kurikulum pendidikan jurnalistik

19
1 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik KURIKULUM PENDIDIKAN JURNALISTIK; PENDEKATAN INTEGRALISTIK DI ANTARA KAPITALISME MEDIA Oleh: Rulli Nasrullah (Dosen Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) Keywords ; Pendidikan Jurnalistik, Media, Integralistik, Kapitalisme Media ABSTRAK Kurikulum Pendidikan Jurnalistik disesuaikan dengan Standar Nasional Pendidikan yang nantinya diturunkan dalam Standar Kompetensi dan Standar Isi. Yang riil dari standar itu dalam bentuk kurikulum adalah apa yang disampaikan pengampu di dalam kelas yang disebut dengan kurikulum terimplementasi. Yang menjadi persoalan adalah apabila insitusi media menampung lulusan bukan dari program studi jurnalistik. Kurangnya pengetahuan dan keahlian jurnalistik tentu akan menjadi kendala utama yang mesti mendapatkan perhatian serius, terlebih dengan masuknya era kebebasan pers di Indonesia setelah tahun 1998 yang berakibat pada banyaknya (institusi) media yang muncul. Perkembangan media di Indonesia bisa dikatakan mengalami kemajuan yang cukup pesat sejak pencabutan dua Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen), dilakukan oleh Menteri Penerangan kala itu, M Yunus Yosfiah, pada tanggal 5 juni

Upload: kang-arul

Post on 08-Jun-2015

1.679 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

1 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

KURIKULUM PENDIDIKAN JURNALISTIK;

PENDEKATAN INTEGRALISTIK DI ANTARA KAPITALISME MEDIA Oleh:

Rulli Nasrullah

(Dosen Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Keywords ; Pendidikan Jurnalistik, Media, Integralistik, Kapitalisme Media

ABSTRAK Kurikulum Pendidikan Jurnalistik disesuaikan dengan Standar Nasional Pendidikan

yang nantinya diturunkan dalam Standar Kompetensi dan Standar Isi. Yang riil dari

standar itu dalam bentuk kurikulum adalah apa yang disampaikan pengampu di dalam

kelas yang disebut dengan kurikulum terimplementasi. Yang menjadi persoalan adalah

apabila insitusi media menampung lulusan bukan dari program studi jurnalistik.

Kurangnya pengetahuan dan keahlian jurnalistik tentu akan menjadi kendala utama

yang mesti mendapatkan perhatian serius, terlebih dengan masuknya era kebebasan

pers di Indonesia setelah tahun 1998 yang berakibat pada banyaknya (institusi) media

yang muncul.

Perkembangan media di Indonesia bisa dikatakan mengalami kemajuan yang

cukup pesat sejak pencabutan dua Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen),

dilakukan oleh Menteri Penerangan kala itu, M Yunus Yosfiah, pada tanggal 5 juni 1998.

Kelonggaran yang ada dalam Permempen yang baru tersebut mendorong berbagai

badan usaha maupun perorangan untuk menerbitkan media massa, khususnya media

cetak. Dalam dua minggu pertama sejak diberlakukannya peraturan tersebut setidaknya

sudah 20 SIUPP baru telan dikeluarkan Deppen. Selanjutnya pada pertengahan 1999

jumlah SIUPP baru yang dikeluarkan oleh lembaga ini menjadi 852.

Dalam banyak kasus, institusi media –dengan pertarungan ideologi di dalamnya-

menekankan aspek ekonomi media dibandingkan aspek pelaksanaan fungsi media itu

sendiri. Bahwa selain ada pertimbangan-pertimbangan dasar yang menjadi acuan

Page 2: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

2 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

apakah peristiwa dapat diberitakan atau program mata acara dapat disiarkan kepada

khalayak, ada pertimbangan lain, yaitu faktor untung-rugi bagi institusi media yang

bersangkutan. Persoalan yang muncul lainnya bersinggungan dengan profesionalisme

pelaku media. Misalnya, wartawan yang mengabaikan kode etik jurnalistik ketika

melakukan praktek jurnalistik. Kasus Majalah Tempo dan pengusaha Tomi Winata

berkaitan dengan berita keterlibatan Tomi Winata atas megaproyek Pasar Tanah Abang

yang tidak dilakukan proses konfirmasi dan cover both side sehingga berujung pada

proses hukum adalah contoh kasus bagaimana wartawan tidak bekerja pada kode etik

jurnalistik.

