kontroversi terhadap penari gandrung dalam … · berangkat, merlin mengaji surat ad-dhuha dengan...

18
1 KONTROVERSI TERHADAP PENARI GANDRUNG DALAM NOVEL KERUDUNG SANTET GANDRUNG KARYA HASNAN SINGODIMAYAN: SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA Evi Retno Cristiyan Dewi Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia surel: eviretno95@gmail. Abstrak Dalam dunia sastra Indonesia, nama Hasnan Singodimayan tidak begitu dikenal. Dalam sejumlah esai yang ditulis Jassin, nama ini tidak pernah disebut, juga dalam buku sejarah sastra yang ditulis Ajip Rosidi dan Jakob Sumardjo. Teeuw pun tidak menyebut nama Singodimayan. Akan tetapi, dalam konteks Banyuwangi, nama Singodimayan tidak bisa dinafikan. Ia telah menghasilkan paling tidak tiga novel dan satu buku takwil. Salah satu novelnya yang terpenting adalah Kerudung Santet Gandrung. Novel ini melukiskan kehidupan penari gandrung yang sering mendapat stigma negatif dari kalangan masyarakat nonbudaya (nonbudayawan). Melalui novel ini, Singodimayan menunjukkan bahwa penari gandrung tidak seburuk yang disangkakan orang. Dalam kaitannya dengan kajian tentang budaya Banyuwangi, novel ini penting sebab di dalamnya tidak sekadar dilukiskan mengenai penari gandrung, tetapi juga persoalan lain yang bertalian dengan identitas masyarakat Banyuwangi. Hingga kini penelitian terhadap seni gandrung sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian terhadap novel tersebut belum banyak, padahal novel ini sarat dengan masalah sosial-budaya di Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan kontroversi terhadap penari gandrung di Banyuwangi. Dalam novel ini tersirat adanya konflik antara kalangan budayawan dan kalangan nonbudayawan. Dari konflik tersebut mengemukalah persoalan identitas masyarakat Banyuwangi. Kata Kunci: Pro-Kontra, Gandrung, Banyuwangi, Konflik Pendahuluan Ada fenomena menarik dalam kesusastraan Indonesia, yaitu munculnya karya sastra Indonesia (novel) yang ditulis oleh sastrawan daerah yang mengangkat isu daerah. Dalam konteks masyarakat Bali, misalnya, muncul sejumlah novel atau cerpen, seperti Tarian Bumi (novel) karya Oka Rusmini, Incest (novel) karya I Wayan Artika, Mandi Api (kumpulan cerpen) karya Gde Aryantha Soethama, dan Bunga Jepun (kumpulan cerpen) karya Putu Fajar Arcana yang mengangkat masalah sosial-budaya di Bali. Di Tegal juga muncul

Upload: dangphuc

Post on 14-Jun-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

KONTROVERSI TERHADAP PENARI GANDRUNG DALAM

NOVEL KERUDUNG SANTET GANDRUNG KARYA HASNAN

SINGODIMAYAN: SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Evi Retno Cristiyan Dewi

Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,

Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia

surel: eviretno95@gmail.

Abstrak

Dalam dunia sastra Indonesia, nama Hasnan Singodimayan tidak begitu

dikenal. Dalam sejumlah esai yang ditulis Jassin, nama ini tidak pernah disebut,

juga dalam buku sejarah sastra yang ditulis Ajip Rosidi dan Jakob Sumardjo.

Teeuw pun tidak menyebut nama Singodimayan. Akan tetapi, dalam konteks

Banyuwangi, nama Singodimayan tidak bisa dinafikan. Ia telah menghasilkan

paling tidak tiga novel dan satu buku takwil. Salah satu novelnya yang terpenting

adalah Kerudung Santet Gandrung. Novel ini melukiskan kehidupan penari

gandrung yang sering mendapat stigma negatif dari kalangan masyarakat

nonbudaya (nonbudayawan). Melalui novel ini, Singodimayan menunjukkan

bahwa penari gandrung tidak seburuk yang disangkakan orang. Dalam kaitannya

dengan kajian tentang budaya Banyuwangi, novel ini penting sebab di dalamnya

tidak sekadar dilukiskan mengenai penari gandrung, tetapi juga persoalan lain

yang bertalian dengan identitas masyarakat Banyuwangi. Hingga kini penelitian

terhadap seni gandrung sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian terhadap novel

tersebut belum banyak, padahal novel ini sarat dengan masalah sosial-budaya di

Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan kontroversi terhadap penari

gandrung di Banyuwangi. Dalam novel ini tersirat adanya konflik antara kalangan

budayawan dan kalangan nonbudayawan. Dari konflik tersebut mengemukalah

persoalan identitas masyarakat Banyuwangi.

Kata Kunci: Pro-Kontra, Gandrung, Banyuwangi, Konflik

Pendahuluan

Ada fenomena menarik dalam kesusastraan Indonesia, yaitu munculnya

karya sastra Indonesia (novel) yang ditulis oleh sastrawan daerah yang

mengangkat isu daerah. Dalam konteks masyarakat Bali, misalnya, muncul

sejumlah novel atau cerpen, seperti Tarian Bumi (novel) karya Oka Rusmini,

Incest (novel) karya I Wayan Artika, Mandi Api (kumpulan cerpen) karya Gde

Aryantha Soethama, dan Bunga Jepun (kumpulan cerpen) karya Putu Fajar

Arcana yang mengangkat masalah sosial-budaya di Bali. Di Tegal juga muncul

2

novel Ngranggeh Katuranggan, Pengendara Badai, dan Di Balik Panggung karya

Lanang Setiawan yang mengangkat masalah kemasyarakatan di Tegal. Sementara

itu, di Banyuwangi juga terbit tiga buah novel dari Hasnan Singodimayan, yakni

Kerudung Santet Gandrung, Suluk Mu’tazilah, dan Niti Negari Bala Abangan

yang mengangkat persoalan seni-budaya dalam kaitannya dengan masalah agama.

