kuliah agroforestry (6) alley cropping · 2020. 11. 2. · sistem pemanfaatan lahan di mana pohon...

22
ACHMAD KASIYANI INSTITUT PERTANIAN “INTAN” YOGYAKARTA KULIAH AGROFORESTRY (6) ALLEY CROPPING

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ACHMAD KASIYANI

    INSTITUT PERTANIAN “INTAN”

    YOGYAKARTA

    KULIAH AGROFORESTRY (6)

    ALLEY CROPPING

  • ALLEY CROPPING

    Alley cropping merupakan sistem atau teknologi agroforestry yang menjanjikan di daerah iklim lembab

    tropis dan sub tropis

    Alley cropping adalah upaya menumbuhkan tanaman pangan diantara barisan pagar semak

    perdu atau pohon berkayu, disarankan jenis legume

    Tanaman pagar dipangkas secara periodik selama ada tanaman pangan, untuk menyediakan

    biomasa (yang bila dikembalikan ke tanah akan membantu meningkatkan status unsur hara dan sifat fisik

    tanah serta menyediakan pelindung dari tanaman di bawahnya)

    Secara prinsip, barisan pohon kayu tetap dipertahankan secara terus menerus (terutama jenis

    pohon cepat tumbuh (fast-growing) disarankan tanaman legume, pada lahan produksi untuk tanaman pangan

    Kemampuan teknologi ini untuk memperbaiki produksi pertanian dan tanah, serta

    mengendalikan erosi dapat mengubah kondisi seperti sistem bera pada usahatani peladang berpindah.

  • Sistem Allaey Cropping sebagai Penghasil Unsur hara

    Penanaman tanaman legume pohon dalam sistem agroforestry adalah untuk menambah unsur N untuk

    tanaman, demikian juga dalam alley cropping khususnya (Brewbaker et al., 1982; Dommergues, 1987; Nair,

    1988),

    N tersedia berasal dari proses dekomposisi biomasa yang ditambahkan kedalam tanah, merupakan sumber N

    terpenting pada tanah yang kurang subur yang diusahakan dengan alley cropping

    Besarnya N yang ditambahkan beragam, pada umumnya berkorelasi positif dengan hasil biomasa pohon yang

    ditanam, Jumlah N yang dikembalikan ke tanah juga tergantung pada spesies yang dipilih serta pengelolaan

    dan faktor spesifik setempat.

    Sebagai cacatan N yang diberikan juga beragam tergantung pada tingkat fiksasi N tanaman pohon yang

    ditunjukkan oleh pembentukan bintil akar.

  • Average pruning yields from woody species alley-cropped with food crops at IITA, Nigeria.

    Species' Pruning yield (t dry matter ha-1yr-1)

    Alchornea cordifolia 3.77

    Dactyladenia (Acioa) barteri 2.07

    Gliricidia sepium 5.18

    Leucaena leucocephala 8.64

    Catatan:

    Tiga tahun umur tanaman pagar; 25 cm antara tanaman dalam barisan; lebar lorong 2 m dan 4 m ;

    barisan pagar dipangkas 5 kali dalam setahun, pemupukan untuk tanaman pangan dua dosis berbeda;

    45-20-20 and 90-40-40 N, P and K kg ha-1, (Source: Kang et al. (1990).

  • Nutrient yield from five prunings of hedgerows of five woody species grown at

    IITA, Nigeria (4 x 0.5 m spacing).

    Species Nutrient yield (kg h-1yr-1)

    N P K Ca Mg

    Alchornea cordifolia 85 6 48 42 8

    Dactyladenia (Acioa) barteri 41 4 20 14 5

    Gliricidia sepium 169 11 149 66 17

    Leucaena leucocephala 247 19 185 98 16

    Source: Kang et at. (1989).

