya pada lembar Peta Dasar Teknik sesuai format Petunjuk Teknis
PMNA/KBPN No.3/1997. Aktivitas perencanaan diharapkan memberi pemahaman lapangan
akan pentingnya peta-peta yang tersedia di desa ataupun sumber-sumber lainnya.
Kemampuan pemahaman tentang pengukuran poligon multi-methoddicoba untuk dapat
diaplikasikan oleh para mahasiswa pada berbagai kasus lapangan. Fokusnya, mahasiswa
mampu memilih metode yang paling efektif dan efisien dengan mempertimbangkan
ketersediaan alat ukur total station, teodolit dan meteran.
Pada kegiatan studio (base-camp), para mahasiswa diharapkan terampil dalam
pekerjaan penghitungan poligon metode Bowditch dengan alat hitung scientifickalkulator atau
jenis-jenis spread sheet. Dengan demikian,output hitungan tidak hanya dalam bentuk
formulir catatan manual tetapi juga berbentuk digital yang siap untuk di-
loading melalui AutoCAD atau softwarepemetaan lainnya. Aturan-aturan mengenai
pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah dalam Petunjuk Teknis PMNA/KBPN
No.3/1997 diharapkan dapat dikuasai oleh mahasiswa, termasuk di dalamnya monumentasi,
buku tugu, metode dan alat standar pengukuran yang diperkenankan, toleransi pengukuran,
pembagian lembar peta, format lembar peta dan sebagainya.
Selain itu, agar mahasiswa menjadi petugas ukur yang profesional, maka aspek
afektifnya haruslah dijadikan penekanan dan perhatian para instruktur, selain daripada aspek
kognitifnya. Dalam hal ini, aspek afektif yang menonjol mencakup kedisiplinan, koordinasi,
ketelitian dan kerapian. Kedisiplinan yang dimaksud adalah ketepatan target kerja yang
rasional dengan pelaksanaannya. Kerjasama yang dimaksud adalah kemampuan mengatur
dinamika kerja dalam menghadapi perubahan-perubahan sebagai bagian dari sistem.
Ketelitian dan kerapian meliputi hasil-hasil penghitungan, formulir-formulir, peta-peta,
perlakuannya terhadap alat-alat pengukuran dan kelengkapan pribadinya.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud diselenggarakan PKL
a. Sebagai salah satu syarat akademik bagi mahasiswa program DIV Pertanahan.
b. Menyiapkan mahasiswa menjadi pegawai pertanahan yang profesional di bidang pengukuran
di masa mendatang.
c. Sebagai bagian dari dharma pengabdian STPN kepada Laboratorium Desa.
2. Tujuan diselenggarakan PKL
a. Mahasiswa memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang pengukuran dan
pemetaan TDT dan berbagai dokumen pelengkapnya.
b. Terpasangnya TDT dan kelengkapan dokumen lainnya yang bermanfaat oleh masyarakat
setempat.
C. Jenis dan Volume Pekerjaan
1. Perencanaan tugu TDT orde 4.
2. Pemasanngan TDT sejumlah 80 tugu.
3. Pengukuran dan penghitungan koordinat TDT (x,y,z).
4. Pembuatan buku tugu.
5. Pengukuran dan penghitungan koordinat detil situasi (termasuk titik tinggi).
6. Pembuatan Peta Dasar Teknik disertai garis kontur .
D. Peserta PKL
Mahasiswa semester III Program Diploma IV Pertanahan sejumlah 80 orang terdiri
dari 16 kelompok dan instruktur sejumlah 20 orang. (daftar terlampir)
E. Lokasi
Lokasi yang dijadikan tempat PKL adalah Desa Hargobinangun, Kecamatan
Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga dusun
yaitu dusun Jetisan, dusun Sawungsari dan dusun Purworejo. Alasan memilih lokasi ini
karena desa ini merupakan salah satu laboratorium desa binaan STPN. (peta desa terlampir)
F. Waktu Pelaksanaan
PKL ini dilaksanakan selama 10 hari, mulai tanggal 23 November 2009 sampai
dengan tanggal 02 Desember 2009. (jadwal terlampir)
G. Kompetensi dan Indikator
Mahasiswa mampu:
1. Merencanakan distribusi tugu TDT pada tingkat desa atau bagian dari desa;
2. Mengukur TDT menggunakan metoda Traverse (poligon) dengan berbagai variannya;
3. Menghitung koordinat TDT Nasional (posisi horizontal) dengan metode Bowditch;
4. Mengukur dan menghitung ketinggian TDT dengan menggunakan metode waterpassing;
5. Mengadministrasikan TDT dalam bentuk buku tugu;
6. Membuat format lembar Peta Dasar Teknik sesuai format PMNA 3/ 1997;
7. Mengeplot koordinat TDT ke lembar peta secara manual maupun digital;
8. Mengukur dan menghitung titik-titik detil situasi area yang dipasang TDT dengan metode
Tachimetry;
9. Menarik garis kontur di area pemasangan TDT (desa ataupun bagian desa ) dengan metode
interpolasi secara grafis;
10. Menanggapi masalah lapangan secara cepat dengan menunjukkan adanya kerjasama dan
dinamika kerja yang baik;
11. Menunjukkan kedisiplinan kerja sesuai target dan waktu yang ditentukan;
12. Menunjukkan cara kerja yang teliti, rapi, taktis dan benar;
13. Menunjukkan kepedulian dalam memperlakukan data-data, alat-alat ukur dan gambar;
14. Menghimpun data-data, dokumen-dokumen dan hasil-hasil PKL dalam laporan secara
sistematis.
BAB II DASAR TEORI
A. Peta Dasar Teknik
1. Titik Dasar Teknik
Titik Dasar Teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu
pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol
atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas (Pasal 1 butir 13 Peraturan
Pemerintah No.24/1997).
Pemasangan titik dasar teknik dilaksanakan berdasarkan kerapatan dan dibedakan
atas; orde 0,1,2,3,4 serta titik dasar teknik perapatan. Pemasangan titik dasar teknik orde 0
dan 1 dilaksanakan oleh Bakosurtanal sedangkan orde 2,3,4 dan titik dasar teknik perapatan
dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan pemasangannya, titik dasar
teknik dibedakan atas 2 (dua) bagian, yaitu sebagai perapatan dan sebagai pengikatan.
Kontruksi dari Titik Dasar Teknik Orde 3 dan 4, seperti sebagai berikut:
Gambar 1. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 3.
Gambar 2. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (untuk Daerah Terbuka)
Gambar 3. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (untuk Daerah Padat)
Gambar 4. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (untuk Daerah Padat)
Gambar 5. Kontruksi Titik Dasar Teknik Orde 4 (dengan menggunakan Tugu Instansi lain)
Pemasangan titik dasar teknik yang berfungsi sebagai pengikatan berarti bahwa setiap
bidang tanah dalam pendaftaran tanah sistematik ataupun sporadik harus diikatkan kepada
titik dasar teknik tersebut, sedangkan yang berfungsi sebagai perapatan berarti bahwa
pemasangan titik dasar teknik tersebut adalah merapatkan titik dasar teknik yang telah ada
dan tersebar di suatu wilayah.
Mengingat fungsi-fungsi tersebut di atas, tahapan kegiatan pemasangan titik dasar
teknik adalah sebagai berikut :
a. Inventarisasi
b. Perencanaan
c. Survei Pendahuluan
d. Monumentasi
2. Perencanaan Titik Dasar Teknik
a. Inventarisasi
Kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan peta dasar teknik, peta topografi / peta
rupa bumi atau peta lain yang telah ada dalam wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik
yang akan dirapatkan.
Data yang dikumpulkan dari peta dasar teknik yang telah ada, adalah :
1) Jumlah dan distribusi titik dasar teknik orde 0,1,2 yang telah dipasang dalam satu propinsi
bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 2 yang baru (dalam hal perapatan titik
dasar teknik).
2) Jumlah dan distribusi titik dasar teknik yang telah disebutkan pada butir a dan orde 3 yang
telah dipasang dalam satu kabupaten / kotamadya bila yang akan dipasang adalah titik dasar
teknik orde 3 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
3) Jumlah dan distribusi titik dasar teknik yang telah disebutkan pada butir b dan orde 4 yang
telah dipasang dalam satu desa / kelurahan bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik
orde 4 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
4) Jumlah dan distribusi titik dasar teknik orde 0,1,2,3,4 yang berada dalam jarak kurang dari 2
km dari lokasi bidang tanah yang akan diukur (dalam hal pengikatan bidang tanah).
Dalam hal perapatan titik dasar teknik, hasil inventarisasi di atas dituangkan pada DI
106 (lampiran 39) untuk setiap Daerah Tingkat II.
Data yang dikumpulkan dari peta topografi atau peta lain adalah :
1) Pengumpulan informasi kondisi geografis, sarana / prasarana wilayah yang akan dipasang
titik dasar teknik (dalam hal perapatan titik dasar teknik).
2) Penetapan batas wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik (dalam hal perapatan titik
dasar teknik).
3) Pengumpulan informasi tentang ketersediaan lembar peta dasar pendaftaran, peta pendaftaran
pada lokasi bidang tanah yang akan diukur (dalam hal pengikatan bidang tanah).
b. Perencanaan
Dalam hal pemasangan titik dasar teknik dilakukan untuk perapatan, perencanaan
penempatan lokasi titik dasar teknik dilakukan dengan sistem grid, dengan panjang dan lebar
grid disesuaikan dengan kerapatan seperti yang dimaksud dalam pasal 2. Kerapatan dimaksud
adalah kerapatan maksimum yang diperkenankan dan perencanaan penempatannya
diusahakan sedapat mungkin dekat dengan lokasi yang dapat dijangkau (misalnya : pinggir
jalan, pemukiman) sehingga memudahkan mobilisasi dan pengukuran yang akan dilakukan.
Rencana pemasangan titik dasar teknik pada peta perencanaan tersedia juga
dicantumkan nomor titik dasar teknik yang akan dipasang. Penomoran titik dasar teknik
dilakukan dengan berpedoman pada pasal 6 dan lampiran 2.
Contoh :
09002 – titik dasar teknik orde 2 terletak di Propinsi DKI Jakarta dengan nomor urut 2.
0901002 – titik dasar teknik orde 3 terletak di Propinsi DKI Jakarta , Kodya Jakarta Pusat dengan nomor
urut 2.
2 – titik dasar teknik orde 4 pada suatu wilayah desa / kelurahan dengan nomor urut 2 dengan sistem
koordinat nasional.
3 – titik dasar teknik orde 4 pada suatu wilayah desa / kelurahan dengan nomor urut 3 dengan
sistem koordinat lokal.
- Titik dasar teknik perapatan bersifat sementara dan berfungsi sebagai titik bantu selama
pengukuran bidang tanah berlangsung. Untuk memudahkan penandaan titik dasar teknik
perapatan pada formulir data pengukuran dan perhitungan, petugas pengukuran diberikan
kebebasan untuk memberikan nomor dengan catatan harus unik / tunggal pada setiap titik
dasar teknik perapatan selama dilakukannya pengukuran bidang tanah.
Kode administrasi propinsi dan kabupaten / kotamadya sesuai dengan lampiran 6
adalah nama propinsi dan kabupaten / kodya yang tercatat pada saat pearaturan ini ditetapkan.
Untuk wilayah-wilayah administrasi baru yang muncul setelah ditetapkannya peraturan ini,
kode administrasi dibuat dengan melanjutkan kode administrasi yang tercantum pada
peraturan tersebut, berdasarkan urutan waktu ditetapkannya daerah administrasi yang
bersangkutan, misalnya ; untuk Kodya Bekasi yang telah ditetapkan setelah diterbitkannya
peraturan ini akan mendapat kode 26 untuk Daerah Tingkat II. Untuk keperluan koordinasi
pemberian kode Daerah Tingkat I, Direktorat Pengukuran dan Pemetaan akan menetapkan
kode Daerah Tingkat I dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di tingkat Propinsi
akan menetapkan kode Daerah Tingkat II bila terjadi penambahan daerah-daerah administrasi
baru.
Penomoran titik dasar teknik yang akan dipasang dilakukan dengan memperhatikan
nomor urut titik dasar teknik yang terakhir sesuai dengan ordenya pada wilayah propinsi /
kabupaten / kotamadya yang bersangkutan (berdasarkan hasil inventarisasi jumlah titik dasar
teknik yang telah terpasang). Contoh: nomor urut titik dasar teknik orde 3 di Kodya Jakarta
Pusat yang terakhir adalah 30, maka nomor urut titik dasar teknik yang baru akan dimulai
pada nomor 31 dan seterusnya.
Dalam hal pemasangan titik dasar teknik dilakukan untuk pengikatan bidang tanah
dan bidang tanah tersebut belum mempunyai lembar peta dasar pendaftaran / peta
pendaftaran, pada lokasi yang akan dipasang titik dasar teknik diberi tanda di atas peta
perencanaan yang telah dipersiapkan dengan kriteria sebagai berikut :
1) Bila bidang tanah tersebut termasuk daerah pertanian, pemohon pengukuran harus
menyiapkan minimal 2 (dua) buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan
maksimum 1,5 km (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:2.500 yang akan
dibuat).
2) Bila bidang tanah tersebut termasuk daerah pemukiman, pemohon pengukuran harus
menyiapkan minimal 2 (dua) buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan
maksimum 500 m (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:1.000 yang akan
dibuat).
3) Bila bidang tanah tersebut termasuk perkebunan besar, pemohon pengukuran harus
menyiapkan minimal 2 (dua) buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan
maksimum 6 km (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:10.000 yang akan
dibuat).
4) Bila bidang tanah yang diukur terletak dengan jarak lebih dari 2 (dua) km terhadap 2 (dua)
buah titik dasar teknik nasional atau berjarak maksimum 2 (dua) km terhadap 1 (satu) titik
dasar teknik nasional, pemetaan titik dasar teknik yang akan dipakai sebagai pengikatan harus
dilakukan di atas peta perencanaan.
c. Survei Pendahuluan
Survei Pendahuluan adalah tahapan kegiatan yang dilakukan untuk memastikan lokasi
pemasangan titik dasar teknik sesuai dengan perencanaan yang telah dilakukan dengan
melihat kondisi nyata di lapangan. Pada tahap ini setiap titik yang akan dipasang di lapangan
dan titik yang akan dipakai sebagai titik ikatan harus ditinjau kondisi fisiknya di lapangan.
Bila lokasi yang akan dipasang termasuk di dalam daerah batas administrasi propinsi/
kabupaten/ kotamadya/ kecamatan/ desa/ kelurahan, bila memungkinkan perencanaan
pemasangan titik dasar teknik dilakukan pada batas administrasi tersebut dengan
memperhatikan peta administrasi wilayah tersebut. Apabila titik dasar teknik yang akan
dipasang adalah titik dasar teknik orde 4, tugu-tugu instansi lain yang berada di sekitar lokasi
harus diperiksa kondisi fisiknya. Hal ini dilakukan sebagai dasar untuk menentukan apakah
tugu instansi lain tersebut dapat dijadikan sebagai titik dasar teknik orde 4 atau tidak.
Untuk setiap titik-titik yang akan dipasang (titik-titik baru), apabila pengukurannya
menggunakan metoda pengamatan satelit, harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut ;
1) Lokasi yang mudah dicapai.
2) Ruang pandang bebas ke langit 15 dari horizon.
3) Jauh dari sumber interferensi elektris.
Titik-titik yang dipasang dan diukur dengan pengukuran terrestrial harus memenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut ;
1) Setiap titik pada jaringan kerangka titik dasar teknik harus dapat terlihat dengan titik sebelum
dan sesudahnya.
2) Sudut yang akan diukur harus tidak terlalu lancip (sudut tidak kurang dari 30 ) dan tidak
terlalu tumpul (sudut tidak lebih dari 330). 3) Tidak berada pada tanah dengan kemiringan yang curam serta tidak berawa.
Mengingat fungsi titik dasar teknik sebagai pengikatan, diusahakan sebaiknya lokasi
titik dasar teknik berada pada tanah-tanah negara dan kondisi tanahnya relatif stabil. Contoh;
berada di kantor-kantor pemerintahan/swasta. Setelah mempertimbangkan seluruh kriteria
tersebut di atas, tandai lokasi titik dasar teknik tersebut dengan patok kayu di lapangan dan
pada peta rencana serta diupayakan untuk mendapatkan izin pemasangan dari pimpinan
instansi setempat bila titik dasar teknik yang akan dipasang berada pada kantor
pemerintahan/swasta atau pemilik tanah bila titik dasar teknik tersebut akan dipasang pada
tanah-tanah masyarakat. Demikian pula kepada instansi pemilik tugu bila tugu instansi
tersebut akan dipergunakan sebagai titik dasar teknik orde 4. Bila tugu tersebut dipakai,
cantumkan nomor titik dasar teknik tersebut di peta rencana sesuai dengan lampiran 1.
Penomoran dilakukan sebagai berikut; bila di lapangan ditemukan tugu Dinas Tata Kota
dengan nomor tugu DTK-205, pada peta rencana dicantumkan DTK-205/101, dimana 101
adalah nomor urut titik dasar teknik orde 4 di desa/kelurahan tersebut.
d. Monumentasi
Monumentasi berupa pemasangan konstruksi fisik titik dasar teknik sesuai dengan
pasal 5 dan lampiran 1. Titik dasar teknik orde 2,3 dibuat dengan konstruksi beton dan titik
dasar teknik orde 4 dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan dengan tetap memperhatikan
kondisi tanah di lokasi pemasangan, ketersediaan bahan dan kemudahan untuk membawa ke
lokasi serta keamanan fisik di lapangan.
Konstruksi titik dasar teknik orde 4 dibedakan untuk daerah padat dan terbuka.
1) Daerah padat adalah daerah dengan tingkat pembangunan yang cukup tinggi, yang ditandai
dengan cepatnya perubahan fisik di daerah tersebut dan pola penggunaan tanah yang
menjurus ke arah pemukiman dan jasa. Mengingat perubahan tersebut, pemasangan titik
dasar teknik menggunakan 2 (dua) alternatf, yaitu;
a) Alternatif pertama berupa konstruksi beton dan ditempatkan pada trotoar-trotoar jalan, bahu
jalan dan sebagainya, yang diperkirakan lokasi titik dasar teknik tersebut akan mengalami
perubahan fisik.
b) Alternatif kedua berupa bahan kuningan, misalnya; pada lokasi bidang tanah dimana pada
bidang tanah tersebut telah berdiri bangunan permanen dan diperkirakan bangunan tersebut
tidak akan dibongkar dalam waktu yang cukup lama.
2) Daerah terbuka adalah daerah dengan tingkat pembangunan yang lambat, yang ditandai
dengan pola umum penggunaan tanah yang menjurus ke arah pertanian sederhana yang
dilakukan oleh penduduk sekitarnya. Konstruksi titik dasar teknik pada daerah ini berupa
konstruksi beton, dengan harapan bahwa titik dasar teknik ini dapat dipakai dalam waktu
yang cukup lama.
Selain kedua kontruksi tersebut, titik dasar teknik dapat juga dibuat berdasarkan tugu-
tugu instansi lain yang telah terpasang di daerah tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat
menyatukan sistem pemetaan yang telah dikembangkan Badan Pertanahan Nasional dengan
sistem pemetaan di instansi-instansi lainnya, dengan syarat kondisi fisiknya baik (tidak
pecah, retak), stabil (tidak goyang) dan pada lokasi tugu tersebut dimungkinkan dilakukannya
pengukuran dengan alat pengukuran sudut dan jarak. Misalnya; tugu-tugu yang dibangun
oleh Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan, Bakosurtanal,
Direktorat Tata Kota dll. Bila hal ini dilaksanakan, tugu tersebut tidak perlu dirubah
konstruksi fisiknya dan tidak dilaksanakan pergantian nomor tugu di lapangan.
Titik dasar teknik perapatan dibuat dengan alasan tidak dimungkinkannya dilakukan
pengikatan langsung suatu bidang tanah dari titik dasar teknik orde 2, 3 atau 4. Untuk itu
diperlukan titik-titik bantu yang merapatkan titik dasar teknik tersebut dan bersifat sementara
atau dengan kata lain hanya dipergunakan pada saat pengukuran bidang tanah dilaksanakan.
