monitoring kualitas ikan dan lingkungan kawasan budidaya

36
0 LAPORAN MONITORING KUALITAS IKAN DAN LINGKUNGAN KAWASAN BUDIDAYA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN Oleh : Tim Laboratorium UJI BBAP Takalar Nana S.S. Udi Putra, S.Hut, M.Si Drs. Habson Batubara, M.P. Endah Soetanti, A.Pi. drh. Joko Suwiryono Srinawati, S.Pi Hamzah, S.Si Harunur Rasyid, Amd Hasmawati Suarni Murgana Naomi S. Pasau Maqbul Syahrir Khairil Jamal E-mail : [email protected] DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR 2008

Upload: bbap-takalar

Post on 29-May-2015

13.466 views

Category:

Business


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

0

LAPORAN

MONITORING KUALITAS IKAN DAN LINGKUNGAN KAWASAN BUDIDAYA

DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

Oleh :

Tim Laboratorium UJI BBAP Takalar

Nana S.S. Udi Putra, S.Hut, M.Si Drs. Habson Batubara, M.P.

Endah Soetanti, A.Pi. drh. Joko Suwiryono

Srinawati, S.Pi Hamzah, S.Si

Harunur Rasyid, Amd Hasmawati

Suarni Murgana

Naomi S. Pasau Maqbul Syahrir Khairil Jamal

E-mail : [email protected]

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR

2008

Page 2: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor perikanan saat ini telah menjadi salah satu sumber devisa negara

yang dapat diandalkan. Masih luasnya potensi lahan dan sumberdaya yang

belum termanfaatkan maka produktivitas sektor perikanan masih terus bisa

dikembangkan lagi. Sejak tahun 1980 produksi terus meningkat bersamaan

dengan itu ekspor pun terus meningkat. Kemajuan sektor budidaya pun mulai

meningkat dengan berkembangnya teknik budidaya seperti semi intensif dan

intensif bahkan super intensif. Sejak itu pula peran sektor budidaya menjadi

sangat penting karena mulai mendominasi produk-produk ekspor perikanan.

Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan tersebut penggunaan obat dan

bahan kimia lainnya semakin intensif pula digunakan.

Pada awalnya penggunaan obat, bahan kimia dan bahan biologi dalam

budidaya perikanan baru di kenal di Indonesia terutama setelah adanya wabah

penyakit bercak merah yang menyerang ikan mas pada tahun 1980 yang

disebabkan oleh Aeromonas hydrophila dan penyakit udang TSV (Taura

Syndrome Virus), White Spot, Vibriosis. Wabah penyakit ini telah mengakibatkan

kematian ikan yang menyebabkan para pembudidaya ikan mengalami kerugian.

Di sisi lain perkembangan global dan berkembangnya ilmu pengetahuan

tentang bahan-bahan yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia,

membuat semakin selektifnya penggunaan obat, bahan kimia lainnya dalam

kegiatan budidaya. Hal ini didorong oleh persyaratan standar yang ditetapkan

negara tujuan ekspor terhadap seluruh produk perikanan budidaya. Terbukti

dengan di blokkirnya 49 coldstorage Indonesia yang tidak bisa lagi melakukan

ekspor ke Eropa (Fajar, 26 Maret 2007).

Penggunaan obat ikan, bahan kimia dan bahan biologi harus tetap

memperhatikan sifat fisik dan kimianya. Terdapat bahan-bahan kimia dan obat-

obatan yang berdampak langsung terhadap kesehatan manusia dan sebagian

lainnya tidak mudah terurai sehingga terakumulasi dalam tubuh ikan dan

Page 3: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

2

lingkungan perairan. Residu obat dan bahan kimia pada tubuh ikan dapat

menyebabkan timbulnya berbagai penyakit degeneratif dan menurunnya

kekebalan pada tubuh manusia yang mengkonsumsinya. Penggunaan bahan

biologi yang kurang tepat dapat menimbulkan gangguan pada lingkungan

sumberdaya perikanan. Produk perikanan juga rentan terhadap pengaruh

pencemaran terutama senyawa logam berat. Keberadaan logam berat dapat

terakumulasi dalam daging ikan dan jika dikonsumsi manusia dapat merusak

kesehatan.

Untuk mengantisipasi dampak yang dapat ditimbulkan baik terhadap

produk hasil budidaya maupun lingkungan, pemerintah Indonesia melakukan

pengaturan terhadap peredaran dan penggunaan obat ikan, penggunaan bahan

kimia dan bahan biologi. Sulawesi Selatan dalah salah satu provinsi yang

melakukan ekspor udang dan ikan ke Eropa. Dengan demikian untuk lebih

menjamin bahwa produk perikanan budidaya aman terhadap kesehatan manusia

di wilayah kerja BBAPT Takalar khususnya Sulawesi Selatan, perlu dilakukan

monitoring residu obat ikan dan bahan kimia secara berkala dan terpadu.

1.2. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kualitas lingkungan

yang meliputi kualitas air tanah, dan tingkat kandungan residu logam berat pada

kegiatan budidaya udang di Sulawesi Selatan.

1.3. Sasaran/Target

Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan monitoring ini adalah untuk

mengetahui perubahan dan perkembangan kondisi lingkungan kawasan

budidaya terutama kualitas air tanah dan penggunaan jenis obat dalam kegiatan

budidaya udang di Sulawesi Selatan.

Page 4: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

3

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Waktu dan Tempat

Kegiatan monitoring akan dilakukan pada bulan Juni - November 2008

dengan lokasi monitoring di Pinrang, Pangkep, Barru, Takalar, Maros, Makasar,

Bone, Bulukumba, Bantaeng, dan Sinjai . Seluruh sampel yang diambil dikirim

untuk diujikkan di Laboratorium yang memiliki kemampuan untuk melakukan

pengujian.

2.2. Sampel

Sampel yang diambil adalah udang dari jenis udang windu (Penaeus

monodon) dan udang vaname (Litopenaeus vannamei), kepiting bakau,

rajungan, bandeng, rumput laut dan air serta tanah media budidaya yang

bersangkutan.

2.3. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan monitoring adalah es batu, plastik,

larutan HNO3/H2SO4 (pengawet), batu es, sedangkan alat-alat yang digunakan

berupa cold box, alat tulis, dan botol sampel, DO meter, pH meter serta redoks

meter,

2.4. Parameter Uji

Parameter uji yang akan diukur dalam kegiatan monitoring ini adalah

kualitas lingkungan seperti tertera pada Tabel 1 dan beberapa parameter yang

dipersyaratkan oleh Uni Eropa untuk diuji di laboratorium dapat dilihat lebih

lengkap pada Tabel 2.

2.5. Petugas Pengambil Contoh (PPC)

Petugas Pengambilan contoh untuk kegiatan monitoring adalah petugas

yang telah terlatih yang berasal dari lingkup laboratorium uji BBAPT yangkni

laboratorium Kimia Fisika dan Kesehatan ikan. Setiap kali pengambilan sampel

Page 5: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

4

terdiri atas 2 orang, dimana setiap orang mewakili salah satu laboratorium.

Tabel 2.1. Parameter Pengujian yang Akan Dilakukan dalam Kegiatan

Monitoring Kualitas Lingkungan.

No. Jenis Parameter Jenis Sampel Alat/Metoda uji A. Fisika

1. Suhu Air Thermometer, Manual Alat 2. TSS Tanah SNI 06-6989.3-2004

3. TDS Tanah APHA 2540-1998 4. Kekeruhan Turbidimeter, Manual alat

B Kimia

1. pH Air/tanah pH Meter SNI 06-6989.11-2004/Soil tester 2. Ammonia Air Spektrofotometri, SNI 06-2479-1991 3. Nitrit Air Spektrofotometri, SNI 06-6989.9-2004

4. Nitrat Air Spektrofotometri, SNI 06-2480-1991 6. Salinitas Air Refraktrometer, Manual Alat 7. DO Air DO meter, manual Alat

8. Alkalinitas Air APHA 2320-1998 9. TOM Air SNI 01-3554-1998

10. Redoks Tanah Manual alat C. Biologi 1. Bakteri Air/tanah ALT 2. Parasit Air/tanah/ikan/udang Mikroskop D. Bahan Residu 1. Hg Air/tanah/ikan/udang/rpt laut AAS 2. Pb Air/tanah/ikan/udang/rpt laut AAS

3. Cd Air/tanah/ikan/udang/rpt laut AAS + kerang-kerangan&kptng

D. PCR

1. WSSV Udang IQ 2000 2. TSV Udang IQ 2000 3. IHHNV Udang IQ 2000

2.6. Prosedur Kerja

2.6.1. Monitoring Kualitas air dan Tanah

a. Jumlah contoh

Penentuan contoh mengikuti tata cara pengambilan contoh pada suatu

kawasan budidaya. Untuk sampel air meliputi sampel inlet, outlet, air di tengah

kawasan, bagian utara, timur, selatan dan barat, sampel air laut, air sungai, dan

air di sekat pemukiman. Sedangkan tanah meliputi tanah di sekitar sungai

bagian tengah kawasan, utara, timur, selatan dan barat kawasan. Parameter

yang langsung di ambil dilapangan adalah suhu air, DO, salinitas, dan pH.

