kritik modernisasi pertanian orde baru pandangan …

17
KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN MAJALAH TRUBUS (1969-1978) APRILIA DAN KASIJANTO PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH, FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA, UNIVERSITAS INDONESIA [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas pandangan kritis Majalah Trubus mengenai modernisasi pertanian pada masa Orde Baru. Modernisasi pertanian tersebut mencakup tiga kebijakan diantaranya intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian. Trubus memandang bahwa modernisasi pertanian tersebut memang sudah berhasil mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984, namun sayangnya beberapa hal tidak diperhatikan oleh pemerintah salah satunya adalah kehidupan para petani. Oleh karena itu, skripsi ini menampilkan pandangan kritis Trubus sebagai bentuk kontrol terhadap kebijakan modernisasi pertanian Orde Baru yang dimuat dalam artikel yang terdapat pada rubrik pertanian Trubus. Melalui pengkajian terhadap sumber tertulis seperti majalah, surat kabar dan wawancara dapat menunjukan bagaimana Trubus mengkritisi upaya modernisasi tersebut. Kata kunci : Majalah Trubus; modernisasi pertanian Orde Baru; Pandangan kritis. Abstract This thesis discusses a critical Trubus Magazine about agricultural modernization in New Order Era. The agricultural modernization includes three policies including intensification, extensification and agricultural mechanization. Trubus magazine considers that agricultural modernization is already successfully delivering Indonesia to self-sufficient in rice in 1984, but unfortunately some things are not considered by the government which one is about life of the farmers. Therefore, this thesis showing a critical view as a form of control on agricultural modernization policies of the New Order Era, published in the article contained in Trubus agriculture rubrics . Through assessment of written sources such as magazines , newspapers and interviews can show how Trubus criticized the agricultural modernization. Keywords : agricultural modernization in New Order Era; Critics; Trubus Magazine. Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN MAJALAH TRUBUS (1969-1978)

APRILIA DAN KASIJANTO

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH, FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA, UNIVERSITAS INDONESIA

[email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas pandangan kritis Majalah Trubus mengenai modernisasi pertanian pada masa Orde Baru. Modernisasi pertanian tersebut mencakup tiga kebijakan diantaranya intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian. Trubus memandang bahwa modernisasi pertanian tersebut memang sudah berhasil mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984, namun sayangnya beberapa hal tidak diperhatikan oleh pemerintah salah satunya adalah kehidupan para petani. Oleh karena itu, skripsi ini menampilkan pandangan kritis Trubus sebagai bentuk kontrol terhadap kebijakan modernisasi pertanian Orde Baru yang dimuat dalam artikel yang terdapat pada rubrik pertanian Trubus. Melalui pengkajian terhadap sumber tertulis seperti majalah, surat kabar dan wawancara dapat menunjukan bagaimana Trubus mengkritisi upaya modernisasi tersebut.

Kata kunci : Majalah Trubus; modernisasi pertanian Orde Baru; Pandangan kritis.

Abstract

This thesis discusses a critical Trubus Magazine about agricultural modernization in New Order Era. The agricultural modernization includes three policies including intensification, extensification and agricultural mechanization. Trubus magazine considers that agricultural modernization is already successfully delivering Indonesia to self-sufficient in rice in 1984, but unfortunately some things are not considered by the government which one is about life of the farmers. Therefore, this thesis showing a critical view as a form of control on agricultural modernization policies of the New Order Era, published in the article contained in Trubus agriculture rubrics . Through assessment of written sources such as magazines , newspapers and interviews can show how Trubus criticized the agricultural modernization.

Keywords : agricultural modernization in New Order Era; Critics; Trubus Magazine.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 2: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Pendahuluan

Majalah sebagai salah satu media komunikasi massa di Indonesia telah mengalami

perkembangan dan perubahan sejak zaman kolonial (Edward C. Smith 1983). Sejak dekade

1970-an, perkembangan majalah menjadi semakin unik dan canggih. Melihat hal tersebut,

maka penelitian ini difokuskan pada salah satu jenis majalah khusus di Indonesia, yaitu

majalah pertanian. Majalah pertanian yang diterbitkan sebelum 1942 berasal dari penelitian

yang dikembangkan oleh kebun percobaan, pusat penelitian milik swasta maupun pemerintah,

organisasi swasta maupun usaha lainnya. Majalah pertanian tersebut mendapat dorongan dari

pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan pengetahuan guna menunjang perkembangan

tanaman ekspor, kebutuhan ilmu pengetahuan dan rasa ingin tahu yang mendalam di antara

para ilmuwan (Sulistyo Basuki 2014). Pertumbuhan majalah pertanian pada masa Kolonial

sangat pesat karena perhatian besar yang diberikan oleh pemerintah terhadap perkebunan di

Indonesia. Selain itu, status sosial penulis artikel pertanian pun dapat dipertimbangkan bila

menulis karya ilmiah, dalam pertanian pada umumnya dan perkebunan pada khususnya. Bila

dilihat secara keseluruhan, terbitnya majalah khusus pertanian tidak terlepas dari kepentingan

pemerintah Hindia Belanda karena bagi mereka perkebunan merupakan sumber devisa yang

utama.

Berbeda dengan majalah pertanian terbitan masa Hindia Belanda, majalah Trubus

(1969) merupakan anak perusahaan Yayasan Bina Swadaya. Yayasan Bina Swadaya

merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkecimpung dan peduli terhadap

pembangunan pertanian. Yayasan ini semula bernama Yayasan Sosial Tani Membangun

(YSTM) yang didirikan pada 1967. Motto Trubus adalah Majalah Pembangunan Pertanian

dan Pedesaan. Melihat motto tersebut, maka Trubus sendiri memiliki kewajiban untuk

mengisi pelaksanaan pembangunan lima tahun yang dicanangkan pemerintah yang berfokus

pada pertanian dan ikut meletakkan dasar bagi pembangunan berikutnya. Pembangunan

pertanian yang direncanakan pemerintah Orde Baru dalam bentuk modernisasi pertanian

mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan dan media massa, tidak terkecuali Trubus.