Dalam praktek di lapangan, titik dasar teknik perapatan dibuat dengan bahan sederhana yang
tersedia di daerah setempat, misalnya ; patok kayu, paku seng dimana bahan ini nantinya
tidak digunakan untuk waktu yang cukup lama karena pada dasarnya walaupun pengikatan
suatu bidang tanah dilakukan dari titik dasar teknik perapatan, pekerjaan rekonstruksi batas
tetap dilakukan dengan mengikatkan kepada titik dasar teknik orde 2,3 atau 4.
Dalam pendaftaran tanah sporadik seperti diuraikan dalam pasal 79 butir e, pemohon
pengukuran diwajibkan untuk memasang titik dasar teknik orde 4 dengan catatan bahwa
kedua titik dasar teknik tersebut dapat dijadikan ikatan langsung pengukuran bidang tanah
yang dimohon. Selain itu, mengingat fungsi titik dasar teknik ini juga dijadikan dasar
pengikatan bidang tanah pada satu lembar peta pendaftaran (pasal 29 ayat 3), lokasi kedua
titik dasar teknik tersebut diharapkan dapat menjangkau seluruh bidang-bidang tanah yang
terdapat pada lembar tersebut. Bila hal ini tidak memungkinkan dilakukan, pemasangan titik
dasar teknik orde 4 tetap dilakukan dan pengikatan bidang tanah dilakukan dari titik dasar
teknik perapatan.
Pemasangan titik dasar teknik dilakukan berdasarkan peta perencanaan yang telah
diperbaiki pada saat survei pendahuluan dilaksanakan. Dengan demikian, kesinambungan
kerja antara pelaksana survey pendahuluan dengan pemasangan dapat berjalan dengan baik
dan pelaksana pemasangan tidak perlu menunggu sampai pelaksana survey pendahuluan
menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan. Pemasangan tugu dilakukan dengan cara
mencabut patok kayu yang berada di lapangan dan menggantinya dengan konstruksi fisik
yang telah ditetapkan dengan nomor titik dasar teknik sesuai dengan peta perencanaan.
3. Pengukuran Titik Dasar Teknik
Pengukuran titik dasar teknik dilaksanakan dengan menggunakan metoda pengamatan
satelit atau metoda lainnya (pasal 7). Titik Dasar Teknik dipakai sebagai pengikatan bidang
tanah dan pengikatan bagi perapatan titik dasar teknik dengan ketelitian di bawahnya.
Berkaitan dengan pengukuran titik dasar teknik yang harus diikatkan kepada titik
dasar teknik yang lebih tinggi ordenya, titik dasar teknik orde 2 harus lebih teliti
dibandingkan dengan titik dasar teknik orde 3,4 dan titik dasar teknik orde 3 harus lebih teliti
dibandingkan titik dasar teknik orde 4. Sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dan
peralatan yang ada, Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan hanya melaksanakan pengukuran
titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan serta Direktorat Pengukuran dan
Pemetaan melaksanakan pengukuran titik dasar teknik orde 2, 3, 4 dan titik dasar teknik
perapatan. Pengukuran titik dasar teknik orde 2 dan 3 dapat dilaksanakan oleh Kanwil
Propinsi dan atau Kantor Pertanahan setelah mendapat pelimpahan wewenang dari Direktur
Pengukuran dan Pemetaan setelah mempertimbangkan kesiapan sumber daya manusia dan
peralatannya. Metoda pengukuran yang dapat dipakai adalah pengamatan satelit, pengukuran
terrestrial dan pengukuran fotogrametrik.
a. Pengamatan Satelit
Pengamatan satelit adalah model penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi
dimana posisi titik dinyatakan dengan melakukan pengukuran terhadap konstelasi satelit.
GPS(Global Positioning System) merupakan salah satu sistem dari model pengamatan satelit
yang ada.
Gambar. 7. Pengukuran Titik Dasar Teknik dan Pengikatan Bidang Tanah
GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang
dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. GPS dapat digunakan setiap saat tanpa
bergantung pada waktu dan cuaca. Karena karakteristiknya ini, penggunaan GPS dapat
meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas pelaksanaan pengukuran dengan memperpendek
waktu pelaksanaan dan menekan biaya operasional.
GPS mempunyai ketinggian orbit yang cukup tinggi dan jumlah satelit yang relatif
banyak sehingga dapat meliput wilayah yang cukup luas dan dapat digunakan oleh banyak
orang pada waktu yang bersamaan.
Berdasarkan pengamatan satelit, titik dasar teknik diukur dengan cara :
1) Static Positioning
Penentuan posisi secara static positioning adalah penentuan posisi dari titik-titik
yang statik (diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara absolut maupun
differensial, dengan menggunakan data pseudorange dan atau fase. Karakteristik secara
umum :
a) Memerlukan waktu pengamatan yang lama (dalam selang waktu jam).
b) Perhitungan dilakukan baseline per baseline yang kemudian diikuti perataan jaringan.
c) Perhitungan dapat dilakukan dengan ambiguity float (cycle ambiguity dianggap sebagai
bilangan pecah) atau ambiguity fixed (cycle ambiguity dijadikan bilangan bulat).
d) Ukuran lebih pada suatu epoch pengamatan biasanya banyak.
e) Ketelitian posisi yang diperoleh mm sampai cm.
Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 2
atau 3.
2) Rapid Static
Penentuan posisi secara rapid staticpada dasarnya adalah survai statik dengan
waktu pengamatan yang lebih singkat. Metoda ini bertumpu pada proses
penentuanambiguitas fase yang cepat . Karakteristik secara umum :
a) Lama pengamatan bergantung pada panjang baseline, jumlah satelit serta geometri satelit.
b) Berbasiskan differential positioningdengan menggunakan data fase.
c) Persyaratan mendasar ; penentuanambiguitas fase secara cepat.
d) Memerlukan geometri satelit yang baik, tingkat bias dan kesalahan data yang relatif rendah,
serta lingkungan yang relatif tidak menimbulkan multipath.
e) Satu baseline umumnya diamati dalam dua sesi pengamatan.
f) Ketelitian posisi yang diperoleh cm.
Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde
4.
3) Stop and Go
Pada metoda penentuan posisi ini, titik-titik yang akan ditentukan posisinya tidak
bergerak sedangkan receiver GPS bergerak pada titik-titik dimana pada setiap
titiknyareceiver yang bersangkutan diam beberapa saat di titik-titik tersebut. Karakteristik
secara umum :
a) Moving receiver bergerak dan stop (selama beberapa menit) dari titik ke titik.
b) Ambiguitas fase pada titik awal harus ditentukan sebelum receiver bergerak.
c) Selama pergerakan antara titik ke titik,receiver harus selalu mengamati sinyal GPS (tidak
boleh terputus).
d) Berbasiskan differential positioningdengan menggunakan data fase.
e) Ketelitian posisi yang diperoleh cm.
Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde
4.
1) Spesifikasi Teknik
a) Rencana/desain jaringan harus dibuat di atas fotocopy peta topografi yang meliputi; desain
dan geometris jaringan. Perencanaan ini harus memperhitungkan kekuatan jaringan titik dasar
teknik.
b) Jumlah baseline yang membentuk suatuloop paling banyak adalah 4 (empat)
buahbaseline. Setiap stasiun dihubungkan dengan minimal tiga buah baseline non
trivial yang diperoleh dari minimal 2 (dua)session pengamatan yang berbeda.
c) Tiap baseline sebaiknya terdistribusi secara merata di seluruh jaringan yang ditunjukkan
dengan jarak yang relatif sama. Sekurang-kurangnya terdapat 10 (sepuluh) persen common
baselinesehingga dapat dilakukan pemeriksaan konsistensi pengukuran.
d) Pengamatan satelit GPS carrier phasedipergunakan dalam model penentuan posisi relatif
untuk menentukan komponenbaseline antara 2 (dua) titik.
e) Teknik pengamatan dilakukan secaraRapid Static ataupun Static dengan lama pengamatan
yang disesuaikan dengan panjang baseline, dengan syarat; tersedia 6 satelit, GDOP yang
lebih kecil dari 8 (delapan), kondisi atmosfer dan ionosferyang memadai dan interval
antar epoch 15 detik.
f) Terdapat minimal satu titik sekutu yang menghubungkan dua session pengamatan dan lebih
diharapkan menggunakanbaseline sekutu.
g) Pengamatan satelit tidak dilakukan dengan elevasi dibawah 15.h) Ketinggian dari antena harus diukur pada tiap titik sebelum dan sesudah data dari satelit
dicatat. Kedua data ketinggian tersebut tidak boleh berbeda lebih dari 2 mm.
2) Peralatan
a) Seluruh pengamatan harus mempergunakan receiver GPS geodeticyang mampu
mengamati codes dan carrier phase.
b) Receivers single frequency (L1) dapat digunakan tetapi penggunaan dual frequency (L1 dan
L2) lebih diharapkan.
c) Jika omni-directional antena tidak dapat dipakai, antena-antena pada titik-titik yang diamati
bersamaan harus diorientasi ke arah yang sama.
d) Pada titik dimana pemantulan sinyal GPS mudah terjadi (seperti pantai, danau, tebing,
bangunan bertingkat), antena harus dilengkapi dengan ground plane untuk mengurangi
pengaruh dari multi-path.
e) Komponen dari sutu receiver harus dari merk dan jenis yang sama, dan harus
memakai centering optis.
f) Minimal digunakan 3 (tiga) receiver GPS secara bersamaan selama pengamatan.
3) Pengolahan Data
a) Seluruh reduksi baseline harus dilakukan dengan menggunakan software processingGPS
yang sesuai dengan receiver yang digunakan.
b) Proses reduksi baseline harus mampu menghitung besarnya koreksi troposferdan
koreksi ionosfer untuk data pengamatan.
c) Untuk setiap baseline di dalam jaringan titik dasar teknik orde 2, standard deviasi() hasil
hitungan dari komponen baseline toposentrik (dN, dE, dH) yang dihasilkan
oleh software reduksi baseline harus memenuhi hubungan berikut :
N ME MH 2 M, dimana :
M = [10 2 + (10d) 2 ] ½ / 1,96 mm, dimana d adalah panjang baseline dalam kilometer.
d) Pada baseline yang diamati 2 (dua) kali, untuk baseline 10 km, komponen lintang dan bujur
dari kedua baseline tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,03 meter. Komponen tinggi tidak
boleh berbeda lebih besar dari 0,06 meter. Sedangkan untuk baseline 10 km, komponen
lintang dan bujur dari kedua baseline tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,05 meter.
Komponen tinggi tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,10 meter.
e) Perataan jaring bebas dan terikat dari seluruh jaring harus dilakukan dengan
menggunakan software perataan kuadrat terkecil yang telah dikenal.
f) Integritas pengamatan jaringan harus dinilai berdasarkan :
(1) Analisis dari baseline yang diamati 2 kali.
(2) Analisis terhadap perataan kuadrat terkecil jaring bebas
(3) Analisis perataan kuadrat terkecil untuk jaring terikat dengan titik berorde lebih tinggi.
g) Akurasi komponen horizontal jaring akan dinilai terutama dari analisis elips kesalahan garis
2D yang dihasilkan oleh perataan jaring bebas untuk setiap baselineyang diamati.
h) Semi major axis dari elips kesalahan garis (1) harus lebih kecil dari harga parameter r yang
dihitung sebagai berikut ;
titik dasar teknik orde 2 : r = 15 (d + 0,2)
titik dasar teknik orde 3 : r = 30 (d + 0,2), dimana ;
r = panjang maksimum untuk semi major axis (mm).
d = jarak dalam Km
b. Pengukuran Terrestrial
Pengukuran terrestrial adalah penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi dimana
pada setiap yang akan diketahui koordinatnya dilakukan pengukuran jarak, sudut atau
kombinasi keduanya.
Berdasarkan metoda terrestrial, titik dasar teknik diukur dengan cara:
1) Poligon
Metoda poligon adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik
dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan satu sama lain dengan pengukuran sudut dan
jarak sehingga membentuk rangkaian titik-titik (poligon). Metoda ini dilakukan untuk
pengukuran titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan.
Poligon adalah salah satu metode terestris dalam pengadaan titik-titik dasar kerangka
pemetaan di daerah yang akan dipetakan, dengan cara membentuk bangun segi banyak yang
diukur sudut-sudut dan jarak-jaraknya (serta asimutnya jika diperlukan).
Titik-titik jaring poligon ini akan ditentukan koordinatnya, dan akan dijadikan ikatan
daripada detil-detil di permukaan bumi yang akan digambarkan di peta. Apabila kerangka
pemetaan ini baik (dalam arti bentuk, persebaran dan ketelitiannya), maka diharapkan bahwa
peta yang akan dihasilkan juga akan baik kualitasnya.
Untuk pemetaan di daerah yang relatif sempit (plane surveying), dimana
kelengkungan bumi dapat diabaikan (< 30x 30 km), metode poligon ini lebih cocok daripada
metode yang lain, karena:
* peralatannya mudah didapat;
* pengukuran dan hitungannya sederhana; dan
* Bentuk dari poligon dapat disesuaikan (fleksibel) dengan keadaan daerah yang dipetakan.
Dalam pengadaan poligon, yang diukur adalah jarak dan sudut. Jika koordinat
dihitung dari titik awal secara berurutan hingga di titik akhir, maka sesuai dengan teori
kesalahan dalam penentuan koordinat poligon, bahwa semakin jauh dari titik ikat kesalahan
yang ditimbulkan semakin besar. Oleh karena itu dibutuhkan kontrol di akhir dari jaring
poligon yang dibentuk, baik agar kesalahan tersebut tidak merambat dan terakumulasi di titik
akhir, atau dapat dilakukan perataan kesalahan pada titik jaring poligon.
a) Pengukuran dengan cara poligon tertutup (pengukuran titik dasar teknik diawali dan diakhiri
di satu titik yang telah diketahui koordinatnya) hanya lakukan bila pada jaringan poligon
tersebut ditemui minimal 2 (dua) titik ikat yang telah diketahui koordinatnya.
b) Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon tertutup yang membentuk lebih
dari 1 (satu) loopdilakukan dengan memperhitungkan jaringan dan luas areal pengukuran titik
dasar teknik.
c) Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon terikat sempurna (tidak
membentuk suatu loop) yang terikat pada 2 (dua) titik yang saling terlihat pada awal jaringan
dan 2 (dua) titik yang saling terlihat pada akhir jaringan.
d) Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon terikat sepihak.
2) Triangulasi
Metoda triangulasi adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik
dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan sehingga membentuk rangkaian segitiga atau
jaring segitiga dimana pada setiap segitiga dilakukan hanya pengukuran sudut. Metoda ini
dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.
3) Trilaterasi
Metoda trilaterasi adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik
dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan sehingga membentuk rangkaian segitiga atau
jaring segitiga dimana pada setiap segitiga dilakukan hanya pengukuran jarak. Metoda ini
dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.
4) Triangulaterasi
Konsep pembentukan jaringan segitiga seperti dilakukan pada metode trilaterasi juga
dilaksanakan pada penentuan posisi dengan metode triangulaterasi, dimana pada setiap
segitiga dilakukan pengukuran jarak dan sudut. Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik
dasar teknik orde 4.
5) Pengukuran Situasi Topografi
Pengukuran situasi topografi adalah pengukuran yang bertujuan untuk memetakan
detil – detil kenampakan di permukaan bumi beserta naik – turun / tinggi – rendahnya
permukaan tanah.
Detil – detil kenampakan yang dimaksud meliputi jalan, sungai, rumah, sawah,
tegalan, taman, lapangan dan sebagainya. Pada PKL kali ini, detil kenampakan yang
dipetakan dibatasi hanya objek :
jalan,
sungai / saluran,
area permukiman penduduk ( termasuk kantor, tempat ibadah dan sosial, lapangan
tenis, lapangan voli, dan sejenisnya ),
lapangan sepakbola,
area persawahan / tegalan,
area kuburan,
area wisata dan kuliner (hotel, resto, agrowisata, dan sejenisnya), dan
batas administrasi desa dan dusun.
6) Sipat Datar (Waterpassing)
a) Tinggi Titik Terhadap Bidang Referensi
Tinggi suatu titik bereferensi / mengacu pada suatu bidang horizontal (bidang nivo /
bidang ekuipotensial). Bidang horizontal untuk referensi tinggi adalah permukaan air laut
rata-rata (mean sea level = MSL), yang merupakan salah satu bidang ekuipotensial yang
menyelimuti bumi. Pada bidang ini, semua garis gaya berat akan tegak lurus (vertikal) dari
padanya.
Ketinggian sebuh titik terukur secara vertikal ( mengikuti garis gaya berat) dari
bidang MSL hingga ke titik tersebut.
Gambar 11. Kedudukan titik terhadap MSL
b) Penentuan Beda Tinggi
Sipat datar ( waterpassing / spirit leveling ) merupakan metode untuk menentukan
beda tinggi antara2 titik, dengan prinsip garis bidik dibuat horizontal dan diarahkan pada 2
rambu yand didirikan tegak di atas 2 titik yang akan ditentukan beda tinggi 1 slag ( 1 kali
kedudukan waterpass )
Gambar 12. Waterpassing
Keterangan :
b adalah bacaan benang tengah pada rambu ukur belakang
m adalah bacaan benang tengah pada rambu ukur muka
Beda tinggi antara titik A dan B adalah : ZAB = b – m
c. Spesifikasi Teknik
Pengukuran dilaksanakan dengan membuat poligon utama dan poligon cabang.
1) Poligon Utama
a) Gunakan theodolit dengan ketelitian kurang dari 1”
b) Pengukuran sudut dengan dua seri rangkap
c) Selisih bacaan horisontal kurang dari 10”
d) Selisih sudut horisontal antar seri kurang dari 5”
e) Jarak diukur dengan EDM minimal 5 kali, perbedaan dari kelima bacaan kurang dari 10 mm.
Selisih bacaan muka dan belakang kurang dari 10 mm. Untuk hitungan digunakan rata-
ratanya.
f) Poligon diikatkan pada orde yang lebih tinggi.
g) Pengukuran dengan menggunakan poligon tertutup.
h) Penghitungan dengan metode bowditchdan digunakan format hitungan yang ada.
i) Asimut dihitung dengan minimal 2 titik ikat dengan cara pendekatan atau transformasi.
Salah penutup sudut tidak boleh lebih dari 10”n, n adalah jumlah titik poligon. Salah
penutup jarak tidak boleh lebih dari 1:6000.
2) Poligon Cabang
a) Poligon cabang harus terikat kedua ujungnya pada poligon utama.
b) Jika hanya satu ujung saja terikat, jumlah poligon tidak lebih dari 2 titik dan pengukuran
sudut-sudut secara 3 seri rangkap.
c) Jarak-jarak diukur dengan pita ukur baja atau steelon dan/atau EDM/ETS.
d) Pelurusan jarak dilakukan dengan jalon atau dipandu oleh garis bidik teropong theodolit
dengan maksimal 2 (dua) kali bentangan pita ukur. Pengukuran jarak dilaksanakan secara
pergi-pulang.
e) Jika memungkinkan, target (ujung paku) langsung dibidik. Jika tidak memungkinkan, target
memakai unting-unting yang digantung dengan kayu/bambu ataujalon sejumlah 3 buah;
dilarang membidik jalon sebagai target karena pengukuran sudut akan menjadi kasar;
f) Asimuth dihitung dengan minimal 2 titik ikat dengan cara pendekatan atau transformasi.
Salah penutup sudut tidak boleh lebih dari 15”n, n adalah jumlah titik poligon. Salah
penutup jarak tidak boleh lebih dari 1:3000.
g) Penghitungan dengan metode bowditch. Ukuran dan hitungan dituangkan dalam D.I 103 dan
D.I 104 (sesuai Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997).
d. Pengukuran Fotogrametrik
Pengukuran fotogrametrik adalah penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi
dengan cara tidak langsung melalui media foto udara. Foto udara yang dipakai diperoleh
melalui pemotretan udara dan diikatkan kepada titik kontrol di lapangan.
Selain untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran, metoda pengukuran
fotogrametrik menghasilkan titik dasar teknik orde 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan.
1) Titik kontrol tanah sepanjang perimeter diukur dengan pengamatan satelit dan dipasang
dengan interval tertentu pada batas areal pemetaan yang sejajar arah jalur terbang dan pada
batas areal pemetaan yang tegak lurus arah jalur terbang. Titik-titik ini kan menghasilkan
koordinat yang mempunyai ketelitian sama dengan titik dasar teknik orde 3.
