kualitas ikan segar.doc

18
KUALITAS IKAN SEGAR YANG DIJUAL ECERAN KELILING DI KOTA MAKASSAR Fahrul* dan Metusalach Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin *Penulis untuk korespondensi, E-mail : [email protected] Abstrak Penelitian bertujuan untuk menganalisis kualitas ikan segar yang dijual keliling di Kota Makassar. Informasi tersebut penting untuk mendukung program keamanan pangan dan menjadi referensi perbaikan sistem pemasaran dalam rangka jaminan keamanan pangan. Penelitian dilakukan dengan melibatkan 6 orang pedagang ikan keliling (Pa’gandeng) yang mengambil ikan dari tempat pelelangan ikan (TPI) Paotere dan menjualnya di 3 bagian Kota Makassar. Sampel diambil secara acak terhadap 3 jenis ikan (kembung lelaki, layang dan ekor kuning) pada 3 titik sampling yaitu di TPI dan 2 titik penjualan di wilayah permukiman (titik tengah dan akhir). Parameter yang diamati pada setiap titik sampling adalah waktu transit ikan, ciri organoleptik, suhu, dan pH, sedangkan penentuan angka lempeng total (ALT), bakteri coliform, angka peroksida dan total basa-basa menguap (TVB) dilakukan di laboratorium. Faktor-faktor pendukung seperti fasilitas penampungan ikan dan cara penanganan selama penjualan keliling juga dinilai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penjualan ikan keliling terjadi peningkatan suhu tubuh ikan (17.25 ke 24.19°C), ALT (0.51x10 4 ke 58.20x10 4 cfu/g), bakteri coliform (1.05 ke 41.53 cfu/g), angka peroksida (11.46 ke 29.46 mEq/kg) dan TVB (12.87 ke 19.93 mgN/100g), dan penurunan nilai pH (5.79 ke 6.64) dan nilai organoleptik (8.47 ke 6.73) dengan bertambahnya waktu penjualan. Akselerasi peningkatan ataupun penurunan nilai-nilai parameter yang diamati terjadi mulai pada titik tengah penjualan (jam 10.00) hingga akhir penjualan (jam 11.30 - 12.00). Lama waktu transit ikan sejak meninggalkan TPI hingga selesainya penjualan mencapai 4.28 jam. Penjual ikan keliling tidak menggunakan wadah

Upload: tia-septiana

Post on 03-Sep-2015

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KUALITAS IKAN SEGAR YANG DIJUAL ECERAN KELILING DI KOTA MAKASSARFahrul* dan MetusalachProgram Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Jurusan Perikanan

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin

*Penulis untuk korespondensi, E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk menganalisis kualitas ikan segar yang dijual keliling di Kota Makassar. Informasi tersebut penting untuk mendukung program keamanan pangan dan menjadi referensi perbaikan sistem pemasaran dalam rangka jaminan keamanan pangan. Penelitian dilakukan dengan melibatkan 6 orang pedagang ikan keliling (Pagandeng) yang mengambil ikan dari tempat pelelangan ikan (TPI) Paotere dan menjualnya di 3 bagian Kota Makassar. Sampel diambil secara acak terhadap 3 jenis ikan (kembung lelaki, layang dan ekor kuning) pada 3 titik sampling yaitu di TPI dan 2 titik penjualan di wilayah permukiman (titik tengah dan akhir). Parameter yang diamati pada setiap titik sampling adalah waktu transit ikan, ciri organoleptik, suhu, dan pH, sedangkan penentuan angka lempeng total (ALT), bakteri coliform, angka peroksida dan total basa-basa menguap (TVB) dilakukan di laboratorium. Faktor-faktor pendukung seperti fasilitas penampungan ikan dan cara penanganan selama penjualan keliling juga dinilai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penjualan ikan keliling terjadi peningkatan suhu tubuh ikan (17.25 ke 24.19C), ALT (0.51x104 ke 58.20x104 cfu/g), bakteri coliform (1.05 ke 41.53 cfu/g), angka peroksida (11.46 ke 29.46 mEq/kg) dan TVB (12.87 ke 19.93 mgN/100g), dan penurunan nilai pH (5.79 ke 6.64) dan nilai organoleptik (8.47 ke 6.73) dengan bertambahnya waktu penjualan. Akselerasi peningkatan ataupun penurunan nilai-nilai parameter yang diamati terjadi mulai pada titik tengah penjualan (jam 10.00) hingga akhir penjualan (jam 11.30 - 12.00). Lama waktu transit ikan sejak meninggalkan TPI hingga selesainya penjualan mencapai 4.28 jam. Penjual ikan keliling tidak menggunakan wadah berinsulasi, umumnya menggunakan es dalam jumlah sedikit dan kurang memperhatikan kebersihan selama menjual ikan.