Sebagai salah satu media massa yang berfokus pada pertanian, Trubus turut berperan dalam

pembangunan pertanian dalam hal pemberian informasi yang berguna bagi para petani dan

masyarakat. Di samping itu, Trubus juga memiliki pandangan dan kritik tersendiri terkait

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 3: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

program dan upaya pembangunan pertanian dalam memodernisasi pertanian di Indonesia

yang dituangkan oleh pemerintah Orde Baru. Kritik tersebut dituangkan dalam artikel pada

rubrik pertanian.

Pemilihan majalah Trubus sebagai topik penelitian ini adalah untuk melihat sejauh

mana Trubus memberikan kritik sebagai bentuk kontrol terhadap upaya pemerintah Orde

Baru dalam memodernisasi pertanian di Indonesia. Saya berharap studi mengenai majalah

Trubus dan pertanian Orde Baru ini dapat digunakan sebagai acuan lebih lanjut bagi studi

ilmu sejarah khususnya pada masa Orde Baru.

Masalah pokok yang dipelajari dalam skripsi ini ialah bagaimana Trubus memberikan

pandangan dan kritik mengenai upaya modernisasi pertanian dalam hal ini Intensifikasi,

Ekstensifikasi dan Mekanisasi pertanian masa Orde Baru. Meskipun upaya modernisasi

tersebut berhasil membawa Indonesia berswasembada beras pada 1984. Namun Trubus

memandang masih terdapat kekurangan di dalamnya terutama yang menyangkut kepada

kehidupan para petani. Kritik yang dikeluarkan oleh Trubus dapat dikatakan sebagai bentuk

kontrol atas jalannya praktek modernisasi pertanian itu sendiri.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang di dalamnya

terdapat heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Heuristik merupakan tahapan

mengumpulkan sumber-sumber terkait penelitian ini. Sumber yang digunakan adalah sumber

yang bersifat primer dan sekunder. Selanjutnya peneliti melakukan kritik terhadap sumber

yang telah didapatkan baik sumber primer maupun sekunder. Ada dua jenis kritik yang

dilakukan oleh peneliti, yaitu kritik internal dan eksternal. Dalam kritik internal, peneliti

menelaah sumber berdasarkan isinya, apakah sesuai atau tidak. Sedangkan kritik eksternal,

peneliti menelaah sumber berdasarkan sampul, bentuk, jenis kertas apabila sumbernya berupa

teks atau tulisan. Setelah melakukan kritik, peneliti melanjutkan penelitian dengan tahap

interpertasi. Pada tahap ini, peneliti mengemukakan pandangan secara objektif dari fakta-

fakta yang telah dikumpulkan. Peneliti akan menginterpretasikan fakta-fakta yang ada terkait

dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Historiografi menjadi tahap terakhir

dalam penelitian ini. Dalam historiografi berarti peneliti melakukan penelitian mengenai

penelitian ini. Dalam tulisan ini, peneliti akan merekonstruksi ulang peristiwa yang terkait

dengan permasalahan penelitian.

Sumber primer yang digunakan berupa artikel seperti majalah yang sezaman dengan

penelitian ini. Pencarian sumber dilakukan oleh peneliti dengan mengunjungi Perpustakaan

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 4: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

UI, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Wisma Hijau, Perpustakaan Pusat Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan Arsip Nasional.

Sumber lain yang menjadi acuan peneliti, yaitu sumber sekunder. Sumber sekunder

yang telah didapatkan oleh peneliti berupa buku-buku mengenai pembangunan pertanian,

pembangunan nasional di Indonesia, dan pers pada masa Orde Baru. Sumber sekunder yang

telah peneliti dapatkan berguna untuk membantu dalam penelitian. Selain itu, untuk

memperkaya pengetahuan dalam melakukan penelitian penelitian ini. Sumber sekunder juga

menjadi pelengkap dalam penelitian ini.

Pembahasan

Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak

Repelita I tahun 1969, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola

Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II

(1994-2019). Repelita tahun pertama ini menjadi rencana pembangunan nasional pertama

yang berencana, berkesinambungan, serta berjangka panjang. Repelita tahun pertama menjadi

tahap permulaan dari serangkaian Repelita selanjutnya. Melalui serangkaian Repelita yang

masing-masing berjangka waktu lima tahun tersebut, bangsa Indonesia berusaha mewujudkan

masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Dept. Pertanian 1993).

Dalam PU-PJP I ini, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita

yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:

1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian. 2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah

bahan mentah menjadi bahan baku.

3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.

4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.

5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.

Pelaksanaan Repelita I dimulai pada 1 April 1969 bertepatan dengan dimulainya

tahun anggaran baru 1969/70, dan berakhir pada 31 Maret 1974 bertepatan dengan berakhirnya

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 5: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

tahun anggaran 1973/74. Dengan demikian maka Repelita I meliputi tahun anggaran

1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1973/74. Pelaksanaan Repelita I setiap tahunnya

dituangkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga

pelaksanaan tahun demi tahun termasuk penyediaan biayanya terlebih dahulu disetujui oleh

Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk Undang-undang.