Sayangnya, kajian ilmiah terhadap karya-karya tersebut belum banyak dilakukan.

Justru karena itu, penelitian ini diadakan untuk mengisi kekosongan atau

kelangkaan kajian tersebut. Lebih dari sekadar itu, penelitian ini dimaksudkan

untuk mengkaji aspek sosial-budaya dalam konteks masyarakat Banyuwangi.

Terkait dengan masalah itu, ada salah satu novel yang mengangkat aspek tersebut,

yaitu novel KSG (Kerudung Santet Gandrung). Novel tersebut membicarakan

penari gandrung yang menjadi bagian dari budaya Banyuwangi di Provinsi Jawa

Timur.

Dalam novel KSG yang menjadi sorotan utama adalah penari gandrung.

Gandrung adalah satu jenis tari pergaulan yang bersifat hiburan dan berperan

dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam pelbagai upacara di Banyuwangi

(Sumarno, 2002: 306). Selain itu, Anoegrajekti (2011: 26) mengungkapkan bahwa

identitas diri masyarakat Banyuwangi terletak pada tari gandrung, meskipun di

sisi lain tari gandrung memiliki perpaduan iringan musik dari Jawa dan Bali.

Secara keberadaan, penari gandrung telah menjadi identitas masyarakat

Banyuwangi. Mengingat masyarakat Banyuwangi yang beragam, keberadaan

penari gandrung menjadi pertentangan antara kelompok (kalangan) yang

mendukung (pro) dan menentang (kontra). Hal itu tidak terlepas dari kelompok-

kelompok (kalangan-kalangan) yang mendasarkan diri pada pandangan tertentu,

seperti pandangan sosial-budaya terhadap penari gandrung.

Novel tersebut memiliki kandungan sosial-budaya yang kompleks

mengenai sosial-budaya Banyuwangi. Hal itu berkaitan dengan pelbagai aspek

penari gandrung yang tidak berhenti di balik struktur, tetapi ada sejumlah unsur

yang berkaitan dengan persoalan agama, isu santet, dan Partai Komunis Indonesia

(PKI) di Banyuwangi. Berdasarkan hal tersebut, problem sosial-budaya

3

Banyuwangi tergambarkan dari pertentangan pro-kontra terhadap eksistensi penari

gandrung di dalam novel KSG.

Novel KSG terlahir dari tokoh budayawan dan seniman gandrung, yaitu

Hasnan Singodimayan. Ia adalah aktivis Dewan Kesenian Blambangan dan

tempat bertanya mengenai adat istiadat Blambangan (Banyuwangi), termasuk

kesenian. Ia ibarat “ensiklopedia” Banyuwangi.

Selain permasalahan sosial-budaya, pada tahun 1994, novel KSG pernah

menjadi film di TPI (sekarang MNCTV) yang berjudul “Jejak Sinden”.1 Masalah

lain yang menjadi latar belakang munculnya novel KSG pada tahun 2003 adalah

sebagai tanggapan atas terjadinya pembantaian dukun di Banyuwangi (Kompas, 5

Oktober 1998).2 Oleh karena itu, penulis memilih novel KSG sebagai hal yang

penting dan menarik untuk dikaji. Penulis bermaksud mengkaji bagaimana

kontroversi terhadap penari gandrung dilukiskan dalam novel KSG dari segi

sosiologisnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan pendekatan isi karya

sastra dengan cara melihat hubungan karya sastra dengan hal yang diacunya serta

dilengkapi dengan wawancara tokoh seniman, budayawan, dan kalangan santri di

Banyuwangi.3

Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan

pendekatan deskriptif. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara

mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2013:

53). Melalui hal tersebut, dalam tulisan ini penulis mendeskripsikan fakta-fakta

yang didapatkan dari penelitian serta wawancara dengan tokoh seniman,

budayawan, dan kalangan santri di Banyuwangi. Setelah itu, analisis dilakukan

terhadap fakta-fakta tersebut.

Sebelum masuk pada bagian analisis mengenai pro dan kontra

(kontroversi) terhadap penari gandrung dalam novel KSG, penulis terlebih dahulu

1“Ketika difilmkan, novel KSG masih berbentuk novelet, ceritanya sama seperti itu,” kata Hasnan

Singodimayan dalam wawancara (April 2016). 2 Diambil dan diedit dari laman www.angelfire.com, 28 Juni 2016, pukul 12.40 WIB. Pembantaian

dukun berkaitan dengan masalah santet di Banyuwangi. 3Kalangan santri tersebut bernama Uun Hariyati.

4

menganalisis unsur intrinsik novel tersebut. Yang menjadi fokus penulis dalam

analisis unsur intrinsik adalah penggambaran tokoh serta nada, alur, dan latar. Hal

ini dilakukan untuk memudahkan analisis konsep mengenai pro dan kontra

terhadap penari gandrung serta keberadaan Gandrung dalam konteks masyarakat

Banyuwangi.

Tahapan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membaca buku, karya ilmiah, dan catatan yang membahas Hasnan

Singodimayan.

2. Membaca novel KSG karya Hasnan Singodimayan.

3. Melacak karya-karya Hasnan Singodimayan di Perpustakaan Universitas

Indonesia, Hasnan Singodimayan Centre (HSC), dan Perpustakaan pribadi

Dr. Sunu Wasono baik yang berupa esai, karya satra, maupun artikel

budaya.

4. Wawancara tokoh seniman, budayawan, dan kalangan santri di

Banyuwangi selama tiga hari, mulai tanggal 21—23 April 2016.

5. Menganalisis teks-teks yang terkumpul, setelah itu mengaitkan

pertentangan pro dan kontra terhadap penari gandrung, baik dalam novel

KSG maupun konteks masyarakat Banyuwangi.