Perkembangan Media di Indonesia di Era Kebebasan Pers

Perkembangan media di Indonesia bisa dikatakan mengalami kemajuan yang

cukup pesat sejak pencabutan dua Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen),

dilakukan oleh Menteri Penerangan kala itu, M Yunus Yosfiah, pada tanggal 5 juni 1998.

Salah satu pasal yang menjadi persoalan di kalangan pelaku media adalah berkaitan

dengan Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dalam

peraturan yang baru tersebut ditegaskan bahwa siapa saja, baik perorangan dan atau

kelompok, bebas menerbitkan media dan peraturan tersebut tidak lagi mencantumkan

sanksi pencabutan SIUPP atau pembredelan bagi pers yang dinilai melanggar peraturan.1

Kebebasan dalam pengurusan SIUPP, bahkan tidak diperlukan lagi pengurusan

SIUPP dalam penerbitan, dan kelonggaran yang ada dalam Permempen yang baru

tersebut mendorong berbagai badan usaha maupun perorangan untuk menerbitkan

media massa, khususnya media cetak. Dalam dua minggu pertama sejak

diberlakukannya peraturan tersebut setidaknya sudah 20 SIUPP baru telan dikeluarkan

Deppen. Selanjutnya pada pertengahan 1999 jumlah SIUPP baru yang dikeluarkan oleh

lembaga ini menjadi 852 SIUPP2. Jumlah tersebut semakin bertambah ketika Deppen

dibubarkan, diganti dengan Badan Koordinasi Informasi dan Komunikasi Nasional

(BKIKN), serta tidak adanya lagi ketentuan yang mengharuskan setiap media massa yang

terbit harus memiliki SIUPP. Dan jumlah media semakin tahun semakin bertambah

banyak, baik itu media cetak, media elektronik, hingga media online. Juga, terbitnya

Page 3: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

3 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers semakin memberikan peluang besar

tanpa harus phobia terhadap tindakan represif pemerintah terhadap media media

dalam melakukan tugas-tugasnya.

Banyaknya media yang bermunculan tentu membawa konsekuensi logis; bahwa

semakin banyak diperlukan sumber daya manusia, dalam hal ini wartawan. Ini artinya

membuka peluang bagi lulusan jurnalistik yang memang memiliki kompetensi untuk

melakukan tugas-tugas kewartawanan.

Namun, terbatasnya perguruan tinggi, baik negeri dan swasta, yang

menyelenggarakan program pendidikan di bidang jurnalistik menyebabkan adanya

ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja yang ada. Sehingga untuk

mengantisipasi hal tersebut, mau tidak mau institusi media mengeluarkan kebijakan

bahwa dari program studi dan keahlian apapun bisa mendaftarkan diri menjadi

wartawan di institusi media mereka.

Di satu sisi, penyediaan peluang bagi lulusan program studi non-jurnalistik

membawa keuntungan tersendiri. Banyaknya rubrikasi atau ragam mata acara yang

disediakan oleh media membutuhkan penguasaan dan keahlian yang khusus pula

sehingga informasi yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Misalnya, rubrik ekonomi ditangani oleh para sarjana ekonomi , rubrik pertanian

ditangani oleh sarjana pertanian, begitu juga dengan rubrik-rubrik yeng memang

memerlukan dukungan keilmuan khusus. Hanya saja persoalam spesialisasi atau

pengkhususan ini akan memunculkan persoalan lain, yaitu sarjana-sarjana yang direkrut

tersebut –dalam banyak kasus- tidak memahami kaidah-kaidah dalam jurnalistik, mulai

dari cara menulis berita, penggunaan bahasa, kaidah tata bahasa, etika profesi, hingga

teknik-teknik jurnalistik lainnya.

Proses (Penentu) Produksi Media

Metthew Kieran memberikan penegasan bahwa berita (atau program mata acara

di televisi) tidaklah dibentuk dalam ruang hampa.3 Berita diproduksi dari ideologi

dominan suatu wilayah kompetensi tertentu. Ideologi yang dimaksud Kieran di sini tidak

Page 4: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

4 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

hanya dalam arti ide-ide besar, juga bisa bermakna pada politik penandaan atau

pemaknaan.