Pada pelaksanaan Repelita 1, yang menjadi sasaran pembangunan adalah : pangan,

sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja,

dankesejahteraan rokhani. Pemerintah sangat memperhatikan kebutuhan pangan rakyat

banyak. Di antara beraneka ragam bahan-bahan makanan yang diperlukan, beras menduduki

tempat utama, yakni sebagai bahan makanan pokok bagi masyarakat pada umumnya.

Kedudukan beras menjadi bertambah penting dalam kehidupan penduduk juga disebabkan oleh

karena sebagian besar dari rakyat Indonesia memperoleh mata pencarian dengan jalan

menghasilkan beras. Hal-hal tersebut mendorong pemerintah untuk menempuh kebijaksanaan

khusus dalam bidang perberasan. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan sebagai upaya

sistematis untuk meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produksi pertanian bertujuan

untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, yang mana pada akhir-akhir

pemerintahan presiden Soekarno, pangan merupakan barang yang mahal. Oleh karenanya,

guna mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengeluarkan tiga kebijakan penting dalam

memodernisasi pertanian Indonesia, di antaranya intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi

pertanian.

Tidak berbeda jauh dari Repelita 1, jalannya Repelita 2 yang dimulai pada 1 April

1974 hingga 31 Maret 1979 disesuaikan dengan GBHN. Tujuan Repelita II adalah meningkat-

kan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan yang kuat untuk

tahap pembangunan Repelita III dan selanjutnya. Di dalam mencapai tujuan tersebut Repelita

II melanjutkan usaha yang telah dijalankan selama Repelita I. Dalam hal pertanian,

pemerintah masih menerapkan intensifikasi di Jawa serta ekstensifikasi di luar jawa guna

mencapai target peningkatan produksi beras. Sasaran yang dituju selain melanjutkan pem-

bangunan pertanian dalam rangka meningkatkan produksi pangan, meningkatkan ekspor,

meningkatkan penghasilan petani dan memungkinkan hubungan yang sailing mendukung

dengan pembangunan industri, serta ditujukan dalam rangka pemerataan hasil-hasil

pembangunan dan memelihara kelestarian sumber-sumber alam.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 6: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Intensifikasi pertanian sering diterjemahkan sebagai penggunaan teknologi biologi,

kimia berupa pupuk, benih unggul, pestisida, herbisida, dan juga teknologi mekanis berupa

traktorisasi serta kombinasi dari manajemen irigasi atau drainase. Melalui intensifikasi

pertanian, pemerintah memperkenalkan cara-cara bertani yang dianggap efektif untuk

meningkatkan produksi pertanian, khususnya beras. Beras menjadi penting bagi pemerintahan

masa Presiden Soeharto untuk menjalankan kebijakan guna mewujudkan ambisi Swasembada

beras bagi Indonesia (Bustanul Arifin 2004).

Dalam usaha meningkatkan produksi pertanian, khususnya untuk tanaman padi yang

nantinya akan menghasilkan beras, maka diperlukan suatu sistem dan cara penyuluhan yang

secara langsung dapat menyentuh para petani. Cara tersebut dapat ditempuh melalui

pemberian penyuluhan dan bimbingan kepada petani, yang nantinya disebut sebagai Bimas

(Bimbingan Masyarakat) dan Inmas (Intensifikasi Massal).

Melalui program Bimas, perkembangan usaha tani diarahkan kepada :

1. praktek bertani yang lebih produktif,

2. berusaha tani yang lebih menguntungkan,

3. peri kehidupan yang lebih sejahtera, dan

4. tata kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.

Dalam program Bimas, kegiatan utama yang tercakup di dalamnya adalah bimbingan

dalam bertani. Bimbingan dalam bertani tersebut menerapkan usaha-usaha yang kemudian

disebut panca usaha tani seperti yang tertera di bawah ini

1. penggunaan benih atau bibit unggul,

2. mengusahakan kultur teknik atau perbaikan cara bertani,

3. proteksi tanaman,

4. penggunaan pupuk,

5. penyediaan dan pengaturan air.

Dalam penggunaan bibit varietas unggul, dipilih bibit yang dapat berproduksi tinggi,

tahan hama dan penyakit, berkualitas baik. Tidak hanya itu, bibit varietas unggul diharapkan

dapat beradaptasi dan ramah dengan lingkungan. Sedangkan dalam mengusahakan kultur

teknik, cara bercocok tanamlah yang menjadi perhatian. Cara bercocok tanam yang dimaksud

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 7: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

seperti memperhatikan umur dari bibit yang akan dipindahkan ke tanah lapang, jarak tanam,

serta cara pemangkasan yang baik (Soetriono 2006).

Untuk memproteksi tanaman, diperlukan perawatan yang rutin. Tidak hanya itu,

penggunaan obat-obatan pestisida juga diperlukan untuk mencegah tanaman terserang

penyakit dan hama. Pemberian pupuk bagi tanaman juga diperlukan. Pemberian pupuk ini

berguna agar tanaman dapat tumbuh baik dan subur. Kelima usaha tersebut jika diterapkan

dengan baik dan benar dapat memberikan hasil yang memuaskan khususnya untuk tanaman

pangan, yaitu beras. Jalannya intensifikasi pertanian ini tidak semua berjalan sesuai rencana

pemerintah. Dalam tulisan Depot Tjutji Hati yang dimuat dalm Trubus edisi bulan Juli 1970,

terdapat kritik mengenai penyelewengan Bimas yang dilakukan oleh oknum-oknum pelaksana

Bimas. Perlu diketahui, Bimas (Bimbingan Masyarakat) merupakan salah satu upaya yang

dilakukan oleh pemerintah guna menaikkan produksi tanaman pangan khususnya beras.