2) Titik dasar teknik perapatan yang merupakan hasil pengukuran fotogrametri adalah hasil
proses orientasi absolut (setelah pelaksanaan Triangulasi Udara) yang tidak dinyatakan
keberadaan fisiknya di lapangan. Pada pengukuran fotogrametri, seluruh detail geografi yang
terdapat pada peta dasar pendaftaran dapat dinyatakan sebagai titik dasar teknik perapatan.
3) Titik-titik alam (natural point), titik buatan manusia (premark) yang dinyatakan keberadaan
fisiknya sesuai lampiran 1 dikelompokkan sebagai titik dasar teknik orde 4.
4) Dengan demikian, titik dasar teknik orde 3 hasil pengukuran fotogrametrik dapat merupakan
ikatan untuk titik dasar teknik orde 4 yang lain dan seluruh detail yang ada pada peta dasar
pendaftaran, misalnya ; persimpangan jalan, jembatan, tikungan sungai yang dapat
diidentifikasi di lapangan dapat dijadikan ikatan bagi pengukuran bidang tanah yang
berfungsi sebagai titik dasar teknik perapatan.
4. Penghitungan
a. Pengolahan Data
1) Pengolahan data sudut
a) Data sudut yang dipakai pada pengolahan data adalah rata-rata hasil pengukuran pada posisi
biasa dan luar biasa.
b) Bila pembacaan sudut vertikal pada theodolit yang dipakai adalah sudut zenith, kata-kata
Sudut Miring pada judul kolom dicoret dan berlaku pula sebaliknya untuk sudut miring.
c) Hitungan sudut ukuran mendatar dilakukan pada DI 103, dengan ketentuan ;
(1) Kolom 3,4,5 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran mendatar pada posisi biasa dalam
satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :
1 = M1 – B1, dimana ;
1 = sudut ukuran mendatar posisi biasa
M1 = bacaan sudut mendatar pada jurusan muka posisi
biasa
B1 = bacaan sudut mendatar pada jurusan belakang posisi
biasa
(2) Kolom 6,7,8 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran mendatar pada posisi luar biasa dalam
satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :
2 = M2 – B2, dimana ;
2 = sudut ukuran mendatar posisi biasa
M2 = bacaan sudut mendatar pada jurusan muka posisi
biasa
B2 = bacaan sudut mendatar pada jurusan belakang
posisi biasa
(3) Kolom 9,10,11 diisi dengan hasil hitungan rata-rata sudut ukuran mendatar dalam satuan
derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :
= ( 1 + 2 ) / 2, dimana ;
= sudut ukuran
(4) Kolom 18,19,20 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran vertikal dalam satuan derajat,
menit dan detik dengan ketentuan :
z = (z1 + z2) / 2, dimana ;
z = sudut vertikal
z1= sudut vertikal dalam posisi biasa
z2= sudut vertikal dalam posisi luar biasa
(5) Bila pembacaan sudut vertikal pada theodolit yang dipakai adalah sudut zenith, rata-rata
sudut miring (kolom 18,19 dan 20) dihitung dari ; m = 90 – z, dimana : m = sudut miring dan
z = sudut zenith.
2) Pengolahan data jarak
a) Hitungan jarak datar ukuran dilakukan pada DI 103.
b) Untuk perhitungan dalam sistem koordinat lokal, jarak yang dipakai pada perhitungan
jaringan titik dasar teknik adalah jarak datar ukuran.
c) Untuk perhitungan dalam sistem koordinat nasional, jarak yang dipakai pada perhitungan
jaringan titik dasar teknik adalah jarak pada bidang proyeksi.
d) Jarak pada ellipsoid referensi dihitung dengan ketentuan ;
S = (F) Su, dimana
S = jarak pada bidang ellipsoid
(F) = Sea Level Factor (diambil dari Tabel 2-1)
Su = jarak datar ukuran.
Contoh :
Tinggi rata-rata 2 titik di atas permukaan air laut dimana pada titik tersebut dilakukan
pengukuran jarak adalah 700 m dan jarak ukuran datar adalah 150 m.
S = 150 x 0,99992 = 149,988 m.
e) Jarak pada bidang proyeksi dihitung dengan ketentuan ;
D = K S, dimana ;
D = jarak pada bidang proyeksi
K = faktor skala titik (untuk jarak maksimal 150 m) atau faktor skala garis (untuk jarak maksimal
2 km)
f) Untuk jarak maksimal 150 m
K = 0,9999 + 1,237 (Xr.10-7)2, dimana ;
K = faktor skala titik
Xr = absis pendekatan (dalam sistem koordinat nasional) rata-rata dari 2 titik ukuran
g) Untuk jarak maksimal 2 km
K = 0,9999 + 0,4124 ((X1.10-7)2+(X2.10-7)2 + (X1 10-7)
(X2 10-7))
3) Pengolahan data sudut jurusan
a) Penentuan arah Utara geografi dapat dihitung dari 2 (dua) titik dasar teknik yang telah
diketahui koordinatnya.
b) Bila dilakukan pengamatan matahari, Utara geografi didapat dengan melakukan perhitungan
azimut suatu sisi berdasarkan tabel almanak matahari yang dikeluarkan oleh Institut
Teknologi Bandung atau Direktorat Topografi TNI-AD.
c) Bila dilakukan pengukuran azimut magnetis, Utara geografi diambil pendekatan sama
dengan azimut magnetis.
4) Pengolahan data jaringan titik dasar teknik
a) Pengolahan data jaringan dilakukan secara manual atau dijital.
b) Bila pengolahan data jaringan dilakukan dalam sistem koordinat nasional dan cakupan lokasi
pengukuran mencakup 2 (dua) zone TM-3, pengolahan data dilakukan untuk setiap zone
TM-3.c) Pengolahan data poligon dilakukan dengan cara memberikan koreksi sudut / jarak dari
jaringan titik dasar teknik.
d) Pengolahan data triangulasi dilakukan dengan cara memberikan koreksi sudut dari setiap
segitiga.
e) Pengolahan data trilaterasi dilakukan dengan cara memberikan koreksi jarak dalam setiap
segitiga yang didapat dari syarat geometris segitiga.
f) Bila pengukuran dilakukan dengan metode triangulasi, trilaterasi atau triangulaterasi, setiap
segitiga yang dibentuk harus memenuhi kriteria ketelitian di atas.
g) Pengolahan data poligon dilakukan dengan cara perataan Bowditch atau perataan kuadrat
terkecil dengan memakai DI. 104 (lampiran 37).
h) Data hitungan koordinat (poligon) (DI 104) terdiri dari 17 (tujuh belas) kolom, dan diisi
dengan ketentuan ;
(1) Kolom 1 diisi dengan nomor titik yang dipakai sebagai jaringan pengukuran.
(2) Kolom 2 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar dalam derajat (), dan disalin dari
kolom 9 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.
(3) Kolom 3 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar dalam menit (‘), dan disalin dari
kolom 10 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.
(4) Kolom 4 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar dalam detik (), dan disalin dari
kolom 11 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.
(5) Kolom 5 diisi dengan nilai koreksi sudut mendatar dalam satuan detik (“).
(6) Kolom 6 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan derajat ().(7) Kolom 7 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan menit (‘).
(8) Kolom 8 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan detik (“).
(9) Kolom 9 diisi dengan nilai jarak dalam satuan meter (m).
(10) Kolom 10 diisi dengan nilai perkalian jarak dengan sinus sudut jurusan.
(11) Kolom 11 diisi dengan nilai koreksi absis dalam satuan meter.
(12) Kolom 12 diisi dengan nilai perkalian jarak dengan cosinus sudut jurusan.
(13) Kolom 13 diisi dengan nilai koreksi ordinat dalam satuan meter (m).
(14) Kolom 14 diisi dengan nilai absis (X) dalam satuan meter (m).
(15) Kolom 15 diisi dengan nilai ordinat (Y) dalam satuan meter (m).
(16) Kolom 16 diisi dengan diisi dengan nomor titik yang dipakai sebagai jaringan pengukuran.
(17) Kolom 17 diisi dengan keterangan yang berhubungan dengan titik.
5) Pengolahan data lapangan, antara lain sebagai berikut:
a) Poligon Tertutup
Poligon tertutup adalah poligon yang titik awalnya sama dengan titik akhirnya.
Contoh berikut ini adalah poligon tertutup satu titik (terikat koordinat dan asimutnya).
Keterangan:
A dan B adalah
titik ikat yang
diketahui
koordinatnya.
A-B adalah
asimut A ke B
S0 adalah sudut
pengikatan
A-1 adalah
asimut A ke 1,
(A-1 = A-B +
S0 )
Gambar 13. Poligon Tertutup Terikat Satu Titik
1,....,4 adalah titik - titik yang akan ditentukan koordinatnya
S1,....., S5 adalah sudut dalam poligon
D1,...., d5 adalah jarak sisi poligon
Syarat geometri poligon tertutup yang harus dipenuhi adalah:
1. Syarat sudut:
S = (n-2). 1800 (apabila yang diukur sudut dalam)
S = (n+2). 1800 (apabila yang diukur sudut luar)
2. Syarat absis:
d sin = 0
3. Syarat ordinat:
d cos = 0
Untuk memenuhi syarat geometri tersebut, maka data pengukuran lapangan yang
tidak lepas dari kesalahan perlu dilakukan hitung perataan. Dalam Praktek Kerja Lapangan
kali ini, metode perataan kesalahan yang dipakai adalah metode Bowditch.
Selain cara pengikatan seperti yang telah diterangkan di atas, dalam penyelenggaraan
poligon guna pengadaan TDT orde 4 seringkali dihadapkan pada permasalahan, seperti untuk
memenuhi persyaratan pengikatan poligon terikat sempurna tidak begitu mudah dilaksanakan
di lapangan, Hal ini disebabkan keterbatasan dari titik –titik ikat orde 3 di lapangan, bahkan
sekalipun ada, jaraknya sekitar 1 hingga 2 Km. Oleh karena itu perlu ditempuh suatu cara
hitungan poligon tertutup terikat dua titik, dengan tetap memenuhi syarat geometri dan
ketelitian koordinat yang diinginkan.
Gambar 14. Poligon Tertutup Terikat Dua Titik
Dari gambar di atas, data poligon adalah sebagai berikut.
* sudut ukuran
* jarak ukuran
* koordinat awal
*koordinat akhir
Untuk menghitung koordinat titik poligon TP-1 s.d. TP-7 diperlukan asimut awal
poligon. Cara untuk memperolehnya adalah dengan membuat salib sumbu sementara (U,V),
dimana sumbu V berimpit dengan garis poligon yang akan dihitung asimutnya.
Dari gambar di atas, asimut awal poligon dapat dihitung dengan cara sebagai berikut.
1 = PQ – P
PQ = arc tan ((Xq – Xp)/(Yq – Yp))
P = arc tan (dU/dV)
Dalam hal ini:
dU = (di sin i) = d1 sin 1 + d2 sin 2 + d3 sin3+...... + d5 sin 5dV = (di cos i) = d1 cos 1 + d2 cos 2 + d3 cos3+...... + d5 cos 5keterangan :
1 s.d. 9 adalah asimut sisi poligon terhadap salib sumbu koordinat (x,y)
1 s.d. 9 adalah asimut sisi poligon terhadap salib sumbu koordinat (U,V)
1 = 00
2 = 1 + S1 – 1800
3= 2 + S2 – 1800
.......
9 = 8 + S8 – 1800
Setelah asimut 1 didapat, maka asimut poligon sisi lainnya (2 s.d. 9) dapat dihitung.
Demikian juga koordinat poligon dapat dihitung dengan Metode Bowditch.
b) Poligon Terbuka Terikat Sempurna
Poligon terbuka adalah poligon yang titik awalnya tidak sama dengan titik akhirnya.
Contoh berikut ini adalah poligon terbuka terikat sempurna (terikat koordinat dan
asimutnya).
Gambar 15. Poligon Terbuka Terikat Sempurna
Keterangan :
A dan B adalah titik ikat awal yang diketahui koordinatnya
P dan Q adalah titik ikat akhir yang diketahui koordinatnya
A-B adalah asimut A – B
PQ adalah asimut PQ
1,2,3 adalah titik-titik yang akan ditentukan koordinatnya.
S1,....,S5 adalah sudut dalam poligon
D1,...., d5 adalah jarak sisi poligon
Syarat geometri poligon terbuka terikat sempurna yang harus dipenuhi adalah:
(1). Syarat sudut:
S = ( akhir - awal) + (n).1800
(2). Syarat absis:
d sin = Xp - Xb
(3). Syarat ordinat:
d cos = Yp - Yb
Untuk memenuhi syarat geometri tersebut, maka data pengamatan perlu dilakukan
hitung perataan. Metode perataan kesalahan yang dipakai adalah metode Bowditch.
c) Poligon Terbuka Terikat Sepihak
Sekalipun metode ini tidak dianjurkan, bahkan perlu dihindari dalam pekerjaan
pemetaan, tetapi kondisi lapangan yang miskin titik ikat (termasuk dalam pengukuran
kadastral di tanah air) menuntut untuk dilaksanakan metode ini. Berikut ini adalah poligon
terikat sepihak (terikat koordinat / asimutnya).
Gambar 16. Poligon Terbuka Terikat Sepihak
Keterangan :
A dan B : adalah titik ikat yang diketahui koordinatnya
A-B : adalah asimut AB
S0, S1 : adalah sudut pengikatan poligon
A-1 : adalah asimut A1, ( A1 A-B + S0 )
1,2 : adalah titik-titik yang akan ditentukan koordinatnya
d1, d2 : adalah jarak sisi poligon
Koordinat titik 1 dan 2 dapat ditentukan tanpa melalui hitung perataan kesalahan dengan
rumus :
X1 = XA + d1. sin A-1
Y1 = YA + di. Cos A-1
X2 = X1 + d2. sin ( A-1 - 180 + S1 )
Y2 = Y1 + d2. cos ( A-1 - 180 + S1)
d) Pengolahan data hasil Pengukuran Situasi Topografi
Metode pengukuran yang digunakan adalah metode polar dengan unsur jarak dan
sudut, sebagai berikut.
Keterangan :
BPN – 056, 057 adalah titik kontrol ( TDT ) yang mempunyai koordinat ( X, Y, Z )
a titik detil yang akan dipetakan
S adalah sudut, yang merupakan selisih bacaan horizontal arah a dan arah BPN - 056
d adalah jarak tempat berdiri teodolit dan titik detil. Jika diukur secara optis, maka : d = 100 (
ba – bb ) cos2h
Sehingga rumus untuk menghitung koordinat titik a adalah :
Xa = X057 + d. Sin ( 057-056 + Hz.a – Hz.056 )
Ya = Y057 + d. Cos ( 057-056 + Hz.a – Hz.056 )
Za = Z057 + d. Tan h + ti – bt
Gambar 17. Pengukuran terhadap situasi / detail
keterangan :
057-056 adalah asimut 057 – 056.
Hz.a adalah bacaan piringan horizontal arah detil a.
Hz.056 adalah bacaan piringan horizontal arah BPN – 056.
H adalah heling teropong.
ti adalah tinggi instrumen teodolit terhadap titik kontrol ( TDT ).
Bt adalah tinggi target, yang merupakan bacaan benang tengah jika dipergunakan rambu
ukur.
Cara pengukuran diatas disebut juga cara tachimetri.
Dalam memilih titik detil, terdapat ketentuan :
(1). Jalan dengan lebar 3 m, titik yang diambil adalah 1 titik ditengah – tengah jalan,
sehingga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis tunggal.
(2). Jalan dengan lebar 3 m, titik yang diambil adalah 2 titik dipinggir jalan,
sehingga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis tunggal.
(3). Sungai / saluran dengan lebar 3 m, titik yang diambil adalah 1 titik ditengah –
tengah sungai, sehinnga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis tunggal
yang diberi tanda aliran.
(4). Sungai / saluran dengan lebar 3 m, titik yang diambil adalah 2 titik ditepi tebing -tebing
sungai, sehinnga nantinya akan tergambar di peta sebagai garis ganda
yang ditengahnya diberi tanda aliran.
(5). Area / lapangan, titik yang diambil adalah titik yang merupakan delineasi area
yang dimaksud, sehinnga tergambar di peta akan mewakili bentuk areanya.Jika area
tersebut sangat luas maka perlu dilakukan pengukuran titik – titik tinggi yang menyebar di
dalam area ( pengukuran griding ).
e) Pengukuran Zijlag
Jika pengambilan detil menemui kesulitan akibat adanya halangan, maka dapat
ditempuh pengukuran zijlag.
Gambar 18. Pengukuran zijlag
Keterangan :
BPN – 1 dan BPN – 2 adalah titik ikat yang diketahui koordinatnya.
T adalah titik zijlag yang diadakan dengan cara tachimetri sebagaimana pengukuran titik
detil.
2-1 adalah asimut 2 – 1
S0 adalah sudut zijlag
2-T adalah asimut zijlag ( 2-T = 2-1 + S0 )
D adalah jarak zijlag
a adalah titik detil
S1 adalah sudut pengikatan detil
d1 adalah jarak pengikatan detil
f) Waterpassing Memanjang
Gambar berikut adalah waterpassing memanjang untuk menentukan tinggi titik-titik
yang dilalui.
Gambar 19. Pengukuran waterpassing memanjang
Keterangan :
b dan m masing-masing adalah bacaan benang tengah rambu belakang dan muka.
A dan B adalah titik-titik referensi yang mempunyai angka tinggi.
1, 2 dan 3 adalah titik-titik yang akan ditentukan ketinggiannya.
Beberapa catatan :
(1) Dalam pengukuran, selain daripada benang tengah ( bt ), dibaca juga benang atas ( ba ) dan
benang bawah ( bb ).
(2) Pembacaan ba dan bb digunakan untuk menghitung jarak slag, guna hitung perataan.
(3) Jumlah slag dibuat genap dan kedua rambu ditempatkan selang-seling.
(4) Dalam pengamatan, alat waterpass ditempatkan kira-kira di tengah-tengah kedua rambu.
(5) Pengukuran jalur dilaksanakan pergi dan pulang.
(6) Toleransi pengukuran : beda tinggi pergi dan pulang pada tiap-tiap slag tidak lebih dari 2
mm.
Tahapan hitung perataan :
(1) Jumlahkan beda tinggi tiap-tiap slag : Z = ZA1 + Z12 + Z23 + Z3B
(2) Hitung selisih tinggi titik-titik referensi : Z AB = ZB - ZA
(3) Kurangkan Z terhadap Z AB, sehingga didapatkan salah penutup tinggi : fZ = Z - ZAB
(4) Hitung setiap jarak slag, yaitu jarak arah belakang ditambah jarak muka, atau d = 100 ( ba –
bb ) belakang + ( ba – bb ) muka (5) Jumlahkan jarak slag ( d )
(6) Koreksikan fZ pada tiap-tiap slag sebanding dengan jarak-jarak slag : kZi = di / d. ( -fZ )
(7). Hitung ketinggian titik 1, 2, 3 :
Z1 = ZA + ZA1 + dA1 / d. ( - fZ )
Z2 = Z1 + Z12 + d12 / d. ( - fZ )
Z3 = Z2 + Z13 + d23 / d. ( - fZ )
Cek : ZB = Z3 + Z3B + d3B / d. ( - fZ )
Jika hitungan benar, maka ZB hasil hitungan sama dengan jarak ZB data referensi .
g) Waterpassing Kring
Gambar berikut adalah waterpassing kring untuk menentukan tinggi titik-titik yang
dilalui.
Gambar 20. Pengukuran waterpassing kring
Keterangan :
A adalah titik referensi yang mempunyai angka tinggi.
1, 2, dan 3 adalah titik yang akan ditentukan ketinggiannya.
Tahapan hitung perataan :
(1) Jumlahkan beda tinggi tiap-tiap slag : Z = ZA1 + Z12 + Z23 + Z3A
(2) Seharusnya Z = 0. Jika tidak, maka terdapat salah penutup tinggi :
fZ = Z(3) Hitung setiap jarak slag, yaitu jarak arah belakang ditambah jarak muka, atau
d = 100 ( ba – bb ) belakang + ( ba – bb ) muka (4) Jumlahkan jarak slag ( d ).
(5) Koreksikan fZ pada tiap – tiap slag sebanding dengan jarak – jarak slag :
kZ i = d1 / d. ( - fZ ).