Adapun sebagai landasan dalam menganalisis, penulis menggunakan

buku-buku dan artikel-artikel mengenai unsur intrinsik serta pro-kontra terhadap

penari gandrung di Banyuwangi. Buku-buku yang penulis baca adalah How to

Analyze Fiction (1966) oleh Kenney, Penari Gandrung dan Gerak Sosial

Banyuwangi (2007) oleh Anoegrajekti dkk., Teori Pengkajian Fiksi (2013) oleh

Nurgiyantoro, Memuja Mantra (2007) oleh Saputra, Paradigma Sosiologi Sastra

(2013) oleh Ratna, Anatomi Sastra (1984) oleh Semi, Revitalisasi Kearifan Lokal

sebagai Upaya Penguatan Identitas Budaya Jawa Timur (2014) oleh Sutarto, dan

Enam Mata Banyuwangi (2015) oleh Basri dkk.

Ringkasan Cerita

Novel KSG mengisahkan seorang penari gandrung bernama Merlin

Monro. Merlin Monro adalah anak dari Salehak dan Montro. Merlin adalah

primadona para penari karena ia memiliki paras yang cantik, pandai menari, dan

5

menyanyi. Ia juga seorang gadis desa yang lugu dan hanya berpendidikan tingkat

sekolah dasar.

Saat itu kepala cabang kebudayaan kabupaten, Drs. Budoyo menyukai

Merlin karena Merlin cantik dan pandai menari. Hal itu terlihat bahwa Drs.

Budoyo sering mengantar dan menjemput Merlin ketika latihan maupun pentas di

mana-mana. Di sisi lain, Iqbal, teman Drs. Budoyo juga menyukai Merlin. Hal itu

Iqbal wujudkan melalui lagu-lagu ciptaannya untuk memuji Merlin. Sementara

itu, sebagian orang di sekitar Merlin tidak menyukai keberadaan Merlin,

khususnya kalangan masyarakat nonbudayawan. Merlin dibenci oleh kalangan

masyarakat nonbudayawan karena Merlin dianggap menggunakan santet berupa

mantra sensreng untuk menarik perhatian orang lain.

Kalangan masyarakat nonbudayawan yang membenci Merlin adalah

Rafiqah, keluarga Iqbal dan mantan istri Iqbal bernama Nazirah. Merlin dianggap

menggunakan santet untuk menambah kecantikannya dalam setiap penampilan.

Kebencian Nazirah itu semakin memuncak ketika Iqbal akan menikahi Merlin.

Keluarga Iqbal menentang segala alasan Iqbal untuk menikah dengan Merlin. Hal

itu disebabkan Merlin adalah keturunan PKI dan hanya seorang penari—jauh dari

nilai-nilai agama Islam yang dianut keluarga Iqbal. Namun, Iqbal tetap kukuh

untuk menikahi Merlin. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Nazirah,

mantan istri Iqbal. Hal itu membuat Nazirah kesal dan cemburu.

Ketika pernikahan Iqbal dan Merlin sudah berjalan beberapa bulan, Iqbal

berencana untuk berhaji bersama Merlin. Hal tersebut membuat kebencian

Nazirah semakin memuncak kepada Merlin. Nazirah berusaha untuk meminta

rujuk kepada Iqbal. Di sisi lain, Iqbal sudah tidak mencintai Nazirah dan akhirnya

menolak permintaan Nazirah. Nazirah semakin geram terhadap Merlin karena ia

menganggap bahwa Merlin menggunakan pelet untuk memikat Iqbal. Padahal,

Merlin hanya mengikuti saran dari orang tuanya untuk menikah dengan Iqbal.

Tidak pernah tebersit sama sekali dalam pikiran Merlin untuk menggunakan

santet. Merlin adalah gadis desa yang lugu (hlm. 49).

Ketika kecemburuan dan kebencian Nazirah memuncak, ia malah datang

ke dukun untuk meruntuhkan mantra sensreng yang terdapat di tubuh Merlin.

6

Dukun yang didatangi Nazirah dan Rafiqah itu bernama Sawang. Nazirah

mengarang cerita mengenai Merlin di hadapan dukun yang didatanginya. Dukun

tersebut memanfaatkan kesempatan tersebut dengan cara memasukkan Nazirah ke

ruang praktiknya. Nazirah diminta melepas kerudung selubungnya, duduk diam,

dan memejamkan mata. Setelah itu, dukun membacakan mantra sensreng sambil

meraba seluruh tubuh Nazirah. Dukun itu juga meremas payudara Nazirah dan

memegang pinggulnya. Nazirah lemas dan gemetaran setelah itu. Ia agak

menyesal datang ke dukun itu, tetapi semua itu sudah terjadi. Sekarang, ia hanya

ingin menunggu hasilnya.

Di sisi lain, Dukun Sawang berada di pihak penari gandrung, oleh karena

itu santet tidak dimasukkan ke dalam tubuh Merlin. Hasilnya, santet itu kembali

ke tubuh Nazirah yang mengalami perut buncit, seperti orang hamil, tetapi

perutnya keras seperti wajan. Setelah itu, Nazirah memuntahkan darah berwarna

hitam. Nazirah juga berhalusinasi menciumi Iqbal. Oleh sebab itu, Rafiqah dan

Tasrif—adiknya membawa Nazirah ke rumah sakit. Pihak medis berusaha

memeriksa Nazirah dengan pelbagai upaya, namun pihak medis tidak menemukan

satu pun penyakit di dalam tubuh Nazirah. Pihak medis angkat tangan dan

menyarankan mereka pergi ke dukun untuk mengobati Nazirah.

Sementara itu, Iqbal dan Merlin mendengar kabar bahwa Nazirah sakit dan

penyakitnya tidak terdeteksi oleh pihak medis. Merlin berinisiatif untuk

menjenguk Nazirah. Di sisi lain, Iqbal tahu bahwa Nazirah sudah jahat dan sering

memfitnah istrinya. Iqbal sempat terenyuh atas inisiatif dan sikap Merlin. Ketika

Iqbal dan Merlin sampai di rumah Nazirah, mata Nazirah berkaca-kaca dan

langsung memeluk Merlin. Nazirah mengakui kesalahannya dan meminta maaf

kepada Merlin. Setelah itu, Merlin dengan rendah hati dan santun memaafkan

Nazirah.