Upaya tersebut dilakukan dengan cara memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada para

petani bagaimana cara bertani yang baik dan benar. Tidak hanya itu, petani juga dianjurkan

untuk melaksanakan panca usaha tani guna meningkatkan hasil panennya. Namun ternyata

dalam praktiknya, jalannya program bimas ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang

mana di dalamnya terdapat penyelewangan yang dilakukan oleh oknum-oknum pelaksana

bimas, meskipun memang untuk hasil produksi tanaman pangan mengalami peningkatan.

Penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pelaksana Bimas ini dilakukan dengan

berbagai macam cara. Diantaranya dengan memperjualbelikan sarana produksi yang

dijatahkan oleh pemerintah dalam bimas, seperti luas lahan, pupuk dan juga benih unggul

yang dibimaskan. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang lurah di desa Tegallega, Warung

Kondang, Cianjur yang telah dijatuhi hukuman 1tahun 4bulan atas penyelewengan yang

dilakukannya. Lurah tersebut menjual jatah pupuk secara bebas kepada masyarakat luas.

Harusnya pupuk tersebut dibagikan kepada petani yang telah membimaskan lahan

pertaniannya.

Tidak hanya itu, dibeberapa daerah lainnya, terdapat pula oknum pelaksana bimas

yang menukar benih unggul atau bibit padi yang baik dengan bibit yang berkualitas rendah.

Penyelewengan-penyelewengan tersebut sangatlah merugikan petani. Penyelewengan tersebut

harusnya tidak terjadi bila saja ada ketegasan tanggung jawab di dalam pelaksanaannya, di

samping itu yang menyebabkan bimas tidak berjalan dengan benar adalah karena kurang

matangnya managemen di dalamnya.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 8: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Terdapat pula tulisan yang berjudul Sikap Petani Terhadap PB pada edisi September

1970 yang mengandung kritik terhadap anjuran penggunaan bibit unggul berjenis PB 5 dan

PB 8 yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam tulisan ini, terdapat nada sumbang yang

dikeluarkan oleh para petani di daerah Lampung Selatan. Salah seorang petani di daerah

tersebut menyatakan bahawa benih PB ini tidak dapat menghasilkan padi yang berkualitas

baik dikarenakan jenis benih PB ini tidak cocok untuk ditanam ditanah yang kering dan

kurang pengairannya. Di wilayah Lampung Selatan ini, sistem pengairannya masih

mengandalkan air hujan, karena tidak memungkinkan untuk membuat sistem irigasi yang

memadai.

Tidak hanya itu, dalam proses penanamannya, benih PB ini membutuhkan pupuk

buatan yang cukup banyak, meskipun pada akhirnya PB dapat menghasilkan beras lebih

banyak jika dibandingkan dengan benih lokal, namun tetap saja dari segi kualitas rasa, masih

sangatlah jauh tertinggal dari benih lokal. Penggunaan pupuk selama penanaman benih PB

ini, dirasakan cukup memberatkan oleh para petani, pasalnya mereka harus mengeluarkan

uang lebih untuk pembelian pupuk.

Padi PB minumnja harus dari selokan dan kami hanja bisa memberi minum dari langit makanja hasilnja beda dengan hasil PB di Djawa. Tidak hanja perlu minum jang banjak, PB ini juga menuntut lauk jang enak dan banjak dari kami. Djadi, kalau mau hasilnja baik, kasih sadja pupuk sekwintal pupuk urea untuk per-hektarnja, padahal kantong kami tipis.

Tidak hanya petani di daerah Lampung Selatan yang merasa diberatkan dengan

penanaman benih ini, salah seorang petani di daerah Kemusu yang merupakan daerah

kelahiran Presiden Soeharto, juga turut mengungkapkan masalah yang dirasakan ketika

menanam benih PB ini. Selain memerlukan pupuk yang banyak, dan membutuhkan biaya

ekstra untuk membelinya, petani juga merasa direpotkan seusai memanen padi PB tersebut.

Kontur tanah yang sebelumnya telah diberikan pupuk selama masa penanaman padi berubah

menjadi lebih keras sehingga petani membutuhkan tenaga ekstra untuk kembali

menggemburkan tanah dengan cara membajak sawah dengan sapinya.

Memang padi PB umurnja pendek, hanja 130 hari, tapi kami kan lalu enggak tempo lagi? Begitu padi sudah mulai muntjul satu-satu, kami sudah harus ngurit (tanam bibit). Begitu panen sudah harus membadjak. Tanahnja enggak sempet makan zat asam, akibatnja, tanah djadi keras.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 9: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Agaknya sebelum mengeluarkan anjuran untuk penggunaan benih jenis PB ini,

pemerintah meninjau kembali atau melakukan penelitian terlebih dahulu, apakah penanaman

benih jenis ini membutuhkan pengairan yang lebih banyak atau tidak, apakah membutuhkan

pupuk buatan yang banyak atau tidak, apakah jenis benih ini cocok untuk semua jenis tanah

atau tidak, apakah jenis ini dapat memberikan kualitas yang baik atau tidak. Hal tersebut

diperlukan agar petani mengetahui bagaimana gambaran ketika mereka menanam benih ini,

dan juga untuk menghidarkan petani dari kerugian yang akan ditimbulkan oleh benih ini.

Peningkatan hasil panen tanaman pangan terpenting selain padi sepanjang Repelita juga

dikarenakan perluasan lahan atau ekstensifikasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Ekstensifikasi pertanian dapat diartikan sebagai usaha perluasan lahan tanah yang dapat

ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru, misal mengubah lahan tandus menjadi lahan

yang dapat ditanami, membuka hutan dan lainnya. Kawasan yang menjadi sasaran dari

ekstensifikasi pertanian ini adalah kawasan hutan yang kurang produktif menjadi lahan

pertanian. Kawasan-kawasan tersebut dapat ditemui di daerah luar Jawa, seperti Kalimantan

yang memang memiliki jenis tanah gambut yang tidak cocok untuk pertanian padi atau beras.

