bab ii kajian pustaka, konsep, teori, dan model … 2.pdf · gandrung (yang dimaksud dalam hal ini...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini dilakukan penelusuran beberapa hasil penelitian
dan tulisan, baik berbentuk makalah, jurnal, tesis, buku teks, maupun dalam
bentuk karya ilmiah lainnya yang telah membahas seni pertunjukan gandrung di
Indonesia. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu sangat penting
dilakukan, terutama yang berkaitan dengan marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Di sini dikemukakan beberapa tulisan yang masih berkaitan dan relevan
dipakai sebagai kajian pustaka. Salah satu di antaranya yang ditulis oleh Tim
Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Barat dengan judul ”Deskripsi Tari
Gandrung Lombok Daerah Nusa Tenggara Barat (1990)”. Tim Pembinaan
Kesenian Nusa Tenggara Barat memaparkan sejarah gandrung Lombok, latar
belakang sosial budaya, deskripsi teknis penyajian seni pertunjukan gandrung,
gerak-gerak dasar, serta musik pengiring dan pengembangannya. Tarian
gandrung tradisi ini memiliki nilai seni yang tinggi, baik dari segi falsafah
hidupnya maupun dari kekayaan gerak dan musiknya. Tulisan tersebut
merupakan hasil pencatatan dan pendokumentasian jenis-jenis kesenian yang
ada di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
16
Tulisan Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Barat dengan
penelitian yang penulis lakukan jauh berbeda. Tim Pembinaan Kesenian Nusa
Tenggara Barat memaparkan deskripsi tari gandrung Lombok dalam rangka
pendataan kesenian tradisional sebagai kekayaan budaya, sedangkan penulis
meneliti marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Relevansi tulisan Tim Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara
Barat dengan penelitian penulis adalah dalam kesamaan objek yaitu tari
gandrung Lombok sudah tentu sangat bermanfaat bagi penulis untuk
menambah wawasan penulis dalam mengkaji marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tesis Suyanto (2007) yang berjudul ”Konflik Kepentingan dalam Seni
gandrung Banyuwangi: Perspektif Kajian Budaya” mengemukakan bahwa tari
gandrung Banyuwangi merupakan kesenian yang masih bertahan hidup di
tengah krisis identitas, dikotomi abangan dan santri, serta kritik yang bernuansa
moralitas lainnya. Ada beberapa bentuk konflik kepentingan yang muncul
dalam seni gandrung Banyuwangi. Pertama, konflik kepentingan antartamu,
yaitu seorang gandrung menghampiri semua meja yang dikitari tamu secara
berurutan. Jika tidak dilakukan secara urut, pasti akan menimbulkan
kecemburuan antarmeja. Kedua, konflik kepentingan antara masyarakat
tradisional dan kaum santri (agamais). Konflik ini terjadi tidak di arena
pergelaran gandrung, tetapi di lingkungan masyarakat secara umum. Ketiga,
konflik kepentingan politis. Konflik ini muncul pada saat pemilihan calon
bupati, bahkan pemilihan kepala desa di wilayah komunitas gandrung.
17
Dilihat dari segi fungsinya, ada berbagai bentuk konflik kepentingan
yang memiliki beberapa fungsi, yaitu (1) fungsi untuk melegitimasi pemerintah,
(2) fungsi untuk mempertahankan struktur, (3) fungsi untuk memenuhi nafkah
gandrung (yang dimaksud dalam hal ini adalah beberapa penari atau penyanyi
wanita dan semua musisi gandrung ditambah juragan (majikan) grup gandrung,
dan (4) fungsi untuk eksistensi diri yang mengarah pada hakikat gandrung
sebagai kesenian yang berwujud apa adanya.
Makna konflik kepentingan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
makna pengembangan. Konflik kepentingan dianggap sebagai cambuk untuk
memotivasi gandrung ke arah yang lebih maju dan modern. Kedua, makna
solidaritas. Fenomena seni tayub (ledhek) di Jawa Timur bagian barat dan Jawa
Tengah yang sarat dengan nuansa konflik dan gandrung Banyuwangi yang tidak
bisa melepaskan diri dari aroma konflik, merupakan tantangan hidup kesenian
yang selalu timbul dan tenggelam. Ketiga, makna kerukunan antarseni. Adanya
berbagai jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang, bahkan mati di
Banyuwangi, merupakan berkah tersendiri bagi Banyuwangi. Keempat, makna
kesejahteraan. Konflik kepentingan yang terjadi di dalam dan di luar komunitas
kesenian gandrung ternyata menimbulkan kesadaran yang tinggi pada
masyarakat pendukung kesenian.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Suyanto, yaitu dalam
penelitian Suyanto lebih memfokuskan kepada konflik kepentingan dalam seni
gandrung Banyuwangi, sedangkan penelitian ini lebih menekankan dan
memfokuskan kepada marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok.