Sementara Gramsci mengemukakan bahwa hubungan pemilik modal dengan

pekerja, atau dalam konteks organisasi media berarti antara para wartawan dengan

pemilik industri media merupakan hubungan yang bersifat hegemonik. Di mana para

wartawan tidak bisa menyajikan realitas apa adanya tanpa mengaitkan ideologi media

dan kepentingan industri media yang bersangkutan. Hal yang sama dikemukakan oleh

Reese-Shoemeker (1996) dala penelitian tentang sosiologi media bahwa faktor ideologi

merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi isi media.

Dari sisi internal institusi media itu sendiri, pengaruhnya sangat terlihat pada pola

pandang yang pada akhirnya akan mempengaruhi kebijaksanaan redaksional guna

mengkonstruksi realitas atau peristiwa politik kepada publik. Bahkan bagi media massa

hal tersebut jauh lebih rumit karena tidak hanya melibatkan faktor politik, melainkan

juga dari segi ekonomi dan kepentingan dominan pemilik media dalam menjalankan

fungsi ekonomi-politik4.

Page 5: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

5 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

Capital/Direction Profits/Influence

Capital/Policy Revenues/Influence

Public Attention

Money

Public Attention

Information

Content Attention/Money

1 Kekuatan dari peraturan pemerintah yang melegalkan tindakan represif pemerintah untuk menghentikan bahkan membubarkan institusi media sudah sejak lama disuarakan oleh kalangan wartawan. Pembredelan terhadap Harian Sinar Harapan pada tahun1970-an hingga pada kasus Majalah Tempo pada Juni 1994 merupakan contoh kasus bagaimana kontrol yang dilakukan terhadap teks dan lembaga media yang dilakukan oleh pemerintah. Lebih lanjut baca Krishna Sen dan David T Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta: ISAI,2000, hal.7

2 Diantara 825 SIUPP yang telah dikeluarkan masih didominasi oleh media umum sebanyak 561 media atau 64,84 persen ; media bisnis dan ekonomi serta politik sebanyak 83 buah atau 9,74 persen ; media hiburan, olahraga serta pariwisata sebanyak 49 buah atau 7,75 persen ; media keluarga, kesehatan dan anak, gaya hidup dan perempuan sebanyak 40 buah atau 4,68 persen ; media hukum, keadilan kriminalitas dan HAM sebanyak 39 media atau 4,57 persen ; media pendidikan dan bursa kerja sebanyak 33 media atau 3,87 persen ; media keagamaan sebnayak 22 buah atau 2,58 persen ; media seni sastra dan kebudayaan 14 buah atau 1,64 persen serta lain-lain 11 buah atau 1,22 persen.

3 Matthew Kieran, News Reporting and the Ideological Presumption, Journal of Communication, Vol. 47, No. 2, 1997, hlm. 80 dan 85

4 John H. McNamus, Market Driven Journalism: Let The Citizen Beware?, California: Sage Publication, 1994, kajian yang dilakukan oleh McNamus ini terutama mewakili paradigma kritis dimana kebijakan suatu media juga terpengaruh oleh faktor ekonomi.

Investor/Owners

Parent Corporation

News Departemen

Journalism MarketNorms (Business)

Norms

Organizational Culture

Newsworkers

News Decisions(Discovering, Selecting, Reporting

Issues/events)

K

Media Firm

News Sources

News Sources

Page 6: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

6 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

Penampang 1 Skema Pengaruh dalam Produksi Berita5

Skema yang ditawarkan oleh McNamus tersebut menjelaskan bahwa selain

perangkat-perangkat media itu sendiri ada empat kekuatan lain yang mempengaruhi

produksi berita, yaitu sumber (news sources), pengiklan (advertisers), konsumen berita

(news consumers), dan publik (the general public). Lalu, siapa sebenarnya yang paling

memberikan pengaruh terhadap produksi media? Bagi Robert Entman (1989) dan Philip

Meyer (1987) konsumen memiliki peranan penting dalam produksi media, Herbert Gans

(1979) menegaskan bahwa produksi berita merupakan hasil pertarungan antara

kekuasaan yang mendominasi dengan konsumen, J. Herbert Altschull (1984)

menyatakan “whoever pays the piper calls the tune” dengan demikian siapa yang

memiliki kekuatan finansial -dalam konteks ini pihak pengiklan- dapat mengatur dan

menentukan produksi berita apa yang diinginkannya. Hal senada juga diungkapkan oleh

Joseph Turow (1984) yang menyatakan bahwa pihak pengiklan mempunyai peran yang

dominan dalam menentukan nilai berita, akan tetapi pada tahap selanjutnya Turow

menegaskan bahwa pemilik modallah yang memiliki peran6.