Page 6: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

5

b. Cara Pengambilan dan Penanganan Contoh

Contoh air diambil dengan menggunakan botol air plastik minimum 500 ml

tanpa ada gelembung udara. Sedangkan contoh tanah diambil dengan

menggunakan botol plastik atau plastik biasa. Contoh air dan tanah disimpan

dalam coldbox yang telah diisi dengan es curah. Diupayakan coldbox tertutup

rapat (kedap udara). Khusus untuk sampel residu diawetkan dengan cara

menambahkan larutan asam hingga pH di bawah 2.

2.6.2. Monitoring Residu Obat dan Bahan Kontaminan

a. Jumlah Contoh

Untuk parameter residu maka sampel tanah diambil dari tanah tambak

dimana budidaya dilakukan dan tanah saluran masuk pada 2 lokasi tambak yang

berbeda. Sedangkan untuk sampel residu air diambil dari air tambak, saluran

inlet serta air laut. Untuk sampel udang, kepiting dan rumput laut dibuat sampel

ganda sebagai pengulangan di tambah sampel kerang-kerangan yang ada di

kawasan tambak.

Contoh dikemas sedemikian rupa untuk mempertahankan contoh

udang/kepiting dalam kantong plastik (plastic pack) dan diberi keterangan/label

sesuai dengan lokasi, jenis, waktu pengambilan contoh kemudian dimasukkan ke

dalam cold box yang kedap air. Contoh air sebanyak 500 ml diambil

menggunakan botol contoh (botol kaca atau botol plastik polyethilene), kemudian

kedalam air contoh ditambahkan larutan pengawet (HNO3/H2SO4) sebanyak 1

ml.

Hal-hal yang perlu dicatat oleh petugas pengambil contoh/contoh pada

saat pengambilan contoh antara lain: (1) tanggal pengambilan contoh; (2) lokasi

pengambilan contoh; (3) komoditas. Contoh ikan dan air dari lokasi/lapangan

oleh petugas sampling diserahkan ke laboratorium uji yang ditunjuk (laboratorium

yang telah terakreditasi).

Page 7: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

6

b. Cara Pengambilan dan Penanganan Contoh

Ikan contoh diambil dari lokasi pembudidayaan ikan oleh PPC. Untuk

selanjutnya PPC melakukan penanganan ikan contoh dengan sistem rantai

dingin, yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam kantong plastik, ditempatkan

didalam wadah styrofoam dan di beri es curah.

c. Laboratorium Uji

Laboratorium yang akan melakukan pengujian logan berat adalah

laboratorium pengujian terdekat yang ada di Makassar seperti Balai Besar

Industri dan Hasil Pertanian Makassar (BBIHP). Sedangkan untuk menguji bahan

kontaminan residu obat dilakukan di Lab Uji BBAP Takalar.

2.6.3. Monitoring Kesehatan Ikan

a. Cara Pengambilan dan Penanganan Contoh

Penanganan sangat bergantung pada jenis sampel uji. Sampel uji yang

diambil adalah untuk pengujian parasit, bakteri dan PCR. Penanganan pada

sampel parasit dan bakteri harus menggunakan sampel dalam keadaan hidup.

Cara lain untuk bakteri adalah dengan membawa media siap pakai untuk

langsung diinfeksikan di lapangan, sehingga tidak perlu membawa sampel hidup.

Sedangkan untuk sampel PCR dilakukan dengan mengambil bagian

organ dari udang diambil (kaki renang) contoh diambil dari lokasi

pembudidayaan oleh PPC. Untuk selanjutnya PPC melakukan penanganan ikan

contoh dengan sistem rantai dingin, yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam

kantong plastik, ditempatkan didalam wadah styrofoam dan di beri es curah.

d. Laboratorium Uji

Laboratorium yang akan melakukan pengujian adalah Lab Uji BBAP

takalar.

Page 8: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

7

2.7. Analisa Data

Analisa data dilakukan berdasarkan hasil laboratorium dibandingkan

dengan baku mutu. Untuk kualitas lingkungan menggunakan bakumutu kualitas

air dan tanah yang telah ditetapkan berkaitan dengan tujuan budidaya yakni

berdasarkan pada SNI budidaya atau petunjuk teknis yang ada. Sedangkan data

residu obat dan bahan kontaminan didasarkan pada baku mutu yang telah

dikeluarkan oleh pihak Uni Eropa.

2.8. Pencatatan

Setiap tahapan kegiatan monitoring dilakukan pencatatan oleh Tim

Monitoring secara tertib dan dilakukan pendokumentasian untuk memudahkan

penelusuran.

2.9. Pembiayaan

Biaya supervisi, monitoring dan uji laboratorium akibat kegiatan dimaksud

masing-masing dibebankan pada anggaran APBN Direktorat Jenderal Perikanan

Budidaya dalam hal ini Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan Direktorat

Perikanan Budidaya. Sedangkan Residu Logam berat di biayai oleh dana

Laboratorium yang terintegrasi dengan biaya jasa pengujian sebesar Rp

10.000.000.

Page 9: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

8

III. HASIL KEGIATAN 3.1. Kualitas Tanah dan Air 3.1.1. Kawasan Budidaya Desa Pallime Kabupaten Bone 3.1.1.1. Kualitas Tanah

Dari Tabel 3.1. menunjukkan bahwa karakteristik yang mendukung kegiatan

budidaya kepiting dan udang adalah kondisi tekstur (70:30% liat pasir) dan pH

tanah (pH 6,93-7,02). Jenis tanah yang dijumpai di areal tambak Desa Pallime

Kecamatan Cenrana adalah jenis tanah dengan tekstur liat (clay), serta jenis liat

berpasir (sandy clay) dan liat berlumpur (silty loam). Karakterisik fisik dan kimia

tanah di areal tambak udang di Muara Sungai Cenrana Pallime dapat di lihat

pada Tabel 3.1. Dari sisi kondisi tanah menunjukkan bahwa areal tambak sudah

sesuai untuk budidaya udang maupun kepiting yang menghendaki kondisi tanah

yang liat berpasir dan liat berlumpur (Soetomo, 2002). Kondisi pH tanah tersebut

menunjukkan bahwa areal tambak ber pH netral ada pada kisaran 6,93 – 7,02,

sehingga baik untuk dijadikan tempat budidaya udang dan kepiting. Tambak

yang produktif untuk tambak mempunyai kisaran pH netral hingga basa dan

Tanah yang baik untuk budidaya tambak udang berada pada kisaran netral pH

6.0-8.0 (Direktorat Pembudidayaan, 2003).

Tabel 3.1. Kualitas tanah tambak budidaya kepiting dan udang di Ds Pallime-Bone

Parameter

Satuan

Tambak Udang Muara

Taambak kepiting

monosek

Tambak kepiting sawah

Optimal

Redoks mV -202 -241,33 -229,33 > - 100 (Reis, 1985)

pH

6,99 6,93 7,02 6,00 – 8,00

(Dirt. Pembudidayaan,2003)

Bahan organik

% 10,51 11,67 9,77 < 2,5 % (Adhikari, 2003)

Phosfat mg/L 0,55 0,60 0,42 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)

Besi mg/L 0,69 0,83 1,24 < 0,1

Nitrogen mg/L 0,45 0,51 0,34 >250 mg/L ( Adhikari, 2003)

Tekstur % fraksi Liat 60 –

pasir 40 % Liat 60 –

pasir 40 % Liat 60 –

pasir 40 % Liat 60-70%, pasir 30-40% (Dirt.Pembudidayaan, 2003)

Warna tanah Abu-abu Abu-abu Coklat Coklat

Page 10: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

9

Hasil identifikasi karakteristik tanah lainnya menunjukkkan hasil uji yang

kurang baik bagi kondisi tambak. Ini nampak pada kondisi bahan organik tambak

yang tinggi (9,77 – 11,67%) melebihi 2,5% (Adhikari, 2003), kandungan phosfat

yang rendah (0,42 – 0,60 mg/L), yang seharusnya lebih dai 30 mg/L (Adhikari,

2003), kandungan besi yang tinggi ( 0,69 – 1,24 mg/L) harusnya kurang dari 0,1,

kandungan Nitrogen yang kurang (0,34 – 0,51 mg/L) yang seharusnya lebih dari

250 mg/L (Adhikari, 2003). Begitu pula dengan indikasi warna tanah yang

berbeda pada ke tiga lokasi (udang, sawah dan monosek). Nampak tanah yang

bagus adalah yang berwarna coklat seperti di tambak sawah kepiting. Berbeda

dengan tanah yang berwarna abu mengindikasikan aktivitas biologi di dalam

tanah terhambat akibat kandungan oksigen tanah yang terbatas.

Dari kondisi tanah tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi tanah

masih baik namun perlu ada perlakuan saat persiapan tambak seperti

pengeringan, pemupukan. Nitrogen dan Fosfor adalah unsur yang penting bagi

pertumbuhan phytoplankton, dan organisme lainnya (Boyd, et.al. 2002).

Nitrogen dan fosfat merupakan bahan dasar nutrisi yang bisa dimanfaatkan oleh

phytoplankton yang dihasilkan oleh proses dekomposisi bahan organik oleh

bakteri. Nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat serta fosfat mudah diserap

oleh phytoplankton. Penambahan bisa dilakukan dengan melakukan

pemupukkan dengan menggunakan pupuk urea atau ammonium untuk

menambah nitrogen dan pemupukkan Kalsium phosfat dan Ammonium Phosfat

untuk menambah nutrisi Phosfat.