18
Walaupun penelitian Suyanto sebuah tesis, penelitian ini sangat membantu
dalam menelusuri jejak gandrung yang ada di Lombok dan sebagai bahan
perbandingan
Desantara (2007) menulis buku berjudul Srinthil 12: Penari Gandrung
dan Gerak Sosial Banyuwangi Gandrung Banyuwangi. Di dalamnya diuraikan
sebuah seni pertunjukan rakyat yang diyakini oleh para ahli warisnya sebagai
sebuah falsafah hidup di tengah marak dan hiruk pikuk kesenian populer yang
menjadi pilot budaya global. Banyuwangi yang terletak di sebelah timur Pulau
Jawa telah dihabiskan menjadi kota terprogresif dalam dinamika seni dan
tradisi di Indonesia. Jejak seni tradisi yang ditinggalkan oleh gandrung lanang
(gandrung laki-laki), sangat jernih diterjemahkan dengan laku spiritual oleh
seorang semi (gandrung perempuan). Di tangan semi, kesenian gandrung yang
pada awalnya adalah sebuah media pembebasan (tarian yang di dalam syairnya
ada sandi-sandi khusus) sisa-sisa laskar Blambangan dari belenggu penjajahan
menjadi sebuah gerak tari yang indah, sarat pesan dan makna. Gandrung adalah
sebuah noktah tegas tentang resistensi perempuan seni tradisi di tengah jaring-
jaring kekuasaan dan nilai-nilai globalisasi.
Tesis I Wayan Centana (2009) yang berjudul ”Tari Gandrung sebagai
Seni Pertunjukan Sakral di Desa Ungasan,Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung” mengemukakan bahwa tari gandrung sebagai warisan budaya yang
secara turun-temurun mempunyai nilai religius yang tinggi dan dipertunjukkan
pada saat upacara ngusaba atau piodalan di Pura Desa Ungasan dan di Pura
Batu Pageh Ungasan. Selain untuk upacara, tari gandrung di Desa Ungasan juga
19
mempunyai fungsi sebagai estetika, sosial, dan pembayaran kaul. Centana
memaparkan keberadaan dan fungsi tari gandrung tersebut yang hingga kini
tetap dipentaskan, sedangkan penelitian penulis jauh berbeda, yaitu seni
pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat sedang mengalami
marginalisasi. Meskipun penelitian Centana hanya sebuah tesis, sangat
dibutuhkan sebagai acuan untuk memahami fungsi-fungsi tari gandrung yang
berada di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan sebagai bahan bandingan.
R. Diyah Larasati (Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:14-25)
dalam tulisannya dengan judul ”Gandrung di Lombok Barat” (Sebuah Ekspresi
Simbolis Komunitas Sasak)” menyebutkan bahwa gandrung yang proses
kelahirannya banyak mendapat pengaruh budaya Bali merupakan ekspresi
simbolis komunitas Sasak dan Lombok. Pementasan tari gandrung ini berkaitan
dengan pesta desa menjelang masa panen padi di beberapa daerah di Lombok
dengan mengungkapkan rasa suka cita, gembira, penuh harapan dengan warga
Sasak dalam menyongsong hasil kerjanya setelah menanam padi. Tari gandrung
sebagai media ekspresi simbolis diekspresikan melalui makna kepuasan. Makna
kepuasan yang dimaksud adalah seorang penari gandrung merasa puas karena
dapat menjadi bagian penting dari sebuah pesta desa, yang secara materi ia
dapat imbalan, baik berupa uang maupun padi. Dalam pandangan Sasak,
seorang penari gandrung mendapat imbalan uang atau padi merupakan simbol
uangkapan kegembiraan dapat menari dan kontak secara simbolis (ritus
kesuburan). Dikatakan bahwa pertunjukan gandrung dipakai sebagai media
pelepas harapan dan suka cita, dalam hal ini alam merasa mampu dikuasai
20
untuk tujuan keharmonisan melalui rasa suka cita dalam pertunjukan tari
gandrung.
Tulisan R. Diyah Larasati dengan penelitian penulis sangat berbeda. R
Diyah Larasati memaparkan makna simbolik tari gandrung Lombok, sedangkan
penelitian penulis menekankan pada mengapa seni pertunjukan gandrung tradisi
mengalami marginalisasi yang pada akhirnya berimplikasi pada makna seni
pertunjukan gandrung tradisi.
Tulisan-tulisan tersebut, merupakan sebuah studi estetika, bukan sebuah
kajian budaya yang bersifat kritis seperti dimaksudkan dalam penelitian
peneliti. Itulah sebabnya tidak ada satu pun dari tulisan itu yang membahas
persoalan marginalisasi, padahal gandrung tradisi secara nyata sedang
mengalami marginalisasi. Apalagi yang memberikan keberpihakan kepadanya
agar sejajar dengan seni pertunjukan lainnya di Indonesia.