Walau Robert Lichter, Stanley Rothman, and Linda Lichter (1986) menyatakan bila

penentu akhir dari produksi media adalah wartawan itu sendiri7, akan tetapi intervensi

yang mungkin diberikan oleh pemilik modal atau karena pertimbangan iklan seringkali

sebuah berita yang layak diterbitkan harus mengalah demi kepentingan tersebut8.

5 Ibid., hlm. 606 Untuk kasus Amerika Serikat, McNamus memandang secara lingkungan kerja yang melandaskan pada

kebijakan hukum, budaya, dan teknolgi, maka yang memainkan peranan penting adalah pemilik modal dan investor utama media. Ibid., hlm. 32. Hal ini kembali ditegaskan oleh Edward Herman dan Noam Chomsky yang menyatakan bahwa yang berkuasa dalam menentukan keputusan akhir di ruang media adalah para penguasa dan pemilik modal. Lihat dalam M. Hertsgaard, On Bendeed Knee, New York:Farrar, Straus, Giroux, 1988

General Public

Consumers

Page 7: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

7 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

Kondisi demikian menegaskan bahwa institusi media beroperasi atas dasar kepentingan

bisnis yang murni.

Selain itu, perekrutan wartawan yang bukan dari lulusan dan memiliki kompetensi

dibidang jurnalisik, menyebabkan kurangnya daya tawar dan lemahnya kemampuan

wartawan tersebut dalam menjalankan profesinya di lapangan. Persoalan ini tidak

menjadi masalah besar bagi institusi media yang telah mapan dan memiliki segmentasi

pembaca yang telah terbentuk serta memiliki pemasang iklan yang tetap. Sebab,

institusi media yang bersangkutan dapat menyelenggarakan kursus internal untuk

menyiapkan tenaga wartawan yang ahli dan siap pakai9. Materi-materi yang diajarkan

dalam kursus internal itu antara lain Tata Bahasa Indonesia, Teknik Jurnalistik, Kode Etik

Wartawan, Panduan Menulis Ragam Berita, hingga mengupas persoalan hukum dan

psikologi sosial. Sementara waktu pelatihan yang diberikan antara tiga bulan hingga satu

tahun. Selesai dari pelatihan tersebut, calon wartawan tadi masih harus mengalami

masa-masa uji coba yang memungkinkan untuk tidak diterima sebagai wartawan

institusi media yang bersangkutan. Hal ini berarti, walau secara kompetensi calon

wartawan itu bukan lulusan yang berkonsentrasi pada jurnalistik, tetapi dengan

mengikuti pendidikan internal yang disediakan oleh institusi media yang bersangkutan

dapat dipastikan bahwa calon wartawan itu telah siap menjalankan profesinya.

Namun, untuk menjalankan kursus internal dengan materi yang telah disebutkan

sebelumnya memerlukan waktu, sumber daya manusia, dan tentu saja biaya yang tidak

sedikit. Apalagi bila hal tersebut dilakukan secara rutin setiap tahunnya -yang

disebabkan adanya tenaga-tenaga lama yang sudah memasuki masa pensiun atau

pindah bekerja ke institusi media lain- tentu akan menjadi persoalan serius yang mesti

7 Rothman Litcher & L Litcher, The Media Elite; America’s New Powerbrokers, Bethesda, MD: Adler&Adler, 1986

8 Mc Namus, Op.cit, hal.30-319 Dalam pengamatan dan pengalaman penulis, institusi media-media yang menyelenggarakan kursus

internal bagi calon wartawan adalah KOMPAS-Gramedia Grup, Majalah Gatra, Kelompok TEMPO, Media Group, jaringan berita nasional ANTARA, Media Nusantara Citra (RCTI, TPI, GLOBALTV, Tabloid Genie, Tabloid Realita, Harian Seputar Indonesia, Radio GlobalFM, Radio Trijaya, Women Radio, Radio DangdutTPI), Kelompok Surya Citra Televisi, dan Republika. Sementara jaringan koran daerah terbesar di Indonesia, Jawa Pos Grup, yang juga mulai bermain di televisi lokal tidak memberikan kursus internal jurnalistik bagi calon wartawannya.