Pada akhir cerita, Iqbal dan Merlin berangkat berhaji. Sebelum mereka

berangkat, Merlin mengaji surat Ad-Dhuha dengan suara yang merdu di hadapan

khalayak. Orang-orang (kalangan masyarakat nonbudayawan) yang

mendengarkan tidak menyangka bahwa Merlin dapat mengaji dengan baik.

Akhirnya, kalangan masyarakat nonbudayawan mengakui bahwa Merlin yang

7

dahulunya penari gandrung serta dikait-kaitkan dengan santet itu tidak benar.

Merlin, penari gandrung memang cantik dan berhati bersih (suci).

Kontroversi Masyarakat terhadap Eksposisi Penari Gandrung

Secara geografis, Banyuwangi terletak di ujung Pulau Jawa. Banyuwangi

menyebut dirinya bukan suku Jawa atau pun Bali, melainkan suku Using. Namun,

jika dilihat dari sudut pandang sejarah, Banyuwangi mengalami budaya hibrida.

Budaya hibrida yang Banyuwangi alami adalah percampuran antara budaya Jawa

dan Bali (Sutarto, 2014: 14). Selain itu, suku Using tidak mau disamakan dengan

suku Jawa, Madura, dan Bali. Suku Using memiliki karakteristik sendiri dalam

konteks sosial-budaya, khususnya gandrung.4

Menurut Scholte, penari gandrung pertama di Banyuwangi adalah laki-laki

atau disebut gandrung lanang (Anoegrajekti, 2007: 12). Namun, ketika penetrasi

Islam masuk di Banyuwangi, gandrung lanang tidak diperbolehkan menyerupai

perempuan.5 Sejalan dengan hal itu, lahirlah penari gandrung perempuan bernama

Semi ketika Belanda membuka sebagian wilayah Banyuwangi untuk area

perkebunan (Anoegrajekti, 2007: 14). Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi

mengadakan perlawanan melalui tari gandrung dan lagu yang dinyanyikan. Tari

gandrung berfungsi untuk membuat kompeni Belanda tidak berdaya karena

mabuk dengan penampilan tari, sedangkan lagu yang dinyanyikan adalah bentuk

perlawanan masyarakat Using (Hariyati, 2007: 62).

Namun, saat ini tari gandrung menjadi tari pergaulan (hiburan). Sejalan

dengan itu, di awal tahun 2003, patung gandrung bertebaran di setiap gerbang

desa dan pintu masuk kota Banyuwangi (Anoegrajekti, 2007: 10). Mengingat

masyarakat Banyuwangi yang beragam, hal tersebut menimbulkan pertentangan

antara kalangan masyarakat yang mendukung dan menolak keberadaan gandrung.

Tidak dapat dinafikan juga bahwa mayoritas masyarakat Banyuwangi adalah

Islam, patung gandrung disebut sebagai hal yang musyrik. Hal itu membuat citra

gandrung dipersoalkan (dipertentangkan) oleh kalangan nonbudayawan.

4Hasnan Singodimayan menyatakan bahwa Using adalah tidak Jawa dan tidak Bali. 5Novi Anoegrajekti. 2007. Penari gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi. Dalam agama Islam,

laki-laki dilarang menyerupai perempuan. Hal itu berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw yang

berbunyi man tasyabaha bi quamin, fahuwa minhum.

8

Selain permasalahan patung gandrung, penolakan terhadap keberadaan

penari gandrung juga terjadi. Uun Hariyati sebagai kalangan santri Banyuwangi,

ketika wawancara April 2016, menyatakan bahwa pertunjukan Gandrung dikenal

sebagai tempat maksiat.6 Penolakan tersebut terjadi karena masyarakat atau

penikmat Gandrung merusak tatanan Gandrung, seperti penonton (penikmat)

Gandrung membawa minuman keras dan pemaju (penari laki-laki) berbuat jahil

kepada penari gandrung. Selain itu, penari gandrung juga dipandang negatif oleh

kalangan santri (Islam) karena penari gandrung tidak memenuhi syariat agama

Islam. Hal itu juga berhubungan dengan kutipan dalam KSG berikut.

“Apa mungkin seorang penari yang masih giat menyanyi

dan berlagu di muka umum melaksanakan haji?”

“Mengapa?”

“Sedang syariat lain belum dikerjakan”

“Apakah engkau tahu ?”, tanya Istaqamah tandas.

“Dan untuk apa engkau mengurusnya”, sambungnya.

(hlm. 106)

Kutipan tersebut disampaikan oleh Nazirah, tokoh yang menolak keberadaan

Merlin sebagai penari gandrung. Namun, Nazirah juga memiliki motif asmara

ketika ia menolak (membenci) keberadaan Merlin.

Sebab di dalam relung dadanya telah tersimpan semacam

kebencian pada Merlin, yang telah mampu menundukkan

Iqbal di bawah sekakang pahanya lewat cara yang diduga

mengandung unsur santet atau guna-guna.

(hlm. 118)

Kutipan tersebut menyatakan bahwa Nazirah tidak menyukai Merlin karena

Merlin telah menikah dengan Iqbal. Selain itu, Nazirah juga berpikir bahwa

Merlin menggunakan santet untuk “menaklukkan” Iqbal.

Isu santet tersiar ketika tahun 1960-an. Hal mengenai santet juga

disampaikan oleh Uun Hariyati ketika tahun 1990-an, penari gandrung kembali

6Sewaktu Uun masih kecil, ia dilarang menonton Gandrung oleh keluarganya karena keluarganya

adalah kalangan santri. “Dengan Bapak dan keluarga saya dibilang jangan keluar. Gandrung itu

tempat maksiat,” tutur Uun.