Kawasan hutan yang kurang produktif tersebut kemudian di jadikan lahan pertanian tanaman

pangan lain dengan cara membangun atau membuat sawah pasang surut, dan pembukaan

lahan gambut. Untuk menyukseskan jalannya program ekstensifikasi ini, pemerintah turut

mengeluarkan kebijakan transmigrasi petani yang berada di pulau Jawa ke daerah

Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Dalam rangka mendukung jalannya program kebijakan

pangan pemerintah Orde Baru, para petani yang bertransmigrasi ke luar Jawa ini akan

diberikan sebidang tanah yang diharapkan dapat digunakan untuk memproduksi tanaman

pangan. Dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, dijelaskan bahwa jumlah

penduduk di pulau Jawa yang bertransmigrasi ke tiga wilayah tersebut pada tahun 1971

berjumlah sekitar 2.060.406 dan jumlah tersebut meningkat menjadi 3.562.497 jiwa pada

tahun 1980 (BPS 1980).

Jalannya ekstensifikasi pertanian ini tidak semulus rencana pemerintah, hal tersebut

dapat dilihat pada tulisan yang berjudul Beras Melimpah di Sulawesi Selatan yang dimuat

pada majalah Trubus edisi Januari 1971, memuat kritik mengenai jalannya ektensifikasi di

Sulawesi. Dalam tulisan tersebut dikatakan meskipun hasil panen padi mengalami

peningkatan jumlah yang signifikan, namun masalah yang dihadapi justru semakin banyak.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 10: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Berita mengenai meningkatnja hasil produksi beras di Sulawesi Selatan sudah tersiar hingga ke seluruh pendjuru Indonesia. Namun seiring dengan tersebarnja berita tersebut, terdapat kabar selandjutnja mengatakan bahwa beras yang meningkat tersebut hanja tertumpuk sadja di Sulawesi Selatan, tertimbun tidak dimanfaatkan.

Beras yang dihasilkan di Sulawesi pada dasarnya kualitasnya memang kurang baik

hal tersebut di perparah dengan beberapa masalah dibawah ini yang semakin membuat mutu

beras yang dihasilkan makin rendah. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal berikut ini:

- Kurangnya gudang untuk penyimpanan gabah dan beras. Terdapat beberapa gudang

penyimpanan hasil panen gabah dan beras, namun kondisi gudang yang kurang

memadai mengakibatkan beras dan gabah cepat membusuk.

- Masalah pengeringan gabah. Kalau di pulau Jawa, pengeringan gabah dapat dengan

mudah dilakukan, karena lahan pertanian yang ada dipulau Jawa cenderung lebih

sempit dan tenaga kerja yang tersedia cukup banyak, sehingga proses pengeringan

gabah dapat dengan mudah dilakukan. Berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi.

Lahan pertanian yang telah diekstensifikasi pemerintah cenderung lebih luas, namun

tenaga kerja yang tersedia tidak cukup jumlahnya. Di samping itu, faktor curah hujan

yang tinggi di Sulawesi mengakibatkan gabah yang dikeringkan dengan sinar matahari

tidak kering secara menyeluruh, hal itulah yang kemudian mengakibatkan ketika

dilakukan penggilingan, gabah yang masih lembab tersebut dapat cepat hancur.

- Masalah lainnya adalah masalah pada tahap penggilingan. Pemerintah menganjurkan

untuk menggunakan huller untuk menggiling gabah. Namun sayangnya, proses

penggilingan menggunakan huller ini justru membuat padi hasil gilingan tersebut

retak-retak.

Di samping ketiga masalah tersebut, transportasi atau pengangkutan padi juga menjadi

permasalahan. Kondisi jalan yang panjang dan rusak menyulitkan petani untuk

mendistribusikan dan memasarkan hasil panennya, di samping itu, maraknya pungutan di

pasar juga membuat petani kesulitan. Pungutan tersebut dinamakan ‘susun pasar’. Beras yang

masuk pasar dikenakan pungutan antara Rp. 1,- per kilonya. Beras yang dibeli Bulog

dikenakan biaya Rp. 1,- per kilo, sedangkan beras yang dibeli pihak swasta dikenakan Rp. 2,-

per kilonya. Hal tersebut yang kemudian membuat harga beras yang dijual keluar daerah

menjadi meningkat. Hal tersebut juga membuat daerah lain justru lebih memilih

mendatangkan beras dari luar negeri, disamping karena mutunya lebih baik, harganya pun

dapat bersaing.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 11: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Dari permasalahan di atas, pemerintah diharapkan lebih memperhatikan daerah yang

menjadi telah menjadi sasaran ektensifikasi. Tidak hanya perluasan atau pembukaan lahan

pertanian baru saja yang dikerjakan oleh pemerintah, namun petani berharap, pemerintah

memperhatikan faktor-faktor lainnya. Faktor lainnya adalah bagaimana ketersediaan gudang

penyimpanan gabah dan beras yang layak dan memadai, bagaimana pemerintah daerah

melalui Bulog dapat mengatasi kelebihan beras tersebut, apakah dengan membeli dan

menjualnya kembali dengan harga yang lebih murah jadi pemerintah disini memberikan

subsidi atau tidak. Ini diperlukan agar petani tetap bergairah untuk menaikkan produksi

seperti sebelumnya. Disamping itu sarana pendukung lainnya seperti kondisi jalan, peralatan

untuk penggilingan, fasilitas pengeringan juga perlu diperhatikan pemerintah.