3.1.1.2. Kualitas air

Kondisi air di Pallime sangat dipengaruhi oleh suplai air dari sungai

Cenrana yang berhulu du danau Tempe. Sehingga kualitas air di hulu sangat

dipengaruhi oleh aktivitas atau perubahan kondisi alam di bagian hulu. Hasil dari

identifikasi (Tabel 3.2) menunjukkan menunjukkan kondisi yang umumnya

ditunjukkan oleh air sungai dalam kondisi keruh, tentunya mempunyai nilai

turbidity yang cukup tinggi, bahan organik yang tinggi dan tentunya kandungan

CO2 yang tinggi pula. Kandungan ammonia yang ada akibat tingginya bahan

Page 11: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

10

organik dan menunjukan adanya aktivitas dekomposisi dengan proses nitrifikasi

yang terhambat akibat oksigen yang rendah. Kondisi air sungai ini masih bisa

digunakan sebagai sumber air tawar bagi kegiatan budidaya yang tentunya perlu

mendapat perlakuan seperti pengendapan air di tandon, filterisasi, pengapuran

dan lain-lain.

Tabel 3.2. Kualitas air tambak budidaya udang dan kepiting di Ds Pallime-Bone

Parameter Satuan Tambak udang Muara

Tambak Kepiting Monosek

Tambak kepiting Sawah

Sungai Cenrana

Optimal

Salinitas ppt 8,67 2,00 1,33 0,33 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

pH 8,59 9,10 7,49 7,02 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

DO mg/L 7,83 4,23 9,33 3,93 5,0 – 9,0 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Suhu oC 30,00 31,00 28,70 28,37

28,0 – 32,0 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Alkalinias mg/L 157,50 162,00 162,00 126,00 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

CO2 mg/L 0,00 0,00 1,04 10,43 < 0,20 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Ammonia mg/L 0,20 0,00 0,05 0,20 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,05 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Posfat mg/L

0,10 0,00 0,10 0,10 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan,

2003)

Klorin mg/L 0,00 0,00 0,00 0,00 < 0,01 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

Bahan organik mg/L 28,77 19,69 10,31 14,37 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

Turbidity NTU 49,00 40,00 37,00 49,00 30 – 40 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

Besi mg/L 0,00 0,00 0,00 0,00 < 1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

H2S mg/L 0,00 0,00 0,00 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Warna air Coklat muda

Coklat tua

Coklat tua Kuning

Coklat muda (Ariawan & Poniran, 2004)

Kegiatan budidaya perikanan di Desa Pallime Cenrana-Bone adalah

meliputi kegiatan budidaya udang tradisional, kepiting bakau tradisional, serta

yang menarik adalah kegiatan budidaya kepiting mina padi yang merupakan

kegiatan budidaya yang khas Pallime cenrana-Bone. Kegiatan budidaya ini

sangat tergantung pada sumber air dari sungai Cenrana. Sehingga pola

budidaya sangat tergantung dari suplai air sungai Cenrana. Pada kondisi

salinitas rendah budiadaya Kepiting menggunakan jenis Scylla olivace yang

bersamaan dengan budidaya padi, berbeda saat salinitas tinggi hanya dilakukan

budidaya kepiting dengan menggunakan jenis S. serrata. Selain itu dilakukan

upaya pengembangan teknologi seperti budidaya kepiting monokultur-monosek.

Page 12: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

11

Inisiatif budidya polikultur kepiting dan padi di tambak adalah suatu

kebutuhan atas dua komoditas bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Sehingga pemilihan waktu tanam dan jenis kepiting yang

dibudidayakan menjadi hal penting untuk mendapat perhatian. Pilihan ini

berkaitan dengan kondisi kualitas air yang memungkinkan untuk keduanya bisa

tumbuh dan berkembang dengan normal. Oleh karena itu sasarannya adalah

dilakukan pada musim hujan dimana sumber air tawar melimpah untuk

menurunkan salinitas air hingga mendekati 0 ppt dan jenis kepiting yang

digunakan adalah jenis kepiting yang adaptif di kondisi salinitas rendah yakni

jenis kepiting S. olivacea.

Hal yang perlu diberikan penjelasan kepada masyarakat di daerah ini

adalah kegiatan budidaya udang yang dipolykultur dengan kepiting. Ini menjadi

sangat riskan karena akan berdampak pada munculnya penyakit viral pada

udang dan ini akan sangat merugikan petani karena kepiting adalah carier bagi

virus WSSV.

Kualitas air di kawasan ini pada saat identifikasi menunjukkan kondisi

salinitas rendah nampak salinitas air sungai 0,33 ppt, 8 ppt di tambak muara dan

1-2 ppt di tambak kepiting. Kondisi ini sebenarnya kurang cocok untuk budidaya

udang windu karena terlalu rendah, walaupun masih bisa tumbuh dengan baik,

akan tetapi untuk kondisi umur udang yang sudah masa panen hendaknya

salinitasnya harus tinggi (30-33 ppt). Karakteristik kualitas airnya menunjukkan

bahwa ada salam kondisi yang cukup baik untuk kegiatan budidaya, yang

menarik justru kondisi kualitas air di sawah justru cenderung lebih baik, kecuali

kandungan karbon dioksida (1,04 mg/L) yang melebihi ini dimungkinkan karena

ada peningkatan proses photosinthesis oleh padi dan proses respirasi

mikroorganisma, akan tetapi menjadi tidak masalah karena juga diimbangi oleh

kandungan oksigen yang tinggi (>9 mg/L). Ini adalah keuntungan yang diperoleh

dari adanya tumbuhan padi di tambak, karena padi mempunyai rate photositesis

yang tinggi sehingga berimbas pada kandungan oksigen tinggi di dalam kolom

air tambak. Tentunya akan berdampak pada sistem yang ada di dalam tambak

Page 13: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

12

berjalan dengan baik, dan nampak pada karakteristik yang sangat baik bagi

kehidupan kepiting di dalam tambak. Sedangkan sedikit lebih tingginya

kandungan amonia di dalam tambak diduga karena proses amoifikasi namun

proses nitrifikasi yang sedikit terhambat. Akan tetapi nilai ammonia pada level

0,05 mg/L belum bersifat toksik karena nilai pH yang agak relatif netral (pH 7,49).

3.1.2. Kawaan Budidaya Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang 3.1.2.1. Kualitas Tanah Tambak

Karakteristik tanah budidaya sangat penting karena menjadi sumber dari

keberhasilan budidaya. Karakteristik tanah hasil identifikasi tertera pada Tabel

3.3. Pada Tabel tersebut nampak bahwa karakteristik tanah di Lokasi identifikasi

menunjukkan kondisi tanah yang kurang baik, nampak bila dibandingkan dengan

karakteristik optimal bagi oleh proses persiapan awal yang cenderung banyak

diabaikan oleh para petani seperti tudak melakukan pembuangan sisa bahan

organik, pengeringan, dan pemupukan. Kondisi ini diindikasikan oleh redoks

yang rendah (-202,23 – -267,00 mV), bahan organik yang tinggi (7,54 – 18,16

mg/L) dan phosfat yang rendah (0,87 – 1,14 mg/L), serta besi yang masih tinggi

(0,28 -0,40 mg/L). Ini bisa disebabkan oleh kondisi konstruksi tambak yang tidak

memungkinkan untuk melakukan pembuangan air karena harus menggunakan

pompa air setiap kali pengeringan dan ini membutuhkan biaya yang tinggi.

Tabel 3.3. Kualitas tanah tambak budidaya udang dan kepiting di Kabupaten

Pinrang.

Parameter

Satuan

Tambak udang Bpk Tajuddin

Tambak KTP

Desiminasi

Tambak Budidaya Kepiting

Optimal

Redoks mV -267,00 -202,23 > - 100 (Reis, 1985)

Bahan organik

% 18,16

7,54 11,26 < 2,5 % (Adhikari, 2003)

Phosfat mg/L 1,00 1,14 0,87 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)

Besi mg/L 0,36 0,40 0,28 < 0,1

H2S mg/L 0,00 0,00 0,00

0,05-0,10 (Dirt. Pembudidayaan,2003)

Page 14: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

13

3.1.2.2. Kualitas Air Tambak

Kualitas air sungai dan muara sebagai sumber air dalam kegiatan

budidaya menunjukkan bahwa terdapat perbesaan signifikan antara salinitas air

sungai (9 ppt) dan muara (34 – 36 ppt). Ini terjadi karena pada saat itu ada dalam

kondisi musim kering sehingga salinitas air sangat tinggi. Kondisi ini maka

keberadaan air tawar menjadi sangat vital. Namun nampaknya kualitas air

(Tabel 3.4) sungai dan muara kurang begitu baik karena kandungan bahan

organik yang tinggi (41,90-102,91 mg/L) ini mengindikasikan kandungan lumpur

yang tinggi akibat aktivitas pertainan di bagian hulu. Akan tetapi kondisi ini masih

bisa dipergunakan sebagai sumber air budidaya melalui perlakuan pengendapan

dan filterisasi di tandon.

Tabel 3.4. Kualitas air sungai dan muara sungai sebagai sumber air budidaya udang dan kepiting di Kecamatan Duampanua-Pinrang.