Kata kunci: kualitas, ikan, organoleptik, suhu, pH, bakteri, TVBPengantarKesegaran ikan yang baru saja mati berada dalam tingkat yang maksimum, artinya kesegaran ikan tidak bisa ditingkatkan, hanya dapat dipertahankan melalui penerapan prinsip penanganan yang baik dan benar. Tingkat kesegaran ikan akan menurun drastis seiring dengan waktu jika tidak segera ditangani mulai dari penanganan ikan pasca tangkap, di TPI, hingga tiba di tangan konsumen melalui penjualan secara eceran. Secara umum setiap jenis ikan memiliki pola dan kecepatan penurunan mutu yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor eksternal yaitu kelalaian penerapan prinsip penanganan pasca panen seperti cermat, cepat, bersih/sehat, dan penerapan suhu rendah merupakan faktor utama penyebab tingginya penurunan mutu ikan.Fasilitas dan proses penanganan ikan merupakan dua faktor yang tidak terpisahkan dan keduanya berpengaruh langsung terhadap kualitas ikan. Prosedur penanganan ikan segar meliputi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan mutu dan keamanan ikan mulai dari saat ikan tertangkap sampai ikan tersebut dikonsumsi. Dalam prakteknya, hal ini berarti menghambat atau menghentikan pembusukan, mencegah kontaminasi dan menghindarkan kerusakan fisik terhadap ikan. Metusalach dkk. (2012) menemukan bahwa meskipun telah terjadi penurunan mutu pada ikan-ikan yang ditangkap dengan cantrang dan purse seine setelah dilelang di TPI, namun ikan-ikan tersebut masih dikategorikan baik dan layak dipasarkan secara luas. Para peneliti tersebut juga menemukan bahwa penyebab utama penurunan mutu ikan adalah minimnya fasilitas dan cara penanganan yang tidak benar baik diatas kapal maupun di TPI. Namun demikian, Metusalach dkk. (2012) hanya menyajikan data mutu ikan mulai dari kapal hingga selesai pelelangan di TPI, sedangkan data mutu ikan mulai dari pasca pelelangan hingga diterima konsumen akhir belum tersedia.Dalam kaitan inilah maka dipandang sangat penting untuk mengungkap status mutu ikan segar/basah yang sampai pada konsumen tingkat rumah tangga. Karena sebagian besar kebutuhan ikan segar/basah rumah tangga dipenuhi/dibeli dari pedagang ikan keliling, maka mereka inilah yang menjadi target dalam penelitian ini. Penjualan ikan keliling menawarkan kemudahan bagi konsumen rumah tangga, namun di sisi lain ikan yang dijual keliling umumnya mengalami penurunan mutu yang disebabkan oleh cara penanganan yang buruk selama penjualan dan waktu distribusi yang relatif lama dalam wadah terbuka. Informasi yang dihasilkan akan memberikan gambaran perubahan dan status mutu ikan yang dijual eceran keliling di Kota Makassar dan bermanfaat bagi upaya-upaya perbaikan penanganan ikan pada tingkat pedagang keliling untuk menyediakan ikan yang aman bagi masyarakat. Bahan dan Metode