I Wayan Wirata (2010) dalam disertasinya yang berjudul ”Hegemoni
Pemerintah dan Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di Kecamatan Bayan,
Kabupaten Lombok Utara” memaparkan adanya interaksi antara pemerintah
dan suku Sasak Wetu Telu di Kecamatan Bayan. Interaksi itu menimbulkan
perbedaan pandangan, ide, gagasan, dan perilaku yang mengakibatkan
munculnya gesekan, penolakan, dan perlawanan pada masyarakatnya. Dalam
penelitian tersebut juga dipaparkan bahwa hegemoni pemerintah muncul pada
aspek-aspek tertentu, seperti aspek ideologi agama, sosial politik, sosial budaya,
dan pendidikan. Dalam ideologi agama, pemerintah mewacanakan penerapan
wacana ajaran agama yang sebenarnya (ajaran Islam waktu lima), sedangkan
21
dalam aspek sosial politik pemerintah menguasai lahan dengan membuka
program transmigrasi di wilayah masyarakat wetu telu suku Sasak. Wayan
Wirata juga memaparkan bahwa dampak dari hegemoni pemerintah dan
resistensi wetu telu suku Sasak di Kecamatan Bayan membawa komunikasi
yang tidak seimbang antara Islam waktu lima (berkolaborasi dengan
pemerintah) dan wetu telu suku Sasak di Kecamatan Bayan sehingga
menimbulkan ketegangan sosial. Wirata tidak membahas secara khusus
mengenai seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok. Akan tetapi penelitian
disertasi ini memberikan wawasan yang penting dipahami sebagai acuan untuk
mendapatkan informasi, inspirasi, dan kontribusi yang berkaitan dengan
ideologi agama, sosial budaya, dan pendidikan, Islam wetu telu suku Sasak
yang merupakan pendukung seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa
Tenggara Barat.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep yang menjadi dasar dalam penelitian ini . Adapun
konsep yang dimaksud adalah marginalisasi, seni pertunjukan, dan gandrung
tradisi Lombok yang masing-masing dijelaskan di bawah ini.
2.2.1 Marginalisasi
Marginalisasi tidak dapat berdiri sendiri. Marginal tentu mengacu pada
posisi yang dipersandingkan dengan posisi yang lain. Marginalisasi biasanya
dikaitkan dengan adanya kekuatan yang mengakibatkan menurunnya
keberdayaan, yaitu dari pusat ke pinggir. Wahyudi (2004:87) mengatakan
22
bahwa marginalisasi adalah suatu posisi yang keberadaannya di perbatasan
atau posisi pinggiran yang paling jauh dari keberdayaan karena dianggap tidak
penting.
Dalam ilmu sosial disebutkan beberapa penjelasan dan definisi
marginalisasi. Mullady menyebutkan bahwa marginalisasi merupakan proses
sosial yang akhirnya menyebabkan masyarakat menjadi marginal. Problematika
yang paling umum dalam marginalisasi adalah ketidakadilan di dalam
masyarakat. Kelompok sosial yang termarginal akan berjuang untuk
menghindarkan diri atau membebaskan diri dari kondisi yang dianggap tidak
setara, termasuk di dalamnya melanggar etika subsistensi.
Menurut Scott (1983) faktor yang memerlukan pertimbangan, yakni
capaian batas subsistensi. Hal ini berkaitan dengan struktur kekuasaan dalam
masyarakat, yaitu tidak saja memarginalkan, tetapi juga menimbulkan konflik
laten atau adanya gerakan sosial yang besar. Marginalisasi dapat dipahami
dalam tiga level, yaitu level marginalisasi individu, level dalam masyarakat, dan
level dalam struktur global.
Pengaruh globalisasi merupakan penyebaran kebudayaan pluralistik
yang sulit dihindarkan sehingga berbenturan dengan ideologi yang membangun
kesenian gandrung tersebut. Dalam hal ini tidak hanya terbatas pada teknologi,
tetapi juga merembet pada bidang-bidang lainnya sesuai dengan karakter dan
makna pada seni pertunjukan tersebut. Masyarakat seni tidak hanya melangkah
maju, tetapi juga mendapat tekanan baru terhadap perkembangan seni tradisi di
masyarakat.
23
Identitas pada masyarakat tradisional bersifat tetap, kukuh dan stabil
yang merupakan fungsi dari peran sosial sebelumnya. Selain itu, juga
merupakan sistem mitos tradisional yang memberikan sanksi religius untuk
menentukan tempat (Kellner, 2010:315). Keterbukaan dan kebebasan
kreativitas sering dikaitkan dengan risiko. Risiko akan melanda kehidupan
kebudayaan sehingga kekhawatiran terhadap konsep identitas budaya secara
sempit akan muncul dan akan berhadapan dengan tipikal masyarakat yang telah
menganggap dirinya modern, bahkan postmodern.