(6) Hitung ketinggian titik 1, 2, dan 3 :
Z1 = ZA + ZA1 + dA1 / d. ( - fZ )
Z2 = Z1 + Z12 + d12 / d. ( - fZ )
Z3 = Z2+ Z23 + dA1 / d. ( - fZ )
Cek : ZA = Z3 + Z3A + d3A / d. ( - fZ )
jika hitungan benar, z a hasil hitungan sama dengan z a data referensi.
h) Triangulasi
(1) Hitung besarnya koreksi horizon di titik A, dengan ketentuan;
A = 360o
(2) Hitung besarnya koreksi sudut untuk setiap segitiga.
(3) Hitung besarnya jarak datar untuk setiap segitiga, dengan ketentuan ;
a2 = b2 + c2 - 2bc cos b2 = a2 + c2 - 2ac cos
c2 = a2 + b2 - 2ab cos , dimana :
a = panjang sisi AB
b = panjang sisi AC
c = panjang sisi BC
= sudut BAC
= sudut ABC
= sudut BCA
(4) Hitung koordinat titik 5 dengan mengikatkan dari titik 0901123 dan 0901125.
(5) Dengan mengambil titik 5 dan 0901125 sebagai titik ikat, hitung koordinat titik A.
(6) Hitung koordinat titik lainnya dengan mengambil titik yang telah diketahui koordinatnya
sebagai titik ikat.
i) Trilaterasi
(1) Dengan data jarak datar ukuran, hitung besarnya sudut di setiap segitiga.
(2) Hitung besarnya koreksi horizon di titik A.
(3) Hitung koordinat titik triangulasi dengan cara ikatan per segitiga (sama dengan yang dilakukan
pada triangulasi).
j) Triangulaterasi
Hitungan koordinat dilakukan secara perataan kuadrat terkecil (least square
adjustment).
5. Pembuatan Peta Dasar Teknik
Setiap titik dasar teknik yang telah diukur dan dihitung harus dipetakan pada Peta
Dasar Teknik (pasal. 8). Peta dasar teknik dibuat berdasarkan peta topografi atau peta lain.
Peta Dasar Teknik mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Peta dasar teknik dipakai sebagai gambaran penyebaran jaringan titik dasar teknik dalam satu
cakupan wilayah, penetapan titik dasar teknik yang akan dipakai sebagai titik pengikatan,
perencanaan perapatan titik dasar teknik dan dipakai sebagai media pembagian lembar peta
dasar pendaftaran / peta pendaftaran.
b. Dalam hal pendaftaran tanah sporadik, segera setelah petugas pengukuran menerima perintah
pengukuran (pasal 79 butir d), petugas pengukuran diharuskan memeriksa keberadaan sarana
peta dan titik dasar teknik di sekitar bidang tanah tersebut dengan cara melihat letak lokasi
bidang tanah yang akan diukur pada peta dasar teknik, peta dasar pendaftaran, peta
pendaftaran dengan titik dasar teknik yang tersedia di lapangan. Untuk selanjutnya dilakukan
evaluasi ;
1) Apakah pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua) titik dasar teknik.
2) Titik dasar teknik yang akan digunakan sebagai titik kontrol dan titik ikat.
3) Penggunaan sistem koordinat nasional atau sistem koordinat lokal.
c. Dalam hal pendaftaran tanah sistematik, segera setelah lokasi pendaftaran tanah sistematik
ditetapkan, satgas pengukuran dan pemetaan merencanakan penempatan titik dasar teknik
orde 4 yang akan diikatkan kepada 2 (dua) buah titik dasar teknik nasional yang berada di
sekitar lokasi pendaftaran tanah sistematik. Perencanaan penempatan titik dasar teknik
dilakukan dengan mendistribusikan titik dasar teknik orde 4 secara merata di lokasi
pendaftaran tanah sistematik dengan melihat jumlah bidang tanah yang akan didaftar.
6. Teknis Pembuatan Peta Dasar Teknis
a. Titik dasar teknik dipetakan pada peta topografi atau peta lain.
b. Peta dasar teknik dibuat secara manual atau dijital.
c. Titik dasar teknik orde 0,1,2 dan 3 dipetakan pada peta topografi / peta rupa bumi / peta lain
skala 1:25.000 atau lebih kecil.
1) Bila dipetakan pada peta topografi / peta rupa bumi, titik dasar teknik dipetakan berdasarkan
koordinat geografis.
2) Bila dipetakan pada peta lain, titik dasar teknik dipetakan berdasarkan nilai koordinat
nasional.
d. Titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan dipetakan pada peta lain dengan
skala 1:10.000 atau lebih besar berdasarkan lokasi relatif titik dasar teknik tersebut terhadap
objek/detail yang ada.
e. Untuk keperluan dokumentasi dan pemeliharaan, selain harus memetakan titik dasar teknik
pada skala yang disebutkan di atas, Kantor Pertanahan membuat peta dasar teknik dalam
suatu cakupan wilayah administrasi Kabupaten/Kodya pada skala 1:20.000 dalam sistem
koordinat nasional yang memetakan titik dasar teknik orde 0,1,2,3,4 dan titik dasar teknik
perapatan pada peta lain.
f. Dalam hal pendaftaran tanah sporadik, apabila cakupan peta dasar teknik yang ada masih
memungkinkan tidak perlu dibuat dalam lembar yang baru, melainkan hanya memetakan
titik tersebut ke dalam lembar peta dasar teknik yang telah ada Bila hal ini tidak mungkin
dilakukan, lembar peta dasar teknik baru perlu dipersiapkan.
g. Dalam hal pendaftaran tanah sistematik, peta dasar teknik dibuat dalam satu lembar baru
yang mencantumkan seluruh titik dasar teknik yang ada di lokasi pendaftaran tanah
sistematik.
h. Peta Dasar Teknik disalin dari hasil penggambaran diatas kertas putih. Adapun ketentuannya
adalah:
1) Bila lebih dari satu lembar yang disalin, maka dilakukan edge matching dengan cara
pergeseran rata-rata.
2) Ukuran Peta Dasar Teknik adalah 103 x 86 cm yang dibatasi garis penuh yang didalamnya
terdiri atas:
a) Muka peta: ukuran muka peta adalah 80 cm x 80 cm.
b) Kotak keterangan: bagian yang berisi judul, keterangan, legenda, dan pengesahan dengan
ukuran 15 cm x 80 cm. Kotak keterangan dibagi menjadi delapan kotak yang berurutan dari
atas ke bawah, yaitu:
(1) Kotak judul, arah utara dan skala, dengan ukuran 15 cm x 14 cm.
(2) Kotak lokasi, dengan ukuran 15 cm x 5 cm.
(3) Kotak penunjuk lembar peta, dengan ukuran 15 cm x 28 cm.
(4) Kotak legenda, dengan ukuran 15 cm x 20 cm.
(5) Kotak jumlah lembar peta, dengan ukuran 15 cm x 5 cm.
(6) Kotak instansi pembuat, dengan ukuran 15 cm x 3 cm.
(7) Kotak pengesahan, dengan ukuran 15 cm x 8 cm.
(8) Kotak identifikasi pembuat, dengan ukuran 15 cm x 2 cm.
c) Jarak antara bidang gambar dengan kotak keterangan adalah 2 cm dan jarak antara bidang
gambar / kotak keterangan dengan batas tepi peta adalah 3 cm.
i. Cara pengisian Peta Dasar Teknik
1) Batas format peta ( diluar bidang gambar dan kotak keterangan ).
a) Disebelah kiri atas bidang gambar ditulis nama propinsi dengan tinggi huruf 1,0 cm dan tebal
huruf 1,0 mm.
b) Disebelah tengah atas bidang gambar ditulis nama kabupaten dengan tinggi huruf 1,0 cm dan
tebal huruf 1,0 mm.
c) Disebelah kanan atas kotak keterangan ditulis nomor lembar peta dengan tinggi huruf 0,5 cm
dan tebal huruf 0,5 mm.
d) Disebelah bawah bidang gambar ditulis nomor grid yang berupa nilai absis (x), penulisan
dilakukan dari bawah keatas dengan tinggi huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.
e) Disebelah kiri bidang gambar ditulis nomor grid yang berupa nilai ordinat (y), penulisan
dilakukan dari kiri ke kanan dengan tinggi huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.
f) Nilai grid ( absis dan ordinat ) yang dicantumkan hanya nilai grid pada permukaan peta,
sehingga pojok-pojok bidang gambar tidak perlu diberi nilai grid.
2) Muka peta
a) Di tepi kiri dibuatkan tanda grid setiap selang 10 cm berupa garis lurus dari kiri ke kanan
dengan tebal 0,1 mm dan panjang 0,3 cm.
b) Di tepi bawah dibuatkan tanda grid setiap selang 10 cm berupa garis lurus dari kiri ke kanan
dengan tebal 0,1 mm dan panjang 0,3 cm.
c) Didalam muka peta dengan selang 10 cm dibuatkan tanda grid berbentuk silang dengan tebal
0,1 mm dan ukuran silang 1 cm x 1 cm.
d) Detil-detil ( Titik Dasar Teknik, sungai, jalan, jembatan, batas administrasi, bangunan )
digambar dengan tebal garis 0,2 mm.
3) Kotak keterangan
a) Kotak judul dan skala;
(1) Judul yaitu “ PETA DASAR TEKNIK ” ditulis dengan tinggi huruf 1,0 cm dan tebal huruf
1,0 mmditulis pada bagian atas.
(2) Pada bagian tengah digambar arah utara.
(3) Dibawah arah utara ditulis skala numeris peta dengan tinggi huruf 0,3 cm dan tebal huruf 0,3
mm.
(4) Dibawah skala numeris, digambar skala grafis dengan interval 1 cm sepanjang 5 cm.
b) Kotak lokasi;
(1) Baris pertama ditulis kecamatan dengan tinggi huruf 0,5 cm dengan tebal huruf 0,5 mm.
(2) Baris kedua ditulis nama dusun dan desa/kelurahan dengan tinggi huruf 0,5 cm dan tebal
huruf 0,5 mm.
c) Kotak penunjuk lembar peta;
(1) Pada bagian atas ditulis judul kotak yaitu “ PETUJUK LEMBAR PETA “dengan tinggi huruf
0,5 cm dan tebal huruf 0,5 mm.
(2) Pada bagian tengah ditulis diagram lembar peta dengan ukuran 4,5 cm x 4,5 cm yang terdiri
dari 9 bujur sangkar yang masing-masing berukuran 1,5 cm x 1,5 cm dengan tebal garis 0,2
mm.
(3) Bujur sangkar yang terletak ditengah menunjukkan lembar peta dasar pendaftaran
bersangkutan diarsir dengan interval 0,2 mm.
(4) Bujur sangkar tersebut diberi nomor lembar peta topografi secara keseluruhan, ditulis pada
baris pertama dengan tinggi huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.
d) Kotak legenda
(1) Pada bagian atas ditulis judul kotak yaitu “ LEGENDA “ dengan tinggi huruf 0,5 cm dan
tebal huruf 0,5 mm.
(2) Selanjutnya diisi simbol-simbol kartografi sesuai PMNA/KBPN No.3/1997 dengan tinggi
huruf 0,2 cm dan tebal huruf 0,2 mm.
e) Kotak instansi pembuat, pada kotak ini digambar logo BPN dan dibawahnya ditulis: Badan
Pertanahan Nasional dengan tinggi huruf 0,6 cm dan tebal huruf 0,6 mm.
f) Kotak pengesahan
Pada bagian atas ditulis tempat dan tanggal pengesahan dengan tingg huruf 0,3 cm dan tebal
huruf 0,3 mm.
Dibawah tempat dan tanggal pengesahan ditulis:
Untuk penggunaannya,
Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten……………….
…………………………..
NIP………………………
g) Kotak identifikasi pembuat
Kotak untuk menuliskan Nama Program Studi sebagai berikut:
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
TAHUN AKADEMIK 200…/ 200…
B. Pemetaan Situasi Topografi
Peta situasi topografi menyajikan segala kenampakan yang terdapat pada
permukaan bumi, beserta topografi tanahnya yang digambarkan dengan garis – garis kontur.
Setiap pemetaan akan mempunyai tujuan, sehingga kenampakan diekstraksi menjadi lebih
sederhana ( terkompilasi ) untuk menjaga agar peta tetap informatif.
Tahapan pemetaan :
1. Siapkan format Peta Dasar Teknik dalam skala 1 : 2.500
2. Plotkan titik – titik kontrol ( TDT ) sesuai PMNA / KBPN No. 3 / 1997. Dibawah nama TDT
diberi garis dan dibawah garis diberi angka tinggi ( 3 desimal ).
Contoh : STPN – 055
254.789
3. Plotkan detil – detil yang diukur, dan berilah angka tingginya ( 2 desimal ).
Contoh : 267.45
Pada angka tersebut tanda koma ( , ) angka tinggi ditempatkan pada titik
pengeplotan.
4. Tarik garis yang menghubungkan titik – titik tersebut, sehingga terganbar bentuk detilnya.
Detil memanjang seperti jalan / sungai / saluran akan tergambar dengan jelas beserta
namanya ( jika ada ). Demikian juga detil meluas ( area ), seperti permukiman, lahan
pertanian, kuburan, lapangan bola, area kuliner / wisata akan tergambar sesuai dengan bentuk
area di lapangan. Beri nama area – area dengan nama wilayah administrasinya. Contoh :
Dusun Jetisan.
5. Plotkan detil – detil ketinggian yang lain ( hasil pengukuran griding ).
6. Tarik garis konturnya dengan interval 1,25 m.
7. Pada detil – detil yang dipetakan beri simbol – simbol sebagai berikut,
Gambar 21. Simbolisasi Peta Topografi
C. Buku Tugu
1. Pembuatan Buku Tugu
a. Buku tugu terdiri dari deskripsi, sketsa lokasi, daftar koordinat dan foto titik dasar teknik
yang dibuat pada DI 100, 100A, 100B, 100C untuk titik dasar teknik orde 2, DI 101, 101A,
101B, 101C untuk titik dasar teknik orde 3 dan DI 102, 102A untuk titik dasar teknik orde 4.
b. Buku Tugu dibuat dalam rangkap 3 (tiga) untuk titik dasar teknik orde 2,3 dimana dan
disimpan masing-masing 1 (satu) rangkap oleh Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah
dan Kantor Pertanahan dan dibuat dalam rangkap 1 (satu) untuk titik dasar teknik orde 4 serta
disimpan oleh Kantor Pertanahan.
c. Untuk memudahkan pendokumentasian dan pencarian buku tugu, buku tugu dikumpulkan
setiap 50 (lima puluh) titik dasar teknik dan dijilid dengan sistem lepas untuk setiap daerah
administrasi tingkat II dimana cover (halaman depan) lebih tebal dari lembaran buku tugu
dan pada halaman depan kumpulan buku tugu ini dicantumkan rekapitulasi titik dasar teknik
pada kumpulan buku tersebut dalam bentuk tabel, yang memuat antara lain ; nomor titik
dasar teknik, Timur (X), Utara (Y), Lintang (L), Bujur (B) dan zone TM-3.
d. Bila dikemudian hari, daerah administrasi (Propinsi atau Kabupaten / Kodya) titik dasar
teknik berubah (mengalami pemekaran), buku tugu yang tersimpan di Kantor Wilayah dan
atau Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya daerah administrasi lama diserahkan kepada
Kantor Wilayah dan atau Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya daerah administrasi
baru dengan suatu Berita Acara Serah Terima.
e. Dengan diserahkannya buku tugu tersebut, pemeliharaan dan perawatan titik dasar teknik
(pasal 11 ) menjadi tanggung jawab Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya daerah
administrasi yang baru.
f. Segera setelah menerima penyerahan buku tugu, Kantor Pertanahan dan atau Kantor
Wilayah penerima diharuskan memperbaharui data yang terdapat pada buku tugu, yaitu :
Propinsi, Kabupaten / Kodya, Kecamatan, Desa dan nomor titik. Data tersebut cukup dicoret
dengan tinta hitam dan dituliskan data baru sesuai dengan kondisi setelah terjadi perubahan
daerah administrasi dan nomor titik dasar teknik disesuaikan dengan kode administrasi dan
nomor urut baru.
2. Format Buku Tugu
Dalam hal ini kelompok 4 akan menjelaskan Buku Tugu untuk Titik Dasar Teknik Orde 3
dan 4 saja, sesuai dengan pembebanan tugas pada kelopok 4.
a. DI 102
DI 102 (lampiran 34) terdiri dari 10 (sepuluh) uraian. DI 102 diisi dengan :
01. DESA/KEL
Kata DESA dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kelurahan, dan kata KELURAHAN
dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Desa. Penulisan nama Desa / Kelurahan dalam
huruf besar.
Contoh :
01. DESA/KEL : CEMPAKA BARU atau
01. DESA/KEL : TELAGA ASIH
02. KECAMATAN
Ditulis dengan nama Kecamatan dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf
besar.
Contoh :
02. KECAMATAN : KEMAYORAN
03. KAB/KOD
Kata KAB dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kodya, dan kata KOD dicoret jika titik
tersebut berada di wilayah Kabupaten. Penulisan nama Kabupaten / Kodya dalam huruf
besar.
Contoh :
03. KAB/KOD : JAKARTA PUSAT atau
03. KAB/KOD : BEKASI
04. PROPINSI
Ditulis dengan nama Propinsi dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf besar.
Contoh :
04. PROPINSI : DKI JAKARTA
05. SKETSA DETAIL LOKASI TITIK
Ditulis dengan peta detail (tidak dalam skala) lokasi titik dasar teknik, arah Utara dan
hubungannya dengan letak relatif titik tersebut dengan objek-objek yang ada sekitarnya serta
sesuai dengan uraian kenampakan yang menonjol (butir 06) pada DI 100 atau DI 101.
06. FOTO TITIK DASAR TEKNIK
Dilengkapi dengan foto keberadaan titik dasar teknik yang diambil dari salah satu arah mata
angin dengan latar belakang yang sedapat mungkin dapat menggambarkan lokasi titik
tersebut di lapangan.
07. DIBUAT OLEH
Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik
dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup
dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik
dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kataKANWIL
BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan,
cukup dicantumkan kata-kataKANTOR PERTANAHAN
KABUPATEN .........atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik
dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan
nama badan hukumnya.
Contoh :
07. DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR
08. TGL. PEMASANGAN
Dilengkapi dengan tanggal pemasangan titik dasar teknik, dan dinyatakan dengan angka,
yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun. Contoh :
08. TGL. PEMASANGAN : 2-2-1997
09. DIPERIKSA OLEH
Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar
teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional.
Contoh :
09. DIPERIKSA OLEH : Ir.Asman
10. TGL PEMERIKSAAN
Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa,
dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.
Contoh :
10. TGL PEMERIKSAAN : 12-3-1997
b. DI 102 A
DI 102 A (lampiran 35) terdiri dari 20 (dua puluh) uraian. DI 102 A diisi dengan :
01. ALAT YANG DIGUNAKAN
Ditulis dengan merk, type dan jenis alat yang dipakai pada saat pengukuran titik dasar
teknik.
Contoh :
01. ALAT YANG DIGUNAKAN : WILD – T2
02. NOMOR SERI ALAT
Ditulis dengan nomor seri alat dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.
Contoh :
NOMOR SERI ALAT : 4119
03. METODE PENGAMATAN
Ditulis dengan metode yang dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.
Contoh :
03. METODE PENGAMATAN : POLIGON
04. TGL PERHITUNGAN
Ditulis dengan tanggal selesainya dilakukan perhitungan koordinat titik dasar teknik, dan
dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.
Contoh :
04. TGL PERHITUNGAN : 24-2-1997
06. TIMUR (X)
Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya
perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai absis mencakup nilai desimal,
penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan
metris yang dipakai.
Contoh :
05. TIMUR (X) : 34.822,290 meter
07. UTARA (Y)
Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah
dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai ordinat mencakup nilai
desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan
satuan metris yang dipakai.
Contoh :
06. UTARA (Y) : 650.460,132 meter
08. ZONE
Ditulis dengan nomor zone TM-3 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan Lampiran
5.