Di dalam modernisasi pertanian, tidak hanya intensifikasi dan ekstensifikasi yang

dianggap penting, namun juga diperlukan mekanisasi pertanian di dalamnya guna menunjang

efisiensi dalam produksi pertanian. Dalam mekanisasi pertanian ini, diperkenalkan beberapa

peralatan baru yang nantinya akan digunakan oleh petani dalam menunjang kegiatan

menggarap sawah dan panennya, diantaranya traktor dan sabit. Traktor merupakan alat

pengganti dari luku-luku dalam proses pengolahan tanah. Penggunaan traktor dalam mengolah

tanah sangat efisien dari segi waktu jika dibandingkan dengan menggunakan luku-luku.

Ketika menggunakan luku-luku, petani membutuhkan waktu dua sampai tiga hari dalam

mengolah lahan, sedangkan jika menggunakan traktor, lahan dapat selesai diolah hanya dalam

waktu satu hari saja. Selain itu, jika petani beralih menggunakan traktor, akan lebih efisien

dari segi biaya yang harus dikeluarkan petani untuk membayar tenaga manusia yang

mengolah tanah tersebut dalam dua hingga tiga hari. Selain diperkenalkan dengan traktor,

penggunaan sabit dan arit untuk memanen padi menggantikan ani-ani atau ketam juga mulai

digalakkan kepada petani. Panen menggunakan ani-ani dianggap tidak efisien karena

membutuhkan banyak buruh tani untuk memanen.

Tidak hanya sabit dan traktor yang coba diterapkan dalam mekanisasi pertanian ini,

namun juga terdapat erek yaitu mesin perontok padi. Meskipun masih bersifat manual,

kehadiran mesin ini berguna untuk merontokkan padi yang telah dipanen. Sebelum

diperkenalkannya mesin ini, petani biasanya merontokkan padi dengan cara memukul-mukul

ikatan padi pada sebuah papan hingga padi-padi tersebut rontok. Setelah mesin ini

diperkenalkan, maka kegiatan merontokkan padi menjadi lebih mudah. Hal tersebut

dikarenakan penggunaan mesin erek ini tidak membutuhkan banyak tenaga buruh tani untuk

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 12: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

merontokkan padi, karena dalam penggunaanya hanya dibutuhkan dua hingga tiga orang saja

untuk menjalankan mesin ini.

Selain mesin erek, terdapat juga mesin huller yang menggeser cara tradisional petani

dalam menumbuk padi atau dalam mengupas gabah. Sebelum adanya mesin ini, petani

menggunakan lesung untuk menumbuk padi. Penggunaan mesin penggiling padi atau huller

ini ternyata mampu menghasilkan beras yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah

beras yang terkumpul yang dilakukan dengan cara menumbuk padi. Jika dibandingkan dengan

menumbuk padi, mesin huller mampu menghasilkan beras lebih banyak. Setiap 100 kilogram

padi yang digiling mampu menghasilkan 52 kilogram beras, sementara padi tumbuk hanya

menghasilkan beras 47 kilogram (Surat Kabar Mertju Suar 17 Januari 1968). Pengolahan padi

menggunakan huller menghasilkan beras lebih banyak 5 persen dibandingkan dengan

menumbuk. Selain itu, beras yang dihasilkan dengan cara menumbuk padi akan rusak atau

pecah berbeda jika menggunakan mesin huller. Dengan hasil tersebut tentu petani akan lebih

memilih menggunakan huller jika dibandingkan dengan menggunakan tenaga buruh

penumbuk padi. Hadirnya peralatan modern ini mendapat perhatian dari kalangan petani,

namun ternyata memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi petani, seperti yang

dimuat dalam Trubus yang berjudul Saja Tak Punja Modal, Nak edisi Maret 1970. 1

Tulisan tersebut merupakan hasil dari wawancara Trubus dengan salah seorang petani

di daerah kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Petani tersebut merupakan seorang lulusan dari

sekolah teknik mesin, namun dikarenakan sulit mendapatkan pekerjaan, orang ini

memutuskan untuk menjadi petani di lahan milik orang tuanya. Kegiatan pertanian yang

dilakukannya tergolong masih sederhana, meskipun sudah tergolong daerah kota. Sama

halnya dengan yang dilakukan oleh petani ini.

Petani di Bukittinggi jarang menggunakan sapi untuk membajak sawah dan jarang

menggunakan pupuk, dikarenakan jenis tanah yang terdapat di daerah tersebut tergolong lebih

lembut, maka tidak diperlukan sapi atau kerbau untuk membajak sawah, meskipun ada juga

petani yang menggunakan sapi untuk membajak sawahnya. Petani di Bukittinggi juga jarang

menggunakan pupuk, dikarenakan di dalam kandungan tanah tersebut sudah mengandung

kotoran hewan ternak seperti sapi dan kerbau, sehingga penggunaan pupuk jarang digunakan.

Dapat dilihat bahwa petani jarang menggunakan bajak untuk menggemburkan tanah, apalagi

menggunakan traktor.

1Majalah Trubus, No. 4 Tahun I, Maret 1970, hlm. 1-6.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 13: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Kalau sawahnja sedang lembut, maka saja tidak perlu menggunakan kerbau untuk membadjak. Kebanjakannja sawah di sini seperti itu, ada djuga jang menggunakan badjak, patjul dan garu seperti petani di daerah lainnja.