Secara operasional, dapat dirumuskan bahwa marginalisasi adalah
proses peminggiran atau keterpinggiran yang secara umum disebabkan oleh
segala sesuatu yang bersifat internal dan eksternal. Dalam marginalisasi seni
pertunjukan gandrung di Lombok, entitas internal juga dapat menyebabkannya
terpinggir, begitu juga halnya yang berada di luarnya (eksternal). Hal ini sesuai
dengan cara pandang kajian budaya bahwa ketidakadilan biasanya disebabkan
oleh sistem atau struktur yang berada di dalamnya. Dengan demikian, faktor-
faktor eksternal itu pun pada akhirnya memengaruhi keadaan internal.
2.2.2 Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan dibentuk dari dua bentuk kata, yaitu seni yang secara
abstraksi merupakan bentuk kreativitas yang memiliki vitalitas artistik yang
utuh. Di pihak lain kata pertunjukan memiliki arti tontonan yang bernilai seni,
seperti drama, tari, dan musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan
penonton (Murgiyanto, 1996:153). Seni pertunjukan merupakan bagian dari
seni yang ekspresinya dilakukan dengan cara dipertunjukan karena bergerak
24
dalam ruang dan waktu. Seni pertunjukan merupakan bagian dari seni yang
ekspresinya dilakukan dengan cara dipertunjukan karena bergerak dalam ruang
dan waktu. Oleh karenan itu, disebut dengan seni sesaat (Bandem, 1982:49)
Seni pertunjukan lokal sama-sama tumbuh dan berkembang di wilayah
Kepulauan Indonesia. Meskipun demikian, sosok seni pertunjukan berbeda-
beda antara daerah yang satu dan daerah lainnya karena masing-masing
memiliki latar belakang lingkungan budaya dan identitas etnis yang berbeda-
beda. Secara umum dikatakan bahwa wilayah-wilayah budaya, seperti Aceh,
pesisir Melayu, Mataram, Makasar, Bugis, dan Bali mengembangkan seni
pertunjukan yang bernapaskan aura wibawa sistem kekuasaan feodal.
Sementara wilayah-wilayah budaya lainnya, seperti Minangkabau dan Batak
mengembangkan seni pertunjukan di bawah aura ikatan kerakyatan (Kayam,
1981:22).
Seni pertunjukan tradisi tidak dapat dipandang dan dianggap sebagai
seni yang berhenti dan mempertahankan apa yang sudah ada saja. Hal ini
menunjukkan bahwa kesenian mengalami perubahan sejalan dengan pola-pola
berpikir masyarakatnya (Kodiran, 1998:541-544). Seni merupakan buah karya
manusia sebagai ungkapan perasaan yang estetik, dalam arti pertunjukan
merujuk pada istilah tari, musik, dan drama (teater).
Secara umum seni pertunjukan dapat dibedakan ke dalam seni sakral
dan seni sekuler. Namun, dalam perkembangannya, terjadi evolusi seni
pertunjukan dan saling memengaruhi antara seni sakral dan sekuler. Seni
pertunjukan sakral masih mempunyai hubungan dengan upacara keagamaan,
25
sedangkan seni pertunjukan sekuler adalah seni pertunjukan yang memiliki
aspek hiburan, pergaulan, dan penonton dapat terlibat di dalamnya.
Selanjutnya seni pertunjukan merupakani salah satu aspek penting
dalam kehidupan manusia. Perkembangannya sampai saat ini sangat diwarnai
oleh berbagai kepentingan, di antaranya faktor politik, faktor sosial, dan faktor
ekonomi (Soedarsono, 2003:69). Sebagai bagian dari seni pertunjukan estetika
pada dasarnya adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
berkaitan dengan keindahan yang membahas konsep-konsep atau prinsip-
prinsip keindahan (Djelantik, 2004:7). Sebagai bahan analisis estetika, semua
benda atau peristiwa kesenian pada umumnya mengandung tiga aspek. Pertama,
”wujud atau rupa” yang menyangkut bentuk. Kedua, ”bobot”, yaitu isi atau
peristiwa kesenian yang dapat dirasakan dan dihayati sebagai makna dari wujud
kesenian tersebut (menyangkut gagasan, ide, dan pesan). Ketiga, ”penampilan”
yang meliputi bakat, keterampilan, dan sarana atau media (Djelantik, 2004:15).
Yasraf Amir Piliang (2011) membagi estetika ke dalam estetika tradisi,
estetika modern, dan estetika postmodern. Dalam estetika tradisi, bentuk
mengikuti makna (form follows meaning). Dalam estetika modern, bentuk
mengikuti fungsi (form follows function). Dalam estetika postmodern, bentuk
mengikuti kesenangan (form follows fun). Ketiga jenis estetika relevan
digunakan untuk menganalisis seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa
Tenggara Barat yang memiliki kandungan tradisi, modern, dan postmodern
meskipun saat ini secara umum berada dalam kondisi terpinggirkan.