  • Pengaruh system alley cropping terhadap sifat sifat kimia tanah dan konservasi tanah

    Satu dari harapan penting dari alley cropping adalah penambahan bahan organik dalam bentuk mulsa, khususnya

    mulsa yang kaya akan nutrisi memiliki pengaruh yang menguntungkan terhadap sifat fisik dan kimia tanah,

    dan tentunya terhadap hasil tanaman.

    Skema menunjukkan keuntungan dalam siklus nutrisi dan pengendalian erosi dalam sistem allley cropping .Source: Kang and Wilson

    (1987).

  • Beberapa sifat kimia tanah setelah enam tahaun diusahakan alley cropping jagung dan kacang kacangan

    dengan Leucaena leucocephala at IITA, Nigeria.

    Perlakuan

    (kg N ha _

    1)

    Hasil Pangkasan

    Leucaena sp

    pH-H2O Org C

    (mg kg-1)

    Kation yang dipertukarkan

    (c mole kg-1)

    K Ca Mg

    0 Diambil 6.0 5.5 0.19 2.90 0.35

    0 Diletakan di lahan 6.0 10.7 0.28 3.45 0.50

    80 Dilatekan di lahan 5.8 11.9 0.26 2.80 0.45

  • Lal (1989), berdasarkan hasil penelitiannya di IITA menunjukkan berat isi dan ketahanan

    penetrometer tanah rendah, kadar air tanah yang bisa ditahan serta kapasitas penyediaan

    air untuk tanaman lebih tinggi dibawah kondisi alley cropping dibanding dengan yang bukan

    alley cropping

    Beberapa penelitian yang dilaksanakan di berbagai tempat terutama di wilayah tropis, menunjukkan bahwa

    penanaman pohon dalam bentuk pagar yang sejajar atau searah kontur sangat efektif dalam

    konservasi tanah dan mengendalikan erosi

  • Pengaruh Sistem Alley Cropping terhadap hasil

    Banyak penelitian alley cropping yang dilakukan belum memberikan informasi tentang hasil tanaman

    semusim. Walaupun ada tetapi hanya dari hasil penelitian yang dilakukan dalam periode waktu yang

    singkat. Beberapa penelitian memberikan hasil yang menjanjikan terhadap produksi tanaman semusim

    Namun demikian dari beberapa hasil penelitian alley cropping menunjukkan kurang menjanjikan dalam

    memberikan hasil. Szott (1987) and Fernandes (1990) menyimpulkan dari data yang dimiliki bahwa

    alasan utama adalah pertumbuhan tanaman pangan yang jelek dibawah kondisi alley cropping karena

    adanya persaingan dalam pengambilan unsur hara dan naungan oleh tanaman pohon terhadap tanaman

    semusim

    Fernandes (1990) mencatat bahwa penurunan hasil tanaman diakibatkan oleh kompetisi antara pagar

    tanaman dan tanaman semusim dalam lorong. Hal ini terlihat setelah barisan pagar tanaman berumur

    11 bulan.

    Kompetisi antar kedua spesies tersebut meningkat dengan bertambahnya umur barisan pagar tanaman

    yang ditandai dengan penurunan hasil yang nyata dari tanaman semusim terutama yang dekat dengan

    barisan tanaman pagar.

  • Alley cropping: (kiri) Leucaena leucocephala dan kacang tunggak di Ibadan, Nigeria. (kanan) Leucaena

    leucocephala dan jagung di Machakos, Kenya.