Parameter Satuan Muara sungai Serang

Muara sungai Suppa

Sungai Pasorongan

Optimal

Salinitas ppt 34,00 36,00 9,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan,

2003)

pH 7,80 7,27 7,44 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa,

1999)

Alkalinias mg/L 104,69 104,69 91,58 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Ammonia mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Bahan organik mg/L 102,91 101,97 41,90 < 55 (Dirt. Pembudidayaan,

2003)

H2S mg/L 0,00 0,00 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Pada identifikasi kualitas air tambak baik di tambak udang maupun

kepiting seperti pada Tabel 3.5. menunjukkan bahwa yang berpeluang menjadi

faktor yang dapat mengurangi produkstivitas tambak baik di udang maupun

kepiting adalah kandungan alkalinitas dan kandungan bahan organik. Akalinitas

yang rendah (<100 mg/L) akan sangat mengurangi kemampuan alamiah dari air

dalam melakukan netralisasi pH sehingga ketika tiba-tiba pH air turun akan

kesulitan recoveri netralisasi pH (Svobodova, at al, 1993; Saeni & Darusman,

2002). Begitu pula bahan organik melebihi standar optimal (> 55 mg/L) akan

mengundang banyak mikroorganisme masuk, sehingga berpeluang

Page 15: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

14

meningkatnya ammonia dan nitrit, menurunnya kandungan oksigen sehingga

mengganggu ketersediaan oksigen bagi udang dan kepiting. Sebaliknya bila

akan meningkatkan CO2 karena proses respirasi yang meningkat. Belum lagi

kalau pH yang relatif tinggi akan meningkatkan daya toksik dari ammonia di air

(Malone & Burden, 1988). Sementara itu pada saat pengujian kandungan

ammonia, nitrit dan asam sulfida dalam kondisi yang cukup baik (0 mg/L), akan

tetapi kondisi ini akan berubah pada waktu 1 – 2 minggu ke depan apalagi bila

udang terus diberi pakan.

Tabel 3.5. Kualitas air tambak budidaya udang dan kepiting di Kecamatan Duampanua - Pinrang.

Parameter Satuan Tambak udang

Tambak Kepiting

Tambak Gelondongan

udang

Optimal

Salinitas Ppt 16,50 25,67 25,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan,

2003)

pH 7,58 7,72 8,03 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa,

1999)

Alkalinias mg/L 81,98 100,32 72,41 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Ammonia mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Bahan organik mg/L 76,94 103,69 104.45 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

H2S mg/L 0,00 0,00 0,00 < 2 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

3.1.3. Kawasan Budidaya Kabupaten Barru 3.1.3.1 Kualitas air Tambak

Hasil identifikasi (Tabel 3.6) menunjukan bahwa kualitas air tambak di

Juppai Kabupaten Barru memiliki bahan organik yang sangat tinggi (134,19

mg/L), kondisi ini sangat berbahaya bagi kondisi udang yang ada di dalamnya.

Kondisi ini juga diidikasikan oleh tingginya (pH 8,15) dan amonia yang tinggi

(0,565 mg/L). Bahan organik yang tinggi akan mengundang mikroorganisma

masuk, sehingga berdampak pada penurunan oksigen terlarut atau sebaliknya

karbondioksida yang meningkat sebagai hasil respirasi mikroorganima yang ada.

Situasi seperti ini akan meningkatkan kompetisi penggunakan oksigen dan ini

sangat merugikan bagi udang yang dibudidayakan. Terlebih ammonia yang tinggi

Page 16: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

15

dengan pH yang tinggi akan meningkatkan daya toksik ammonia. Selain itu efek

yang lain adalah kondisi nutrisi juga akan menjadi sangat kurang karena

kompetisi antara mikroorganisma dan udang yang dipelihara. Ini nampak dari

kandungan phosfat ang rendah yang akan berdampak pada berkurangnya

populasi rantai makanan di level yang lebih rendah.

Tabel 3.6. Kualitas air tambak budidaya udang di Jupai –Barru.

Parameter Satuan Tambak udang

Optimal

Salinitas Ppt 35 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

pH 8,15 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Phosfat mg/L 0,00 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

Ammonia mg/L 0,565 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Nitrit mg/L 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Bahan organik mg/L 124,19 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

3.1.4. Kawasan Budidaya Kabupaten Pangkep 3.1.3.1 Kualitas air Tambak

Kawasan budidaya di Kabupaten Pangkep adalah kawasan budidaya

untuk komoditas udang dan bandeng yang semuanya dilakukan polikultur. Hasil

pengujian (Tabel 3.7) menunjukkan bahwa sumber air laut menunjukkan kondisi

pH yang cukup tinggi (pH 8,19), begitu pula bahan organik (50,56 mg/L, serta

ammonia yang tinggi (0,383 mg/L). Kualitas air laut sebagai sumber air bagi air

tambak masih dalam kondisi yang kurang baik, akan tetapi masih bisa

diupayakan dengan melalui filterisasi, penambahan air tawar dan proses

pengendapan di tandon.

Dari hasil pengujian kualitas air di tambak persiapan (Tabel 3.7)

menunjukkan bahwa air relatif tawar dimana masih mencoba untuk melakukan

mencucian dan mengurangi bahan-bahan yang bisa merugikan pada saat

pemeliharaan. Kandungan nutrisi masih rendah nampak pada kandungan

phosfat yang rendah. Akan tetapi nampak terdeteksi kondisi ammonia yang

masih tingggi akan tetapi air tersebut harus diupayakan diganti dengan di air

baru sehingga air benar-benar bisa digunakan untuk budidaya.

Page 17: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

16

Tabel 3.7. Kualitas air tambak polikultur budidaya udang dan bandeng Kabupaten Pangkep.

Parameter Satuan Air laut Tambak

polikultur Air

persiapan Optimal

Salinitas Ppt 34 29,00 4,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

pH 8,19 7,31 7,34 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Ammonia mg/L 0,383 0,10 0,04 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Nitrit mg/L 0,00 0,00 0,00 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Bahan organik mg/L 50,56 441,10 42,03 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

Phosfat mg/L 0,00 0,00 0,00 0,10 – 0,25 (Dirt. Pembudidayaan,

2003)

Pada tambak pemeliharaan (Tabel 3.7) menunjukkan bahwa secara

umum masih baik, namun yang paling nampak adalah kondisi bahan organik

yang sangat tinggi (441,1 mg/L), sehingga ammoniak pun tinggin (0,1 mg/L).

Kondisi ini bisa disebabkan oleh tanah yang tidak diolah dengan baik seperti

tidak dilakukan pembuangan lumpur sisa dan pemberian pakan yang terlalu

berlebihan, sehingga harus segera dilakukan pergantian air, dan ini harus sering

dilakukan, sehingga kandungan bahan organiknya ada pad batas normal. Karena

kondisi tersebut akan mengundang mikroorganisme baru yang berdampak pada

peningkatan kompetisi ruang dan oksigen serta akan meningkatkan kandungan

karbondioksida di kolom air.

3.1.5 Kawasan Budidaya Kabupaten Maros 3.1.5.1. Kualitas Tanah Tambak

Hasil pengukuran kualitas tanah (Tabel 3.8) pada kawasan Tambak di

Kabupaten Maros menunjukkan bahwa tanah di kawasan tersebut ada dalam

kondisi yang cukup bagus dimana pH, bahan organik, dan kandungan besi yang

ideal untuk budidaya udang bila merujuk kriteria optimal pada Tabel di bawah .

Namun untuk kandungan phosfat yang rendah, akan tetapi kondisi ini masih bisa

diperbaiki dengan melakukan penambahan phosfat dengan melakukan

pemupukan tanah tambak pada awal persiapan tanah dasar atau pada saat

kegiatan tambak sudah berjalan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegiatan

Page 18: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

17

persiapan tambak sudah cukup baik walaupun nampak kandungan nutrisi

phosfat masih kurang, dan perlu penambahan melalui pemupukan.

Tabel 3.8. Kualitas tanah tambak budidaya udang di Kabupaten Maros.

Parameter

Satuan

Tambak udang

Saluran Tambak

Optimal

pH 7,15 7,26 6,0-8,0 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

Bahan organik % 1,65 7,54 < 2,5 % (Adhikari, 2003)

Phosfat mg/L < 0,0062 1,14 >30 mg/L ( Adhikari, 2003)

Besi mg/L <0,053 0,40 < 0,1

3.1.5.2. Kualitas air Tambak

Hasil identifikasi kualitas air pada tambak dan saluranya ditunjukkan pada

Tabel 3.9. Dari data tersebut di tambak udang vanamei menunjukkan pH yang

cukup tinggi (pH 8,50) ini sangat riskan apalagi ammonia cukup tinggi (0,6 mg/L).

Karena akan menjadi lebih toksik bila dalam kondisi pH tinggi, didukung oleh

suhu air yang tinggi akan menambah daya toksik ammonia. Melihat padatan

terlarut di air menunjukkan nilai 0,066 mg/L mengindikasikan bahwa bahan

organik di dalam air juga cukup tinggi. Ini sebanding dengan hadirnya ammonia

di dalam air. Rendahnya nitrit bisa disebabkan oleh terhambatnya proses

perombakan oleh bakteri, akibat dari persaingan oksigen dan didiga hadirnya

CO2 yang tinggi.