26
Gandrung sebagai seni pertunjukan tradisi terkait dengan fungsi awal
kesenian ini, yakni ritual, persembahan, dan perayaan muda-mudi. Gandrung
sebagai seni pertunjukan modern terkait dengan fungsi estetik secara murni.
Artinya tidak terkait dengan fungsi ritual, tetapi seni pentunjukan gandrung
dinikmati sebagai sebuah kesenian yang mendatangkan kepuasan atau rasa
estetik, keindahan, dan keterpesonaan. Gandrung sebagai seni pertunjukan
postmodern terkait dengan eksploitasinya sebagai kesenian yang menghadirkan
sensasi-sensasi dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Di samping itu, juga
sebagai arena transaksi libidonik masyarakat masa kini yang membutuhkan
penyaluran-penyaluran dalam keseimbangan hidup masyarakat.
2.2.3 Gandrung Tradisi Lombok
Kata ”gandrung” mengandung pengertian, antara lain cinta kasih,
terpesona, dan secara substansi mengandung pengertian yang dicintai, yang
memesona (B. Sularto dan S. Ilmi dalam ”Gandrung” (1990) oleh Proyek
Pengembanngan Media Kebudayaan Depdikbud, Jakarta).
Gandrung Lombok adalah tarian rakyat di Pulau Lombok dari kalangan
masyarakat Islam wetu telu suku Sasak yang tidak diketahui siapa penciptanya,
tetapi hanya dikatakan telah ada sejak zaman Erlangga di Jawa Timur. Tarian
ini tidak mengikuti pola gerak dan iringan lagu yang sesuai dengan patokan
yang lazim, dalam arti bermula dari suatu upacara resmi, yaitu prajurit keraton
melihat seperangkat gamelan dan mendapat kesempatan untuk menabuhnya dan
bersuka ria tanpa batasan-batasan keraton sehingga geraknya masih tradisi
(Direktori Seni Pertunjukan Tradisional). Dalam perkembangannya terdapat
27
perubahan motif gerak berupa perkembangan gerak dan bentuk tangan
(Widyarto dkk., 2009:2).
Dalam sejarah, seni pertunjukan gandrung pada awalnya hanya ditarikan
oleh seorang laki-laki yang berpakaian perempuan, sedangkan dalam
perkembangan selanjutnya ditarikan oleh perempuan. Pada saat ini perempuan
penari (yang disebut gandrung) menjadi penari utama. Ketika memulai menari,
ia biasanya memperkenalkan diri dengan mengatakan ”tiang lanang” dan
seterusnya dalam bahasa Sasak dibawakan dengan cara menyanyi (basandaran
atau badede). Dengan dikelilingi penonton (sekaligus calon pengibing), tarian
ini berstruktur bapangan, gandrangan, dan parianom (Widyarto dkk., 2009:5).
Proses kelahiran seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok banyak
dipengaruhi oleh budaya Bali. Selain itu, merupakan ekspresi simbolis
komunitas masyarakat Islam wetu telu suku Sasak dan Lombok. Seni
pertunjukan gandrung tradisi pada awalnya dapat dijumpai di tiga desa, yaitu
Dasan Tereng, Suwangi, dan Lenek. Dalam pertunjukannya, kepuasan yang
diperoleh seorang penari berakar dari sifat kepuasan manusia untuk mencari
kesenangan yang diyakini membawa berkah. Seorang penari gandrung merasa
puas karena dapat menjadi bagian penting dari sebuah pesta desa. Dalam hal ini
seorang penari gandrung terbebas dari keduniawian masyarakat Sasak dalam
arti seorang penari gandrung adalah seorang gadis yang membutuhkan makan,
pakaian, pergaulan, dan ketika berada dalam pertunjukan gandrung dia
merupakan pusat ritus, pusat harapan, dan pusat makna yang diekspresikan
melalui tari dan pengibingnya.
28
Dalam konteks seni pertunjukan gandrung tradisi, seorang penari tidak
mempunyai kedudukan istimewa dari sisi finansial. Hal terpenting dari seni
pertunjukan gandrung tradisi Lombok ini adalah sandaran dan buah lakaq.
Berikut kutipan sebuah sandaran.
Tiang mas, tiang lanang
Beli bagus mara rawuh
Kaulanda, beli, ngaturang canang
Tembok bata, tunjung bang, beli masari kuning
Angin aris buin pidan, beli payu melayar
Dangin payung, ratun tiang, gusti berayane, dangin rurung
Beli, semayane
(Saya dik, saya laki-laki
kakanda baru datang
hamba, kakanda, menghaturkan sesaji
tembok bata, teratar merah, kanda berbenang sari kuning
kapan angin sepoi-sepoi, kanda akan berlayar
di timur payung, jungjungan hamba, pemimpin masyarakat, di
timur jalan, kanda, janjinya).