Contoh :
07. ZONE : 49.2
09. KONV.GRID
Ditulis dengan besarnya nilai konversi grid di titik dasar teknik yang bersangkutan dalam
sistem koordinat nasional dan dinyatakan dalam derajat, menit dan detik dan apabila nilai
nilai ini juga mencakup angka desimal, penulisan angka desimal cukup dilakukan sebanyak 5
(lima) angka desimal dan bila nilai konversi grid tidak diketahui cukup dicantumkan -----.
Contoh :
01. KONV.GRID : 0 12’ 0,51340’’ atau
08. KONV.GRID : ----
10. FAKTOR SKALA
Ditulis dengan besarnya nilai faktor skala titik pada titik dasar teknik yang bersangkutan
dalam sistem koordinat nasional, dan dinyatakan dalam 4 (empat) angka desimal.
Contoh :
09. FAKTOR SKALA : 0.9999
11. SKALA 1:10.000
Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada peta skala 1:10.000 dalam sistem
koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.
Contoh :
10. SKALA 1:10.000 : 49.2-01.062
12. SKALA 1:2.500
Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada peta skala 1:2.500 dalam sistem
koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6 .
Contoh :
11. SKALA 1:2.500 : 49.02-01.062-02
13. SKALA 1:1.000
Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada peta skala 1:1.000 dalam sistem
koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.
Contoh :
12. SKALA 1:1.000 : 49.2-01.062-02-7
14. LINTANG
Ditulis dengan nilai lintang (L) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit
dan detik dan ditambahkan huruf U bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada
Lintang Utara, atau ditambahkan huruf S bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada
Lintang Selatan. Bila nilai lintang mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai
dengan 5 (lima) angka desimal.
Contoh :
13. LINTANG : 7 40’ 50,44654’’ U
15. BUJUR
Ditulis dengan nilai bujur (B) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit dan
detik dan ditambahkan huruf T bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Bujur
Timur. Bila nilai bujur mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 5
(lima) angka desimal.
Contoh :
14. BUJUR : 111 0’ 10,24547’’ T
16. TINGGI ELLIPSOID
Ditulis dengan ketinggian titik dasar teknik di atas permukaan ellipsoid dan dinyatakan dalam
satuan metrik. dan bila ketinggian titik dasar teknik diketahui di atas permukaan air laut rata-
rata (MSL), nilai ketinggian ini harus ditambahkan. Bila nilai tinggi mencakup nilai desimal,
penulisan cukup dilakukan sampai dengan 4 (empat) angka desimal.
Contoh :
15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter atau
15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter
TINGGI MSL : 324,4325 meter
Uraian 5 s/d. 15 dilengkapi dengan ------bila koordinat titik dasar teknik tersebut dinyatakan
dalam sistem koordinat lokal.
17. TIMUR (X)
Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya
perhitungan dalam sistem koordinat lokal. Bila nilai absis mencakup nilai desimal, penulisan
cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang
dipakai.
Contoh :
16. TIMUR : 500.314,943 meter
18. UTARA (Y)
Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah
dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat lokal. Bila nilai ordinat mencakup nilai
desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan
satuan metris yang dipakai.
Contoh :
17. UTARA : 9.151.003,410 meter
Uraian 16 s/d. 17 dilengkapi dengan “------“bila koordinat titik dasar teknik dinyatakan
dalam sistem koordinat nasional.
19. DIBUAT OLEH
Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila
titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup
dicantumkan kata-kataDIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik
dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL
BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan,
cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN
KABUPATEN .........atauKANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik
dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan
nama badan hukumnya.
Contoh :
DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR
20. DIPERIKSA OLEH
Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar
teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional.
Contoh :
21. DIPERIKSA OLEH : Ir.Asman
21. TGL PEME`RIKSAAN
Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa,
dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.
Contoh :
22. TGL PEMERIKSAAN : 12-3-1997
Pada kolom nomor titik yang terletak pada kanan atas DI 100, DI 101, DI 100 A, DI
101 A, DI 100 B, DI 101 B, D.I 100 C, DI 101 C, DI 102, D.I 102 A dicantumkan nomor
titik, yang dituliskan secara utuh dan bersifat unik/tunggal.
Setelah hitungan memenuhi syarat, TDT diplot pada Peta Dasar Teknik.
Pengeplotan dapat dilakukan secara manual-analog atau digital. Ketentuan yang harus
dipenuhi dalam pembuatan Peta Dasar Teknik secara manual-analog sebagai berikut:
a. Penggambaran menggunakan kertas crumcut;
b. Penandaan grid menggunakan maal-grid tiap 10 cm dengan cara diprick;
c. Skala yang digunakan 1: 2.500 atau 1 : 5.000 atau 1 : 10.000 ( menyesuaikan dengan luas
area yang dipetakan, sehingga tercakup pada satu lembar peta );
d. Simbol TDT orde 4 nasional lingkaran terblok hitam berdiameter 3 mm. Simbol TDT orde 4
lokal, lingkaran kosong berdiameter 3 mm. Simbol TDt orde 3: segitiga dengan panjang sisi 3
mm. Simbol grid, simbol-simbol detil alam dan buatan manusia, batas-batas administrasi
seperti batas desa, kecamatan dan pripinsi digambar sesuai PMNA/KBPN No. 3/ 1997;
e. Titik-titik Dasar Teknik digambar di atas kertas gambar lengkap dengan penomorannya.
Deti-detil itu digambarkan dengan menggunakan tacken scaal dan stick-passer;
f. Setelah peta Titik Dasar Teknik tergambar, selanjutnya gambar itu dipindahkan ke kertas
drafting film lapisan dua muka;
g. Secara rinci formta peta dapat dilihat pada Lampiran I.
Dalam penggambaran Peta Dasar Teknik yang dilengkapi dengan garis kontur,
sangat dianjurkan menggunakan cara digital dengan software AutoCAD.
D. Peta Topografi / kontur
Salah satu cara untuk membuat peta garis tinggi (peta kontur) yaitu dengan cara
menarik garis yang mempunyai ketinggian yang sama dari data penyebaran titik-titik
ketinggian pada suatu daerah. Penyebaran titi-titik ketinggian tersebut diukur secara terestrial
dengan mengikatkan salah satu titik ketinggian tertentu dan titik ketinggian tersebut dihitung
dari ketinggian di atas permukaan laut. Titik ketinggian tertentu tersebut dapat berupa titik
trianggulasi, titik dasar teknik (TDT), titik puncak bukit, titik pada garis pantai sebagai titik
nol (0 m) atau titik tertentu yang mempunyai nilai ketinggian. Dalam pelaksanaan
pengukuran biasanya yang digunakan sebagai peta dasar untuk acuan ketinggian tempat
adalah peta topografi atau peta rupa bumi. Karena kedua macam peta tersebut adalah peta
yang lengkap yang memperlihatkan unsur-unsur alami dan unsur-unsur buatan manusia di
atas permukaan bumi termasuk titik-titik ketinggian dan juga kontur-kontur dengan
memperhitungkan skala peta yang digunakan.
Peta kontur adalah merupakan peta yang menggambarkan bentuk-bentuk
medan/relief dari suatu wilayah yang digambarkan dengan garis yang mempunyai ketinggian
yang sama (kontur). Karena kontur merupakan garis yang menghubungkan titik-titik
dipermukaan bumi yang mempunyai ketinggian yang sama, maka antara garis kontur yang
satu dengan kontur yang lain tidak akan saling berpotongan.
Dalam pembuatan peta kontur dapat dari data hasil pengukuran secara terestrial
seperti dikemukakan di atas, tetapi juga dapat dilakukan dari hasil fotogrametris. Sebagai data
dari praktikum acara ini adalah berupa penyebaran dari titik-titik ketinggian hasil pengukuran
secara terestrial dan pola aliran sungai yang ada di wilayah tersebut. Sedang titik ketinggian
sendiri adalah titik ketinggian dipermukaan bumi yang dihitung berdasarkan ketinggian di
atas permukaan laut. Sedangkan harga nol (awal) ketinggian permukaan laut dihitung atau
dimulai dari titik atau garis rata-rata antara pasang tertinggi dan surut terendah permukaan air
laut pada pantai setempat. Banyak cara untuk menentukan titik ketinggian suatu tempat
antara lain dengan alat altimeter, GPS, mengukur langsung dengan alat theodolit dari titik nol
dipantai atau menggunakan data yang sudah ada titik-titk ketinggiannya yaitu peta topografi
atau peta rupa bumi. Titik ketinggian tempat yang ada pada peta ini berupa titik trianggulasi,
puncak bukit atau puncak gunung, titik ketinggian tempat tertentu yang dianggap penting
dan juga menggambarkan garis kontur. Dari titik ketinggian yang ada tersebut, dapat
digunakan sebagai titik ikat awal dari pengukuran yang dilaksanakan.
Disamping mengukur penyebaran titik-titik ketinggian tersebut, untuk membantu
penarikan kontur perlu juga diukur atau dipetakan unsur-unsur alam (geografi) yang lain
seperti pola aliran sungai, jalan, rawa dan lain-lain. Dari peta penyebaran titik-titik kontur dan
unsur-unsur alam terutama pola aliran sungai disuatu wilayah sangat membantu arah
penarikan kontur, karena bentuk relief atau bentuk medan ada kaitannya dengan pola aliran
yang ada, dan terjadinya bentuk-bentuk relief atau bentuk medan yang ada salah satunya
karena adanya kikisan air.
Dalam penarikan antara kontur yang satu dengan kontur yang lain didasarkan pada
besarnya perbedaan ketinggian antara ke dua buah kontur yang berdekatan dan perbedaan
ketinggian tersebut disebut dengan „interval kontur“ (contour interval). Untuk menentukan
besarnya interval kontur tersebut ada rumus umum yang digunakan yaitu :
Interval Kontur = 1/2000 x penyebut skala (dalam meter).
Contoh : Peta kontur yang dikehendaki skalanya 1 : 5.000, berarti interval
konturnya : 1/2000 x 5.000 (m) = 2,5 m.
Dengan demikian kontur yang dibuat antara kontur yang satu dengan kontur yang
lain yang berdekatan selisihnya 2,5 m. Sedangkan untuk menentukan besaran angka kontur
disesuaikan dengan ketinggian yang ada dan diambil angka yang utuh atau bulat, misalnya
angka puluhan atau ratusan tergantung dari besarnya interval kontur yang dikehendaki.
Misalnya interval kontur 2,5 m atau 5 m atau 25 m dan penyebaran titik ketinggian yang ada
74,35 sampai dengan 253,62 m, maka besarnya angka kontur untuk interval kontur 2,5 m
maka besarnya garis kontur yang dibuat adalah : 75 m, 77,50 m, 80 m, 82,5 m, 85m, 87,5 m,
90 m dan seterusnya, sedangkan untuk interval konturnya 5 m, maka besarnya kontur yang
dibuat adalah : 75 m, 80 m, 85 m, 90 m , 95 m, 100 m dan seterusnya, sedangkan untuk
interval konturnya 25 m, maka besarnya kontur yang dibuat adalah : 75 m, 100 m, 125 m,
150 m, 175 m, 200 m dan seterusnya.
Cara penarikan kontur dilakukan dengan cara perkiraan (interpolasi) antara
besarnya nilai titik-titik ketinggian yang ada dengan besarnya nilai kontur yang ditarik,
artinya antara dua titik ketinggian dapat dilewati beberapa kontur, tetapi dapat juga tidak ada
kontur yang melewati dua titik ketinggian atau lebih. Jadi semakin besar perbedaan angka
ketinggian antara dua buah titik ketinggian tersebut, maka semakin banyak dan rapat kontur
yang melalui kedua titik tersebut, yang berarti daerah tersebut lerengnya terjal, sebaliknya
semakin kecil perbedaan angka ketinggian antara dua buah titik ketinggian tersebut, maka
semakin sedikit dan jarang kontur yang ada, berarti daerah tersebut lerengnya landai atau
datar. Dengan demikian, dari peta kontur tersebut, kita dapat membaca bentuk medan (relief)
dari daerah yang digambarkan dari kontur tersebut, apakah daerah tersebut berlereng terjal
(berbukit, bergunung), bergelombang, landai atau datar.
E. Teori Kesalahan
Pengukuran adalah pengamatan terhadap suatu besaran yang dilakukan dengan
menggunakan peralatan dalam suatu lokasi dengan beberapa keterbatasan tertentu.
Pengukuran-pengukuran kita tidak lepas dari kesalahan-kesalahan pengamatan. Kesalahan
dalam pengamatan dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu:
1. Kesalahan kasar (Mistake/ Blunders)
2. Kesalahan sistematik (Sistematic Error)
3. Kesalahan Random / Tak terduga (Occidental Error)
Sumber kesalahan antara lain:
1. Dari Si pengukur
2. Dari alat ukur yang digunakan
3. Dari Alam
Penjelasan secara rinci akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Kesalahan Kasar
Terjadi karena kurang hati-hati (sembrono), kurang pengalaman, kurang perhatian. Dalam
pengukuran, kesalahan ini tidak boleh terjadi sehingga diajurkan untuk mengadakan self
checking dari pengamatan yang dilakukan. Apabila diketahui ada kesalahan kasar, maka
dianjurkan untuk mengulang seluruh / sebagian pengukuran tersebut.
2. Kesalahan Sistematik
Umumnya kesalahan sistematik disebabkan oleh alat-alat ukur sendiri. Kesalahan ini juga
dapat terjadi karena cara-cara pengukuran yang tidak benar. Jadi sifat kesalahan ini jelas dan
akibat kesalahan ini dapat dihilangkan. Antara lain dengan cara:
a. Sebelum digunakan pengukuran, alat dikalibrasi lebih dahulu.
b. Dengan cara-cara pengukuran tertentu, misalnya pengamatan biasa dan luar biasa.
c. Dengan memberikan koreksi pada data ukuran yang didapat.
d. Koreksi pada pengolahan data.
3. Kesalahan Random
Kesalahan random terjadi karena hal-hal yang tak terduga sebelumnya, seperti adanya getaran
udara / undulasi, kondisi tanah tempat berdiri alat ukur yang tidak stabil, pengaruh kecepatan
angin / kondisi atmosfer, dan kondisi psikis pengamat.
Kesalahan ini dapat dikoreksi dengan metode hitung perataan (adjustment). Koreksi yang
diberikan memperhatikan toleransi kesalahan / ketelitian. Berbicara tentang ketelitian, ada
dua pengertian / istilah yang hampir sama artinya yaitu : akurasi dan presisi. Akurasi adalah
tingkat kedekatan dari nilai-nilai ukuran terhadap nilai sebenarnya. Presisi adalah tingkat
kedekatan dari nilai-nilai ukuran tersebut satu sama lain.
F. Proyeksi Peta
1. Proyeksi TM 30
a. Merupakan sistem proyeksi Transverse Mercator ( TM ) dengan lebar setiap zone 3o.
b. Proyeksi TM adalah proyeksi silinder transversal yang mempunyai sifat konform (proyeksi
yang menghasilkan sudut/bentuk yang sama).
c. Secara Geometris silindernya menyinggung (tangent) bola bumi pada sebuah meredian yang
disebut meredian sentral.
d. Semakin jauh dari meredian sentral perbesaran pada arah meredian makin besar.
e. Semakin mendekati ekuator perbesaran lingkaran paralel makin besar.
f. Dibuat zone – zone sempit agar distorsi kecil dengan lebar 30 , setiap zone memiliki meredian
tengan sendiri Sistim Proyeksi TM – 30.
: Transverse Mercator dengan lebar zone 30.
: Meredian Sentral dari setiap zone.
: Ekuator.
: Meter.
: 200.000 + X
: 1.500.000 + Y
Faktor Skala Pada Meredian Sentral : 0,9999
: Dimulai Zone 46.2 s/d 54.1
: Lintang 60 U dan lintang 110 S
Ellipsoid Referensi yang digunakan : WGS 1984.
3. Lebar Zona TM 3
Proyeksi TM menunjukkan distorsi jarak yang makin membesar ke arah timur maupun
kearah barat meredian sentral, agar dapat diminimalkan distorsi tersebut maka lebar wilayah
dibatasi, 1,50 kearah barat dan 1,50 ke arah timur meredian sentral.
Wilayah cakupan selebar 30 disebut Zone.
Wilayah Indonesia tercakup dalam 16 Zone.
Tata Letak dan Penomoran Zone untuk wilayah Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 22. Pembagian Zona di wilayah Indonesia
4. Pembagian Nomor Lembar Peta
Gambar 23. Penomoran Lembar Peta sesuai skala
G. Manajemen Proyek
Siklus manajemen proyek terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Perencanaan proyek adalah usaha untuk mencapai tujuan dengan segala macam metode yang
sedetail mungkin diformulasikan sebelumnya tentang apa yang akan dicapai, berapa,
bilamana dan oleh siapa.
Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara obyektif
pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil evaluasi
dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencasnaan kembali. Evaluasi mempunyai kaitan
timbal balik yang erat dengan perencanaan.
Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan tahap-tahap didalam siklus pengolahan
proyek yang secara umum dapat dibagi tiga kategori, yaitu: evaluasi pada tahap perencanaan,
evaluasi pada tahap pelaksanaan, dan evaluasi pada tahap purna pelaksanaan.
Setelah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dilaksanakan, maka tindakan
selanjutnya adalah pelaporan. Pelaporan ini penting dan merupakan bagian dari siklus
manajemen. Karena dalam laporan terdapat segala sesuatu atau gambaran lengkap tentang
rencana proyek yang telah dilaksanakan hingga saat dilaksanakannya evaluasi. Laporan ini
secara terperinci menginformasikan status proyek. Pelaporan ini diberikan kepada pihak-
pihak yang memerlukan sebagai bahan informasi penting baik untuk bahan pelayanan
maupun untuk direplikasi dalam keadaan yang hampir sama kondisinya.
BAB III PELAKSANAAN
A. Penjadualan Ulang
Jadual yang ada berdasarkan buku panduan PKL kurang terperinci dan sulit ditaati.
Hal itu disebabkan tim IV dan 3 tim lainnya mendapat kepercayaan penambahan volume
pekerjaan disamping terdapat hari raya Idul Adha dalam pelaksanaan PKL. Maka dibuatlah
jadwal baru yang lebih rinci dan memperhatikan waktu libur lebaran. Jadual baru masih
menggunakan rentang waktu yang sama dengan jadual dalam buku panduan PKL. Jadual
baru juga masih memenuhi volume pekerjaan yang ditugaskan, termasuk pelaporan masih
sesuai pedoman dan pelaksanaan teknis yakni kurang dari 2 minggu sejak penarikan dari
lokasi PKL.
Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi prioritas
dari pelaksanaan pekerjaan dan waktu yang tersedia. Prioritas dua hari pertama merupakan
pekerjaan survey lokasi, perencanaan, dan pemasangan Titik Dasar Teknik dan Titik Poligon
pada daerah kerja. Prioritas hari ke-3 dan ke-4 adalah pengukuran TDT dan waterpass serta
penghitungan poligon pada jalur Poligon Utama. Priorotas hari ke-5 s.d. ke-7 adalah
pengukuran TDT dan waterpass termasuk penghitungan koordinat Poligon Cabang I.
Prioritas pada hari ke-8 adalah pengukuran Poligon Cabang II beserta penghitungan
koordinatnya. Prioritas hari ke-9 adalah pengambilan detail untuk mendukung penggambaran
kontur. Sementara itu, pada hari terakhir adalah packingperalatan Tim beserta
pemberangkatan ke kampus STPN. Untuk memahami gambaran prioritas tersebut dapat
dilihat pada tabel 1 di bawah ini beserta rincian kegiatannya..
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan PKL TDT.