9

dianggap tidak baik dan tidak sesuai syariat Islam. Peristiwa tahun 1990-an

tersebut terjadi dari mulut ke mulut, dari orang per orangan beragama Islam ke

kelompoknya. Demikian pula dengan penuturan Supinah sebagai penari gandrung

bahwa saat ini gandrung masih dipersoalkan oleh kalangan Islam (santri) karena

pakaian gandrung tidak tertutup atau membuka aurat dan memakai mantra (santet)

srenseng dalam setiap penampilan (pertunjukan).7

Dalam konteks masyarakat Banyuwangi, gandrung dikaitkan dengan

santet (mantra). Hal itu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Banyuwangi

mengenai santet. Menurut Hasnan Singodimayan, Hasan Basri, dan dukun

bernama Timbul, santet di Banyuwangi hanyalah untuk mempertahankan

(membentengi) diri.

Jenis santet yang diyakini masyarakat Banyuwangi ada lima, yaitu hitam,

merah, kuning, putih, dan biru atau banyak warna atau transparan atau bening

(tanpa warna).8 Santet hitam atau disebut juga aluamah adalah refleksi dari tanah

atau bumi sebagai makna kepemilikan. Santet merah atau amarah dimaknai

sebagai penguasaan. Santet kuning atau supiyah adalah makna dari angin sebagai

keindahan atau seni. Santet putih disebut juga mutmainah adalah makna air

sebagai pikiran atau pengetahuan. Santet bening atau banyak warna atau santet

gelap atau santet biru juga disebut percampuran dari santet hitam, merah, kuning,

dan hitam adalah makna dari diri sendiri “ saya atau aku (diri)”.

Kelima jenis santet tersebut berhubungan dengan filosofi manusia pada

masyarakat Jawa, yaitu sedulur papat dan lima badan. Sedulur papat berkenaan

dengan santet merah, kuning, hitam, dan putih. Lima badan berkaitan dengan

santet bening atau santet biru (banyak warna). Menurut Suryadipura, landasan

tersebut berhubungan dengan aspek nafsu, yakni godlob atau nafsu memelihara

diri dan syahwat (Saputra, 2007: 116).

7Persoalan (pertentangan) tersebut juga terjadi dari mulut ke mulut oleh kalangan masyarakat

Islam yang tidak menyukai Gandrung. Penari gandrung tidak tahu-menahu mengenai mantra

sensreng karena yang memasukkan mantra tersebut adalah perias. 8Heru S.P. Saputra. 2007. Memuja Mantra, hlm. 113—121. Yogyakarta: LKiS. Saputra hanya

menyebutkan empat jenis santet di Banyuwangi, tetapi di sisi lain ada satu jenis santet yang ia

sebutkan lagi di bukunya.

10

Dalam KSG terdapat penggunaan santet merah. Hal itu tergambar dari

Dukun Sawang yang memutarbalikkan santet kirimannya terhadap Merlin. Ia

mengembalikan santet tersebut kepada kalangan masyarakat nonbudayawan,

Nazirah yang membenci Merlin.

“Santetnya saya perlakukan dengan terbalik untuk

dirinya, perutnya buncit sekeras wajan penggorengan.”

“Duh Gusti, jahat betul kamu.”

“Orang yang mau berbuat jahat, harus dibalas dengan

kejahatan.”

(hlm. 185)

Hal itu membuat Nazirah jatuh sakit. Nazirah juga memuntahkan darah hitam

sebanyak dua ember.

“Nazirah muntah darah ?”, tanya Iqbal.

“Darah hitam dua ember penuh”, jawab Nazirah.9

(hlm. 197)

Hal itu menjelaskan bahwa santet seperti itu tergolong santet jahat (santet merah)

atau membahayakan orang lain. Selain itu, terdapat kutipan bahwa santet tersebut

ada di Banyuwangi. Namun, masyarakat Banyuwangi menyebut santet hanyalah

untuk diri sendiri (membentengi diri). Hal itu bertentangan dengan penjelasan di

dalam novel bahwa di Banyuwangi terdapat santet yang berbahaya.

Terdapat juga penjelasan lain bahwa ada cara menyembuhkan santet,

seperti “Menurut penjelasan ibu mertuanya, dalam tempo dua puluh hari, perut

busung Nazirah akan pulih seperti semula” (hlm. 195). Santet merah yang diminta

Nazirah kepada Dukun Sawang bertujuan untuk menghilangkan kecantikan

Merlin. Nazirah menginginkan Merlin agar keriput, jelek, dan tidak cantik lagi.

Saputra (2007: 121) menyatakan bahwa santet merah pemakaiannya berdasarkan

keinginan atau memenuhi hawa nafsu agar korban tersiksa secara fisik dan

9Dalam novel KSG tercantum seperti itu. Seharusnya, “Darah hitam dua ember penuh,” jawab

Azizah.

11

batinnya. Santet merah digunakan tanpa berlandaskan kasihan, tanpa hati nurani.

Santet seperti itulah yang menjadi santet jahat atau membahayakan orang lain.

Selain itu, penggunaan santet lain juga terdapat dalam KSG, yaitu santet

kuning. Santet kuning digunakan sebagai sarana pribadi, salah satunya untuk

pengasihan. Santet kuning tersebut hanya untuk antarindividu, bukan untuk

mencelakakan atau membahayakan orang lain.

Pikiran Salehak terbayang jauh ke masa silam, di saat Merlin

masih menjadi penari. Sawang telah membantu dengan

kebaikan-kebaikan, sehingga Merlin terlihat sangat cantik

dengan mantra “srenseng-nya”. Sebagai pawang hujan, dia

mampu menggiring awan mendung dari daerah pementasan,

menangkal kelompok-kelompok kesenian lain yang akan

“merapuh” alat-alat gamelan, sehingga terdengar budeg. Tak

pernah Salehak mendengar Sawang berbuat jahat, sebab

mantranya diperoleh dari Putra Agung Gunung Raung.