Sandaran di atas semacam tembang yang dilakukan mengikuti nada dari
gending-gending yang mengiringi pertunjukan. Selain sandaran ada aspek lain
yang merupakan kebalikannya disebut dengan lakaq, yang dilantunkan dalam
bahasa Bali. Hal ini merupakan fenomena sebuah proses akulturasi seni
tersebut dengan budaya Bali.
Berikut kutipan dari lakaq:
Tiang lanang, jukung kayu, beli liwat Bali, beli nembe rapet.
Tiang lanang, beli, ulih malu, tiang mabudi, kayang jani,
Beli, tonden bakat.
(Saya lelaki, perahu kayu, kanda lewat Bali, kanda tumben merapat.
Saya lelaki, kanda, dari dulu, saya berbudi, sampai kini, kakak,
belum dapat)
29
Lagu di atas menggambarkan bahwa seorang laki-laki yang
mengharapkan kedatangan seorang yang bersampan. Lagu ini juga
menunjukkan bahwa penari gandrung adalah seorang laki-laki (Larasati, 1996:
18-19).
2.3 Landasan Teori
Teori merupakan serangkaian pernyataan yang saling berhubungan,
menjelaskan suatu kejadian. Dalam upaya menganalisis marginalisasi seni
pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat digunakan
beberapa teori agar permasalahan dapat dijawab sesuai dengan temuan di
lapangan yang dibuktikan dengan teori-teori. Penelitian ini menggunakan teori
subaltern, teori praktik sosial, dan teori dekonstruksi. Teori-teori tersebut
digunakan secara eklektik dalam penerapan dalam penelitian.
2.3.1 Teori Subaltern
Salah seorang peletak dasar teori poskolonial, khususnya pergolakan
kelompok subaltern adalah Gayatri Chakravorty Spivak. Spivak tidak terlepas
dari pemikiran kelompok Marxis, terutama tokoh Karl Marx dan Antonio
Gramsci. Struktur teoretik studi subaltern diimpor dari Barat yang dipelopori
oleh Gramsci yang menyebut subaltern sebagai “kelas inferior”. Di pihak lain
Spivak (2001:1) dan King (2001:vi-vii) menyebutnya sebagai subjek yang
tertindas (kelas-kelas subaltern). Studi subaltern pada dasarnya adalah dasar
mazhab sejarah kolonial India. Perhatian utamanya adalah menggali,
menginvestigasi, dan menggambarkan sumbangan yang diberikan oleh rakyat
30
terhadap kondisi mereka sendiri, bebas dari elite, dan membangun kesadaran
petani atau subaltern.
Subaltern diadopsi pertama kali dari pemikir Italia, Antonio Gramsci,
yang menggunakan istilah subaltern bagi kelompok sosial yang berada di
subordinat, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek
hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Teori subaltern berkembang dari konsep
marxisme mengenai struktur kelas golongan borjuis (bangsawan) dan para
buruh (proletariat) yang kemudian dikembangkan oleh Gramsci dalam teori
hegemoninya. Akan tetapi, istilah subaltern lebih banyak digunakan dalam
teori poskolonial yang berkaitan dengan imperialisme atau penjajahan budaya
atau dominasi budaya tertentu terhadap budaya lainnya. Poskolonial
mengeksplorasi pelbagai pengalaman tentang penindasan, resistensi, ras,
gender, representasi, dan perbedaan yang tidak mungkin eksis tanpa empire
(penguasaan).
Perhatian pemikiran subaltern terfokus pada kelompok yang
terpinggirkan/terbungkam yang tidak memiliki daya dan kemampuan dalam
menunjukkan identitasnya. Perhatian Spivak jatuh pada subaltern yang
tertindas secara sosial dan ekonomi (Morton, 2008:13). Dalam hal ini, Spivak
mengatakan masalah mendasar yang dihadapi masyarakat subaltern adalah
kekerasaan epistemik (epistemic violence).
Teori subaltern relevan digunakan untuk membedah permasalahan
bentuk marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok karena
31
pertunjukan gandrung tradisi ini merupakan kelompok yang termaginal dan
tersisihkan di masyarakat.
2.3.2 Teori Praktik Sosial
Teori praktik sosial Bordieu menjelaskan penekanan keterlibatan subjek
(masyarakat pelaku budaya) di dalam proses konstruksi budaya bertalian erat
dengan habitus, modal, dan ranah. Teori praktik sosial Bourdieu ini merupakan
produk dari relasi antara habitus sebagai pemahaman persepsi, modal sebagai
kekuatan pendukung dari seni pertunjukan gandrung tradisi, tempat, dan arena
aktivitas kegiatan sebagai ranah medan sosial. Secara ringkas Bourdieu
menyatakan rumus generatif, yaitu menerangkan praktik sosial dengan
persamaan (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Takwin, 2006:9). Rumus ini
digunakan untuk menganalisis bagaimana marginalisasi seni pertunjukan
gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Konsep Bourdieu, yaitu habitus, modal, dan ranah sebagai kreativitas
memengaruhi sumber daya dan komunitas pendukung seni pertunjukan
gandrung tradisi tersebut. Pemikiran Bourdieu yang telah diperinci lebih detail
oleh Plummer (2011:229) memberikan penjelasan yang tidak kalah pentingnya
dalam konteks perebutan berbagai modal atau sumber daya pada suatu medan
sosial. Adapun modal atau sumber daya yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Sumber daya ekonomi: berapa banyak pendapatan, kekayaan, aset
keuangan, dan warisan yang anda miliki? Berapa pekerjaan yang
mampu menyediakan kebutuhan Anda?