Di akui oleh petani, sudah ada beberapa petani di daerah tersebut yang menggunakan

alat-alat penunjang produksi pertanian seperti huller. Tidak semua petani menggunakan huller

untuk menggiling gabah mereka. Hal tersebut untuk memiliki huller dibutuhkan uang yang

tidak sedikit. Meskipun pemerintah telah memberikan kredit dengan tujuan petani dapat

membeli huller dan alat lainnya dengan bunga yang rendah, tetap saja petani enggan untuk

mengajukan kredit tersebut. Petani cenderung takut untuk mengajukan kredit dikarenakan

takut tidak bisa membayar cicilan kredit ketika datang masa jatuh tempo. Meskipun petani

memang mengetahui keuntungan bila memakai mesin tersebut. Beras yang dihasilkan dapat

lebih banyak, warna beras hasil dari penggilingan dengan menggunakan huller ini lebih putih

jika dibandingkan dengan cara menumbuk.

Huller memang bagus, berasnja djadi banjak dan putih-putih warnanja, tapi harganja mahal nak. Kebanjakkan dari petani di sini djarang pake huller karena harganja itu. Kalau ambil kredit di balai desa djuga susah bajar tjitjilannja. Saja sendiri takut ngga bisa bajar nak. Bukan dengan mesin saja bergulat tapi dengan otot-otot kaki dengan diindjak-indjak. Terus dengan bantuan tongkat-tongkat bergerak terus untuk mengirik padi supaja lepas padinja.

Namun, perlu dilihat juga bagaimana mesin tersebut bekerja. Dari beberapa petani,

banyak yang mengeluh karena mesin-mesin tersebut tidak berjalan dengan benar. Petani juga

mengeluh cara kerja alat ini yang dinilai lambat dan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan

oleh penyuluh di lapangan. Dikatakan kapasitas mencapai 100 kg/jam dalam sekali

penggilingan. Namun faktanya, 25 kg/jam saja sulit, dan petani memilih menggunakan

manual karena lebih mudah. Kapasitas 100 kg mungkin jika digunakan oleh petani yang

sudah terbiasa, namun bagi yang belum terbiasa, akan sulit.

Ada teman tani saja jang pakai huller tapi malah susah. Hullernja suka rusak, tjara pakainja djuga susah ngga seperti jang petugas bilang. Kalau rusak terus kasihan teman tani saja pada rugi beli huller. Mesin rusak, tjitjilan harus tetap bajar.

Disinilah perlunya pembiasaan penggunaan teknologi baru kepada para petani. Tidak

sedikit petani yang mengatakan bahwa alat tersebut tidak dapat digunakan dikarenakan

terbuat dari bahan mudah rusak. Oleh karenanya, pemerintah dinilai perlu membenahi

jalannya mekanisasi pertanian ini, dengan kembali melihat dan memeriksa kualitas dari alat

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 14: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

penunjang pertanian tersebut, agar setiap petani dapat mendapatkan manfaatnya dan merasa

diuntungkan dengan adanya penggunaan alat-alat pertanian ini bukan justru merasa terbebani

karena susahnya penggunaan alat tersebut dan juga karena beban biaya kreditnya.

Kesimpulan

Jalannya kebijakkan intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian di satu sisi

berhasil meningkatkan hasil produksi pertanian khususnya beras dalam kurun waktu kurang

lebih 11 tahun. Namun di sisi lain keberhasilan tersebut ternyata memberikan dampak

tersendiri bagi petani. Dampak yang dirasakan dan dialami oleh petani diantara, dalam upaya

intensifikasi pertanian, petani dianjurkan menggunakan benih unggul yang hasilnya memang

melimpah namun kualitas rasa beras yang dihasilkan buruk tidak seperti penggunaan benih

lokal terdahulu yang kualitas rasanya enak. Selain itu petani juga dianjurkan menggunakan

pupuk buatan guna menyuburkan tanaman padi yang mereka tanam. Namun pemakaian

pupuk yang berlebih dapat mengakibatkan kualitas tanah berkurang secara perlahan hingga

dapat mengakibatkan tanah menjadi tidak subur.

Di samping itu penggunaan pestisida sebagai proteksi tanaman terhadap hama juga

dirasakan merugikan oleh para petani. Memang tanaman padi yang mereka tanam terbebas

dari serangan hama, namun hal tersebut justru membuat tanaman padi menjadi

ketergantungan kapada pestisida. Hal tersebut juga berimbas pada pengeluaran petani yang

semakin membesar untuk membeli pupuk dan pestisida. Sehingga pendapatan petani dari

hasil menanam tanaman pangan kurang mensejahterakan mereka. Tidak hanya itu, praktik

penyelewengan yang di lakukan oleh oknum pelaksana Bimas pun tidak terhindarkan,

sehingga petanilah yang kembali menjadi korbannya.

Tidak hanya dampak intensifikasi yang dirasa kurang menguntungkan petani,

ekstensifikasi yang dijalankan pemerintah di luar pulau Jawa juga dinilai kurang berhasil.

Meskipun lahan baru telah dibuka dan mulai ditanami dengan tanaman pangan baik padi

maupun tanaman pangan selain padi, tetap saja, petani di luar Jawa masih merasakan

kesulitan untuk bertani di daerah tersebut. Sejalan dengan ekstensifikasi pertanian ini,

pemerintah turut meluncurkan program transmigrasi ke luar Jawa guna meratakan

pertumbuhan penduduk. Petani pun tidak luput dari program transmigrasi tersebut. Petani

merasakan kesulitan bertani di lahan yang baru dibuka oleh pemerintah melalui program

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 15: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

ekstensifikasi. Hal tersebut dikarenakan, petani kurang mendapatkan penyuluhan dari

pemerintah tentang bagaimana bertani yang baik dan benar di lahan yang kurang subur

tersebut.