(hlm. 185)

Saputra (2007: 121—122) menyatakan bahwa santet kuning digunakan untuk

maksud baik. Landasan penggunaannya didasarkan pada ketulusan hati. Tujuan

lain dari penggunaan santet tersebut agar disenangi atau dicintai sesama maupun

tidak diganggu binatang ketika di hutan. Salehak menggunakan santet kuning

untuk melindungi Merlin agar Merlin terlihat lebih cantik dan disayangi oleh

siapa pun yang memandangnya.

Selain itu, terdapat guna-guna yang berkaitan dengan jenis santet dalam

KSG, yaitu jaran goyang atau kopi batokan dan sabuk mangir. Kedua guna-guna

tersebut memiliki sejarah yang berkaitan dengan Sayu Wiwit (Srikandi

Banyuwangi). Kedua guna-guna tersebut, sebenarnya adalah jenis kode dalam

melawan kompeni Belanda.

Gadis-gadis cantik yang berikat selendang warna kuning di

pinggangnya, merupakan pasukan penyusup dan bertugas

menggoda laskar kompeni. Kemudian dikatakan perlakuan itu

dengan gadis-gadis “bersabuk mangir” sedang gadis-gadis

yang berdagang kopi di tepi jalan di depan rumahnya dengan

menggunakan tempurung kelapa untuk tempat minumnya,

adalah pos-pos informasi bagi para pejuang untuk mengetahui

12

kedudukan kompeni, sedang jarang goyang merupakan nama

pasukan berkuda yang dipimpin oleh seorang pahlawan

terkenal yang benrama Sayu Wiwit. Yang mampu

menggoyang pertahanan kompeni.

(hlm.119)

Jika dikaitkan dengan jenis santet, jaran goyang atau kopi batokan termasuk

santet merah yang gunanya untuk menyiksa korban secara lahir dan batinnya,

sedangkan sabuk mangir termasuk golongan santet kuning yang bertujuan untuk

kecantikan dan menarik perhatian lawan jenis.

Dari penjelasan sebelumnya, jenis santet yang terlukis dalam novel KSG

adalah santet yang membahayakan dan ada yang tidak membahayakan orang lain.

Santet yang membahayakan orang lain adalah santet merah. Sementara santet

yang tidak membahayakan orang lain adalah santet kuning.

Adapun hal lain yang disampaikan Hasan Basri, Wakil Ketua Dewan

Kesenian Blambangan (DKB) sekaligus kalangan santri, mengungkapkan bahwa

tahun 2011 pada Khotbah Jumat, profesi penari gandrung dinyatakan haram.

Pernyataan tersebut disampaikan pengkhotbah secara terang-terangan di depan

jemaah. Hal itu membuat sebagian jemaah salat Jumat menjadi tercengang dan

sebagian lagi “mengiyakan” pernyataan pengkhotbah.

Selain itu, Mitro, koreografer gandrung, menjelaskan bahwa gandrung

dipersoalkan oleh kalangan masyarakat Islam. Kalangan masyarakat Islam atau

santri menganggap gandrung sebagai tempat maksiat karena pemaju membawa

minuman keras. Hal itu terjadi ketika tahun 1990-an. Mitro juga menegaskan

bahwa saat ini masih ada kalangan nonbudayawan yang menentang keberadaan

gandrung, tetapi kalangan budayawan gandrung akan membiarkan hal itu karena

gandrung sudah memiliki tempat sendiri untuk bereskpresi, seperti Festival

Gandrung Sewu.

Tidak kalah penting adalah pernyataan Bupati Banyuwangi periode tahun

2010—2015 bernama Anas. Anas ingin menggempur semua patung gandrung di

13

Banyuwangi karena ia mengganggap patung itu sebagai hal yang musyrik.10

Namun, penggempuran tersebut tidak jadi dilakukan oleh Anas karena Hasnan

Singodimayan sebagai sesepuh dan kalangan budayawan Banyuwangi telah

menasihatinya secara perlahan. Akhirnya, Anas menyetujui nasihat Hasnan

Singodimayan.

Jauh sebelum masalah itu terjadi, menurut Hasnan Singodimayan bahwa

gandrung bersifat netral, namun menjelang tahun 1965 dieksploitasi oleh Partai

Komunis Indonesia (PKI). Setelah ada Gerakan 30 September (G 30-S) PKI,

gandrung menjadi terisolir karena dianggap PKI. Oleh karena itu, setelah tahun

1965, komunitas Using terutama gandrung harus dibubarkan karena berkaitan

dengan PKI. Akhirnya, komunitas seni di Banyuwangi vakum selama tahun

1965—1970 sebagai akibat kebijakan politik bersih lingkungan rezim Orde Baru

untuk menghabiskan seluruh organisasi yang berkaitan dengan PKI (Anoegrajekti:

2007: 22). Berikut adalah kutipan dari KSG.

“Dia anak saya satu-satunya, yang lahir di saat ramai-ramainya

PKI. Bapaknya sudah cerai dengan saya, dia terlibat,

menghilang entah ke mana, namanya Montro.”

(hlm. 39)

Kutipan tersebut disampaikan oleh Salehak, Ibu Merlin. Akan tetapi jika dikaitkan

dengan konteks Banyuwangi, Bupati Djoko Supaat menghidupkan kembali

komunitas Using yang vakum selama lima tahun, termasuk gandrung. Hal itu

menyebabkan komunitas Using, khususnya gandrung menempati bentuk konkret

dalam berkebudayaan (Anoegrajekti, 2007: 22).

Di balik itu semua, Hasnan Singodimayan, dalam wawancara April 2016,

menjelaskan bahwa gandrung tidak serendah yang disangkakan kalangan

nonbudayawan. Sekarang pakaian gandrung lebih sopan, seperti memakai omprog

(hiasan di kepala), selendang menutupi pundak, pakaian yang melekat tidak

menerawang, dan memakai kaus kaki. Selain itu, gerakan gandrung tidak erotis,

10Anas adalah kalangan santri yang berpikiran sama dengan kalangan masyarakat Islam—

menyebut Gandrung sebagai hal yang tidak baik.