32
2. Sumber daya sosial: berapa banyak dukungan yang Anda miliki dari
keluarga, komunitas, teman, dan jaringan?
3. Sumber daya budaya: berapa banyak akses informasi, pengetahuan,
keterampilan, pendidikan yang Anda miliki? (dari waktu ke waktu,
“keterampilan” seperti itu dapat menjadi bagian yang sangat berarti
bagi seseorang, “dalam tubuh mereka” melalui kualifikasi mereka
dan harga diri).
4. Sumber daya simbolik: berapa banyak akses yang Anda miliki
kepada orang-orang untuk memberikan legitimasi, pengakuan, dan
mengutamakan kehidupan Anda atas yang lain?
5. Sumber daya politik: berapa banyak otonomi yang Anda miliki
dalam hidup Anda? Apakah Anda dapat mengendalikan banyak hal
hari Anda atau melakukan kontrol lainnya untuk Anda?
6. Sumber daya tubuh dan emosional: dengan cara apa tubuh Anda
terasa sepertinya membatasi atau mengendalikan kehidupan Anda?
Seberapa jauh Anda diatur tubuh Anda?
7. Sumber daya pribadi: berapa banyak keunikan dalam diri Anda
sendiri dan bagaimana sejarah kehidupan membantu Anda
menghasilkan keterampilan pribadi bagi Anda untuk bergerak
dengan mudah di dunia?
Dengan berpegang pada gagasan Plummer, maka dapat dikemukakan
bahwa manusia sebagai agen, tidak saja membutuhkan tiga jenis modal, yakni
modal ekonomi, modal sosial, dan modal simbolik (kultural), tetapi juga modal-
33
modal lainnya. Seluruhnya berjumlah tujuh jenis modal agar agen bisa bermain
secara optimal dalam suatu ranah. Jika seseorang miskin akan modal-modal ini,
maka yang bersangkutan tidak saja kalah dalam persaingan, tetapi sekaligus
juga menduduki posisi terbawah, bahkan bisa pula termarginalisasi. Dalam hal
ini ketika penganut Islam wetu telu memiliki modal yang kuat, maka seni
pertunjukan gandrung tradisi dapat dipastikan tidak saja bisa bertahan, tetapi
juga bisa diterima oleh kelompok lain yang bukan penganut Islam wetu telu.
Akan tetapi, ketika penganutnya berkurang seperti sekarang ini seni
pertunjukan gandrung tradisi akan terdesak dan terpinggirkan. Sebuah
kekuasaan akan bisa direalisasikan jika modal-modal yang dibutuhkan tersedia.
Teori praktik sosial digunakan untuk membedah permasalahan kedua
yaitu apa yang melatarbelakangi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok,
Nusa Tenggara Barat mengalami marginalisasi. Artinya, mengapa seni
pertunjukan gandrung yang merupakan kesenian tradisi yang telah ada sejak
dahulu mengalami marginalisasi dalam masyarakat pendukungnya.
2.3.3 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan untuk mengkaji
marginalisasi seni pertunjukan gandrung tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai sebuah pembongkaran terhadap sebuah
teks untuk mencari makna di baliknya dengan membangun kembali atau
meredekonstruksi kembali teks yang telah dibongkar. Mendekonstruksi berarti
melahirkan hal yang baru dengan memisahkan unsur-unsur dalam teks.
Dekonstruksi adalah sebuah strategi, yaitu strategi dalam mengurai,
34
mengurangi, dan membuka sebuah teks yang disusun kembali untuk
menghasilkan hal yang baru (Al-fayyadl, 2005:79).
Dekonstruksi mencoba membongkar pandangan pusat, prinsip, dan
dominasi sehingga menjadi terpinggirkan. Dekonstruksi berupaya untuk
mengembalikan posisi yang menjadi objek ke posisi yang signifikan karena
dekonstruksi berusaha memberikan makna pada ruang-ruang yang kosong pada
sebuah teks. Dalam konteks tersebut Derrida memandang bahwa tulisan berada
pada pangkal asal mula makna. Derrida mendekonstruksi gagasan bahwa
tuturan menyediakan identitas untuk tanda dan makna (Derrida dalam Barker,
2009: 98). Dekonstruksi ditujukan pada pernyataan kultural sebab semua
pernyataan kultural adalah teks yang dengan sendirinya mengandung nilai-nilai,
ideologi, kebenaran, sdan tujuan tertentu (Ratna, 2005:223).