Bahan baku yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini 3 jenis ikan yang dibeli oleh pagandeng di PPI Paotere dan dijual di 3 bagian Kota Makassar. Bahan lainnya adalah zat kimia untuk pengujian mikrobiologis dan kimiawi, es dan akuades. Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah coolbox, portable digital pH meter, portable thermometer, score sheet uji organoleptik, tissu, cutter, kantong plastick (ziplock), peralatan laboratorium untuk pengujian mikrobiologis dan kimiawi, stopwatch dan kamera digital.Penelitian ini dilakukan dengan metode survai melalui observasi secara langsung terhadap aktifitas pedagang ikan keliling mulai dari membeli ikan di PPI Paotere sampai selesai menjualnya di 3 arah Kota Makassar, yaitu arah Utara, Timur dan Selatan. Penelitian melibatkan 6 orang pedagang ikan keliling sementara ikan yang dijadikan sampel juga terdiri dari 3 jenis yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Pengamatan juga dilakukan terhadap fasilitas penjualan, cara penanganan, dan waktu transit ikan yang diterima oleh konsumen pada setiap titik pengamatan. Penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data yaitu: suhu, pH, organoleptik, ALT, coliform, angka peroksida dan total basa-basa menguap (TVB) ikan pada 3 titik pengamatan yaitu di TPI, tempat penjualan tengah, dan tempat penjualan akhir. Titik tengah dan akhir penjualan merupakan rute atau jalur penjualan yang selama ini telah menjadi tempat penjual ikan keliling menjajakan ikan secara eceran. Pemilihan 3 titik pengamatan didasarkan pada pertimbangan rentang waktu penjualan yaitu dari jam 8 pagi hingga 12 siang pada 4 sampai 6 kompleks perumahan. Pengukuran terhadap paramteter suhu, pH dan nilai organoleptik ikan dilakukan pada setiap titik sampling. Untuk penentuan ALT, bakteri coliform, angka peroksida dan TVB, sampel ikan diambil pada setiap titik pengamatan dan mendinginkannya dengan es dalam coolbox hingga tiba di laboratorium. Pengukuran Parameter Penelitian

Pengukuran suhu, pH dan sifat organoleptik daging ikan segar pada setiap titik pengamatan mengacu pada metode yang tercantum dalam AOAC (1995). Suhu daging ikan diukur menggunakan portable termometer. Sensor termometer dimasukkan ke dalam daging hingga mencapai titik pusat termal ikan, dibiarkan beberapa saat hingga nilai suhu yang tertera stabil dalam waktu sekitar 30 detik. pH daging ikan diukur menggunakan portable pH meter. Sensor pH meter dimasukkan ke dalam daging ikan, dibiarkan beberapa saat hingga nilai pH yang tercantum stabil. Pengamatan sifat organoleptik dilakukan dengan memberikan penilaian pada rentang nilai 1 sampai 9. Parameter uji organoleptik meliputi kondisi mata, insang, lendir permukaan tubuh, tekstur daging dan bau ikan. Kondisi mikrobiologis ikan yaitu ALT dan coliform ditentukan berdasarkan metode SNI, sedangkan angka peroksida dan TVB ditentukan berdasarkan metode AOCS (1997). Waktu transit ikan merupakan waktu yang diperlukan dari TPI untuk mencapai titik 2 dan titik 3. Hasil dan PembahasanSuhu Ikan

Suhu ikan mengalami peningkatan selama penjualan keliling (Gambar 1). Hal ini terjadi karena penjual ikan keliling tidak menggunakan es untuk mendinginkan dan menjaga mutu ikan. Selama penjualan, suhu ikan mengalami peningkatan sampai 8.5C. Peningkatan tajam terjadi mulai dari titik tengah penjualan (antara jam 10.00-10.30) hingga penjualan berakhir pada jam 12.00-12.30.