Page 8: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

8 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

dipikirkan oleh pemilik modal. Dan akan persoalan akan semakin serius bila institusi

media tersebut tergabung dalam kelompok media yang memiliki penerbitan di daerah

serta bagi institusi media yang dibangun hanya dengan modal yang sekadarnya saja.

Sehingga sangat beralasan bila banyak institusi media yang tidak

Terbatasnya perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan jurnalistik dan

semakin banyaknya media yang secara signifikan juga menerima banyak lulusan

perguruan tinggi yang bukan sesuai dengan kompetensi dan kompetisi bidang pekerjaan

adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Bila pemilik institusi media dihadapkan pada

pilihan mengadakan pendidikan internal bagi calon wartawannya dengan pilihan

memanfaatkan dana pelatihan untuk kepentingan peningkatan kualitas atau dalam

kondisi yang ekstrim sampai pada pilihan yang penting koran/majalah memerlukan

biaya cetak, maka jelas pilihan jatuh pada yang terakhir10.

Jelas, ini adalah persoalan!

Mengurai Persoalan Praktik Jurnalisme

Kondisi yang telah disebutkan di atas setidaknya akan membawa persoalan, salah

satunya adalah, dalam banyak kasus, institusi media –dengan pertarungan ideologi di

dalamnya- menekankan aspek ekonomi media dibandingkan aspek pelaksanaan fungsi

media11 itu sendiri. Bahwa selain ada pertimbangan-pertimbangan dasar yang menjadi

acuan apakah peristiwa dapat diberitakan atau program mata acara dapat disiarkan

kepada khalayak12, ada pertimbangan lain, yaitu faktor untung-rugi bagi institusi media

yang bersangkutan. Apakah jumlah ekslempar akan lebih banyak terjual atau rating

tayangan akan naik menjadi faktor penting yang ikut masuk dalam proses produksi

berita atau program, bahkan dalam banyak kasus menjadi faktor yang mendominasi.

Persoalan yang muncul lainnya bersinggungan dengan profesionalisme pelaku

media. Misalnya, wartawan yang mengabaikan kode etik jurnalistik13 ketika melakukan

praktek jurnalistik. Kasus Majalah Tempo dan pengusaha Tomi Winata berkaitan dengan

berita keterlibatan Tomi Winata atas megaproyek Pasar Tanah Abang yang tidak

10 Untuk melihat bagaimana institusi media di Indonesia lebih mementingkan faktor keuntungan finansial dari pada pertimbangan kualitas isi dari berita atau program acara yang disiarkan bisa dilihat dalam Krishna Sen dan David T Hill, Op.cit, hal.10-13

Page 9: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

9 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

dilakukan proses konfirmasi dan cover both side sehingga berujung pada proses hukum

adalah contoh kasus bagaimana wartawan tidak bekerja pada kode etik jurnalistik.

Belum lagi dengan adanya ungkapan-ungkapan seperti “wartawan amplop”, “wartawan

pemeras”, atau “wartawan kuning” seringkali terdengar dan dikeluhkan para

narasumber dan mereka yang “dipaksa” menjadi narasumber; semakin jelaslah bahwa

persoalan etika wartawan menjadi masalah yang dihadapi oleh media.

Distorsi terhadap indentitas sosiol budaya adalah persoalan lain yang muncul

terhadap tidak terintegralnya kurikulum pendidikan jurnalistik, baik dalam penggunaan

Bahasa Indonesia maupun dominasi selera pasar dalam pemberitaan/program acara

yang dilakukan olek pelaku media. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa

Bahasa Indonesia diajarkan kepada seluruh mahasiswa di pelbagai jurusan/program

studi karena masuk dalam kelompok MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum), akan tetapi

hasil akhirnya tidak menghasilkan mahasiswa yang mampu menulis14. Ditambah dengan

tidak adanya pelatihan menulis Bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah tata bahasa dan

menurut EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) yang disediakan khusus oleh institusi media –

dan dalam banyak kasus sturktur keredaksian media yang tidak menempatkan khusus

seorang redaktur pengoreksi bahasa- sehingga mengakibatkan mudahnya ditemui

kesalahan-kesalahan kalimat dalam publikasi; mulai dari struktur kalimat, logika kalimat,

sampai pada penggunaan kata-kata yang tidak sesuai dengan kaidah berbahasa yang

baik. Juga, adanya stereotype yang dilakukan media, misalnya, bahwa foto-foto yang

tragis, kejam, bahkan mengerikan adalah foto yang sangat disenangi oleh khalayak

dibandingkan foto-foto yang humanis15.