Berdasarkan kerangka berpikir di atas teori dekonstruksi dalam
penelitian ini dipakai sebagai teori pokok untuk membedah rumusan pertama,
kedua, dan ketiga karena marginalisasi seni pertunjukan gandrung Lombok,
Nusa Tenggara Barat dapat dibongkar, didekonstruksi, dan dilakukan penolakan
karena marginalisasi tersebut tidak permanen. Dalam hal ini dekonstruksi
memberikan arti pada melemahnya eksistensi gandrung tradisi, ada apa di balik
marginalisasi tersebut, dan penolakan kekuatan mayoritas menjadi penting.
Demikian halnya ketika seni pertunjukan gandrung tradisi kurang
diminati oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat Lombok. Menurut
pemikiran Bourdieu (1977) dalam Kumbara (2011:317), keterlibatan si
”subjek” dalam proses konstruksi budaya sangat dominan. Pengembangan
35
strategi dilakukan dengan mengolah dan mengonstruksi simbol-simbol
budaya untuk ”kepentingan” sosial, ekonomi, dan politik tertentu.
Teori ini digunakan karena implikasi dan makna yang dimaksud
menyangkut pemaknaan dari marginalisasi kesenian gandrung tradisi yang ada.
Artinya, makna-makna baru yang muncul dihasilkan oleh dekonstruksi dengan
merombak sistem oposisi biner yang telah ada dalam masyarakat.
36
2.4 Model Penelitian
Model penelitian ini dapat digambarkan ke dalam bagan (Gambar 2.1)
berikut.
Gambar 2.1
Model Penelitian
Dalam model penelitian di atas, tampak bahwa kepentingan pemerintah
dengan masyarakat wetu telu dan Islam waktu lima dipengaruhi oleh
perkembangan globalisme. Globalisme telah menghegemoni pemerintah dengan
Kepentingan
Pemerintah
Bagaimana
bentuk
marginalisasi
seni pertunjukan
gandrung tradisi
Lombok,
NusaTenggara
Barat ?
Marginalisasi Seni Pertunjukan Gandrung Tradisi
Lombok, Nusa Tenggara Barat
Apa implikasi
marginalisasi
dan makna seni
pertunjukan
gandrung tradisi
Lombok,
Nusa Tenggara
Barat ?
Masyarakat
Tradisi
Wetu Telu
Masyarakat
Islam Waktu
Lima
Globalisasi
Apa yang
melatarbelakangi
marginalisasi
seni pertunjukan
gandrung tradisi
Lombok,
Nusa Tenggara
Barat ?
37
berbagai ideologi yang ada di dalamnya sehingga dalam setiap kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah syarat dengan kepentingan yang dapat
memarginalkan dan mengutamakan salah satu kelompok masyarakat yang di
bawahnya. Masyarakat Islam wetu telu sebagai pemilik kesenian gandrung
diposisikan sebagai kelompok yang lemah sehingga dalam konteks ini menjadi
kelompok yang termarginalkan sedangkan kelompok masyarakat Islam waktu
lima adalah yang diutamakan.
Situasi itu telah menyebabkan terjadinya hegemoni dan dominasi dari
pemerintah dan sekaligus Islam waktu lima terhadap Islam wetu telu yang
berimplikasi pula pada gandrung tradisi yang dimilikinya. Hal ini bisa dilihat
dalam kebijkan yang diambil oleh pemerintah yang berusaha menekan seni
pertunjukan gandrung tradisi. Termarginalnya seni pertunjukan gandrung
membuat semakin menguatnya seni pertunjukan bernafaskan semangat
pemurnian Islam, perubahan-perubahan akibat dari pengaruh politik, sosial,
budaya, dan ekonomi yang menjadi ciri globalisme dalam bidang ideologi.
Fenomena ini terjadi dalam diri etnis (pendukung) kebudayaan Sasak sendiri,
baik yang menyangkut entitas keber-agamaan, kebudayaan, maupun seni tari.
Situasi ini memposisikan seni pertunjukan gandrung di Lombok kemudian
semakin terdesak dan mengalami marginalisasi.
Marginalisasi seni pertunjukan gandrung di Lombok, Nusa Tenggara
Barat pada tahap berikutnya dipersoalkan secara keilmuan menurut analisis
kajian budaya (cultural studies) dari aspek bagaimana bentuk marginalisasi seni
pertunjukan gandrung di Lombok, Nusa Tenggara Barat (rumusan masalah
38
pertama), apa yang melatarbelakangi marginalisasi (rumusan masalah kedua),
serta apa implikasi dan maknanya (rumusan masalah ketiga). Selanjutnya,
rumusan masalah pertama dieksplisitkan pada Bab V penelitian ini, rumusan
masalah kedua pada Bab VI, dan rumusan masalah ketiga pada Bab VII.