  • JENIS AGROFORESTRY LAIN(OTHER AGROFORESTRY SYSTEMS AND PRACTICES )

    Pohon untuk pakan ternak dan sistem silvopastoral

    Sistem pemanfaatan lahan di mana pohon atau semak dikombinasikan dengan ternak dan produksi pakan

    pada unit lahan yang sama

    Sistem ini meliputi :

    A. Intensif managed (Pengelolaan Intensif)

    “Cut-and-carry system” (or protein bank): Tanaman pohon ditumbuhkan dalam bentuk

    blok sepanjang batas lahan , daunnya ditebang secara periodik dan digunakan untuk pakan ternak

    yang dipelihara dikandang

    “Live-fence”: Pohon pakan dibiarkan untuk tetap tumbuh untuk bisa menghasilkan kayu , sehingga

    kayu tersebut dapat berfungsi sebagai pagar disekeliling unit lahan, pohon kemudian dipangkas secara

    perodik untuk digunakan sebagai pakan dan untuk tiang penyangga dan merupakan sebagai baigan dari

    “cut-and-carry system”

  • Use of Gliricidia sepium as live-fence posts in

    Costa Rica

    The cut-and-carry system: harvesting Leucaena

    teucocephala for fodder and

    fuelwood in Malawi.

  • B. Extensively managed (pengelolaan ekstensif)

    Browsing: daun khususnya yang muda, tunas, pucuk dan kadang kadang buah dan bunga yang biasanya

    digunakan untuk dimakan.

    Grazing: biasanya bentuk semak atau belukar . Pada grazing systems di mana keberadaan pohon

    memainkan peran interaktif penting dalam produksi ternak seperti menyediakan naungan untuk ternak,

    merangsang pertumbuhan rumput, dan menyediakan bahan pakan atau produk pohon lainnya. Sistem

    dapat dikategorikan dan dapat dipertimbangkan sebagai “silvopastoral systems”.

    Peran pohon dalam browsing systems biasanya lebih langsung dari pada grazing systems, karena produk

    tanaman dari sistem browsing langsung dimanfaatkan untuk pangan

    Silvopastoral systems melibatkan banyak spesies tanaman dan beragam intensitas pengelolaan mulai

    dari yang bersifat “silvopastoralism ekstensif ” yang berpindah pindah sampai dengan intensitas tinggi dalam

    bentuk “cut-and-carry fodder systems”.

  • IMPLEMENTASI PEMANFFATAN AGROFORESTRY

    1. Agroforestry untuk produksi kayu bakar produsen bahan kayu bakar

    atau arang

    2. Sebagai penaung tanaman dibawahnya (Intercropping under scattered or

    regularly planted trees) teh, kopi, kakao, lada

    3. Agroforestry untuk reklamasi tanah bermasalah lahan kritis , reklamasi

    bekas tambang terbuka, bekas kebakaran hutan

    4. Agroforestry zona penyangga untuk menghutankan kembali lahan yang

    rusak oleh peladang berpindah

  • Agroforestry untuk produksi kayu bakar

    1. Telah banyak ditulis tentang akan terjadi permasalahan akan kekurangan kayu bakar

    2. Eckholm‘s(1975) melaporkan adanya tanda yang mengarah ke krisis energy terutama penggunaan kayu bakar..

    Dia memperkirakan pada awal 1970 tidak kurang dari 1,5 milyar orang di negara sedang berkembang yang 90

    % yang menggunakan kayu bakar dan batubara dan 1 milyar lainnya 50% memerlukan energi secara ini juga.

    3. Sehingga sumber daya kayu akan habis, dan negara yang sedang berkembang akan mendapatkan kekurangan

    kayu bakar yang serius, seperti krisis bahan bakar fosil yang terjadi di negara maju

    4. Agroforestry (atau bentuk program penanaman pohon) telah didesain menggunakan

    sejumlah spesies tanaman tertentu yang bisa menghasilkan bahan papan dan kayu bakar

    sekaligus pangan.

  • Intercropping under scattered or regularly planted trees

    1. Bermacam bentuk intercropping dibawah tegakan batang sering disebut sebagai contoh umum agroforestry

    systems, tidak hanya di tropis, tetapi juga di negara berkembang di daerah sub humid

    2. Diantara beberapa bentuk intercropping systems, beberapa telah mendapatkan perhatian dibanding lainnya,

    termasuk didalamnya intercropping di bawah pohon kelapa

    3. Beberapa laporan pada sistem intercropping ekstensif di mana banyak digunakan spesies tanaman pohon

    multiguna lokal ditanam jarang di ladang atau tegalan petani, seperti yang dilaporkan banyak dijumpai di negara

    sedang berkembang Afrika dan Latin Amerika.