Pendekatan Integralistik dalam Kurikulum Jurnalistik

Kompetensi Pendidikan Jurnalistik yang diselenggarakan di perguruan tinggi di

Indonesia adalah jenjang pendidikan yang menyiapkan tenaga-tenaga jurnalis siap pakai

dan atau memiliki kompetensi di bidang jurnalistik; baik itu cetak, elektronik, dan online.

Oleh karena itu, Kurikulum Pendidikan Jurnalistik disesuaikan dengan Standar Nasional

Pendidikan yang nantinya diturunkan dalam Standar Kompetensi dan Standar Isi. Yang

riil dari standar itu dalam bentuk kurikulum adalah apa yang disampaikan pengampu di

Page 10: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

10 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

dalam kelas yang disebut dengan kurikulum terimplementasi, entah itu berupa teori

maupun praktek.

Matakuliah seperti Bahasa Indonesia, Dasar-Dasar Kepenulisan, Teknik

Wawancara, Menulis Berita, Fotografi, dan atau Menulis Skrip merupakan matakuliah

yang memberikan kemampuan teknik jurnalistik kepada mahasiswa. Sementara

matakuliah seperti Etika Jurnalistik, Pengantar Hukum Indonesia, Pengantar Politik

Indonesia, atau Psikologi Sosial memberikan kemampuan non-teknik bagi mahasiswa.

Dua kemampuan ini merupakan bagian integral dalam membentuk kompetensi lulusan

program studi jurnalistik. Sehingga ketika masuk dalam dunia kerja di bidang jurnalistik

para lulusan program studi ini tidak menemui kendalam dalam melakukan tugasnya.

Yang menjadi persoalan adalah apabila insitusi media menampung lulusan bukan

dari program studi jurnalistik. Kurangnya pengetahuan dan keahlian jurnalistik tentu

akan menjadi kendala utama yang mesti mendapatkan perhatian serius, terlebih dengan

masuknya era kebebasan pers di Indonesia setelah tahun 1998 yang berakibat pada

banyaknya (institusi) media yang muncul.

11 McQuail mencatat bahwa fungsi media terbagi atas dua bagian besar, yaitu fungsi media bagi masyarakat dan fungsi media bagi individu. Bagi masyarakat, media berfungsi sebagai saluran informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi. Sementara bagi individu, media berperan besar sebagai tempat untuk mencari informasi, mengindentifikasikan idenitas pribadi, integrasi dan interaksi sosial, serta sebagai hiburan. Lihat Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987, hal. 69-73

12 Dalam proses konstruksi terhadap realitas, pelaku media memiliki kriteria yang dijadikan pedoman, yaitu kriteria teknis dan kriteria yang berkaitan dengan kualitas atau bobot produk berita. Kriteria atau persyaratan teknis ini berkaitan dengan unsur-unsur peristiwa yang memiliki nilai berita (news value). Sementara unsur-unsur nilai berita dari peristiwa atau realitas itu adalah memiliki nilai penting (significance), kedekatan waktu (timeliness), peristiwa besar atau melibatkan tokoh besar (magnitude), ada kedekatan (proximity), ketenaran peristiwa dan sumber yang terlibat (prominence) dan unsur ketertarikan yang melibatkan sisi kemanusiaan (human interest). Lihat dalam Bonaventura Satya Bharata, “Dinamika Framing Surat kabar Indonesia dan Kontroversi RUU Penyiaran 2002”, dalam Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: Gitanyali, 2004, hal. 170-172 bandingkan dengan pendapat [ersyaratan teknis nilai berita Ronald E. Walseley dan Laurence R. Campbell. Menurut mereka, ada dua faktor yang dapat digunakan, yaitu faktor determinan dan faktor komponen. Sebagai faktor determinan, Walseley dan Campbell membaginya dalam lima kriteria, yakni ketepatan waktu, kedekatan, dikenal, konsekuensi, dan human interest. Sebagai faktor komponen, Walseley dan Campbell menyebutkan bahwa komponen berita berkaitan dengan bagian yang ada di dalam berita itu sendiri. Komponen berita biasanya dikaitkan dengan sumber berita atau keadaan yang menyertai peristiwa tersebut. Misalnya, usia, jenis kelamin, atau kebiasaan. Lihat Ronald E. Walseley dan Laurence R. Campbell, Exploring Journalism, New Jersey: Prentice-Hall, 1957, hal. 271-272 bandingkan pula dengan Siregar, Ashadi, (et.all), Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998