14

sesuai syariat agama.11 Berikut kutipan dari KSG yang juga sesuai dengan

pernyataan Hasnan Singodimayan.

Pikiran Azizah jauh menerawang pada wajah Merlin, istri

pamannya yang tilas penari gandrung itu, pantas keluarganya

enggan mengundang, sebab sesudah menjadi istrinya, cara

busananya tetap mengenakan cara berbusana tradisi adat

daerah. Berkain panjang tanpa wiron, berkebaya dengan

warna mencolok tanpa kerudung, jikapun menggunakan

slayer semacam kerudung, maka slayernya itu hanya

dikenakan pada perutnya, sehingga membuat pinggulnya yang

padat itu terlihat dinakdiplang membulat dan memaksa setiap

mata lelaki untuk menatapnya terus-menerus. Rambutnya

bersanggul begitu rapi model paglak ular melingkar, sedikit

ujung rambutnya terjurai lepas, sehingga jenjang lehernya

membulat batang pinang muda, maka terlihatlah segala

perhiasan yang dipakainya. Kalung mas beruntai berlian,

anting-anting kriol yang bergantung di telinganya bergiyang

gemerlap, ditambah dengan bulu matanya yang alami

melengkung keluar dihias dengan lengkung alisnya yang

menghitam pekat.

(hlm. 88—89)

Kutipan tersebut adalah pikiran Azizah, kemenakan Iqbal. Azizah sebagai pelajar

mendukung keberadaan Merlin, penari gandrung.

Selain itu, keberadaan penari gandrung dalam masyarakat Banyuwangi

juga didukung oleh Djoko Supaat, Bupati Banyuwangi periode tahun 1966—

1978. Gandrung yang semula dianggap tidak baik dan berkaitan dengan santet,

tetapi pada tahun 1990-an ditarikan di hadapan umum oleh anak Djoko Supaat.

Masyarakat (kalangan) santri atau Islam yang awalnya menolak keberadaan penari

gandrung menjadi tidak dapat menyatakan apa pun. Menurut penuturan Mitro,

koreografer gandrung pada wawancara April 2016, “Mau ngomong apa yang lain.

Yang nari anak bupati. Akhirnya, berkelanjutan menjadi tarian yang dibanggakan

di Banyuwangi, apalagi Gandrung Sewu.”

11Hasnan Singodimayan menjelaskan bahwa ada hadis Nabi Muhammad yang memperbolehkan

siapa pun menari, tetapi tidak boleh mengundang syahwat (nafsu). Jika dalam bahasa Arab, hadis

itu hanya diartikan sebagai makna berenang. Namun, Hasnan menerangkan bahwa bahasa Arab

tidak sesempit itu maknanya.

15

Setelah itu, tahun 2012, tari gandrung dijadikan festival, yaitu Gandrung

Sewu (Gandrung Seribu). Festival tersebut terselenggara di hadapan masyarakat

Banyuwangi dan tidak terkecuali kalangan santri juga ikut menonton di Pantai

Boom. Pada saat itulah gandrung mulai menjadi egaliter kedudukannya. Berikut

adalah tabel penggolongan tokoh kontroversi terhadap penari gandrung.

Tabel 1. PENGGOLONGAN TOKOH KONTROVERSI TERHADAP

PENARI GANDRUNG

Tokoh Kalangan Alasan

Pro Hasan Basri (Wakil

Ketua DKB)

Hasnan Singodimayan

(sesepuh dan

budayawan)

Mitro (koreografer

Gandrung)

Supinah (penari

gandrung)

Timbul (dukun)

Uun Hariyati (kalangan

santri dan pemerhati

Gandrung)

Gandrung adalah salah satu

identitas Banyuwangi.

Gandrung sudah menjadi ikon

atau maskot di Banyuwangi.

Saat ini, gandrung sudah

memiliki tempat untuk

berekspresi, sedangkan tempat

untuk beribadah juga sudah

memiliki tempat tersendiri.

Gandrung adalah milik

masyarakat Banyuwangi

(Using).

Kontra Pengkhotbah Jumat dan

kalangan Islam atau

santri pada tahun 2011

di Banyuwangi

Keluarga Uun Hariyati

di Banyuwangi

FPI (Front Pembela

Islam) Banyuwangi

Gandrung mempraktikkan

santet, yaitu sensreng.

Gandrung disebut sebagai

tempat maksiat karena pemaju

membawa minuman keras.

Gandrung belum sesuai dengan

konteks mayoritas masyarakat

Banyuwangi yang beragama

Islam.

Jika dikaitkan dengan relevansi pada masyarakat Banyuwangi saat ini, keberadaan

penari gandrung telah diakui sebagai maskot (ikon) Banyuwangi—sesuai Surat

Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor 173 tanggal 31 Desember 2002, patung

gandrung menjadi maskot pariwisata di Banyuwangi. Hal itu sejalan dengan

16

bertebarannya patung gandrung di setiap pintu desa dan pintu masuk Banyuwangi

pada tahun 2003 (Anoegrajekti, 2007: 10). Dengan demikian, antara novel KSG

dan realita di masyarakat Banyuwangi hampir sama, penari gandrung

memenangkan pertentangan di dalam novel dan dalam konteks masyarakat

Banyuwangi, gandrung menjadi maskot (ikon).

Maskot (ikon) tersebut terlihat di jalan raya Banyuwangi, Desa Kemiren,

dan jalan utama di Pantai Watu Dodol. Di jalan raya Banyuwangi terdapat patung

gandrung yang berdiri pertama kali, di Desa Kemiren sebagai desa wisata terdapat

beberapa patung gandrung, dan di Pantai Watu Dodol terdapat patung Gandrung

terbesar di Banyuwangi. Selain itu, sekarang Festival Gandrung Sewu diadakan

setiap tahun oleh pemerintah Banyuwangi yang sudah menjadi massal dan tidak

berkaitan dengan santet. Dengan demikian, kemenangan penari gandrung dalam

KSG dan realita masyarakat Banyuwangi membuat citra penari gandrung semakin

diakui eksistensinya di masyarmeakat Banyuwangi. Hal itu menunjukkan bahwa

gandrung menjadi egaliter.