B. Realisasi Kegiatan
Tanggal - kegiatan
23-11-2009 - ambil alat
- pemberangkatan dan serah terima dengan perangkat desa
- pembagian camp
- pembagian wilayah kerja
- oreantasi lapang dan perencanaan titik poligon utama
24-11-2009 - oreantasi lapang poligon cabang
- pemasangan TDT (3 tugu)
- pengukuran poligon utama
- entri data
25-11-2009 - pengukuran poligon utama
- pengukuran waterpass poligon utama
- persiapan pengukuran titik ikat GPS
- pemasangan TDT (tambahan 2 tugu = 5 tugu)
- entri data
- penyuluhan
- pengamatan GPS titik A dan D
26-11-2009 - pengukuran waterpass poligon utama
- perencanaan dan penempatan titik poligon cabang II
- penghitungan poligon utama dan waterpass
- pengamatan GPS
27-11-2009 - LIBUR
28-11-2009 - pemasangan TDT (tambahan 1 tugu = 6 tugu)
- pengukuran poligon cabang
29-11-2009 - cek ulang poligon utama
- waterpass poligon cabang
- pemasangan TDT (tambahan 1 tugu = 7 tugu)
- penghitungan waterpass poligon utama
30-11-2009 - pemasangan TDT (tambahan 1 tugu = 8 tugu)
- waterpass cabang II
- penghitungan waterpass poligon cabang II
- pengukuran poligon cabang II
- penghitungan poligon cabang II
1-12-2009 - pengukuran kontur
- survey ulang sungai melalui jalur irigasi teknis
2-12-20009 - pengecatan dan penomoran TDT
- pemotretan TDT
- pembuatan sket TDT
C. Rincian Kegiatan
1. Senin, 23 November 2009
Setelah penerimaan mahasiswa peserta PKL di balai desa, diadakan pembagian ulang
basecamp. Basecamp tim IV berada di rumah bapak Riwayat dusun Purworejo, bersama tim
V dan XIV (putri). Sesampainya di basecamp ketiga tim beramah tamah dengan pemilik
rumah dan dipersilahkan tim putri tinggal di rumah induk dan tim putra di rumah sebelahnya.
Kegiatan selanjutnya cek kelengkapan alat, berbenah dan makan siang.
Usai makan siang perwakilan tim menuju camp instruktur yang tidak jauh dari
basecamp kami untuk menerima hasil pembagian wilayah kerja dari instruktur. Pembagian
wilayah kerja tim IV adalah di dusun Sawungsari areal permukiman dan pertanian yang
dibatasi oleh jalan desa di sebelah Utara dan Timur, sebelah Selatan alur/ parit dan sebelah
Barat dibatasi sungai. Wilayah kerja tim IV diapit oleh 5 tim lain yaitu seberang jalan sebelah
Utara menjadi wilayah kerja tim XIII, seberang jalan sebelah Timur menjadi batas wilayah
kerja tim XII dan tim XIV, seberang parit sebelah Selatan menjadi wilayah kerja tim I dan
seberang sungai sebelah Barat menjadi wilayah kerja tim X.
Selain itu tim IV mendapat kepercayaan mengukur poligon utama dan titik ikat GPS
bersama 3 tim lainnya yaitu tim I dan tim VI mengukur poligon utama dari titik D yang
berlokasi di perempatan masjid Sawungsari menuju titik A di simpang tiga pasar Purworejo
(TDT BPN-STPN 028). Sedangkan titik ikat yang diukur menggunakan GPS geodesi adalah
titik A dan D.
Siang itu juga tim IV melakukan survey lapang dan perencanaan jalur poligon utama
serta penempatan TDT dimulai dari titik A (TDT BPN-STPN 028) di km 20.4 jalan
Kaliurang ke Selatan menuju titik D di simpang masjid. Diperoleh 8 TDT yang sudah
terpasang yaitu TDT nomor BPN-STPN 028, BPN-STPN 027, BPN-STPN 026, BPN-STPN
025, BPN-STPN 024, BPN 51, BPN-STPN 023 dan BPN-STPN 022 berada di jalan
Kaliurang sampai simpang empat Km.19.5 berbelok kearah Barat. Sepanjang jalan desa
menuju mesjid diperoleh TDT 4, dua diantaranya diketahui nomornya yaitu TDT BPN-
STPN 021 dan BPN 001, sisanya tanpa nomor. Jadi jumlah TDT yang ditemukan sebanyak
12 TDT.
Dari 12 tugu yang ada diantaranya dalam keadaan tertimbun tanah, miring bahkan
condong. Tugu BPN-STPN 025 tertimbun tanah pembuatan parit, BPN-STPN 024 tertimbun
material bangunan dan diperkirakan berada di pintu masuk apabila daerah tersebut dibangun
kelak dengan fakta saat ini dilalui truk pengangkut material –terlihat bekas ban truk dan
berada di depan parit yang ditimbun sementara untuk menaruh material bangunan. BPN-
STPN 021 dan TDT di perempatan dalam kondisi miring. Sedangkan BPN-STPN 023 dalam
kondisi condong sehingga perlu ditegakkan kembali. Selain 12 tugu tersebut ditemukan 2
buah tugu yang tak bernomor dan tercabut, tergeletak di seberang parit dekat BPN 001 dan di
dekat TDT perempatan masjid.
Dalam jalur poligon utama D-A, tim IV tidak menambah pemasangan TDT, hanya
menambahkan beberapa titik bantu menggunakan patok kayu berpaku payung. Titik Bantu
dipasang antara BPN-STPN 021, BPN 001, TDT sesudahnya dan TDT perempatan masjid
(titik D) karena antar TDT tidak saling terlihat dan atau ada simpang jalan yang sekiranya
dapat membantu tim lain dalam pembuatan poligon cabang.
Selanjutnya TDT dan titik bantu tersebut secara berurutan dari titik D menuju titik A
diberi notasi sebagai berikut D, B1, TDT B2, B3, TDT 001 B4, B5, TDT 021 B6, TDT 022
B7, TDT 023 B8, TDT 51 B9, TDT 024 B10, TDT 023 B11, TDT 025 B11, TDT 026 B12,
TDT 027 B13, TDT 028 A. Sehingga jumlah titik polygon utama adalah 15 ditambah 1 titik
backsite (X) menjadi 16 titik.
Malam hari kedua perwakilan tim (Dhanang & Tulus) melakukan koordinasi dengan
semua ketua kelompok di Sawungan membahas rencana pemasangan tugu TDT pada poligon
utama dan rencana jalur poligon pada daerah yang berbatasan antar tim. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengeplotan rencana pemasangan TDT. Selain itu,
dalam koordinasi membahas mengenai pendistribusian TDT dengan memprioritaskan
pemasangan jalur poligon utama dan diikuti tim-tim lain yang bersebelahan. Sehingga,
pendistribusian pemasangan TDT lebih optimal.
2. Selasa, 24 November 2009
Survey lapang kedua dilakukan untuk membuat jalur poligon cabang di wilayah kerja
tim IV yang menjadi tugas pokok tim IV selain poligon utama- yang diantara titiknya akan
dipasang tugu TDT. Wilayah kerja tim IV dapat dikelompokkan menjadi 2 area yakni area
pemukiman di sebelah Utara 400 m x 100 m dan area pertanian di sebelah Selatan 200
m x 400 m. Diketahui bahwa batas Utara dan Timur sudah dilalui poligon utama D-C yang
diukur oleh tim I. Terdapat 3 jalan, yaitu 2 jalan aspal dan 1 jalan diperkeras. Namun ketiga
jalan tersebut merupakan jalan buntu. Salah satu jalan aspal menjadi pembatas area
pemukiman dan area pertanian, sisanya berada di area pemukiman. Terdapat irigasi teknis di
area pemukiman, di tepi sungai sampai jalan pemisah kedua area dan irigasi teknis tersebut
bercabang di pertengahan membelah area pemukiman menuju Timur. Irigasi di area pertanian
belum diturap. Terdapat masjid di areal pemukiman dan pemakaman di area pertanian. (lebih
jelasnya, peta kerja terlampir)
Diputuskan membuat jalur poligon tertutup di areal pertanian dari poligon utama
mengikuti jalan aspal melewati pemakaman menuju perkebunan markisa yang berupa jalan
tanah kemudian dibelokkan menyeberang parit (batas Selatan) melewati kebun (wilayah kerja
tim I) dan kembali menyeberangi parit menyusuri jalan setapak menuju poligon utama di
jalan aspal. Dari jalur tersebut diperoleh 13 titik poligon dengan notasi T4-1, T4-2, T4-3, T4-
4, T4-5, T4-6, T4-7, T4-8, T4-9, T4-10, T4-11, T4-12, T4-13. T4-1 dan T4-13 adalah poligon
utama. Direncanakan dan dipasang 3 buah tugu TDT yakni T4-2, T4-4 dan T4-5.
Siang harinya pengukuran poligon utama dimulai dari titik D menuju titik A
dengan backsightTDT poligon utama yang baru dipasang tim I. Pengukuran menggunakan
Total Station dengan 3 statif, 2 prisma dan 1 rover. Pengambilan sudut dua seri sehingga
diperoleh 4 sudut tiap titik dan 4 jarak. Dari titik poligon sekaligus diambil data detil dengan
metode polar. Tinggi alat dan kedua prisma diukur, sedangkan tinggi rover dibuat 1.5 m
untuk memudahkan menghitung ketinggian sekaligus kontrol terhadap pengukuran waterpass
kelak.
Pembagian tugas pengukuran poligon utama sebagai berikut: Dhanang membaca alat,
Bagus menulis, Heri dan Tulus centering + leveling prisma depan- belakang, Phamyo
mobilisasi.
Hingga sore pengukuran poligon hanya sampai pada TDT 022 B7 dan akan
dilanjutkan esok hari.
Malam hari, 2 perwakilan tim (Dhanang & Tulus) melakukan koordinasi di Sawungan
membahas permasalahan yang dihadapi antar tim. Koordinasi tersebut membahas tentang
evaluasi pendistribusian TDT. Hasil evaluasi ini mendapat kesimpulan bahwa TDT masih
tersisa karena ada beberapa tempat yang tidak memungkinkan untuk dipasang TDT. Lokasi
tersebut dapat dikarenakan tidak terpenuhinya aspek teknis. Sedangkan sisa anggota tim yang
berada di basecamp (Bagus, Heri & Phamyo) melakukan entri data pada DI.103 digital
(Excel).
3. Rabu, 25 November 2009
Pengukuran poligon utama dilanjutkan dari TDT 022 B7 sampai TDT
027 B13 menembak TDT 028 A. Tepat istrihat makan siang pengukuran poligon utama D-A
selesai dilakukan.
Selesai makan siang 2 perwakilan tim (Dhanang & Tulus) melakukan koordinasi di
camp instruktur untuk perencanaan dan persiapan pengukuran titik ikat menggunakan GPS
geodetic. Sisa anggota (Bagus, Heri & Phamyo) melakukan pengukuran waterpass dari titik
D menuju titik A. Titik B1 dan TDT B2 sedang digunakan tim XVI untuk pengukuran
poligon cabang sehingga diloncati ke titik berikutnya.
Pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut: Bagus membaca dan
mencatat, Heri dan Phamyo pegang bak ukur.
Setelah pertemuan Dhanang & Tulus mengambil 3 tugu lagi untuk di distribusikan di
T4-3 dan T4-6 serta manambah titik poligon diantara T4-4 dan T4-5, karena T4-5 digeser
posisinya oleh tim X yang menggunakannya sebagai titik ikat. Jalur poligon berubah menjadi
T4-1, T4-2, T4-3, T4-4, T4-5, T4-6, T4-7, T4-8, T4-9, T4-10, T4-11, T4-12, T4-13, T4-14
dengan rencana TDT di T4-2, T4-3, T4-4, T4-5, T4-6 dan T4-7 menjadi 6 TDT. TDT T4-5
belum terpasang.
Menjelang Ashar, Dhanang & Tulus bergabung dalam pengukuran waterpas.
Pengukuran waterpass berhenti di TDT 028 A (pergi) Pembagian tugas pengukuran
waterpass sebagai berikut: Bagus membaca, Phamyo mencatat, Dhanang dan Tulus
memegang bak ukur, Heri mobilisasi.
Malam hari Heri dan Phamyo diberi tugas mengikuti penyuluhan. Namun karena
salah persepsi Heri dan Phamyo mengikuti penyuluhan di dusun Jetis (lokasi pengukuran)
bukan di dusun Purworejo (lokasi Base-camp). Dhanang dan Tulus mengikuti penyuluhan di
dusun Purworejo menggantikan Heri dan Phamyo. Penyuluhan di dusun Jetis disampaikan
oleh bapak Bambang Suyudi dan dusun Purworejo oleh bapak Eko Budi Wahyono.
Setelah penyuluhan Heri & Phamyo bergabung dengan Bagus melakukan entri data.
Dhanang & Tulus melakukan pengamatan GPS di titik A dan D hingga pagi namun belum
selesai.
4. Kamis, 26 November 2009
Dhanang & Tulus istirahat di basecamp setelah begadang melakukan pengamatan
GPS semalam suntuk. Pengukuran waterpass (Bagus, Heri & Phamyo) dilanjutkan dari TDT
028 A sampai TDT B2(pulang). Pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut:
Bagus membaca dan mencatat, Heri dan Phamyo pegang bak ukur.
Waterpass TDT B2 sampai titik D dilanjutkan sore hari kemudian waterpass titik B1
–TDT B2 yang hari sebelumnya diloncati. (Bagus membaca dan menulis, Tulus dan Phamyo
memegang bak ukur).
Sore hari Dhanang & Tulus melakukan pengamatan GPS lanjutan.
Heri, Dhanang dan Tulus pulang ke asrama mahasiswa Taruna Bhumi STPN untuk
merayakan hari raya dan menjadi PHBI di masjid Dharunnajjah. Bagus dan Phamyo masih di
basecamp.
5. Jumat, 27 November 2009
Pagi hari Bagus dan Phamyo pulang ke asrama mahasiswa Taruna Bhumi
STPN. Kesepakatan tim untuk libur kegiatan lapang di hari raya.
6. Sabtu, 28 November 2009
Tulus dan Phamyo menanam tugu di TDT T4-5 pada poligon cabang I yang belum
terpasang pada hari Kamis, 25-11-2009. Dilanjutkan pengukuran poligon cabang I dengan
pembagian tugas sebagai berikut : Dhanang membaca alat, Bagus menulis, Heri dan Tulus
centering + leveling prisma depan- belakang, Phamyo mobilisasi.
Hari ini kami makan di lapang untuk mempersingkat waktu karena diperkirakan akan
hujan. Betul perkiraan kami, baru mengukur satu titik usai makan turun hujan yang lebat.
Waktu itu kami berada di T4-7 dekat pemakaman. Kami berteduh di gubuk pemakaman
sampai hujan reda menjelang sore. Namun untuk memenuhi target kami melanjutkan
pengukuran hingga selesai di petang hari –menjelang maghrib.
Malamnya Bagus, Heri dan Phamyo melakukan entri data dan perhitungan poligon
cabang I dengan metode poligon tertutup. Dhanang dan Tulus menghitung poligon utama
dengan tim lain di basecamp tim I.
7. Minggu, 29 November 2009
Bagus dan Phamyo Kebaktian. Dhanang, Tulus dan Heri melakukan pengukuran
waterpass poligon cabang I. Pembagian tugas pengukuran waterpass sebagai berikut: Heri
membaca dan mencatat, Dhanang dan Tulus memegang bak ukur. Menjelang siang Bagus
dan Phamyo bergabung dan pembagian tugas berubah menjadi Heri membaca, Bagus
mencatat, Dhanang, Tulus dan Phamyo memegang bak ukur serta mobilisasi. Pengukuran
waterpass selesai siang hari dan kami pulang ke basecamp agak terlambat makan siang.
Siang hari hujan dan kami masih di basecamp.
Sorenya setelah hujan reda, Bagus, Heri dan Phamyo mengambil tugu TDT yang
tercabut di jalur poligon utama D-A (lihat 23-11-2009 par.5) untuk didistribusikan di area
pemukuman yakni poligon cabang II di T3 dan T6. Tugu baru terpasang di T6 dan
rencananya akan dilanjutkan esok hari sebelum pengukuran.
8. Senin, 30 November 2009
Sebelum makan pagi, Phamyo dan Heri mengecat tugu TDT di jalur poligon utama D-
A, poligon cabang tim IV dan jalur poligon utama D-C yang melalui wilayah kerja tim IV.
Dhanang, Bagus dan Tulus melakukan pengecekan poligon utama.
Selanjutnya setelah makan pagi, Heri, Phamyo, Tulus dan Bagus melakukan
pengukuran waterpass dari titik A ke titik F ( yaitu pertengahan jalur poligon utama D-C)
untuk pembuatan kring perhitungan waterpass poligon utama.
Berikutnya dilakukan pengukuran waterpass poligon cabang II dari T1 ke T6, T5, T4,
T3, T2 pulang pergi. Karena TDT di T3 belum terpasang Tulus dan Heri menanam tugu di
T3. sedangkan Bagus dan Phamyo melakukan pengukuran waterpass. Setelah selesai
pemasangan tugu Heri dan Tulus bergabung dan pembagian tugas pengukuran waterpass
sebagai berikut: Tulus membaca, Bagus mencatat, Heri dan Phamyo memegang bak ukur.
pengukuran waterpass poligon cabang II selesai siang hari. Kami makan siang di lapang
sekaligus istirahat untuk penghitungan waterpass dengan kalkulator.
Selanjutnya pengukuran poligon cabang II dengan pembagian tugas Tulus dan Bagus
bergantian membaca dan mencatat, Heri centering + leveling prisma dan Phamyo memegang
rover untuk detil serta mobilisasi. Pengukuran selesai menjelang maghrib.
Malamnya dilakukan entri data, penghitungan poligon cabang II dan memasukkan
hitungan waterpass ke digital.
9. Selasa, 1 Desember 2009
Tulus, Phamyo, Bagus dan Heri melakukan pengukuran detil untuk kontur di area
pertanian. Pengukuran ini menggunakan metode zislag dengan alat Total Station. Di buat 3
buah zislag yaitu (T4-9)- PB1, (T4-7)-PB2 dan (T4-4) – K9. Selain itu juga menggunakan
T4-9 dan T4-7.
Pembagian tugas pengukuran detil adalah pemegang rover secara bergantian Heri,
Phamyo dan Bagus, membaca dan mencatat secar bergantian Tulus, Phamyo dan Bagus.
10. Rabu, 2 Desember 2009
Tulus melakukan pengecetan nomor TDT, pemotretan dan pembuatan sket TDT.
Siang hari pulang ke asrama mahasiswa Taruna Bhumi dan mengembalikan alat.
11. Tanggal 3 s.d. 14 Desember 2009
Pelaporan
Tabel 2. Tabel Jadwal Pelaporan
BAB IV PEMBAHASAN
A. Umum
PKL Titik Dasar Teknik merupakan bagian dari rangkaian kegiatan civitas
akademika STPN dalam rangka melaksanakan tri dharma Perguruan Tinggi. Dalam PKL
TDT semester III ini dirangkaikan dengan PKL Diploma I yaitu pemeliharaan TDT dan
Diploma IV semester V yaitu PKL Pengukuran Bidang. Ketiga PKL tersebut dilakukan
ditempat yang sama.
PKL Pemeliharaan TDT yang dilakukan oleh Diploma I kelas E, F, G dan H mestinya
dilakukan sebelum PKL TDT semester III, namun baru dilakukan hari ketiga PKL TDT yakni
hari Rabu, 25 November 2009. Sehingga identifikasi TDT yang semestinya dilakukan oleh
Diploma I dalam PKL-nya telah dilakukan oleh peserta PKL TDT semester III. Dengan kata
lain peserta PKL Diploma I tidak perlu mencari TDT yang akan dicat ulang atau diperbaiki
tugunya. Padahal hal itulah proses yang penting dan menarik. Kegiatan PKL Pemeliharaan
TDT dimungkinkan terjadi kesalahan melewatkan pencarian tugu yang tertutup rumput
ataupun tanah dan mungkin menemukan tugu yang dalam kondisi miring bahkan condong.
Pengalaman itu akan menjadi dasar bagi peserta PKL Pemeliharaan TDT Diploma I untuk
merencanakan dan menempatkan TDT kelak di PKL akhir atau ketika bekerja dan masuk
kembali ke STPN sebagai mahasiswa Diploma IV.
Dalam PKL Pemeliharaan TDT Diploma I, peserta dibekali dengan peta persebaran
TDT tetapi tidak demikian bagi peserta PKL TDT semester III, apalagi buku tugu. Sedangkan
pada lokasi dan jalur poligon utama sudah banyak terdapat TDT baik milik STPN maupun
Kantor Pertanahan setempat. Adapun penjelasan instruktur adalah ketelitian dari pengukuran
TDT tersebut yang rendah sehingga perlu diukur ulang. Inilah salah satu alasan keberanian
tim IV untuk menegakkan TDT BPN-STPN 023 yang condong dan membiarkan TDT BPN-
STPN 021 yang miring. (sayangnya kami tidak memiliki foto TDT BPN-STPN 023 yang
condong).