Tabel 3.9. Kualitas air tambak dan saluran budidaya udang di kabupaten Maros

Parameter Satuan Tambak

Vannamei Tambak U.Windu

Saluran Optimal

Salinitas Ppt 15,00 5,00 - 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

pH 8,50 7,60 - 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Alkalinias mg/L 113,00 109,72 112,79 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Ammonia mg/L 0,605 0,124 0,017 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Nitrit mg/L <0,05 <0,05 <0,05 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Suhu oC 32 31 - 28,0-32,0 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

TSS mg/L 0,066 0,224 0,058

Page 19: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

18

Dari sisi salinitas nampak bahwa vaname masih bisa hidup hingga

mendekati air tawar, sehinggan dengan salinitas 15 masih bisa tumbuh dengan

baik. Berbeda dengan jenis udang windu salinitas 5 kurang optimal, akibatnya

pertumbuhan akan terganggu. Ini sangat kontras dengan kondisi kualitas air di

saluran masih sangat bagus. Oleh karena itu, dengan dasar tanah dan

persiapan yang bagus namunpada saat pemeliharaan kurang seksama maka

akan terjadi kondisi kualitas air yang kurang optimal bagi udang. Sehingga perlu

dilakukan segera pergantian air untuk mengurangi kandungan bahan-bahan

berbahaya seperti ammonia dan nitrit, menetralisisr kondisi pH air serta perlu

penabahan air laut untuk udang windu untuk meningkatkan salinitas.

3.1.6. Kawasan budidaya Kabupaten Bantaeng 3.1.6.1. Kualitas Tanah Tambak

Karakteristik data tambak di Kabupaten Bantaeng terlihat pada Tabel

3.10. Dari tabel tersebut dari tiga karakteristik yang diperoleh menunjukkan

kondisi tanah yang baik dan baik skali untuk tambak budidaya dan bagus untuk

ikan maupun udang. Ini sangat nampak bila dibandingkan dengan kondisi

optimal bagi pertumbuhan udang/ikan.

Tabel 3.10. Kualitas tanah tambak budidaya Udang di Kabupaten Bantaeng.

Parameter

Satuan

Tambak udang Optimal

Bahan organik % 1,75 < 2,5 % (Adhikari, 2003)

H2S mg/L 0,00 0,05-0,10 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

Besi mg/L <0,053 < 0,1

3.1.6.2. Kualitas Air Tambak Dari data hasil identifikasi sebagaimana tertera pada Tabel 3.11

menunjuukkan bahwa kualitas air tambak udang windu di Kabupaten Bantaeng

adalah dalam kondisi kurang baik, nampak bahwa air tambak dalam kondisi basa

(pH 8,6) dengan amoniak yang tinggi (0,148 mg/L). Kondisi ini sangat riskan

karena kan sangat berbahaya bagi udang. Kandungan amoniak yang tinggi dan

Page 20: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

19

pH yang tinggi akan sangat toksik bagi udang (Svobodova, at al, 1993). Ini

sangat didukung oleh kondisi kandungan bahan organik pada air juga melebihi

batas optimal (60 mg/L). Namun demikian untuk parameter yang lainnya ada

dalam kondisi cukup baik seperti salinitas (19 ppt), nitrit (<0,05 mg/L), dan

alkalinitas (111,84 mg/L).

Tabel 3.11. Kualitas air tambak dan saluran budidaya udang di kabupaten

Bantaeng.

Parameter Satuan Tambak

U. Windu Optimal

Salinitas Ppt 19,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

pH 8,60 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Alkalinias mg/L 111,84 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Ammonia mg/L 0,148 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Nitrit mg/L <0,05 <0,1 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Bahan organik mg/L 60,00 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

3.1.7. Kawasan Budidaya Kabupaten sinjai 3.1.7.1. Kualitas Air Tambak

Hasil pengujian kualitas air sebagai mana tertera pada Tabel 3.12.

menunjukkan bahwa salinitas, dan bahan organik di saluran inlet menjadi penting

walaupun masih ada di saluran inlet. Kondisi salinitasnya sangat tinggi (35 ppt)

menunjukkan air inlet sulit mendapatkan air baru sehingga salinitas tinggi.

Kandungan bahan organik yangg tinggi (104,00 mg/L) menunjukkan bahwa

kualitas kurang baik untuk sumber air di tambak. Begitupula kandungan

ammonia (0,02 mg/L), ini sangat berkaitan dengan kandungan bahan organik

yang tinggi. Seharusnya air kualitasnya baik, oleh karena itu kondisi air di saluran

harusnya segera diisi air baru atau dilakukan penggantian saat air pasang baru.

Sedangkan kualitas air ditambak nampak tidak terlalu jauh dengan kondisi

inlet namun kandungan bahan organiknya lebih tinggi (124,55 mg/L). Ini

berkorelasi karena kualitas air sumbernya sudah memiliki kandungan bahan

organik yang tinggi pula. Begitu pula untuk pH. Bila kondisi ini dibiarkan akan

berdampak pada proses pertumbuhan yang terhambat dan bisa menimbulkan

Page 21: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

20

kematian terutama pada udang bila ammoniak meningkat, populasi patogen juga

meningkat dan pH terus meningkat. Sehingga perlu segera dilakukan

penggantian air baru dengan kondisi yang lebih baik tidak dengan kondisi

kualitas air inlet seperti di atas.

Tabel 3.12. Kualitas air tambak dan saluran budidaya udang di Kecamatan

Sinjai Utara - Sinjai.

Parameter Satuan Tambak udang windu

Inlet Optimal

Salinitas Ppt 35,00 35,00 15 – 25 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

pH 7,93 7,57 7,0 – 8,30 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Ammonia mg/L 0,00 0,02 <0,03 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Alkalinitas mg/L 148,07 150,17 >100 (Van Wyk & Scarpa, 1999)

Bahan organik mg/L 127,55 104,00 < 55 (Dirt. Pembudidayaan, 2003)

3.2. Monitoring Residu Logam Berat 3.2.1 Air Laut

Hasil monitoring residu (Tabel 3.13 ) diseluruh wilayah monitoring

memperlihatkan bahwa kisaran kandungan logam berat pada air laut berturut-

turut untuk air raksa (Hg), Plumbuk (Pb) dan Timbal (Pb) adalah 0,0006 –

0,0054 mg/L, 0,4284 - 0,7016 mg/L dan 0,0391 – 0,0603 mg/L. Dari hasil

tersebut menunjukkan bahwa kandungan logam berat jenis Hg sudah ada pada

level yang masih rendah mengingat kandungan logam berat alami di laut jenis

Hg di pantai ada pada kisaran 0,002 – 0,015 µg/L (2-15 ppm), jenis Pb ada pada

kisaran 0,02 – 0,04 ppb (20 – 40 ppm) (Deocadiz, Diaz and Otico, 1999) dan Cd

ada pada kisaran 0,05 – 0,2 ppb (50 – 200 ppm) (Mukono, 2005). Dengan

demikian masih berada dibawah konsentrasi alami secara umum, kecuali jenis

Cd. Bila dibandingkan dengan batas yang diperbolehkan berdasarkan PP No. 18

tahun 1999 dimana kandungan logam berat yang diperbolehkan diperairan

berturut-turut untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 0,01 mg/L, 2,5 mg/L dan 0,05 mg/L,

menunjukkan bahwa konsentrasi kandungan jenis Hg dan Pb masih aman

namun untuk jenis Cd sudah berada di atas batas yang diijinkan, terutama untuk

Page 22: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

21

perairan laut di daerah kawasan budidaya di Kabupaten Barru (0,0580 mg/L),

Bantaeng (0,559 mg/L), dan sinjai (0,0603 mg/L).

3.2.2. Air Tambak

Di seluruh kawasan tambak budiaya yang identifikasi (Tabel 3.13)

menunjukkan bahwa air tambak secara berturut-turut untuk jenis logam berat Hg,

Pb, dan Cd ada pada kisaran <0,0005 – 0,0135 mg/L, 0,1094 – 0,65295 mg/L,

dan 0,0052 – 0,3203 mg/L. Batas maksimum untuk ketiga jenis logam berat Hg,

Pb dan Cd berturut-turut adalah 0,1 ppb (0,0001 mg/L), 10 ppb (0,0100 mg/L),

dan 100 ppb (0,1 mg/L) (Van Wyk & Scarpa, 1999). Dari data tersebut nampak

bahwa kandungan logam berat jenis Hg dan Pb sudah melebihi batas maksimum

yang dibolehkan, dan ini ditemukan diseluruh kawasan budidaya yang

diidentifikasi (Pinrang, Barru, Takalar, Bulukumba, Sinjai dan Bone). Sedangkan

untuk logam berat jenis Cd hanya kawasan budidaya di Sinjai dan Bone yang

masih di bawah batas maksimum yang dibolehkan. Dengan demikian secara

umum seluruh daerah kawasan budidaya sudah tidak baik untuk digunakan

sebagai media budiaya. Akan tetapi bila dibandingkan dengan PP no. 18 tahun

1999 secara umum masih dibawah batas minimum kecuali air tambak di Pinrang

yang telah melebih batas minimum Hg (0,0135 mg/L) dan untuk kandungan Cd di

wilayah Kabupaten Barru (0,0685 mg/L), Takalar (0,0674 mg/L), dan Bulukumba

(0,3203 mg/L.