Gambar 1. Suhu ikan selama dipasarkan keliling di Kota Makassar.Peningkatan suhu ikan yang cepat ini disebabkan oleh 2 faktor yaitu suhu udara yang semakin tinggi dan tidak digunakannya es untuk mendinginkan ikan. Suhu ikan yang relatif tidak berubah antara titik pengamatan pertama dan kedua selain karena waktunya masih pagi sehingga suhu udara belum terlalu panas, juga karena masih ada pengaruh pendinginan dengan es yang dilakukan oleh nelayan yang mendaratkan ikan. Agar mutu ikan segar dapat bertahan lama maka ikan harus didinginkan hingga suhu sekitar 0C atau dibekukan. Untuk kasus ikan segar yang dipasarkan keliling dalam waktu sekitar 4 jam, maka pendinginan dengan es yang menurunkan suhu ikan sampai sekitar 10C akan mampu menjaga mutu ikan tetap baik hingga diterima oleh konsumen.pH IkanNilai pH ikan mengalami penurunan sejak diambil dari TPI hingga akhir penjualan, kecuali pada ikan cakalang yang pH dagingnya sudah mulai meningkat pada pertengahan waktu penjualan ( 1.5 - 2 jam sejak meninggalkan TPI). pH ikan akan menurun jika masih ada glikogen yang terurai menjadi asam laktat dan setelah kandungan glikogen habis maka pH akan meningkat terus. Nilai pH terendah yang dapat dicapai oleh daging ikan bervariasi tergantung jenis ikan (Gambar 2).

Gambar 2. pH ikan selama dipasarkan keliling di Kota Makassar.Nilai pH ikan ekor kuning (6.60 - 6.64) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ikan layang (5.79 - 5.88) dan ikan kembung lelaki (5.86-5.98). Ikan layang dan kembung lelaki memperlihatkan nilai pH yang cenderung masih menurun, sedangkan ikan ekor kuning sudah pada tahap cenderung mengalami peningkatan nilai pH. Nilai pH ikan ekor kunin pada penelitian ini sebanding dengan nilai pH ikan lele yang dilaporkan oleh Daramola et al. (2013) yaitu 6.36-6.69. Huss (1995) melaporkan bahwa pada ikan kod (Gadus morhua), pH menurun dari 6.8 ke pH akhir 6.1-6.5. Pada sejumlah spesies ikan, pH akhir dapat lebih rendah, misalnya pada ikan mackerel besar pH akhir mencapai 5.8-6.0, dan bahkan 5.4-5.6 pada ikan tuna dan halibut. Faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi nutrisi dari ikan dan besarnya tekanan (stress) dan gerakan (exercise) yang dialami ikan sebelum mati akan berpengaruh besar terhadap cadangan glikogen dan pada akhirnya terhadap nilai pH akhir daging. Chiba et al., (1991) memperlihatkan bahwa hanya beberapa menit stress setelah ditangkap menyebabkan penurunan pH sebesar 0.50 dalam 3 jam dibandingkan dengan ikan yang tidak mengalami stress yang pH-nya menurun hanya sebesar 0.10 untuk periode waktu yang sama.Ketika pH daging ikan mencapai > 7.0 maka berarti proses pembusukan komponen daging sudah berlangsung, terutama komponen-komponen yang dalam perombakannya menghasilkan derivasi bersifat basa (alkali). Semakin tinggi pH daging maka semakin banyak komponen daging yang telah terurai yang berarti makin busuk pula ikan tersebut. Nilai pH daging ikan yang baru saja mati berkisar antara 6.5 hingga 7.0. Osibona et al. (2010) menyebutkan bahwa pH daging ikan segar berada pada nilai sekitar netral sementara pada periode post-mortem, meningkatnya komponen-komponen nitrogen menyebabkan peningkatan pH daging ikan (Shenderyuk and Bykowski,1989).Mutu organoleptikNilai organoleptik ikan terus mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya waktu penjualan (Gambar 3). Pada akhir penjualan, ikan sudah mendekati batas penerimaan (nilai 6) yang berarti bahwa ikan-ikan yang dijual pedagang eceran keliling sudah mendekati batas layak dikonsumsi.

Gambar 3. Nilai organoleptik ikan selama dipasarkan keliling di Kota Makassar.Ketiga jenis ikan yang diteliti menunjukkan pola dan akselerasi penurunan mutu organoleptik yang sama. Gambar 3 juga memperlihatkan bahwa ikan-ikan yang diambil dari TPI Paotere sudah tidak berada pada tingkat kesegaran prima (nilai 9).