Persebaran TDT dan titik-titik poligon PKL TDT semester III akan digunakan peserta
PKL Pengukuran Bidang Tanah semester V (tim bidang). Maka dari itu penempatan dan
persebaran TDT serta titik-titik poligon memperhatikan kepentingan pengukuran bidang.
Harapannya TDT dan titik poligon yang ada dapat digunakan dan mempermudah kerja tim
bidang sehingga hasil akhir dari peta bidang dapat dimanfaatkan oleh Kantor Pertanahan
setempat.
B. Waktu
PKL ini dilaksanakan selama 10 hari, mulai tanggal 23 November sampai dengan
tanggal 02 Desember 2009. Dengan jenis dan volume pekerjaan yang dibebankan bagi tiap
kelompok, mestinya waktu 10 hari sudah cukup. Yang perlu diperhatikan adalah apakah
waktu 10 hari adalah seluruhnya menjadi waktu efektif kerja. Pada kenyataannya hari
pertama dan hari terakhir tidak efektif. Hal tersebut belum termasuk Hari Raya Idul Adha
diantaranya. Sehingga total waktu efektif hanya 7 hari.
Waktu tersebut masih merupakan waktu yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan,
tetapi cuaca tidak mendukung. Kenyataan di lapangan rata – rata hujan turun tengah hari
hingga sore hari. Dengan demikian, waktu 7 hari kerja tidaklah penuh.
Pengukuran poligon cabang dapat diselesaikan 2 s.d. 3 hari dan menjadi 4 s.d. 5 hari
bila ditambahkan titik ketinggian (waterpass) serta kontur. Sedangkan pengukuran poligon
utama beserta waterpassnya dapat diselesaikan 3 hari.
C. Tempat
1. Wilayah Kerja
Lokasi yang menjadi tempat PKL adalah Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem,
Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Merupakan daerah lereng gunung
merapi dengan topografi miring dan ketinggian lebih dari 500 m di atas ellipsoid. Untuk
pengukuran TDT daerah ini dalam tingkat kesulitan menurut tim IV- kategori sedang.
Pengukuran titik ketinggian TDT (waterpass) kategori cukup sulit dan pengukuran kontur
kategori sulit.
Kesulitan pengukuran dan pembuatan peta kontur dialami pada areal pemukiman
yang miring. Selain itu terdapat sungai yang sangat terjal mencapai beda tinggi 15 m antara
lembah sungai dengan jangkauan poligon cabang. Perbedaan beda tinggi tersebut tidaklah
merata seperti papan yang dimiringkan namun lebih mirip dengan terasering yang beda tinggi
antar terasnya sampai 5 m.
2. Basecamp
Basecamp tim IV berada di rumah bapak Rukiyat dusun Purworejo, bersama tim V
dan XIV (putri). Tim putri tinggal di rumah induk dan tim putra di rumah sebelahnya.
Tim IV dan tim V terdiri dari 10 orang. Ruangan yang digunakan cukup lebar dan
memiliki satu kamar kapasitas 5 orang dengan kasur, sisanya di ruang tengah dengan 2
tempat tidur. Memiliki 1 kamar mandi yang cukup nyaman. Dilengkapi 1 set sofa untuk
istirahat dan 1 meja kerja yang cukup lebar serta beberapa kursi. Makanan yang disediakan
relatif lebih baik.
D. Peserta
Mahasiswa semester III Program Diploma IV Pertanahan sejumlah 80 orang terdiri
dari 16 kelompok dan instruktur sejumlah 38 orang serta pendamping pelaksana sejumlah 37
orang. (daftar terlampir).
Tim IV terdiri dari 5 anggota yaitu Agus Dhanang Purnomo (sebagai ketua),
Antonius Bagus Budhi Pradhana, Heri Setiaji, Phamyo Frietz Elisa Sinaga dan Tulus Wasono
Putro.
Agus Dhanang Purnomo adalah tamatan diploma I STPN tahun 2001 dan sekarang
mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Riau. CPNS sejak tahun 2002,
bekerja di Kanwil bidang Penatagunaan Tanah selama 1 tahun kemudian ditugaskan di
Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi sebagai staf subseksi pengukuran. Pernah
mengikuti program ajudikasi di RALAS Nanggro Aceh Darussalam tahun 2006 s.d. 2007 dan
mengikuti Program Ajudikasi Backlock tahun 2007 s.d. 2008.
Tulus Wasono Putro adalah tamatan diploma I STPN tahun 2000 dan sekarang
mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Sumatera Barat. CPNS sejak
tahun 2004, di Kantor Pertanahan Kabupaten Sijunjung sebagai staf subseksi Pengukuran.
Pernah mengikuti program ajudikasi di RALAS Nanggro Aceh Darussalam tahun 2006 s.d.
2007.
Heri Setiaji adalah tamatan diploma I STPN tahun 2002 dan sekarang mahasiswa
Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Riau. CPNS sejak tahun 2002, bekerja di
Kanwil bidang P&PT selama 1 tahun kemudian ditugaskan di Kantor Pertanahan Kabupaten
Rokan Hulu sebagai staf subseksi Pengukuran. Pernah mengikuti program ajudikasi di
RALAS Nanggro Aceh Darussalam tahun 2006 s.d. 2007.
Antonius Bagus Budhi Pradhana adalah tamatan diploma I STPN tahun 2005 dan
sekarang mahasiswa Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. CPNS sejak tahun 2006 berdinas di Kantor Pertanahan Kabupaten Belitung sebagai
staf subseksi Pengukuran.
Phamyo Frietz Elisa Sinaga adalah tamatan tahun 2004 dan sekarang mahasiswa
Diploma IV STPN utusan Kanwil BPN RI propinsi Sumatera Utara. CPNS sejak tahun 2006.
Pada dasarnya komposisi dari tim IV sudah cukup mewakili dari segi kemampuan
maupun pengalaman dan nilai akademis. Berbeda dengan beberapa (tidak semua) tim lain
yang terjadi pemusatan atau sebaliknya.
E. Alat
Alat –alat ukur yang digunakan tim IV adalah sebagai berikut :
1. Total Station Topcon GTS 2110 LG 3025
2. Baterai dan charger TS Topcon.
3. Prisma 2 buah, 1 buah Topcon dan 1 buah Leica.
4. Prisma Rover I buah.
5. Statif 3 buah.
6. Jalon 1 buah.
7. Waterpass Nikon.
8. Rambu Ukur 5 meter 2 buah dengan dilengkapi 1 buah nivo kotak.
9. Pita Ukur Baja 30 meter.
10. Payung 3 buah.
11. Palu 1 buah.
12. Unting-unting.
13. Paku payung.
14. Meteran baja ukuran 5 meter.
15. Cat dan kuas.
Pada pengecekan alat pada tanggal 20 November 2009 diketahui Total Station dengan
satu prisma dalam keadaan baik dan waterpass yang kurang baik karena lensa yang sedikit
berjamur dan penggerak halus tidak berfungsi.
Ketika pengambilan alat tanggal 23 November 2009 didapat prisma yang tidak sama
yaitu merk Topcon dan Leica. Pada awalnya kami anggap sama dan tidak bermasalah.
Namun setelah pengukuran dilakukan didapati perbedaan jarak kurang lebih 3 cm. Kemudian
antar ketua tim berkoordinasi dan saling menukar prisma yang berlainan sehingga diperoleh
prisma Topcon yang sama untuk tim IV.
Selain itu di lokasi baru diketahui bahwa 1 statif tidak memiliki baut pengunci. Untuk
mengatasinya hari pertama mengukur, tanggal 24 November 2009, tim IV meminjam statif
tim XIV (satu Basecamp) yang belum dipakai. Hari berikutnya tim IV meminjam statif tim
XI.
Selanjutnya untuk pengukuran waterpass seksi kedua (poligon cabang) tim IV
menggunakan Waterpass Nikon No. AS-C 212393 pinjaman dari tim VI.
F. Metode
1. Perencanaan dan pemasangan TDT
Perencanan tugu dilakukan dengan dua cara. Pada poligon utama perencanaan
dilakukan menggunakan peta desa. Pada jalur poligon utama D-A dapat diidentifikasi jalan
dan persimpangannya. Mula-mula direncanakan persebaran TDT di atas peta kemudian
disurvey di lapang. Apabila antar TDT tidak terlihat maka ditambahkan titik bantu poligon.
Demikian juga apabila terdapat TDT yang terpisah, tidak memiliki pasangan maka
ditambahkan TDT atau dipindahkan.
Penempatan TDT harus memperhatikan keamanan tugu dan memudahkan pengukuran
serta keamanan alat dan pengukur. TDT berada di lokasi strategis. Mudah ditemukan, dapat
mengamat berbagai detil. Aman dari kerusakan tugu seperti terlindas mobil, dipindahkan
orang, tertutup bangun baru di kemudian hari ataupun tempat yang tidak stabil. TDT tidak
dipasang menempel tembok, di tepi parit ataupun lainnya yang menyulitkan pengukuran dan
membahayakan keamanan alat. Apabila TDT dipasang di bahu jalan maka TDT ditanam rata
dengan jalan agar tidak terganggu pengguan jalan dan kerusakan tugu. Sebaiknya TDT
tersebut disemen agar tidak bergeser saat terlindas ban mobil. Kelemahannya TDT akan
tertimbun apabila ada perbaikan jalan, perbaikan jalan biasanya menambah ketebalan/
ketinggian aspal. Sedangkan jalan yang belum diaspal atau diperkeras TDT itu sering
tertimbun tanah dan sulit ditemukan. Jadi dalamnya penanaman TDT harus diperhatikan agar
tidak hilang ataupun mudah tercabut.
Perencanaan TDT adalah bagian tersulit dari rangkaian kegiatan PKL ini. Kegiatan
merencanakan penempatan dan persebaran TDT harus berhasil berarti menaksir dan
memperkirakan perkembangan desa, kota, wilayah atau lokasi pengukuran TDT tersebut. Tak
ubahnya seperti peramal.
Keberhasilan dari perencanaan TDT tidak hanya dinilai saat pengukuran saja.
Terbukti sudah ada tugu yang miring terlindas mobil (tim XIV) setelah diukur, sebelum
selesai PKL. Sedangkan penggunaan TDT bisa berpuluh tahun ke depan.
2. Penomoran TDT
Penomoran TDT harus memperhatikan nomor TDT terakhir di desa tersebut. Nomor
TDT terakhir dapat ditemukan di buku tugu atau peta dasar teknik. Nomor TDT sebaiknya
diurutkan sesuai jalur atau berdasarkan kedekatan letak TDT.
Penomoran TDT tidak dilakukan oleh tim IV melainkan hasil koordinasi perwakilan
(ketua) antar kelompok. Tim IV hanya memberi nomor pada tugu TDT sesuai daftar yang
disepakati. Nomor TDT dicat menggunakan mal dengan posisi menghadap Utara. Nomor
bertuliskan BPN-STPN dan dibawahnya 3 digit nomor terakhir TDT.
3. Pemotretan TDT dan pembutan sketsa detail lokasi titik
Pemotretan TDT yang dilakukan tim IV adalah 4 arah mata angin meskipun kelak
hanya digunakan satu foto untuk orde IV. Dalam pembuatan buku tugu dapat dipilih foto
yang memiliki latar belakang yang sedapat mungkin menggambarkan lokasi titik tersebut.
Dalam pemotretan nomor TDT harus terlihat. Kedudukan tugu terhadap tanah harus terlihat
sehingga dapat diketahui apabila tugu telah dibongkar.
Sketsa detail lokasi TDT diperoleh dari hasil pengukuran poligon dan detail situasi.
4. Pembuatan Buku Tugu
Pembuatan buku tugu menggunakan format digital. Perangkat lunak yang digunakan
adalah Corel Draw 13. Sementara itu, proses transformasi koordinat dari koordinat TM-
3 (X,Y) ke koordinat Geografis (Lintang dan Bujur) dengan Aplikasi Polygon. Berdasarkan
tabel pembagian penomoran zona berada di zona 49.1. Konverginsi grid dan faktor skala
diperoleh dari penghitungan dari aplikasi polygon.
Pembuatan sketsa detail lokasi titik menggunakan program Corel Draw 13.
5. Pengukuran titik ikat dengan GPS
Pada PKL kali ini metode penentuan posisi dilakukan dengan metode differensial
(relative), karena posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainya yang diketahui
koordinatnya (station referensi). Dalam proses pengamatan biasanya terdapat kesalahan dan
bias yang dapat serta tidak dapat dieliminasi atau direduksi dengan proses pengurangan.
Pengeliminasian dan pereduksian ini akan meningkatkan akurasi dan presisi data dan
selanjutnya akan meningkatkan tingkat akurasi dan presisi posisi yang diperoleh. Efek dari
pengurangan data, lihat tabel dibawah ini.
Tabel 3. Tabel Data Pengamatan Receiver GPS
Kesalahan dan
bias
Dapat
dieliminasi
Dapat direduksi Tidak dapat
dieliminasi/reduksi
Jam satelit V
Jam receiver V
Orbit V
Ionosfer V
Troposfer V
Multipath V
Noise V
Selective
Availability
V V
Perlu ditekankan bahwa penentuan posisi secara diferensial adalah penentuan posisi
yang harus digunakan untuk mendapatkan ketelitian posisi yang relatif tinggi, berkisar pada
level mm (dengan data fase). Aplikasi utama dari metode ini antara lain survei pemetaan,
survei geodesi, serta navigasi berketelitian tinggi.
Pada Praktek Kerja lapangan yang dilakukan di Desa Hargo binangun dilakukan
pengukuran dan pengamatan TDT Orde 3 yang diikatkan pada TDT Orde 2 yang berada di
Daerah Turi. Sebelum melakukan pengamatan tahap awal adalah melakukan Perencanaan
yaitu membuat sket TDT yang akan diukur dan menentukan pergerakan alat sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman dalam proses pergerakan alat. Hal – hal yang perlu
dipersiapkan diantaranya:a. Membuat sket TDT yang akan diukur.b. Merencanakan alur pergerakan alat.c. Seting waktu pengamatan, agar dalam pengamatan bisa serempak dan data yang dihasilkan
menjadi maksimal.
d. Cek alat (Baterei, Setting alat mulai pembuatan folder sampai merencanakan penomoran titik).
e. Rencana waktu pengamatan (siang/malam).
Dalam proses pengamatan TDT Orde 3 tersebut banyak kendala yang di hadapi,
diantaranya:a. Cuaca, Seringnya terjadi hujan di Desa Hargobinangun.b. Alat, disini faktor yang paling mempengaruhi adalah keterbatasan daya baterai. Pengamatan
yang dilakukan harus se efektif mungkin.c. Lokasi pengamatan tertutup oleh vegetasi ataupun gardu listrik.d. Sumber Daya Manusia.
Dari hasil pengamatan pada waktu siang dan malam dengan menggunakan GPS
Geodetik terlihat adanya perbedaan jumlah satelit yang ditangkap receiver. Pengamatan yang
dilakukan pada malam hari satelit yang ditangkap receiver berkisar antara 9 sampai 11 satelit
berbeda dengan jumlah satelit yang diamati pada waktu siang hari yang berkisar antara 6
sampai 8 satelit. Hal ini akan mempengaruhi keakuratan data hasil pengamatan. Sudut yang
terbentuk dari ikatan TDT Orde 2 ke TDT Orde 3 yang diukur terlalu lancip, hal tersebut juga
akan mempengahui ketelitian hasil pengamatan.
6. Pengukuran Poligon Utama dan Poligon Cabang
Pengukuran poligon utama D-A menggunakan 2 titik ikat GPS. Pengukuran poligon
cabang I menggunakan 2 titik ikat dari poligon utama dan pengukuran poligon cabang II
menggunakan 4 titik ikat dari poligon utama.
Pengukuran poligon menggunakan tiga statif yaitu untuk Total Station, dan 2 prisma
pada backsight dan foresight. Perpindahan alat hanya dilakukan pada instrumen (Total
Station dan prisma) tanpa perpindahan statif dan tribach kecuali statif dan
tribach backsight berpindah menjadi foresight. Dalam satu titik hanya dilakukan satu kali
sentering dan leveling. Jadi kesalahan perbedaan sentering antara Total Station dan prisma
dapat tereliminasi.
Gambar 24 . Perpindahan Alat
Adapun jarak yang diperoleh pada poligon utama D-A terdapat kesalahan sistematis
karena perbedaan konstanta prisma dari merek yang berbeda. Prisma yang digunakan
bermerek Topcon dan Leica sedangkan total station yang digunakan bermerek
Topcon. Selisih jarak yang dihasilkan antara prisma merek Topcon dan Leica adalah 3 cm.
Setelah menggunakan pertukaran prisma yang bermerek sama dengan total station
dapat diperoleh hasil pengukuran jarak yang presisi. Selisih jarak yang dihasilkan relatif
sama.
7. Penghitungan Poligon Utama dan Poligon Cabang
Penghitungan poligon menggunakan 2 metode. Penghitungan poligon utama dan
poligon cabang I menggunakan metode poligon tertutup terikat 2 titik (DU / DV) sedangkan
poligon cabang II menggunakan metode poligon terbuka terikat sempurna.
Titik ikat yang digunakan pada poligon cabang adalah titik-titik pada poligon utama.
Sebelum koordinat poligon utama selesai, penghitungan poligon cabang menggunakan
metode poligon tertutup koordinat lokal. Hal itu dilakukan untuk mengetahui besarnya
kesalahan penutup sudut dan ketelitian linier. Dari hitungan tersebut diperoleh salah penutup
sudut poligon cabang I: 0 0’ 39,5” salah penutup sudut poligon cabang II : 0 0’ 29,48”,
ketelitian linier poligon cabang I yaitu 1 : 8874,46 dan ketelitian linier poligon cabang II 1 :
6274. Hal itu menandakan tidak terjadi kesalahan blunder maupun sistematik.
Setelah diketahui koordinat poligon utama, poligon cabang dihitung ulang. Hasil
penghitungan diperoleh penurunan ketelitian linier. Hal itu menandakan adanya perambatan
kesalahan pada poligon utama yang diikuti poligon cabang.
8. Pengukuran Detil Situasi
Pengukuran detil situasi menggunakan metode polar. Data yang diambil adalah sudut
horizontal, sudut vertikal, jarak horizontal dan jarak vertikal serta tinggi alat, prisma dan
rover. Sudut horizontal dan jarak horizontal untuk menentukan koordinat X dan Y. Adapun
ketinggian titik diperoleh dari jarak vertikal, tinggi alat dan tinggi prisma. Sedangkan sudut
vertikal sebagai koreksi untuk jarak vertikal.
Pengukuran detil situasi dimaksudkan untuk menggambarkan jalan, sungai, pari,
bangun dan obyek lain sebagai kelengkapan peta dasar teknik.
9. Penghitungan Detil Situasi
Penghitungan detil situasi pada prinsipnya mirip dengan penghitungan poligon. Hanya
saja tidak dapat dilakukan koreksi salah penutup sudut dan jarak. Penghitungan dilakukan
dengan menggunakan microsoft excel.
10. Pengukuran Waterpass Poligon Utama dan Poligon Cabang
Pengukuran waterpass menggunakan metode leafrog. Metode lini ideal digunakan
untuk pengukuran sipat datar karena alat yang digunakan tidak dilengkapi dengan centering
dan titik sumbu garis bidik seperti titik sumbu II pada teodolit sehingga tidak dapat diukur
tinggi alat secara tepat.
Jalur waterpass yang digunakan adalah waterpassing memanjang. Waterpassing
memanjang menggunakan 2 titik ikat dari poligon utama. Jumlah slag antara dua titik poligon
bisa lebih dari satu namun jumlah slag keseluruhan dibuat genap untuk mengeleminir
kesalahan sistematis yaitu keausan rambu ukur. Metode ini berlaku apabila perpindahan
rambu dibuat menyilang yakni rambu belakang menjadi rambu depan dan seterusnya –bukan
rambu belakang terus menjadi rambu belakang. Kendalanya pengukuran tidak dilakukan
dalam satu sesi ukuran, adanya istirahat makan siang ataupun lebih dari satu hari. Maka
rambu ukur yang digunakan diberi tanda misalnya A dan B. Apabila rambu yang digunakan
masih baru dan terjamin tidak aus maka metode ini tidak harus dilakukan.
Dalam pengukuran waterpass selain dicatat Bt juga dicatat Ba dan Bb sebagai koreksi.