3.2.3. Tanah Tambak

Kandungan logam berat di tanah memperlihatkan data yang sangat

beragam seperti tamapak pada Tabel 3.13. Kandungan logam berat jenis Hg, Pb

dan Cd berturut-turut adalah <0,0005 – 1,0072 mg/L, <0,0020 – 14,1844 mg/L

dan <0,0010 – 2,5946. Kanndungan logam berat di tanah tidak ada batasan

minimum karena bersifat alami, namun tentunya batasan untuk tujuan budidaya

ikan yang mengarah ke keamanan pangan menjadi sangat perlu. Dari data Tabel

tersebut menunjukkan bahwa tanah tambak dengan kandungan Hg tertinggi

berada di kawasan Tambak Kabupaten Barru (1,0072 mg/L), disusul oleh

Page 23: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

22

Kabupaten Sinjai (0,6046 mg/L), Pinrang-Bone (<0,1250 mg/L) dan Pangkep-

Takalar-Bulukumba (<0,0005 mg/L). Untuk kandungan Pb kandungan tertinggi

ditemukan didaerah kabupaten Sinjai (14,1844 mg/L), diikuti oleh Barru (6,2406

mg/L), Pinrang-Bone (0,5000 mg/L). Sedangkan untuk kandungan logam Cd

tertinggi di Kabupaten Sinjai (2,5946 mg/L) diikuti Takalar (1,5906 mg/L), Barru

(1,2488 mg/L), Bone-Pinrang (0,2500 mg/L), Pangkep (0,0020 mg/L) dan

Bulukumba (0,0010 mg/L).

3.2.4. Komoditas Perikanan

Komoditas perikanan budidaya yang diidentifikasi adalah udang windu,

udang vaname, kepiting, kepiting softshell, bandeng, rumput laut, dan glasilaria.

Kandungan logam berat pada udang windu menunjukkan ada pada kisaran

<0,0005 – 0,0740 mg/L untuk Hg, <0,002 – 2,7435 mg/L untuk Pb dan 0,0405 –

0,3916 mg/L untuk Cd. Kandungan logam berat pada udang vanamei ada pada

kisaran 0,005 mg/L untuk Hg, 0,9982 mg/L untuk Pb, dan 0,1376 mg/L untuk Cd.

Pada komoditas bandeng menunjukkan kisaran 0,0360 – 0,1966 mg/L untuk

logam berat Hg, ≤0,002 mg/L untuk jenis logam berat Pb dan <0,001 – 0,0706

mg/L untuk logam berat jenis Cd. Pada komoditas jenis kepiting bakau diperoleh

bahwa kandungan logam berat berada pada kisaran tidak terdeteksi – 0,0575

mg/L untuk jenis logam berat Hg, tidak terdeteksi – 3,06637 mg/L untuk jenis

logam berat Pb, dan tidak terdeteksi – 0,5554 mg/L untuk jenis logam berat Cd.

Untuk jenis kepiting softshell kisaran logam berat jenis Hg ada pada kisaran

0,0664 mg/L, jenis Pb 2,5196 mg/L dan jenis Cd sebesar 0,3141 mg/L.

Komoditas lainnya adalah jenis rumput laut yang dibudidayakan di

perairan dengan jenis Echeuma cotoni. Kandungan logam berat pada rumput

laut mencapai kisaran 0,0274 – 0,0556 mg/L untuk jenis Hg, <0,002 – 0,8198

mg/L untuk jenis logam barat jenis Pb, dan <0,002 – 0,4572 mg/L untuk jenis log

melipuutiam berat Cd. Jenis rumput lainnya adalah jenis rumput laut Glacilaria

yang tumbuh dibudidayakan di tambak. Kisaran kandungan logam berat pada

Glacilaria mencapai 0,0754 untuk jenis Hg, 0,9653 mg/L untuk jenis Pb, dan

0,5554 mg/L untuk jenis Cd.

Page 24: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

23

Tabel. 3.13. Kandungan Residu Logam Berat pada Air, Tanah, dan Komoditas Perikanan di Kawasan Budidaya Propinsi Sulawesi Selatan

Lokasi Jeni Logam

Berat Satuan

Sampel

Air Laut Air Tmbk Tanah U. Windu U. Vaname Bandeng Kepiting R.laut Glacilaria K. Softshell Siput

Pinrang Hg mg/l 0,0054 0,0135 <0,1250 0,1176 0,0470 0,0664 0,0750

Pb mg/l 0,4751 0,2295 <0,5000 2,7435 0,8198 2,5196 2,1920

Cd mg/l 0,0391 0,00525 <0,2500 0,14 0,1034 0,3141 0,2692

Barru Hg mg/l 0,0006 0,0022 1,0072 0,0050 0,0360 0,0556

Pb mg/l 0,4534 0,3973 6,2406 0,9982 <0,0020 <0,0020

Cd mg/l 0,0580 0,0685 1,2488 0,1376 <0,0010 0,4334

Pangkep Hg mg/l <0,0005 0,0900 0,1966 0,0472

Pb mg/l <0,0020 <0,0020 0,0020 <0,0020

Cd mg/l <0,0020 0,0542 0,0706 0,4572

Makassar Hg mg/l Ttd Ttd

Pb mg/l Ttd 2,3000

Cd mg/l Ttd Ttd

Takalar Hg mg/l <0,0005 <0,0005 <0,0005

Pb mg/l 0,1094 <0,0020 <0,0020

Cd mg/l 0,0674 1,59065 0,2062

Bantaeng Hg mg/l 0,0014 0,0364

Pb mg/l 0,7016 <0,0020

Cd mg/l 0,0559 0,3234

Bulukumba Hg mg/l 0,0018 <0,0005 0,0283 0,0379

Pb mg/l 0,65295 <0,0020 <0,0020 <0,0020

Cd mg/l 0,3203 <0,0010 0,0405 0,3386

Sinjai Hg mg/l 0,0006 0,0023 0,6046 0,0740 0,0274

Pb mg/l 0,4184 0,1350 14,1844 1,7246 0,0336

Cd mg/l 0,0603 0,0156 2,5946 0,3916 <0,0020

Bone Hg mg/l 0,0028 <0,1250 0,0504 0,0575 0,0754

Pb mg/l 0,2167 <0,5000 2,1262 3,0637 0,9653

Cd mg/l 0,009 <0,2500 0,1211 0,5554 0,0796

Page 25: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

24

Dari hasil identifikasi tersebut bila dibandingkan dengan batas maksimum

yang dibolehkan berdasarkan batasan dari Dirjend Perikanan Budidaya yang

merujuk ke batasan dari Komisi Eropa. Batasan maksimum residu yang

dibolehkan Maximum Residual Limit (MRL) untuk ketiga jenis logam berat di

dalam udang untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 500 ppb (0,5 ppm) sedangkan pada

ikan adalah berturut-turut untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 500 ppb (0,5 ppm), 200

ppb (0,2 ppm), dan 50 ppb (0,05 ppm).

Apabila kita bandingkan dengan batasan tersebut maka untuk jenis udang

windu masih di bawah batas yang diperbolehkan di seluruh daerah yang

diidentifikasi pada jenis logam berat Hg, sedangkan untuk jenis logam berat Pb

ditemukan melebihi batas di daerah Pinrang (2,7435 mg/L), Sinjai (1,7246 mg/L)

dan Bone (2,1262 mg/L). Untuk jenis udang vannamei kandungan logam berat

jenis Hg dan Pb masih di bawah batas maksimum yang dibolehkan, namun untuk

jenis Pb (0,9982 mg/L) telah berada di atas batas yang diperbolehkan.

Pada komoditas bandeng menunjukkan bahwa hasil pengujian

menunjukkan kandungan yang masih di bawah batas yang diperbolehkan untuk

jenis logam Hg dan Pb, akan tetapi untuk jenis Cd ditemukan melebihi batas

untuk daerah Kabupaten Pangkep (0,0706 mg/L). Pada komoditas kepiting

diperoleh bahwa hasil identifikasi kandungan logam berat menunjukkan

kandungan logam berat jenis Hg masih di bawah batas yang diperbolehkan

sedangkan untuk jenis logam berat Pb dan Cd sudah di atas batas yang

diperbolehkan yakni berturut-turut sebesar 3,0637 mg/L dan 0,5554 mg/L bila

menggunakan pendekatan batas maksimum untuk udang (sama-sama

krustaceae), dan semuanya ditemukan di kabupaten Bone. Sedangkan untuk

komoditas kepiting lunak (softshell) dari Pinrang menunjukkan bahwa hasil

pengujian menunjukkan bahwa kandungan logam berat jenis Hg dan Cd ada di

bawah batas yang diperbolehkan kecuali logam berat jenis Pb.

Hasil pengujian pada siput atau kerang-kerangan di Pinrang dan

Makassar menunjukkan bahwa jenis logam Hg dan Cd masih dibawah 0,5 mg/L,

sedangkan kandungan logam berat Pb telah melebihi 1 mg/L. Pada Komoditas

rumput laut menunjukan bahwa kandungan Hg dan Cd masih dibawah 0,5 mg/L,

Page 26: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

25

namun untuk Pb sudah melewati 0,5 mg/L yang ditemukan di Pinrang (0,8198

mg/L). Begitu pula untuk jenis komoditas Glacilaria di Bone hanya kandungan Pb

yang melebihi 0,5 mg/L.

3.3. Residu antibiotik

Pengujian residu antibiotik chloramphenicol diakukan pada beberapa

jenis pakan ikan dan udang. Batas maksimum residu yang digunakan adalah

nilai yang digunakan di unieropa. Batas maksimum yang dibolehkan untuk jenis

chloramphenicol pada pakan adalah 500 ppb, pada ikan dan udang 0,3 ppb.

Hasil pengujian sebagaimana yang tampak pada Tabel 3.14 menunjukkan

bahwa hasilnya menunjukkan untuk pakan masih ada dibawah batas yang

diperbolehkan, begitu juga untuk komoditas ikan dan udang.