Angka Lempeng Total (ALT)Angka lempeng total (ALT) adalah indikator yang paling umum digunakan untuk menentukan mutu bakteriologis hasil perikanan (seafood). ALT merupakan indikator yang baik dari kualitas sensoris atau daya simpan produk-produk hasil perikanan (Huss et al., 1997), tetapi juga diambil sebagai indikator status higienitas dari produk. ALT merupakan ukuran jumlah keseluruhan bakteri yang terdapat pada suatu bahan. Gambar 4 berikut memperlihatkan bahwa populasi mikroflora (bakteri) pada ikan ekor kuning jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ikan jenis lainnya sejak diambil dari TPI Paotere (4,02x104 cfu) dan sudah mendekti batas maksimum yang diijinkan pada titik akhir penjualan (58,20x104 cfu). ALT pada ikan layang dan kembung lelaki masih rendah pada saat pengambilan di TPI (1,02x104 dan 0,51x104 cfu) sampai pada titik penjualan terakhir (4,96x104 dan 12,39x104 cfu). ICMSF (1982), Huss (1995) dan Huss et al. (1997) menyatakan bahwa batas penerimaan ikan berdasarkan jumlah total bakteri (ALT) adalah 5x105 cfu/g daging ikan.

Gambar 4. Kandungan total bakteri ikan selama dipasarkan keliling di Kota Makassar.Terjadinya peningkatan yang cepat jumlah total bakteri didukung oleh suhu ikan yang cukup tinggi karena, selama penjualan eceran keliling, penjual ikan tidak menggunakan es untuk mendinginkan ikan. Pendinginan ikan dengan es mampu menghambat perkembangan bakteri dan aktifitas ensim yang secara alami terdapat dalam tubuh ikan sehingga kesegaran ikan dapat bertahan lebih lama.

ColiformBakteri coliform merupakan indikator terjadinya kontaminasi akibat tidak bersihnya sistim penanganan yang dilakukan. Gambar 5 berikut menunjukkan jumlah bakteri coliform jauh melampaui batas maksimum yang diijinkan, dan ini menunjukkan bahwa sistim sanitasi sama sekali tidak terpelihara pada penjualan ikan keliling. Jumlah bakteri coliform yang sudah tinggi pada sampel awal menunjukkan telah terjadi kontaminasi pada penanganan ikan sebelum diambil oleh pedagang keliling. Perbedaan kandungan bakteri coliform pada sampel awal masing-masing ikan juga menunjukkan tingkat kontaminasi yang berbeda terhadap ikan-ikan yang dijual keliling. Hal ini dapat pula berarti bahwa sistim sanitasi dan higien yang diterapkan oleh nelayan dan/atau penangan ikan juga berbeda-beda. Hasil yang diperoleh memberi petunjuk bahwa penerapan sanitasi dan higien yang baik belum dilaksanakan pada sebagian atau seluruh sistim penanganan dan tataniaga ikan.

Gambar 5. Kandungan Bakteri coliform ikan selama dipasarkan keliling di Kota Makassar.Ikan yang berkualitas baik mengandung bakteri coliform kurang dari 100 cfu/g (FAO, 1979; ICMSF, 1982). Dalam penelitian ini, bakteri coliform yang jumlahnya melampaui batas standar yang diperbolehkan pada ikan ditemukan hanya pada ikan layang, sedangkan pada ikan ekor kuning dan kembung lelaki masih jauh dibawah batas maksimal. Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, tingginya jumlah bakteri coliform pada ikan layang dalam penelitian ini mengindikasikan ketidaklayakannya untuk dikonsumsi. Bakteri coliform bukan merupakan bakteri yang secara normal terdapat pada ikan tetapi terutama berasal dari kontaminasi sekunder selama penanganan dan penyimpanan. Jumlah bakteri coliform yang tinggi pada ikan tidak bersifat patogenik terhadap manusia, tetapi dapat mengindikasikan terdapatnya resiko patogen yang lebih tinggi (Doyle and Ericson, 2006).

Angka Peroksida

Uji angka peroksida digunakan untuk mendeteksi tahap awal terjadinya proses oto-oksidasi. Angka peroksida merupakan ukuran tingkat oksidasi primer yang terjadi terhadap lemak. Semakin tinggi angka peroksida maka semakin tinggi pula tingkat kerusakan lemak. Gambar 6 berikut memperlihatkan bahwa angka peroksida lemak ikan terus mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu penjualan ikan. Ikan pelagis (layang dan cakalang) menunjukkan tingkat kerusakan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kerusakan lemak pada ikan demersal (ikan merah). Hal ini berhubungan dengan sifat ikan pelagis yang memiliki kandungan lemak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan lemak ikan demersal.