    4. Sistem intercropping tradisional terdapat didalamnya penanaman tanaman semusim pertanian di bawah pohon

    yang jarang atau ditanam dalam bentuk barisan di ladang. Sistem ini awalnya berupa usaha ekstensif dan banyak

    dijumpai dalam bentuk usahata tani kecil

  • Boundary planting of Grevillea

    robusta in Kenya.

    Intercropping sorghum under Faidherbia

    (Acacia) albida in Mali.

  • “Agroforestry system” dengan pohon yang jarang dan tak beraturan

  • Agroforestry untuk reklamasi tanah bermasalah

    Hambatan fisik dan kimia menghambat pertumbuhan tanaman , produktifitas di jauh pedalaman suatu negara.

    Permasalahan tergenang, kemasaman, kekeringan, kegaraman/salinity dan kebasaan/alkalinity, serta kehadiran

    sejumlah liat , pasir atau kerikil yang menjadi penghambat sistem usahatani. Di Indonesa banyak dijumpai lahan

    bekas penambangan batubara , timah, emas, nikel dan tambanag logam berharga lainnya, disamping lahan kritis

    akibat uasahatani perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat terutama di daerah kaki bukit

    Secara alami kondisi ini menjadikan tanah tidak bermanfaat lagi, tidak bisa diusahakan untuk pertanian , atau

    pengelolaan tanah yang menyebabkan bertambahnya tanah tak bermanfaat setiap tahun (Lal, 1989).

    Teknik agroforestry yang melibatkan penanaman pohon multiguna (MPTs) yang toleran terhadap tanah yang

    kondisinya sudah kritis telah disarankan pilihan pengelolaan untuk reklamasi wilayah (King and Chandler, 1978).

    Tderhadap lahan bekas pertambangan perlu dicari teknologi atau alternatif jenis uasaha lain yang sesuai dengan

    kondisi lahan mulai dari ekowista, pemeliharaan ikan atau sejenisnya, bebek.

  • Agroforestry zona penyangga

    Pengenalan agroforestry sebagai zona penyangga hutan lindung telah disarankan sebagai teknologi pilihan

    yang tidak hanya untuk mengurangi kehancuran sumberdaya hutan, tetapi juga dapat meningkatkan standar

    hidup populasi masyarakat yang berada sekitar hutan lindung (van Orsdol, 1987).

    Zona penyangga secara konseptual diperkenalkan oleh UNESCO (1984), yang didalamnya ada area

    terkonsentrasi yang mengelilingi hutan lindung , biasanya hutan lindung tersebut sebagai taman nasional

    taman margasatwa, hutan cadangan, taman sumberdaya genetik, yang dipelihara dengan manajemen sesuai

    fungsi dan tujuan hutan taman.

  • Sekeliling wilayah hutan lindung merupakan zona penyangga utama, dimana fungsinya untuk aktivitas

    riset, pelatihan, pendidikan dan pariwisata

    Penyangga utama kemudian dikelilingi oleh zona penyangga sekunder atau transisional di mana diijinkan

    untuk masyarakat setempat memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhanny dalam bentuk usaha yang

    berkelanjutan/lestari

    Di wilayah ini dimungkinkan peluang untuk pengembangan inovasi agroforestry

    Konsep zona penyangga tujuannya diperlukan untuk melindungi hutan lindung dari pengaruh keserakahan

    perusakan hutan oleh manusia, serta untuk memelihara keragaman spesies dalam ekosistem

  • Beberapa model zona penyangga hutan yang menggunakan sistem agroforestry (van Orsdol (1987)