Tabel 3.14. Kandungan residu chloramphenicol pada pakan, ikan dan udang

Jenis Sampel Satuan Kabupaten

Takalar Jeneponto Bantaeng Maros Barru Pakan

“Manggalindo” ppb

0,1011

Pakan “NUVO” ppb 0,1065 Pakan “JAFFA” ppb 0,0925

Pakan “JAFFA” ppb 0,0819 Pakan “283 SP” ppb 0,0749

U. vanamei ppb 0,0002

U. Windu ppb 0,0102 U. Putih ppb 0,0010 Bandeng ppb 0,0292

3.3. Monitoring Penyakit

3.3.1. Pemantauan di Kabupaten Pinrang

Hasil monitoring hama dan penyakit ikan/udang di Kabupaten Pinrang

tahun 2008 (Tabel 3.15) menunjukkan bahwa Virus WSSV menyerang udang

windu serta ditemukan pada udang yang menjadi carier di tambak. Ini

menunjukkan bahwa virus WSSV di Kabupaten Pinrang tersebar mulai dari

Page 27: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

26

tingkat carier hingga udang budidaya dan ini menjadi sangat berbahaya bila

sistem screening air tidak dilakukan dengan baik.

Tabel 3.15. Hasil deteksi WSSV positif di tambak udang Kabupaten Pinrang.

No. Kelompok Penyakit

Jenis Penyakit Komoditi Lokasi Keterangan

1. Virus WSSV Udang windu Tambak

2. Virus WSSV Udang jambret Tambak

3. Virus WSSV Benur U. Windu Tambak

4. Virus WSSV Udang windu Tambak

Page 28: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

27

PETA SEBARAN KANDUNGAN RESIDU LOGAM BERAT PADA KOMODITAS PERIKANAN DI SULAWESI SELATAN

HASIL MONITORING RESIDU TA 2008 Gambar 1. Peta sebaran kandungan residu logam berat pada air, tanah dan komoditas

pertanian di Provinsi Sulawesi Selatan. Keterangan : Huruf merah sudah melebihi batas maksimum yang dibolehkan

MAMUJU

MAMASA MAJENE

E N R E K A N G

PINRANG

SIDRAP

PAREPARE WAJO

BONE BARRU

PANGKEP

MAROS MAKASSAR

GOWA

TAKALAR

JENEPONTO

SINJAI

BULUKUMBA

BANTAENG

SELAYAR

TATOR

PALOPO

LUWU TIMUR

SOPPENG

LUWU UTARA

MAMUJU UTARA

POLMAS LUWU Air tbk Tanah U.Windu Kepiting Glacilaria Hg (mg/L) 0,0028 <0,1250 0,0504 0,0575 0,0754 Pb (mg/L) 0,2167 <0,5000 2,1262 3,0637 0,9653 Cd (mg/L) 0,0090 <0,2500 0,1211 0,5554 0,0796

Air laut Air tambak Tanah U.Windu R. Laut Hg (mg/L) 0,0006 0,0023 0,6046 0,0740 0,0274 Pb (mg/L) 0,4184 0,1350 14,1844 1,7246 0,0336 Cd (mg/L) 0,0603 0,0156 2,5946 0,3946 <0,0020

Air tambak Tanah U.Windu R. Laut Hg (mg/L) 0,0018 <0,0005 0,0283 0,0379 Pb (mg/L) 0,6529 <0,0020 <0,0020 <0,0020

Cd (mg/L) 0,3203 <0,0010 0,0405 0,3386

Air laut R. Laut Hg (mg/L) 0,0014 0,0364 Pb (mg/L) 0,7016 <0,0020 Cd (mg/L) 0,0559 0,3234

Air tambak Tanah U.Windu Hg (mg/L) <0,0005 <0,0005 <0,0005 Pb (mg/L) 0,1094 <0,0020 <0,0020

Cd (mg/L) 0,0674 1,5906 0,2062

Kepiting Kerang Hg (mg/L) ttd ttd Pb (mg/L) ttd 2,3000 Cd (mg/L) ttd ttd

Hg(mg/L) Pb(mg/L) Cd(mg/L) Air Laut 0,0001 0,4534 0,0580 Air Tbk 0,0022 0,3973 0,0685 Tanah 1,0072 6,2406 1,2488 U. vanamei 0,0050 0,9982 0,1376 R. Laut 0,0556 <0,0020 0,4334 Bandeng 0,0360 <0,0020 <0,0010

Tanah U.Windu Bandeng R. laut Hg (mg/L) <0,0005 0,0900 0,1966 0,0472 Pb (mg/L) <0,0020 <0,0020 0,0020 <0,0020 Cd (mg/L) <0,0020 0,0542 0,0706 <0,4572

Air laut Air tbk Tanah U.Windu Kpg Softshell R.laut Siput Hg (mg/L) 0,0054 0,1350 <0,1250 0,1176 0,0664 0,00470 0,0750 Pb (mg/L) 0,4751 0,2295 <0,5000 2,7435 2,5196 0,8198 2,1920 Cd (mg/L) 0,0391 0,0052 <0,2500 0,1400 0,3141 0,1034 0,2692

Page 29: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

28

3.3.2. Pemantauan di Kabupaten Barru

Hasil monitoring menunjukkan bahwa virus WSSV dan IHHNV masih

ditemukan pada udang budidaya di tambak yang berturut-turut pada komoditas

udang windu dan vannamei di Kabupaten Barru (Tabel 3.16). Virus TSV juga

masih ditemukan di udang Vannamei. Namun yang menarik virus WSSV sudah

menyerang jenis komoditas udang vannamei. Sedangkan bakteri jenis Vibrio sp

ditemukan pada udang windu yang dipelihara di Keramba Jaring Apung. Hasil ini

menunjukkan bahwa virus WSSV, IHHNV dan TSV masih ditemukan di

Kabupaten Barru dan informasi baru menunjukkan bahwa udang vannamei juga

bisa terserang virus WSSV dan 2 tahun berturut-turut terdeteksi . Upaya

pembesaran udang windu di KJA di Siddo Barru mengalami kegagalan akibat

serangan bakteri Vibrio sp, ini mengindikasikan bahwa bakteri Vibrio sp banyak

terdapat di lokasi pengambilan sampel. Karena, ketika udang di pindahkan ke

Takalar udang sehat kembali dan bisa tumbuh dengan normal.

Tabel 3.16. Hasil deteksi positif virus WSSV, IHHNV, dan TSV dan Bakteri di Tambak udang dan KJA Kabupaten Barru.

No. Kelompok Penyakit

Jenis Penyakit

Komoditi Lokasi Keterangan

1. Virus WSSV Benur U. Windu Tambak

2. Virus IHHNV Benur U. Windu Tambak

3. Virus WSSV Udang Vannamae Tambak

4. Virus TSV Udang Vannamae Tambak

5. Bakteri Vibrio sp Udang windu KJA

3.3.3. Pemantauan di Kabupaten Pangkep, Maros, Makassar, dan Jeneponto

Hasil pemantauan di Kabupaten Pangkep, Maros, Makassar, dan

Jeneponto menujukkan tidak ditemukkanya penyakit baik virus maupun bakteri di

lokasi budiaya tambak (udang maupun bandeng). Ini menunjukkan bahwa

perairan di Kabupaen Pangkep Masih relatif aman bagi kegiatan budiaya udang.

Page 30: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

29

Karena secara umum di wilayah lainnya ditemukan penyakit virus yang

menyerang udang.

3.3.4. Pemantauan di Kabupaten Bone

Penyakit yang ditemukan di Kabupaten Bone adalah virus WSSV yang

ditemukan di tambak udang tradisional (Tabel 3.17) . Pada tambak udang itu

ditemukan udang mati. Pada pengujian karier kepiting dan udang jambret juga

menunjukkan positif virus WSSV dengan tingkatan yang berat.

Tabel 3.17. Hasil deteksi positif virus WSSV di Tambak udang Kabupaten Bone.

No. Kelompok Penyakit

Jenis Penyakit Komoditi Lokasi Keterangan

1. Virus WSSV Udang windu Tambak

2. Virus WSSV Kepiting Tambak

3. Virus WSSV Udang jambret Tambak

3.3.5. Pemantauan di Kabupaten Bulukumba

Hasil monitoring di Kabupaten Bulukumba diperoleh bahwa udang di

tambak terinfeksi dengan virus WSSV, sedangkan jenis lainnya tidak ditemukan.

Ini menunjukkan bahwa WSSV menjadi penyebab utama kematian udang di

Tambak di Kabupaten Bulukumba.

3.3.6. Pemantauan di Kabupaten Takalar

Hasil monitoring hama penyakit ikan di Kabupaten Takalar disajikan pada

Tabel 3.18. Hasil menunjukkan bahwa hanya ditemukan kelompok hama

penyakit berupa parasit dan bakteri baik di pembenihan maupun di Tambak

udang. Pada kegiatan pembenihan ditemkan parasit Amyloodinium sp yang

menyerang ikan kerapu, Vorticella sp, Cacing, Nematoda serta bakteri Flavobacterium

sp, Aeromonas sp yang menyerang larva beronang. Di lokasi tambak ditemukan parasit

jenis Zoothammium sp dan bakteri Vibrio sp yang menyerang udang vannamei.

Page 31: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

30

Tabel 3.18. Rangkuman hasil deteksi positif terserang parasit dan bakteri di Tambak udang Kabupaten Takalar.