Gambar 6. Angka peroksida ikan selama dipasarkan keliling di Kota Makassar.Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai angka peroksida pada ikan kembung lelaki dan ekor kuning jauh lebih tinggi dibandingkan pada ikan layang. Hal ini berhubungan dengan kandungan lemak yang lebih tinggi pada ikan ekor kuning dan kembung lelaki. Ikan-ikan pelagis (seperti ikan kembung lelaki, tongkol, tuna, cakalang dan tenggiri) memiliki kandungan lemak yang jauh lebih tinggi (2-4 kali lipat) dibandingkan dengan ikan-ikan demersal (seperti ikan merah, kakap dan kerapu). Angka peroksida merupakan indikator oto-oksidasi terhadap lemak. Kandungan lemak yang lebih tinggi member peluang yang lebih besar bagi terjadinya oto-oksidasi yang dapat berujung pada lebih tingginya nilai angka peroksida.

Standar nilai angka peroksida yang diijinkan dalam makanan adalah 20-40 mEq/kg (Pearsons, 1976), sedangkan di dalam minyak adalah maksimum 10 mEq/kg. Jika nilai angka peroksida dalam makanan melampaui 40 mEq/kg maka makanan tersebut sudah memiliki citarasa tengik (rancid). Dalam penelitian ini, ikan kembung lelaki pada titik akhir penjualan eceran keliling (jam 12.00-12.30) memperlihatkan nilai angka peroksida yang sudah mendekati 29,46 mEq/kg. Di lain pihak, nilai angka peroksida untuk ikan layang pada titik akhir penjualan masih berada jauh dibawah batas maksimum yang diijinkan. Daramola et al. (2013) melaporkan angka peroksida dalam ikan lele hasil pengasapan panas sebesar 3.42-25.54mEq/kg. Angka peroksida memberikan ukuran tingkat oksidasi primer yang telah terjadi pada minyak/lemak (Chakrabarty, 2003). Bau dan citarasa yang berkaitan dengan ketengikan oksidatif sebahagian besar dihasilkan oleh komponen-komponen tipe karbonil. Komponen-komponen ini terbentuk dalam konsentrasi rendah pada proses awal oksidasi (Shahidi, 2005).Angka peroksida adalah jumlah oksigen peroksida per kilogram minyak atau lemak. Dengan berlanjutnya proses oksidasi, peroksida terdegradasi menjadi aldehida atau berikatan dengan protein (Woyewoda et al., 1986). Eyo (2001) menjelaskan bahwa angka peroksida berhubungan dengan pembusukan awal (incipient spoilage) yang nilainya biasanya berada dalam rentang 20-40 mEq oksigen/kg sampel.Total Basa Menguap (TVB)

Kandungan basa-basa menguap (TVB) merupakan indikator terjadinya degradasi terhadap komponen daging ikan, khususnya komponen yang mengandung nitrogen. Peningkatan nilai TVB mengindikasikan terjadinya perombakan terhadap protein dan komponen yang menghasilkan basa menguap (terutama ammonia dan trimetilamin, dan sedikit dimetilamin dan monometilamin). Gambar 7 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kandungan basa-basa menguap di dalam daging ikan dengan bertambahnya waktu penjualan.