Page 11: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

11 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

Namun, adalah tidak bijak merumuskan rekomendasi terhadap semua institusi

media bahwa semua wartawan yang direkrut haruslah berasal dari program studi

jurnalistik serta kewajiban pelaksanaan pendidikan intrenal untuk setiap calon

wartawan.

Oleh karena itu, beberapa usulan berikut sekiranya dapat dijadikan pertimbangan

baik bagi (calon) wartawan, institusi media, khalayak media, hingga pemerintah yang

pemegang regulasi kebijakan. Pertama, sebagai salah satu kekuatan dalam pilar

demokrasi, keberadaan media menjadi penting. Apalagi mengingat media merupakan

saluran komunikasi yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan saluran

komunikasi yang lain16, sehingga diperlukan tanggung jawab secara moral untuk

melaksanakan tugas-tugas jurnalistik dan berperan aktif dalam mengembangan segala

aspek dalam proses pembangunan di Indonesia. Contoh kasus yang bisa dipaparkan di

sini adalah dalam melestarikan Bahasa Indonesia yang baik serta benar.

Kedua, Institusi media dan pemerintah –ditambah dengan perguruan tinggi- sudah

saatnya menjalin kerjasama untuk meningkatkan kualitas wartawan dalam melakukan

tugasnya. Biaya yang mahal apabila institusi media harus melakukan sendiri pendidikan

secara internal dapat diatasi dengan melakukan kerjasama antara institusi media

dengan berbagai pihak, utamanya dengan perguruan tinggi. Wartawan yang bukan

berasal dari program studi jurnalistik, misalnya, dapat mengikuti kuliah-kuliah jurnalistik

dan kebahasaan sebagai mahasiswa tamu. Sebaliknya, media juga memberikan peluang

bagi perguruan tinggi untuk mempublikasikan penelitian dan atau kesempatan bagi para

13 Undang-undang tentang kebebasan pers tidak hanya melahirkan banyak media, tetap juga memunculkan banyak organisasi profesi kewartawanan yang masingmasing memiliki kode etik tersendiri, seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dan AJTI (Aliansi Jurnalis Televisi Indonesia). Namun, hasil kesapakatan antara organisasi profesi kewartawanan tersebut muncullah Kode Etik Wartawan Indonesia, yaitu (1) Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, (2) Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi, (3) Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampur fakta dnegan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat, (4) Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila, (5) Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi, (6) Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, off the record sesuai kesepakatan, dan (7) Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat dalam pemberitaan serta melayani hak jawab. Selanjutnya lihat dalam Atmakusumah (ed.), 10 Pelajaran untuk Wartawan, Jakarta:LSPP-Kedutaan Besar Swiss, 2000

Page 12: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

12 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

mahasiswa untuk melakukan praktek kerja lapangan sebagai prasayarat utama dalam

menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan adanya simbiosis mutualisme ini

diharapkan persoalan yang dihadapi oleh media terhadap calon wartawannya akan

dapat diatasi.