No. Kelompok Penyakit

Jenis Penyakit Komoditi Lokasi Keterangan

1. Parasit Amyloodinium sp Kerapu Pembenihan

2. Parasit Zoothammium sp Udang Vannamae Tambak

3. Parasit Zoothammium sp Udang Vannamae Tambak

4. Parasit Vorticella sp Beronang Pembenihan

5. Parasit Cacing Beronang Pembenihan

6. Parasit Nematoda Beronang Pembenihan

7. Bakteri Vibrio sp Beronang Pembenihan

8. Bakteri Vibrio sp Udang Vannamae Tambak

9. Bakteri Vibrio sp Udang Vannamae Tambak

10. Bakteri Flavobacterium sp Larva Beronang Pembenihan

11. Bakteri Aeromonas sp Larva Beronang Pembenihan

Page 32: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

31

PETA SEBARAN HAMA PENYAKIT HASIL MONITORING HAMA DAN PENYAKIT TA 2008

Gambar 2. Peta sebaran hasil deteksi positif hama penyakit ikan di Provinsi Sulawesi Selatan

MAMUJU

MAMASA MAJENE

E N R E K A N G

PINRANG

SIDRAP

PAREPARE WAJO

BONE BARRU

PANGKEP

MAROS MAKASSAR

GOWA

TAKALAR

JENEPONTO

SINJAI

BULUKUMBA

BANTAENG

SELAYAR

TATOR

PALOPO

LUWU TIMUR

SOPPENG

LUWU UTARA

MAMUJU UTARA

POLMAS LUWU

WSSV

IHHNV

TSV

Vibrio sp

WSSV

WSSV

Parasit :

Amyloolidium

Cacing, Namatoda

Vorticella sp

Zoothamnium sp

Monogonea

Bakteri :

Vibrio sp

Aeromonas sp

Flavobacterium sp

Pseudomonas sp

WSSV

Page 33: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

32

IV. KESIMPULAN

4.1 Kualitas Tanah dan Air

Kondisi kualitas tanah kawasan budidaya tambak udang/ikan di beberapa

daerah bervariasi, ada karena kondisi tanah yang memang kurang baik, ada juga

disebabkan oleh karena kegiatan persiapan tanah yang tidak dilakukan dengan

baik akibat sarana dan konstruksi tambak yang kurang baik. Kondisi ini juga

berdampak pada kualitas air yang dihasilkannya pada kegiatan budidaya.

Kegiatan pemeliharaan yang tidak seksama membuat kondisi kualitas air

menjadi tambah buruk dan berdamapak pada kualitas udang yang kurang baik

pula walaupun secara umum kegiatan budidaya dilakukan secara tradisional.

4.2 Kandungan Residu Logam Berat

Dari daerah-daerah yang diidentifikasi kondisi perairan laut kandungan

logam berat Hg dan Pb masih rendah, namun untuk jenis Cd ada di atas batas

kandungan alami terutama untuk perairan di daerah KabupatenBarru, Bantaeng

dan Sinjai. Begituhalnya untuk kawasan air tambak menunjukkan bahwa seluruh

kawasan budidaya air tambaknya sudah kurang baik untuk lahan budidaya,

sedangkan bila merujuk ke PP no 18 tahun 1999 hanya Cd masih ada di atas

batas normal terutama untuk air tambak di Kabupaten Barru, Takalar dan

Bulukumba. Untuk kandungan Logam berat ditanah memperlihatkan bahwa

yang melebihi 1 mg/L hampir diseluruh daerah identifikasi kecuali kabupaten

Pinrang dan Bone. Sedangkan untuk kandungan jenis Cd ada di Kabupaten

Sinjai, Takalar dan Barru.

Untuk jenis Komoditas perikanan memperlihatkan bahwa untuk jenis

udang (windu/vanamei) daerah yang masih terdeksi kandungan logam berat

yang berlebihan adalah di kabupaten Pinrang (Pb), Barru (Pb), Sinjai (Pb), dan

Bone (Pb). Untuk jenis ikan bandeng terdeteksi di Kabupaten Barru (Cd). Untuk

Jenis Kepiting termasuk softshell ada di Kabupaten Pinrang (Pb) dan Bone (Pb

Page 34: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

33

dan Cd). Pada jenis rumput (cottoni dan Glacilaria) memperlihatkan deteksi

melebihi 0,5 ppm berada di Pinrang (Pb), dan Bone (Pb). Sedangkan untuk jenis

kerang/siput kandungan yang tinggi ditemukan untuk jenis logam Pb baik di

Pinrang maupun Makassar. Pada hasil pengujian chloranmphenicol

menunjukkan hasil yang negatif untuk keseluruh sampel yang diujikan baik

pakan, ikan dan udang.

4.3. Hama dan Penyakit

Dari daerah yang dikunjungi 5 daerah diantaranya yang masih ditemukan

hama dan penyakit yang meliputi virus, parasit dan bakteri. Virus yang ditemukan

adalah WSSV, IHHNV dan TSV pada komoditas udang windu dan vannamei.

Dan saat ini menunjukkan bahwa udang vannamei sudah rentan terhadap

serangan virus WSSV, sepertihalnya udang windu. Jenis parasit yang ditemukan

adalah jenis Amyloodinium sp, Vorticella sp, Cacing, Nematoda, Zoothammium

sp, dan Monogonea, yang ditemukan pada udang dan ikan dan jenis bakteri

adalah Vibrio sp, Aeromonas sp, Pseudomonas sp, dan Flavobacterium sp.

Jenis ikan kerapu terserang bakteri Vibrio sp dan parasit Amyloodinium.

Ikan beronang terserang oleh bakteri Vibrio sp, Aeromonas sp, Pseudomonas

sp, dan Flavobacterium sp sedangkan jenis parasit yang menyerang adalah

Cacing, Vorticella sp, Nematoda, dan Monogonea. Akan tetapi udang windu dan

vannamei juga terserang Vibrio sp, dan secara khusus udang vanammei juga

terserang parasit Zoothamnium sp.

Page 35: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

34

III. PUSTAKA

Adhikari, S. 2003. Fertilization, Soil dan Water Quality Management in Small-Scale Ponds : Fertilization Requirementa and soil properties. Central Institute of Freshwater Quaculture, Kausalyagangga, Bulaneswar India. J.Aquaculture Asia, October-December 2003 (Vol. VIII No. 4)

Ariawan, I.K dan Poniran. 2004. Persiapan Media Budidaya Udang Windu : Air.

Makalah Pelatihan Petugas Teknis INBUDKAN . 24-30 Mei 2004, Jepara. Balai Besar Pengembangan Air Payau, Jepara.

Boyd, C.E. 1986. Water Quality Management for Fond Fish Culture. Elselvier

Scientific Publishing Company. Amsterdam The Netherland. --------------.1995. Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and

Hall, New York. 348 pp. Boyd, C.E. C.W. Wood and Taworn Thunjai. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil

Quality Management. Oregon State University Corvallis, Oregon. Deocadiz, E.S. V.R. Diaz, and P.F.J. Otico. 1999. Asean Marine Water Quality

Criteria For Mercury. Marine Environment Division, Water Quality Management Bureau. Polution Control Departement, Asean-Canada CPMS-II Coorporative Program on Marine Science.

Direktorat Pembudidayaan. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Udang. Program Intensifikasi Pembudidayaan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta

Dirjen Perikanan Budidaya. 2007. Rencana Monitoring Residu Obat Ikan, Bahan

Kimia, Bahan Biologi dan atau Kontaminan Tahun 2007. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Harian Fajar. 2007. 49 Cold storadge Indonesia Kena blacklist di Eropa. 26 maret

2007 Kep Dirjend Budidaya. 2005. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya

No 3491/DPB/HK.150D4/VII/2005. Tentang Petugas Pengambilan Sampel Pada Usaha Di Bidang Pembudidayaan Ikan.

Kep Dirjend Budidaya. 2007. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya

No. 116/DPB/HK.150.04/I/2007. Tentang Pedoman Pelaksanaan Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, bahan Biologi dan atau kontaminan pada Pembudidayaan Ikan.

Page 36: Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya

35

Kementrian Lingkungan hidup. 1999. Peraturan Perundang-undangan : PP No.18 tahun 1999: Pengolahan Limbah bahan berbahaya dan beracun. Jilid I Kementrian Lingkungan hidup.

Malone Ronald F dan Daniel G. Burden. 1988. Design of Recilculating Blue Crab

Shedding System. Louisiana Sea Grand College Program. Center for Wetland Recources Louisiana State University.

Mukono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Airlangga University Press. Saeni, M. Sri dan Latifah K. Darusman. 2002. Penuntun Praktikum Kimia

Lingkungan. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.

Svobodova Z, Richard Lioyd, Jana Machova, dan Blanka Vykusova. 1993. Water

Quality and Fish Health. EIPAC Technical Paper. FAO Fisheries Department.

Veterinary Residues Committee. 2008. Annual Report on Survilence for

Verterinary Residues in Food in UK 2007. Veterinary Residues Committee Van Wyk P. dan John Scarpa. 1999. Water Quality Requirements and

Management. Chapter 8 in . Farming Marine Shrimp in Recirculating Freshwater Systems. Prepared by Peter Van Wyk, Megan Davis-Hodgkins, Rolland Laramore, Kevan L. Main, Joe Mountain, John Scarpa. Florida Department of Agriculture and Consumers Services. Harbor Branch Oceanographic Institution.