Gambar 7. Kandungan TVB ikan selama dipasarkan keliling di Kota Makassar.Kandungan TVB tertinggi ditemukan pada ikan ekor kuning (13.13-19.93 mgN/100g) dan terendah pada ikan layang (12.87-16.47 mgN/100g). Nilai serupa (13.65-31.52 mgN/100g) telah dilaporkan oleh Daramola et al. (2013) pada ikan lele yang diasapi dengan metode pengasapan panas. Pola ini terjadi sejak ikan diambil di TPI hingga pada titik akhir penjualan. Bervariasinya kandungan TVB antar jenis ikan yang berbeda sesuai dengan pernyataan (Kilinc & Cakli, 2005) bahwa TVB bervariasi berdasarkan spesies, umur, jenis kelamin dan waktu panen. Hal yang menarik adalah kandungan TVB ikan merah mencapai nilai yang sebanding dengan kandungan TVB pada ikan layang pada titik akhir penjualan. TVB adalah basa-basa menguap yang merupakan hasil degradasi dari komponen-komponen bukan protein mengandung nitrogen (non-protein nitrogen) seperti trimetilamin oksida (TMAO), asam-asam amino bebas dan nukleotida. Berdasarkan kandungan TVB, semua ikan sampel masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi karena kandungan TVB-nya masih lebih rendah dari nilai maksimal yang diijinkan untuk ikan laut yaitu 30 mgN/100 g daging. Kirk and Sawyer (1991) menyebutkan bahwa nilai TVB 30-40 mgN/100g merupakan batas maksimal. Demikian pula Connell (1995) menyatakan bahwa batas penerimaan terhadap ikan adalah 30mgN/100g. Konsentrasi TVB dari 25 hingga 35 mgN/100 g daging disarankan sebagai batas penerimaan untuk ikan komersial segar utuh dan produk ikan olahan (Connell, 1995; Dalgaard, 2000). Penolakan ikan segar berdasarkan konsentrasi TVB ditentukan berdasarkan penerimaan sensoris dan jumlah total bakteri (Pons-Sanchez-Cascado et al., 2006; Liu et al., 2010). Hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa TVB hanya dapat digunakan sebagai indikator kelayakan untuk konsumsi dan bukan sebagai indeks kesegaran ikan. TVB juga merupakan indikator yang baik untuk pembusukan. SIMPULAN DAN SARANSimpulan

Ikan ekor kuning, layang dan kembung lelaki yang dipasarkan eceran keliling di Kota Makassar hingga jam 12.30 siang masih memiliki kualitas baik dan layak dikonsumsi. Dari semua parameter yang diuji (pH, organoleptik, ALT, coliform, angka peroksida dan TVB), hanya coliform yang melebihi batas ambang penerimaan. Namun demikian, ikan-ikan yang dipasarkan eceran pada pukul 12.00-12.30 sudah mendekati batas penerimaan berdasarkan nilai organoleptik, ALT, angka peroksida dan TVB. Peningkatan suhu ikan secara drastis dari titik tengah (jam 10.00-10.30) hingga titik akhir penjualan ikan eceran keliling berdampak pada penurunan nilai organoleptik yang lebih cepat dan peningkatan jumlah bakteri, angka peroksida dan konsentrasi TVB yang besar. Tingginya jumlah bakteri coliform menunjukkan buruknya penerapan sanitasi dan higien di TPI dan selama penjualan eceran keliling.Sarana. Sebaiknya para pedagang ikan keliling (pagandeng) menggunakan wadah penampungan ikan yang bersih (sedapat mungkin berinsulasi) dan menggunakan es yang cukup untuk mendinginkan ikan serta tetap menjaga kebersihan ikan sehingga ikan yang dijualnya tetap bermutu baik dan terjaga kesegarannya.

b. Untuk kondisi dimana penjual ikan keliling tidak menggunakan wadah bersih berinsulasi dan es, sebaiknya konsumen membeli ikan dari penjual ikan keliling sebelum jam 11.00 unuk mendapatkan ikan berkualitas baik, khususnya ikan-ikan pelagis.

c. Perlu penelitian lanjutan untuk menganalisis level histamine khususnya pada ikan jenis scobroid yang dipasarkan keliling. Histamin adalah zat kimia beracun yang sering menyebabkan keracunan pada konsumen.DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Analytical Chemists. Washington DC.

AOCS. 1997. Official Methods and Recommended Practices of the American Oil ChemistsSociety. 5th Edn., AOCS Press, Champaign, Illinois.Chakrabarty, M.M. 2003. Chemistry and Technology of Oils and Fats. Allied Publishers Pvt. Ltd.Chiba, A., Hamaguchi, M., Kosaka, M., Tokuno, T., Asai, T. and Chichibu, S. (1991). Quality evaluation of fish meat by phosphorus-nuclear magnetic resonance. J. Food Sci. 56:660-664.