Dilapang lapang langsung dihitung selisih antara Bt dan rata-rata Ba dan Bb untuk
menghindari kesalahan blunder. Sering terjadi perbedaan Bt ukuran dan hitungan karena
rambu ukur yang condong ke muka atau belakang. Kecondongan rambu mengakibatkan
selisih antara Ba dan Bt serta Bt dab BB tidak sama. Hal itu dapat diatasi dengan
menggunakan rambu yang memiliki nivo. Namun perbedaan Bt ukuran dan Bt hitungan bisa
juga disebabkan karena ketidaktepatan membaca rambu pada ukuran milimeter (digit ke-4).
Jarak slag dalam pengukuran dibatasi maksimal 50 meter dengan pertimbangan
bahwa jarak tersebut masih memungkinkan memperkirakan bacaan hingga satuan milimeter.
Adapun ukuran slag lebih dari itu sulit membagi kotak (1 cm) pada rambu ukur menjadi 10
bagian (1 mm). Namun karena terpaksa terdapat 1 ukuran slag pada poligon cabang II lebih
dari 50 meter (67.0 m). Slag tersebut berada diantara titik poligon T4-9 dan T4-10. T4-9
berada diatas ketinggian dan T10 berada diatas ketinggian dekat parit yang cukup terjal.
Apabila slag dibuat kurang dari 50 m maka rambu di T4-10 tidak terbaca. Sebenarnya dapat
disiasati dengan membuat slag tambahan memutar melewati daerah yang relatif landai namun
akan memakan waktu cukup lama karena diperkirakan jalur pengukuran menjadi jauh lebih
panjang.
11. Penghitungan Waterpass Poligon Utama dan Poligon Cabang
Penghitungan waterpass didahului dengan menghitung selisih antara Bt hitung dan
rata- rata Ba dan Bb untuk menghindari blunder. Setelah tidak ada blunder maka dilakukan
perhitungan beda tinggi pergi dan pulang. Sementara diketahui beda tinggi selisih pergi dan
pulang dan digunakan sebagai acuan masuk-tidaknya kesalahan terhadap toleransi.
Setelah ketinggian titik ikat diketahui diperoleh kesalahan penutup tinggi yang lebih
besar dibanding selisih beda tinggi pergi dan pulang. (lihat lampiran penghitungan Waterpass
Poligon Utama). Namun, tim IV tidak menggunakan metode waterpassing kring sebagai
pembanding.
12. Pengukuran Detail
Pengukuran detail menggunakan alat total station dan metode zislag. Penggunaan
total station mempermudah pengukuran kontur untuk daerah bertebing dengan beda tinggi
mencapai 15 meter. Metode zislag memungkinkan menjangkau daerah yang tidak terjangkau
oleh poligon utama seperti sungai.
13. Penghitungan Titik Ketinggian
Penghitungan titik ketinggian menggunakan jarak vertikal, tinggi alat dan tinggi
rover. Tinggi rover dibuat sama untuk memudahkan penghitungan dan mengeliminir
kesalahan mengukur tinggi rover dengan pita ukur. Namun pada titik PB2 tinggi alat lupa
diukur. Untungnya prisma backsight belum dibongkar sehingga masih dapat diukur tingginya
untuk mendapatkan ketinggian titik detil dengan rumus lain (lihat dasar teori).
G. Sarana pendukung
Sarana pendukung antara lain:
1. Bus STPN untuk memobilisasi mahasiswa dan peralatan PKL;
2. Sepeda motor pribadi untuk memobilisasi di lapangan;
3. Tenaga penggali yang disediakan dari Pihak Lembaga STPN;
H. Koordinasi dan kerjasama antar tim
Koordinasi antar tim amatlah penting. Dari pembagian wilayah yang ditentukan oleh
instruktur hingga pelaporan PKL. Setelah didapat pembagian wilayah kerja di atas peta desa,
maka perlu diketahui batas wilayah kerja di lapangan. Kemudian volume pekerjaan seluruh
tim berupa pemasangan 80 tugu yang dibagi 16 tim dengan jalur poligon utama dan poligon
cabang juga mengharuskan koordinasi antar tim. Dalam poligon utama terdapat beberapa titik
yang digunakan beberapa tim dan ada beberapa tim yang menggunakan titik poligon cabang
tim lain.
Beberapa permasalahan yang dialami diantaranya :
1. Di jalur poligon utama D-A terdapat titik B1 di simpang jalan untuk ikatan poligon cabang
tim XVI namun jarak ke titik TDT D terlalu dekat, TDT D dan TDT berikutnya saling terlihat
maka berdasarkan rapat koordinasi disepakati titik tersebut hanya berupa titik bantu dari
patok kayu. Namun kemudian setelah dilakukan pengukuran oleh Tim IV dan digunakan
sebagai backsite tim I, tim XVI bermaksud mengganti dengan tugu TDT. Diputuskan
pembatalan pemasangan tugu tersebut.
2. Pada poligon cabang I tim IV terdapat 2 buah titik yang akan digunakan sebaga titik ikat tim
X yaitu titik T4-4 dan T4-5 (pada rancangan awal) namun tidak terlihat dari titik poligon
cabang tim X yang berada di seberang sungai. Akhirnya disepakati titik T4-5 digeser dan
ditambahkan satu titik lagi diantara T4-4 dan T4-5. Untungnya tim IV belum melakukan
pengukuran poligon cabang tersebut.
3. Tim II menggeser 2 patok tim V yang akan digunakan titik ikat tim II tanpa konfirmasi
padahal telah dilakukan pengukuran. Maka tim V harus melakukan pengukuran ulang di 4
titik.
4. Koordinasi pemakaian alat juga dilakukan. Pemakaian prisma yang berbeda pada Total
Station dilakukan upaya penyamaan dengan saling tukar antar tim. Peminjaman total station,
waterpass, bak ukur, statif, baterai, charger, cangkul, linggis dan lainnya antar tim sangat
membantu kelancaran pekerjaan.
5. Berikutnya kerjasama antar tim dalam penghitungan poligon utama. Kemudian saling tukar
saran pendapat anatr tim dalam mengatasi berbagai permasalahan baik pekerjaan lapang
maupun pekerjaan studio seperti penghitungan di basecamp. Sebagai contoh tim XII dan tim
XIV yang kesulitan melakukan pengukuran waterpas di daerah terjal. Sepemahaman mereka
bahwa slah waterpas hanya dapat diberikan satu diantara dua titik poligon yang akan diukur
ketinggiannya. Padahal keterbatasan tinggi waterpass dan karena sifatnya datar maka tidak
dimungkinkan hal tersebut dilakukan. Pada kasus tersebut, apabila waterpass dapat dilakukan
leveling maka salah satu rambu ukur tidak terbaca benang bawahnya. Sebaliknya apabila
kedua rambu terbaca maka waterpass tidak leveling lagi. Begitu seterusnya berulang- ulang.
Akhirnya tim IV memberi masukan dengan membuat slah tambahan sehingga diperoleh lebih
dari satu slah diantara dua titik poligon.
6. Lebih lanjut lagi kerjasama antar tim masih diperlukan dalam pembuatan laporan. Pelaporan
terdiri dari laporan kelompok dan laporan gabungan. Untuk menyeragamkan dan
membakukan lampiran laporan seperti buku tugu dan peta dasar teknik maka dilakukan
kerjasama antar tim.
I. Bimbingan dari instruktur
Pembagian wilayah kerja dilakukan oleh instruktur tentunya dengan berbagai
pertimbangan. Dapat dilihat bahwa tim perempuan berada di daerah relatif lebih mudah dari
segi kesulitan medan dan keamanan kerja. Hal itu memang merupakan tugas instruktur untuk
mengkoordinasikan regu dalam melaksanakan tugas agar sesuai dengan sistematika dan
waktu yang ditetapkan.
Pada perkembangan lebih lanjut pertemuan antar perwakilan (ketua) tim kurang
difasilitasi oleh instruktur. Adapun bimbingan dalam memberikan alternatif penyelesaian
masalah dan arahan dalam pelaksanaan prosedur dilakukan dalam bentuk parsial. Maksudnya
keaktifan peserta dibutuhkan. Jadi permasalahan yang dialami oleh satu tim belum tentu
diketahui tim lainnya sehingga apabila terjadi kasus yang sama masih memerlukan
bimbingan lagi. Seperti halnya kasus pengukuran slah waterpass tim XIII dan tim XIV.
Terlepas dari kekurangan itu, instruktur dan pendamping sangat membantu peserta
PKL. Beberapa instruktur dan pendamping yang ditemui di basecamp maupun lapangan
selain memberikan semangat juga membantu mengatasi keraguan dan beda pendapat antar
peserta PKL.
J. Hasil
1. Daftar Isian 103 (ukuran poligon/detil) dan data ukuran waterpass
Setelah melakukan PKL TDT, anggota tim IV dapat melakukan pengisian DI 103
dengan baik dan benar. Hal itu diperoleh dengan pembelajaran di PKL yang hasil pengisian
DI.103-nya masih kurang rapi penulisannya, kurang tepat perberian notasi titik berdiri alat
dan target, salah tempat penulisan, kurang jelas beda antar huruf (misal angka 0 dan 9, angka
1 dan 7, angka 3 dan 5) dan sketsa yang tidak rapi dan tidak jelas. Dalam pekerjaan
berikutnya tiap peserta dapat mengisi DI.103 lebih baik sehingga dapat dibaca dengan jelas
dan tidak membingungkan orang lain. Apalagi dalam pelaksanaan di kantor tidak jarang
penghitungan dan penggambaran dilakukan oleh orang yang berbeda dengan pengukurnya.
2. Daftar Isian 104 (hitungan koordinat poligon) dan hitungan waterpass
Hitungan poligon dan waterpass dapat dilakukan manual ataupun digital
menggunakan aplikasi seperti netsurvey atau program sederhana seperti Microsoft office
excel. Hitungan computer jauh lebih mudah dan cepat apabila memahami konsep formula
atau program yang digunakan. Sebaliknya bila kurang menguasai justru akan memperlambat
penghitungan bahkan terjadi kesalahan hitung. Seringkali kesalahan hitung (dalam excel)
disebabkan kesalahan formula atau kesalahan meletakkan alamat cel. Tidak jarang kesalahan
hitung membuat panik dan beranggapan terjadi blunder data atau kesalahan ukuran.
Peristiwa di atas dialami tim IV dalam penghitungan poligon utama. Yang akhirnya
dengan bantuan instruktur dapat diatasi yaitu terjadi kesalahan memasukkan koordinat titik
ikat GPS, titik D sehingga jarak titik D dan titik A menjadi 4 meter padahal sebenarnya
1.213, 498 meter.
Tabel 4. Rekapitulasi penghitungan Poligon Kelompok 4.
No. SeksiToleransi kesalahan sudut (“)
Kesalahan sudut
Koreksi tiap sudut
(“)
Kesalahan linierKetelitian
linierX Y
1 Poligon Utama D-A
46” 0,00048 -0,13 0,141 1 : 6322.4
2 Poligon Cabang I
37,42 39,5 - 2,821 -0,044 -0,037 1:8874
3 Poligon Cabang II
24,49 29,48 4,913 -0,015 -0,035 1 : 6274
Tabel 5. Rekapitulasi penghitungan Waterpass Kelompok 4
No. Seksi Toleransi
Selisih beda tinggi pulang-pergi Selisih beda
tinggi dengan titik ikat
BT lapang (mm)
BT hitung
1 Poligon Utama D-A2 Poligon Cabang I 10,056 0 5,5 273 Poligon Cabang II 5,869 - 2 -2,5 9
3. Daftar Isian 106 (daftar koordinat)
Tabel 6. Distribusi Titik Dasar Teknik
4. Daftar Isian 102 (buku tugu)
Jumlah TDT dalam buku tugu tim IV adalah 18 nomor TDT.
5. Peta Dasar Teknik
Peta dasar teknik hasil PKL ini merupakan gabungan dari 16 tim. Di wilayah kerja
tim IV terdapat situasi jalan dan sungai, obyek mushola dan pemakaman, area pemukiman
dan pertanian serta garis kontur.
6. Titik Dasar Teknik
Selain hasil yang dapat dibawa pulang dan atau diserahkan kepada kantor pertanahan,
terdapat hasil nyata dari PKL ini berupa tugu- tugu TDT di lapang. Tugu- tugu itu jauh lebih
berarti dari papan nama jalan atau monumen yang biasa ditinggalkan peserta PKL –KKN-
lainnya.
K. Perencanaan dan Evaluasi
Perencanaan merupakan bagian penting yang ikut menentukan keberhasilan PKL ini.
Perencanaan yang matang akan mempermudah pekerjaan sekaligus mempersingkat waktu
untuk mendapatkan hasil yang optimal. Perencanaan didasarkan pada jenis dan volume
pekerjaan, alat dan sarana, tempat dan waktu, jumlah dan kemampuan personil untuk
mendapatkan metode yang cocok dan sistem kerja yang sinergi.
Evaluasi dilakukan berkala, tidak hanya di akhir kegiatan. Setiap hari dan setiap seksi
pekerjaan dilakukan evaluasi untuk perbaikan. Evaluasi dalam penggunaan alat dilakukan
seperti halnya pemakaian prisma yang berbeda merk dan penggantian waterpass. Metode
pengukuran juga dievaluasi misalnya pengukuran poligon cabang I dan poligon cabang II.
Pada poligon cabang I hanya menggunakan 2 titik ikat sedangkan poligon cabang II
menggunakan 4 titik ikat. Metode penghitungan dapat dibandingkan antara poligon tertutup
terikat sempurna dan poligon terbuka terikat sempurna. Pembagian tugas juga dievaluasi
terbukti bahwa semua anggota tim pernah menggunakan alat ukur, mencatat data ukuran,
memegang bak ukur dan prisma sampai pada penghitungan data dan pelaporan.
L. Pelaporan
Responsi pelaksanaan paling lambat 2 minggu setelah penarikan dari lokasi. Responsi
hanya bisa dilaksanakan apabila mahasiswa sudah menyelesaikan laporan PKL (laporan
kelompok/ perorangan) dan laporan PKL sudah dijilid.
Target laporan selesai hari ke-12 yaitu tanggal 14 Desember 2009. Adanya
pembagian penanggung jawab produk - produk PKL namun pelaksanaan dikerjakan bersama
saling bantu. Daftar koordinat sudah terselesaikan di lokasi PKL. Penghitungan koordinat
(X,Y) poligon cabang dan detil serta pengumpulan data lapang menjadi tanggung jawab:
Bagus. Pengetikan data lapangan dan rekap koordinat detil: Phamyo. Pembuatan Buku Tugu:
Tulus. Peta TDT beserta kontur: Dhanang. Laporan dan ploting koordinat: Heri.
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Keterkaitan antara teori dan praktik amatlah kuat. Tidak ada yang lebih praktikal
daripada dasar teori yang kuat. Tingkat keterampilan seseorang amat dipengaruhi oleh
pengetahuannya. Memang mengasah keterampilan dengan pengulangan namun tidak akan
banyak berarti tanpa pembelajaran. Permasalahan - permasalahan di lapang menuntut
dipecahkan dengan kemampuan kognitif seseorang. Sedangkan aspek kognitif akan diuji dan
dibuktikan dengan praktik. Dengan praktik banyak hal yang dapat diketahui. Terbukti PKL
ini membuka pengetahuan peserta akan apa yang tidak diketahui, apa yang harus diketahui
dan bagaimana cara mengetahuinya.
Salah satu hal yang menjadi pembuktian baru bagi peserta adalah aspek afektif.
Bagaimana sikap, cara berpikir dan sudut pandang seseorang dalam menilai pekerjaan akan
menentukan kualitas kinerja dan hasilnya. Betapa pentingnya kerjasama, koordinasi, diskusi
dan betapa perlunya saling memahami, menghargai dan mengisi kekurangan teman kerja.
Belajar menjadi seorang pemimpin dengan menjadi pengikut yang baik. Memutuskan untuk
mengikuti apa yang menjadi keputusan bersama meskipun tidak sesuai dengan harapannya.
Seorang pemimpin juga harus mampu merencanakan suatu proyek agar sumberdaya
yang terbatas mempunyai hasil yang optimal. Lulusan Diploma IV kelak tidak hanya menjadi
pelaksana. Jadi selain mampu merencanakan juga mampu mengevaluasi, mengukur
keberhasilan suatu proyek, dalam hal ini PKL Titik Dasar Teknik.
PKL dasar teknik merupakan aplikasi dari beberapa mata kuliah yang dipelajari di
kampus antara lain: Dasar – dasar Pengukuran Tanah, Kerangka Dasar Pemetaan, Katografi,
Pengolahan Data Berkomputer, Matematika dan Fisika.
Pengukuran GPS metode penentuan posisi defferensial hasilnya teliti namun
pelaksanaannya perlu koordinasi dan persipan yang matang. Hasil yang diperoleh dari GPS
adalah koordinat kartesian tiga dimensi(x,y,z) dalam system koordinat WGS 84 (World
Geodetic system 1984), yang merupakan realisasi dari system CTS. Koordinat kartesian (x, y,
z) tersebut selanjutnya ditransformasikan menjadi koordinat geodetik (j, l, h).
Pengukuran TDT orde 4 menggunakan minimal 2 titik ikat dengan metode poligon
tertutup. Sedangkan poligon terbuka memerlukan 4 titik ikat. Pengukuran sudut dan jarak
menggunakan total station dengan 3 statif lebih mudah dan teliti. Total station dapat
digunakan mengukur beda tinggi untuk menentukan titik ketinggian.
Waterpass memiliki ketelitian tinggi bila digunakan mengukur slag kurang dari 50 m
dengan rambu yang dilengkapi nivo dan metode leafrog. Rambu yang aus dapat dieliminir
kesalahannya dengan menggunakan rambu secara silang dalam jumlah slag genap. Antar dua
titik yang akan diukur bisa dibuat lebih dari satu slag. Semakin panjang jarak slag maka
kesalahan semakin besar (toleransi makin besar) maka diupayakan penempatan waterpass
segaris dua titik yang akan diukur untuk memperpendek jarak.
Data ukuran maupun hitungan yang paling penting dalam buku tugu adalah koordinat
(X, Y dan geodetik) termasuk tinggi ellipsoid beserta identitas tugu. Penghitungan koordinat
dan ploting koordinat secara digital jauh lebih mudah apabila menguasai programnya.
Membuat peta kontur lebih mudah menggunakan program Surfer 8, tapi apabila data tidak
lengkap hasilnya tidak baik.
B. Saran
Pembagian tim sebaiknya dipercayakan kepada instruktur atau mahasiswa agar merata
kemampuan akademis, keterampilan dan pengalaman kerja (non Diploma I).
Seluruh alat seharusnya diperiksa peserta dan segera dipisahkan sehingga
memudahkan pengambilan alat menjelang pemberangkatan dan menghindari alat yang rusak
terbawa ataupun tertukar (baterai dan prisma).
PKL pemeliharaan TDT I lebih awal dan PKL Pengukuran Bidang diberi jeda dengan
PKL TDT. Tim yang mengukur GPS dan poligon utama diberi waktu lebih atau datang lebih
awal. Lamanya waktu pelaksanaan dihitung berdasarkan hari kerja dan perhatikan
kepentingan mahasiswa (hari raya).
Penyuluhan tentang pelaksanaan PKL sebaiknya diadakan lebih awal.
Dalam PKL selanjutnya Diharapkan para instruktur lebih aktif turun ke lapang
mendampingi peserta PKL sehingga bila terjadi permasalahan dilapang dapat diselesaikan
lebih cepat. Perlunya pendampingan instruktur pada waktu koordinasi antar tim melalui
perwakilan (ketua) agar permasalahan satu regu dapat diketahui regu lain dan dapat
diselesaikan dengan cepat tepat serta dapat mengatasi perbedaan pendapat.
Perlu mempresentasikan hasil (laporan) PKL TDT untuk mempertajam pengetahuan
dan menyatukan persepsi.
Berikan apresiasi lebih terhadap prestasi kerja tim untuk memacu semangat belajar.
Diposkan oleh Agus Dhanang Purnomo di 02.46 Tidak ada komentar: Posting Lebih Baru Beranda
Langganan: Entri (Atom)Pengikut
Arsip Blog ▼ 2010 (1)
o ▼ Januari (1)
Laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) Mahasiswa Progr...
Mengenai Saya
Agus Dhanang Purnomo
Saya seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang sekarang menempung jenjang pendidikan Diploma IV
Lihat profil lengkapku