Kesimpulan

Salah satu hal yang penting dari suku Using adalah penari gandrung.

Gandrung muncul ketika Belanda masuk ke Banyuwangi dan kekuatan Kerajaan

Blambangan sedang melemah. Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi

mengadakan perlawanan melalui tari gandrung dan lagu yang dinyanyikan. Tari

gandrung berfungsi membuat kompeni Belanda tidak berdaya karena mabuk

dengan penampilan tari, sedangkan lagu yang dinyanyikan sebagai bentuk

semangat perlawanan masyarakat Using. Namun, saat ini tari gandrung menjadi

tari pergaulan. Hal itu menimbulkan pertentangan antara kalangan masyarakat

yang mendukung dan menolak keberadaan gandrung.

Secara tematik, yang menjadi sorotan utama dalam novel KSG adalah

penari gandrung. Di dalamnya menggambarkan pertentangan pro-kontra antara

kalangan yang mendukung (pro) dan yang menentang (kontra) terhadap eksistensi

penari gandrung di Banyuwangi. Stigma negatif dari pandangan Nazirah dan

Rafiqah sebagai kalangan masyarakat nonbudayawan terpatahkan semua karena di

akhir cerita terlihat bahwa penari gandrung lebih islamis dan baik budi pekertinya

17

daripada mereka. Selain itu, “kemenangan” dari pertentangan pro-kontra tersebut

berpihak kepada kalangan yang mendukung (pro) terhadap keberadaan penari

gandrung.

Jika ditempatkan dalam konteks masyarakat Banyuwangi, pertentangan

pro-kontra tersebut hanya tersiar dari mulut ke mulut. Terkait hal itu, gandrung

bersifat netral, namun menjelang tahun 1965 dieksploitasi oleh PKI. Setelah ada

Gerakan 30 September (G 30-S) PKI, gandrung menjadi terisolir karena dianggap

anggota PKI. Oleh karena itu, setelah tahun 1965, Bupati Djoko Supaat

menyatakan secara lisan bahwa komunitas gandrung harus dibubarkan karena

berkaitan dengan PKI.

Selain itu, terdapat pertentangan pro-kontra antara kalangan

nonbudayawan dan kalangan budayawan gandrung pernah terjadi. Kalangan

masyarakat nonbudayawan menolak keberadaan penari gandrung berdasarkan

pandangan agama. Hal itu terjadi karena penonton (penikmat) gandrung

membawa minuman keras dan pemaju (penari laki-laki) berbuat jahil kepada

penari gandrung. Selain itu, kalangan nonbudayawan menganggap bahwa penari

gandrung telah mempraktikkan santet. Sementara itu, kalangan budayawan

gandrung membela (pro) terhadap keberadaan penari gandrung. Pembelaan

tersebut berdasarkan pandangan budaya bahwa gandrung memiliki sejarah dari

awal penciptaannya sebagai tari perlawanan. Kemudian, gandrung adalah salah

satu identitas yang dimiliki oleh suku Using, Banyuwangi. Gandrung menjadi

ikon Banyuwangi dengan adanya Surat Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor

173 tanggal 31 Desember 2002 dan terdapat Festival Gandrung Sewu.

Saat ini, kedudukan penari gandrung menjadi egaliter. Penari gandrung

juga tidak lagi disebut suka bermain santet. Hal itu terjadi karena gandrung adalah

milik bersama masyarakat Banyuwangi.

Sementara itu, novel KSG adalah bagian dari pembelaan pengarang

terhadap penari gandrung. Pembelaan tersebut dilakukan pengarang untuk

menjaga muruah penari gandrung. Berkaitan dengan itu, penari gandrung adalah

aset sekaligus bagian dari identitas diri suku Using, Banyuwangi.

18

Pemunculan tokoh Merlin Monro sebagai tokoh utama sekaligus penari

gandrung adalah suatu bentuk pembelaan pengarang. Merlin Monro disamakan

dengan artis luar negeri bernama Marilyn Monroe, yang sama-sama menjadi

primadona dan digandrungi banyak laki-laki. Namun, akhir cerita Merlin Monro

sebagai penari gandrung dan Marilyn Monroe sebagai artis justru tidak sama. Jika

Marilyn Monroe berakhir tragis dengan kematian, Merlin Monro sebagai penari

gandrung berakhir dengan bahagia—dapat mengaji dan berangkat haji. Hal itu

menunjukkan bahwa pengarang ingin membersihkan persepsi atau pandangan

negatif masyarakat mengenai penari gandrung.

Referensi

Anoegrajekti, Novi dkk. (2007). Penari gandrung dan gerak sosial banyuwangi.

Depok: Desantara.

__________. (2011). Makalah “Gandrung banyuwangi: kontestasi dan

representasi identitas using”. Jember: Universitas Jember.

Basri, Hasan dkk. (2015). Enam mata tentang banyuwangi. Bali: Pustaka Larasan.

Hariyati, Uun. (2007). “Saya, sastra using, dan puisi gending” dalam penari

gandrung dan gerak sosial banyuwangi. Depok: Desantara.

Ratna, Nyoman Kutha. (2013). Paradigma sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. (2013). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra: dari

srukturalisme hingga postrukturalisme perspektif wacana naratif.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saputra, Heru S.P. (2007). Memuja mantra. Yogyakarta: PT LKiS.

Sumarno. (2002). Makalah dalam Jurnal “Peran tari gandrung banyuwangi pada

masa kini”. Jakarta: Patra Widya.

Sutarto, Ayu. (2014). Revitalisasi kearifan lokal sebagai upaya penguatan

identitas budaya jawa timur. Malang: Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Sumber Data

Singodimayan, Hasnan. (2003). Kerudung santet gandrung. Jakarta: Desantara

Utama.