Connell, J.J. 1995. Control of Fish quality. Fourth Edition. Fishing News Books: Farnham. England. 245 p.

Dalgaard, P. 2000. Fresh and lightly preserved seafood. In: Shelf-Life Evaluation of Foods. 2nd Ed. Edited by Man, C.M.D.and Jones, A.A. Aspen Publishers, Inc., London. pp. 110-139.

Daramola, J. A., Kester, C. T. and Allo, O.O. 2013. Biochemical Evaluation of Hot-Smoked African Catfish (Clarias gariepinus) Sampled from Sango and Ota Markets in Ogun State. The Pacific Journal of Science and Technology, 14(1): 380-386.

Doyle, M.P. and M.C. Ericson, 2006. Clossing the door on the faecal coliform assay. Microbe, 1: 162-163.

Eyo, A.A. 2001. Textbook on Fish Processing Technology in the Tropics. National Institute for Freshwater Fisheries Research, New Bussa: University of Ilorin Press, Nigeria. 403 p.

FAO. 1979. Manuals of food quality control. FAO Food and Nutrition paper 14/4.

Huss, H. H., Dalsgaard, D. and Gram, L. 1997. Microbiology of fish and fish products. In Seafood from Producer to Consumer, Integrated Approach to Quality. Edited by J. B. Luten, T. Brresen, & J. Oehlenschlager. Amsterdam, Elsevier. pp. 413-430.Huss, H.H., 1995. Quality and quality changes in fresh fish. FAO Fisheries Technical Paper 348. pp. 35-67.

ICMSF. 1982. Microorganisms in food. Vol. 2, Sampling for analysis: principles and specific applications. International Commission on the Microbiological Specification of Foods Univ. Toronto Press, Toronto, Canada.Kilinc, B. and Cakli, S. 2005. The determination of the shelf-life of pasteurized and non-pasteurized sardine (Sardina pilechardus) marinades stored at 40C. Int. J. Food Sci. Technol., 40:265-271.Kirk, R.S. and Sawyer, R. 1991. Nitrogen Determination. Pearsons Composition and Analysis of Foods. Longman Scientific Publisher: London, UK. pp. 29-36.

Liu, S., Fan, W., Zhong, S., Ma, C., Li, P.,Zhou, K., Peng, Z. and Zhu, M. 2010. Quality evaluation of tray-packed tilapia fillets stored at 0C based on sensory, microbiological, biochemical and physical attributes. African Journal of Biotechnology, 9(5):692-701.

Metusalach, Kasmiati, Fahrul dan Ilham Jaya. 2012. Analisis Hubungan antara Cara Penangkapan, Fasilitas Kapal Penangkap dan Cara Penanganan dengan Kualitas Ikan yang Dihasilkan. Laporan Penelitian Bernasis Program Studi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar. 49 hal.

Osibona, A.O., Bakare, B.N., Oluwakemi, S.B., Izuka, I.N. and Kuton, M.P. 2010. Journal of Sci. Res. Dev. 12:1021.

Pearsons, D. 1976. The Chemical Analysis of Foods. 7th Edition. London, Churchill Livingstone. pp. 494-6.

Pons-Sanchez-Cascado, S., Vidal-Carou, M.C., Nunes, M.L., and Veciananogues, M.T. 2006. Sensory analysis to assess the freshness of Mediterranean anchovies (Engraulis encrasicholus) stored in ice. Food Control, 17:564569.

Shahidi, F. (Ed). 2005. Bailey's Industrial Oil and Fat Products. 6th Edition. 6 Volume Set. Shenderyuk, V.I. and Bykowski, P.J. 1989. Salting and marinating of fish. In: Z.E. Sikorski (Ed.). Seafood: Resources, Nutritional Composition and Preservation. CRC Press: Boca Raton, Florida.

Woyewoda, A.D., Shaw, S.J., Ke, P.J. and Burns, B.G. 1986. Measurement of pH. Recommended Laboratory Methods for Assessment of Fish Quality 15. Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences No. 1448, Fisheries and Oceans, Halifax, Nova Scotia.

Waktu

Suhu