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mekanisasi pertanian guna meningkatkan

produksi beras di Indonesia. Petani dianjurkan menggunakan peralatan yang nantinya dapat

memudahkan petani dari mulai menggemburkan tanah, proses penanaman hingga proses

panen. Pemerintah juga telah menyiapkan kredit dengan bunga yang rendah kepada para

petani agar dapat membeli peralatan tersebut. Sayangnya peralatan-peralatan tersebut kurang

mendapatkan perhatian dari para petani. Petani beranggapan, bahwa penggunaan alat-alat

tersebut memang memudahkan mereka dalam bertani, namun harga yang ditawarkan dirasa

cukup mahal oleh para petani. Kredit yang ditawarkan pemerintah memang menarik, namun

petani kembali berpikir ulang, karena pengeluaran mereka sudah cukup besar dikarenakan

pembelian pupuk buatan dan pestisida, mereka takut apabila mengajukan kredit, mereka tidak

dapat membayarnya jika sudah masuk jatuh tempo pembayaran.

Jalannya kebijakan intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian tersebut

tertuang dalam bentuk artikel dalam rubrik pertanian Trubus. Beberapa tulisan tersebut

merupakan hasil dari penelitian Trubus mengenai jalannya modernisasi pertanian masa Orde

Baru. Trubus menyajikan bagaimana keadaan yang sebenarnya yang dirasakan dan dialami

oleh para petani dalam menjalankan kebijakkan-kebijakkan tersebut. Trubus memberikan

pandangan kritisnya sebagai bentuk kontrol terhadap upaya pemerintah dalam memodernisasi

pertanian yang pada satu sisi berhasil membawa hasil panen yang melimpah di Indonesia, tapi

di satu sisi lainnya belum berhasil mensejahterakan petani.

Daftar Referensi

Surat Kabar dan Majalah

Buletin Bina Swadaya, 2008,2009

Harian Kedaulatan Rakyat, 1979

Majalah Trubus 1969, 1970, 1971, 1973, 1978

Majalah Wacana, 1998

Prisma, 1990

Tempo, 1981

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 16: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Artikel

Lesmana, Teddy, “Bangkit Ditengah Krisis Pangan dan Energi,” LIPI.

Esje, Gudon,”Menggugat Revolusi Hijau Orde Baru,” Wacana Juli-Agustus 1998.

Tjondronegoro, Sediono M.P, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa,

1990,” Prisma1990.

Buku

Arifin, Dr.Bustanul. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia.Jakarta : Kompas, 2004.

Booth, Anne, (ed). Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1990.

Brown, Lester R. Seed of Change : The Green Revolution and Development in 1970’s. NewYork :Preanger Pubs, 1960.

Clifton R. Wharton, Jr. The Green Revolution Cornucopia of Pandora’s Box. Foreign Affairs, 1970.

Departemen Penerangan RI. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta : Departemen Penerangan RI, 1983.

Departemen Pertanian RI . Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian RI, 1993.

. Repelita III Pertanian. Jakarta : Departemen Pertanian, 1979.

Guru Besar IPB. Merevolusi Revolusi Hijau. Bogor : IPB Press, 2012.

. Perspektif Ilmu-Ilmu Pertanian dalam Pembangunan Nasional. Depok : Penebar Swadaya, 2008.

Hill, Hal. Indonesia’s New Order : The dynamics of Socio-Economic Transformation. Australia : Allen & Unwin Pty Ltd. 1994.

Hutabarat, Arifin. Usaha Mengatasi Krisis Beras. Jakarta : Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers, 1974.

Ismawan, Bambang. Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat Berkelanjutan : 45 Tahun Bina Swadaya. Jakarta :Yayasan Bina Swadaya, 2012.

Junaedhie, Kurniawan.Rahasia Dapur Majalah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015

Page 17: KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN …

Kuntowijoyo, Gunawan S, dkk. Prospek Pedesaan 1987. Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan, UGM , 1987.

Mubyarto. Marketable Surplus Beras di Indonesia: Sebuah Studi Jawa dan Madura. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi. Fakultas Ekonomi UGM, 1975.

Noertjahyo, JA. Dari Ladang sampai Kabinet : Menggugat Nasib Petani. Jakarta : Kompas, 2005.

Rahardjo, M. Dawam. Pembangunan Ekonomi Nasional. Jakarta : PT. Intermasa,1997.

Ranutinoyo, Setiadi. 70 tahun Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik. Jakarta : Yayasan Bina Swadaya, 2008.

Sadono, Bambang. Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Smith, Edward C. Pembredelan Pers di Indonesia. Jakarta : Grafiti Press, 1983.

Soekartawi. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta : UI Press, 1988.

Soetriono,dkk.Pengantar Ilmu Pertanian. Malang: Bayumedia Publising, 2006.

Tim Peneliti Bina Swadaya.Kemiskinan dan Kemandirian : Catatan Perjalanan dan Refleksi Bina Swaday.. Jakarta : Yayasan Bina Swadaya, 2003.

. Trubus 12 tahun 1969-1981: Sejarah dan Perkembangan. Jakarta : Yayasan Bina Swadaya, 1982.

Wawancara

Wawancara dengan F. Rahardi, Komplek Trubus, Jalan Tipar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, 2 Mei 2015.

Internet

http://niagaswadaya.co.id. Diaksespada 22 Mei 2013, pukul 19.10 WIB.

http://www.hidupkatolik.com/2013/07/19/didesain-untuk-umum. Diakses pada 21 November 2013, pukul 21.35 WIB.

www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9397/1770/. Diakses pada 3 April 2014, pukul 19.15 WIB.

www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9840/1800/. Diakses pada 3 April 2015, pukul 20.00 WIB.

Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015