Ketiga, berkaitan dengan etika wartawan maupun institusi media dalam

melakukan tugasnya, diperlukan keseriusan dari lembaga independen seperti Dewan

Pers yang dibentuk oleh pelaku media sendiri utuk mengawasi, memberikan

pertimbangan, hingga melakukan teguran terhadap media. Hanya saja perlu adanya

pengembangan lebih lanjut terhadap keberadaan Dewan Pers, yaitu dengan melibatkan

banyak kalangan dari beragam sektor sehingga lembaga ini akan semakin profesional

dalam memberikan pertimbangan terhadap kasus-kasus yang menimpa pelaku dan

institusi media. Selain itu, Dewan Pers bisa dijadikan lembaga yang memberikan

akreditasi bagi institusi media serta sertifikasi profesional bagi wartawan. Bersama

insitusi media, pemerintah, perguruan tinggi, dan pihak-pihak terkait Dewan Pers bisa

mengusulkan untuk merumuskan panduan pendidikan jurnalistik yang standar dan

diberlakukan secara nasional, dengan tetap memperhatikan kekhasan nilai-nilai lokal.

14 Ada banyak persoalan dalam pengajaran Matakuliah Bahasa Indonesia di perguruan tinggi, yaitu bobot matakuliah yang hanya 2 atau 4 sks, diajarkan oleh dosen muda yang kurang berpengalaman dan tidak memiliki kemampuan menulis ilmiah atau menulis di media, kelasnya relatif besar dan heterogen, pengulangan materi yang pernah diajarkan di SMU, tidak ada klasifikasi berdasarkan kompetensi dan kebutuhan mahasiswa, rumusan tujuan perkuliahan yang saalah alamat dan mubazir. Lebih jauh lihat A Chaedar Alwasilah, Bahasa Indonesia di PT, Harian Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu, 26 Agustus 2006 dan juga Redefinisi Profesi Dosen, Harian Pikiran Rakyat, Edisi Kamis, 5 Januari 2006

15 Ada kecenderungan bahwa saat ini media lebih mementingkan tampilan yang bernuansa sek, kriminal, dan konflik. Baca Rulli Nasrullah, Membaca dengan Nurani, artikel budaya di Harian Padang Ekspres, edisi Minggu, 18 Maret 2007

16 Hafied Cangara memaparkan lima karakteristik media sebagai medium dalam komunikasi massa dibandingkan komunikasi personal, interpersonal, dan antarpersonal. Pertama, media massa bersifat melembaga, pihak yang mengelola media melibatkan banyak individu mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi. Kedua, bersifat satu arah. Ketiga, jangkauan yang luas, artinya media massa memiliki kemampuan untuk menghadapi jangkauan yang lebih luas dan kecepatan dari segi waktu. Juga, bergerak secara luas dan simultan di mana dalam waktu bersamaan informasi yang disebarkan dapat diterima oleh banyak individu. Keempat, pesan yang disampaikan dapat diserap oleh siapa saja tanpa membedakan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, suku bangsa, dan bahkan tingkat pendidikan. Kelima, dalam penyampaian pesan media massa memakai peralatan teknis dan mekanis. Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal.134-135

Page 13: Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

13 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

DAFTAR PUSTAKA

Albarran, Alan B., Media Economics, Understanding Markets Industries and Concepts, Ames-Iowa: Iowa State University Press, 1996

Alwasilah, A Chaedar, Bahasa Indonesia di PT, Harian Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu, 26 Agustus 2006

-----------------------------, Redefinisi Profesi Dosen, Harian Pikiran Rakyat, Edisi Kamis, 5 Januari2 006

Atmakusumah (ed.), 10 Pelajaran untuk Wartawan, Jakarta:LSPP-Kedutaan Besar Swiss, 2000

Bharata, Bonaventura Satya, “Dinamika Framing Surat kabar Indonesia dan Kontroversi RUU Penyiaran 2002”, dalam Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: Gitanyali, 2004

Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003

Hertsgaard, M., On Bendeed Knee, New York:Farrar, Straus, Giroux, 1988

Kieran, Matthew, News Reporting and the Ideological Presumption, Journal of Communication, Vol. 47, No. 2, 1997

Litcher, Rothman & L Litcher, The Media Elite; America’s New Powerbrokers, Bethesda, MD: Adler&Adler, 1986

McNamus, John H., Market Driven Journalism: Let The Citizen Beware?, California: Sage Publication, 1994

McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987

Nasrullah, Rulli, Membaca dengan Nurani, artikel budaya di Padang Ekspres, edisi Minggu, 18 Maret 2007

Sen, Krishna dan David T Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta:ISAI, 2000

Siregar, Ashadi, (et.all), Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998

Walseley, Ronald E. dan Laurence R. Campbell, Exploring Journalism, New Jersey: Prentice-Hall, 1957